BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini dunia pendidikan Indonesia dikejutkan dengan berbagai problem remaja—terutama pelajar dan mahasiswa—yang mudah marah dan terprovokasi sehingga berujung pada tawuran antarpelajar atau antarmahasiswa di berbagai tempat, terutama di kota-kota besar yang menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda. Peristiwa seperti ini seringkali dapat disaksikan melalui berita-berita televisi dan media cetak. Berbagai upaya sudah dilaksanakan untuk mengantisipasi tawuran-tawuran tersebut namun tidak kunjung hilang; selang beberapa hari, minggu, atau bulan hal tersebut timbul lagi. Lebih jauh lagi, banyak pelajar dan mahasiswa terlibat dalam penyalahgunaan obat-obat terlarang, seperti narkoba dengan berbagai jenisnya dan minum-minuman keras/beralkohol. Bahkan stigma pelajar diperparah oleh perilaku penyimpangan sosial dalam bentuk pergaulan bebas (free life) dan seks bebas (free sex) yang berakibat hamil di luar nikah, pernikahan dini, aborsi, homoseksual, lesbian, dan lain sebagainya. Adanya anak-anak usia SMP dan SMA/SMK yang menikah dini, dengan alasan kecelakaan, menambah terpuruknya pendidikan di Indonesia. Masih banyak tindakan-tindakan amoral lain yang dilakukan generasi muda, seperti kebut-kebutan di jalan dengan gang motornya, merokok, mencuri, merampok, dan memperkosa sampai tega
1
membunuh teman atau orang tuanya sendiri. Mereka terkesan kurang hormat kepada orangtuanya, guru atau dosen, orang yang lebih tua, dan tokoh masyarakat. Fenomena bangsa ini dapat diilustrasikan sebagai sosok anak bangsa yang berada dalam kondisi split personality, kepribadian terpecah.1 Selain itu, kasus sontek massal di salah satu SDN di Surabaya2, KKN di semua lini, plagiarisme, dan demonstrasi dimana-mana, serta gejolak masyarakat (social unrest) lainnya menambah kelunturan karakter bangsa Indonesia. Ada apa dengan bangsa kita? Dengan pendidikan kita? Masyarakat kita sedang sakit parah. Bukan sakit fisik, melainkan sakit batin dan jiwanya. Bagaimana tidak, orang tua siswa yang mengadukan kasus sontek massal kepada sekolah dan Dewan Pendidikan Nasional (DPN) setempat justru dicemooh, diprotes, bahkan diusir oleh masyarakat. Sangat ironis, suatu kebenaran ingin ditegakkan di satu sisi, terganjal oleh keburukan yang dikemas dengan kebaikan di sisi lain. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat kehilangan karakter sebagai bangsa yang santun dan jujur. Banyak kalangan yang berpendapat bahwa pendidikan di Indonesia telah gagal! Terutama gagal dalam membentuk karakter bangsa. Padahal jelas, tujuan pendidikan sebagaimana amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 tahun 2003 adalah ”berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
1
Agus Zaenul Fitri, Reinventing Human Character: Pendidikan Karakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah, Ar-Ruzz Media, Yogyakarta, 2012, hlm. 10. 2 Koran Tempo 11 Juni 2011.
2
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Lebih lanjut dalam pasal 1 (satu) dijelaskan bahwa pendidikan adalah ”usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.”3 Dengan kata lain fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia tidak/belum berjalan sesuai harapan. Penyebab gagalnya pendidikan, terutama pendidikan karakter, di Indonesia disinyalir adalah karena sistem pendidikan yang tidak menerapkan keseimbangan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, atau aspek akal, hati, dan fisik, yaitu terlalu banyak menekankan pada ranah kognitif (akal) daripada ranah afektif (hati) dan psikomotor (gerak fisik). Pendidikan karakter telah lama diabaikan dalam praktik pendidikan kita. Padahal pendidikan yang akan melahirkan anak saleh (pintar dan baik) seharusnya diarahkan pada pendidikan yang seimbang, yaitu pendidikan yang memperhatikan seluruh aspek diri manusia: akal, hati, dan fisik. Dengan kata
3
Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, UU RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Diknas, Jakarta, hlm.3.
3
lain, sistem pendidikan sudah seharusnya mengarahkan pada pembentukan kepribadian utuh yang terdiri dari tiga komponen, yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku. Yang dimaksud kepribadian utuh atau integrated personality ialah bila pengetahuan (kognitif) sama dengan sikap (afektif) dan sama dengan perilaku (psikomotor). Lawan dari kepribadian utuh adalah kepribadian pecah atau split personality. Kepribadian pecah, menurut Ahmad Tafsir, ialah bila pengetahuan sama dengan sikap tetapi tidak sama dengan perilakunya; atau pengetahuan tidak sama dengan sikap, tidak sama juga dengan perilaku. Dia tahu jujur itu baik, dia siap menjadi orang jujur, tetapi perilakunya sering tidak jujur, menurutnya, ini contoh kepribadian pecah (split personality). 4 Sistem pendidikan seharusnya diarahkan pada penanganan ketiga-tiganya. Masing-masing unsur tersebut tidak bisa diabaikan begitu saja dan tidak bisa berdiri sendiri. Ketiganya harus harmonis dan seimbang. Mengutamakan pembinaan fisik semata dengan mengabaikan akal dan hati akan melahirkan manusia hayawani. Mengutamakan akal-pikiran saja melahirkan manusia syaithani, sedangkan mengutamakan hati semata tentu tidak realistik, karena manusia tidak bisa jadi malaikat.
5
Para nabi diutus Tuhan untuk
menyempurnakan akhlak manusia, supaya manusia itu dapat melaksanakan tugasnya; tugas manusia adalah menjadi manusia. Inilah takdir bagi manusia:
4
Ahmad Tafsir dalam Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2012, hlm. 11. 5 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, LPPI, UMY, Yogyakarta, 1999, hlm. 177.
4
manusia harus menjadi manusia. Kelaknya, inilah tugas pendidikan yaitu membantu manusia menjadi manusia.6 Dengan kata lain memanusiakan manusia. Membangun benih-benih potensi dan kecerdasan fitrah yang telah Allah SWT tanamkan dalam diri setiap manusia bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi sangat memerlukan bimbingan dan perjuangan yang ulet, disiplin dan konsisten. Karena di tengah-tengah proses perjalanannya akan senantiasa dihadang oleh musuh-musuh Allah baik dari dalam diri manusia maupun di luar dirinya. Paul Valery mengatakan: ”Orang-orang serius hanya punya ide-ide terbatas, orangorang yang punya banyak ide tidak pernah serius.” Maksudnya adalah untuk maju dan berhasil, orang cukup punya sedikit ide, namun yang sedikit itu benarbenar dikerjakannya, niscaya akan berhasil dengan pertolongan Allah SWT.7 Akibat kegagalan manusia dalam mengembangkan potensi dan kecerdasan fitrah itu, atau karena tidak ada keseimbangan dalam sistem pendidikan, maka mereka tidak sanggup menanggulangi dan menjalani ujian-ujian Allah yang berupa ketaatan menjalankan semua perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan tabah dalam memahami hikmah-hikmah dari segala musibah yang hadir dalam kehidupannya.8 Individu dan masyarakat cenderung melakukan pengingkaran terhadap Tuhannya, antar individu saling bersaing dalam meraih kehidupan duniawi tanpa 6
Ahmad Tafsir dalam Abdul Majid & Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, ...., 2012, hlm. iv. 7 Mas’ud Chasan, Sukses Bisnis Modal Dengkul, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm. 1 8 Hamdani Bakran A.D., Konseling & Psikoterapi Islam, Al-Manar, Yogyakarta, 2008, hlm. 7.
5
memperdulikan nilai-nilai agama dan Ilahiyah, para orang tua mengalami kebingungan karena putra-putrinya kehilangan rasa hormatnya kepada kedua orang tua dan keluarga, individualisme dan materialisme menjadi panutan mereka, tidak jarang putra-putri mereka mencari improvisasi hidup dalam pergaulan bebas dan terlepas dari kontrol moral agama, para orang tua kehilangan kharisma dan kewibawaan di hadapan putra-putri dan keluarganya. Masyarakat saat ini telah kehilangan panutan dalam menjalani kehidupan yang rahmatan lil’alamin, karena sebagian para pemimpin, intelektual, ulama telah terjebak dalam permainan dan olok-olok duniawi yang semakin hari semakin tidak menentu. Sulit membedakan mana orang saleh dan mana orang yang salah. Persaudaraan sesama muslim dan sesama hamba Allah telah dihancurkan oleh niat dan iktikad mencari hidup dan kehidupan yang hewani; yang kaya akan mengalahkan yang miskin, yang kuat akan mengalahkan yang lemah, yang mayoritas akan menggilas yang minoritas. Masyarakat telah kehilangan kecerdasan rasional, emosional, dan spiritualnya; karena tokoh-tokoh yang menguasai kecerdasan itu secara aplikasi dan empirik semakin langka; andai kata pun mereka bersuara, suara mereka akan tenggelam oleh hiruk-pikuknya genderang dan irama kedurhakaan, pengingkaran hati nurani dan fitrah kemanusiaan yang hakiki.9 Firman Allah SWT mengingatkan kita: 9
Ibid. hlm. 7-8.
6
”Wahai orang-orang yang telah beriman, mengapa kamu selalu mengatakan apa-apa yang kamu tidak kerjakan. Sangat besar kebencian sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan”.10 Akhir-akhir ini semakin besar perhatian para ahli terhadap pentingnya pembangunan dengan menekankan pada sisi sosial dan spiritual. Fritjof Capra, seorang ahli fisika, dalam bukunya yang sangat populer The Turning Point: Science, Society and the Rising Culture mengajak para ilmuan untuk meninggalkan paradigma ilmu pengetahuan yang terlalu menekankan pada aspek materi, bersifat pragmatis dan mengenyampingkan masalah spiritual/keagamaan. Menurut Capra, lingkungan
malapetaka
akibat
polusi
yang terjadi di muka bumi seperti kerusakan karena
pengajaran dan pengembangan ilmu
pengetahuan yang tidak disertai wawasan spiritual. Oleh karena itu, menurutnya, pemisahan antara pengetahuan umum dan masalah keagamaan dalam pengertian ilmu, dan pendekatan mono-disiplin sudah harus ditinggalkan.11 Sementara itu, fenomena hidup materialistik yang longgar dari kendali spiritualistik semakin menggejala di kalangan masyarakat dunia ketiga. Kemajuan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan transportasi, telah menyebabkan arus informasi dari negara kapitalis semakin deras. Ekspos nilai hidup kapitalis melalui film, televisi, internet, dan kunjungan antarnegara
10
11
QS. Ash-Shaff, 61: 2-3. Djamaludin Ancok, Psikologi Terapan, Darussalam, Yogyakarta, 2004, hlm. 86.
7
semakin mempercepat proses perubahan nilai hidup manusia di dunia ketiga, termasuk di Indonesia, ke arah nilai materialistik dan hedonistik. Ekspos ini memang diperlukan oleh sistem kapitalis agar orang menjadi konsumtivistik. Demi meniru gaya hidup orang-orang Barat di negara-negara industri yang sangat konsumtif ini, orang-orang di dunia kerja memiliki nilai tambah dan mau bekerja keras. Beberapa akibat dari permasalahan di atas pada kehidupan manusia adalah meningkatnya kasus perilaku sebagai berikut: 1) kriminalitas (criminality); 2) perilaku kekerasan (violence); 3) kenakalan (delinquency); 4) bunuh diri (suicide); 5) pembunuhan terhadap orang lain (homocide); 6) hubungan seks dengan anak sendiri (incest); 7) penyiksaan anak (battered children); 8) penyiksaan orang tua (battered parents); 9) anak lari dari rumah (child disertion); 10) perkosaan (rape); 11) kecanduan narkoba (drugs abuse); 12) perceraian (divorced); dan 13) perilaku seksual di luar nikah (free-sex).12 Dalam perspektif psikologi Islam, semua itu terjadi disebabkan karena mentalitas dan spiritualitas mereka sedang dalam kondisi sakit yang sangat parah. Indikasi yang paling hakiki dari gejala itu adalah telah menghilang dan memudarnya
potensi dan kecerdasan fitrah Ilahiyahnya;
mereka tidak lagi
dapat membedakan antara yang hak dan yang batil secara aplikatif dan empirik. Dan penyakit itu tidak akan pernah dapat diterapi dengan alat terapi apapun kecuali kembali kepada terapi Ilahiyah, melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Firman Allah, 12
Ibid. hlm. 87-88.
8
”Dan Kami menurunkan dari Al-Qur’an sebagai penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang percaya, dan Al-Qur’an itu tidak akan menambah apapun bagi orang-orang yang berbuat aniaya, kecuali hanya kerugian”.13
Krisis tersebut bersumber dari krisis moral, akhlak atau karakter, yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pendidikan. Krisis karakter yang dialami bangsa saat ini disebabkan oleh kerusakan individu-individu masyarakat yang terjadi secara kolektif sehingga menjadi budaya. Budaya inilah yang kemudian menginternalisasi dalam sanubari masyarakat Indonesia dan menjadi karakter bangsa, terutama sekali pada kaum mudanya. Karakter bangsa Indonesia sesungguhnya ditentukan oleh ciri manusia Indonesia itu sendiri. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia dijajah selama lebih dari tiga abad. Dampak dari penjajahan tersebut boleh jadi telah membentuk karakter tersendiri bagi masyarakat Indonesia, yaitu karakter masyarakat terjajah. Sebuah karakter yang merupakan warisan penjajah dijadikan budaya bagi masyarakat Indonesia. Lubis menyebut ciri manusia Indonesia antara lain: 1) munafik; 2) segan dan enggan bertanggung jawab; 3) berjiwa feodal; 4) percaya takhayul; 5) artistik; 6) berwatak lemah (cengeng); 7) tidak hemat; 8) kurang gigih; 9) tidak terbiasa kerja keras. Pernyataan ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan karena sejarah juga
13
QS. Al-Israa, 17: 82
9
telah mencatat pengorbanan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaannya, yang menunjukkan tingginya tingkat nasionalisme masyarakat Indonesia pada waktu itu. Namun, jujur diakui bahwa ciri yang dikemukakan di atas memang merupakan kecenderungan umum masyarakat Indonesia saat ini. 14 Ironis, pendidikan yang memiliki tujuan mulia justru menghasilkan output yang tidak diharapkan. Lickona
menyatakan bahwa ada sepuluh tanda
kehancuran suatu bangsa yang berdampak pada karakter peserta didik, antara lain: 1) meningkatnya kekerasan di kalangan remaja; 2) penggunaan bahasa dan katakata yang buruk; 3) pengaruh peer group yang kuat dalam tindak kekerasan; 4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, seks bebas, dan lain-lain; 5) pedoman moral baik dan buruk semakin kabur; 6) etos kerja menurun; 7) rasa hormat kepada orang tua dan guru semakin rendah; 8) rasa tanggung jawab individu dan warga negara semakin rendah; 9) ketidakjujuran yang semakin membudaya; 10) adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. 15 Edi Setiyanto, dari Balai Bahasa, memaparkan adanya hubungan antara bahasa dan karakter manusia. Bahasa merupakan wujud dari kebudayaan manusia yang turut membentuk karakter masyarakat. Bahasa merupakan sebuah sistem, oleh karenanya bahasa memiliki struktur-struktur yang harus ditaati
14
Mochtar Lubis, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban, Idayu Press, Jakarta, 1997, hlm. 11. . 15 Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik (terjemahan) , Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 15-22.
10
dalam lisan maupun tulisan. Adanya struktur tersebut secara langsung memang membentuk disiplin. Secara hakiki, kedisiplinan tersebut meliputi disiplin struktur, sosial, dan komunal. Lebih lanjut, menurut Sudartomo Macaryus, bahasa memiliki kekuatan untuk merubah sosial. Sastra pun demikian, meskipun tidak secara langsung. Memetik perkataan Herbert Marcuse dalam Sudartomo seni (termasuk sastra) tidak dapat mengubah dunia, tetapi seni dapat menyumbang dengan mengubah kesadaran dan menggerakkan manusia yang dapat mengubah dunia. Sebagai produk kreatif yang berjiwa, sastra tercipta dari imajinasi yang jujur, penuh simpati, kekaguman, dan atau ketragisan. Seni dengan karakter tersebut memiliki daya dan sanggup mengubah, menggerakkan, dan menjiwai manusia untuk melakukan perubahan. 16 Pendidikan yang sejatinya dapat membangun pribadi holistik (utuh dan seimbang), di mana setiap pribadi akan dapat menemukan jati diri, makna, dan tujuan hidupnya melalui hubungannya dengan alam, lingkungan, dan nilai-nilai spiritual (ketuhanan), atau membelajarkan
aspek
kognitif, afektif, dan
psikomotornya, realitasnya hanya mengembangkan aspek kognitif saja dan membuat anak teralienasi dari lingkungannya. Berdasarkan penelitian Elkind mengenai Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), anak yang terlalu dipaksakan untuk menguasai kemampuan kognitif akan menjadi stress karena terjadi ketidaksesuaian dengan usianya yang seharusnya banyak bermain dan
16
https://mynameisbunny.wordpress.com/2012/12/03/membangun-karakter-bangsa-melalui-bahasadan-sastra-indonesia/
11
bereksplorasi.17 Anggapan bahwa keberhasilan di sekolah ditentukan kemampuan membaca dan berhitung anak pada usia dini, sebagaimana yang dipercayai para orangtua dan guru, tidaklah benar. Selain itu, terlalu mengharapkan keberhasilan akademik anak yang diukur dengan pencapaian angka dan rangking, bukan pada proses belajar, akan menyebabkan orangtua dan guru memaksa anak untuk belajar keras karena harus mencapai target sehingga waktu bermain anak hilang. Anak akan menjadi pribadi-pribadi keras karena kehilangan masa ’kecilbahagia’-nya sehingga akan sangat sulit dibentuk menjadi pribadi-pribadi yang berkarakter luhur di masa mendatang. Lebih tegas lagi, Sunaryo Kartadinata dalam Dharma
Kesuma, dkk.
menyatakan bahwa ukuran keberhasilan pendidikan yang berhenti pada angka ujian, seperti halnya ujian nasional (UN), adalah sebuah kemunduran, karena dengan demikian pembelajaran akan menjadi sebuah proses menguasai keterampilan dan mengakumulasi pengetahuan. Paradigma ini menempatkan peserta didik sebagai pelajar imitatif dan belajar dari ekspos-ekspos didaktis yang akan berhenti pada penguasaan fakta, prinsip, dan aplikasinya. Paradigma ini tidak sesuai dengan esensi pendidikan yang digariskan dalam UU Sisdiknas.18 Apabila para pengambil kebijakan, pakar pendidikan dan psikolog muslim tidak dapat tempat dan mengambil kesempatan untuk melakukan tugas-tugas
17
Elkind dalam Musfah, Pendidikan Holistik: Pendekatan Lintas Perspektif, Prenada Media, Jakarta, 2011, hlm. 64. 18 Dharma Kesuma, dkk., Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktik di Sekolah, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011, hlm. 9.
12
’kenabian’ yang telah diamanatkan kepada mereka, maka kehancuran demi kehancuran peradaban akan terus datang di negeri tercinta. Maksud penelitian ini adalah agar setiap individu tergerak untuk melakukan pembangunan peradaban bangsa melalui pendidikan yang seimbang, holistik, dan terintegrasi dengan melakukan terapi terhadap penyakit mental, spiritual dan moral yang sedang menimpa individu, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, agar dapat menggiring mereka kembali kepada jalan yang benar, dalam arti keluar dari kesesatan kembali kepada ’rel kehidupan’ yang sebenarnya, yakni kehidupan dalam bimbingan dan pimpinan serta diridhai Allah SWT dan Rasul-Nya. Hal ini senada dengan pendapat Lickona yang menyatakan dengan tegas bahwa: ”meningkatnya persoalan moral dalam masyarakat—mulai dari kekerasan dan ketidakjujuran hingga tindak kekerasan, perilaku-perilaku yang merusak diri seperti penyalahgunaan narkoba dan bunuh diri— telah melahirkan sebuah konsensus baru. Kini, dari seluruh pelosok negeri, mulai dari warga negara individual hingga organisasi-organisasi publik, dari kalangan liberal dan konservatif, memohon kepada sekolah: Ambil peran sebagai pengajar moral (karakter) bagi anak-anak (didik) kita.” 19 Berdasarkan pernyataan di atas jelaslah bahwa sekolah, sebagai pusat pendidikan formal, dituntut berperan sebagai agen perubahan menuju kebaikan. Sebagai bangsa yang sadar akan pentingnya karakter berbasis nilai-nilai spiritual, moral, dan akhlak mulia, sudah semestinya ditanamkan kembali dan ditumbuh-kembangkan nilai-nilai tersebut pada generasi bangsa, terutama generasi muda—penerus bangsa, serta membangun nilai-nilai luhur lainnya yang 19
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik (terjemahan) , Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 3-4.
13
tidak bertentangan dengan etika-moral bangsa dengan mengimplementasikan model pendidikan karakter yang holistik dan terintegrasi melalui semua mata pelajaran, termasuk bahasa Inggris. Mengapa? Peneliti yakin dan optimis masih ada jalan alternatif pemecahan masalah. Bahasa Inggris adalah bahasa asing pertama di Indonesia yang dianggap penting untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, dan pembinaan hubungan dengan bangsa-bangsa lain.20
Mata pelajaran bahasa
Inggris merupakan mata pelajaran wajib di Sekolah Menengah Atas (SMA), sebagai jenjang lanjutan dari Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang berfungsi sebagai alat pengembangan diri anak didik dalam semua aspek pembelajarannya, yaitu: 1) kepribadian; 2) ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; 3) wawasan global; dan 4) kapabilitas komunikasi international.21 Bahasa Inggris merupakan alat untuk berkomunikasi secara lisan dan tulisan. Pengertian berkomunikasi dimaksudkan adalah memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, perasaan, serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya dengan menggunakan bahasa tersebut. Pembelajaran
bahasa
Inggris
di
SMA
yang
mencakup
empat
keterampilanberbahasa (listening, speaking, reading dan writing) sedapat mungkin disajikan secara terpadu (integrated). Unsur-unsur bahasa seperti kosakata,
20
Depdiknas, Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa Inggris SMU, Depdiknas, 2003, hlm. 8. 21 Ibid. hlm. 8.
14
tatabahasa, lafal dan ejaan diajarkan untuk menunjang pengembangan keempat keterampilan berbahasa tersebut, bukan semata-mata untuk menguasai unsurunsur bahasa itu sendiri. Aspek budaya yang terkandung dalam teks lisan dan tulisan serta aspek sastra yang berupa penghayatan dan apresiasi sastra juga dilibatkan.
22
Dengan tercapainya tujuan dan fungsi pembelajaran bahasa Inggris
yang ideal tersebut, mereka diharapkan dapat tumbuh dan berkembang menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berakhlak mulia, yang siap mengambil bagian dalam pembangunan serta mampu berkiprah dalam kancah dunia internasional. Namun, kenyataan berbicara bahwa kesuksesan pengajaran bahasa Inggris di Indonesia masih jauh sebagaimana yang diharapkan, atau seperti pepatah ’jauh panggang daripada api’. Siswa belajar bahasa Inggris selama empat jam pelajaran setiap minggunya, tetapi kemampuan berbahasa Inggris mereka rendah. Ada dua persoalan pokok yang sering mengemuka dalam pembelajaran bahasa Inggris di Indonesia umumnya dan di Yogyakarta khususnya. Pertama adalah masih rendahnya taraf pencapaian/prestasi belajar bahasa Inggris siswa (real scholastic achievement). Indikatornya dapat dilihat dari rata-rata pencapaian/prestasi belajar siswa baik dalam Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang masih berkisar pada nilai 5 (lima).
22 23
Ibid. hlm. 6. Kanwil Diknas Yogyakarta, 2012.
15
23
Terlebih khusus lagi, rata-rata nilai
ulangan harian (UH), ujian tengah semester (UTS) maupun ujian akhir semester (UAS) masih di bawah nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Kedua adalah ketidakmampuan siswa dalam menggunakan keterampilan berbahasa (language skills) yang mereka pelajari dalam komunikasi bahasa Inggris. Hal tersebut berdasarkan pengamatan dan informasi para guru bahasa Inggris di Yogyakarta umumnya dan di Gunungkidul khususnya. Keadaan tersebut pada umumnya disebabkan pengajaran bahasa Inggris hanya berorientasi pada soal-soal UAN dalam hal ini hanya mencakup keterampilan bahasa reseptif, yaitu membaca (reading) dan mendengar (listening), sedangkan keterampilan produktif berbicara (speaking) dan menulis (writing) terabaikan. Kenyataan lain yang terjadi di lapangan adalah tidak optimalnya guru dalam mengelola proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) bahasa Inggris yang menarik bagi siswa. Setiap guru bahasa Inggris seharusnya berusaha keras agar para siswanya dapat menguasai bahasa Inggris dengan baik dan benar, bukan sekedar untuk dapat naik kelas atau lulus ujian. Mereka hendaknya berkemauan keras untuk dapat berkomunikasi lisan dan tulisan secara lancar, akurat, dan cocok/sesuai dengan konteks situasi di mana bahasa digunakan. Kegagalan siswa dalam mencapai penguasaan bahasa Inggris, secara sadar atau tidak, sering ditimpakan kesalahannya semata-mata kepada anak didik, sedangkan guru yang bersangkutan tidak mau mengakui kesalahan dan kekurangannya sendiri dan tidak mau merefleksikan setiap usai kegiatan belajar mengajarnya untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Kesalahan guru tercermin
16
dalam pertanyaan: Apakan guru sudah mempertimbangkan segala faktor yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa? Faktor-faktor itu misalnya: Apakah guru sebelum mengajar telah membuat persiapan atau perencanaan secara matang? Apakah proses KBM di kelas telah berjalan dengan baik, lancar dan menyenangkan? Apakah guru mengajar dengan mengoptimalkan interaksi gurusiswa dan siswa-siswa? Apakah guru mengajar dengan semangat dan motivasi serta dedikasi yang tinggi? Apakah guru sudah memberdayakan semua potensi dalam kelas itu demi tercapainya tujuan pembelajaran? Apakah guru sudah mengimplementasikan metode dan teknik mengajar yang tepat? Apakah guru sering menggunakan media pembelajaran yang menarik bagi siswa? Apakah guru memberi penilaian dan evaluasi yang selayaknya? Apakah guru selalu merefleksikan semua yang terjadi di dalam kelas untuk tujuan perbaikan dan pengayaan? Apakah guru selalu berusaha dan berkorban untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul baik di dalam maupun di luar kelas? Apakah guru dapat mengidentifikasikan kepribadian pembelajar tertentu yang bermasalah dan tahu bagaimana cara menanganinya? Kenyataan-kenyataan di atas terjadi di SMA 2 Wonosari, dan SMA 2 Playen, Gunungkidul, DIY. Dengan melalui diskusi teman-teman sejawat ternyata peneliti menghadapi masalah-masalah sebagai berikut: Siswa kurang motivasi untuk belajar, tidak tertarik dan mudah bosan belajar, kurang memperhatikan kesiapan, kepercayaan diri (self-esteem) kurang, mudah putus asa (bahasa Jawa: mutungan), kurang disiplin, kurangnya kejujuran, malas belajar atau daya juang
17
yang kurang, kurang optimalnya daya serap siswa, bersifat individualistik, ketergantungan pada orang lain, kurang bersifat religius, rasa hormat/peduli sosial yang kurang, kurang memahami perintah guru, kurang kreatif, dan kurangnya tanggung jawab, hasil belajar siswa rendah, dan pada akhirnya siswa tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran, yakni berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan lancar dan akurat serta empan papan. Lebih jauh lagi, proses KBM kurang lancar, monoton, dan tidak ada kemajuan yang berarti pada kecakapan siswa dari waktu ke waktu. Sebagian besar waktu terfokus pada pelajaran membaca dan tatabahasa. Siswa jarang aktif baik mengajukan maupun menjawab pertanyaan. Siswa jarang berkomunikasi berbahasa Inggris sesamanya. Komunikasi di kelas terpusat pada guru ke siswa (teacher-centered learning). Bentuk dan aktivitas tugas lebih sering secara individual dan klasikal, jarang sekali secara berpasangan atau kelompok. Guru kurang variatif dan inovatif dalam menyampaikan materi pembelajaran karena hanya menggunakan buku ”Look Ahead” terbitan Erlangga. Guru seringkali hanya memfotokopi materi yang akan disampaikan karena sebagian besar siswa tidak mempunyai buku tersebut dan pihak sekolah pun kurang menyediakan buku bahasa Inggris. Guru kurang dapat mengelola waktu pembelajaran. Guru sering tidak memperhatikan adanya hadiah dan hukuman (reward and punishment) dalam pembelajaran. Guru tidak maksimal dalam menangani karakter-karakter siswa yang bermasalah dalam pembelajaran. Guru belum memberdayakan semua potensi yang ada di kelas atau lingkungan kelas
18
secara optimal. Guru belum mengajarkan bahasa Inggris secara terintegrasi, mencakup keempat keterampilan berbahasa. Atau guru belum mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam pembelajaran bahasa Inggris. Guru belum mengelola pembelajaran yang holistik, mencakup keseluruhan domain kecerdasan. Guru belum mengelola interaksi guru-siswa dan siswa-siswa dengan seefektif mungkin. Dan yang terakhir, guru belum bisa memenuhi tuntutan siswa agar bervariasi dalam menggunakan media pembelajaran, antara lain pembelajaran menggunakan ’Teknologi Informasi (TI)’ atau ’E-Learning Program’. Dengan melihat kenyataan tersebut muncul pertanyaan upaya apa yang seharusnya dilakukan guru sebagai peneliti untuk mengefektifkan pembelajaran bahasa Inggris guna mencapai tujuan pembelajaran yang optimal sehingga siswa mendapat prestasi belajar yang tinggi dan berkarakter yang baik atau bahkan sangat baik. Sehubungan dengan Undang-undang Sisdiknas nomor 20 tahun 2003, salah satu
program
utama
Kementerian
Pendidikan
Nasional
dalam
rangka
meningkatkan mutu proses dan output pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah pengembangan pendidikan karakter. Keseriusan pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional di atas, antara lain tampak dari adanya kebijakan pendidikan karakter yang disuarakan sejak tahun 2003. Pendidikan karakter diharapkan agar diterapkan oleh semua satuan pendidikan secara terintegrasi dalam pembelajaran di kelas dan kultur sekolah.
19
Sebenarnya pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam sistem pendidikan nasional Indonesia. Bahkan, pendidikan karakter sama tuanya dengan pendidikan itu sendiri. Sepanjang sejarah, di negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, pendidikan memiliki dua tujuan besar: membantu anakanak menjadi pintar (smart) dan membantu mereka menjadi baik (good).24 Pada saat ini, setidak-tidaknya sudah ada dua mata pelajaran yang diberikan untuk membina akhlak dan budi pekerti peserta didik, yaitu Pendidikan Agama dan PKn. Namun demikian, pembinaan watak melalui kedua mata pelajaran tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan karena beberapa hal. Pertama, kedua mata pelajaran tersebut cenderung baru membekali pengetahuan mengenai nilai-nilai materi/substansi mata pelajaran. Kedua, kegiatan pembelajaran pada kedua mata pelajaran
tersebut
terinternalisasinya
pada
umumnya
nilai-nilai
oleh
belum
secara
masing-masing
memadai siswa
mendorong
sehingga
siswa
berperilaku dengan karakter yang tangguh. Ketiga, menggantungkan pembentukan watak siswa melalui kedua mata pelajaran itu saja tidak cukup. Pembentukan karakter peserta didik perlu melibatkan lebih banyak lagi mata pelajaran, bahkan semua mata pelajaran. Selain itu kegiatan pembinaan kesiswaan dan pengelolaan sekolah dari hari ke hari perlu juga dirancang dan dilaksanakan untuk mendukung pendidikan karakter.25 Karakter adalah ukuran utama dari seseorang individu dan
24
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar dan Baik (terjemahan) , Nusa Media, Bandung, 2013, hlm. 6. 25 https://aguswuryanto.wordpress.com//2011/12/10 panduan-guru-bahasa-inggris-pendidikankarakter- terintegrasi-dalam-pembelajaran-di-sekolah-menengah-pertama.
20
juga ukuran utama dari sebuah bangsa. Theodore Rosevelt dalam Lickona menyatakan bahwa mendidik seseorang hanya pada pikirannya saja dan tidak pada moralnya sama artinya dengan mendidik seseorang yang berpotensi menjadi ancaman bagi masyarakat.26 Merespon kegelisahan sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti, telah diupayakan inovasi pendidikan karakter. Inovasi itu adalah: 1) Pendidikan karakter dilakukan secara terintegrasi ke dalam semua mata pelajaran. Integrasi yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas pembelajaran di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran; 2) Pendidikan karakter juga diintegrasikan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan kesiswaan; dan 3) Pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah. Namun dalam praktiknya, program pendidikan karakter ini belum berjalan secara memuaskan sesuai harapan. Pelaksanaan program pendidikan karakter dengan pendekatan holistikintegratif pada semua mata pelajaran, termasuk bahasa Inggris, merupakan hal yang sangat urgen bagi sebagian besar SMA di Indonesia. Dalam rangka membina pelaksanaan program tersebut, hal ini sangat relevan jika disusun model pendidikan karakter dengan pendekatan holistik-integratif melalui mata pelajaran 26
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: .., hlm. 3.
21
bahasa Inggris, bukan sekedar dampak pengiring (nurturant effect), tetapi betulbetul sengaja dirancang (by design) untuk mencapai prestasi belajar bahasa Inggris yang tinggi dan mutu lulusan yang berkarakter/berbudi pekerti mulia. Kenyataan dan pertanyaan tersebut di atas sesungguhnya yang memotivasi diadakannya penelitian yang berkaitan dengan: ”Model Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Bahasa Inggris di SMA Negeri dengan Pendekatan Holistik-Integratif”. Di samping itu juga karena merupakan hasil diskusi dengan teman-teman sejawat dan izin dari dua kepala sekolah serta persetujuan para ahli.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang dan identifikasi masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Model pendidikan karakter seperti apa yang sesuai diterapkan melalui pembelajaran bahasa Inggris di SMA Negeri dengan pendekatan holistik-integratif?” Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat diuraikan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan program pendidikan karakter saat ini oleh guru melalui pembelajaran bahasa Inggris di SMA Negeri? 2. Model pendidikan karakter seperti apa yang sesuai dilaksanakan melalui pembelajaran bahasa Inggris di SMA Negeri? 3. Bagaimana tingkat keterterapan desain model pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan holistik-integratif di SMA Negeri?
22
4. Bagaimana dampak penerapan desain model pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan holistik-integratif di SMA Negeri?
C. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengungkapkan: 1. Program pendidikan karakter saat ini dilaksanakan oleh guru melalui pembelajaran bahasa Inggris di SMA Negeri. 2. Model pendidikan karakter yang sesuai dilaksanakan melalui pembelajaran bahasa Inggris di SMA Negeri. 3. Tingkat
keterterapan
desain
model
pendidikan
karakter
melalui
pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan holistik-integratif di SMA Negeri. 4. Dampak penerapan desain model pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa Inggris dengan pendekatan holistik-integratif di SMA Negeri. Di samping hal-hal tersebut, penelitian ini secara spesifik bertujuan mengembalikan dan menerapkan fungsi dan tujuan yang sebenarnya dari Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan
bahwa:
“Pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
23
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Penelitian ini juga hendak menerapkan definisi kompetensi yang dinyatakan dalam UU Sisdiknas yakni keutuhan dan keterpaduan antara tiga dimensi: sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Meskipun konsep kompetensi yang multi-dimensi ini sudah lama dikenal dan dihafal oleh para pengembang kurikulum maupun guru, namun selama ini penerapannya di setiap mata pelajaran lebih menekankan dimensi pengetahuan, sedangkan dimensi sikap dan keterampilan hampir tidak terumuskan, apalagi terajarkan. Hal ini terbukti setidaknya pada rumusan Standar Isi KTSP Bahasa Inggris yang dikembangkan berdasarkan dimensi pengetahuan saja (rumusan diarahkan pada pengembangan pemahaman kosakata, tatabahasa, mendengarkan dan membaca), tanpa menekankan dimensi keterampilan (mengabaikan keterampilan produktif, yakni berbicara dan menulis, terbukti dalam soal-soal UAS dan UN yang hanya terdiri dari listening dan reading) dan dimensi sikap, sehingga tidak mencerminkan kompetensi secara seutuhnya (holistik) dan terpadu (integratif). Penelitian ini juga bisa mengungkapkan bahwa sebenarnya guru-guru di sekolah telah sadar akan tugas dan tanggung jawabnya, yakni membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), melaksanakan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran.
Namun
dalam
praktiknya,
24
meskipun
guru-guru
telah
mencantumkan dalam RPP nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan, tetapi mereka tidak menerapkannya dalam proses dan evaluasi pembelajaran dengan alasan bahwa nilai-nilai karakter tidak dapat diajarkan secara langsung (direct teaching), tetapi hanya merupakan dampak pengiring (nurturant effect), sehingga tidak dapat menginternalisasikan nilai-nilai karakter itu dalam mata pelajaran yang mereka ampu. Berdasarkan
kajian
kepustakaan
maupun
studi
lapangan,
akan
direkomendasikan pula prosedur tetap model pendidikan karakter yang diimplementasikan dalam pembelajaran bahasa Inggris di SMA Negeri dengan pendekatan holistik-integratif, yang disingkat menjadi pendekatan ‘holsin’ (‘holsin’ approach). Inilah maksud dan tujuan penelitian ini. Dari rekomendasi ini diharapkan akan merubah wajah program pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa Inggris khususnya dan semua mata pelajaran lain pada umumnya, yang selama ini kurang/tidak berjalan sesuai dengan rumusan tujuan nasional pendidikan Indonesia.
D. Manfaat Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoretis dan praktis yang meliputi:
25
1. Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini dapat memperkaya khasanah kajian ilmiah tentang kasus-kasus yang mendalam berkaitan dengan kehidupan para remaja atau pelajar yang
tidak utuh kepribadiannya atau kepribadian
terpecah, yaitu anak-anak yang cenderung mempunyai sikap negatif, tingkah laku buruk dan kehidupan yang menyimpang dari nilai moral, sosial dan agama, dan bagaimana upaya untuk mencari alternatif pemecahan masalahnya, serta dalam hubungannya dengan upaya meraih prestasi belajar bahasa Inggris dengan memadukan dua perspektif, yaitu perspektif ajaran Islam dan perspektif Psikologi Barat (umum). Sehingga dapat ditarik benang merah diantara kedua perspektif tersebut menjadi nilai-nilai universal yang dapat diterima/diakui oleh semua kalangan, dan membuka kemungkinan untuk penelitian lebih lanjut, misalnnya, pada sekolah-sekolah swasta dan objek penelitian yang lebih banyak lagi.
2. Manfaat Praktis Manfaat praktisnya adalah dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi model pendidikan karakter
26
melalui pembelajaran bahasa Inggris di SMAN. Kegunaan praktis ini dapat diwujudkan:
a. Bagi Guru Dengan hasil penemuan dalam penelitian ini, diharapkan dapat diketahui bahwa pembelajaran bahasa Inggris berbasis pendidikan karakter yang benar-benar diterapkan dalam proses KBM dapat meningkatkan bukan saja prestasi belajar siswa, tetapi juga akhlak-moral atau karakter yang lebih baik. Hal itu sebagai bahan masukan dan pengalaman bagi gurupeneliti untuk selanjutnya bersikap positif demi meningkatkan kualitas pembelajaran.
b. Bagi Kepala Sekolah Dengan mengetahui hasil penelitian ini, kepala sekolah mempunyai sikap yang selalu proaktif terhadap setiap usaha guru untuk mendorong guru aktif meningkatkan profesionalismenya yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan mutu sekolah secara keseluruhan.
c. Bagi Siswa Dengan memiliki guru-guru yang handal yang menyadari akan pentingnya menerapkan model-model pendidikan karakter pada mata
27
pelajaran yang diampu berdasarkan penelitian, siswa akan mendapatkan situasi pembelajaran yang menyenangkan, proses pembelajaran berjalan efektif, efisien dan berkualitas, sehingga diniscayakan hasil belajar siswa akan lebih meningkat dan mempunyai karakter yang baik dan tangguh.
d. Bagi LPTK sebagai Penghasil Guru Dengan mengetahui bahwa model pendidikan karakter yang baik yang menjadi basis dalam pembelajaran bahasa Inggris mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran, diharapkan LPTK sebagai lembaga penghasil guru membekali mahasiswanya dengan materi perkuliahan tentang hal tersebut, sebagai bekal bagi mahasiswa untuk terjun dalam pembelajaran di kelas yang sesungguhnya.
e. Bagi Pemerintah Dengan mengetahui bahwa model pendidikan karakter yang baik, pihak pemerintah dapat membuat kebijakan untuk menyusun dan menerapkan kurikulum yang holistik dan integratif, yaitu kurikulum yang memadukan secara utuh dan seimbang antara penguasaan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, atau memberdayakan antara cipta, rasa, dan karsa, atau antara daya pikir, dzikir (hati), dan gerak (fisik), sehingga terwujud INSAN KAMIL (manusia paripurna).
28
f. Bagi Masyarakat Umumnya Menyadari pentingnya pendidikan karakter untuk membentuk anak didik yang bukan hanya pandai (smart) tapi juga baik (good), sehingga dapat berinteraksi dengan baik dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pada umumnya di mana ia berada. Masyarakat tidak perlu resah dan gelisah pada anak-anak didik semacam ini, karena mereka dididik secara utuhterpadu bukan hanya pada pikirannya, tapi juga pada moral dan mentalspiritual serta gerak fisiknya. Mereka bisa diharapkan menjadi insan-insan yang berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, dan bukan sebaliknya, menjadi beban dan ancaman bagi keluarga, masyarakat, bangsa dan negaranya.
29