BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Praktik kegiatan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia sudah berlangsung sebelum keberadaannya diatur melalui UU No. 28 Tahun 2014. Praktik ini dijalankan oleh Karya Cipta Indonesia (KCI), Wahana Musik Indonesia (WAMI), dan Royalti Anugerah Indonesia (RAI). Eksistensi KCI sebagai LMK dapat dikenali melalui Putusan Pengadilan Negeri Sorong Nomor: 49/Pid.B/1996/PN.Srg.,
Putusan
Pengadilan
Negeri
Bandung
Nomor:
1041/Pid/B/2002/PN.Bdg., Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 17/Hak Cipta/2005/PN. Niaga.Jkt.Pusat., dan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor: 70/Hak Cipta/2005/PN.Niaga.Jkt.Pusat.1
1
Masing-masing kasus berurutan:
Kasus Republik Indonesia v. Ny Amy Wiwiek Suwarni Kwando. Terdakwa Ny Amy Wiwiek Suwardi Kwando, pemilik karaoke/nightclub di Sorong, tidak bersedia membayar royalti hak mengumumkan yang diajukan berkali-kali oleh KCI. Majelis Hakim memutuskan terdakwa Ny Amy Wiwiek Suwardi Kwando sebagai pemilik karaoke/nightclub di Sorong melanggar Pasal 44 ayat (1) jo. Pasal 46 UU No. 7 Tahun 1987. Kasus Republik Indonesia v. Ny Delia Wijaya. Terdakwa Ny Delia Wijaya, pengelola karaoke “Dinda”, tidak bersedia membayar royalti hak mengumumkan yang diajukan tiga kali oleh KCI. Majelis Hakim memutuskan terdakwa Ny Delia Wijaya melanggar Pasal 44 ayat (2) UU No. 12 Tahun 1997 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Kasus KCI v. PT Hotel Sahid Jaya Internasional dan Badan Pengurus Pusat PHRI. Tergugat I (PT Hotel Jaya Internasional) tidak bersedia mengurus perpanjangan lisensi penggugat karena pihak penggugat menaikkan tarif royalti sebesar 500% dari nilai sebelumnya. Tergugat I menegoisasikan untuk membayar lagu yang diumumkan saja, tetapi ditolak penggugat dengan argumen tidak ada mekanisme pembayaran seperti itu. Tindakan tergugat I tersebut dipengaruhi tergugat II (BPP PHRI). Majelis memutuskan para tergugat secara tanggung renteng membayar royalti, denda, dan bunga kepada penggugat.
Eksistensi WAMI sebagai LMK dapat diketahui dari Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor: 1008/Pid.Sus/2014/PN.Banjarmasin,
Putusan
Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor: 10/Pid.Sus/2015/PN.Banjarbaru, dan Putusan
Pengadilan
108/Pid.Sus/2014/PN.Banjarbaru.2
Negeri Eksistensi
Banjarbaru RAI
sebagai
Nomor: LMK
dapat
diidentifikasi melalui Putusan Pengadilan Negeri Pangkalpinang Nomor: 229/Pid.B/2014/PN.Pangkalpinang.3 Ketiga LMK menjalankan administrasi kolektif ciptaan lagu dengan langkah-langkah: (1)mendapatkan kuasa para pencipta lagu untuk mengelola hak ekonomi atas lagu; (2)memberikan seluruh izin pengumuman lagu sebagai satu kesatuan (blanket license) kepada para pengguna lagu (user) serta memungut royaltinya; dan (3)mendistribusikan royalti terkumpul kepada para pemberi
Kasus KCI v. PT Pratama Original Production. Tergugat tidak membayar royalti yang diajukan penggugat. Dalam persidangan, tergugat abstain dan tidak pernah memerintahkan kuasanya yang sah untuk hadir. Majelis Hakim memutuskan tergugat membayar ganti rugi yang terdiri dari royalti dan bunga kepada penggugat. 2
Masing-masing kasus berurutan:
Kasus Republik Indonesia v. Mulyani Sofia. Terdakwa Mulyani Sofia, pemilik Karaoke Purnama Sopie, telah mengumumkan lagu tanpa izin WAMI. Majelis Hakim memutuskan terdakwa Mulyani Sofia melanggar Pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002. Kasus Republik Indonesia v. Enny Meiliynda. Terdakwa Enny Meiliynda, pemilik Nouzha Salon dan Karaoke, telah mengumumkan lagu tanpa izin WAMI. Majelis Hakim memutuskan terdakwa Mulyani Sofia melanggar Pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002. Kasus Republik Indonesia v. Yudi Hartana. Terdakwa Yudi Hartana, pemilik Karaoke Sing a Song, telah mengumumkan lagu tanpa izin WAMI. Majelis Hakim memutuskan terdakwa Yudi Hartana melanggar Pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002. 3
Kasus Republik Indonesia v. Edi Chandra. Terdakwa Edi Chandra, pemilik Karaoke Grand Millenium Club, telah mengumumkan lagu tanpa izin RAI. Majelis Hakim memutuskan terdakwa Edi Chandra melanggar Pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002.
2
kuasa, setelah dikurangi biaya operasional yang di dalamnya termasuk komisi LMK. 4 Ketiga langkah administrasi kolektif ciptaan lagu memperlihatkan bahwa administrasi ciptaan lagu berpangkal dari pemberian kuasa.5 Pemberian kuasa berangkat dari permasalahan tidak sempatnya seseorang menyelesaikan sendiri urusan-urusan akibat kesibukan.6 Orang pertama memerlukan jasa orang kedua untuk menyelesaikan urusan-urusan itu. Orang kedua diberikan kekuasaan dari orang pertama untuk menyelesaikan urusan-urusan atas nama orang pertama.7 Alur pemberian kuasa di atas, dalam konteks praktik kegiatan LMK, berawal dari keterbatasan pencipta lagu untuk mengawasi semua tindakan pengumuman lagu miliknya. Pencipta lagu membutuhkan LMK guna memantau pengumuman lagu. Pencipta lagu memberikan kuasa mengelola hak ekonomi atas ciptaan lagu kepada LMK. LMK bertindak atas nama pencipta lagu untuk berhubungan dengan si pengumum lagu (disebut pengguna lagu (user)) dalam rangka memungut royalti.
Royalti terkumpul, setelah dikurangi biaya
operasional, diserahkan LMK kepada pencipta lagu selaku pemberi kuasa.
4
Otto Hasibuan, 2008, Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society, Alumni, Bandung, hal. 201. 5
Pasal 1792 KUHPer memberikan definisi pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. 6
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 140.
7
Yahya Harahap, 1982, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 307.
3
Dua keuntungan diperoleh pencipta lagu melalui pemberian kuasa kepada LMK. Keuntungan pertama, pencipta lagu tidak perlu memantau pengumuman lagu miliknya yang tersebar karena monitoring tersebut dilakukan LMK.8 Keuntungan kedua, pencipta lagu tidak perlu bertransaksi atas setiap pengajuan izin pengumuman lagu karena transaksi tersebut dijalankan LMK.9 Pengalihan pemantau dan transaksi dari pencipta lagu kepada LMK menimbulkan biaya yang harus dibayarkan pencipta lagu kepada LMK. Biaya pengalihan disebut sebagai biaya operasional LMK. Pembayaran biaya operasional LMK diambil dari total royalti terkumpul sebelum royalti tersebut didistribusikan kepada pencipta lagu. Pembayaran biaya operasional LMK demikian mendapatkan pijakannya melalui Pasal 1794 dan Pasal 1808 KUHPerdata.10 Keuntungan-keuntungan di atas tidak terlihat dalam praktik kegiatan LMK di Indonesia. Keberadaan LMK justru menghadapi perselisihan dari para pencipta lagu maupun resistensi para pengguna lagu (user).11 Perseteruan dari
8
Paul Goldstein, 2001, International Copyright: Principles, Law, and Practice, Oxford University Press, Oxford, hal. 228. 9
William M. Landes dan Richard A. Posner, 2003, The Economic Structure of Intellectual Property Law, The Belknap Press of Harvard University Press, Massachusetts, hal. 30. 10
Pasal 1794 KUHPerdata merumuskan pemberian kuasa diberikan secara cuma-cuma, kecuali diperjanjikan sebaliknya. Pasal 1808 KUHPerdata memberikan kewajiban kepada si pemberi kuasa untuk mengembalikan kepada penerima kuasa persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa untuk melaksanakan kuasanya termasuk membayar upah jika telah diperjanjikan. 11
Wendi Putranto, 2009, Rolling Stones Music Biz: Manual Cerdas Menguasai Bisnis Musik, Penerbit B-First, Yogyakarta, hal. 83.
4
para pencipta lagu diperlihatkan Ahmad Dhani, Melly Goeslaw, Deddy Dores dan A. Rafiq yang memutuskan keluar dari KCI dan bergabung menjadi anggota WAMI setelah keempat pencipta lagu tersebut berselisih dengan KCI mengenai pembayaran royalti. 12 Langkah lebih ekstrim dilakukan Rhoma Irama, Mara Karma Thaib dan M. Mansyur yang keluar dari KCI dan membentuk LMK sendiri (RAI) yang fokus mengelola hak ekonomi atas ciptaan lagu dangdut. 13 Resistensi pengguna lagu (user) ditunjukkan Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi III DPR RI yang mencatat keberatan perusahan hotel dan restauran terhadap standar penarikan royalti LMK.14 Hal sama diperlihatkan Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi A DPRD Jawa Tengah yang mencatat keberatan pengelola Plasa Simpanglima terhadap standar penarikan LMK.15 Keberatan yang sama menjadikan anggota Persatuan Warung Hiburan dan Karaoke Tulungagung (PAWAHIKORTA) bersepakat untuk menolak penarikan royalti LMK. 16
12
http://www.antaranews.com/berita/49454/2006-tahun-perseteruan-musisi-dan-label-rekaman unduh 8 November 2015.
di
13
http://poskotanews.com/2013/03/29/kecewa-dengan-kci-pencipta-dangdut-bentuk-rai/ di unduh 8 November 2015. 14
Laporan Singkat Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI dengan Kabareskrim, Dirjen HKI, dan Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Kamar Dagang Indonesia (KADIN), Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI), KCI dan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) tertanggal 4 Desember 2006. 15
Suara Merdeka, Kamis 8 September 2005.
16
http://www.beritalima.com/2015/08/16/pawahikorta-boikot-pungutan-royalti/ di unduh 8 November 2015.
5
Permasalahan-permasalahan di atas semakin rumit dengan adanya kasus saling klaim hak menarik royalti antara Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) melawan KCI, pertanyaan KCI terhadap alas hak WAMI dalam menarik royalti, sampai KCI tidak lagi menjadi anggota the International Confederation of Societies of Authors and Composers (CISAC)17. Hilir dari berbagai permasalahan dalam praktik kegiatan LMK bermuara pada urgensi pengaturan LMK dalam UU tentang Hak Cipta.18 17
Kasus ASIRI v. KCI, Putusan P.N. Jakarta Selatan Nomor 300/Pdt.G/2007/PN.Jkt.Sel. ASIRI menggugat KCI karena kegiatan KCI memungut royalti merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum. Majelis Hakim memutuskan KCI hanya berhak memungut royalti dari pihak–pihak yang memakai lagu ciptaan para pencipta tapi dengan syarat pencipta lagu memberikan kuasa kepada KCI, dengan catatan pencipta lagu tersebut belum pernah memberikan hak mengumumkan lagu ciptaannya kepada produser rekaman. KCI mempertanyakan alas hak WAMI dalam mewakili kepentingan pencipta lagu. Di unduh dari http://hot.detik.com/music/read/2012/11/14/123804/2091475/228/kci-pertanyakan-surat-kuasa-wami pada 8 November 2015. WAMI dikeluarkan sebagai anggota CISAC. Suara Merdeka, 10 Juni 2013 CISAC adalah asosiasi LMK seluruh dunia yang berkantor pusat di Prancis. Ada tiga tujuan CISAC: advokasi pencipta, membentuk jaringan global yang menginformasikan setiap hak-hak pencipta, dan memberikan bantuan pendirian LMK bagi negara-negara dunia. Di unduh dari http://www.cisac.org/Who-We-Are pada 7 November 2015. 18
Pusat HKI FH UII merilis hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai LMK dalam UU No. 19 Tahun 2002 mengakibatkan: (1)lemahnya hubungan antara pencipta lagu dan LMK; (2)sengketa antar LMK atau antara LMK dengan lembaga lain di bidang industri lagu seperti ASIRI; (3)tidak ada transparansi dalam mengelola dan mendistribusikan royalti; dan (4)terabaikannya kebutuhan pengguna lagu (user). Lihat lebih lanjut Budi Agus Riswandi dan Shabhi Mahmashani, “Problematika Sistem Pemungutan Royalti di Indonesia: Menyongsong Rencana Pembaharuan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta pada Tahun 2010”, Hasil Penelitian Hibah Bersaing 2011. Dalam penelitian disertasinya Hasibuan memperlihatkan tidak adanya pengaturan LMK dalam UU No. 19 Tahun 2002 menempatkan LMK pada posisi yang lemah. Pungutan royalti tanpa pijakan hukum yang jelas di pandang melanggar asas legalitas. Lihat Otto Hasibuan, Op.cit., hal. 230. Penelitian disertasi Nainggolan menunjukkan adanya kebutuhan landasan hukum yang jelas yang memberikan kewenangan kepada LMK untuk memungut royalti dari pengguna lagu (user). LMK perlu diatur dalam UU tentang Hak Cipta. Lihat Bernard Nainggolan, 2011, Pemberdyaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif, Alumni, Bandung, hal. 306
6
Tanggal 16 Oktober 2014 RUU tentang Hak Cipta disahkan menjadi UU No. 28 Tahun 2014. Keberadaan LMK dan pengaturannya menjadi isu yang menarik perhatian.19 Pasal 1 angka 22 UU No. 28 Tahun 2014 mendefinisikan LMK sebagai institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. 20 Pasal ini terhubung dengan Pasal 87 UU No. 28 Tahun 2014 yang meniadakan peluang Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait untuk menarik imbalan dari pengguna tanpa melalui LMK. 21 Praktik kegiatan LMK menjadi penting untuk dilakukan penelitian setidaknya karena empat alasan. Pertama, ada usaha penyeragaman pengelolaan 19
Achmad Zen Purba “Capres, Artis, dan Hak Cipta”, Kompas, 16 Juli 2014.
20
Pasal 1 angka 2 UU No. 28 Tahun 2014 mendefinisikan Pencipta sebagai seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. 20
Pasal 1 angka 4 UU No. 28 Tahun 2014 mendefiniskan Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Pasal 89 ayat (1) huruf b UU No. 28 Tahun 2014 membatasi pemilik hak terkait atas lagu meliputi pelaku pertunjukan dan produser fonogram. 21
Pasal 87 UU No. 28 Tahun 2014 (1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota LMK agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial. (2) Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui LMK. (3) Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan LMK yang berisi kewajiban untuk membayar Royalti atas Hak Cipta dan Hak Terkait yang digunakan. (4) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan Ciptaan dan/ atau produk Hak Terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan LMK.
7
LMK melalui LMK Nasional. Usaha penyeragaman diperlihatkan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 29 Tahun 2014 jo Pasal 89 UU No. 28 Tahun 2014. Penyeragaman LMK mempunyai kelemahan berupa tidak ada pilihan LMK bagi pencipta lagu.22 Beberapa waktu lalu Addie M.S. dan Ebiet G. Ade mengungkapkan bahwa
standar
masing-masing LMK yang
berlainan satu sama
lain
mengakibatkan penerimaan jumlah royalti tidak seragam. 23 Addie M.S. dan Ebiet G. Ade berharap LMK Nasional menyelesaikan permasalahan royalti tersebut.24 Pusat perhatian Addie M.S. dan Ebiet G. Ade wajar jika ditujukan terhadap royalti, karena royalti merupakan insentif pendorong kreatifitas bagi pencipta lagu. 25 Permasalahannya isu penting yang sebenarnya perlu diperhatikan bukan penyeragaman penerimaan royalti tetapi formula distribusi royalti. Hasil penelitian Hasibuan menunjukkan bahwa formula distribusi royalti yang selama ini dijalankan LMK tidak mencerminkan esensi hukum hak cipta yang mendorong kreatifitas, karena: (1)ada pencipta lagu yang lagunya tidak
22
Wenqi Liu, “Model for Collective Management of Copyright from International Perspective: Potential Changes for Enhancing Performance”, Journal of Intellectual Property, Vol. 17 (1), Januari 2012, hal. 47. 23
http://www.cnnindonesia.com/hiburan/20150309193523-227-37835/mengurai-ruwetnya-masalahroyalti-karya-cipta/ di unduh 8 November 2015. http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/15/09/29/nvex11280-ebiet-g-ade-keluhkanperolehan-royalti-musisi di unduh 8 November 2015. 24
Ibid.
25
Lihat Otto Hasibuan, Op.cit., hal. 208.
8
diumumkan tetapi menerima royalti; dan (2)jumlah pengumuman per-lagu tidak terhitung secara tepat, sementara ketidaktepatan jumlah pengumuman per-lagu menjadi dasar LMK untuk mendistribusikan royalti. 26 Pencipta lagu ditempatkan pada posisi sulit. Pada satu sisi kebijakan diarahkan pada penyeragaman LMK melalui LMK Nasional sehingga pencipta lagu tidak mempunyai pilihan LMK, tetapi pada sisi lain formula distribusi royalti yang dijalankan LMK tidak mencerminkan esensi hukum hak cipta yang mendorong kreatifitas. Addie M.S. dan Ebiet G. Ade maupun para pencipta lagu yang lain menjadi sangat dirugikan apabila formula distribusi royalti yang selama ini berjalan dijadikan LMK Nasional sebagai model penyeragaman royalti. Kedua, tidak ada pilihan bagi pengguna lagu (user) selain blanket license bertarif lumpsum. Pencipta lagu, berdasarkan Pasal 87 UU No. 28 Tahun 2014, hanya dimungkinkan memberi izin (lisensi) pengumuman dan menarik royaltinya melalui LMK. Pasal ini memberikan konsekuensi bahwa hubungan antara pengguna lagu (user) dan pencipta lagu dalam rangka transaksi izin pengumuman lagu tidak dimungkinkan terjadi tanpa melalui LMK. Izin pengumuman lagu yang selama ini dijalankan LMK berbentuk blanket license bertarif lumpsum. 27 Pengguna lagu (user) diberikan izin pengumuman untuk seluruh lagu terdaftar (repertiore) dalam satu tahun yang perhitungan royaltinya didasarkan dari ketersediaan fasilitas pengguna lagu 26 27
Ibid., hal. 208 – 210. Ibid., hal. 206.
9
(user) untuk menjangkau konsumen.28 Tidak ada izin pengumuman lagu yang ditawarkan LMK selain blanket license bertarif lumpsum.29 Pengguna lagu (user) seperti pengusaha karaoke yang keberatan dengan blanket license bertarif lumpsum tidak mempunyai alternatif lain untuk mengesahkan pengumuman lagu yang dilakukannya. 30 Keadaan yang sama juga menimpa pengguna lagu (user) seperti perusahaan hotel dan restauran serta perusahaan televisi swasta.31 Legitimasi pengumuman lagu keduanya hanya dapat diperoleh melalui blanket license bertarif lumpsum tanpa alternatif yang lain. 32 LMK tidak menyadari bahwa tindakan demikian menarik perhatian hukum persaingan. Pelekatan izin-izin pengumuman lagu menjadi satu kesatuan (blanket license) dan menjadikannya satu-satunya tawaran kepada pengguna lagu (user) dapat dikategorikan sebagai perjanjian pengikatan (tie-ins atau tying agreement). Perjanjian pengikatan adalah tindakan pelaku usaha yang mensyaratkan konsumen membeli produk ikutan (the tie good) untuk membeli produk utama (the tying good), tanpa ada keterkaitan proses industri diantara
28
Ibid., hal. 206-207.
29
Ibid., hal. 207.
30
http://www.varia.id/2014/12/19/aturan-baru-bikin-ruwet-tarif-hak-cipta-lagu/ di unduh 9 November 2015. 31
Catatan Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi X DPR RI Tahun Sidang 2014-2015 masa persidangan ke-III tanggal 30 Maret 2015, hal. 2. 32
Ibid., hal. 2-3.
10
kedua produk atau bukan dalam rangka menaikkan kualitas produk.33 Perjanjian pengikatan dapat merugikan persaingan dan masyarakat konsumen.34 Perjanjian pengikatan merupakan salah satu dari beberapa jenis perjanjian yang dilarang dalam UU No. 5 Tahun 1999. 35 Perjanjian pengikatan menarik perhatian UU No. 5 Tahun 1999 karena membatasi pelaku usaha pesaing, menghambat pelaku usaha potensial memasuki pasar, menciptakan pasar monopoli dan menjadi sarana menyamarkan praktik penetapan harga dan/atau jual rugi.36 Ketiga, Indonesia turut serta menandatangi perjanjian pembentukan World Trade Organization (WTO) termasuk didalamnya Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang memuat Berne Covention.37 Perjanjian TRIPs – WTO mempunyai dampak yang sangat penting
33
A Framework for the Design and Implementation of Competition law and Policy dari Bank Dunia dan OECD, hal. 75. 34
Ward S. Bowman Jr., “Tying Arrangements and the Leverage Problem”, The Yale Law Journal, Vol. 67 (1), Januari 1957, hal. 19-36. Lihat juga Einer Elhauge, “Tying, Bundled Discounts, and the Death of the Single Monopoly Profit Theory”, Harvard Law Review, vol. 123 (2), desember 2009, hal. 339-348 35
Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. 36
Peraturan KPPU No. 5 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999, hal. 24-25.
37
Diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994 dan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1997.
Article IX TRIPs mewajibkan negara penandatangan untuk mematuhi Article 1-21 Berne Convention, yang pokok-pokoknya antara lain: Pasal 2, berisi perlindungan terhadap ciptaan-ciptaan seperti kesusastraan dan karya-karya seni, karya-karya derivatif, dan kewajiban melindungi; Pasal 3, berisi tentang kriteria pemenuhan syarat perlindungan; Pasal 6 bis, hak moral; Pasal 8, hak terjemahan; Pasal 9 hak reproduksi; Pasal 11, hak-hak tertentu dalam karya drama dan lagu; Pasal 12, hak adaptasi, arasemen dan perubahan lainnya; Pasal 21, ketentuan khusus bagi negara-negara berkembang.
11
terhadap penyusunan perundang-undangan tentang kekayaan intelektual, termasuk undang-undang tentang hak cipta terutama pada negara-negara berkembang. 38 Ada dua prinsip dalam TRIPs, yakni minimum standard dan national treatment.39 Prinsip minimum standard berintikan negara-negara penandatangan diberikan keleluasaan untuk mengatur perlindungan kekayaan intelektual sesuai kemampuan masing-masing. Klausul ini dimaksudkan agar memudahkan negaranegara belum maju menyesuaikan prinsip tersebut.40 Prinsip national treatment berisi pemberian perlakukan sama terhadap perlindungan kekayaan intelektual antara warga negara sendiri dan warga negara lain. 41 LMK dianggap dapat mewujudkan kedua prinsip dalam rangka mentaati Berne Convention.42 Anggapan demikian setidaknya dibuktikan dengan bergabungnya 139 LMK dari 120 negara-negara di dunia menjadi anggota
38
Hendra Tanu Atmadja, 2003, Hak Cipta Musik atau Lagu, Program Pascasarjana FH Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 16. 39
Article 1.1 dan Article 3 TRIPs.
40
Achmad Zen Umar Purba, 2011, Perjanjian TRIPs dan Beberapa Isu Strategis, kerjasama Badan Penerbit FH UI dengan Alumni, Jakarta – Bandung, hal. 29-30. 41
Ibid., hal. 30.
42
Mihaly Ficsor, 2002, Collective Management of Copyright and Related Rights, WIPO, Jenewa, hal. 9 dan 15-17.
12
CISAC. 43 WAMI merupakan LMK asal Indonesia yang saat ini menjadi anggota CISAC. 44 Keempat, penelitian mengenai LMK ini menjadi penting karena minimnya konstribusi ekonomi hak mengumumkan lagu terhadap industri lagu di Indonesia. International Federation of Phonograpic Industries (IFPI) Recording Industry in Numbers: The Recorded Music in Market 2011 merilis peringkat pasar industri lagu kawasan Asia Tenggara berurutan Thailand (26), Indonesia (31), Malaysia (35), Singapura (38), dan Filipina (42).45 Khusus untuk Indonesia, tidak ada konstribusi ekonomi hak mengumumkan lagu dalam mencapai peringkat tersebut.46 World Intelletual Property Organization (WIPO): Study on the Economic Contribution of Copyright and Related Rights Industries in Indonesia 2013 menyebutkan bahwa konstribusi ekonomi hak mengumumkan lagu terhadap pendapatan nasional Indonesia sejumlah Rp. 13 milyar. Jumlah terkecil dibandingkan konstribusi lapangan hak cipta yang lain seperti pers dan literatur (Rp. 61,8 trilyun), industri lagu non-pengumuman (Rp. 5,9 trilyun), gambar dan 43
http://www.cisac.org/Our-Members/Member-Directory/By-Repertoire#mu di unduh 12 November 2015. 44
WAMI menjadi anggota CISAC pada tahun 2012. CISAC Societies Codes Listing September 2015 hal. 7. 45
Peringkat pasar industri musik kawasan Asia Tenggara: Thailand (26), Indonesia (31), Malaysia (35), Singapura (38), dan Filipina (42). IFPI Recording Industry in Numbers: The Recorded Music in Market 2011, Edisi 2012, hal. 93. 46
Sementara negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia, Singapura dan Filipina terdapat konstribusi dari industri lagu. IFPI Recording Industry in Numbers: The Recorded Music in Market 2011, Edisi 2012, hal. 69, 71, 72 dan 76.
13
video (Rp. 5,3 trilyun), radio dan televisi (Rp. 66,9 trilyun), photografi (Rp. 10 trilyun), perangkat lunak dan database (Rp. 5,8 trilyun), seni grafik dan visual (Rp. 2 trilyun), dan jasa advertising (Rp. 10 trilyun).47 Hak mengumumankan lagu yang tidak atau belum berdampak ekonomi signifikan sebagaimana hasil penelitian International Federation of Phonograpic Industries (IFPI) Recording Industry in Numbers: The Recorded Music in Market 2011 dan World Intelletual Property Organization (WIPO): Study on the Economic Contribution of Copyright and Related Rights Industries in Indonesia 2013 di atas menempatkan LMK pada posisi penting untuk memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian mengenai latar belakang, dirumuskan tiga masalah penting sebagai berikut: 1. Bagaimana kinerja Lembaga Manajemen Kolektif dalam perspektif pencipta lagu dan pengguna lagu (user)? 2. Bagaimana bentuk-bentuk tindakan Lembaga Manajemen Kolektif yang mengarah pada tindakan yang dapat dianggap melanggar larangan hukum persaingan Indonesia?
47
WIPO National Studies on Assessing the Economic Contribution of the Copyright-Based Industries:Creative Industries Series No. 8, September 2013, hal. 157.
14
3. Bagaimana kinerja Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia masa mendatang yang selaras dengan hukum persaingan?
C. Tujuan Penelitian Mengacu kepada pokok masalah sebagaimana telah dirumuskan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah 1. Mengkaji dan menjelaskan kinerja LMK dalam perspektif pencipta lagu dan pengguna lagu (user). Kajian akan menyentuh praktik LMK yang selama ini berjalan, substansi pengaturan LMK dalam UU No. 28 Tahun 2014, argumentasi pengaturan LMK dalam RUU Hak Cipta, dan rujukan negara lain terkait pengaturan LMK dalam RUU Hak Cipta. 2. Memahami dan menganalisis secara mendalam tindakan LMK yang mengarah pada pelanggaran larangan hukum persaingan Indonesia. Analisis akan menyentuh pada struktur perilaku dan kinerja LMK, bentuk-bentuk tindakan LMK yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar hukum persaingan Indonesia, dan pengalaman negara-negara lain berkenaan dengan tindakan LMK yang melanggar larangan hukum persaingan. 3. Menemukan dan merekomendasikan arah penataan LMK yang ideal di Indonesia masa mendatang dalam rangka optimalisasi kesejahteraan pencipta lagu dan pengguna lagu (user).
15
D. Keaslian Penelitian Dalam pengetahuan dan dari pengamatan penulis belum pernah ada penelitian yang secara khusus dilakukan terhadap bidang yang diusulkan penulis. Disertasi A.M. Tri Anggraini dari Universitas Indonesia, yang pada tahun 2003 sudah dibukukan dengan judul “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat: Perse Illegal atau Rule of Reason” membatasi permasalahan tentang ketentuan yang bersifat perse illegal dan rule of reason dan apakah tindakan pelaku usaha hanya dapat dinilai semata-mata dalam rangka mencapai efisiensi dan perlindungan konsumen, serta bagaimana penerapan keduanya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.48 Hasil penelitian Anggraini menyimpulkan: (1)metode rule of reason akurat dari sudut efisiensi meskipun pada sisi lain metode ini tidak membawa kepastian bagi pelaku usaha; (2)kesulitan pendekatan rule of reason karena adanya perbedaan pemahaman tentang kekuatan pasar di kalangan ekonom, ini berbeda dengan pendekatan perse illegal yang tidak memerlukan penilaian akibat ekonomi dari tindakan pelaku usaha; (3)tindakan tertentu tidak dapat dinilai dengan kedua pendekatan semata-mata dalam rangka mencapai efisiensi dan melindungi konsumen, ini menitikberatkan pada kebutuhan kasus per-kasus;
48
A.M.T. Anggraini, 2003, Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat: Perse Illegal atau Rule of Reason, Program Pascasarjana FH UI Depok, Jakarta, hal. 9.
16
(4)kedua pendekatan dalam UU No. 5 Tahun 1999 tidak selalu tepat, dipandang dari kesesuaian dengan negara lain. 49 Disertasi Johnny Ibrahim dari Universitas Airlangga, yang pada tahun 2006 sudah dibukukan dengan judul “Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia” membatasi permasalahan pada filosofi dan teori dari hukum persaingan yang berlaku di beberapa negara serta perwujudannya pada UU No. 5 Tahun 1999.50 Penelitian Ibrahim memberikan konklusi: (1)secara filosofis mekanisme pasar dapat berlangsung dengan baik dalam sebuah pasar persaingan sempurna, sekalipun dalam kenyataan tidak pernah hadir, dan ini memerlukan intervensi untuk menjaga kemurnian dan integritas pasar itu sendiri; (2)terselenggaranya persaingan yang sehat, tertib, dan adil akan memberikan pengaruh positif terhadap bekerjanya mekanisme pasar secara wajar dan efisien; (3)UU No. 5 Tahun 1999 mengandung prinsip bagai terselenggarnya persaingan sehat, sekalipun mengandung beberapa kelemahan; dan (4)secara filosofis UU No. 5 Tahun 1999 sebagai produk hukum ekonomi berdasar Pasal 33 UUD 1945 yang berformat sosialisme pasar.51 Disertasi Ningrum Natasya Sirait dari Universitas Sumatera Utara (USU) yang pada tahun 2009 telah diterbitkan buku berjudul “Asosiasi & Persaingan 49
Ibid., 399-403.
50
Johnny Ibrahim, 2006, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya di Indonesia, Banyumedia Publishing, Malang, hal. 27 – 28. 51
Ibid., hal. 295-298.
17
Usaha Tidak Sehat” fokus pada pada peran, perilaku maupun tindakan-tindakan asosiasi dalam dunia usaha Indonesia sebelum dan sesudah berlakunya UU No. 5 Tahun 1999 yang dianggap menghambat proses persaingan di pasar. Penelitian ini juga meneliti mengenai pendapat asosiasi setelah diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1999 dan antisipasi berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. 52 Kesimpulan penelitian Sirait meliputi: (1)asosiasi secara umum bersifat positif dan berperan sebagai kemitraan pemerintah; (2)sebagian asosiasi yang perilakunya menghambat persaingan tidak mengetahui perilakunya menjauhkan efisiensi nasional dan kesejahteraan umum; (3)era otonomi daerah dimanfaatkan aosiasi untuk berperan aktif dalam proses legislasi yang menyangkut kepentingan mereka
dan
itu
mengakibatkan
persaingan
lokal
terganggu;
dan
(4)diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999 memerlukan peran aktif dari KPPU untuk mengadvokasi pemerintah agar kebijakan yang dilakukan tidak menguntungkan sekelompok orang saja.53 Disertasi Otto Hasibuan dari Universitas Gadjah Mada pada tahun 2008 sudah dibukukan berjudul “Hak Cipta di Indonesia: Tinjauan Khusus Hak Cipta Lagu, Neighbouring Rights, dan Collecting Society“ menyoroti pencipta lagu dan pemegang hak terkait khususnya penyanyi dan pemusik menurut hukum hak cipta dalam hal (1)perlindungan hak ekonomi; (2)perolehan manfaat dari
52
Ningrum Natasya Sirait, 2009, Assosiasi & Persaingan Tidak Sehat, Pustaka Bangsa Press, Medan, hal. 23. 53
Ibid., hal. 230-236.
18
pemakaiaan atau penggunaan lagu oleh masyarakat; dan (3)kaitan perlindungan hak ekonomi dengan hak konsumen. 54 Hasil penelitian Hasibuan menyimpulkan: (1)belum ada political will dari pemerintah untuk menegakkan hak cipta yang secara realitas ditunjukkan banyaknya pelanggaran hak cipta; (2)perolehan manfaat yang seharusnya didapat pemilik hak yang dianggap bukan hal penting oleh pemerintah, sebagaimana ditunjukkan ketidakpedulian terhadap LMK yang kuat dan berwibawa; serta (3)tidak ada pertautan antara hukum perlindungan konsumen dengan hukum hak cipta, meskipun Pasal 570 KUHPer dapat digunakan sebagai acuan, namun timbul persoalan lain terkait isu batasan kapan pemilik kaset, CD atau VCD dapat bebas menggunakan lagu, dan kapan harus mendapatkan izin pencipta.55 Disertasi Bernard Nainggolan dari Universitas Padjajaran Bandung yang pada tahun 2011 telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul “Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Kolektif” mengajukan pertanyaan: (1)bagaimana pemberdayaan hukum hak cipta dalam perlindungan hukum ekonomi hak ekonomi pencipta lagu yang menyejahterakan pencipta lagu atau musik; (2)bagaimanakah fungsi LMK dalam mewujudkan hak ekonomi pencipta lagu atau musik untuk meningkatkan pendapatan pencipta lagu atau musik dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional; dan (3)bagaimanakah peranan hukum hak cipta yang berdaya sebagai sarana mendorong pembaharuan masyarakat 54
Otto Hasibuan, Op.cit., hal. 17.
55
Ibid., hal. 252, 265 dan 272
19
berparadigma perlindungan hak ekonomi pencipta lagu atau musik dalam rangka pertumbuhan ekonomi nasional. 56 Penelitian Nainggolan memberikan konklusi: (1)UU No. 19 Tahun 2002 tidak mengatur hak cipta secara komprehensif, dan terjadi banyak pelanggaran hak cipta sera penegakan hukum yang tidak maksimal; (2)LMK masih memerlukan penguatan dari berbagai sisi dan memerlukan formal ideal, efektif dan responsif serta progesif terhadap era digital saat ini; dan (3)perlu didukung konsep pemikiran bahwa hukum hak cipta harus memberi keadilan dan kesejahteraan bagi pencipta dan masyarakat. 57 Keseluruhan penelitian hukum persaingan di atas tidak ada yang memusatkan perhatian pada praktik kegiatan LMK. Keseluruhan penelitian tentang LMK yang ada fokus dari domain hukum hak cipta. Ruang lingkup, isi, arah penelitian serta masalah-masalah yang dirumuskan dan diajukan penulis melalui penelitian ini sangat berbeda. Penelitian ini mencari jawaban tentang: (1)Bagaimana kinerja Lembaga Manajemen Kolektif dalam perspektif pencipta lagu dan pengguna lagu (user)?; (2)Bagaimana bentuk-bentuk tindakan Lembaga Manajemen Kolektif yang mengarah pada tindakan yang dapat dianggap melanggar larangan hukum persaingan Indonesia?; dan (3)Bagaimana kinerja Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia masa mendatang yang selaras dengan hukum persaingan? 56
Bernard Nainggolan, Op.cit., hal. 20-21.
57
Ibid., hal. 327-329.
20
E. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Penelitian ini memberikan pemahaman mengenai persoalan yang melingkupi praktik kegiatan LMK. Penelitian bermanfaat memberikan penjelasan hubungan pencipta lagu dengan LMK serta tujuan sesungguhnya dari hubungan tersebut. Penelitian bermanfaat khususnya menjelaskan hubungan pengguna lagu (user) dengan LMK sebagai perwujudan efisiensi alokasi. Hasil penelitian diharapkan menghadirkan konsepsi tentang bagaimana hukum, seharusnya memberikan perhatian terhadap LMK. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran tentang upayaupaya mendorong keberadaan LMK untuk mensejahterakan pencipta lagu dan pengguna lagu (user). Kesejahteraan optimal tersebut diharapkan memberikan konstribusi ekonomi terhadap pendapatan nasional Indonesia khususnya dari sektor industri lagu, sekaligus menjaga martabat Indonesia sebagai negara yang mentaati konvensi-konvensi internasional tentang hak cipta.
21