BAB I PENDAHULUAN
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversible atau reversible parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkhitis kronik sendiri ditandai dengan adanya batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurangkurangnya dua tahun berturut-turut, dan tidak disebabkan penyakit lainnya. Sedangkan emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronis juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversible penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.1,2 Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting dari PPOK, jauh lebih penting daripada faktor penyebab lainnya. Selain itu, faktor risiko lain yang dapat menyebabkan PPOK diantaranya adalah hipereaktiviti bronkus, riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang, dan riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja.2,3 Di Indonesia, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1986, asma, bronkitis kronik, dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis, dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Faktor yang berperan dalam peningkatan tersebut diantaranya adalah kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70%), polusi udara terutama di kota besar, dan industrialisasi. Karena jumlah dan tingkat mortalitas akibat kasus PPOK di Indonesia adalah tinggi, maka sebagai dokter umum harus dapat mengenali dan melakukan terapi pada PPOK.3
BAB II LAPORAN KASUS IDENTIFIKASI Nama
: Tn. A
Umur
: 52 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Buruh Bangunan
Agama
: Islam
Alamat
: Negeri Agung
Tanggal Masuk
: 19 Oktober 2014
Tanggal Periksa
: 19 Oktober 2014
No RM
: 01.68.31
ANAMNESIS Keluhan utama Sesak yang bertambah hebat sejak 7 hari SMRS Keluhan tambahan Nyeri ulu hati sejak 7 hari SMRS Riwayat perjalanan penyakit Sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien juga mengeluh sesak, sesak dipengaruhi aktivitas bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, nafas bunyi mengi (+), pasien mengeluh batuk yang tidak berdahak, darah tidak ada. Demam ada tapi tidak terlalu tinggi (+), keringat malam hari (+), nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (+), BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke puskesmas dan dirawat selama 10 hari. Pasien mengkonsumsi obat paket selama 6 bulan. Pasien berhenti minum obat setelah dinyatakan sembuh oleh dokter yang meratwat.
± 1 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, sering terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, bunyi mengi (+), batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 1 sendok teh, demam (+) ada tidak terlalu tinggi , nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan turun (+), keringat malam (+) BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke praktek dokter. Dan mengalami perbaikan, batuk dan sesak berkurang. ± 7 hari SMRS pasien mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila berjalan sejauh ±10 meter, nafas bunyi mengi (+), batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 2 sendok teh, demam ada namun tidak terlalu tinggi. Pasien mengeluh sering terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun (+). Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati (+), mual (+), mutah (-), perut terasa penuh (+), selalu bersendawa (+). BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke SpPd namun tidak ada perbaiakan. Kemudian pasien berobat ke RSMH dan dirawat. Riwayat penyakit dahulu -
Riwayat nafas berunyi mengi (+) sejak 2 tahun yang lalu, pencetus mengi udara dingin, pasien menggunakan obat yang disemprot setiap kali
-
serangan. Riwayat alergi makanan tidak ada. Riwayat bersin-bersin udara dingin ada. Riwayat sakit darah tinggi disangkal. Riwayat kencing manis disangkal. Riwayat sakit jantung sebelumnya disangkal Riwayat minum obat-obatan NSAID disangkal.
Riwayat kebiasaan -
Riwayat merokok sejak umur 10 tahun hingga 2 tahun 1 bungkus per hari.
Riwayat penyakit keluarga -
Riwayat penyakit di keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
Riwayat sosioekonomi -
Status ekonomi kurang
Status gizi Diet sebelum sakit: makan 3 kali sehari, teratur, porsi satu piring. Variasi diet: Karbohidrat
: nasi, sebanyak 1 piring
Protein
: tahu, tempe sering
Lemak
: ikan, ayam, daging, ± 1potong, jarang
Sayur
: sering, sayur bayam atau kangkung
Susu
: jarang
II. PEMERIKSAAN FISIK (Pemeriksaan Tanggal 26 Maret 2012) Keadaan umum
: Tampak sakit
Keadaan sakit
: Sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Gizi
: kurang
Dehidrasi
:-
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 78 x/ menit
Pernapasan
: 22x/ menit
Suhu
: 36,8°C
BB
: 44 kg
TB
: 165 cm
IMT
: 16,16 kg/m3
Keadaan spesifik Kulit
Warna sawo matang, turgor kembali cepat, ikterus pada kulit (-), sianosis (-), scar (-), keringat umum (-), keringat setempat (-), pucat pada telapak tangan dan kaki (-), pertumbuhan rambut normal. KGB Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla, leher, inguinal dan submandibula serta tidak ada nyeri penekanan. Kepala Bentuk oval, simetris, ekspresi sakit sedang, deformitas (-), rambut putih, lurus, tidak mudah dicabut. Mata Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), pupil isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya (+) normal, pergerakan mata ke segala arah baik. Hidung Bagian luar tidak ada kelainan, septum dan tulang-tulang dalam perabaan baik, tidak ditemukan penyumbatan maupun pendarahan, pernapasan cuping hidung (-). Telinga Tophi (-), nyeri tekan prosesus mastoideus (-), pendengaran baik. Mulut Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), atrofi papil (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-), rhagaden (-), bau pernapasan khas (-), faring tidak ada kelainan, pursed lips breathing (-). Leher
Pembesaran kelenjar getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), Hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (+), JVP (5-2) cmH2O, kaku kuduk (-). Dada Dada simetris pada kondisi statis, bentuk barrel chest, sela iga melebar. Pada kondisi dinamis dada kanan dan kiri tidak ada yang tertinggal,
retraksi
suprasternal (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok di dada (-), krepitasi (-). Paru-paru I
: Statis simetris, dinamis kanan = kiri tidak ada yang tertinggal, sela iga melebar (+), retraksi suprasternal (-)
P
: Stem fremitus melemah pada kedua lapangan paru-paru, sela iga melebar (+).
P
: Perkusi hipersonor pada kedua lapangan paru, batas paru-hepar pada ICS VII
A
: Vesikuler (+) melemah pada kedua lapangan paru, ronkhi basah sedang pada kedua apeks paru, wheezing (+).
Jantung I
: Ictus cordis tidak terlihat
P
: Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikularis sinistra
P
: Sulit dinilai
A
: HR: 78x/ menit, murmur (-), gallop (-)
Abdomen I
: Datar
P
: Lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae, tajam, rata, konsistensi kenyal, lien tidak teraba.
P
: thympani, nyeri ketok (-), nyeri tekan (+) di epigastrium
A
: BU (+) Normal
Alat kelamin
Tidak diperiksa Ekstremitas atas Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat. Ektremitas bawah Eutoni, eutrofi, gerakan bebas, kekuatan +5, nyeri sendi (-), edema pretibial (-), jaringan parut (-), pigmentasi normal, jari tabuh (-), akral hangat, turgor kembali cepat.
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG PEMERIKSAAN LABORATORIUM (19 Maret 2012) Hasil Pemeriksaan Hematologi: Pemeriksaan
Hasil
Normal
Hb
13,8 g/dl
14-18 g/dl
Eritrosit
4.240.000
4,5-5,5 juta/mm3
Ht
39 vol%
40-48 vol%
Leukosit
9.200/mm3
5000-10.000/mm3
Trombosit
314.000/ mm3
200.000-500.000/ mm3
LED
10 mm/jam
L < 10 mm/jam, P < 15 mm/jam
Basofil
0%
0-1 %
Eosinofil
3%
1-3%
Batang
0%
2-6%
Segmen
60%
50-70%
Limfosit
24%
20-40%
Monosit
8%
2-8%
Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik:
Pemeriksaan BSS Cholesterol Total Ureum Creatinin Bilirubin total Bilirubin direk Bilirubin indirek SGOT SGPT Natrium Kalium
Hasil 80 mg/dl 142 mg/dl 27 mg/dl 0,8 mg dl 1,14 mg/dl 0,24 mg/dl 0,9 mg/dl 17 U/I 10 U/I 148 mmol/l 5,1 mmol/l
Normal < 200 mg/dl 15-39 mg/dl L 0,9-1,3 mg/dl, P 0,6-1,0 mg/dl 0,1-1,0 mg/dl <0,25 mg/dl <0,75 mg/dl <40 U/I <41 U/I 135-155 mmol/l 3,5-5,5 mmol/l
Pemeriksaan radiologi Foto thorax PA (tanggal 19 Maret 2012)
Gambar 1: Foto rontgen thorax -
Kualitas foto kurang baik asimetris Trakea di tengah Tulang-tulang baik Sela iga melebar Diafragma tenting (-) CTR < 50% Sudut costophrenicus tumpul
-
Parenkim paru : infiltrat di apeks kiri dan kanan, hiperaerasi
Kesan : TB aktif lesi sedang, PPOK.
RESUME Seorang laki-laki berinisial Tn.B, berumur 70 tahun, MRS tanggal 21 Maret 2012 dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah hebat sejak ± 7 hari SMRS. Sejak ± 1 tahun yang lalu, pasien juga mengeluh sesak, sesak dipengaruhi aktivitas bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, nafas bunyi mengi (+), pasien mengeluh batuk yang tidak berdahak, darah tidak ada.
Demam ada tapi tidak terlalu tinggi (+), keringat malam hari (+), nafsu makan menurun (+), berat badan menurun (+), BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke puskesmas dan dirawat selama 10 hari. Pasien mengkonsumsi obat paket selama 6 bulan. Pasien berhenti minum obat setelah dinyatakan sembuh oleh dokter yang meratwat. ± 1 bulan SMRS pasien mengeluh sesak nafas, sesak dipengaruhi aktivitas (+) bila berjalan sejauh ±50 meter, tidak dipengaruhi cuaca dan emosi, sering terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, bunyi mengi (+), batuk (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 1 sendok teh, demam (+) ada tidak terlalu tinggi , nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan turun (+), keringat malam (+) BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke praktek dokter. Dan mengalami perbaikan, batuk dan sesak berkurang. ± 7 hari
SMRS pasien mengeluh sesak nafas semakin hebat, sesak
dipengaruhi aktivitas (+) bila berjalan sejauh ±10 meter, nafas bunyi mengi (+), batuk makin sering (+), berdahak (+), dahak putih kental ± 2 sendok teh, demam ada namun tidak terlalu tinggi. Pasien mengeluh sering terbangun di malam hari karena sesak (-), pasien tidur dengan 1 bantal, nyeri dada (-), dada berdebar (-), kaki bengkak (-), nafsu makan menurun (+). Pasien juga mengeluh nyeri ulu hati (+), mual (+), mutah (-), perut terasa penuh (+), selalu bersendawa (+). BAB dan BAK biasa. Pasien kemudian berobat ke SpPd namun tidak ada perbaiakan. Kemudian pasien berobat ke RSMH dan dirawat. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, keadaan compos mentis. Tekanan darah pasien 110/70 mmHg, nadi 78 x/menit, pernafasan 22 x/menit, pada pemeriksaan paru didapatkan barrel chest, sela iga melebar, hipersonor pada kedua lapangan paru, stemfremitus menurun pada kedua lapangan paru, vesikuler (+) melemah pada kedua lapangan paru, ronki basah sedang di kedua apex paru. Pada pemeriksaan jantung didapatkan batas jantung sulit dinilai. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan hepar teraba 1 jari dibawah arkus kosta, permukaan rata, tepi tajam, konsistensi
kenyal. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan adanya nyeri tekan di daerah epigastrium. Dari pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya kelainan. Dari pemeriksaan rontgen thorak didapatkan kesan adanya infiltrat di kedua apex paru, sudut costofrenikus >90%, sela iga melebar, dan hiperaerasi. Diagnosis kerja: PPOK eksaserasi akut + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom dispepsia Diagnosis banding: Asma attack + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom dispepsia Penatalaksanaan: Nonfarmakologis
Istirahat Diet nasi biasa tinggi kalori tinggi protein.
Farmakologis
IVFD D5% gtt X/menit (mikro) + Aminophillin I amp gtt xx OBH sirup 3x1 c Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV Salbutamol 3x1 mg tab Neulizer combivent jika sesak Omeprazol 1x20 mg Antasid sirup 3x1 c
Rencana Pemeriksaan o o o o o
Spirometri Sputum I,II,III Kultur MTB dan uji resistensi Analisis gas darah Feces rutin
Prognosis: Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad Functionam
: Dubia ad malam
PERKEMBANGAN SELAMA RAWAT INAP Tanggal S:
22 Maret 2012 Sesak nafas (+), batuk (+), nyeri ulu hati (+)
O: keadaan umum -
Sensorium TD (mmHg) Nadi (x/mnt) Pernapasan (x/mnt) Suhu (°C)
-compos mentis -100/60 mmHg -100x/mnt -30x/mnt -36,8°C
Keadaan spesifik Kepala
-conjunctiva palpebra pucat (-) - sklera ikterik (-) Leher -(5-2) cmH2O Thoraks
-pembesaran KGB (-)
Cor: I: Ictus cordis tidak terlihat. P: Ictus cordis teraba ICS V linea midclavicularis. P: Batas jantung sulit dinilai. A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-) Pulmo: .
I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel chest (+), sela iga melebar, retraksi dinding dada
(+), penggunaan alat
bantu pernafasan (+) Dinamis: simetris kanan dan kiri, pergerakan dinding dada tertinggal (-) P: stem fremitus menurun di kedua lapangan paru, sela iga melebar (+). P: hipersonor dikedua lapangan paru, batas paru-hepar padan ICS VII. A: vesikuler (+) menurun di kedua lapangan paru, RBS di kedua apex paru, wheezing
(+) ekspirasi, ekspirasi
memanjang. Abdomen: I: datar P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah arkus
kosta,
tepi
tajam,
kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri tekan (+) di epigastrium, P: timpani, nyeri ketok (-) A: Bising usus (+) normal Ekstremitas : Clubing Finger(+), edema pretibial (-), akral dingin (-) A:
PPOK eksaserbasi akut + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom dispepsia.
P:
Nonfarmakologis
Istirahat Diet nasi biasa tinggi kalori tinggi protein.
Farmakologis
O2 2 L/mnt IVFD D5% gtt X/menit (mikro)
+ Aminophillin I amp gtt xx OBH sirup 3x1 c Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV Omeprazol 1x20 mg Antasid sirup 3x1 c Salbutamol 3x1 mg tab Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan o o o o o
Tanggal
Spirometri Sputum I,II,III Kultur MTB dan uji resistensi Analisis gas darah Feces rutin
23 Maret 2012
S:
Sesak nafas (+), batuk (+), nyeri ulu hati (+) berkurang.
O: keadaan umum -
Sensorium TD (mmHg) Nadi (x/mnt) Pernapasan (x/mnt) Suhu (°C)
-compos mentis -110/60 mmHg -80x/mnt -26x/mnt -36,8°C
Keadaan spesifik Kepala -conjunctiva palpebra pucat (-) - sklera ikterik (-) Leher -(5-2) cmH2O Thoraks
-pembesaran KGB (-)
Cor: I: Ictus cordis tidak terlihat. P: Ictus cordis teraba ICS V linea midclavicularis. P: Batas jantung sulit dinilai. A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-) Pulmo: .
I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel chest (+), sela iga melebar, retraksi dinding dada
(+), penggunaan alat
bantu pernafasan (+) Dinamis: simetris
kanan dan kiri,
pergerakan dinding dada tertinggal (-) P: stem fremitus menurun di kedua lapangan paru, sela iga melebar (+).
P: hipersonor dikedua lapangan paru, batas paru-hepar padan ICS VII. A: vesikuler (+) menurun di kedua lapangan paru, RBS di kedua apex paru, wheezing
(+) ekspirasi, ekspirasi
memanjang. Abdomen: I: datar P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah arkus
kosta,
tepi
tajam,
kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri tekan (+) di epigastrium, P: timpani, nyeri ketok (-) A: Bising usus (+) normal Ekstremitas : Clubing Finger(+), edema pretibial (-), akral dingin (-) A:
PPOK eksaserbasi akut + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + sindrom dispepsia dengan perbaikan
P:
Nonfarmakologis
Istirahat Diet nasi biasa tinggi kalori tinggi protein.
Farmakologis
Aminophillin 3x1 tab OBH sirup 3x1 c Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV Omeprazol 1x20 mg Antasid sirup 3x1 c
Salbutamol 3x1 mg tab Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan o o o o o
Tanggal S:
Spirometri Sputum I,II,III Kultur MTB dan uji resistensi Analisis gas darah Feces rutin
24 Maret 2012 Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+) berkurang , nyeri ulu hati (+) berkurang
O: keadaan umum -
Sensorium TD (mmHg) Nadi (x/mnt) Pernapasan (x/mnt) Suhu (°C)
-compos mentis -110/70 mmHg -88x/mnt -24x/mnt -36,8°C
Keadaan spesifik Kepala -conjunctiva palpebra pucat (-) - sklera ikterik (-) Leher -(5-2) cmH2O Thoraks
-pembesaran KGB (-)
Cor: I: Ictus cordis tidak terlihat. P: Ictus cordis teraba ICS V linea midclavicularis. P: Batas jantung sulit dinilai. A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II
Pulmo:
normal, murmur (-), gallop (-)
. I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel chest (+), sela iga melebar, retraksi dinding dada
(-), penggunaan alat
bantu pernafasan (-) Dinamis: simetris kanan dan kiri, pergerakan dinding dada tertinggal (-) P: stem fremitus menurun di kedua lapangan paru, sela iga melebar (+). P: hipersonor dikedua lapangan paru, batas paru-hepar padan ICS VII. A: vesikuler (+) menurun di kedua lapangan paru, RBS di kedua apex paru, wheezing Abdomen:
(+) ekspirasi, ekspirasi
memanjang. I: datar P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah arkus
kosta,
tepi
tajam,
kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri tekan (+) di epigastrium, P: timpani, nyeri ketok (-) Ekstremitas :
A: Bising usus (+) normal Clubing Finger(+), edema pretibial (-), akral dingin (-)
A:
PPOK
eksaserbasi
akut
dengan
perbaikan + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + Sindrom dispepsia
dengan perbaikan P:
Nonfarmakologis
Istirahat Diet nasi biasa tinggi kalori tinggi protein.
Farmakologis
Aminofilin tab 3x1 OBH sirup 3x1 c Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV Omeprazol 1x20 mg Antasid sirup 3x1 c Salbutamol 3x1 mg tab Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan o o o o o
Tanggal S:
Spirometri Sputum I,II,III Kultur MTB dan uji resistensi Analisis gas darah Feces rutin
25 Maret 2012 Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+) berkurang, nyeri ulu hati (+) berkurang
O: keadaan umum -
Sensorium TD (mmHg) Nadi (x/mnt) Pernapasan (x/mnt) Suhu (°C)
-compos mentis -120/80 mmHg -80x/mnt -22x/mnt -36,8°C
Keadaan spesifik Kepala -conjunctiva palpebra pucat (-)
- sklera ikterik (-) Leher -(5-2) cmH2O Thoraks
-pembesaran KGB (-)
Cor: I: Ictus cordis tidak terlihat. P: Ictus cordis teraba ICS V linea midclavicularis. P: Batas jantung sulit dinilai. A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-) Pulmo: .
I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel chest (+), sela iga melebar, retraksi dinding dada
(-), penggunaan alat
bantu pernafasan (-) Dinamis: simetris kanan dan kiri, pergerakan dinding dada tertinggal (-) P: stem fremitus menurun di kedua lapangan paru, sela iga melebar (+). P: hipersonor dikedua lapangan paru, batas paru-hepar padan ICS VII. A: vesikuler (+) menurun di kedua lapangan paru, RBS di kedua apex paru, wheezing (-) ekspirasi. Abdomen: I: datar P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah arkus
kosta,
tepi
tajam,
kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri tekan (+) di epigastrium,
P: timpani, nyeri ketok (-) A: Bising usus (+) normal Ekstremitas : Clubing finger(+), edema pretibial (-), akral dingin (-) A:
PPOK
eksaserbasi
akut
dengan
perbaikan + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + sindrom dispepsia dengan perbaikan P:
Nonfarmakologis
Istirahat Diet nasi biasa tinggi kalori tinggi protein.
Farmakologis
OBH sirup 3x1 c Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV Omeprazol 1x20 mg Antasid sirup 3x1 c Salbutamol 3x1 mg tab Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan o o o o o
Tanggal S:
Spirometri Sputum I,II,III Kultur MTB dan uji resistensi Analisis gas darah Feces rutin
26 Maret 2012 Sesak nafas (+) berkurang, batuk (+)
berkurang , nyeri ulu hati (+) berkurang O: keadaan umum -
Sensorium TD (mmHg) Nadi (x/mnt) Pernapasan (x/mnt) Suhu (°C)
-compos mentis -100/60 mmHg -80x/mnt -28x/mnt -36,8°C
Keadaan spesifik Kepala -conjunctiva palpebra pucat (-) - sklera ikterik (-) Leher -(5-2) cmH2O Thoraks
-pembesaran KGB (-)
Cor: I: Ictus cordis tidak terlihat. P: Ictus cordis teraba ICS V linea midclavicularis. P: Batas jantung sulit dinilai. A: HR: 80x/mnt, reguler, BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-) Pulmo: .
I: statis simetris kanan dan kiri, Barrel chest (+), sela iga melebar, retraksi dinding dada
(-), penggunaan alat
bantu pernafasan (-) Dinamis: simetris kanan dan kiri, pergerakan dinding dada tertinggal (-) P: stem fremitus menurun di kedua lapangan paru, sela iga melebar (+). P: hipersonor dikedua lapangan paru,
batas paru-hepar padan ICS VII. A: vesikuler (+) menurun di kedua lapangan paru, RBS di kedua apex paru, wheezing (-) ekspirasi. Abdomen: I: datar P: lemas, hepar teraba 1 jari di bawah arkus
kosta,
tepi
tajam,
kenyal,
permukaan rata, lien tidak teraba, nyeri tekan (+) di epigastrium, P: timpani, nyeri ketok (-) A: Bising usus (+) normal Ekstremitas : Clubing finger(+), edema pretibial (-), akral dingin (-) A:
PPOK
eksaserasi
akut
dengan
perbaikan + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + sindrom dispepsia dengan perbaikan P:
Nonfarmakologis
Istirahat Diet nasi biasa tinggi kalori tinggi protein.
Farmakologis
OBH sirup 3x1 c Injeksi ceftriaxon 1x2 gr IV Omeprazol 1x20 mg Antasid sirup 3x1 c Salbutamol 3x1 mg tab Nebulizer combivent jika sesak
Rencana Pemeriksaan o o o o o
Spirometri Sputum I,II,III Kultur MTB dan uji resistensi Analisis gas darah Feces rutin
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) 3.1.1 Definisi Penyakit Paru Obstruksi Kronik Penyakit Paru Obstrutif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial., bersifat progresif, biasanya disebabkan oleh proses inflamasi paru yang disebabkan oleh pajanan gas berbahaya yang dapat memberikan gambaran gangguan sistemik. Gangguan ini dapat dicegah dan dapat diobati. Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel gas berbahaya.1 3.1.2 Epidemiologi Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang berbeda dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya, oleh karena itu lebih bijaksana jika kita mengambil kesimpulan bahwa penyakit ini disebabkan oleh iritasi yang berlebihan dari partikel-partikel yang bersifat mengiritasi saluran pernapasan. Setiap partikel, bergantung pada ukuran dan komposisinya dapat memberikan kontribusi yang berbeda, dan dengan hasil akhirnya tergantung kepada jumlah dari partikel yang terinhalasi individu tersebut. Insidensi pada pria
lebih banyak
daripada wanita. Namun akhir-akhir ini insiden pada wanita meningkat dengan semakin bertambahnya jumlah perokok wanita.2 3.1.3 Faktor Risiko Faktor resiko PPOK bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikelpartikel iritatif yang terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya.1,3 1. Asap rokok Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru dan mortalitas yang lebih tinggi daripada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita PPOK bergantung pada “dosis merokok” nya, seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang tersebut merokok. Enviromental Tobacco Smoke (ETS) atau perokok pasif juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik dan PPOK dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan paru-paru “terbakar”. 2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun) 3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan
Hampir 3 milyar orang di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu bakar ataupun bahan bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak, pemanas, dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya. Ini memungkinkan bahwa wanita di negara berkembang memiliki angka kejadian yang tinggi terhadap kejadian PPOK. 4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan
debu
jalanan. 5. Infeksi saluran nafas berulang 6. Jenis kelamin Dahulu, PPOK lebih sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu sendiri. Namun hal tersebut masih kontoversial, maskipun beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk terkena PPOK dibandingkan perokok pria. Di negara berkembang wanita lebih banyak terkena paparan polusi udara yang berasal dari asap saat mereka memasak. 7. Status sosioekonomi dan status nutrisi 8. Rendahnya intake dari antioksidan seperti vitamin A, C, E, kadang-kadang berhubungan dengan peningkatan resiko terkena PPOK, meskipun banyak penelitian terbaru menemukan bahwa vitamin C dan magnesium memiliki prioritas utama. 9. Asma 10. Usia 11. Onset usia dari PPOK ini adalah pertengahan 12. Faktor Genetik 13. Faktor kompleks genetik dengan lingkungan menjadi salah satu penyebab terjadinya PPOK, meskipun penelitian Framingham pada populasi umum menyebutkan bahwa faktor genetik memberi kontribusi yang rendah dalam penurunan fungsi paru.
3.1.4 Patofisiologi Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran napas, parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Diberbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti Leukotrien B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Disamping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif. Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas besar (central airway), saluran napas kecil (periperal airway), parenkim paru dan vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas. Proses repair ini akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran napas dengan peningkatan
kandungan
kolagen
dan
pembentukan
jaringan
ikat
yang
menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis saluran pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi pada emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering dibagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa terjadi diseluruh lapangan paru dan juga terjadi destruksi pulmonary capilary bed. Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal. Pada bronkitis kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas. Penyempitan ini dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (<2mm) menjadi lebih sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena
metaplasi sel goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas disebabkan oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.1 3.1.5 Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan:1 3.1.5.1 Gambaran klinis a. Anamnesis: Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja Riwayat penyakit emfisema pada keluarga Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, misal berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara Batuk berulang dengan atau tanpa dahak Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi b. Pemeriksaan fisik PPOK dini umumnya tidak ada kelainan Inspeksi - Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) - Barrel chest - Penggunaan otot bantu napas - Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga - Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai - Penampilan pink puffer atau blue bloater Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah Auskultasi - suara napas vesikuler normal, atau melemah - terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa - ekspirasi memanjang - bunyi jantung terdengar jauh 3.1.5.2 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan rutin:1 a. Faal paru Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP) - Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP (%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) <
80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75 % - VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit. - Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20% b. Uji bronkodilator - Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter. - Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml - Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin Hb, Ht, leukosit. c. Radiologi Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran : - Hiperinflasi - Hiperlusen - Ruang retrosternal melebar - Diafragma mendatar Pada bronkitis kronik : - Normal - Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus Pada bronkitis kronis, foto thoraks memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah. Pada emfisema, foto thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi dengan gambaran diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan cortakan ke distal.
Normal
Hyperinflation
Gambar 2. Peredaan paru normal dan hiperinflasi pada foto thoraks. Pemeriksaan khusus (tidak rutin) a. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,VR/KPT meningkat - DLCO menurun pada emfisema - Raw meningkat pada bronkitis kronik - Sgaw meningkat - Variabiliti Harian APE kurang dari 20 % b. Uji latih kardiopulmoner - Sepeda statis (ergocycle) - Jentera (treadmill) - Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal c. Uji provokasi bronkus Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan. d. Uji coba kortikosteroid Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid. e. Analisis gas darah Terutama untuk menilai : - Gagal napas kronik stabil - Gagal napas akut pada gagal napas kronik f. Radiologi - CT - Scan resolusi tinggi Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos. - Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. h. Ekokardiografi Menilai funfsi jantung kanan i. Bakteriologi Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia. j. Kadar alfa-1 antitripsin Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
3.1.6 Klasifikasi Tabel 1. Klasifikasi PPOK Klasifikasi
Gejala
Penyakit Ringan
- Tidak ada gejala waktu istirahat atau VEP bila exercise
Spirometri >
80%
prediksi
- Tidak ada gejala waktu istirahat VEP/KVP < 75% tetapi gejala ringan pada latihan sedang (misal : berjalan cepat, naik
Sedang
tangga) - Tidak ada gejala waktu istirahat VEP 30 - 80% tetapi mulai terasa pada latihan / prediksi kerja ringan (misal : berpakaian)
Berat
3.1.7
VEP/KVP <
- Gejala ringan pada istirahat
75%
- Gejala sedang pada waktu istirahat
VEP1<30%
- Gejala berat pada saat istirahat
prediksi
- Tanda-tanda korpulmonal
VEP1/KVP < 75%
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :1 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Edukasi Obat-obatan Terapi oksigen Ventilasi mekanik Nutrisi Rehabilitasi
a. Edukasi Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah : Pengetahuan dasar tentang PPOK Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya Cara pencegahan perburukan penyakit Menghindari pencetus (merokok) Penyesuaian aktifitas Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel. Edukasi berdasarkan derajat penyakit: Ringan
Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara
lain berhenti merokok Segera berobat bila timbul gejala
Sedang
Menggunakan obat dengan tepat Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini Program latihan fisik dan pernapasan
Berat
Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi Penyesuaian aktiviti dengan keterbatasan Penggunaan oksigen di rumah
b. Obat-obatan a. Bronkodilator Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap melalui saluran nafas), nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting). Macam-macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik, golongan agonis beta-2, kombinasi antikolinergik dan beta-2 dan golongan xantin. b. Anti inflamasi Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral (diminum) atau injeksi intravena (ke dalam pembuluh darah). Ini berfungsi untuk menekan inflamasi yang terjadi. Dipilih golongan metilpradnisolon atau prednison. c. Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan untuk lini pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan untuk lini kedua diberikan amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru. d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Digunakan Nasetilsistein, dan dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. e. Mukolitik (pengencer dahak)
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang kental. Tetapi obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka panjang. f. Antitusif Diberikan dengan hati-hati. c. Terapi oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dalam sel dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. d. Ventilasi mekanik Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan intubasi atau tanpa intubasi. e. Nutrisi Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan terjadinya hipermetabolisme. f. Rehabilitasi Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan latihan pernapasan. Prinsip Penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi:
1. Diagnosis beratnya eksaserbasi 2. Terapi oksigen adekuat Tujuan terapi oksigen adalah untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang mengancam jiwa. Sebaiknya dipertahankan PaO2> 60 mmHg atau Sat O2> 90%, evaluasi ketat hiperkapnoe. Bila terapi oksigen tidak dapat mencapai kondisi oksigen adekuat, harus gunakan ventilasi mekanik, bila tidak berhasil gunakan intubasi. 3. Pemberian obat-obatan yang adekuat Antibiotik Bronkodilator Kortikosteroid 4. Tidak terlalu diberikan tergantung derajat eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang diberikan prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat diberikan intravena. Pemerian lebih dari 2 minggu tidak memberikan hasil yang lebih baik, tetapi banyak menimbulkan efek samping. 5. Nutrisi adekuat untuk mencegah starvation yang disebabkan hipoksemia berkepanjangan, dan menghindari kelelahan otot bantu napas. 6. Ventilasi mekanik 7. Kondisi lain yang berkaitan Monitor balans cairan elektrolit Pengeluaran sputum Gagal jantung aritmia. Evaluasi ketat progresivitas penyakit 3.2 Tuberkulosis 3.2.1 Epidemiologi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” . Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per
100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk.5 Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.5 Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.5 3.2.2 Definisi Tuberkulosis
adalah
penyakit
yang
disebabkan
oleh
infeksi
Mycobacterium tuberculosis.6 3.2.3 Patogenesis Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberkulin,
mengalami
perkembangan
sensitivitas.
Pada
saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal
tersebut
ditandai
oleh
terbentuknya
hipersensitivitas
terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolapskonsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.7
Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan Penyembuhannya5 3.2.4 Klasifikasi 3.2.4.1 Tuberkulosis Paru Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.9 1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah: Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-) 1) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif. 2) Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis positif. 2. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu : a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejalaklinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : 1) Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. 2) Infeksi jamur 3) TB paru kambuh Bila meragukan harap konsul ke ahlinya. c. Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal 1) Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan). 2) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan. e. Kasus kronik / persisten Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik. Catatan: a. Kasus pindahan (transfer in): Adalah pasien yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Pasien pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah. b. Kasus Bekas TB: 1) Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT 2)
adekuat akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologik.9
3.2.4.2 Tuberkulosis Ekstra Paru Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
3.2.5 Diagnosis Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik/jasmani,
pemeriksaan
bakteriologik,
radiologik
dan
pemeriksaan penunjang lainnya. 3.2.5.1 Gejala klinik Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).9 1. Gejala respiratorik a. b. c. d.
batuk-batuk lebih dari 2 minggu batuk darah sesak napas nyeri dada Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar. 2. Gejala sistemik a. Demam b. Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun. 3. Gejala tuberkulosis ekstra paru Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
3.2.5.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan. Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadangkadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
Gambar 4. Paru : Apeks Lobus Superior dan Apeks Lobus Inferior5
3.2.5.3 Pemeriksaan Bakteriologik 1. Bahan pemeriksaan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) 2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan) b. Pagi ( keesokan harinya ) c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut. 3. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain. Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara : a.
Pemeriksaan mikroskopik: Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : 1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif 2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks, kemudian o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif o bila 3 kali negatif : BTA negatif Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan, disebut ragu-ragu. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+). Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
b. Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M. tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : 1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh. 2) Agar base media : Middle brook. Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul. 3.2.5.4 Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : 1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. 2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. 3. Bayangan bercak milier. 4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif 1. Fibrotik 2. Kalsifikasi 3. Schwarte atau penebalan pleura
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) : 1. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5, serta tidak dijumpai kavitas 2. Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal. 3.2.5.7 Pemeriksaan Lain 1. Analisis Cairan Pleura Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah. 2. Pemeriksaan darah Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik. 4. Uji tuberkulin Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
3.2.6 Penyebaran Penyakit Cara penularan7 1. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. 2. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. 3. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. 4. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. 5. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. 3.2.7 Penatalaksanaan Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. 3.2.7.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) a. Prinsip pengobatan9 Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif) a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
c.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: Tabel 2. Kategori obat OAT Regimen pengobatan Fase
Fase
Kasus baru BTA (+)
Awal 2 RHZE (RHZS)
Lanjutan 6 EH
Kasus baru BTA (-)
2 RHZE (RHZS)
4 RH
Ro” (+) sakit berat
2 RHZE (RHZS)*
4 R3H3*
Kasus TBEP berat Kasus BTA positif
2 RHZES atau
5 RHE
Kambuh
1 RHZE
5 R3H3E3*
Gagal
2 RHZES atau
KategoriKriteria penderita I
II
III
IV
Putus berobat
1 RHZE*
Kasus baru BTA (-)
2 RHZ
6 EH
TBEP ringan
2 RHZ
4 RH
2 RHZ*
4 R3H3*
Kasus kronik
Obat-obat sekunder
3.7.1.2 Efek Samping OAT Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH) Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus 2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah : a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadangkadang diare c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. 3. Pirazinamid Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain. 4. Etambutol Etambutol
dapat
menyebabkan
gangguan
penglihatan
berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi 5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Tabel 3. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya Efek samping
Kemungkinan
Tatalaksana
Penyebab Minor Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin
OAT diteruskan Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut Nyeri sendi Pirazinamid Kesemutan sampai dengan INH
Beri aspirin/allopurinol Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki Warna kemerahan pada air Rifampisin
Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni
apa-apa
Tabel 4. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya Efek samping
Kemungkinan
Tatalaksana
Penyebab Mayor Gatal dan
kemerahan Semua jenis OAT
pada kulit Tuli
Hentikan pengobatan Beri antihistamin dan
Streptomisin
dievaluasi ketat Streptomisisn dihentikan,
Gangguan keseimbangan Streptomisin
ganti etambutol Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) Ikterik/Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT
ganti etambutol Hentikan semua
Obat
sampai
(penyebab
lain
OAT ikterik
disingkirkan)
menghilang
Muntah
diberikan hepatoprotektor Hentikan semua OAT dan
(suspect
dan
bingung Sebagian besar OAT
drug-induced
dan
boleh
lakukan uji fungsi hati
pre-icteric hepatitis) Gangguan penglihtatan Etambutol Kelainan sistemik, Rifampisin termasuk
syok
Hentikan Etambutol Hentikan Rifampisin
dan
purpura 3.2.8 Pengobatan Suportif / Simptomatik Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan atau suportif/simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi gejala/keluhan. 1. Pasien rawat jalan a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya) b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain. 2. Pasien rawat inap Indikasi rawat inap : TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb : a. b. c. d. e. f.
Batuk darah (profus) Keadaan umum buruk Pneumotoraks Empiema Efusi pleura masif / bilateral Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa : a. TB paru milier b. Meningitis TB Pengobatan suportif / simtomatik yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan indikasi rawat 3.2.9 Terapi Pembedahan
lndikasi operasi 1. Indikasi mutlak a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif 2. lndikasi relatif a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan c. Sisa kavitas yang menetap. Tindakan Invasif (Selain Pembedahan) 1. Bronkoskopi 2. Punksi pleura 3. Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) Kriteria Sembuh 1. BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat 2. Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan 3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif 3.2.10 Evaluasi Pengobatan Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.9 a. Evaluasi klinik 1. Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan 2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada 3. b. 1. 2.
tidaknya komplikasi penyakit Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan) Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik a. Sebelum pengobatan dimulai b. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) c. Pada akhir pengobatan
3. Bila
ada
fasiliti
biakan
:
dilakukan
pemeriksaan
biakan
dan
uji
resistensiEvaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan) c. Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks Dilakukan pada: 1. Sebelum pengobatan 2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan) 3. Pada akhir pengobatan d. Evaluasi efek samping secara klinik 1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap 2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan 3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid 4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan) 5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila ada keluhan) 6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman e. Evalusi keteraturan berobat 1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya. 2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi. f. Evaluasi pasien yang telah sembuh Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks.
Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. 3.4 Sindrom Dispepsia 3.4.1 Definisi Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu10,12 : 1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain. 2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan). Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai usia dapat terkena dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari empat orang dapat terkena dispepsia dalam beberapa waktu11. 3.4.2 Etiologi Seringnya, dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid reflux. Jika anda memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas menuju esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke dalam lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan, seperti obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan dispepsia. Terkadang penyebab dispepsia belum dapat ditemukan12. Penyebab dispepsia secara rinci adalah:
1. Menelan udara (aerofagi) 2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung 3. Iritasi lambung (gastritis) 4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis 5. Kanker lambung 6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis) 7. Intoleransi
laktosa
(ketidakmampuan
mencerna
susu
dan
produknya) 8. Kelainan gerakan usus 9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi 10. Infeksi Helicobacter pylory
3.4.3 Manifestasi Klinis Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi dispepsia menjadi tiga tipe : 1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan gejala: a. Nyeri epigastrium terlokalisasi b. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid c. Nyeri saat lapar d. Nyeri episodik 2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia), dengan gejala: a. Mudah kenyang b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual d. Muntah e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas) f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan 3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)10. Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan. Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa penderita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa mengurangi nyerinya. Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatulensi (perut kembung). Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan. 3.4.4 Pemeriksaan Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu: 1. Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak
berarti
kemungkinan
menderita
malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung. Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa
petanda tumor, misalnya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma pankreas perlu diperiksa CA 19-9 . 2. Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau memburuk bila penderita makan10. 3. Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori. Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi adalah: a. CLO (rapid urea test) b. Patologi anatomi (PA) c. Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan d. PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian 4. Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia)10. Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada refluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esophagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke intestin. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler,
semisirkuler, dengan dasar licin. Kanker di lambung secara radiologis, akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker, bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akut perlu dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang disebut sentinal loops. 5. Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi kerongkongan atau respon kerongkongan terhadap asam. 3.4.5 Penatalaksanaan Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996 pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu: 1.
Antasid 20-150 ml/hari Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk mengurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontoksik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena terbentuk senyawa MgCl2.
2.
Antikolinergik Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar 28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2 Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk
golongan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin. 4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI) Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. 5. Sitoprotektif Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian atas (SCBA). 6. Golongan prokinetik Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance)10. 7. Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat antidepresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan
seperti
cemas
dan
depresi.
3.4.6 Pencegahan Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dispepsia bahkan memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung. Berikut ini adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah timbulnya gangguan akibat dispepsia : 1.
Atur pola makan seteratur mungkin.
2.
Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung (coklat, keju, dan lain-lain).
3.
Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon, semangka, dan lain-lain).
4.
Hindari makanan yang terlalu pedas.
5.
Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
6.
Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat anti-inflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.
7.
Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.
8.
Jika anda perokok, berhentilah merokok.
9.
Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan sebelum waktu tidur.
10.
Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu, seperti makan terlalu banyak, terutama makanan berat dan berminyak, makan terlalu cepat, atau makan sesaat sebelum olahraga.
11.
Pertahankan berat badan sehat
12.
Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa hari seminggu) untuk mengurangi stress dan mengontrol berat badan, yang akan mengurangi dispepsia.
13.
Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatan dispepsia. Baik itu antasid, PPI, penghambat histamin-2 reseptor, dan obat
motilitas.
BAB IV ANALISIS KASUS Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, sampai gejala yang berat. Namun diagnosa PPOK dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, dan pemeriksaan penunjang. Pada gambaran klinis, bila ditemukan sesak nafas yang kronik dan progresif, serta riwayat terpajan oleh faktor-faktor resiko. Maka diagnosa dari PPOK harus dipertimbangkan, dan kemudian dikonfirmasi dengan melakukan spirometri.9,13,16 Pada kasus ini, seorang laki-laki berusia 70 tahun dengan keluhan utama sesak nafas yang bertambah hebat sejak 7 hari SMRS dan dengan keluhan tambahan nyeri ulu hati dan batuk sejak 7 hari SMRS. Dari anamnesis, ditemukan adanya sesak yang bertambah hebat yang dipengaruhi oleh aktifitas disertai bunyi mengi, dan batuk berulang yang berdahak dengan produksi dahak yang
meningkat, dan ada riwayat terpajan faktor resiko (merokok 1 bungkus perhari selama 58 tahun). Kemudian pada pemeriksaan fisik, peningkatan frekuensi pernafasan, pada inspeksi dada ditemukan adanya barrel shaped chest, penderita kurus, sela iga melebar, sudut kosto frenikus > 90 0, retraksi dinding dada dan penggunaan otot bantu nafas. Pada palpasi stem fremitus menurun pada kedua lapangan paru dan sela iga melebar. Pada perkusi didapatkan hipersonor dikedua lapangan paru, batas paru hepar ICS VII, hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae dengan tepi tajam, kosistensi kenyal. Pada auskultasi didapatkan vesikuler menurun pada kedua lapangan paru, terdapat wheezing ekspirasi, dan ekspirasi memanjang. Dari data tersebut kecurigaan adanya PPOK eksaserasi akut karena terdapat peningkatan gejala yaitu bertambahnya sesak dan bertambahnya jumlah sputum. Dari hasil rontgen thorax AP menunjang diagnosis PPOK, dimana ditemukannya batas paru hepar memanjang, sudut costophrenikus tumpul (diafragma mendatar), hiperlusen parenkim paru, dan sela iga melebar (hiperinflasi).9,16 Dari seluruh hasil pemeriksaan di atas kami menyimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah PPOK eksaserbasi akut. Maka terapi farmakologis yang dilakukan adalah pemberian oksigen, bronkodilator, antibiotik spektrum luas, dan ekspektoran. Diagnosis tuberkulosis paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis/pemeriksaan fisik, foto thorax, pemeriksaan sputum BTA, dan laboratorium penunjang. Gejala klinis pada penderita TB paru dibagi menjadi gejala sistemik dan gejala respiratorik. Gejala sistemik berupa demam dan berkeringat pada malam hari, badan terasa lemah, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan. Gejala respiratorik berupa batuk, sesak napas dan rasa nyeri dada. Batuk biasanya lebih dari 3 minggu, kering sampai produktif dengan sputum mukoid atau purulen. Batuk darah dapat terjadi bila ada pembuluh darah yang robek, sesak napas biasanya terjadi pada penyakit yang sudah lanjut.9,13,16 Pada pasien ini, ditemukan juga gejala klinis berupa batuk >3 minggu, keringat dan demam lama pada malam hari, serta nafsu makan dan berat badan
menurun, dan adanya riwayat mengkonsumsi obat OAT sekitar 1 tahun yang lalu yang kemudian berhenti karena dinyatakan sembuh oleh dokter. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik sangat tergantung pada luas dan kelainan struktural paru. Pemeriksaan fisik dapat normal pada lesi minimal, kelainan umumnya terletak pada daerah apikal/posterior lobus atas dan daerah apikal lobus bawah. Kelainan yang dapat ditemukan antara lain berupa bentuk dada yang tidak simetris, pergerakan paru yang tertinggal, peningkatan stemfremitus, redup pada perkusi, suara napas bronkial/amforik/vesikuler melemah,/ronkhi basah ataupun tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.9,15 Kelainan pulmo yang dapat ditemukan pada Tn. B adalah auskultasi ditemukan vesikuler (+) menurun pada kedua lapangan paru, ronkhi basah sedang pada apex kedua paru. Dari pemeriksaan foto thorax standar pada TB paru yaitu foto thorax PA ditemukan gambaran lesi yang menyokong ke arah TB paru aktif biasanya berupa infiltrat nodular berbagai ukuran di lobus atas paru, kavitas (terutama lebih dari satu), bercak milier ataupun adanya efusi pleura unilateral. Gambaran lesi tidak aktif biasanya berupa fibrotik, atelektasis, kalsifikasi, penebalan pleura, penarikan hilus dan deviasi trakea. Berdasarkan luas lesi pada paru, ATS (American Thoracic Society) membaginya atas lesi minimal, lesi sedang dan lesi luas.9,13,15 Pada foto thorax pasien ini tampak infiltrat pada parenkim paru kanan dan kiri. Berdasarkan gambaran lesi tersebut, lesi paru pada pasien ini termasuk dalam lesi sedang. Terminologi tipe penderita TB dibagi menjadi enam kelompok, yaitu kasus baru, kasus kambuh, kasus gagal, kasus pindahan, kasus berobat setelah lalai, dan kasus kronik. Kasus baru adalah penderita TB paru yang belum pernah mendapat OAT atau yang pernah mendapat OAT tetapi kurang dari satu bulan. Kasus kambuh adalah penderita TB paru dengan BTA positif yang sebelumnya sudah dinyatakan sembuh, tetapi kini datang lagi dan pada pemeriksaan BTA memberikan hasil positif. Kasus gagal adalah penderita TB paru dengan BTA positif yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA positif pada 1 bulan
sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan. Batasan ini juga berlaku untuk penderita TB paru dengan BTA negative yang sudah mendapat OAT, tetapi sputum BTA justru menjadi positif pada akhir pengobatan fase awal. Kasus pindahan adalah penderita TB paru dari kabupaten/kota lain yang sekarang menetap di kabupaten/kota ini. Kasus berobat setelah lalai adalah penderita TB paru yang menghentikan pengobatan (2 bulan atau lebih) dalam keadaan belum dinyatakan sembuh dan kini datang lagi untuk berobat dengan BTA positif. Kasus kronik adalah penderita Tb paru dengan BTA yang tetap positif, walaupun sudah mendapatkan ulang yang adekuat dengan pengawasan yang baik. Pasien ini mempunyai riwayat minum OAT selama 6 bulan dan berhenti dari terapi karena setelah dinyatakan sembuh oleh dokter. Jadi pasien ini termasuk pasien dengan suspek kasus kambuh TB paru. Terminologi diagnosis dibagi dalam 3 kelompok, yaitu TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif dan bekas TB paru. Yang termasuk TB paru BTA positif apabila sputum BTA positif ≥2 kali, sputum BTA positif ≥1 kali dengan kultur positif atau sputum BTA positif ≥1 kali dengan klinis/radiologis sesuai dengan TB paru. TB paru negatif apabila klinis dan radiologis sesuai dengan TB paru, sputum BTA negatif dan kultur negatif atau positif. Bekas TB paru apabila sputum dan kultur negatif, gejala klinis tidak menunjang dan gambaran radiologis menunjukkan gambaran tak aktif.9,17 Pada pasien belum bisa diketahui termasuk kedalam kelompok TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif ataukah bekas TB paru karena belum didapatkan hasil pemeriksaan sputum. Dari seluruh hasil pemeriksaan di atas kami menyimpulkan bahwa diagnosis pasien ini adalah suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang. Dispepsia adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau cepat kenyang, dan sering bersendawa. Dispepsia dapat disebabkan oleh kalainan organik (misalnya tukak peptik, gastritis, kolesistitis, dan lainnya), maupun yang bersifat fungsional. Berdasarkan kriteria Roma II tahun 2000 dispepsia didefnisikan sebagai dyspepsia refers to pain or discomfort centered in upper abdomen. Dispepsia fungsional dibagi atas 3 subgrup yaitu: (a) dispepsia mirip
ulkus {ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominant adalah nyeri ulu hati; (b) dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-likedyspepsia) bila gejala dominant adalah kembung, mual, cepat kenyang; dan (c) dyspepsia non-spesifik yaitu bila gejalanya tidak sesuai dengan (a) maupun (b).11,12 Pada pasien ini, selain mengeluh sesak dan batuk, pasien juga mengeluh adanya mual, sakit pada ulu hati, perasaan cepat penuh, dan sering bersendawa. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien ini kami diagnosis sebagai PPOK eksaserbasi akut + suspek kasus kambuh TB paru lesi sedang + sindrom dispepsia.
DAFTAR PUSTAKA 1. Ahmad, Rasyid. Etiopatogenesis Penyakit Paru Ostruktif Kronik dalam Work-Shop Pulmonology. 2002. Palembang: Subbagian Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam. 2. Aditama Tjandra Yoga. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan. Jakarta. 3. Hedge, BM et all. Chronic Ostructive Pulmonary Disease. Kuwait Medical Journal. 2011. 43: 3 [diakses pada tanggal 26 Maret 2012, tersedia di: http://www.kma.org.kw/KMJ/journals/Full%20Isslue%20September %202011.pdf ]
4. WHO. Chronic Ostructive Pulmonary Disease (COPD). 2012. [diakses pada
tanggal
26
Maret
2012,
tersedia
di:
http://www.who.int/respiratory/copd/en/ ] 5. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2002. Jakarta. 6. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4. 7. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002. 8. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. 2004. Bogor: IPB. 9. Ahmad, Zen. Tuberkulosis Paru dalam Work-Shop Pulmonology. 2012. Palembang: Subbagian Pulmonologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam 10. Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi Ketiga. Jakarta.: 488-491 11. Bazaldua, O.V. et al. 2006. Dyspepsia: What It Is and What to Do About It. http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/dyspe psia.html, Desember 2006 12. D Dharmika. Dispepsia fungsional. In : Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. 5 th Ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2009.p.529-33. 13. Ravigliane, Maria C, O’Brien, Richard J. 2008. Tuberculosis. In: Fauci AS, Braunwald E, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 14th edition. New York; McGraw Hill. p: 953-965 14. Drummond MB, Dasenbrook EC, Pitz MW, et all 2011. Inhaled Corticosteroids in Patients With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of American Medical Association, p. 2408-2416. 15. Riyanto BS, Hisyam B 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI, p. 984-5. 16. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI; 2006
17. Kreider, Marry Elizabeth, Rossman, Milton D. 200. Treatment of Tuberculosis. In: Fishman, Alfred P, editor. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders. 4th edition. New York; McGraw Hill. p: 2467-2486 …test………mm