BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada mulanya, iklan televisi merupakan sub kajian sosiologi komunikasi massa yang kemudian bersentuhan dengan studi komunikasi bisnis dan budaya popular. Disaat iklan memperoleh medium yang disebut televisi, pesan-pesannya menjadi semakin hidup, bergairah, dan memenuhi sasaran secara lebih efektif bila dibandingkan dengan iklan melalui medium lainnya.1 Sebagaimana diketahui, iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis yang telah menghidupkan diskusi-diskusi tanpa henti di kalangan anggota masyarakat. Sekilas wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya kekuatan media (khususnya televisi) dalam mengkonstruksi realitas sosial di masyarakat, sebagaimana beberapa contoh parodi (bagian dari interaksi Verbal) yang terdengar di masyarakat. Di antaranya adalah senda-gurau anak-anak, “aku dan kau, jelekan kau". Parodi yang lain juga terdengar di kalangan remaja yang sedang bersitegang, “ah teori". Dua parodi itu ternyata ditiru dari iklan Dancow dan Shampo Clear. Ada pula parodi yang menggelitik telinga seperti, "bercanda kamu” (iklan Citibank), “sek, sek, sek ..., lakone opo Ki Mantep” (iklan Obat Oskadon). Bahkan ada parodi lain yang cukup “berani”, seperti “pas susunya” (iklan Kopi Torabika). Parodi-parodi di atas sepintas terkesan hanyalah hiburan musiman yang tumbuh berkembang di masyarakat lalu hilang beberapa masa 1
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Hal 1.
1
kemudian, namun pada kenyataan lain, parodi-parodi itu menggiring masyarakat ke dalam wacana publik tentang iklan televisi. Kenyataan tersebut juga menyadarkan kita tentang hadirnya sebuah realitas sosial di masyarakat, bahwa ada realitas media (baru) yang merefleksi parodi-parodi itu karena orang melihat iklan televisi. Bahkan realitas sosial tersebut, dapat atau sedang dikonstruksi oleh sebuah iklan televisi.2 Lebih jauh, parodi di atas hanyalah salah satu contoh dari realitas kekuatan media mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media dengan atau setelah merubah citranya, kemudian media memindahakannya melalui replika citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hidup di masyarakat.3 Kendati demikian, pada kenyataannya tidak semua realitas sosial dapat dikonstruksi oleh iklan televisi. Ada banyak keputusan pemirsa, justru di skenario oleh faktor lain yang berasal dari luar pengaruh konstruksi iklan dan media massa. Seseorang yang telah menonton iklan Pepsodent kemudian berangkat ke supermarket untuk membeli pepsodent, namun the last minute ketika dia akan mengambil Pepsodent, justru pasta gigi merek lain yang diambilnya karena berbagai faktor seperti ternyata merek lain ada hadiah, ada SPG yang menawarkan merek lain yang lebih baru, Pepsodent di supermarket itu habis, dan sebagainya. Kenyataan itu akhirnya menggiring kepada serangkaian pertanyaan, bagaimana 2
Burhan Bungin, "Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik," Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Th XIV, No 2, April 2001, hal 51 3 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Hal. 2
2
suatu realitas sosial dapat dikonstruksi oleh iklan televisi. Dengan kata lain, adakah format iklan tertentu yang dapat mengkonstruksi realitas sosial. Begitu pula seharusnya ada substansi tertentu yang menunjukkan adanya ciri-ciri realitas sosial yang dibentuk atau disusun oleh suatu iklan, kemudian adakah makna dan implikasi sosial tertentu yang terdapat simbol dan citra realitas sosial suatu iklan. 4 Dalam dunia pertelevisian, sistem teknologi juga telah menguasai jalan pikiran masyarakat, seperti yang diistilahkan dengan theater of mind. Bahwa siaran-siaran media televisi secara tidak sengaja telah meninggalkan kesan siaran di dalam pikiran pemirsanya. Sehingga suatu saat televisi telah dimatikan, kesan itu selalu hidup dalam pikiran pemirsa dan membentuk panggung - panggung realitas di dalam pikiran mereka. Jadi apa yang digambarkan dalam iklan televisi, adalah gambaran realitas dalam dunia yang diciptakan oleh teknologi. Suatu contoh, ketika iklan Shampo Clear menggunakan iklan dengan gaya lelaki seperti adegan dalam Film Matrix, di mana seorang pemuda bershampo Clear dapat menghindari tembakan peluru dengan lekukan tubuh yang fleksibel. Sehingga seluruh adegan dalam iklan tersebut begitu mengagumkan pemirsa. 5 Begitu pula ketika adegan petualangan yang menakjubkan dalam iklan Rokok Wismilak dan iklan Rokok Djarum Super, ataupun adegan dalam iklan rokok Bentoel Merah, bahkan seperti yang nampak dalam iklan Shampo Sunsilk Extramail, yang menggambarkan sebuah realitas di bawah air. Iklan-iklan itu begitu mengagumkan karena selain realistis, adegan-adegan tersebut mampu membawa pemirsa kepada kesan dunia lain yang maha dahsyat. Pada iklan lain, 4 5
Ibid hal. 3 Ibid hal 53
3
iklan Surf umpamanya, atau iklan Rinso. Kedua iklan itu selalu menggunakan kekuatan dan kemudahan sabun deterjen masing-masing. Gambaran mengenai kemudahan dan kekuatan produk deterjen itu dalam iklan, tidak selamanya dapat dibuktikan dalam dunia nyata. Pengetahuan itu hanyalah realitas yang dibangun oleh iklan televisi dalam media televisi, untuk menjelaskan betapa hebatnya sebuah produk. Sehingga pemirsa sampai pada kesimpulan mengenai produk tersebut, bahwa kalau membeli dan menggunakan sabun deterjen akan memudahkan pekerjaan. Jadi berdasarkan realitas iklan televisi yang dijelaskan itu, gambaran terhadap sebuah dunia, hanya ada dalam teknologi media televisi. 6 Menjelaskan proses konstruksi iklan atas realitas sosial dalam iklan televisi dimulai dari mejelaskan bagian-bagian fenomena iklan televisi, seperti: tahap-tahap iklan televisi, agen biro iklan, kepentingan dibalik penayangan iklan televisi dan resource (ruang sosial) yang melahirkan iklan televisi. Iklan televisi lahir dari proses panjang penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak mengetahui jika iklan televisi yang umumnya berdurasi hanya beberapa detik itu, membutuhkan proses kerja yang sangat rumit dan panjang. Untuk memahami tahapan konstruksi sosial iklan televisi, maka harus diketahui lebih dahulu bagaimana iklan televisi dibuat, sampai pada situasi iklan siap ditayangkan di televisi.7 Kepercayaan
kalangan pengusaha tentang kehebatan iklan ini
mendekati apa yang dikatakan oleh Vestergaard dan Schroder dengan „ideologi 6
Burhan Bungin, "Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik," Masyarakat, Kebudayaan dan Politik. Th XIV, No 2, April 2001, hal 53 7 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Hal.131
4
periklanan‟, bahwa pengetahuan tentang sebuah produk harus ditransfer ke masyarakat, karena pengetahuan itu mendorong perilaku pembelian. Ideologi periklanan ini sejalan dengan pepatah „tak kenal maka tak sayang‟, bahwa perilaku pembelian itu tidak mungkin terjadi sebelum seseorang mengenal produk itu. Karena ini pengenalan produk menjadi sangat penting di dalam dunia periklanan. Kepercayaan dunia usaha kepada iklan, terutama iklan televisi, bisa jadi dilandasi oleh kenyataan bahwa televisi adalah media yang paling populer saat ini, banyak masyarakat yang terpikat dengan berbagai acara televisi. Sehingga jika iklan produk perusahaanya ditayangkan di televisi, maka kemungkinan besar iklan tersebut di tonton oleh banyak pemirsa televisi. Ada semacam pembenaran manyarakat terhadap pilihan televisi sebagai medium iklan, karena banyak argumentasi di masyarakat, bahwa media televisi paling
kuat mempengaruhi orang lain. Bagi beberapa kalangan masyarakat,
televisi adalah metafora hiburan benda paling
yang berbentuk layar kaca, dan merupakan
menakjubkan. Pembenaran perusahaan memlih televisi sebagai
medium iklan juga tak lepas dari konstruksi sosial sebelumnya, bahwa iklan harus memilih saluran yang tepat dan memiliki kemampuan konstruksi yang kuat. Bahkan tidak dapat ditolak pendapat yang mengatakan kesenangan memilih iklan televisi karena disebabkan oleh kesukaan individu untuk melihat reproduksi dunianya melalui saluran ini.8 Dalam dunia periklanan media, copywriter dan visualizer memiliki kemampuan membangun realitas media tersebut. Keduanya adalah manusia 8
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008. Hal.131-132
5
kreatif yang bekerja setiap hari untuk membangun berbagai realitas berdasarkan dunia apa yang diinginkannya tentang suatu produk yang akan diiklankan. Sejauh kemampuan mereka itu, di dalam membangun sebuah realitas, seorang copywriter dan visualizer juga dipengaruhi oleh klien, lingkungan mereka, budaya pandangan terhadap produk, pengetahuan tentang dunia periklanan, keahlian teknologi, dan lainnya.9 Realitas yang dibangun oleh copywriter dan visualizer amat bias kepada lingkungan
mereka,
termasuk
pula
simulasi
(objek
realitas)
untuk
menggambarkan realitas itu. Suatu contoh umpamanya, iklan si colek Omo, serial si Putih dan si Merah, munculnya ide realitas itu dari legenda tentang Bawang Putih yang baik dan Bawang Merah yang jahat, Nah, sabun Omo meringankan penderitaan si Putih dengan mencuci lebih banyak dan lebih irit. Simulasi meringankan penderitaan ini merupakan sebuah realitas yang realistis saat ini, karena konsumen lebih suka produk ekonomis. Wacana simulasi adalah ruang pengetahuan yang dikonstruksikan oleh iklan televisi, dimana manusia mendiami suatu ruang realitas, dimana perbedaan antara nyata dan fantasi, atau yang benar dengan yang palsu, menjadi sangat tipis.10 Realitas sosial, kebudayaan, atau politik kini dibangun berdasarkan peta fantasi yang ditawarkan televisi, iklan, bintang-bintang layar perak atau tokohtokoh kartun dan semuanya menjadi model dalam membangun citra, nilai dan makna dalam kehidupan sosial, kebudayaan, atau politik. Selain itu ia juga menyebutkan bahwa iklan juga sebagai representasi citra, iklan mengkonstruksi 9
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi “Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat”, Kencana, Jakarta, 2006. Hal 222 10 Ibid hal 223
6
masyarakat menjadi kelompok-kelompok gaya hidup yang pola kehidupannya diatur berdasarkan tema, citra dan makna simbolik tertentu. Dengan kata lain dianggap efektif dalam mempengaruhi persepsi seseorang.11 Dalam perkembangannya, pendekatan-pendekatan psikologis mulai diterapkan dalam kegiatan periklanan sehingga mampu menggugah minat dan emosi masyarakat untuk mencari kepuasan dengan cara mengkomsumsi barang. Iklan berusaha menjaga suitably consumptive (konsumsi ideal) dalam masyarakat tetap terjaga. Disini peran iklan sebagai caption of consciousness Melalui citracitra atau image-image yang diciptakannya, iklan diharapkan mampu merubah perilaku seseorang, menciptakan permintaan konsumen dan mampu membujuk orang agar berpartisipasi di dalam kegiatan konsumsi, yang pada akhirnya memproduksi masyarakat konsumen.12 Realitas sosial rivalitas suporter sepak bola kerap diberitakan di berbagai media cetak dan elektronik. Rivalitas, sejarah, dan fanatisme kedaerahan sepertinya menjadi tongkat estafet bagi generasi kehidupan keras para suporter di Indonesia. Tidak ada suatu keuntungan satu pun dari beberapa tindakan brutal yang mereka lakukan baik itu di dalam atau di luar stadion. Menurut beberapa komentar khalayak umum kalau suporter di negara kita itu tidak cerdas sudah tahu sepakbola disini carut-marut tapi kok ya masih didukung saja, waktu, harta, dan nyawa jadi taruhannya.
11
Yasraf amir piIiang, Jejak-Jejak Milenium, Sebuah Dunia Yang Dilipat 1998 hal 228 Ratna Noviani, Jalan Tengah Memahami Iklan : Antara Realitas, Representasi dan Simulasi.Pustaka Pelajar,2002, Yogyakarta. Hal. 14 12
7
Indonesia adalah salah satu negara yang paling banyak menelan korban jiwa antar suporter di liga sepakbola. Bahkan franz Beckenbauer (Presiden FIFA) takjub melihat aksi para suporter Indonesia baik di level klub maupun saat mendukung tim nasional. Ia mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai suporter terloyal di dunia, tapi sayang prestasi timnas Indonesia tidak mampu bersaing dengan eksistensi suporternya yang tidak diragukan lagi aksinya didalam stadion sebagai bentuk apresiasi “Against Modern Football".13 Bertepatan dengan hari besar Idul Adha, Extra Joss memilih moment itu untuk menayangkan iklan TVC bertemakan rivalitas antar suporter, sekaligus mempublikasikan kegiatan CSR mereka yang bertema “Extra Joss Qurban 1 Milyar”.
Pembingkaian rivalitas antarsuporter dalam iklan Extra Joss versi
kurban 1 milyar tentunya melalui proses konstruksi, disini realitas sosial antar suporter dimaknai
dan di konstruksi dengan makna tertentu. Untuk melihat
bagaimana peristiwa dipahami dan dibingkai oleh media, dapat dibedah dengan menggunakan analisis framing. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media.14 Pada dasarnya framing adalah metode untuk melihat cara bercerita (story telling) media atas peristiwa. Ada dua esensi utama dari framing yaitu ; pertama,bagaimana peristiwa dimaknai. Ini berhubungan dengan bagian 13
Endyka D. Ayodya, Konformitas Supporter SepakboIa Indonesia.Kompasiana, 9 September 2013 14 Eriyanto, Analisis Framing, Konstruksi, Ideology, Dan Politik Media, (Yogyakarta : LKIS Pelangi Aksara, 2002), hlm.3
8
mana yang diliputi dan mana yang tidak diliputi. Kedua, bagaimana fakta itu ditulis. Aspek ini berhubungan dengan pemakaian kata, kalimat, dan gambar unutk mendukung gagasan.15 Analisis framing dipilih sebagai metode dalam penelitian ini karena analisis framing dirasa mampu membantu peneliti untuk membongkar dan membedah pemikiran sang pembuat iklan akan arti, maksud dan tujuan dari setiap adegan-adegan. Setiap adegan yang di presentasikan dalam iklan tersebut akan menimbulkan makna atau persepsi yang berbeda kepada setiap orang yang menontonnya. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu mendorong orang untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap kata-kata itu.16
1.2 Fokus Penelitian Rivalitas antar suporter sepakbola di indonesia saat ini sangat meresahkan berbagai pihak, tak sedikit yang menjadi korban akibat perselisihan antar suporter. Dalam iklan ini pengiklan didukung copywriter dan visualizer mencoba menggambarkan realitas ini dalam sebuah iklan. Realitas bentukan pengiklan, copywriter dan visualizer amat bias karna dibangun berdasarkan peta fantasi sang pengiklan. Beberapa pertanyaan yang coba dijawab melalui penelitian ini adalah :
15
Ibid.hlm10-11 Dedy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung 2005, hal 88 16
9
1. Bagaimana konstruksi rivalitas antar suporter sepak bola yang ada dalam iklan TVC Extrajoss versi Qurban 1 Milyar? 2. Apa tujuan pengiklan mengkonstruksi rivalitas antar suporter sepak bola dalam iklan TVC Extrajoss versi Qurban 1 Milyar
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui konstruksi rivalitas anta rsuporter yang ada dalam iklan TVC Extra Joss Versi Qurban 1 Milyar. Melalui teks berupa dialog, percakapan, ucapan dan gambar visual yaitu adegan, tindakan dari iklan Extra Joss versi Qurban 1 Milyar.
1.4 Manfaat Penelitian Dengan deskripsi tujuan yang dikemukakan, maka manfaat yang diharapkan dari keseluruhan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada perkembangan dan pendalaman studi ilmu komunikasi khususnya tentang analisis iklan TVC dengan pendekatan framing.
2.
Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menambah pengetahuan dan sebagai salah satu referensi untuk penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan problematika sejenis. Penelitian ini
10
juga dapat menjadi masukan bagi agensi periklanan mengenai strategi dan pendekatan yang tepat untuk mengiklankan produknya.
11