BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Seiring laju perkembangan pertumbuhan perekonomian yang semakin
pesat khususnya pada daerah-daerah yang sedang berkembang, kebutuhan akan tanah semakin meningkat. Baik itu untuk lahan industri, agraris, permukiman atau bahkan perkantoran instansi pemerintahan termasuk pemerintah daerah semuanya memerlukan tanah. Terdapat beberapa kota-kota besar yang laju tingkat perekonomiannya begitu pesat, namun tidak diimbangi dengan ketersediaan lahan di daerahnya. Penyerobotan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau lazim disebut Tanah Negara yaitu tanah yang belum dihaki dengan dengan hak-hak perorangan beserta tanah-tanah hak yaitu tanah yang sudah punya hak-hak atas tanah primer seperti misalnya hak milik, hak pakai, hak guna usaha, hak guna bangunan dan lain-lain begitu marak terjadi.1 Termasuk tanah-tanah yang dalam penguasaan daerah seperti misalnya tanah-tanah yang benar-benar telah menjadi aset daerah atau pun tanah-tanah yang belum menjadi aset daerah akan tetapi diklaim sebagai tanah aset daerah. Kondisi seperti ini tentu akan menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah daerah. Pada saat ini banyak dari tanah-tanah yang diduduki oleh sekelompok masyarakat merupakan tanah negara serta tanah yang masuk sebagai 1
Boedi Harsono, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal.271.
1
tanah aset milik pemerintah daerah. Jika kondisi ini tidak segera diselesaikan maka tidak menutup kemungkinan akan berpotensi menimbulkan konflik sengketa agraria kedepannya. Istilah aset pada awalnya merupakan istilah ekonomi, sehingga tidak dijumpai dalam istilah hukum dan karenanya belum menjadi konsep hukum. Dalam kamus ekonomi, kata aset atau aset berarti Aktiva, yaitu segala sesuatu yang bernilai komersial yang dimiliki oleh sebuah perusahaan atau individu. Bisa dibagi ke dalam aktiva lancar, investasi, aktiva tetap, aktiva tidak berwujud (seperti hak cipta).2 Istilah aset baru menjadi konsep hukum ketika diberikan pengertian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Pada Lampiran II dari peraturan tersebut memberikan definisi aset, bahwa “Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang diperlihara karena alasan sejarah dan budaya.”3 Istilah tanah aset daerah harus dibedakan dengan tanah negara. Hal ini penting, karena masih ada persepsi yang merancukan keduanya. Dalam perkembangannya, penggunaan istilah tanah pemerintah dan/atau tanah aset 2
Sumadji P, dkk, 2006, Kamus Ekonomi, Wipress, Tanpa Kota, hal.63. Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan 3
daerah dirancukan dengan istilah tanah negara. Oleh Maria S.W. Sumardjono,4 hal ini dicontohkan, tentang kasus tanah Pertamina Plumpang yang digugat oleh para penggarapnya. Dinyatakan bahwa dalam kasus pendudukan tanah-tanah oleh penggarap tersebut, para penggugat atau penggarap mendalilkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara. Pengadilan Negeri Jakarta Utara berpendapat bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara, sedangkan Pengadilan Tata Usaha Negara berpendapat tanah tersebut tanah pemerintah. Demikian pula mengenai sidang PTUN yang berlangsung terhadap kasus tanah Jatimulyo dan Way Huy di Lampung Selatan yang mempersoalkan apakah status tanah pertanian seluas 3 Ha tersebut benar-benar tanah negara sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Mendagri. Dari kedua contoh kasus tersebut nampak terlihat masih begitu beragam pemahaman hakim pengadilan umum dan pengadilan tata usaha negara dalam mengadili perkara yang menyangkut mengenai penguasaan tanah Negara ataupun tanah pemerintah daerah.5 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), penguasaan tanah-tanah Negara diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 antara lain memuat tentang Ketentuan-ketentuan Khusus pada Pasal 12, yaitu bahwa kepada Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas Tanah Negara oleh Menteri Dalam Negeri, dengan tujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut ketentuan Menteri Dalam Negeri 4
Maria S.W, Sumardjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, hal.59. 5 Ibid.
yang sekarang Badan Pertanahan Nasional. Daerah Swatantra dalam Pasal 1 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, ialah daerah yang diberi hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri sebagai yang dimaksud dalam Pasal 131 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia. Lebih lanjut tentang daerah swatantra yang juga disebut daerah otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang menyebut Daerah Otonom itu sebagai Daerah Swatantra yang terdiri dari tiga tingkat Daerah Swatantra dengan otonomi seluas-luasnya, yaitu Tingkat I termasuk Kotapraja Jakarta Raya; Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Sampai dicabutnya Undang-undang tersebut Daerah Swatantra Tingkat III belum sempat terbentuk.6 Setelah mengalami beberapa pergantian Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, maka terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa daerah dibagi atas Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota yang masing-masing memiliki pemerintahan daerah tersendiri. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, untuk menyelenggarakan penertiban di dalam rangka melaksanakan konversi menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, terhadap tanah-tanah Negara yang dikuasai dengan hak penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 telah ditegaskan statusnya sebagaimana diatur berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah 6
Andi Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal.87-88.
Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Pelaksanaan Selanjutnya. Dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut antara lain menyatakan, bahwa Penguasaan Atas Tanah Negara sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, yang telah diberikan kepada Departemendepartemen, Direktorat-direktorat, dan Daerah-daerah Swatantra, sepanjang tanahtanah Negara tersebut dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi Hak Pakai. Namun apabila penguasaan Tanah Negara tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan atas Tanah Negara tersebut di atas dikonversi menjadi Hak Pengelolaan.7 Pengaturan lebih lanjut dari Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan. Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 menyatakan, bahwa Hak Pakai yang diperoleh Departemendepartemen, Direktorat-direktorat dan Daerah-daerah Swatantra, dan Hak Pengelolaan sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 harus didaftar.8 Tanah dalam penguasaan daerah atau lebih sering disebut tanah aset daerah lahir dari tanah negara. Tanah aset daerah maupun tanah negara lahir dari konsep Hak Menguasai Negara sebagaimana ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang
7
Supriyadi, 2010, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian atas Eksistensi Tanah Aset Daerah, Prestasi Pustaka, Jakarta, hal. 9. 8 Pasal 1 Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Pakai dan Hak Pengelolaan
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.9 Pasal ini menjelaskan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini berarti pula bahwa setiap hak atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya dituntut kepastian mengenai subjek, objek, serta pelaksanaan kewenangan haknya.10 Kata-kata dikuasai oleh negara inilah yang melahirkan konsep Hak Menguasai Negara atas sumber daya agraria di Indonesia. Konsep hak menguasai tanah oleh negara kemudian secara otentik dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA yang memberikan wewenang kepada negara untuk : 1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; 2) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Selanjutnya Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa dalam Hak Menguasai 9
Supriyadi, Op.Cit, hal 5. Rusmadi Murad, 2007, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Mandar Maju Bandung, hal.75. 10
dari Negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan
kepentingan
nasional,
menurut
ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah. Apabila mengacu pada konsep UUPA, maka pengertian “dikuasai” oleh negara dalam hal ini bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur. Kewenangan negara dalam bidang pertanahan merupakan pelimpahan tugas bangsa untuk mengatur dan memimpin penguasaan dan penggunaan tanah bersama yang dipunyainya. 11 Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik atau wewenang untuk mengatur/wewenang regulasi dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi.12 Menurut Soedargo Gautama menjelaskan mengenai pengertian menguasai ialah mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya, menentukan dan mengatur yang dapat dipunyai atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa istilah dikuasai dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA bukanlah berarti dimiliki, dengan jalan pikiran demikian jelaslah tidak ada tempat lagi untuk teori-domein, seperti
11
Winahyu Erwiningsih, 2009, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, Total Media, Yogyakarta, hal.83. 12 Muhammad Bakri, 2007, Hak menguasai tanah oleh Negara, Citra Media, Yogyakarta. hal.5.
dikenal dalam susunan hukum agraria sediakala karena asas domein verklaring telah dilepaskan dan menyesatkan.13 Pada tanggal 14 Januari 2004 telah disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Dalam Undang-Undang tersebut mengatur mengenai istilah barang milik negara/daerah. Pada bagian ketentuan umum Undang-Undang ini menjelaskan bahwa barang milik negara/daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Barang yang dimaksud dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Tanah dalam Undang-Undang tersebut termasuk dalam klasifikasi barang tidak bergerak. Hal ini dapat dilihat berawal dari ketentuan pasal yang mengatur mengenai pemindahtanganan barang milik negara/daerah seperti dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) dan Pasal 46 ayat (1) yang menyatakan bahwa: (1) Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. (2) Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. Selanjutnya dalam Pasal 46 ayat (1) menyatakan bahwa: (1) Persetujuan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk: a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan. b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang: 1) sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; 2) harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; 3) diperuntukkan bagi pegawai negeri;
13
hal.92-93.
Soedargo Gautama, 1993, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Alumni, Bandung,
4) diperuntukkan bagi kepentingan umum; 5) dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/ atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis. c. pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Sehubungan dengan munculnya istilah Barang Milik Negara dan Barang Milik
Daerah
pada
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
2004
tentang
Perbendaharaan Negara dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, terlebih lagi Pasal 46 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan tanah termasuk sebagai barang milik Negara/Daerah dan pemindahtanganannya dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah serta penyertaan modal pemerintah sesuai Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka telah timbul masalah hukum berkaitan dengan Konsep Hak Menguasai Negara atas Tanah dan penolakan atas Konsep Memiliki Negara atas Tanah berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia juncto Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria. Berdasarkan uraian diatas maka telah terjadi disharmonisasi norma antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria jo. Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Akibat hukum yang ditimbulkan dari persoalan ini akan muncul ketika ada seorang individu atau sekelompok masyarakat yang menduduki tanah negara dalam jangka waktu yang lama. Seiring berjalan waktu, tentu orang tersebut menginginkan kepastian hak atas tanah yang didiaminya selama sekian tahun dengan cara memohon hak atas tanah negara. Jika tanah yang dimohonkan merupakan tanah negara maka orang tersebut dapat memohonkan hak milik atas tanah melalui mekanisme permohonan hak atas tanah dan pemberian hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional. Akan tetapi jika tanah yang dimohonkan merupakan tanah yang diklaim sebagai tanah aset daerah atau memang merupakan tanah aset daerah yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan otentik dari pemerintah daerah setempat maka mekanisme permohonannya adalah melalui pemindahtanganan yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar-menukar, hibah dan penyertaan modal pemerintah antara pemerintah selaku pemilik barang milik daerah berupa tanah dengan pihak pemohon. Kemudian permasalahan hukum kedua dalam tesis ini adalah berkaitan dengan apakah pengaturan tentang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dapat menjamin masyarakat yang menguasai secara fisik atas barang milik daerah berupa tanah dalam waktu yang lama, mampu memperoleh hak milik atas tanah? Dalam penelitian ini dipilih istilah hukum pemindahtanganan karena objek dari penelitian ini merupakan tanah yang termasuk dalam kategori barang milik daerah berupa tanah yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Jadi apabila barang milik daerah berupa tanah
hendak dialihkan kepemilikannya, maka berdasarkan Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pengalihan tersebut dilakukan dengan cara pemindahtanganan. Dalam penelitian ini, saya telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang tanah aset pemerintah daerah. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain: 1. Jurnal penelitian dari Supriyadi dan Subadi, Staf Pengajar Ilmu Hukum Universitas Merdeka Madiun, Tahun 2001, dengan judul: “Tanah Aset Daerah Dalam Perspektif Konstitusi”. Rumusan masalah yang terdapat dalam jurnal penelitian ini adalah : a). Bagaimanakah kajian hukum mengenai Tanah Aset Pemerintah Daerah dari perspektif konstitusi ? b). Bagaimanakah sistem pengelolaan dari Tanah Aset Pemerintah daerah ? Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian jurnal tersebut adalah : a). Penguasaan dan pengelolaan Tanah Aset Daerah berasaskan publiekrechtelike yang meliputi kewenangan mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan untuk pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),
pengelolaan
(beheersdaad),
dan
pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad).
b). Telah terjadi pergeseran internal dalam UUPA yaitu; a) Bergesernya asas hubungan hukum publik (publiekrechtelijke) antara Negara dan/atau Daerah dengan tanah, menjadi adanya hubungan yang bersifat hubungan hukum privat (privaatrechtelijke) antara Negara dan/atau Daerah dengan tanah. c). Pergeseran eksternal terjadi akibat adanya pergeseran internal dalam UUPA yaitu; a) antara UUPA dengan peraturan perundangundangan di luar UUPA; b) dan semakin jauh pergeseran terjadi atas subyek-subyek pelaksana Hak Menguasai negara atas tanah, Hak Pakai, Hak Pengelolaan yang beraspek hukum publik, bergeser ke aspek hukum Privat dalam peraturan perundang undangan di luar UUPA. d). Kebijakan daerah tentang pengelolaan Tanah Aset Daerah pada umumnya telah sinkron dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yaitu; a) dengan Perda tentang ijin menempati tempattempat tertentu yang dikuasai Pemerintah Daerah; b) Tanah-tanah dengan Hak Pendahuluan yang semula berasal dari; tanah Negara bekas hak Eigendom atas nama Stadsgemeente, tanah Negara bebas dalam penguasaan Daerah berdasarkan pengakuan dari masyarakat serta pengakuan dari BPN yang berupa sikap diam-nya terhadap penguasaan tanah tanah Negara oleh Daerah, tanah bekas Hak Eigendom harus telah jelas batas, luas, dan status tanahnya, sedangkan pendaftaran menjadi Hak pakai, Hak Pengelolaan tidak
menghalangi hak penguasaan oleh Daerah menjadi tanah Aset Daerah. 2. Skripsi dari Muh. Afif Mahfud, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dengan judul: “Status Hukum Tanah Aset Daerah Dari Konversi Tanah Belanda Yang Tidak Disertifikatkan Di Kota Makassar”. Rumusan masalah yang terdapat dalam jurnal penelitian ini adalah : a). Bagaimanakah Status hukum tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda yang tidak disertifikatkan? b). Bagaimanakah Pengamanan yuridis tanah aset daerah secara yuridis formal ? Simpulan dari permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian jurnal tersebut adalah : a) Status hukum tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda yang tidak disertifikatkan adalah tanah negara. Tanah ini secara fisik dikuasai oleh Pemerintah Daerah Kota Makassar dan penguasaaan yuridis atas tanah negara tersebut pada Menteri Keuangan sebagai pengelola tanah negara (barang milik negara). Pemerintah Kota Makassar belum memiliki alas hak berupa surat keputusan pemberian hak pakai atas tanah negara dan hak pengelolaan. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Makassar belum menjadi subjek hak atas tanah-tanah tersebut.
b) Pengamanan yuridis tanah aset daerah secara yuridis formal didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 06 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah ada pada Pemerintah Kota Makassar. Pengelolaan tanah aset daerah tersebut terwujud dalam tujuh kegiatan termasuk pengamanan yuridis. Pengamanan yuridis dilakukan melalui penyertifikatan tanah. Penyertifikatan tanah aset daerah dari konversi tanah Belanda sangat lambat. Bahkan, saat ini hanya terdapat satu tanah aset daerah bekas tanah Belanda yang telah disertifikatkan. Lambatnya pengamanan yuridis atau penyertifikatan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu minimnya anggaran yang disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dokumen yang tidak tersimpan oleh pejabat terdahulu dan kantor yang selalu berpindah-pindah. Dari uraian beberapa penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan, karena fokus dari pada kajian penelitian ini adalah lebih kepada bagaimana pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dengan menganalisa beberapa peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal yang sama terkait pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah, sehingga tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian tentang pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah merupakan penelitian dengan isu hukum yang menarik, untuk itu berdasarkan hal inilah yang melatarbelakangi saya tertarik mengangkat penelitian ini dengan judul:
“PENGATURAN PEMINDAHTANGANAN BARANG MILIK DAERAH BERUPA TANAH UNTUK MASYARAKAT”. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disampaikan, maka perumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut: 1.2.1. Bagaimanakah pengaturan tentang pemindahtanganan Barang Milik Daerah Berupa Tanah ? 1.2.2. Apakah pengaturan tentang pemindahtanganan Barang Milik Daerah Berupa Tanah dapat menjamin masyarakat untuk memperoleh hak milik atas tanah ? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan dari penelitian ini menyangkut tujuan yang bersifat umum dan bersifat khusus, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1.3.1. Tujuan Umum Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan kajian hukum yang berkaitan dengan pengelolaan dan penguasaan barang milik daerah berupa tanah. 1.3.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui dan menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah. b.
Untuk
mengetahui
dan
memahami
apakah
pengaturan
tentang
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah dapat menjadi dasar bagi masyarakat yang menguasai secara fisik atas barang milik daerah
berupa tanah dalam waktu yang lama, mampu memperoleh hak milik atas tanah. 1.4 Manfaat Penulisan Diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1.4.1. Manfaat Teoritis 1. Sarana untuk menambah pengetahuan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat khusus di bidang peraturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat. 2. Menambah literatur khususnya mengenai pengaturan dalam bidang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat. 1.4.2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk diterapkan sebagai berikut: a. Bagi pemerintah eksekutif penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dalam hal pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah yang diberikan kepada masyarakat sebagai hak milik atas tanah. b. Bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau legislator, penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka revisi atau merancang suatu peraturan daerah yang baru khusus mengatur mengenai
pemindahtanganan
barang
milik
daerah
berupa
tanah
kepada
masyarakat sebagai hak milik atas tanah. c. Bagi Badan Pertanahan Nasional, penelitian ini sangat bermanfaat yang bertujuan untuk Badan Pertanahan Nasional yang notabene sebagai institusi yang mengurus di bidang pertanahan nasional agar lebih aktif dan intensif mengecek status tanah-tanah yang ada di lapangan. Sehingga dapat meminimalisir adanya mal administrasi dalam proses pengurusan tanah oleh masyarakat. d. Bagi Satuan Polisi Pamong Praja, penelitian ini dapat menjadi salah satu pedoman dalam menegakkan Peraturan Daerah yang mengatur mengenai barang milik daerah berupa tanah. Selain itu, juga bermanfaat dalam hal langkah preventif maupun represif terhadap permasalahan illegal occupation terhadap barang milik daerah berupa tanah di daerahnya. e. Bagi masyarakat penelitian ini dapat bermanfaat ketika menghadapi permasalahan dalam proses pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah yang ia mohonkan kepada pemerintah. f. Bagi saya sendiri, penelitian ini selain sebagai syarat dalam menyelesaikan studi akhir di Magister Kenotariatan Universitas Udayana juga bermanfaat untuk menambah wawasan khususnya di bidang pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah.
1.5 Landasan Teoritis Dalam tesis ini akan menggunakan beberapa teori-teori dan konsep yang mendukung dan relevan dengan topik penulisan yang dibuat. Dalam menerangkan dan menjelaskan secara spesifik suatu permasalahan yang terjadi maka diperlukan suatu teori, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta–fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Sebagai alur penalaran atau logika (flow of reasonic/logic), teori juga terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, definisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.14 Adapun teori yang digunakan adalah Teori Negara Hukum, Teori Perundangundangan dan Teori Harmonisasi Hukum. Dalam tesis ini juga menggunakan satu konsep yang menunjang analisa terhadap permasalahan yang dikaji. Konsep yang digunakan adalah konsep penguasaan pemerintah terhadap barang milik daerah berupa tanah 1.5.1 Teori a. Teori Negara Hukum Berdasarkan amanat konstitusi pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Secara garis besar dapat pula di simpulkan bahwa segala kekuasaan yang dimiliki dan dijalankan oleh negara adalah berlandaskan kedaulatan hukum.15 Istilah Negara hukum berkaitan dengan paham
14
J. Supranto, 2003, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, h.
194 15
E. Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM Univ. Negeri Padjajaran, Cet.ke-4, Bandung, hal.21-22.
rechtsstaat dan the rule of law, juga berkaitan dengan paham nomocracy yang berasal dari perkataan nomos dan kratos, nomos berarti norma, sedangkan kratos adalah kekuasaan, ialah kekuasaan oleh norma atau kedaulatan hukum.16 Istilah “rechtstaat” mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu sudah lama adanya. Istilah “the rule of law” mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the study of the law of the constitution”. Adapun unsur-unsur rechtstaat yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum Eropa Barat Kontinental sebagai berikut:17 a) Adanya jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia; b) Adanya pembagian kekuasaan berdasarkan trias politika Montequieu; c) Tindakan pemerintah berdasarkan undang-undang; d) Adanya peradilan administrasi negara.
Sedangkan di sisi yang lain, AV Dicey dari kalangan ahli hukum Anglo Saxon memberikan unsur-unsur dari pada the rule of law sebagai berikut:18 a) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law) tidak ada kekuasaan yang sewenang-wenang di tangan eksekutif, semuanya berdasarkan pada hukum; b) Tidak seorangpun yang kedudukannya di atas hukum, atau kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law); 16
Jimly Assidiqie, 2005, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 151. 17 A. Mukthie Fadjar, 2005, Tipe Negara Hukum, Cet. Kedua, Bayumedia Publishing, Malang, Jawa Timur, hal. 42. 18 A.V. Dicey, 1959, An Introduction to Study of Law of the Constitution, Mac Millan & Co. London, hal.117, diterjemahkan Nurhadi M.A., 2007, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Cetakan Pertama, Nusamedia, Bandung, hal. 251-261.
c) Perlindungan/penjaminan
hak
akan
kebebasan
individu
yang
didasarkan pada Konstitusi (the constitution based on individual rights). Sistem hukum Indonesia seasas dengan sistem hukum di negara-negara Eropa Barat Kontinental. Secara garis besar dapat pula di simpulkan bahwa segala kekuasaan yang dimiliki dan dijalankan oleh negara adalah berlandaskan kedaulatan hukum. Di Indonesia sendiri berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat).19 konsep negara hukum disamakan begitu saja dengan konsep rechtsstaats dan the rule of law, ini merupakan sesuatu yang wajar karena jika ditarik secara garis historis, Indonesia pertama kali mengenal konsep rechtstaat ataupun istilah negara hukum dari bangsa Belanda yang kala itu menduduki wilayah Indonesia dan memberlakukan konsep rechtsstaat, yang pada perkembangan selanjutnya utamanya sejak perjuangan menumbangkan periodisasi orde lama negara hukum begitu saja diganti dengan the rule of law.20 Berdasarkan kedua teori Negara hukum klasik yang dikemukakan oleh F.J. Stahl dan AV.Dicey maka Indonesia masuk dalam kategori negara hukum. Hal ini dikarenakan unsur-unsur negara hukum tersebut sudah terkandung dalam beberapa Pasal pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diantaranya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warga negara 19
Sjahran Basah,1997, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di Indonesia,Cetakan Ketiga, Alumni Bandung, hal. 2. 20 Philipus M.Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Bina Ilmu, Surabaya, hal.66-67.
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28 D ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang sama dihadapan hukum. Begitupun juga terkait dengan asas legalitas yang juga merupakan salah satu unsur dari negara hukum juga diterapkan dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Berkenaan dengan unsur dibentuknya peradilan administrasi, Pasal 24 ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan yang berwenang mengadili segala tindakan pemerintah yang berhubungan dengan keputusan tata usaha negara yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara. Unsur adanya peradilan administrasi/peradilan tata usaha negara merupakan salah satu unsur dari negara hukum klasik yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl. Indonesia tidak seyogyanya begitu saja mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki konsep negara hukumnya sendiri yaitu konsep “Negara Hukum Pancasila”.
Philipus M. Hadjon berpendapat
bahwa, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang yuridisme Pancasila maka
secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah “Negara Hukum Pancasila”.21 Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara Hukum Pancasila adalah sebagai berikut: a. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan nasional; b. hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara; c. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; d. keseimbangan antara hak dan kewajiban. Semakin banyaknya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat, bagi negara hukum modern seperti Indonesia tindakan pemerintah tersebut jelas harus dilandasi aspek-aspek hukum agar tindakan pemerintah tersebut tidak menimbulkan konflik dikemudian hari. John Austin menyatakan bahwa : “The most essential characteristic of positive law, consists in it’s imperative character. Law is conceived as a command of the sovereign”.22 Bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara dimana hakikat dari hukum itu sendiri terletak pada unsur perintah. Dalam negara hukum, apa yang menjadi dasar pembentukan suatu pemerintahan didasarkan atas hukum yang berlaku. Sampai saat ini ada dua cara yang dapat dipergunakan untuk menelusuri suatu negara dikatakan sebagai negara
21
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, hal.162 22 H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, Blakstone Press Limited, London, Page.14.
hukum, yaitu yang pertama melalui konstitusi dari negara yang bersangkutan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh K.C. Wheare yang menyatakan “what should a constitution contains? The very minimum, and minimum to be rules of law” (isi minimum suatu konstitusi adalah tentang negara hukum).23 Kedua berdasarkan pandangan ilmiah dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan unsur-unsur/ciri-ciri dari suatu negara hukum.24 Teori negara hukum ini sangat relevan untuk menjadi landasan pada setiap penelitian yang berkaitan dengan regulasi maupun kebijakan hukum yang bersifat publik. Seperti misalnya dalam penelitian tesis ini yang mengkaji permasalahan tentang pengaturan pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk warga masyarakat, dalam pengaturan ini para pengambil kebijakan dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi unsurunsur dari pada negara hukum seperti misalnya unsur setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang dan kemudian unsur adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, agar peraturan yang dibuat dapat diterima dan dilaksanakan sebagaimana mestinya di masyarakat. b. Teori Perjenjangan Norma Hukum yang ada pada suatu negara khususnya Indonesia harus tersusun secara sistematis dan berjenjang. Dalam setiap pembentukan peraturan perundangundangan dikenal teori hierarki norma atau penjenjangan norma atau biasa disebut teori Stufentheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teorinya Hans 23
K. C. Wheare, 1975, Modern Constitution, Oxford University Press, New York, Page.
24
Joeniarto, 1968, Negara Hukum, Yayasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Yogyakarta,
33-34 hal.36.
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki atau tata sususan dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar atau Grundnorm. Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma dan norma tersebut tidak dibentuk dari norma lebih tinggi lagi, tetapi norma dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai norma dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu norma dasar itu dikatakan pre-supposed.25 Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang diatasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya dan dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi yaitu norma dasar itu menjadi tempat bergantunganya norma-norma dibawahnya, sehingga apabila norma dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada dibawahnya. Salah satu murid Hans Kelsen yaitu Hans Nawiasky mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara, menurut Nawiasky suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang berada dibawah berlaku, bersumber, dan berdasar pasa suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis, norma itu juga berkelompok25
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2010, Ilmu Perundang-Undangan Jenis , Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41.
kelompok, dan pengelompokan norma menurut Hans Nawiasky terdiri dari empat yaitu: Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara), Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar atau Aturan Pokok Negara), Formell Gesetz (Undang-Undang Formal), Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana / Aturan Otonom)”. Menurut Hans Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu Negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu Negara sebaiknya
tidak
disebut
sebagai
staatsgrundnorm
melainkan
Staatsfundamentalnorm atau norma fundamental negara. Grundnorm mempunyai kecenderungan untuk tidak berubah atau bersifat tetap, sedangkan di dalam suatu Negara norma fundamental Negara itu dapat berubah sewaktu-waktu karena adanya pemberontakan, kudeta dan sebagainya. Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, Abdul Hamid Saleh Attamimi membandingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur dan tata hukum di Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, A. Hamid S. Attamimi menggambarkan perbandingan antara Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut dalam bentuk piramida. Selanjutnya A. Hamid S. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah :26
26
Ibid, hal.48
1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD NRI 1945); 2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD NRI 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; 3. Formell Gesetz : Undang-Undang; 4. Verordnung & Autonome Satzung : secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia dikenal adanya hierarki peraturan
perundang-undangan.
Hierarki
peraturan
perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintahan Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. Selanjutnya mengenai peraturan perundang-undangan lainnya yang ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) yaitu : “Jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1) mencakup peraturan
yang ditetapkan oleh
Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa
Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas pemerintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi,
Gubernur,
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.” Teori perjenjangan norma ini sangat penting digunakan dalam penelitian ini karena selain untuk mengidentifikasi peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah juga dapat sebagai dasar dalam penyelesaian masalah konflik norma, norma kosong, norma kabur dan disharmonisasi norma. Misalnya dalam penelitian ini terdapat disharmonisasi norma akibat dari adanya inkonsistensi norma secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. c. Teori Harmonisasi Hukum Dalam uraian diatas
terdapat
kesimpulan
awal
bahwa terdapat
permasalahan hukum yaitu adanya disharmonisasi norma akibat dari adanya inkonsistensi secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Maka dari
itu dalam rangka untuk menunjang penyelesaian permasalahan tersebut, diperlukan teori harmonisasi norma agar norma yang bermasalah dapat selaras. Penggunaan istilah “harmonisasi” lazim dipakai dalam bidang seni musik untuk memperlihatkan permainan instrumen nada, perpaduan, kerjasama yang selaras sehingga menghasilkan nada indah dan harmoni. Istilah harmonisasi yang dimaknai sebagai suatu penyelarasan telah merambah ke dalam bidang hukum. Hukum dalam konsep pembaharuan masyarakat merupakan alat untuk memelihara keseimbangan, keselarasan, keserasian dan ketertiban dalam masyarakat. Pengharmonisasian Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, sebenarnya bukanlah merupakan suatu konsep baru, melainkan sudah berjalan atau dilaksanakan
cukup
lama
peraturan perundang-undangan),
oleh pembuat yaitu
kebijakan
(penyusun
telah ada sebelum dilakukannya
perubahan/amandemen terhadap Undang-Undang Dasar
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1945. Berbagai peraturan perundang-undangan memerlukan harmonisasi guna menghindarkan saling tumpang tindih kewenangan dan benturan kepentingan, baik antar instansi pemerintah Pusat maupun antara Pusat dan Daerah. Upaya harmonisasi diperlukan mengingat peraturan perundang-undangan yang berlaku harus disesuaikan dengan berbagai perubahan yang telah terjadi dalam sistem hukum Indonesia, terutama setelah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang sangat menentukan arah kebijakan hukum nasional, karena merupakan peraturan perundang-undangan tertinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia.
Namun demikian Disharmonisasi hukum dapat saja terjadi jika terdapat ketidakselarasan antara satu
norma hukum dengan norma hukum yang lain.
Menurut pengamatan L.M. Lapian Gandhi terhadap praktik hukum di Indonesia, ada sejumlah penyebab timbulnya disharmonisasi itu. Ia menyinggung 8 (delapan) faktor, yakni:27 1. Perbedaan antara berbagai undang-undang atau peraturan perundangundangan. Selain itu jumlah peraturan yang makin besar menyebabkan kesulitan untuk mengetahui atau mengenal semua peraturan tersebut. Dengan demikian pula ketentuan yang mengatakan bahwa semua orang dianggap mengetahui semua undang-undang yang berlaku niscaya tidak efektif. 2. Pertentangan antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaan 3. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan kebijkan instansi pemerintah. Kita kenal dengan juklak yang malahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang akan dilaksanakan. 4. Perbedaan antara peraturan perundang-undangan dengan yurisprudensi dan surat edaran mahkamah agung. 5. Kebijakan-kebijakan instansi pemerintah pusat yang saling bertentangan. 6. Perbedaan antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah. 7. Perbedaan antara ketentuan hukum dengan rumusan pengertian tertentu. 8. Benturan antara wewenang instansi-instansi pemerintah karena pembagian wewenang yang tidak sistematis dan jelas. 27
L.M. Gandhi, “Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif” Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 14 Oktober 1995, hlm. 10-11.
Namun demikian, menurut Sidharta pada saat melakukan harmonisasi, dapat terjadi beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya disharmonisasi dalam sistem hukum yaitu:28 a. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi format peraturan yakni peraturan yang hierarkinya lebih rendah bertentangan dengan hierarki peraturan yang lebih tinggi, misalnya antara peraturan pemerintah dengan undang-undang. b. Terjadi inkonsistensi secara vertikal dari segi waktu, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi yang satu lebih dulu berlaku daripada yang lain. c. Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi peraturan, yakni beberapa peraturan yang secara hierarkis sejajar tetapi substansi peraturan yang satu lebih umum dibandingkan substansi peraturan lainnya. d. Terjadi inkonsistensi secara horisontal dari segi substansi dalam satu peraturan yang sama, misalnya ketentuan pasal 1 bertentangan dengan ketentuan pasal 15 dari satu undang-undang yang sama. e. Terjadi inkonsistensi antara sumber formal hukum yang berbeda, misalnya antara undang-undang dan putusan hakim atau antara undang-undang dan kebiasaan. Disharmoni biasanya terjadi dalam tataran normatif, norma atau kaidah adalah peraturan yang memiliki rumusan yang jelas untuk dijadikan pedoman 28
Shidarta, 2005, “Kerangka Berpikir Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Dalam Pengelolaan Pesisir”, dalam buku Jason M. Patlis dkk. (ed.), Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, diterbitkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Dep. Kelautan dan perikanan, Dep. Hukum dan HAM, bekerjasama dengan Mitra Pesisir (Coastal Resources Management Project), Jakarta, hlm.62.
perilaku. Terdapat peraturan yang lebih abstrak dari norma yaitu asas, dan diatas asas terdapat aturan yang paling abstrak yaitu nilai. Jika disusun hierarkis , maka asas sebenarnya lebih tinggi kedudukannya dari norma. Atas dasar hal itu maka jika terjadi disharmoni antara norma-norma hukum, solusi penyelesaiannya adalah dengan menerapkan asas-asas hukum. Disharmoni
peraturan
perundang-undangan
tersebut
tidak
dapat
dipisahkan dari problematika dasar konstitusi Indonesia. Artinya, pemahaman terhadap persoalan dasar itu harus terlebih dulu diletakkan pada landasannya, sebelum analisis ke arah harmonisasi peraturan perundang-undangan itu sendiri. Dalam
Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
2011
mengatur
pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR. Selain itu diatur pula pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi semua rancangan peraturan perundang-undangan, dari RUU, RPP, Perpres, sampai dengan Raperda, baik Raperda
Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Adapun pengaturan
secara terperinci pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi peraturan
perundang-undangan,
khususnya
Rancangan
Undang-Undang
berdasarkan UU No. 12 Tahun 2001, dalam pembahasan ini pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU (RUU
yang berasal dari DPR)
Sebagaimana diatur dalam Pasal 46 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
Dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib DPR RI (TATIB DPR), Pasal 60 menegaskan bahwa salah satu tugas Badan Legislasi DPR RI adalah melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pematapan konsepsi
rancangan
undang-undang
yang
diajukan
anggota,
komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan DPR. Dalam melakukan
kajian
pengharmonisasian,
pembulatan,
dan
pemantapan konsepsi aspek yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut: a) Aspek Dasar Hukum (Yuridis-Konstitusional dan Yuridis-Normatif), yaitu:
Dasar
konstitusionalitas
pembentukan
RUU
yang
akan
diharmonisasi; Tap MPR yang mendelegasikan atau berkaitan langsung dengan RUU dimaksud (apabila ada); Undang-Undang yang berlaku yang
mengatribusikan/memerintahkan
atau
yang memiliki korelasi
positif dengan RUU yang diharmonisasi. b) Aspek Yuridis-Formil Secara formil RUU yang diharmonisasi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (2) dan Pasal 109 ayat (1) Tata Tertib DPR RI terkait dengan hak inisiatif Dewan dalam pengajuan suatu RUU. Selain
itu,
RUU
yang
akan
diharmomisasi sudah masuk dalam list atau daftar Prolegnas Prioritas Tahun berjalan, dan ketika diajukan untuk diharmonisasi sudah dilengkapi dengan draft RUU dan Naskah Akademik, hal ini sesuai dengan UU No.
12 Tahun 2011 Jo UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 99 ayat (6) TATIB DPR. c). Aspek Yuridis-Materiil Secara
materil,
kajian
pengharmonisasian,
pembulatan
dan
pemantapan konsepsi RUU secara garis besar dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu: i.
hal-hal yang bersifat teknis (aspek teknis legal drafting berdasarkan Undang-Undang No. 12 pembentukan
peraturan
Tahun
2011
dan
asas-asas
teknik
perundang-undangan, redaksional dan
sistematika/struktur); dan ii.
hal-hal
yang
harmonisasi
bersifat substansi
substantif
(hal
ini
berkaitan
dengan
RUU dengan UUD 1945, Peraturan
Perundang-Undangan yang terkait, dan harmoinisasi antar pasal atau bagian
atau materi muatan dalam RUU,
serta
untuk dilakukan
pembulatan dan pemantapan konsepsi). 1.5.2 Konsep Dalam setiap penelitian hukum normatif lazimnya selalu dilakukan pendekatan undang-undang terlebih dahulu. Langkah selanjutnya untuk dapat menjelaskan norma harus diawali dengan pendekatan konseptual karena norma sebagai suatu bentuk proposisi tersusun atas rangkaian konsep. Dengan demikian kesalahan konsep mengakibatkan alur nalar sesat dan kesimpulan yang
menyesatkan.29 Dalam tesis ini menggunakan konsep penguasaan pemerintah terhadap barang milik daerah berupa tanah. Dalam kaitannya dengan pengertian penguasaan, Satjipto Rahardjo menyatakan: “Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya. Pertanyaan yang menunjuk kepada adanya legalitas hukum disini tidak diperlukan. Di samping kenyataan, bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan seseorang masih juga perlu dipertanyakan sikap bathin orang yang bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu, yaitu padanya apakah memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya.
Kedua
untur
tersebut
masing-masing
disebut
corpus
possessionis dan animus posidendi.30 Menurut Satjipto Rahardjo, penguasaan fisik atau penguasaan yang bersifat factual selanjutnya ditentukan oleh ada atau tidak adanya pengakuan hukum untuk memperoleh perlindungan. Hukumlah yang menyatakan sah atau tidak sah atas penguasaan yang dilakukan terhadap fisik suatu barang oleh seseorang.31 Dalam kaitan dengan tesis ini, pengertian penguasaan berhubungan dengan soal penguasaan Barang Milik Daerah berupa Tanah, dengan, mengacu pada teori J.B.V.Proudhon tentang pembagiannya mengenai Milik Privat Negara dan Milik Publik Negara. Pengertian „Milik‟ dalam „Milik Privat‟ dan „Milik Publik‟ tidak sama dengan pengertian “Eigendom” dalam pengertiannya sebagai milik mutlak
29
Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, hal.39. 30 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal.62. 31 Ibid
atau Property. Pengertian „Milik‟ tersebut menunjuk pada arti „Penguasaan‟ atau Possesion. J.B.V.Proudhon adalah seorang Guru Besar bangsa Perancis, yang pada awal abad ke-19 telah melahirkan Teori Pemisahan antara Milik Privat (Domein Privat) dan Milik Publik (Domein Public).32 Menurut E. Utrecht, bahwa Proudhon membagi antara Milik Privat yaitu benda-benda Milik Negara, yang digunakan secara langsung oleh aparat pemerintah untuk menjalankan tugas-tugasnya, seperti tanah dan rumah dinas bagi pegawai, gedung perusahaan negara, dan Milik Publik, yaitu benda-benda yang disediakan oleh pemerintah untuk dipergunakan secara langsung oleh masyarakat, seperti jalan umum, jembatan, pelabuhan dan sebagainya. Proudhon membuat dikotomi Milik Publik dan Milik Privat tersebut berdasarkan penggunaan bendanya, yaitu apabila digunakan sendiri oleh pemerintah, maka menjadi milik privat pemerintah, namun apabila benda itu digunakan oleh masyarakat, maka menjadi milik publik pemerintah. Selanjutnya dinyatakan oleh E. Utrecht, bahwa menurut Proudhon, oleh karena peraturan-peraturan mengenai Milik Privat biasa tidak berlaku bagi bendabenda Milik Publik, maka pemerintah bukan pemilik (eigenaar) atas benda-benda Milik Publik. Negara hanya menguasai (beheren) dan melakukan pengawasan (toezichthouden, droit de garde et de surintendance) atas benda-benda Milik Publik.33 Teori Proudhon inilah yang mendekati dengan rumusan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, walaupun tidak secara utuh pendapat Proudhon itu sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 33 ayat 32
E. Utrecht, 1986, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka Tanta Masa, Surabaya, hal.238. 33 Ibid, hal.239.
(3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketika sudah terkait pada persoalan penguasaan atas tanah. Hak Menguasai Negara atas Tanah menurut Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu sesungguhnya tidak hanya mengenai benda-benda Milik Publik, tetapi juga termasuk benda-benda Milik Privat. Dasar pembagian oleh Proudhon adalah mengenai dasar hukum penguasaan benda-benda itu oleh pemerintah atau negara. Menurut pendapat Proudhon, bahwa hak menguasai tidak tunduk pada hukum perdata atau privat, tetapi tunduk pada hukum publik. Hal ini bermakna dalam kaitan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terhadap benda-benda dalam penguasaan negara, baik itu milik privat maupun milik publik sesuai konsep Proudhon, sepanjang mengenai penguasaan tanah oleh negara, maka bersifat publik semata. Adapun
pembedaan
secara
tegas
antara
pengertian
penguasaan
(possession) dan hak milik (ownership), bahwa hak menguasai atau hak penguasaan didasarkan atas adanya hubungan antara seseorang dengan suatu obyek. Jadi, ciri pokoknya adalah masalah kenyataan atau fakta. Dalam kaitannya dengan penguasaan atas tanah di Indonesia, semua persoalan mengenai penguasaan atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya hanya berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu bumi dan air da kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dalam kaitannya dengan teori Proudhon yang
membedakan antara Milik Privat sebagai benda-benda Milik Negara yang digunakan secara langsung oleh aparat pemerintah untuk menjalankan tugastugasnya, seperti tanah dan rumah dinas pegawai, gedung perusahaan negara. Milik privat ini dalam kaitannya dengan Negara atau Daerah sebagai subjek hak dapat diidentikkan dengan Hak Pakai sebagaimana diatur dalam UUPA. Sedangkan Milik Publik adalah benda-benda yang disediakan oleh pemerintah untuk dipergunakan secara langsung oleh masyarakat, seperti jalan umum, jembatan, pelabuhan dan sebagainya. Adapun milik publik dalam hal ini identik dengan Hak Pengelolaan dalam hukum tanah nasional saat ini. 1.6 Metode Penelitian Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.34 Metode atau cara pengkajian suatu masalah yang dilakukan secara deskriptif analitik yaitu menguraikan kaidah-kaidah dalam aturan hukum yang berhubungan dengan aspek tata cara pemindahtanganan tanah aset pemerintah daerah kepada warga masyarakat. 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada.35
34
Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, hal. 26. 35 Bambang Waluyo, 2008, Penelitian hukum dalam praktek, Sinar grafika, Jakarta, hal. 6.
Dalam penyusunan tesis ini dilakukan suatu penelitian hukum. Penelitian hukum merupakan suatu proses menemukan hukum yang mengatur aktifitas manusia, hal ini melibatkan penempatan yang baik itu aturan yang diselenggarakan oleh negara dan komentar yang menjelaskan atau menganalisa aturan-aturan tersebut.36 Berdasarkan buku Legal Research oleh Morris L. Cohen & Kent C. Olson, mereka berpendapat bahwa penelitian hukum yaitu “Legal research is an essential component of legal practice. It is the prosess of finding the law that governs an activity and materials that explain or analyze that law”, penelitian hukum dikatakan sebuah komponen penting dari praktik hukum, ini merupakan proses untuk menemukan hukum yang mengatur suatu aktifitas yang menjelaskan atau menganalisa hukum material tersebut.37 Adapun jenis penelitian hukum yang digunakan adalah mempergunakan jenis metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, menurut Sunaryati Hartono, merupakan penelitian yang monodisipliner yaitu penelitian yang digunakan untuk mengetahui dan mengenal hukum, menyusun dokumendokumen
hukum,
menulis
makalah,
menjelaskan
atau
menerangkan
bagaimanakah hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu, untuk mencari asas-asas hukum, teori-teori hukum, dan sistem hukum terutama dalam hal penemuan dan pembentukan asas-asas hukum baru, pendekatan hukum yang baru dan sistem hukum nasional (yang baru).38 Jenis penelitian ini digunakan karena penelitian ini berangkat dari adanya disharmonisasi norma akibat dari 36
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 19. Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 2000, Legal Research, In A Nutshell, West Group,ST. Paul, Minn, Printed in the United States of America, hal.1 38 C.F.G.Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke20, Edisi Pertama, Cet.I, Alumni, Bandung, hal.140-141. 37
terjadinya inkonsistensi norma secara vertikal antara Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dengan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok
Agraria
yang
pada
dasarnya
mengatur
mengenai
tata
cara
pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat. 1.6.2. Jenis Pendekatan Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, menurut Johnny Ibrahim dapat digunakan beberapa pendekatan sebagai berikut :39 1. Pendekatan Perundang-undangan ( statute approach ) 2. Pendekatan Konsep ( conceptual approach ) 3. Pendekatan Analitis ( analytical approach ) 4. Pendekatan Perbandingan ( comparative approach ) 5. Pendekatan Historis ( historical approach ) 6. Pendekatan Filsafat ( philosophical approach ) 7. Pendekatan Kasus ( case approach ) Jenis pendekatan dalam penelitian ini akan dikaji dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute approach) dan pendekatan konseptual (Conceptual Approach). a.
Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach), menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan perundang-undangan merupakan pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan 39
Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal.300.
regulasi yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani.40 Pendekatan perundang-undangan dalam tesis ini dilakukian dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tata cara pemindahtanganan barang milik daerah berupa tanah untuk masyarakat, khususnya Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya. b.
Pendekatan
Konseptual
(Conceptual
Approach),
adalah
merupakan
pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.41 Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji konsep dari hak menguasai Negara, konsep barang milik daerah dan konsep tanah penguasaan daerah. 1.6.3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan traktat. Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, 40
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenda Media Group, Jakarta, hal.94. 41 Ibid, hal.95.
contohnya makalah, buku-buku, laporan hukum dalam bentuk akademik, tesis, laporan dan karya tulis lain, majalah yang berhubungan dengan penelitian ini. Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus, buku pegangan. 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat, yaitu: -
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
-
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)
-
Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya
-
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043).
-
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4355).
-
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 5234).
-
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
-
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Tanah Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 14; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1953 Nomor 362)
-
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3643)
-
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3696)
-
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 4578);
-
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 123; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 5165);
-
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 92; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5533);
-
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah
-
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011 Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2013 Nomor 4; Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2013 Nomor 4)
-
Peraturan Gubernur Bali Nomor 37 Tahun 2011 tentang Rincian Tugas Pokok Sekretariat Daerah Provinsi Bali
-
Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 500-468 tanggal 12 Februari 1996 tentang masalah Ruilslag Tanah-tanah
2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan yang mencakup, buku-buku, jurnal hukum, text book, majalah-majalah, surat kabar, kamus hukum,
media internet dan hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.42 3. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum ini diperoleh dari ensiklopedia, kamus hukum, serta dokumen-dokumen penunjang lainnya yang dapat mendukung maupun memperjelas bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui kegiatan studi dokumentasi. Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklasifikasikan menurut kelompoknya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan serta data sekunder berupa studi dokumen pada instansi yang terkait dengan penelitian yang dilakukan.43 1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian di analisis dengan menggunakan teknik pengolahan bahan hukum “deskripsi, interpretasi, evaluasi, dan sistematisasi”. Teknik deskripsi dengan menguraikan (mengabstrasikan) apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum dan non hukum yang dijumpai (fakta-fakta hukum). Dari teknik deskripsi ini
42
Bambang Sunggono, 2007, Metodelogi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.185. 43 Irawan Soehartono, 2008, Metode Penelitian Sosiologi Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial Dan Ilmu Sosial Lainnya, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, hal.67-68.
memperlihatkan sifat penelitian ini lebih kepada penelitian teori dan asas-asas hukum yang relevan atau biasa disebut theoretical research. Dalam salah satu literaturnya Terry Hutchinson menjelaskan bahwa theoretical research adalah “Research which fosters a more complete understanding of the conceptual bases of legal principles and of the combined effect of a range of rules and procedures that touch on particular area of activity.”44 Teknik interpretasi menurut Sudikno Mertokusumo merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gamblang tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu.45 atau penafsiran menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum secara normatif
terhadap
proposisi-proposisi
yang
dijumpai
untuk
selanjutnya
disistematisasi sesuai pembahasan atas pokok permasalahan tesis ini. Selanjutnya Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, baik yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Kemudian terakhir Teknik sistematisasi adalah upaya untuk mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun yang tidak sederajat. Hasil dari ketiga teknik analisis tersebut kemudian dilakukan analisis menurut isinya (content analysis), serta diberikan argumentasi untuk mendapat
44
Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook Co., Sydney, Australia, hal. 9. 45 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 61.
kesimpulan atas pokok permasalahan dalam tesis ini.46 Sehingga analisa yang dilakukan dalam tulisan ini tidak menggunakan angka-angka untuk memberikan jawaban berkenaan dengan pokok permasalahan melainkan berupa fakta-fakta. Proses analisis dilakukan secara terus menerus hingga mendapatkan hasil penelitian yang valid sesuai dengan substansi permasalahan yang diteliti.
46
Sumandi Suryabrata, 1992, Metodologi Penelitian, , CV. Rajawali, Jakarta, hal. 85.