1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) dewasa ini begitu pesat. Ilmu pengetahuan dan teknologi memegang peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa atau negara. Hampir semua aspek kehidupan masyarakat di dalam suatu negara maupun masyarakat global telah dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh misalnya, aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan hukum, yang tidak bisa lepas dari perkembangan iptek. Dalam perkembangannya iptek memiliki dua sisi, yaitu dampak positif dan dampak negatif. Dari sisi positif perkembangan iptek yang memberikan manfaataat bagi masyarakat atau negara, sedangkan sisi negatifnya dapat mendatangkan kemudaratan bagi banyak orang apabila disalahgunakan. Jadi perkembangan teknologi tidak selamanya mendatangkan manfaat bagi banyak orang. Hal ini tergantung dari maksud dan tujuan penggunaannya. Demi kemajuan suatu bangsa, tentunya hal yang perlu dihindari dari perkembangan iptek ialah dampak negatif yang timbulkan. Hal ini menjadi penting karena dampak negatif sangatlah merugikan. Sebagai contoh misalnya seiring berkembangnya iptek, mengakibatkan munculnya bentuk kejahatan dalam dimensi baru dalam suatu negara atau bahkan dalam skala yang lebih luas lagi (internasional).
2
Salah satu kejahatan yang muncul dan berkembang seiring perkembangan iptek adalah kejahatan pencucian uang (money laundering). Kejahatan pencucian uang dalam perkembangannya telah menggunakan modus operandi yang sangat variatif, terorganisasi (organized crime), lintas negara (transnational crime), dan melibatkan korporasi sebagai pelaku (corporate crime). Bahkan dengan kemajuan teknologi informasi, kejahatan pencucian uang ini dapat menjadi salah satu bentuk dari kejahatan dunia maya (cyber crime).1 Kejahatan ini juga termasuk kejahatan korporasi (corporate crime), karena tidak jarang melibatkan korporasi sebagai pelaku. Korporasi yang dimaksudkan disini tidak hanya korporasi di bidang usaha, melainkan korporasi dalam arti luas. Dilihat dari pelakunya, kejahatan ini termasuk kategori kejahatan kerah putih (white collar crime), karena dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan dan berstatus sosial tinggi. Modus operandi yang paling sering dan mudah dalam pelaksanaanya ialah dengan memanfaatkan sektor keuangan. Sektor keuangan dimaksud, lembaga keuangan seperti bank maupun non bank. Dengan menggunakan sarana lembaga keuangan, para pelaku mampu memasukan, memindahkan, mengeluarkan uang hasil dari berbagai kejahatan dalam waktu yang sangat singkat. Dampak dari kejahatan pencucian uang secara langsung tidak merugikan orang tertentu atau perusahaan tertentu. Sepintas lalu tampaknya pencucian uang
1
M. Arief Amrullah, 2004 (cetakan kedua), Tindak Pidana Pencucian Uang/Money Laundering, Bayumedia, Malang, hlm. 13.
3
tidak ada korbannya. Pencucian uang tidak seperti hal perampokan, pencurian atau pembunuhan yang ada korbannya dan yang menimbulkan kerugian bagi korbannya.2 Menurut International Moneter Financial (IMF) dalam tulisan Vito Tanzi yang berjudul ‘Money Laundering and International Financial Sistem (May 1996)’ berpotensi: (1) merugikan efektivitas ekonomi nasional dan melemahkan kebijakan ekonomi negara; (2) mendorong terjadinya korupsi di pasar keuangan dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional sehingga
meningkatkan
resiko dan
ketidakstabilan sistem tersebut; (3)
menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi.3 Dari uraian di atas, kejahatan pencucian uang dampaknya tidak langsung dirasakan oleh orang perseorangan, tetapi apabila tidak ditanggulangi dampaknya mampu menggoyahkan stabilitas ekonomi, politik, hukum, budaya, serta aspek lainnya dalam suatu negara. Itu artinya bahwa kejahatan pencucian uang menimbulkan dampak yang sangat besar bagi masyarakat/negara. Tujuan melakukan pencucian uang ialah memberikan legitimasi pada dana yang diperoleh secara tidak sah (illicit funds). Dengan menggunakan cara tertentu membuat dana tersebut dapat bergerak dengan leluasa di masyarakat tanpa berakibat menghadapi resiko penyitaan (confiscation) atau memicu adanya
2
Sutan Remy Sjahdeini, 2004, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 15. 3 Philips Darwin, 2012, Money Laundering: Cara Memahami Dengan Tepat Dan Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, Tanpa Kota Penerbit, hlm. 30.
4
penangkapan serta tindakan hukum lainnya.4 Dengan kata lain, pencucian uang dilakukan untuk melegalkan uang haram atau hasil kejahatan (proceeds of crime). Sebagai upaya untuk menanggulangi kejahatan pencucian uang, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Setahun kemudian, Undang-Undang Nomor. 15 Tahun 2002
diubah
dengan
Undang-Undang
No.
25
Tahun
2003.
Dalam
perkembangannya pun Undang-Undang Nomor. 25 tahun 2003, kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor. 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.5 Perubahan dan penggantian Undang-Undang dilakukan untuk kebutuhan dalam penegakan hukum yang lebih efektif lagi. Dalam kenyataan praktik pencucian uang tidaklah mudah dicegah dan diberantas. Hal ini dikarenakan, tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan (follow up crime). Dengan kata lain, jenis tindak pidana ini berhubungan dengan tindak pidana lainnya yang biasanya disebut tindak pidana asal (predicate crime) atau dengan istilah lain disebut predicate offence. Disebut tindak pidana asal karena tindak pidana tersebut lebih dahulu sebelum tindak pidana pencucian uang dilakukan. Hasil dari tindak pidana asal
4
Yenti Garnasih, 2003, Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering), Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 54. 5 Bahwa Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar Internasional sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang baru;
5
(proceeds of crime)6 tersebut kemudian
disamarkan sedemikian rupa dengan
proses yang dikenal dengan istilah pencucian uang (money laundering). Di Indonesia, tindak pidana asal yang sering menjadi sorotan media dan menjadi fokus utama para aparat penegak hukum adalah tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime), sehingga dalam upaya penegakan hukumnya pun dibutuhkan upaya yang luar biasa. Hubungan antara tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang, merupakan hubungan berkelanjutan. Dikatakan demikian karena, hampir sebagian besar hasil dari tindak pidana korupsi berujung atau bermuara pada tindak pidana pencucian uang. Hal ini disebabkan pelaku korupsi (koruptor) untuk menghindari penyitaan terhadap hasil korupsinya, biasanya menyamarkan, menyembunyikan hasil tindak pidana tersebut dengan berbagai cara. Dengan kata lain diantara kedua jenis tindak pidana ini terdapat suatu pola hubungan yang berlanjut. Pola hubungan antara kedua jenis tindak pidana ini tersebut sekiranya dapatlah dikatakan sebagai hubungan yang pasti ada. Artinya dimana ada tindak pidana korupsi, pasti ada tindak pidana pencucian uang. Tidak hanya pola hubungan sinergis, diantara keduanya terdapat kesamaan dalam hal subjek tindak pidana. Kedua jenis tindak pidana ini menempatkan korporasi sebagai subjek 6
Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyeludupan tenaga kerja; penyeludupan migran; dibidang perbankan; dibidang pasar modal; dibidang pengasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; dibidang perpajakan; dibidang kehutanan; dibidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih.
6
tindak pidana disamping manusia alamiah (natuurlijke persoon). Itu artinya selain manusia, korporasi juga dapat melakukan kedua jenis tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Keberadaan korporasi sebagai subjek tindak pidana pencucian uang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (9) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang. Bunyi pasal tersebut menyatakan bahwa “setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi”. Selanjutnya dalam ayat (10) dinyatakan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Pengertian korporasi tersebut, sama persis dengan pengertian korporasi dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Definisi atau pengertian sebagaimana dimaksud dalam kedua undang-undang tersebut, sama dengan definisi korporasi dalam RUU KUHP-2013.7 Berdasarkan pengertian korporasi sebagaiamana dimaksud di atas, apabila diinterpretasikan secara gramatikal maka setiap kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum termasuk kategori korporasi. Dengan kata lain partai politik sebagai suatu
7
Pasal 182, Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
7
organisasi nasional yang terorganisasi dan berbadan hukum, masuk dalam kategori korporasi. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008, jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai politik, menyatakan bahwa partai politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum. Sebagai badan hukum yang diakui eksistensinya dalam lalu lintas pergaulan hukum, partai politik mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh negara. Konsekuensi diakuinya partai politik sebagai pemegang hak dan kewajiban, maka partai politik dapat pula dipertanggungjawabkan secara hukum. Partai politik merupakan organisasi yang berorientasi pada kekuasaan, memiliki kedudukan strategis dalam sistem demokrasi. Dalam rangka memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan, partai politik berkompetisi dalam pemilihan umum (pemilu). Pemilu yang dimaksud antara lain: pemilu legislatif, presiden dan wakil presiden, maupun kepala daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota). Dengan kata lain, pemilu merupakan instrumen untuk memperoleh, mempertahankan kekuasaan. Selanjutnya, setelah memenangkan pemilu partai politik berhak untu mengisisi jabatan-jabatan tertentu dalam struktur pemerintahan (pusat/daerah). Jabatan-jabatan tersebut diisi oleh kader (calon yang memenangkan pemilu). Kemenangan partai politik dalam pemilu, melegitimasi penguasaan atas jabatanjabatan tersebut berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Melalui orang-orang
8
yang menduduki jabatan itulah partai politik menjalankan semua program partai yang telah disusun sebelumnya menjadi program atau kebijakan pemerintah. Namun dalam menjalankan pemerintahan, kenyataannya banyak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan yang berasal dari partai politik. Hal ini terlihat jelas dari banyaknya para pejabat yang berasal dari partai politik tertentu terlibat dalam pelanggaran hukum (tindak pidana korupsi). Hampir sebagian besar kasus korupsi yang sudah diputus maupun yang masih ditangani oleh aparat penegak hukum di pusat maupun daerah melibatkan kader-kader partai politik tertentu. Bahkan dalam beberapa kasus, tidak tanggung-tanggung melibatkan pucuk pimpinan partai politik itu sendiri. Misalnya kasus sapi impor yang melibatkan presiden PKS, kasus Hambalang yang melibatkan beberapa petinggi Demokrat. Walaupun hampir sebagian besar kasus korupsi dilatar belakangi dengan motif menguntungkan pribadi, tetapi tidak menuntup kemungkinan sebagian dari hasil korupsi tersebut dimaksudkan untuk menguntungkan orang lain atau bahkan korporasi. Dalam hal inilah partai politik sebagai organisasi dimana para koruptor tersebut berasal sangat rentan dengan aliran dana hasil korupsi yang dilakukan oleh para kadernya. Aliran dana tersebut bisa dalam bentuk iuaran anggota, atau sumbangan dalam bentuk lainnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan aliran dana hasil tindak pidana korupsi berasal dari donatur yang merupakan rekanan
9
partai politik, misalnya pengusaha yang terlibat dalam korupsi dalam proyek pemerintah. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa partai politik saat ini sangat bergantung pada sumber daya keuangan untuk membiayai setiap program partai. Oleh karena itu tidaklah heran kalau partai politik saat ini berlomba-lomba menggandengan para pengusaha untuk dijadikan sebagai donatur atau bahkan diajak terjun langsung ke panggung politik sebagai anggota partai. Terkait hal demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagai badan hukum partai politik dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana diketahui bahwa dalam tindak pidana pencucian uang mengenal korporasi sebagai subjek tindak pidana disamping manusia. “korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Dengan kata lain partai politik dapat dikategorikan sebagai korporasi. Namun
demikian
yang
menjadi
permasalahan
ialah
bagaimana
pertanggungjawaban partai politik dalam kedudukannya sebagai korporasi dalam tindak pidana pencucian uang. Hal ini mengingat konsep korporasi yang dianut dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang sangatlah luas. Oleh karena itu untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana partai politik sebagai korporasi, perlu diuraikan berdasarkan 5 (lima) parameter pertanggungjawaban pidana korporasi.
10
Kelima parameter tersebut antara lain, apa yang dimaksud dengan korporasi, kapan korporasi dianggap melakukan tindak pidana pencucian uang, siapa saja yang dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi, bagaimana mempertanggungjawabkannya, serta sanksi pidana apa saja yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi. Dengan demikian, penelitian ini sejatinya dilakukan untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana partai politik dalam tindak pidana pencucian uang dalam kedudukannya sebagai korporasi. Analisis dilakukan berdasarkan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi, dengan tetap mengacuh pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Oleh karena itu, untuk memudahkan dalam penelitian dan pembahasan nantinya, maka penelitian ini diberi judul “Pertanggungjawaban Pidana Partai Politik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang” B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan tersebut diatas, maka rumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah formulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana partai politik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ? 2. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana partai politik menurut UndangUndang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ?
11
3. Bagaimanakah reformulasi pertanggungjawaban pidana partai politik dalam tindak pidana pencucian uang yang ideal di masa yang akan datang ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui formulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana partai politik dalam tindak pidana pencucian uang. 2. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana partai politik menurut UndangUndang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 3. Untuk mengetahui reformulasi pertanggungjawaban partai politik dalam tindak pidana pencucian uang yang ideal di masa yang akan datang. D. Manfaat Penelitian Adapun hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat akademik terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bidang hukum pidana sebagai referensi dalam penelitian lanjutan oleh peneliti lainnya; 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para praktisi (penegak hukum) dalam rangka penegakan hukum, dan juga kepada orang-
12
orang partai politik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan partai politik. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran referensi dari hasil penulisan tesis dan hasil penelitian lainnya pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, belum ditemukan karya ilmiah dengan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Namun demikian penulis menemukan beberapa karya ilmiah yang mengkaji beberapa topik yang terkait dengan penelitian ini, akan tetapi berbeda dalam hal pengkajian masalah. Adapun beberapa karya ilmiah tersebut sebagai berikut: 1. Alit Amarta Adi, 2012, Politik Hukum Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia.8 Dengan rumusan masalah dalam penelitiannya antara lain: Bagaimanakah regulasi keuangan partai politik di Indonesia ?. Hal-hal apa saja yang seharusnya diatur dalam hukum keuangan partai politik ?. Bagaimanakah sebaiknya model pengaturan keuangan partai politik yang ideal di Indonesia ?. Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang diangkat oleh Alit Amarta Adi dalam penelitiannya, pada intinya penelitian tersebut mengkaji tentang politik hukum keuangan partai politik. Penelitian yang penulis lakukan adalah mengkaji tentang pertanggungjawaban pidana partai politik dalam tindak pidana pencucian
8
Alit Amarta Adi, 2012, “Politik Hukum Pengaturan Keuangan Partai Politik di Indonesia,” Tesis, Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
13
uang. Dari rumusan masalah tidak ada kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara Alit Amarta Adi. 2. Tri Basuki Raharjo9, 2009, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Perpajakan. Dengan rumusan masalah dalam penelitiannya antara lain: Bagaimanakah sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perpajakan ?. Siapa
yang
bertanggungjawab dalam hal korporasi melakukan tindak pidana perpajakan ?. Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang diangkat oleh Tri Basuki Raharjo dalam penelitiannya, pada intinya penelitian tersebut mengkaji tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana perpajakan. Penelitian yang penulis lakukan mengkaji tentang pertanggungjawaban pidana partai politik dalam tindak pidana pencucian uang. Rumusan masalahnya pun tidak ada kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara Tri Basuki Raharjo. 3. Esti Kusumastuti10, 2007, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Terkait Dengan Proses Penyelesaian Kepailitan (studi kasus antara PT Alam Multi sari dan PT Alam Raya Sewing Machine & Electronic Industri)”. Dengan rumusan masalah dalam penelitianya antara lain: Bagaimana tanggung jawab pidana korporasi yang melakukan 9
Tri Basuki Raharjo, 2009, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Perpajakan.” Tesis, Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 10 Esti Kusumastuti, 2007, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Kejahatan Terkait Proses Penyelesaian Kepailitan (studi kasus antara PT. Alam Multi Sari dan PT. Alam Raya Sewing Machine & Electronic Industrie),” Tesis, Magister Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
14
kejahatan yang terkait dengan proses penyelesaian kepailitan ?. Bagaimana cara PT Alam Raya Sewing Machine & Electronic Industrie dan PT Alam Multi Sari melakukan kejahatan yang terkait dengan proses penyelesaian kepailitan berdasarkan kasus antara PT tempo Utama Finance dengan PT Alam Raya Sewing Machine & Electronic Industrie dan PT Alam Multi Sari ?. Berdasarkan judul dan rumusan masalah yang diangkat oleh Esti Kusumastuti dalam penelitiannya, pada intinya penelitian tersebut
mengkaji tentang pertanggungjawaban
pidana
korporasi dalam proses kepailitan. Penelitian yang penulis lakukan mengkaji tentang pertanggungjawaban pidana partai politik dalam tindak pidana pencucian uang. Rumusan masalahnya pun tidak ada kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh saudara Esti Kusumastuti. Dari ketiga karya ilmiah di atas, ternyata tidak terdapat adanya kesamaan judul dan/atau permasalahan penelitian. Dengan demikian dapat dikatakan penelitian ini belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan bukan merupakan karya ilmiah orang lain (plagiasi) dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.