1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bahasa Al-Qur‟an bukan lagi sekedar kata-kata, frasa, dan kalimat yang menjadi bacaan rutinitas umat Islam, tetapi juga sebagai tanda dan pembawa pesan dan informasi untuk dikomunikasikan kepada umat manusia. Oleh karena itu, bahasa Al-Qur‟an bukan sebatas proses komunikasi antara Allah dan RasulNya, antara Allah dan hambaNya, antara Rasul dan umatnya, antara sesama umat manusia, melainkan bahasa komunikasi yang di dalamnya maksud dan pesan, dan ini terdapat pada teks kebahasaannya. Secara kesatuan bahasa, teks kebahasaan Al-Qur‟an terdiri dari kata, kalimat, dan paragrap yang sarat makna. Karenanya dilihat dari aspek ini, ia dapat didekati sebagaimana teks-teks lainnya yang dapat dikaji dan diteliti. Di dalam teks kebahasan Al-Qur‟an terdapat untaian wacana pertuturan yang dapat ditelaah dan ditelusuri melalui unsur-unsur linguistik, baik secara tekstual maupun kontekstual. Sebagai contoh, Q.S. Thaha (20) : 44:
َ شى ََ ْفَ َُقَْوََلَََوَُقََْوًَلََيََنًاََ ََعلَ َوَُيَََتَََذكَ َُرَأََْوَ ََي
(Faqūlā lahu qaulan layyinan la’allahu yatadzakkaru aw yakhsya.)
(Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‟aun) dengan kata kata yang lemah lembut. Mudah-mudahan ia sadar atau takut.) (Q.S. Thaha (20) : 44) Ayat ini menunjukkan adanya proses pertuturan antara Allah dan RasulNya, yaitu Nabi Musa dan Nabi Harun. Namun apakah informasi ayat ini hanya sebatas proses pertuturan? Apakah ada maksud dan pesan lainnya yang dapat
2
ditelusuri melalui unsur kebahasaannya? Apakah dapat ditelusuri hanya sekedar membaca dan memahami terjemahannya saja tanpa melihat unsur kebahasa-arabannya? Apa yang didapat bila penelusuran dilakukan secara perspektif sosiolinguistik dan pragmatik? Contoh lainya, Q.S. Luqman (31) :18 :
َ خَْوٍَر َُ الََف ٍَ ََُبََ َُكلََ َُهَْت َُِ لللََََل َ ََضَ ََمََر ًَحاََإِن َِ فَلأََْر َ َِش َِ ََْ ََ اسَََوََل َِ َصعَ َْرَ ََخدَ ََكََِ َلن ََ ََُوََلََت
(Wa lā tusha’’ir khaddaka linnāsi wa lā yamsyi fil ardhi marachan inna Allah lā yuhibbu kulla mukhtālin fakhūrin.) (Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi ini dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang orang yang sombong lagi membanggakan diri.) (Q.S. Luqman (31) :18) Ayat ini menunjukkan adanya proses pertuturan antara Allah dan hambaNya dengan bahasa larangan untuk tidak berperilaku bergaya sombong. Namun apakah maksud ayat ini hanya sebatas pemahaman dalam perilaku bergaya sombong? Kalau iya, artinya pemahamannya hanya sebatas memahami terjemahannya atau makna tekstual saja. Kalau memang demikian, apakah cukup sekedar membaca dan memahami terjemahannya saja tanpa melihat unsur kebahasaarabannya? Apakah ada maksud dan pesan lainnya yang dapat ditelusuri dalam konteks perilaku berbahasa sombong melalui unsur kebahasaannya? Apa yang didapat bila penelusurannya dilakukan secara perspektif sosiolinguistik dan pragmatik? Sebagai contoh lainnya, Q.S. Al-Isra (17) : 23 :
َ ساَنًا ََ اَوَلَِ ََدَيْ َِنََإِ َْح ََ ِكَأَلََتَ َْعَبُ َُدولََإِلَََإِيَ َاهَُ ََوَب ََ َىَرب ََ ََوَق ََ ض
(Wa qadhā rabbuka alla ta’budū illā iyyahu wa bilwālidaini ichsanan.)
3
(Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu.) (Q.S. Al-Isra (17) : 23) Ayat ini menunjukkan adanya larangan dan perintah Allah kepada hambaNya. Namun apakah maksud ayat ini hanya sebatas proses pertuturan dalam konteks melarang dan memerintah? Apakah teks ini hanya cukup dipahami melalui terjemahannya saja tanpa dapat ditelusuri melalui unsur kebahasa-arabannya, padahal terdapat perbedaan yang mencolok antara bahasa Indonesia dan bahasa Arab, seperti dalam konteks pemakaian bahasa Arab, kata “ihsān” dapat dirangkai dengan preposisi huruf “lam”, huruf “ila”, atau huruf “ba”. Apa yang didapat bila penelusurannya dengan memperhatikan konteks kebahasaaraban tersebut, dilakukan secara perspektif sosiolinguistik dan pragmatik? Permasalahan-permasalahan di atas membuktikan bahwa teks bahasa Al-Qur‟an yang terdiri dari kata, kalimat dan paragraf ini dapat dikaji dan ditelusuri sebagaimana teks-teks lainnya melalui unsur kebahasaannya. Sebagaimana kajian Ilmu Balaghah (Ilmu Retorika Arab), baik Ilmu Ma‟ani, Ilmu Bayan, maupun Ilmu Badi‟, unsur-unsur bahasa pada teks bahasa AlQuran manjadi fokus kajiannya yang dianalisis, sebagai contoh dalam kajian ِ majaz, seperti Firman Allah : “َلَس َم ِاء َ ِرْزقًا َ ( ” ََويُنَ زُل ََ ُك َْم َم َنQ.S. 40 :13) Majaz dalam ayat ini terletak pada kata bukan kalimat, yaitu kata “” ِرْزقًا/rizqan (rezki). Kata ini dipahami sebagai majaz karena melihat hubungannya dengan kata-kata ِ sebelumnya, yaitu kalimat “ََلَس َم ِاء yunazzilu lakum minas samā’i َ َ ”ويُنَ زُل ََ ُك ْم َم َن/wa (Kami turunkan dari langit) . Kalimat ini menunjukkan bahwa yang Allah
4
turunkan dari langit adalah air hujan. Air hujan ini adalah kata yang bermakna haqiqi. Hubungan antara kata rezki dan air hujan adalah hubungan sebab akibat. Unsur-unsur linguistik dari bahasa Al-Qur‟an yang mengandung wacana pertuturan diutarakan dalam bentuk struktur kebahasaan , baik perintah, larangan, maupun dalam bentuk narasi atau dialog. Struktur kebahasaan ini menjadi fokus analisa dalam menelaah dan menelusuri prinsip-prinsip bertutur, yang boleh jadi merupakan panduan dan tatanan tingkah laku bertutur yang sesuai dan diterima, baik secara norma agama dan norma masyarakat, maupun secara strategi bertutur bahwa aktivitas bertutur memiliki cara, tujuan dan hasil yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, permasalahan aspek ini perlu digali lebih dalam lagi melalui teks bahasa Al-Qur‟an yang mengutarakan permasalahan ini. Unsur-unsur linguistik dari bahasa Al-Qur‟an yang mengandung wacana pertuturan, dapat juga dilihat dari aspek pemilihan kata dan koherensi dalam aktivitas bertutur. Teks-teks kebahasaan Al-Qur‟an yang berbentuk narasi atau berbentuk dialog, seperti dialog antara ayah dan anak (keduanya sama-sama muslim), atau dialog antara anak dan ayah (di antara keduanya ada perbedaan status agamanya), atau dialog-dialog lainnya yang memberikan informasi wacana bertutur, mengandung konteks pertuturan yang berpengaruh terhadap pemilihan kata dan koherensinya, hal ini menjadi penting apabila mengacu kepada keefektivitasan bertutur.
5
Agar kajian teks bahasa Al-Qur‟an ini lebih terfokus, hal yang akan kita jadikan variabel pengamatan utama atau objek formal adalah prinsip-prinsip bertutur. Penelitian yang memfokuskan langsung kepada prinsip bertutur sebagai variabel pengamatan utama atau objek formal ini, akan memberikan faedah pada pengembangan dan perluasan dari kajian linguistik secara umum, dan khususnya dari segi asas yang menjadi pokok dasar dalam berkomunikasi atau bertutur. Kajian permasalahan bertutur ini yang bersumber dari objek material yaitu teks bahasa Al-Qur‟an adalah kajian dogmatis, atau penelitian terhadap teks bahasa Al-Qur‟an ini bersifat dogmatik. Untaian wacana pertuturan banyak terdapat di dalam teks-teks kebahasaan
Al-Qur‟an, dan ini dapat
ditelaah dan ditelusuri melalui unsur- unsur linguistiknya dengan menggunakan pendekatan kajian etnografi komunikasi. Oleh karena itu, kajian unsur linguistik pada teks-teks Al-Qur‟an dalam konteks perspektif etnografi komunikasi, pada gilirannya akan dapat menjawab permasalahan wacana pertuturan dalam Al-Qur‟an, dan tentu akan memberikan faedah bagi masyarakat secara umum yang tidak bisa lepas dari aktivitas bertutur. Aktivitas bertutur yang positif dalam suatu masyarakat, tentu akan menimbulkan sebuah interaksi sosial yang harmonis, dan keharmonisan dalam berinteraksi sosial sangat dibutuhkan dalam membangun suatu bangsa dan negara. Maka dari itu, berdasarkan permasalahan yang ada, fokus penelitian ini adalah prinsip-prinsip bertutur dalam Al-Quran. Sedangkan subfokus penelitian
6
yaitu (1) strategi bertutur, (2) norma-norma bertutur, (3) pengaruh konteks terhadap pilihan kata dan koherensi. Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimanakah Prinsip-Prinsip Bertutur dalam Al-Qur‟an?. Adapun pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah strategi bertutur yang baik dan efektif dalam Al-Qur‟an ? 2. Bagaimanakah norma-norma bertutur yang beretiket dan beretika dalam Al-Qur‟an ? 3. Bagaimanakah pengaruh konteks terhadap pilihan kata dan koherensi pada prinsip bertutur dalam Al-Qur‟an ?
B. Tujuan Penelitian Tujuan akhir yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah dihasilkannya pemahaman dan pengetahuan konkret tentang prinsip-prinsip bertutur berdasarkan objek material yaitu teks bahasa Al-Qur‟an. Tujuan penelitian tersebut disusun untuk memperoleh gambaran empirik tentang prinsip-prinsip bertutur atas dasar Al-Qur‟an. Sementara itu, rincian tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Untuk mengungkapkan strategi bertutur yang baik dan efektif yang terdapat dalam Al-Qur‟an. 2. Untuk mengungkapkan norma-norma bertutur yang beretiket dan beretika yang terdapat dalam Al-Qur‟an. 3. Untuk mengungkapkan pengaruh konteks terhadap pilihan kata dan koherensi pada prinsip bertutur yang terdapat dalam Al-Qur‟an.
7
C. Tinjauan Pustaka Kajian linguistik bahasa Arab, sepanjang sejarahnya mulai dari abad pertama hijrah hingga zaman modern sekarang ini, perkembangannya selalu bersentuhan dengan bahasa Al-Qur‟an. Bahasa Al-Qur‟an selalu menjadi objek penelitian yang dikaji dari berbagai macam tinjaun bahasa, baik aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantiknya, maupun aspek gaya bahasa dan kemukjizatannya yang sering tertuang dalam sebuah kajian yang disebut dengan “ I’jāzul Lughawi (kajian penggunaan gaya bahasa yang amat indah), I’jāzul ‘Adadi (kajian penggunaan jumlah bilangan kata yang amat indah), dan I’jāzul Bayāni (kajian penggunaan kalimat penjelas yang amat indah). Di antara pakar bahasa Arab ada yang mengkaji homonimi, sinonim, dan atau antonim dalam bahasa Al-Qur‟an, seperti buku yang dikarang oleh Muqatil bin Sulaiman Al-Balkhi (w 150 H) dengan judul; “ Al-Wujūh wa AnNazhā’ir “ berbicara tentang homonimi dalam Al-Quran. Begitu pula pakar bahasa Arab lainnya, Al-Mubarrid (w 285 H) homonimi
dalam
menulis
buku
tentang
Al-Quran dengan judul; “ Kitābun mattafaqa lafzhuhu
wakhtalafa ma’nahu min Al-Qur’an Al-Karīm “. Ibnu Faris (w 395 H) mengkaji fenomena sinonim dan antonim bahasa Arab dalam bukunya; “ Fiqhul Lughah wa Sunanul Arab fi Kalāmihim “. Pada zaman modern, kajian linguistik Arab pun tidak lepas dari bahasa Al-Qur‟an sebagai objeknya, seperti tinjauan bahasa Al-Qur‟an dari aspek sintaksis, aspek gaya bahasa, dan aspek bahasa serapan yang terdapat dalam
8
Al-Qur‟an, sebagaimana yang dikaji oleh Abdul Jalīl Abdurrahmān dalam bukunya yang berjudul; “ Lughatul Qur’anil Karīm “. Penelitian secara ilmiah yang berhubungan dengan kajian linguistik dan bahasa Al-Qur‟an menjadi objeknya, khususnya di Indonesia, telah dilakukan oleh beberapa pakar bahasa Arab. Ada yang mengkaji bahasa Al-Qur‟an dari aspek rasionalitas bahasa Al-Qur‟an, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmad Thib Raya dalam Disertasinya “ Rasionalitas Bahasa Al-Qur‟an, Upaya Menafsirkan Al-Qur‟an Dengan Pendekatan Kebahasaan “, yang kemudian dibukukan dan diterbitkan (2006). Permasalahan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa bahasa Al-Qur‟an memiliki fleksibilitas yang tinggi yang dapat dipahami secara rasional, baik secara tekstual maupun secara kontekstual dengan berbagai pendekatan termasuk di dalamnya dengan pendekatan kebahasaan. Tinjauan terhadap bahasa Al-Qur‟an lainnya dilakukan oleh Mamat Zainudin dengan judul bukunya; “ Keindahan Ungkapan Iltifāt (perpindahan pronoun) dalam Al-Qur‟an “ (2006). Kajian ini melihat bahasa Al-Qur‟an dari aspek gaya bahasa yang menggunakan perpindahan dalam penggunaan dhamīr (pronominal) yang tiga, baik persona I, persona II, ataupun persona III, dan penggunaan ‘adad dhamīr (bilangan pada pronominal) yang terdiri dari tiga macam, yaitu tunggal, dual, dan jamak. Di samping itu, penelitian ilmiah terbaru yang berhubungan dengan bahasa Al-Qur‟an dan ditinjau dari aspek relasi makna katanya adalah penelitian yang dilakukan oleh Zahrudin dengan judul Disertasinya; “ Relasi Makna dalam
9
Al-Qur‟an; Analisis Terhadap Kata Kata yang Memiliki Relasi Makna dalam Al-Qur‟an yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia “ (2010). Kajian terhadap bahasa Al-Qur‟an yang tersebut di atas menunjukkan belum adanya penelitian ilmiah terhadap Al-Qur‟an yang ditinjau dari aspek pertuturan yang tertuang dalam teks kebahasaannya. Namun, pertuturan bukan hal yang baru dalam kajian linguistik. Para ahli bahasa Indonesia telah mengkaji berbagai variasi bahasa yang ditinjau dari segi pemakaiannya yaitu bahasa lisan. Salah satu bagian dari bahasa lisan bila ditinjau dari segi bentuknya adalah percakapan atau pertuturan, seperti yang dilakukan oleh A. Chaedar Alwasilah dalam bukunya; “Sosiologi Bahasa”, Mansoer Pateda dalam “Sosiolinguistik”, dan lain sebagainya. Kajian pertuturan yang dikembangkan oleh para linguis Indonesia mengacu pada apa yang terjadi dalam bahasa Indonesia atau masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, penelitian disertasi ini akan mengacu pada apa yang terdapat dalam Al-Qur‟an, hanya yang membedakannya adalah penelitian disertasi ini lebih spesifik pada prinsip-prinsip bertutur yang terdapat dalam Al-Qur‟an.
D. Landasan Teori Landasan teori ini memaparkan teori-teori yang relevan dengan fokus penelitian. Paparan ini bertujuan untuk memahami latar belakang yang sifatnya teoritis, terutama Hakikat Al-Qur‟an dan Etnografi wicara atau Etnografi komunikasi yang dijabarkan oleh Dell Hymes, yaitu komponen bertutur
10
(Component of Speech) yang diakronimkan dalam bahasa Inggris menjadi “ SPEAKING “ yang dipergunakan dalam penelitian ini sebagai kerangka kerja. 1. Komponen Bertutur Teori Etnografi wicara atau Etnografi komunikasi yang dijabarkan oleh Dell Hymes menjelaskan komponen-komponen bertutur (Components of Speech) dengan konsep akronim bahasa Inggris “ SPEAKING”: (1989:54) 1). S (Setting dan Scene). Latar (setting) mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya pertuturan, dan biasanya mengacu kepada keaadaan fisik. Sementara, suasana (scene) mengacu kepada “latar psikologis”. 2). P (Participant). Artinya; peserta yang terlibat dalam pertuturan, yaitu penutur atau pengirim pesan (speaker or sender), pendengar atau penerima pesan (hearer or receiver), mitra tutur (addressee), dan hadirin (audience). 3). E (Ends). Artinya; unsur yang menunjukkan bahwa pertuturan memiliki maksud dan tujuan, serta hasil atau efek ( akibat, pengaruh, kesan ) yang ingin dicapai. 4). A (Act Sequences). Artinya; unsur yang menunjukkan bahwa pertuturan memiliki dimensi bentuk dan isi. Dimensi bentuk adalah bentuk kata atau kalimat yang digunakan. Dimensi isi adalah apa yang dituturkan 5). K (Key). Artinya; unsur yang menunjukkan bahwa pertuturan mempunyai metode atau cara penyampaiannya yang tepat dan efektif. 6). I (Instrumentalities). Artinya; unsur yang menunjukkan bahwa pertuturan dapat dilakukan dengan memanfaatkan jalur lisan atau tulisan.
11
7). N (Norms). Artinya; unsur yang menunjuk pada norma-norma yang mengikat dan mempengaruhi perilaku peserta pertuturan. 8). G (Genres). Artinya; unsur yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. Sementara itu, komponen-komponen bertutur dalam konsep akronim bahasa Prancis adalah “PARLANT” (Sumarsono, 2013:335), yaitu: 1). P (Participant), yaitu partisipan yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Dalam akronim bahasa Inggris juga disebut Participant. 2). A (Actes), yaitu tindak tutur yang meliputi bentuk pesan dan isi pesan. Dalam akronim bahasa Inggris disebut Act Sequences. 3). R (Raison, Resultat), yaitu maksud dan hasil. Dalam akronim bahasa Inggris disebut Ends, yaitu maksud-hasil dan maksud-tujuan. 4). L (Locale). Yaitu lokal yang mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur. Dalam akronim bahasa Inggris disebut setting (latar) dan scene (suasana). 5). A (Agents), yaitu peranti, perabotan. Dalam akronim bahasa Inggris disebut Instrumentalities (instrumentalitas). 6). N (Normes), yaitu norma-norma dalam pertuturan. Dalam akronim bahasa Inggris disebut norms pula. 7). T (Types), yaitu kategori. Dalam akronim bahasa Inggris disebut genre. Berikut ini penjabaran komponen-komponen bertutur dalam akronim bahasa Inggris “ SPEAKING “ :
12
1) Pertuturan Ditinjau dari Aspek “ Setting dan Scene “ Dell Hymes menjelaskan bahwa “Setting refers to the time and place of a speech act and , in general, to the physical circumstances. Scene, which in distinct from setting, designates the “psychological setting”, or the cultural definition of an occasion as a certain type of scene. (1989:55) Artinya latar (setting) adalah unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya pertuturan. Tempat di mana kita bicara serta waktu kapan kita bicara, menimbulkan perbedaan-perbedaan ujaran. Sementara itu, suasana (scene) adalah unsur yang mengacu kepada “latar psikologis”, atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis suasana tertentu. Pertuturan, terutama bahasa lisan, hidup dan berkembang karena adanya interaksi sosial. Ketika interaksi sosial sedang berlangsung, ada faktor yang mempengaruhi jalannya sebuah pertuturan. Pateda (1994:15) menyebutkan bahwa faktor konteks situasi mempengaruhi proses pertuturan dalam pemilihan kata-kata dan bagaimana caranya bertutur. Cara bertutur ketika situasi sedang berduka berbeda dengan cara bertutur dalam sebuah pesta. Begitu juga peristiwa tutur yang terjadi antara penjual dan pembeli di pasar akan mempengaruhi penggunaan bahasa. Konteks adalah lingkungan bahasa, situasi dan kondisi yang mengelilingi sebuah kata. Berdasarkan pengertian ini, konteks ada dua macam yang tidak terpisahkan yaitu konteks bahasa dan konteks hal (keadaan). Yang pertama bersandar kepada pertuturan yang diucapkan,
13
dan yang kedua bersandar kepada keadaan situasi dan kondisi yang ada pada aktivitas berbicara, baik keadaan situasi dan kondisi penutur dan mitra tutur, maupun situasi dan kondisi sosialnya. Dalam analisis wacana, konteks wacana dibentuk dari berbagai unsur, seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, amanat, kode dan saluran. (Darma, 2009:4) Konteks bahasa adalah hubungan semua unsur bahasa yang mengelilingi kata dan kalimat. Kata ketika diletakkan dalam kalimat atau suatu ungkapan berarti kata tersebut berada dalam posisi konteks bahasa. Begitu pula Kalimat ketika diletakkan dalam sebuah wacana atau teks berarti kalimat tersebut berada dalam posisi konteks bahasa. Tetapi ketika kata dan kalimat tersebut diucapkan pada situasi dan kondisi tertentu, berarti kata dan kalimat tersebut berada dalam posisi konteks hal (keadaan) K.Amer mengusulkan pembagian konteks menjadi empat bagian : (1) konteks bahasa, (2) konteks emosional, (3) konteks situasi, (4) konteks budaya (Umar, 1982 : 69) 1)- Konteks Bahasa Artinya hubungan semua unsur bahasa yang mengelilingi kata dan kalimat. Maksudnya adalah peletakan kata di dalam konteks bahasa yang bermacam-macam struktural, seperti kata
َس ٌن ََ ََح/chasanun
(baik) dapat
menjadi sifat dari berbagai macam kontekstual, yaitu bisa untuk menyifati seseorang, bisa juga untuk sesuatu yang kontemporer seperti waktu, hari, pesta, dan bisa juga untuk jumlah atau ukuran seperti udara atau air.
14
Kata
ََح َس ٌن
/chasanun bila diletakkan berdampingan dalam konteks
bahasa dengan kata
َََر َُج ٌل
/ rajulun
(orang laki laki), maka akan
menunjukkan aspek prilaku atau akhlak. Tapi bila berdampingan dengan kata
َب ٌ طََبَِْي
/thabībun (dokter), maka akan menunjukkan makna kualitas
dalam pekerjaan dan bukan aspek akhlak. Bila diletakkan berdampingan dengan kata
َ ََم/ma‟un (air), maka akan menunjukkan makna kejernihan ٌاء
dan kebersihan. Konteks bahasa ini dapat dibagi beberapa bagian: (1). Kombinasi bebas (َللُر ََ
َب َُ ص ََ َ َلَت/at-tashāhub ُ اح
al-hur). Maksudnya
adalah peletakan kata-kata untuk mendampingi kata-kata lain yang tidak terbatas, seperti kata
َلج َو ََ ََو
/wājaha (menghadapi) yang dapat
mendampingi objek bermacam macam seperti للَال َ /al-chāl (keadaan),
لَص َعَُْوَبَة َُ
/ash-shu‘ubah (kesulitan),
ش َِكلَة َْ لَ َُم
/al-musykilah (masalah),
َلَع َُد ّو ََ /al-‘aduw (musuh) dan lain sebagainya. (2). Kolokasi (م َ َب َلَ َُمَْنَتَظ َ اح َُ ص ََ َ َلَت//at-tashāhub al-muntazham). Maksudnya
ُ
ُ
adalah peletakan kata untuk mendapingi kata tertentu, dan tidak bisa
15
diganti dengan kata lain, seperti
َ َيَ ًَدلََبَِيَ ٍد/yadan biyadin (kontan) tidak
bisa diganti dengan َكف َ ِ َيَ ًَدلََب/yadan bikaffin. (3). Idiom (ُحيَ َة َِ ل ََ ص َِط َْ لل َِ َ لت َُ لَتََ َْعَبِْيََر/at-ta„bīrāt al-’isthlāchiyyah). Maksudnya
َ
adalah rangkaian kata dengan kata secara khusus, yang tidak mungkin diganti dengan kata lainnya, seperti
َض َُ لَبَََْي ُ َت َلأَبََْي
/al-bait al-’abyadh
(gedung putih) 2)- Konteks Emosional Maksudnya adalah makna yang dibatasi berdasarkan derajat kuat dan lemahnya perasaan yang menuntut penguatan atau hiperbola atau kejujuran, seperti kata “love” berbeda emosionalnya bila dibandingkan dengan kata “like”, sekalipun kedua kata tersebut mengandung makna yang sama. 3)- Konteks Situasi Maksudnya adalah makna yang dibatasi berdasarkan peletakan kata dalam situasi tertentu, seperti kata
َيَََْر ََح ُم/yarham dipakai dalam situasi dan
kondisi seseorang yang bersin ُللل َ َك ََ ُح ََ يَََْر/yarchamukallah (dimulai dengan kata kerja). Tapi kata inipun dipakai ketika seseorang dalam situasi dan kondisi yang telah berpulang ke rahmatullah
ََ لللُ َيَََْر َ ُحَُو
/Allah yarchamuh
16
(dimulai dengan kata benda). Yang pertama bermakna permohonan rahmat dari Allah di dunia, sementara yang kedua bermakna permohonan rahmat dari Allah di akhirat. 4)- Konteks Budaya Maksudnya adalah makna kata yang dibatasi oleh ruang lingkup budaya atau sosial dimana kata itu dipergunakan, seperti kata
ٌََع َِقْيََلَة
/„aqīlatun (istri) dalam bahasa modern menunjukkan status sosial berbeda dibandingkan dengan kata
ٌََزَْو ََجَة
/zawjatun (istri), sebab
kata
ٌَع ِقْي لََة
/„aqīlatun menunjukkan status sosial wanita yang terhormat. Contoh lain seperti kata
ََِج َْذ ٌر
/ jidzrun (akar), dalam bidang pertanian, kata ini
mempunyai makna tersendiri dan berbeda maknanya dalam bidang bahasa dan berbeda pula dalam bidang matematika. Pemahaman terhadap kontekstual ini menunjukkan bahwa sebuah ujaran, bahkan sebuah kata, bisa jadi maknanya akan berbeda ketika ditinjau dari situasi dan kondisinya. Makna sebuah kata bergantung dengan sistem gramatikal dan leksikalnya atau konteks kalimatnya. Makna leksikal kata
bisa jadi
berbeda
bila
dilihat
dari
situasi
yang
melatarbelakangi terjadinya sebuah ujaran. Contoh : (1) Maling diamankan polisi, (2) Para demontran diamankan polisi Kata ”diamankan” pada ujaran pertama berarti ditangkap. Pada ujaran yang kedua berarti dilindungi atau dijaga. Arti tekstual ini akan
17
berbeda bila ada situasi dan kondisi yang melatarbelakangi kedua ujaran tersebut. Situasi dan kondisi pada ujaran yang pertama adalah maling sedang digebuki massa, kemudian polisi datang, lantas muncullah ucapan ”maling diamankan polisi‟. Kata ”diamankan” berarti dilindungi, maknanya adalah polisi melindungi maling dari amukan massa. Sedangkan situasi dan kondisi pada ujaran yang kedua adalah massa yang sedang berdemontrasi melakukan perbuatan anarki; menjarah sana menjarah sini, membakar, merusak lingkungan dan mengganggu keterbitan umum. Lantas muncul ucapan kedua, maka kata ‟diamankan” bermakna ditangkap akibat dari berbuatan mereka yang anarki. Dalam hubungannya dengan fokus permasalahan dalam kajian ini, perlu penjabaran lebih lanjut tentang pendekatan kontekstual yang digunakan oleh para ulama tafsir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‟an. Di dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‟an, para ulama tafsir menyatakan keharusan memperhatikan “Asbābun Nuzūl” (sebab sebab turunnya) ayat. Ayat-ayat diturunkan dalam berbagai situasi, kondisi dan waktu yang berbeda beda. Secara bahasa kata “sabab‟ berarti penalaran, alasan, sebab. Asbābun Nuzūl berarti pengetahuan tentang sebab-sebab diturunkannya suatu ayat Al-Quran. Dengan kata lain, pengetahuan tentang peristiwa dan lingkungan tertentu yang dikaitkan dengan konteks keadaan, situasi dan kondisi suatu peristiwa dalam sejarah pada saat
18
kejadian pewahyuannya yang berhubungan dengan ayat-ayat tertentu di dalam Al-Qur‟an. Di dalam memahami ayat-ayat yang memiliki sebab-sebab turunnya, para ulama tafsir berpendapat bahwa sangat penting melihat konteks keadaan situasi dan kondisi yang menyebabkan turunnya ayat. Hal ini akan membantu seseorang untuk memahami makna dan implikasinya secara langsung dan gamblang dari sebuah ayat. Di samping itu, untuk memahami apakah kandungan makna suatu ayat memang berlaku umum atau khusus, dan apabila demikian maka dalam keadaan seperti apa sajakah hal tersebut dapat diterapkan. Oleh karena itu, seorang ulama tafsir “Al-Wahidi Al-Nisaburi” (w. 468 H/1075 M) berpendapat : “Pengetahuan tentang tafsir dan ayat-ayat sangat tidak dimungkinkan apabila tidak dilengkapi dengan adanya pengetahuan tentang kisah-kisah dan penjelasan yang berkaitan dengan diturunkannya suatu wahyu” (Denffer, 1988:102) Karena itu, salah satu syarat pendahuluan yang sangat diperlukan untuk memahami ayat-ayat Al-Qur‟an adalah mengetahui keadaan pada saat pewahyuan itu turun, di mana ayat-ayat itu sangat terkait dengan konteks keadaan dan situasi pada masa itu. Hal ini untuk mencapai efektivitas dan ketepatan dalam memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur‟an. Mengetahui keadaan pada saat pewahyuan itu turun bukan berarti untuk membatasi makna ayat-ayat itu sendiri, tetapi pengetahuan tersebut
19
untuk membantu pemahaman ayat-ayat tersebut secara benar dan tepat, dan untuk menghindari dugaan makna ayat hanya pada batas tertentu, karena makna tekstual ayat itu memang menunjukkan makna terbatas tersebut, padahal makna yang sebenarnya bukanlah sebatas apa yang dipahami secara tekstual ayat itu. Sebagai contoh kasus Q.S. Al-Baqarah (2) : 158 :
إن الصفا والمروة من شعائر للا فمن حج البيت أو اعتمر فل ُناح عليه أن يطوف بهما Innash-shafā wal marwata min sya„ā’iril-llahi fa man chajjal baita awi’tamara falā junācha ‘alaihi an yathawwafa bihimā. Sesungguhnya Shafa dan Marwah merupakan sebahagian dari syiar Allah, maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan Sa‟i di antara keduanya. (Q.S. AlBaqarah (2) : 158) Berdasarkan makna tekstual ayat di atas, Urwah bin Zubair berpendapat bahwa “tidak apa-apa bagi orang yang melakukan haji atau umrah, sekalipun tidak melakukan sa’i (berlari-lari kecil) antara Shafa dan Marwah”. Artinya, sa‟i tidak wajib. Pendapat ini dibantah Aisyah r.a. karena tidak memperhatikan sebab turunnya ayat. Situasi dan kondisi pada masa itu menunjukkan bahwa orang-orang jahiliyah dahulu mengerjakan sa’i
antara Shafa dan Marwah, yang salah satu caranya adalah
mengunjungi dua buah patung yang berada di bukit Shafa bernama “Isāf” dan di bukit Marwah bernama “Nailah” (Dahlan, 1997:98) Tatkala orang-orang sudah masuk agama Islam, di antara sahabat ada yang merasa risih untuk melakukan sa’i antara keduanya, karena khawatir bercampur aduk antara ibadah Islam dengan ibadah jahiliyah.
20
Dari kasus ini turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keengganan sebagian para sahabat bahwa sa’i dilakukan oleh karena Allah, bukan karena berhala. Pendapat Aisyah r.a ini menunjukkan bahwa pemahaman makna ayat itu harus memperhatikan sebab turunnya ayat yaitu melihat situasi dan kondisi turunnya wahyu tersebut, bukan sekedar berpegang kepada pengertian umum ayat saja. Dalam kajian tafsir, para ulama berpedoman kepada dua kaidah: 1). العبرة بعموم اللفظ ل بخصوص السبب/al-‘ibratu bi ‘umūmil lafzhi lā bi khushūshis sabab ( Patokan makna berdasarkan umumnya lafazh bukan berdasarkan pada khususnya sebab). 2). العبرة بخصوص السبب ل بعموم اللفظ/ al-‘ibratu bi khushūshis sabab lā bi ‘umūmil lafzhi ( Patokan makna berdasakan sebab khusus, bukan didasarkan pada umumnya lafazh ) Kaidah tafsir tersebut menunjukkan bahwa fokus pemahaman makna sangat penting sekali dan makna tersebut sangat berkaitan dengan lafazhnya dan sebab-sebab khususnya Berdasarkan kaidah pertama, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa banyak ayat yang diturunkan berkenaan dengan kasus tertentu, bahkan kadang-kadang menunjuk pribadi seseorang. Kemudian ayat itu dipahami maknanya sebagai berlaku umum (Dahlan, 1997:101). Misalnya ayat dalam Q.S. Al-Maidah (5) : 49:
21
وأن احكم بينهم بما أنزل للا ول تتبع أهواءهم واحذرهم أن يفتنوك عن بعض ما أنزل للا إليك Wa anichkum bainahum bimā anzalallahu wa lā tattabi„ ahwā’ahum wachdzarhum an yaftinūka ’an ba’dhi ma anzalallahu ilaika. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. (Q.S. Al-Maidah (5) : 49) Ayat ini turun disebabkan adanya kasus pertentangan antara kabilah Bani Quraizhah dan kabilah Bani Nadīr. Namun pemahaman makna ayat tersebut tidak benar jika dikatakan bahwa perintah kepada Nabi itu hanya berlaku adil terhadap kedua kabilah tersebut, tetapi juga dituntut untuk selalu berlaku adil pada setiap mengadili. Para ulama yang berpegang kepada kaidah kedua ini menekankan pentingnya sebuah analogi (qiyās) untuk menarik makna dari ayat-ayat yang memiliki latar belakang sebab turunnya ayat, dengan ketentuan apabila analogi tersebut memenuhi syarat-syaratnya. Sebagai contoh kata ”م ٌَ ” َظَُْلdalam Q.S. Al-An‟am (6) : 82 :
َكَ َلَُْمَلأََْم َُنَََو َُى َْمَ َُم َْهَتَ َُد َْون ََ ِسولََإَِْيَانَ َُه َْمََبِ َظَُْل ٍَمَأَُوََئ َُ َلَوَلَْيَََْلَب ََ َلَذَيْ ََن َِ ََ آمَنُو
Alladzīna ’amanū wa lam yalbasū ’ īmānahum bizhulmin ulā’ika lahumul ’amnu wa hum muhtadūn. orang orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan keimanan mereka dengan kezhaliman, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. Al-An‟am (6) : 82)
22
Kata
َظُلْ ٌم
/ zhulmun dalam ayat di atas diartikan dengan kata ”ك ٌَ” َِشَْر
/syirkun (kemusrikan) dalam Q.S. Luqman (31) :13 :
َلَشَْرََك ََ َظُلَْ ٌَم َ ََع َِظَْي ٌم َِ َ ََإِن
/
innasy-syirka lazhulmun „azhīm (Sesungguhnya kemusyrikan itu adalah benar benar kezhaliman yang besar) Jadi, pengertian kata “zhulm” dalam ayat di atas tidak lagi mencakup setiap perbuatan zhalim, tetapi menjadi khusus dengan arti “syirik”. Oleh karena itu, dalam aktivitas pertuturan, pendekatan kontekstual menjadi unsur terpenting yang harus digunakan, baik oleh penutur maupun mitra tutur. Pendekatan ini akan membantu penutur dalam menggunakan kata atau kalimat secara tepat dan efektif, dan membantu mitra tutur dalam memahami kata dan kalimat secara tepat dan benar.
2) Pertuturan Ditinjau dari Aspek “ Participant “ Participants adalah peserta yang terlibat dalam pertuturan, yaitu penutur atau pengirim pesan (speaker or sender), pendengar atau penerima pesan (hearer or receiver), mitra tutur (addressee), dan hadirin (audience). (Hymes, 1989 : 56) Sebagai makhluk sosial, setiap hari manusia selalu dan terus bertutur. Kita dapat menyaksikan orang bertutur di mana saja dan kapan saja. Ada sekelompok orang yang bercerita dan berdiskusi dengan serius. Ada orang yang bercerita, dan setelah itu kita mendengar dia dan pendengarnya tertawa atau pendengarnya menangis. Ada pula orang yang
23
bertutur, dan setelah itu kita melihat orang lain melaksanakan sesuatu sesuai dengan apa yang dikatakan penutur. Fenomena aktivitas pertuturan tersebut menunjukkan bahwa manusia selalu mengemukakan permasalahannya dengan cara bertutur ketika berhubungan dan bekerja sama sesamanya. Dalam aktivitas pertuturan, penutur dan mitra tutur memerlukan keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara membutuhkan kompetensi kebahasaan dan kompetensi komunikatif. Kompetensi kebahasaan adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah kebahasaan yang meliputi semua unsur-unsur bahasa; fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan
kompetensi
komunikatif
merupakan
kemampuan
menggunakan bahasa dalam berbagai konteks dan situasi komunikasi. Jadi, kompetensi komunikatif tidak akan terwujud tanpa adanya kompetensi kebahasaan. Kompetensi komunikatif dapat dijabarkan menjadi empat unsur, yaitu: kompetensi gramatika, sosiolinguistik, wacana dan strategi. (Pringgawidagda,2002:54) Kompetensi gramatika merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan kaidah kebahasaan yang meliputi semua unsur bahasa. Sedangkan, kompetensi sosiolinguistik merupakan kemampuan yang berkaitan aturan-aturan sosial dengan pemakaian kebahasaan sehingga dapat mengekspresikan dan memahami makna bahasa dalam konteks sosial secara tepat. Adapun kompetensi wacana merupakan kemampuan menggabungkan bentuk dan makna gramatikal
24
dalam suatu teks dalam berbagai genre, baik secara lisan maupun tulisan. Kesatuan suatu teks wacana ditunjukkan dengan adanya keterkaitan kohesi (bentuk) dan keterkaitan koherensi (semantik tekstual). Sementara, kompetensi strategi merupakan kemampuan mengolah komunikasi verbal dan nonverbal dalam sebuah strategi komunikasi, seperti mengatur pilihan kata dan struktur kebahasaan guna mencapai tujuan. (Azies, 1996:18) Adapun dalam teori linguistik tranformasi (Transformational linguistics) yang dijabarkan oleh Chomsky, ada dua hal: (1) kompetensi (competence), yaitu kemampuan berbahasa dalam mengungkapkan apa yang ada pada dirinya dan memahami orang lain. Kompetensi ini terdiri dari dua kompetensi, yakni ; kompetensi gramatikal (grammatical competence) dan kompetensi pragmatic (pragmatic competence). (2) performan (performance), yaitu penggunaan bahasa secara benar dalam situasi dan kesempatan yang berbeda-beda. (Yaqut, 1996 : 150-151) Ini artinya, kompetensi kebahasaan memiliki keterkaitan yang erat dengan kompetensi komunikatif. Keterkaitan hubungan antara kompetensi kebahasaan dan kompetensi komunikatif tersebut menunjukkan bahwa proses pertuturan yang mengandalkan kedua kompetensi itu, tidak bisa mengabaikan unsur penggunaan bahasa, dan tetap harus menjadi perhatian. Dalam konteks bertutur, penutur lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat dan merangkainya dalam kalimat untuk mewakili pikirannya. Ketepatan makna kata dan kalimat, menuntut
25
kesadaran penutur untuk mengetahui bagaimana hubungan antar bentukbentuk bahasa dengan referensinya. Apakah bentuk yang dipilih sudah cukup lengkap untuk mendukung maksudnya sebagai pemberi pesan, atau apakah masih diperlukan penjelasan-penjelasan tambahan sehingga dapat ditangkap dan dipahami oleh mitra tutur. Dalam kajian gaya bahasa, aspek penutur dan mitra tutur merupakan unsur yang menyebabkan penggunaan bahasa itu bisa bervariasi (Abdurrahman, 1981: 289-290). Perbedaan gaya bahasa dari aspek penutur, kembali kepada kepribadian, rasa kebahasaan, bakat, tingkat perasaan, pandangan dan keyakinannya. Oleh karena itu, gaya bahasa yang dipergunakan oleh seorang penutur berbeda dengan penutur lainnya, walaupun masalah yang diutarakannya sama. Maka dari itu, ada ungkapan yang mengatakan bahwa “ب َُ َِى َو َلَ َكات ُ وب ْ ”لأ/ Al’uslūb huwal kātib (gaya bahasa itu adalah penulis ُ ُُسل /penutur). (Abdurrahman, 1981: 289) Artinya gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Sedangkan dari aspek tujuan penutur, perbedaan gaya bahasanya pun tampak jelas. Gaya bahasa yang digunakan untuk tujuan meyakinkan seseorang dan menjelaskan sesuatu secara terperinci, tentu berbeda dengan gaya bahasa yang dipergunakan untuk tujuan menggerakkan dan membangkitkan perasaan hati orang lain.
26
Sementara dari aspek mitra tutur, haruslah disadari bahwa mitra tutur itu berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya dari segi status sosial, pendidikan, keyakinan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, suatu ujaran dengan gaya bahasa tertentu, dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur dari kelompok tertentu, tetapi tidak bagi mitra tutur dari kelompok lain, atau suatu ujaran dengan gaya bahasa tertentu dapat dipahami dengan mudah oleh mitra tutur dari kelompok tertentu, tetapi bagi mitra tutur dari kelompok lainnya tidak dapat memahami
ujaran tersebut. Hal ini,
Rasulullah saw pernah menegaskan: “م َْ ِِاسَ ََعلَىََق َْد َِرَ َعُ َُق َْو َل َ َبَ َلَن َِ اط َِ “ ََخ
Khāthibin nāsa ‘ala qadri ‘uqūlihim
َ
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan daya terima mereka”.(HR. Muslim) Sementara itu, Pertuturan tidak hanya berhadapan dengan kata, tetapi dengan suatu rangkaian kata (gaya bahasa) yang mendukung perasaan penutur dan mitra tutur. Artinya perasaan lebih mengarah kepada sikap penutur yang bertalian dengan nilai rasa terhadap apa yang dikatakannya kepada mitra tutur. Penutur dan mitra tutur yang berlainan, serta keadaan situasi dan kondisi yang berlainan pula akan mempengaruhi pilihan kata dan cara menyampaikan pesan itu dengan sikap yang berbeda pula. Sedangkan relasi atau hubungan antara penutur dengan mitra tutur akan melahirkan nada suatu ujaran.
27
3) Pertuturan Ditinjau dari Aspek “ End “ Hymes menjelaskan bahwa salah satu komponen bertutur yaitu “End” terdiri dari dua hal: (1) Purposes – outcome (Maksud-hasil), (2) Purposes – goals (maksud-tujuan). “The two aspects of purpose can be grouped together by exploiting an English homonymy, ends in view (goals) and ends as outcomes”. (1989:57) Jadi, pertuturan tidak hanya berhadapan dengan kata, tetapi dengan suatu rangkaian kata yang mendukung suatu pesan, maka ada beberapa unsur terkandung dalam ujaran kita, yaitu maksud, tujuan dan efek. Maksud atau pengertian merupakan landasan dasar untuk menyampaikan hal-hal tertentu melalui bentuk-bentuk ujaran kepada mitra tutur dengan mengharap reaksi tertentu. Adapun tujuan merupakan hasil yang ingin dicapai oleh penutur. Sementara efek merupakan pengaruh, akibat, atau kesan yang ingin dicapai kepada mitra tutur. Dalam sebuah teori
“At-Tashawwuriyah” (Ideational), bahasa
adalah media untuk menyampaikan pikiran. Oleh karenanya, ada pikiran klasik dari seorang ahli filsafat Inggris, John Locke, pada abad ke 17 mengatakan bahwa penggunaan kata-kata harus menjadi petunjuk yang sensitif terhadap pemikiran-pemikiran, dan pemikiran yang menunjukkan kepada petunjuk itu dianggap tujuan langsung secara khusus. (Umar, 1982 : 57) Teori ini menuntut pertalian atau persesuaian bagi setiap ungkapan. Artinya setiap makna yang berbeda dari ungkapan bahasa memiliki sebuah
28
pemikiran, dan pemikiran ini harus hadir ada dalam akal pikiran penutur, dan seorang penutur harus menghasilkan ungkapan yang menjadikan mitra tutur pada saat bersamaan dapat menangkap bahwa ada pemikiran tertentu di akal pikiran penutur. Ungkapan itu harus mendatangkan pemikiran yang sama di akal pikiran mitra tutur. Teori ini menyandarkan kepada pemikiran-pemikiran yang ada di akal pemikiran para penutur dan mitra tutur dengan tujuan membatasi makna kata atau sesuatu yang dimaksudkan oleh penutur dengan kata yang dipergunakan dalam kesempatan tertentu, baik makna kata itu adalah konsep pemikiran atau makna kata itu adalah hubungan antara simbol dan referensinya. (Umar, 1982:58) Pendukung teori ini mengatakan bahwa pemikiran berkaitan dengan daya khayal. Bila penutur mengatakan “meja makan”, maka daya khayal yang ada pada penutur dan mitra tutur memiliki pengertian yang sama tentang meja makan, dan daya khayal ini menjadikan komunikasi di antara keduanya sesuatu yang mungkin terjadi dan dapat berjalan lancar. Secara umum, fungsi bahasa adalah komunikasi. Komunikasi adalah penyampaian amanat atau pesan dari penutur kepada mitra tutur melalui bahasa, baik diutarakan dalam bahasa tulis maupun bahasa lisan. Fungsi bahasa sebagai komunikasi dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai pengguna bahasa, dapat dilihat berdasarkan 3 (tiga) golongan: (1) fungsi kebudayaan, (2) fungsi kemasyarakatan, (3) fungsi perorangan, (4) fungsi pendidikan. (Nababan, 1991:38).
29
Ditinjau dari segi kebudayaan, maka fungsi bahasa dapat dilihat dari 2 (dua) aspek: aspek yang berdasarkan ruang lingkup, dan aspek yang berdasarkan bidang pemakaian. Berdasarkan aspek ruang lingkup yang mengandung bahasa nasional dan bahasa daerah, bahasa berfungsi lambang kebanggaan kebangsaan, lambang identitas bangsa dan sebagai alat penyatuan berbagai suku bangsa dan bahasa, serta alat perhubungan antar daerah dan antar budaya. (Nababan, 1991:40). Sementara yang berdasarkan bidang pemakaian, bahasa berfungsi sebagai bahasa resmi, bahasa pengantar dalam pendidikan, bahasa agama, dan sebagainya. Bila ditinjau dari segi perorangan, bahasa mempunyai 6 (enam) fungsi: (1) fungsi emotif (emotive), yaitu mengacu kepada penggunaan bahasa yang berhubungan dengan pribadi penutur, (2) fungsi referensial (referential), yaitu mengacu kepada penggunaan bahasa yang berhubungan dengan hal, benda, proses, peristiwa yang ada di luar penutur atau mitra tutur., (3) fungsi konatif (conative), yaitu mengacu kepada penggunaan bahasa untuk mempengaruhi, mengajak, menyuruh atau melarang, (4) fungsi puitis (poetic), yaitu mengacu kepada penggunaan bahasa yang bernilai puitis, (5) fungsi fatis (phatic), yaitu mengacu kepada penggunaan bahasa untuk memelihara kontak antara penutur dengan mitra tutur, (6) fungsi metalingual (metalingual), yaitu mengacu kepada penggunaan bahasa untuk menguraikan unsur-unsur bahasa itu sendiri. Pateda (Pateda, 1991:82)
30
Bila ditinjau dari segi pendidikan, fungsi bahasa didasarkan pada tujuan penggunaan bahasa dalam pendidikan dan pengajaran. Fungsi tersebut adalah: (1) fungsi integratif, yaitu bahasa berfungsi sebagai alat yang membuat anak didik ingin dan sanggup menjadi anggota suatu masyarakat, (2) fungsi instrumental, yaitu bahasa berfungsi untuk mendapatkan keuntungan material, memperoleh pekerjaan, meraih ilmu dan sebagainya, (3) fungsi kultural, yaitu bahasa berfungsi sebagai jalur mengenal dan menghargai sesuatu sistem nilai dan cara hidup atas kebudayaan suatu masyarakat, (4) fungsi penalaran, yaitu sebagai alat berfikir, mengerti, dan menciptakan konsep-konsep. (Nababan, 1991:43). Dalam aktivitas pertuturan, fungsi ujaran berorientasi kepada 7 (tujuh) faktor: (1) penutur, (2) mitra tutur, (3) kontak antar kedua pihak, (4) kode linguistik yang dipakai, (5) latar atau setting, (6) topik amanat, dan (7) bentuk amanat. Bila berorientasi pada si penutur, maka fungsi ujaran adalah personal atau pribadi. Artinya lewat ujaran, penutur memperlihatkan sikap dia terhadap yang dituturkannya, dan juga memperlihatkan emosi dia sewaktu penyampaian yang dituturkan. Bila berorientasi pada mitra tutur, maka ujaran berfungsi direktif, yaitu mengatur tingkah laku mitra tutur. Artinya tidak hanya membuat mitra tutur melakukan sesuatu, bertindak atau berkata, tetapi juga melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang direncanakan si penutur. Halliday menyebut hal ini sebagai fungsi instrumental, yaitu sebagai alat
31
untuk menggerakkan serta memanipulasi lingkungan atau menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Sementara, Jakobson mamasukkan ini pada fungsi retorika (rhetorical). (Alwasilah, 1990:27). Bila berorientasi pada kontak antara pihak yang berkomunikasi, maka
fungsi
ujaran
sebagai
jalinan
hubungan,
memeliharanya,
memperlihatkan perasaan bersahabat atau solidaritas sosial. Fungsi ini disebut juga fungsi phatic yang mengacu kepada gagasan Bronislow Malinowski (1887-1942) tentang phatic communication. Artinya ujaran yang mempunyai fungsi ini tidak bisa diterjemahkan secara harfiah. Makna ujaran ini sebagian besar bersandar pada situasi komunikasi tertentu dan langsung dalam proses pertuturan. (Alwasilah, 1990:28). Bila berorientasi pada topik ujaran, maka fungsi ujaran disebut referensial (referential). Fungsi ini bersandar pada bahasa sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa dalam lingkungan sekeliling atau di dalam kebudayaan pada umumnya. Fungsi ini biasa disebut kognitif (cognitive), denotatif (denotative), atau informatif (informative), yaitu bahwa ujaran dipakai untuk mengacu dunia nyata. Bila berorientasi pada kode yang dipakai dalam komunikasi, maka ujaran berfungsi metalinguistik atau metalingual, yaitu ujaran berfungsi untuk membicarakan bahasa. Fungsi ini merupakan fungsi yang prinsip sekali dalam proses belajar mengajar. Artinya bahasa dibedakan dalam 2 (dua) hal, yaitu: (1) bahasa sebagai objeks studi, dan (2) bahasa yang digunakan para linguis untuk membicarakan atau mempelajari bahasa.
32
Bila berorientasi pada amanat atau pesan, ujaran berfungsi untuk mengungkapkan fikiran atau gagasan, baik sesungguhnya atau tidak, perasaan dan khayalan. Bila berorientasi pada bentuk amanat, maka fungsi ujaran adalah fungsi imajinatif (imaginative), yaitu pemakaian bahasa itu sendiri untuk kesenangan bagi penutur maupun mitra tutur. Jakobson menyebutkan fungsi puitis (poetic), yaitu ujaran yang menitikberatkan segi segi estetikanya, seperti pada sajak atau pantun. (Alwasilah, 1990:30). Halliday menyebutnya fungsi heuristik. Artinya ujaran dipergunakan untuk memperoleh pengetahuan, untuk mengenal lingkungan. Anak-anak mempergunakan fungsi heuristic ini dengan menggunakan pertanyaan mengapa mengenai dunia sekitarnya.
4) Pertuturan Ditinjau dari Aspek “ Act Sequence “ Dalam sebuah aktivitas pertuturan, penutur dan mitra tutur berhadapan dengan dimensi bentuk dan dimensi isi. Hymes menjelaskan bahwa salah satu komponen bertutur adalah “act sequence” yakni terdiri dari (1) Bentuk pesan (Message form), yakni menyangkut cara bagaimana sesuatu topic dikatakan dan diberitakan. (2) Isi pesan (Message content), yakni berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan. “Message form and message content are central to the speech act and the focus of its “syntactic structure”. They are also tightly interdependent” (1989:55).
33
Bahasa mempunyai dua aspek mendasar, yaitu bentuk dan makna. Bentuk dinyatakan melalui media simbol-simbol kebahasaan, dan simbolsimbol ini tidak dapat dipisahkan dari makna, karena makna itulah yang mengesahkan suatu bentuk menjadi bentuk kebahasaan, baik itu fonem, morfem, kata dan kalimat. Maka dari itu,
makna yang memiliki sisi
fonologinya disebut “Dalālah Shautiyah“ (makna fonemik), dan dari sisi morfologi disebut “Dalālah Sharfiyah“ (makna morfologi) , dan dari sisi sintaksis disebut “Dalālah Nachwiyah“ (makna struktural), dan dari sisi leksikal disebut “Dalālah Mu’jamiyah” (makna leksikal), dan dari sisi konteks disebut “Dalālah Siyāqiyah“ (makna kontekstual). (Haidar, 2005 : 30-56) Dua dimensi ini menunjukkan bahwa bunyi ujaran yang terwujud menjadi bentuk kebahasaan tidak dapat dipisahkan dari makna, karena makna itulah yang mengesahkan suatu bentuk menjadi bentuk kebahasaan, baik itu fonem, morfem, kata, dan kalimat. Dengan kata lain, suatu bunyi atau bentuk bukanlah bahasa apabila tidak bermakna. Ditinjau dari segi hubungan bahasa dengan penuturnya, makna adalah isi dari suatu bentuk kebahasaan. Sementara, jika ditinjau dari segi hubungan bahasa dengan fungsi komunikasi, makna adalah isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu sesuai dengan keinginan yang disampaikan oleh penuturnya. Oleh sebab itu, makna dalam konteks komunikasi pada hakekatnya merupakan sebuah pesan atau maksud yang
34
diutarakan oleh penutur, dan ditangkap, dimengerti dan dipahami oleh mitra tutur. Manusia ketika berkomunikasi melalui bentuk-bentuk kebahasaan, menjelaskan segala ide dan perasaannya, dan ketika ia melaksanakan itu, dia menyadari segala referen yang ada pada setiap kata dan menangkap adanya tingkat perbedaan makna di antara lafazh-lafazhnya. Makna diimplementasikan oleh bahasa melalui bentuk-bentuk kebahasaan atau unsur-unsur bahasa (morfem, frasa, kata dan kalimat) yang dapat dimodivikasi dengan berbagai macam gaya bahasa. Bila makna yang akan disampaikan dengan pemilihan unsur-unsur bahasa yang tidak tepat atau tidak mewakilinya, maka makna akan beralih ke makna yang tidak sesuai dengan yang dimaksud. Perubahan makna seperti ini disebabkan oleh unsur bahasa itu sendiri.
5) Pertuturan Ditinjau dari Aspek “ Key “ Hymes menjelaskan bahwa “Key is introduced to provide for the tone, manner, or spirit in which an act is done. It correspond roughly to modality among grammatical categories”…” The signaling of key may be nonverbal, as with a wink, gesture, posture, style of dress, musical accompaniment, but it also commonly involves conventional units of speech too often disregarded in ordinary linguistic analysis”. (1989:57-58) Artinya, komponen “key” ini adalah unsur yang menunjukkan bahwa
35
pertuturan mempunyai metode atau cara penyampaiannya yang tepat dan efektif. Bagian dari karunia Allah swt bahwa setiap manusia diciptakan dengan dianugerahi potensi berbayan yaitu potensi untuk dapat mengutarakan segala hal yang berhubungan dengan ide, pikiran ,perasaan, pendapat dan lain sebagainya, baik secara lisan maupun tulisan. Hal ini ditegaskan oleh Al-Qur‟an dalam Q.S. Ar-Rahman (55) : 3-4 :
. ََعَلَمَهََالبَيَان.ََخَلَقََا إَلنَسَان Khalaqal ’insāna ‘allamahul bayān Dia menciptakan manusia. Mengajarkannya pandai berbayan (memberi penjelasan) ”. (Q.S. Ar-Rahman (55) : 3-4) Potensi berbayan seseorang, yang merupakan sebuah anugerah Allah, akan tumbuh menjadi sebuah kompetensi berbayan yang sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh kompetensi berbahasanya, yang pada mulanya merupakan perilaku alami. Namun kompetensi berbahasa ini akan berkembang pesat dan menjadi lebih aktual setelah melalui proses pendidikan, pembiasaan, dan interaksi sosial, serta didukung oleh seberapa jauh kompetensi linguistiknya. Aktivitas bertutur adalah sebuah kegiatan yang memiliki ketergantungan dengan unsur-unsur yang terlibat dalam sebuah proses pertuturan. Terutama unsur bahasa, yaitu cara memilih kata dan merangkainya
menjadi
sebuah
kalimat
yang
digunakan
untuk
menyampaikan pesan. Apakah pesan akan tersampaikan atau tidak, itu tergantung bagaimana cara penggunaan bahasa.
36
Seorang pakar bahasa Al-Qur‟an mendefinisikan uslūb (gaya bahasa) sebagai berikut (Abdurrahman, 1981:288) :
َاح َاَلإلتَعََبإيَ إَر ََبإهَاَعَ إَن َالمَعَ َانإيَقَصَدَ َا إَليَضَ إ َ َاظ َ َوتَأََلإيَ إَفه َالَسَلَ َوبَ َهَوَ َطََإريَقَةَ ََاإخََتإيَا إَر َالَلَفَ إ
َ َوالتَأََثإَي إَر
Al-’uslūb huwa thariqah ikhtiyaril ’alfāzh wa ta’līfihā litta‘bīr bihā ‘anil ma‘ani qashdal ’ īdhachi wat-ta’tsīr. ”Cara memilih kata dan meletakkannya dalam kalimat untuk mengungkapkan makna yang diinginkan dengan tujuan menjelaskan dan mempengaruhi”. Definisi ini menginformasikan bahwa proses pertuturan diawali oleh pemilihan sebuah kata yang tepat dan benar dan meletakkannya dalam kalimat yang tepat dan benar pula, serta sesuai makna atau pesan yang ingin disampaikan dengan maksud dan tujuan ingin menjelaskan ide, pikiran, perasaan, pendapat, dan lain sebagainya, bahkan lebih jauh lagi ingin mempengaruhi mitra tuturnya sesuai efek yang dikehendaki oleh penuturnya. Oleh karena itu, pemilihan kata yang tepat dan benar sesuai dengan makna yang ingin disampaikan adalah proses yang urgensi. Begitu juga proses peletakan kata ke dalam kalimat sesuai dengan makna yang ingin disampaikan adalah proses yang urgensi juga, dan tidak bisa diabaikan. Kesalahan memilih kata dan kesalahan meletakkan kata dalam kalimat akan menimbulkan ketidak-jelasan makna, dan ini tentunya pesan yang ingin disampaikan menjadi tidak tersampaikan. Kata yang dipilihnya harus serasi dan tepat dengan gagasannya. Artinya kata yang dipilihnya dianggap paling tepat mewakili pikirannya.
37
Sementara, ketepatan kata dikaitkan dengan pengetahuan bagaimana hubungan bentuk kata dengan referensinya, apakah kata tersebut sudah cukup lengkap untuk mendukung makna yang dimaksud sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penutur dan mitra tutur. Kesesuaian dan ketepatan kata belumlah cukup. Proses pemilihan kata pun harus dikaitkan dengan konteks kalimatnya dalam bingkai ‟situasi dan kondisi” nya, seperti situasi dan kondisi pendengar/penerima pesan atau mitra tutur. Hal tersebut dikarenakan kata-kata tidak dapat berdiri sendiri, dan harus diletakkan dalam sebuah kalimat yang dapat menjelaskan makna yang diinginkan. Makna kata sangat bergantung pada konteks kalimatnya. Kata yang sama belum tentu memiliki makna yang sama bila konteks kalimatnya berbeda. Dalam konteks bahasa Arab, ”fashīch” (eloquent) selalu menyifati kata dan kalimat, sementara ”balīgh” (retorika) selalu menyifati kalam (pertuturan). Secara etimologi, ”fashīch” adalah jelas dan terang. Dalam Q.S. Al-Qashash (28) : 34 disebutkan :
س َانًا ََ َََِ َص َُحَ َِمّن ََ ََْوأَ َِخيَ ََى َُارَْو َُنَ َُى ََوَأََف
Wa ’akhī hārūn huwa ’afshachu minni lisānan
Dan sesungguhnya Harun, dia lebih jelas dan terang ucapan dan perkataannya. (Q.S. Al-Qashash (28) : 34) Secara terminologi, fashīch adalah nama dari lafazh-lafazh yang jelas dan mudah dipahami serta biasa dipakai di kalangan para penulis dan penyair karena lafazh itu memang baik. (Al-Hasyimi,- : 7)
38
Berdasarkan pengertian tersebut, kata yang fashīch (Al-Hasyimi,- : 7-12) adalah kata yang telah terhindar dari empat macam cacat : 1). Huruf yang berat diucapkan ( ف َِ للَُُرَْو َ َ تََنَافََُُر/tanāfurl churūf) adalah suatu kondisi dalam kata yang mengakibatkan berat pada pendengaran dan sulit pengucapannya, karena huruf-huruf yang membentuk kata tersebut berdekatan makhrajnya. Sebagai contoh kata خع َُ للَُْع َ (rumput) dari ucapan seorang Arab Baduy yang mengatakan : َ ت َتََْرََعى َ َِت ََنَاق َُ تََرَْك
َخ َع َُ للَُْع َ /taraktu nāqatī tar‘al hu‘khu‘ (”Aku tinggalkan untaku yang sedang makan rumput‟) kata خع ُ للُْع/al- hu‘khu‘ adalah kata yang tidak fasih
ِ ِ لل َسَتِ َع َم 2). Penggunaan yang aneh ( َال َ ْ ْ َ َ ُ َغََرَلبََة/gharābatul ’isti‘mal) adalah suatu bentuk kata yang tidak jelas artinya dan tidak lazim dipakai di kalangan orang Arab yang fasih. Sebagai contoh kata كَأْ َُْت َ ََو َلفَََْرَنَِْق َُعَْول َ َْت َكَأ /taka’ka’tum wa ifranqi‘ū . dari ucapan Isa bin Amru An-Nawawi :
َلَعّن ََ يَجنٍََة ََلِفَََْرَنَِْق َعَُْو َِ ىَذ َِ َ ََماََ َُك َْم ََتَ َكَأْ َكَأْ َُْت َ ََعلَيَََ َكَتَ َكَاْ َُكَئِ َُك َْم َ ََعل/mā lakum taka’ka’tum ‘alayya kataka’ku’ikum ‘ala dzi jinnatin ifranqi‘ū ’anni (mengapa kalian
berkumpul
mengerumuniku
seperti
kalian
berkumpul
mengerumuni orang gila, bubarlah dari ku). Dua kata tersebut adalah kata yang tak lazim dipakai
39
3). Menyimpang dari aturan ilmu Sharaf ( ف َ ِلَصَْر ََ َاس َِ َلَقَي َِ َُ َُهاَ َفَة/mukhālafatulqiyāsish-sharfiyyi) adalah suatu kata yang tidak mengikuti kaidah kaidah ilmu sharaf. Sebagai contoh kata جلَل َْ َ لأdari ucapan Abi Najm:
َلَق َِد َِْيَلأََوِل ََ َلَفَْرَِد ََ َلح َِد َِ لَو ََ َ–َلَعَلِيََلأَ َْجلَ َِل ََ َللَ َْم َُدََِ َِلو َ
Al-chamdu lillahi al-’aliyyi al-ajlali – al-wāchidi al-fardi al-qadīm alawwali. (Segala puji bagi Allah, Yang Maha Luhur, Yang Maha Agung, Yang Maha Esa, Yang Maha Tunggal, Yang Maha Dahulu lagi Awal) Menurut aturan ilmu sharaf, kata َجلَل ْ لأ/al-ajlal harus di baca idgham yaitu ل َ َج َ لأ/al-ajallu , karena tidak ada penyebab yang membolehkan dilepas dari idgham. 4). Tidak disukai oleh pendengaran ( ََلَس َْم ِع ََ ف َ َُِلىَة ََ لَ َكََر/al-karāhatu fis-sam‘i) adalah kondisi kata yang asing atau liar, yang tidak disukai oleh tabiat dan ditolak oleh pendengaran, dan pendengaran pun tidak menyetujuinya. Sebagai contoh kata َاق ٌ بَُ ََع/bu‘āq (awan mendung). Kata ini tidak enak didengar karena suaranya asing dan liar di pendengaran Di samping pemilihan kata yang sangat urgensi dalam sebuah pertuturan, kalimat pun tidak kalah pentingnya bagaimana cara mengungkapkan makna atau pesan yang ingin dicapai. Makna kata tidak akan hidup kecuali di dalam bingkai konteks bahasa yang mengelilinginya
40
(fonologi, morfologi, sintaksis) Oleh karena itu, makna leksikal tidak hanya terbatas kepada makna kamus, tetapi juga dapat dianalisis melalui struktur dalam pemahaman tata bahasa tersebut. Dalam kasus bahasa Arab, fonologi dan morfologi memegang peranan yang sangat penting dalam menentukan makna sebuah kata. Kesalahan dalam menentukan harakah (baris/case inflections) pada setiap kata, akan menimbulkan kesalahan arti pada kata , dan makna yang diinginkan dari kata tersebut pun harus melihat kepada konteks kalimatnya. Contoh :
ََلَوَلَِ ََدَيْ ِن ََ ل ََ ِلَبََل َ ِ َ) ََلَبُدََ َِم ََن3( , َتَ ََعلَىَلَبََر َُ شَْي ََ ) ََم2( ,ََتَلَبَُر َُ َْ) أَ َكل1( Kata البرpada ketiga kalimat tersebut, memiliki arti yang berbeda, dan perbedaannya ada pada harakah huruf ”Ba” nya. Jika dibaca dengan dhammah (vokal u) berarti gandum, jika dibaca dengan fatchah (vokal a) berarti darat, dan jika dibaca dengan kasrah (vokal i) berarti berbuat baik. Dari ketiga arti tersebut, konteks kalimatnya pun harus dilihat untuk mendapatkan makna yang sesuai dengan kalimatnya. Pengabaian masalah ini akan menimbulkan kesalahpahaman dan ketidak-bermaknaan sebuah perkataan Dalam konteks bahasa Arab, kalam (pertuturan) selalu diberi kata sifat ”fashīch” dan ”balīgh” . Kalam fashīch ( Al-Hasyimi ,-:6-7 ) ialah pertuturan yang memakai kata-kata fasih serta terhindar dari makna yang samar dan makna yang pindah dari apa yang dikehendaki. Kefasihan kalam tersebut tercapai selama bisa terhindar dari empat macam cacat ;
41
1). Berkumpulnya kata-kata yang berat untuk diucapkan ( َ ات َِ تََنَافََُُر َلَ َكَلِ ََم
َ َُْمَتَ َِم ََع ًة/tanāfurul kalimāt mujtami‘atan ) adalah kondisi kalimat yang pemakaian kata-katanya memang berat untuk diucapkan oleh lisan, meskipun masing-masing kata secara tersendiri merupakan kata yang fasih. Sebagai contoh :
َبَقَْبَ ُر ٍَ بَقَ َِْبَ ََحَْر ََ سَقََُْر ََ ََوََْي# ََ َانَقَ َْف ٍَر ٍَ بََِبَ َك ٍَ ََوقَْبَ َُرَ ََحَْر
Wa qabru charbin bimakānin qafrin wa laisa qurba qabri charbin qabru. (Kuburan si Harb itu di tempat yang tidak ada air dan rumput, dan tiada di dekat kuburan si Harb, kuburan yang lainnya). Baris kedua dalam ucapan penyair itu sangat berat, karena berkumpulnya kata-kata yang mirip berdekatan suaranya. 2). Susunan yang lemah ( ف َِ َْلَتََأَِْي َ َف َُ ض َْع َُ /dhu‘fut-ta’līf) adalah kalimat yang menyimpang dari kaidah-kaidah tata bahasa yang masyhur menurut mayoritas ulama. Sebagai contoh: ل َُم َوُ َََزَيْ ًَدل ََ ب َ َُغ ََ ضََر ََ /dharaba ghulāmuhu zaidan. Dalam kalimat ini terjadi rangkaian kata yang tidak tepat yaitu menyebutkan isim dhamīr (kata ganti) sebelum menuturkan lebih dahulu lafazh yang menjadi marji‟ (tempat kembalinya dhamīr), baik dari segi ucapan ataupun tingkatannya 3). Sulit lafazhnya ( َظي َِ لَتََ َْع َِقَْي َُد َلَلَ َْف/at-ta‘qīdu al-lafzhiyyu) adalah kondisi kalimat yang sangat samar makna yang dikehendakinya. Hal ini dikarenakan pemakaian kata-katanya tidak teratur dan tidak sesuai
42
urutan maknanya. Sebagai contoh ; خْيَ َِو َِ َلَنَمَ ٌَد َ ََم ََعََ َكَِتَ َابًاََأ َُ لح ًَد َِ َو ََ َََماَقَََرَأَ ََإِل
.
susunan seperti itu tercela karena menimbulkan cacat arti dan simpang siur, dan seharusnya kalimat tersebut terangkai sebagai berikut: َََماَقَ َرَأ
ِ ِ ِ ََم َع َأ َِخْي ِو َ ُنَم ٌد َإلَ َكتَابًا ََولح ًدل/mā qara’a Muchammadun illā kitāban wāchidan ma‘a ’akhīhi. (Muchammmadun hanya membaca satu buku bersama saudaranya) 4). Sulit maknanya ( ي َ لَتََ َْع َِقَْي َُد َلَ ََم َْعَنََِو/ at-ta‘qīdu al-ma‘nawiyyu ) adalah kondisi kalimat dengan makna yang dikehendakinya tidak jelas, dikarenakan pemakaian kalimat dalam bentuk kinayah dan majaz yang jauh dari makna aslinya sehingga tidak dapat dipahami makna yang dikehendakinya. Sebagai contoh:
ََلم َِديََْنَِة َ ف َ َِ ُسَنََتََو َِ ََْاكِ َُم ََأ َ َلل َ َ َ َبَث/batstsalَ
chākimu ’alsinatahu fil-madīnah . Kalimat tersebut maknanya tidak jelas, karena adanya pemakaian kata سَنَ ٌَة َِ ََْ َأ/’alsinatun
yang cacat
dalam pemindahan maksud dari maknanya yang asli ke makna yang dikehendakinya yaitu س ٌَ اس َْو َُ ََج/jāsūs (mata mata), padahal tanda-tanda yang menunjukkan makna yang dimaksudkan tidak jelas Sementara ”balīgh” (retorika) secara etimologi ialah sampai atau mencapai, dan secara terminologi adalah menyampaikan makna yang baik secara jelas dan terang dengan menggunakan kata-kata yang fasih dan
43
benar, yang memiliki kesan dalam hati dan cukup menarik, serta setiap kalimatnya sesuai dengan kondisi dan situasi sekaligus orang-orang yang diajak bicara. ( Al-Hasyimi ,-:32 ) Dalam terminologi seperti itu, kalām balīgh adalah kalimat yang sesuai dengan kondisi percakapan dan lafazh-lafazhnya telah fasih, baik kata-katanya ataupun kalimat-kalimatnya. Dan yang dimaksud dengan kondisi percakapan ialah keadaan yang mengajak untuk menyampaikan kalimat sesuai dengan situasinya. Artinya sesuai dengan keadaan orang yang diajak bicara. Membuat kalimat dengan memperhatikan kepada siapa kalimat itu ditujukan, tentu kalimat tersebut menjadi efektif dan efisien. Sebagai contoh:
َ ََض َِ ْشقََ ََعلَىَلَ ََمَِرَي َُ َسَقَ َْدَت ٍَ ج َْوٍَدَََو َُجَلُ َْو َُ عَ ََو َُس ٍَاَم َْنََقَِيَ ٍَامَ ََوُرَُكَْو َِ اَفِْيَ ََه َ َلَةََُِب ََ لَص ََ
Ash-shalātu bimā fihā min qiyāmin wa rukū‘in wa sujūdin wa julūsin qad tasyuqqu ‘alal marīdhi “Sholat dengan segala gerakannya dari berdiri, ruku‟, sujud, dan duduk telah memberatkan orang sakit” Kalimat ini disampaikan dalam bentuk yang panjang. Bila kalimat ini ditujukan kepada orang yang memiliki kecerdasan, maka kalimat tersebut tidak efektif dan efisien, bahkan bisa dikatakan bertele-tele, sebab situasi yang sedang dihadapi adalah kecerdasan orang yang diajak bicara, dan kecerdasan ini adalah kondisi keadaan yang menuntut untuk menyampaikan kalimat dalam bentuk ringkas. Oleh karena itu, kalimat tersebut tidak sesuai dengan situasi dan kondisi penerima pesan. Mestinya dengan situasi dan kondisi penerima pesan semacam itu, kalimat yang
44
ِ َْعلَى َلَ َم ِري baligh adalah : َض َ لَص َلةُ َقَ ْد َتَ ُشق َ / Ash-shalātu qad tasyuqqu ‘alal marīdhi (Sholat itu telah memberatkan orang sakit). Urgensi kata dan kalimat tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kata dan kalimat yang tepat dan serasi merupakan cara bertutur yang efektif. Hadits Rasulullah saw menegaskan :
. )سحََراَ(رواهَالبخاري َانَلَ إ ََإنََ إَمنََالبَيَ إ Inna minal bayāni lasichra (Sesungguhnya di dalam penjelasan (ada sesuatu yang amat sangat menarik) laksana sihir). (HR. Bukhari) Sesuatu yang amat sangat menarik itu adalah kata dan kalimat yang tersusun dengan gaya bahasa yang fasih, baligh, baik, benar, efektif, efisien, berkualitas dan bernilai estetik dan artistik yang tinggi, sehingga penjelasan yang disampaikan dengan gaya bahasa tersebut dapat mempengaruhi orang lain dan memberi kesan yang mendalam laksana terkena sihir. Hadits Rasulullah saw ini menggunakan kata ”Bayān” dan ini menunjukkan
bahwa
seseorang
membutuhkan
kemampuan
dan
kompetensi berbayān . Secara etimologi kata ”Bayān” terambil dari bahasa Arab ” ” البيان berarti (1)- للُجَة َ /al-chujjah (argumentasi), (2)- حَْي َُح َِ لَص ََ َ لَ ََمنَْ َِط َُق/al-mantiq ash-shachīch (logika yang benar). Secara terminologi : (Anis, - : 80)
َ ًلغَا َ َفَ َطَيَ َاتَِِوََب َ َِالَأََْوَ ََُْ َِم َُل ٍَ فَ ََع َْنَ ََح َِقْيَ َق َِةَ ََح َُ ش َِ ل َُمََيَ َْك ََ لَ َك
45
Al-kalāmu yaksyifu ’an chaqīqati chālin aw yachmilu fi thayātihi balāghan (perkataan yang menyingkap hakekat suatu keadaan dan mengandung pesan sesuai keinginan hatinya). Ketika kata ini menyifati kata Uslūb (gaya bahasa) dan menjadi ”Uslūb bayāniy”, artinya uslūb yang dipergunakan berfungsi dan bermakna sebagai alat penjelas yang bersifat informatif dan argumentatif dari pikiran, perasaan dan kemauan individunya, dan uslūb tersebut sampai kepada taraf memberi kesan yang mendalam dan mempengaruhi orang lain . Sebagai contoh Firman Allah swt dalam Q.S. An-Nur (24) : 2 :
ٍ ِِ َِ َللل َِ ََدَيْ َِن َِ ف َ ِ ٌَاَرَأَْف َة َِ لح ٍَدَ َِمْنَ َُه ََم َِ اجَلِ َُدولَ َُكلََََو َْ لنََف َ ِ لَز ََ لَزَلنَيََةَََُو َ ََ اَم َائََةَُ ََجلَْ ََدَةَََوََلََتَأْ َُخَُذ َُك َْمَ َب ََم
Az-zāniyatu waz-zāni fajlidu kulla wāchidin minhumā mi’atu jaldatin wa lā ta’khudzukum bihimā ra’fatun fi dīnillah Pezina perempuan dan pezina laki, cambuklah masik masing dari keduanya seratus kali cambukan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya menguasai diri kamu di dalam menjalankan agama Allah. (Q.S. An-Nur (24) : 2) Ayat ini menjelaskan bahwa di dalam menjalankan hukum Allah terhadap pezina baik wanita maupun pria, manusia diminta untuk tidak berbelas kasihan kepada keduanya. Fokus yang menarik dalam masalah ini adalah bahasa yang dipergunakan Allah dalam menjelaskan perintahnya untuk tidak berbelas
ِِ kasihan. Redaksi gaya bahasa yang dipakai adalah ٌاَرَأْفََة ََ ََوََلََتَأْ َُخَُذ َُك َْمَ َب ََم/wa lā ta’khudzukum bihimā ra’fatun . Kata ٌ ََرَأَْف َة/ra’fatun yang artinya belas
46
kasihan dijadikan subjek dari kata kerja خ َُذ َُ ْ َتَأ/ta’khudzu, dan
َ َُك ْم/kum
yang artinya kamu sekalian, dijadikan objeknya. Dan redaksi gaya
ِِ bahasanya tidak dibalik menjadi اَرَأَْف ًَة ََ ََوََلََتَأْ َُخ َُذولَ َب ََم/ wa lā ta’khudzū bihimā ra’fatan. Kata ً ََرَأْفََة/ra’fatan menjadi objek, dan kamu sekalian menjadi subjeknya. Dengan redaksi yang pertama, Allah swt ingin menjelaskan bahwa dalam menangani kasus perzinaan, belas kasihan tidak boleh sampai menguasai diri kamu, sebab kalau sampai rasa belas kasihan, bahkan segala perasaan yang ada di dalam hati ; rasa marah, cinta, cemburu, benci dan lain sebagainya, sudah menjadi bos dari diri kamu, maka yang terjadi adalah akal sehat kamu akan hilang yang sangat diperlukan untuk mempertimbangkan baik dan buruknya perbuatan. Makna ini tidak akan tercapai bila yang dipakai adalah redaksi gaya bahasa yang kedua.
6) Pertuturan Ditinjau dari Aspek “Instrumentality “ Hymes menegaskan bahwa “saluran (channels) dan bentuk tutur (form of speech) keduanya sebagai sarana dan lembaga bertutur (as means or
agencies
of
speaking),
dan
diberi
label
instrumentalitas
(instrumentalities). Saluran mengacu kepada medium penyampaian tutur, lisan, tertulis, telegram, telepon dan sebagainya. Bentuk tutur lebih mengarah kepada tatanan sarana linguistik yang berskala bahasa, dialek, dan varietas yang banyak digunakan. (1989:59)
47
Manusia adalah makhluk individual sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan alat dalam berkomunikasi sesamanya, yaitu bahasa. Bahasa merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan dan bekerja sama. Bahasa yang sering dipergunakan dan itu kita jumpai sehari-hari adalah bahasa lisan. Artinya bahasa lisan adalah ragam bahasa yang dipakai untuk berkomuniasi secara langsung melalui mulut/bibir, (Hizair, 2013:56) sebagaimana yang dipergunakan oleh orang-orang di sekolah, di pasar, di kantor, dan di mana saja. Fenomena ini menunjukkan bahwa berbagai persoalan yang kita lihat dari kenyataan hidup sehari-hari, selalu dikemukakan orang dengan cara lisan. Hal itu menunjukkan bahwa bahasa lisan adalah bahasa yang sangat penting sekali dalam kehidupan manusia sehari-hari. Bahasa lisan dapat dikelompokkan berdasarkan kelamin, umur, pekerjaan, instrument, lokasi, situasi, bentuk, isi, dan tujuan. Kriteriakriteria ini menimbulkan keragaman bahasa lisan. Misalnya berdasarkan kriteria pekerjaan, bahasa lisan yang digunakan oleh seseorang dalam suatu pekerjaan tertentu akan menunjukkan formalitas pertuturan, dan pekerjaannya itu akan mempengaruhi sikap dan caranya dalam menuturkan kalimat. Misalnya juga berdasarkan kriteria bentuk, bahasa lisan dapat berbentuk ceramah, pidato, cerita, kuliah, percakapan/dialog dan sebagainya. Bentuk ceramah tentu berbeda dengan bentuk percakapan/dialog. Bahasa lisan yang digunakan dalam bentuk ceramah,
48
tentu berbeda dengan bahasa lisan yang digunakan dalam bentuk percakapan/dialog antar dua orang. Bahasa lisan bentuk percakapan/dialog dapat memperlihatkan kepribadian penutur, seperti kedewasaannya, kewibawaannya, dan sebagainya. Di samping itu, persoalan bahasa lisan pun tidak bisa lepas dari persoalan urutan kata dan kalimat yang digunakan. Bagaimana hubungan antara kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, atau hubungan antara kata yang satu dengan kata yang lain. Prinsip-prinsip kebahasaan tersebut harus ditaati, begitu pula halnya dengan prinsip kelogisan, prinsip pemilihan kata dan intonasi. Prinsip-prinsip tersebut sangat penting diperhatikan oleh penutur bahasa lisan supaya bahasa lisan yang digunakan dapat lebih efektif. Ketika penggunaan bahasa lisan berlangsung atau ketika aktivitas bertutur kata berlangsung, ada dua faktor yang turut menentukan: (1) faktor situasional, dan (2) faktor sosial. (Pateda, 1994:15). Faktor situasional turut mempengaruhi pembicaraan, terutama dalam pemilihan kata-kata dan bagaiman cara mengkode. Misalnya, bahasa yang dipergunakan ketika situasi sedang berdakwah, akan berbeda dengan bahasa yang dipergunakan ketika kita berada di rumah. Sementara itu, faktor sosial pun turut menentukan bahasa yang dipergunakan. Misalnya, bahasa yang kita pergunakan untuk mitra tutur dari golongan anak-anak, akan berbeda dengan bahasa yang dipergunakan untuk mitra tutur dari golongan orang tua, penguasa, orang awam, intelek, dan lain sebagainya.
49
Keragaman dalam bahasa lisan ini pun menghasilkan apa yang disebut variasi bahasa lisan.
7) Pertuturan Ditinjau dari Aspek “ Norm “ Hymes menjelaskan bahwa salah satu komponen bertutur, yaitu “Norms” terdiri dari dua hal: (1) Norma interaksi (Norms of interaction), yakni “All rules governing speaking, of course, have a normative character. Norms of interaction obviously implicate analysis of social structure, and social relationship generally, in a community”. (2) Norma Interpretasi (Norms of interpretation), yakni “An account of norms of interaction may still leave open the interpretation to be placed upon them, especially when members of different communities are in communication.” (1989:60) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Baru, 2009:601), kata “norma” memiliki beberapa arti; (1) sesuatu ketentuan atau aturan yang bersifat mengikat dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan diterima, (2) tingkah laku yang diabstraksikan, (3) ukuran suatu fenomena yang dipakai untuk mengukur fenomena lainnya; kaidah. Norma agama: konsep atau kaidah yang menata perilaku manusia dalam pergaulan dengan sesamanya yang bersumber pada ajaran atau aturan agama. Berdasarkan makna tersebut, norma merupakan aturan hukum yang mengikat manusia sebagai makhluk sosial. Artinya manusia tidak boleh
50
berlaku sewenang wenang, tetapi harus mematuhi norma yang terdapat di dalam masyarakatnya. Bertens dalam bukunya “Etika” (2013:117-118) menjelaskan bahwa norma yang menyangkut perilaku manusia, ada yang bersifat khusus, dan ada yang bersifat umum. Norma yang bersifat khusus seperti norma bahasa. Tata bahasa Indonesia adalah norma yang menentukan pemakaian bahasa dengan baik dan benar, atau justru tidak baik dan tidak benar. Kalau dalam bertutur, pemakaian bahasa harus sesuai dengan norma tata bahasanya. Kalau tidak sesuai, pemakaian bahasanya tidak betul karena tidak memenuhi syarat. Sementara itu, norma yang bersifat umum adalah norma etiket dan norma etika. Norma etiket hanya menjadi tolak ukur untuk menentukan apakah perilaku manusia sopan santun atau tidak, sedangkan norma etika menentukan apakah perilaku manusia baik atau buruk dari sudut etis. Norma etika ini bisa dirumuskan dalam bentuk positif atau negatif. Dalam bentuk positif, norma etika tampak sebagai perintah yang menyatakan apa yang harus dilakukan, misalnya, harus menghormati orang tua atau harus mengatakan yang benar. Dalam bentuk negative, norma etika tampak sebagai larangan yang menyatakan apakah yang tidak boleh dilakukan, seperti, jangan membunuh, jangan berbohong, atau jangan menghina. Dalam kaitannya dengan norma khusus dan umum, Bertens (2013:119) menjelaskan bahwa norma khusus harus tunduk pada norma umum. Bisa saja ada seseorang memakai bahasa Indonesia dengan baik dan
51
benar. Dari sudut norma bahasa, apa yang dikatakannya itu memang sempurna. Tapi dengan mengatakan itu, pada kenyataannya ia memfitnah orang lain atau ia berbohong. Jadi dari sudut etis, apa yang dikatakannya itu sama sekali tidak baik dan benar. Hal seperti ini, norma bahasa pun harus tunduk pada norma etika atau moral. Dalam konteks bertutur, ada norma atau aturan yang harus ditaati, baik secara etika (moral/akhlak) atau etiket (sopan santun). Kamus Lengkap Bahasa Indonesia menjelaskan (Hizair, 2013:547) bahwa kata “sopan” berarti tertib menurut aturan, santun, hormat, takzim, beradab (tingkah lakunya, tutur katanya, baik kelakuannya dan baik budi bahasanya). Dan kata “Santun” berarti sangat sopan, lemah lembut, berbudi bahasa, penuh rasa belas kasihan, suka menolong, berakhlak mulia. (Hizair, 2013:523) Istilah “etika” dan “etiket” sering dicampuradukkan. Dalam hal ini, Bertens menjelaskan persamaan dan perbedaan antara dua istilah tersebut (2013:7-8). Persamaannya bahwa “etika” dan “etiket” menyangkut perilaku manusia dan mengatur perilaku tersebut secara normatif. Artinya memberi norma bagi perilaku manusia, apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Sedangkan perbedaannya adalah: 1). Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia. Misalnya cara menyerahkan sesuatu kepada orang lain, harus menggunakan tangan tangan, dan dianggap melanggar etiket bila menyerahkannya dengan tangan kiri. Sementara, etika tidak terbatas
52
pada cara melakukan suatu perbuatan, tetapi etika memberi norma tentang perbuatan itu sendiri. Artinya, apakah perbuatan itu boleh dilakukan atau tidak. “Jangan berbohong”, “jangan menghina”, “jangan mencuri” merupakan suatu norma etika. 2). Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, etiket tidak berlaku. Misalnya cara makan atau berpakaian. Dianggap melanggar etiket bila makan sambil meletakkan kaki di atas meja. Tapi kalau makan sendiri, tidak dianggap melanggar etiket. Sebaliknya, etika selalu berlaku, juga kalau tidak ada saksi mata. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain. 3). Etiket bersifat relative. Yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misalnya, makan dengan tangan atau bersendawa waktu makan. Sementara, etika jauh lebih absolut. “Jangan berbohong”, “jangan mencuri”, “jangan menghina”, “jangan menyakiti orang lain” merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi “dispensasi”. 4). Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai “musang berbulu ayam”, dari luar sangat sopan dan santun, tetapi di dalam penuh kebusukan.
53
Berdasarkan pemahaman ini, aktivitas manusia dalam bertutur, pertuturannya bisa menunjukkan bahwa ia beretiket atau beretika, atau ia beretiket sekaligus beretika dalam bertutur. Abdul Chaer dalam bukunya “kesantunan Berbahasa” (2010:6) menyebutkan bahwa kesantunan bertutur lebih berkenaan dengan substansi bahasanya, sementara kesopanan bertutur lebih berkenaan dengan etika bertutur atau tata cara bertutur. Substansi bahasa yang menunjukkan kepada kesantunan bertutur adalah unsur yang menunjukkan kepada penggunaan bahasa sesuai dengan “konteks” dalam makna luas. Artinya substansi bahasa yang digunakan sesuai dengan konteks situasi dan kondisi, atau sesuai dengan konteks keadaan dan siapa mitra tutur. Sementara itu, Etika bertutur yang menunjukkan kepada kesopanan bertutur adalah unsur yang menunjukkan kepada moral atau akhlak penutur. Ini artinya bahwa akhlak penutur dan pengetahuannya akan konteks pertuturan akan berimbas kepada kesantunan dan kesopanan bertutur. Leech dalam bukunya “Principles of Pragmatics”, memaparkan maksim-maksim prinsip sopan santun sebagai berikut: (a) Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim), yaitu buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin dan berilah keuntungan bagi orang lain sebesar mungkin. (b) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim), yaitu buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin dan buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin. (c) Maksim Pujian (approbation maxim), yaitu kecamlah orang lain
54
sesedikit mungkin dan pujilah orang lain sebanyak mungkin, (d) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim), yaitu pujilah diri sendiri sesedikit mungkin dan pujilah orang lain sebanyak mungkin. (e )
Maksim
Kesepakatan (Agreement Maxim), yaitu usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan mitra tutur sesedikit mungkin, dan usahakan agar kesepakatan antara diri dengan mitra tutur terjadi sebanyak mungkin. (f) Maksim Simpati (sympathy maxim), yaitu kurangilah rasa simpati antara diri dengan mitra tutur hingga sekecil mungkin, dan tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dengan mitra tutur. (g) Maksim Pertimbangan (consideration maxim), yaitu minimalkan rasa tidak senang pada mitra tutur dan maksimalkan rasa senang pada mitra tutur. (1993 : 206-207)
8) Pertuturan Ditinjau dari Aspek “ Genre “ Hymes menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan “genres‟ adalah “are meant categories such as poem, myth, tale, proverb, riddle, curse, prayer, oration, lecture, commercial from letter, editorial, etc. (1989:61) Lebih lanjut dia menjelaskan bahwa dari sudut pandang etnografi komunikasi, menganalisis tutur ke dalam tindak-tindak tutur berarti menganalisis tutur menjadi genre-genre. (1989:62) Dalam kajian gaya bahasa, aspek genre merupakan unsur yang menyebabkan penggunaan bahasa itu bisa bervariasi (Abdurrahman, 1981: 289). Dari aspek genre, penggunaan bahasa pada satu kategori berbeda
55
penggunaannya pada kategori lain, seperti gaya bahasa yang dipergunakan dalam ragam bentuk puisi, tentu berbeda dengan gaya bahasa yang dipergunakan dalam ragam bentuk prosa. Masing-masing memiliki cara dan metode serta aturan-aturan ujarannya yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Dalam ragam bentuk prosa pun, gaya bahasa yang dipergunakan untuk pidato, tentu berbeda dengan gaya bahasa untuk cerita, berbeda pula dengan gaya bahasa untuk surat menyurat, makalah dan lain sebagainya. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan dari aspek genre ini menimbulkan gaya bahasa yang berbeda-beda pula. Dalam berbahasa, ada berbagai macam pola-pola pengungkapan, dan pola-pola itu dibatasi oleh makna dan dipergunakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi. Hal itu menghasilkan berbagai macam variasi bahasa. Variasi bahasa ini, bila ditinjau dari konteks bertutur atau partisipan, akan menimbulkan ragam bahasa yang berbeda beda. Bila konteks bertutur adalah situasi resmi dalam sebuah seminar, diskusi, atau pertemuan-pertemuan
yang
bersifat
formal,
maka
bahasa
yang
dipergunakan adalah ragam resmi. Sementara, bila ditinjau dari partisipan, seperti mitra tutur adalah seorang teman yang akrab, maka bahasa yang dipergunakan adalah ragam akrab. Pateda menjelaskan (1994:52) bahwa variasi bahasa dapat dilihat dari 7 (tujuh) segi: (1) tempat, (2) waktu, (3) pemakai, (4) situasi, (5) dialek yang berhubungan dengan sapaan, (6) status, (7) pemakaiannya.
56
Variasi bahasa dilihat dari segi tempat, yaitu tempat yang dibatasi oleh air, gunung, dan hutan, menghasilkan apa yang disebut dialek regional. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam dialek di antaranya, perbedaan fonologi, morfologi, dan semantik. Untuk menentukan suatu dialek regional, dapat dilihat dari: (a) kriterium struktural, (b) kriterium saling mengerti, (c) kriterium sosiokultural, (Pateda, 1994:54). Variasi bahasa dilihat dari segi waktu, menghasilkan variasi bahasa yang disebut dialek temporal, yaitu dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Perbedaan kurun waktu tersebut menjelaskan perbedaan makna untuk kata-kata tertentu. Misalnya kata bahasa Arab “adab” yang dahulu pada zaman Jahiliyah bermakna “ mengundang makan “, sekarang bermakna “ akhlak perilaku atau sastra ”. Variasi bahasa dilihat dari segi pemakainya, menghasilkan apa yang disebut glossolalia (ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan), idiolek (aksen, intonasi dan sebagainya), berdasarkan kelamin (laki-laki dan
perempuan),
monolingual
(penutur
bahasa
yang
hanya
mempergunakan satu bahasa saja), rol (peran yang dimainkan seorang penutur dalam interaksi sosial), status sosial (kedudukannya yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaannya), dan yang berdasarkan umur. Variasi bahasa dilihat dari segi pemakaiannya, menghasilkan apa yang disebut; diglosia (berkomunikasi dengan mempergunakan dua atau lebih bahasa), kreol (kontak pemakaian bahasa dalam waktu yang lama),
57
bahasa lisan, bahasa tutur sapa, standar, nonstandard, jargon (pemakaian bahasa dalam setiap bidang kehidupan), pijin (bahasa yang timbul akibat kontak bahasa yang berbeda), register (pemakaian bahasa yang dihubungkan dengan pekerjaan seseorang), bahasa tulis, kan (sejenis slang), repertories (peralihan bahasa yang dipakai karena pertimbangan terhadap lawan tutur), dan reputations (pemilihan pemakaian suatu bahasa karena faktor penilaian terhadap suatu bahasa). (Pateda, 1994:61). Variasi bahasa yang dilihat dari segi situasi, dapat dibagi atas variasi bahasa formal dan nonformal. Sedangkan variasi bahasa dilihat dari segi status, dibagi atas bahasa ibu (= mother tongue), bahasa daerah, lingua franca, bahasa nasional, bahasa Negara, bahasa pengantar, bahasa persatuan, dan bahasa resmi. Bahasa Ibu (= mother tongue) adalah bahasa yang dipergunakan ibu ketika berkomunikasi dengan anaknya sejak anak itu masih kecil. Bahasa Daerah adalah bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat daerah tertentu untuk berkomunikasi antar sesama mereka. Bahasa Nasional adalah bahasa yang dipergunakan oleh suatu negara untuk saling berkomunikasi antara sesama warga negara itu. Bahasa Negara adalah bahasa yang diakui secara yuridis dipergunakan di wilayah suatu negara untuk dipergunakan oleh warga negara tersebut untuk berkomunikasi. Lingua franca adalah bahasa yang merupakan penghubung antar penutur bahasa yang berbeda-beda bahasa. Bahasa Pengantar adalah bahasa yang dipergunakan untuk mengantarkan atau untuk menjelaskan ilmu
58
pengetahuan kepada orang lain. Bahasa Resmi adalah bahasa yang secara resmi diakui secara yuridis sebagai bahasa resmi dalam suatu negara. (Pateda, 1994 : 71-75) Variasi-variasi bahas tersebut menunjukkan bahwa bahasa itu dinamis yang disebabkan oleh dinamisnya perkembangan penutur bahasa.
2. Hakikat Al-Qur’an Objek kajian penelitian ini adalah bahasa Al-Quran, dan Al-Qur‟an itu sendiri adalah mukjizat Nabi Muhammad saw. Sifat kemukjizatan AlQur‟an ini merupakan objek kajian yang luas yang telah dan selalu dikaji oleh para Pakar dalam berbagai bidang ilmu, termasuk bidang bahasa Arab. Al-Qur‟an adalah Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui Malaikat Jibril. Beliau mengucapkan apa yang diucapkan oleh Jibril. Ucapan-ucapan itu terus berlanjut sepanjang hidup Nabi Muhammad saw hingga wahyu Al-Qur‟an itu ditutup. Tepatnya, AlQur‟an diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang terdiri dari 114 surat, 30 juz, 6236 ayat, dan 51924 kata. (Abdurrabbih, 1983 : 9) (Al-Hafiz, 2012:5) Al-Quran sebagai Firman Allah disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab dalam bentuk komunikasi verbal yang berwujud ujaran. Artinya bahasa Arab Al-Qur‟an itu ditransmisikan secara lisan, kemudian ditransmisikan kembali dengan tulisan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka menulis setelah menyimak
59
apa yang disampaikan Nabi secara lisan. Di antara mereka adalah Zaid bin Tsabit, salah seorang sekretaris Rasulullah saw yang utama. Pada zaman Abu Bakar, beliau menerima saran dari Umar bin Khaththab untuk mengumpulkan Al-Qur‟an yang tercecer dalam lembarlembar tulisan dan menulisnya kembali dalam satu naskah mushab. Ketika Abu Bakar dapat menerima saran Umar, beliau bertutur kepada Zaid bin Tsabit, “Anda pemuda yang cerdas dan saya tidak meragukan anda. Anda adalah penulis wahyu untuk Rasulullah saw dan anda mengikuti Al-Qur‟an itu. Maka sekarang cobalah mengumpulkannya kembali.” (Haekal, 2014 : lxxix) Pengumpulan dan penulisan Al-Quran dilakukan oleh Zaid bin Tsabit selama dua atau tiga tahun terus menerus. Beliau mengumpulkan semua bahan serta menulis dan menyusun kembali seperti yang ada sekarang atau seperti dilakukan Zaid sendiri membawa Al-Quran itu di depan Nabi Muhammad saw. Setelah
naskah
pertama
lengkap,
Umar
mempercayakan
penyimpanannya kepada Hafshah, putrinya dan istri Nabi saw. Kitab Suci yang sudah dihimpun oleh Zaid ini tetap berlaku selama khilafah Umar sebagai teks yang autentik dan sah. Kemudian, pada zaman Usman terjadi perselisihan mengenai cara membaca bahasa Al-Quran dalam tubuh umat Islam. Oleh karena itu, seorang sahabat yang bernama Hudzaifah memberi saran kepada khalifah Usman untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang terjadi demi
60
menghindari bahaya perselisihan di antara umat Islam. Khalifah Usman dapat menerima saran itu dan meminta Zaid bin Tsabit untuk membantunya dengan diperkuat oleh tiga orang dari kabilah Quraish, yaitu Said bin Al„ash, Abdullah bin Zubair, dan Abdurrahman bin Harits. Naskah pertama yang ada di tangan Hafshah dibawa dan cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh kedaulatan Islam itu pun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali dengan kecermatan yang luar biasa untuk kali terakhir. Kalau pun Zaid berselesih juga dengan ketiga sahabatnya dari Quraish itu, ia lebih cenderung kepada suara mereka mengingat turunnya wahyu menurut logat Quraish, meskipun dikatakan wahyu itu diturunkan dengan tujuh huruf atau dialek Arab yang bermacammacam. Selesai dihimpun dan digandakan beberapa naskah, Al-Qur‟an itu di kirim ke beberapa kota; Makkah, Madinah, Basrah, Kuffah, Syam, dan untuk Khalifah Usman. Kemudian Naskah yang ada di tangan para sahabat lainnya dikumpulkan atas perintah khalifah, lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada Hafshah. Jadi, Al-Qur‟an yang telah ditulis dan digandakan pada zaman Usman adalah sumber yang paling autentik dan sebagai Kitab Suci yang tidak membawa kepalsuan dan tidak pula dicampur dengan segala hal yang masih diragukan. “Kamilah yang menurunkan menjaganya (dari kepalsuan”. (Q.S. 15 : 9)
Al-Qr‟an dan Kami yang
61
Artinya
Al-Quran
adalah
Kitab
Suci
satu-satunya
yang
mempersembahkan huruf, kata, frasa, dan kalimat dari Firman Allah yang tidak mengalami penggelapan dan penggantian sedikitpun. Allah saw berfirman: “…dan sesungguhnya Al-Qur‟an itu adalah Kitab yang mulia, yang tidak dating kepadanya (Al-Qur‟an) kebatilan baik dari depan, maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. (Q.S. 41 : 41-42) Ayat ini menunjukkan bahwa teks bahasa Al-Qur‟an bersifat dogmatik yang tidak mengalami perubahan atau penggantian, baik dari aspek huruf, kata, frasa, dan kalimatnya. Hal ini karena pada setiap huruf, kata, frasa, dan kalimatnya mengandung isyarat-isyarat petunjuk ilahi hingga hari kiamat, serta fungsinya segai hudan (petunjuk) yang ditujukan kepada seluruh umat manusia.
E. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Penelitian disertasi ini merupakan model kajian etnografi yang bersifat kualitatif deskriptif. Etno-metodologi merupakan metodologi penelitian yang mempelajari bagaimana prilaku
berbahasa dapat
dideskripsikan sebagaimana adanya demi kebermaknaan linguistik formal. Menurut
pendapat
Dell
Hymes
bahwa
“The
ethnography
of
communication indebted to the methodological gains from recent studies
62
of linguistic form for its own sake, and to a climate of opinion created by arguments for the significance of formal linguistics”. (1989 : 5) Oleh karena itu, agar prilaku bertutur ini dapat dideskripsikan sesuai dengan fokus permasalahan, penelitian ini berdasarkan prinsip sosiolinguistik pragmatik dengan menggunakan kerangka kerja teori etnograpfi komunikasi dalam komponen bertutur yang diakronimkan oleh Dell Hymes dalam akronim bahasa Inggris menjadi “SPEAKING”. Model kajian etnografi ini dituangkan dalam bentuk kualitatif deskriptif. Artinya suatu prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa uraian atau gambaran-gambaran prilaku bertutur yang dapat diamati dan akhirnya dapat menghasilkan catatan-catatan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Artinya data diusahakan dan dikumpulkan sebanyak mungkin dan dituangkan dalam bentuk uraian dan gambaran-gambaran, dan bukan dalam bentuk angka-angka. Dipilihnya
rancangan deskriptif dikarenakan penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan bagaimana prinsip-prinsip bertutur dalam Al-Quran dengan menggunakan teknik analisis teks dan wacana dengan pendekatan intertekstualitas. 2. Sumber Data Data penelitian ini dibagi dalam dua kategori: Pertama, data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek material penelitian. Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini
63
adalah ayat-ayat Al-Qur‟an atau teks-teks bahasa Al-Qur‟an yang menunjukkan informasi dan wacana pertuturan. Artinya ayat-ayat yang berisi pemakaian ujaran, sekecil apapun informasi tersebut, maupun ayatayat yang berbentuk percakapan atau dialog. Kedua kategori ini dijadikan dasar untuk mengumpulkan data, serta menyeleksi dan menetapkannya sebagai sampel materi penelitian yang akan dianalisis. Kedua, data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hadits-hadits Rasulullah saw, buku-buku tafsir, dan sumber-sumber lainnya yang mendukung penelitian ini. Data sekunder yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah hadits-hadits Rasulullah saw yang
menunjukkan
kepada wacana pertuturan. Data sekunder dari hadits Rasulullah saw ini adalah data pendukung untuk menguatkan analisis, karena hadits berfungsi sebagai penjelas yang otentik bagi data primer. Nabi Muhammad ketika menerima firman-firman Allah yang turun secara bertahap, bukanlah semata bagaikan
rekaman
kaset
yang
tak
bernyawa,
melainkan
aktif
mendengarkan, memahami, dan membacakan kembali untuk para sahabatnya dalam bahasa lisan Arab. Hal itu karena Muhammad saw memiliki kapasitas insani sekaligus rasul-Allah. Kapasitas ini mengingat sejak awal Beliau telah dipersiapkan oleh Allah swt untuk memiliki kemampuan menerima firmanNya dan menerapkannya dalam berprilaku. Itulah sebabnya, ketika Aisyah ditanya bagaimana akhlak Rasulullah saw, ia mengatakan bahwa akhlak Rasulullah saw adalah Al-Qur‟an. Kapasitas
64
Muhammad saw ini membuktikan bahwa firman Allah terpelihara dari kemungkinan distorsi dan deviasi ketika Jibril menyampaikan wahyu Allah. Itulah sebabnya Muhammad saw juga dikenal memiliki empat sifat utama, yaitu: cerdas, tidak bohong, menjaga amanah, dan menyampaikan seluruh isi wahyu yang diterimanya. (Hidayat, 1996:151) 3. Analisis dan Interpretasi Data Metode penelitian kualitatif deskriptif ini menggunakan teknik analisis teks dan wacana dengan pendekatan intertekstualitas. Hidayat (1996:129-130) menerangkan bahwa teks adalah fiksasi atau pelembagaan sebuah peristiwa wacana lisan dalam bentuk tulisan. Sedangkan wacana adalah suatu aktivitas saling berbagi dan tukar menukar pendapat ataupun pemikiran. Sementara itu, Titscher mengemukakan kriteria teks (2009:35-38): (1) Kohesi, yaitu yang berkaitan dengan komponen dan permukaan tekstual yakni keterhubunganan “sintaksis teks”. (2) Koherensi, yaitu yang menyusun makna sebuah teks. Semantik tekstual ini merujuk pada konsep utama intertekstualitas. Artinya setiap teks berhubungan, secara sinkronis maupun diakronis, dengan teks-teks lain, dan inilah satu-satunya cara mencapai pemahaman sebuah teks. (3) Intensionalitas, yaitu yang berhubungan dengan sikap dan tujuan prosedur teks. Apa yang dia inginkan dan maksudkan dengan teks tersebut. (4) Akseptabilitas, yaitu yang merupakan cermin intensionalitas, dan berkaitan dengan tingkat kesiapan pendengar dan pembicara untuk mengharapkan sebuah teks yang
65
berguna dan relevan. (5) Informativitas, yaitu yang mengacu pada kuantitas dan kualitas informasi yang baru atau yang diharapkan dalam sebuah teks. (6) Situasional. Artinya konstelasi pembicara dan situasi tuturan memainkan peran penting dalam memproduksi teks. Kritera ini menggiring ke arah lahirnya konsep “wacana”, karena pada umumnya wacana didefinisikan sebagai teks dalam konteks. (7) Intertekstualitas. Kriteria ini memiliki dua jenis makna; di satu sisi, intertekstualitas menyatakan bahwa suatu teks hampir selalu terkait dengan wacana sebelumnya atau wacana yang muncul secara bersamaan, dan di sisi lain, intertekstualitas juga menyiratkan
kalau ada kriteria formal yang
menghubungkan teks-teks tertentu dengan teks-teks lain dalam genregenre atau jenis-jenis teks tertentu. Berdasarkan ketujuh kriteria tersebut, analisis teks tidak sematamata hanya menurut dimensi linguistik kohesi dan koherensi, namun juga menyertakan hubungan diferensial dengan konteks sosial atau konteks lain dan menjadikannya sebagai dasar interpretasi. Sementara kata “wacana” bersinonim dengan kata “diskursus” yang secara etimologi berasal dari bahasa latin “discurrere” (mengalir ke sana ke mari), yaitu mengalir secara terpisah yang ditransfer maknanya menjadi “terlibat dalam sesuatu” atau “memberi informasi tentang sesuatu”. Dalam bahasa Latin, pada abad pertengahan, kata diskursus berarti percakapan, perdebatan yang aktif, dan juga kearifan berbicara. (Titscher, 2004:42)
66
Darma
menyebutkan
bahwa
pembahasan
wacana
adalah
pembahasan bahasa dan tuturan yang harus dalam satu rangkaian kesatuan situasi. Artinya, makna suatu bahasa berada dalam rangkaian konteks dan situasi. (2009:1) Analisis wacana dapat dipahami sebagai berikut: (1) Analisis wacana membahas kaidah pemakaian bahasa di dalam masyarakat, (2) Analisis wacana merupakan usaha memahami makna tuturan dalam konteks, teks dan situasi, (3) Analisis wacana merupakan pemahaman rangkaian tuturan melalui interpretasi semantik, (4) Analisis wacana berkaitan dengan pemahaman bahasa dalam tindak berbahasa, (5) Analisis wacana diarahkan kepada masalah memakai bahasa secara fungsional, (6) Analisis wacana bersifat interpretasi pragmatis, baik bentuk bahasanya maupun maksudnya, (7) Analisis wacana banyak bergantung pada interpretasi terhadap konteks dan pengetahuan yang luas, (8) Analisis wacana menganalisis semua unsur yang terkandung di dalamnya sebagai suatu rangkaian. (Darma, 2009:15-16) Para pakar bahasa mencoba untuk memberikan alternatif lain dalam memahami hakikat bahasa dengan analisis wacana. Artinya analisis wacana mengkaji bahasa secara terpadu dan tidak terpisah-pisah. Semua unsur bahasa terikat pada konteks pemakaian. Oleh karena itu, analisis wacana sangat penting untuk memahami kakikat bahasa dan prilaku bahasa. Dalam konteks analisis wacana khusus, di satu sisi, sejumlah besar informasi diperoleh melalui perspektif etnografi, dan di sisi lain, wacana
67
menandai kasus-kasus tertentu yang konteksnya relevan. Namun aspek konteks yang harus dicakup dan dikeluarkan, harus dikemukakan dan dinilai secara tepat dalam analisis konkret sebuah kasus tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa analisis wacana berurusan dengan teks dalam sebuah wacana. Berdasarkan hierarki bahasa, wacana merupakan tataran bahasa yang terlengkap karena wacana mencakup tataran dibawahnya, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, semantik-pragmatik dan ditunjang oleh unsur lainnya, yaitu situasi pemakaian bahasa dalam masyarakat. Oleh karena itu, analisis dan interpretasi data berfokus pada tataran semantikpragmatik, sementara sintaksis hanya digunakan untuk mendukung unit unit analisis. Sebuah analisis teks linguistik mencakup tataran sintaksis, semantik dan pragmatik. Analisis
teks
dan
wacana
ini
menggunakan
pendekatan
intertekstualitas (intratekstualitas dan ekstratekstualitas). Hal ini karena teks yang akan dianalisis dan diinterpretasikan adalah teks Al-Qur‟an. Pendekatan intertekstualitas diperkenalkan secara akademis oleh Quraish Shihab (Hidayat, 1996:121). Dalam hal ini, prinsip yang pertama diperhatikan ialah, biarkan Al-Qur‟an berbicara menurut dirinya sendiri. Artinya jika terdapat kata dan istilah yang maknanya belum jelas, segera kita bertanya dan mencari pada ayat lain yang juga menggunakan kata yang sama, namun dalam konteks berbeda. Dengan cara penafsiran silang
68
dan dialektis intra-teks Al-Qur‟an, maka berangkat dari pemahaman kata akan berkembang pada pemahaman konsep dan wawasan konteks. Hubungan intertekstualitas tidak hanya terbatas pada inter-teks Al-Qur‟an, bahwa ayat yang satu menafsirkan yang lain, tetapi lebih dari itu juga antara teks Al-Qur‟an dan teks-teks lainnya, terutama hadits Rasulullah saw. Hal ini karena hadits memiliki beberapa fungsi: (1) bayān at-ta’kīd, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-Qur‟an. (2) bayān at-tafsīr, adalah memberikan perincian dan penafsiran terhadap ayat ayat Al-Qur‟an yang masih mujmal (global), dan memberikan taqyīd
(persyaratan)
terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an yang
masih mutlaq. (3) bayān at-tasyrī’, adalah mewujudkan suatu hukum ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam Al-Qur‟an. dan (4) bayān attakhshīsh, yaitu memberikan takhshīsh (penentuan khusus) terhadap ayatayat Al-Qur‟an yang masih umum. (Mudasir, 2005:76).
F. Sistematika Penulisan Disertasi ini terdiri dari 5 (lima) bab, dan masing masing bab terdiri dari beberapa sub-bab. Bab pertama adalah bab pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang penulisan disertasi, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teoritis, dan metode penelitian. Dalam metode penelitian dibahas antara lain jenis penelitian, sumber data, dan teknik analisis dan interpretasi data.
69
Bab kedua menguraikan masalah yang berkaitan dengan strategi bertutur yang baik dan efektif dalam Al-Qur‟an. Berkaitan dengan masalah ini, bab kedua menjelaskan tentang hakikat strategi bertutur dan strategi bertutur dalam Al-Qur‟an. Pada sub-bab strategi bertutur dalam Al-Qur‟an, permasalahan diklasifikasi berdasarkan kajian Etnografi Komunikasi, dan terbagi menjadi sub-sub bab. Pertama, ditinjau dari aspek ”Setting dan Scene”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas dua prinsip bertutur. Kedua, ditinjau dari aspek “Participant”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas lima prinsip bertutur. Ketiga, ditinjau dari aspek “End”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas lima prinsip bertutur. Keempat, ditinjau dari aspek “Act Sequence”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas enam prinsip bertutur. Kelima, ditinjau dari aspek “Key”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas lima prinsip bertutur. Keenam, ditinjau dari aspek “instrumentality” , dan berdasarkan data yang ada, dibahas dua prinsip bertutur. Ketujuh, ditinjau dari aspek ”Norm”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas tiga prinsip bertutur. Kedelapan, ditinjau dari aspek “Genre”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas enam prinsip bertutur. Bab ketiga menguraikan masalah yang berkaitan dengan norma-norma bertutur yang beretiket dan beretika dalam Al-Qur‟an. Berkaitan dengan masalah ini, pada bab ketiga dijelaskan tentang hakikat etiket dan etika bertutur, norma-norma etiket bertutur dalam Al-Qur‟an, dan etika bertutur dalam Al-Qur‟an. Pada masing-masing kedua sub-bab terakhir, dijelaskan beberapa prinsip bertutur yang diklasifikasi berlandaskan etnografi komunikasi
70
menjadi tiga sub-sub bab. Pada sub-bab etiket: Pertama, ditinjau dari aspek “End”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas dua prinsip. Kedua, ditinjau dari aspek “Act Sequence”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas tiga prinsip. Ketiga, ditinjau dari aspek “Key”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas tiga prinsip. Adapun sub-bab etika: Pertama, ditinjau dari aspek “End”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas tiga prinsip. Kedua, ditinjau dari aspek “Act Sequence”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas tujuh prinsip. Ketiga, ditinjau dari aspek “Key”, dan berdasarkan data yang ada, dibahas dua prinsip. Bab keempat menguraikan masalah yang berkaitan dengan pengaruh konteks terhadap pilihan kata dan koherensi pada prinsip bertutur dalam Al-Qur‟an. Berkaitan dengan masalah ini, bab keempat menjelaskan tentang hakikat kontekstual dalam Al-Qur‟an dan pengaruh konteks terhadap pilihan kata dan koherensi dalam Al-Qur‟an. Pada sub-bab pengaruh konteks, permasalahan diklasifikasi berlandaskan pendekatan kontekstual, dan terbagi menjadi sub-sub bab yang dikelompokkan berdasar instrumentalitas bentuk tutur, yaitu uslūb rasmiy (formal key) yang terdiri dari konteks pertuturan ayat yang berkaitan dengan tiga piranti indra manusia, berkaitan dengan hukum pidana, berkaitan dengan larangan dan perintah, dan uslūb khitābiy (oratorical key) yang terdiri dari konteks pertuturan ayat berkaitan dengan penciptaan Nabi Adam, berkaitan dengan kisah dakwah Nabi Ibrahim, dan berkaitan dengan kisah Nabi Yusuf. Bab kelima merupakan bab penutup. Bab ini terdiri dari kesimpulan, saran-saran, dan keterbatasan masalah. Pada sub-bab kesimpulan, penulis
71
berusaha menguraikan pokok permasalahan yang telah terjawab dalam penelitian ini. Saran-saran bertujuan untuk merekomendasikan hal-hal atau tindakan strategis yang harus diambil. Sementara keterbatasan penelitian dikemukakan untuk menjelaskan keterbatasan peneltian yang penulis hadapi agar mendapat perhatian bagi peneliti selanjutnya.