BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perusahaan merupakan suatu organisasi yang sangat membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki peran penting sebagai penggerak kegiatan operasional dalam mencapai tujuan. Sumber daya manusia di dalam perusahaan tidak hanya terdiri dari pimpinan perusahaan tetapi juga para tenaga kerja atau karyawan. Penting bagi perusahaan untuk mengelola karyawan seoptimal mungkin melalui pemberdayaan dan pembinaan dalam setiap pelaksanaan tugas-tugas, menciptakan kesejahteraan seluruh karyawan termasuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang bersifat
destruktif
ditempat
kerja
yang
dapat
menghambat
perkembangan
produktivitas karyawan. Beberapa peneliti organisasi semakin menaruh perhatian dalam penelitian yang membahas tentang penyimpangan yang dilakukan orang-orang di tempat kerja / the darker side of employee behavior (Neuman & Baron, 1997) karena memiliki dampak negatif baik bagi karyawan maupun organisasi. Penyimpangan tersebut diwujudkan dalam perilaku buruk karyawan melalui berbagai bentuk seperti agresi, perilaku anti sosial dan kekerasan (Griffin, 2005). Berbagai penelitian juga mengembangkan bentuk-bentuk penyimpangan dengan konsep lain seperti ketidaksopanan, penyalahgunaan jabatan di tempat kerja, perilaku kerja yang bersifat merusak, perilaku yang tidak patuh dan perilaku intimidasi di organisasi (Anderson, 2000). Salah satu bentuk penyimpangan perilaku yang sangat menganggu adalah kekerasan di tempat kerja. Ada berbagai istilah dalam berbagai literature untuk menggambarkan
fenomena
kekerasan
di
tempat
kerja
yang
digunakan
para peneliti seperti workplace aggression (Neuman & Baron, 1998); workplace violence (Bnriing, 1996; Leblanc & Kelloway,2002); workplace abuse (Richman, Frendrich & Rospenda, 1999); workplace harassment (Bowling, 2006; Bjrokqvist, Osterman & Hjet-Back, 1994 dalam Aquino & Khai, 2004) dan workplace victimization (Aquino & Thau, 2009; Aquino, 2005; Aquino & Bommer, 2003, Aquino & Bradfield, 2000). Perilaku kekerasan atau sering disebut aksi agresif di tempat kerja diprediksi dapat memicu timbulnya viktimisasi. Viktimisasi didefinisikan sebagai persepsi individu yang telah mendapat perlakuan agresif baik sekali maupun secara berulang dari satu atau banyak orang (Aquino & Bradfield, 2000). Menurut Quinney (dalam Aquino & Bradfield, 2000), viktimisasi juga didefinisikan sebagai sesuatu yang didasarkan pada persepsi target dalam sebuah aksi agresif yang menonjolkan bahwa penamaan seseorang atau labelling sebagai korban merupakan sebuah proses subyektif secara lebih luas. Dari tinjauan viktimologi, terdapat bentuk-bentuk viktimisasi yang terdiri dari primary victimization, secondary victimization, tertier victimization dan mutual victimization (Wolfgang, 1970). Primary victimization adalah korban kejahatan yang menderita fisik, mental dan sosial secara individual. Secondary victimization adalah korban kejahatan yang menderita secara kolektif atau badan hukum. Tertier victimization adalah korban kejahatan atau pelanggaran secara luas meliputi masyarakat. Mutual victimization adalah korban yang ditimbulkan akibat perilaku pelaku sendiri. Sedangkan ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban, terdapat pula beberapa tipologi korban yakni unrelated victims / korban yang tidak ada hubungan dengan pelaku kejahatan, proactive victims / peranan korban yang memicu terjadinya kejahatan, participacing victims / perbuatan korban yang tidak disadari sehingga dapat memicu tindak kejahatan oleh pelaku, biologically weak victims / keadaan fisik korban yang merupakan korban potensial seperti wanita dan anak-anak, socially weak victims / korban yang memiliki kedudukan rendah atau lemah, self victimzing victims / korban kejahatan
yang dilakukan karena perbuatan dirinya sendiri atau kejahatan tanpa korban, serta political victims / korban karena lawan politik (Fattah, 1967). Teori viktimisasi memaparkan bahwa ilmu yang mempelajari tentang viktimisasi yakni viktimologi telah mengindentifikasikan tiga faktor utama penyebab munculnya viktimisasi di tempat kerja yakni karakteristik personal, faktor situasional dan presipitasi korban (Ellias dalam Aquino, 2000; Aquino & Thau, 2009).Selain itu teori viktimisasi juga dikembangkan dalam konsep sosiologi dan kriminologi yang menjelaskan bahwa faktor lain selain karakteristik personal penting diperhatikan untuk menjelaskan mengapa seseorang sering menjadi target dari sebuah aksi agresif (e.g., Amir, 1967; Curtis, 1974; Felson & Steadman, 1983; Sparks et al., 1977). Menurut Aquino dan Bradfield (2000), salah satu karakteristik personal yang dianggap sebagai pemicu timbulnya viktimisasi di tempat kerja adalah agresivitas. Agresivitas didefinisikan untuk menggambarkan suatu sifat agresif seseorang (Buss, Tedeschi & Felson, 1994) melalui beberapa atribut individu seperti tempramen, perilaku impulsif, aktivitas yang berlebihan dan keinginan untuk merasa bebas (Monahan, 1981) sehingga memiliki kecenderungan dapat menimbulkan viktimisasi (Olweus, 1978). Fenomena yang mendukung bahwa viktimisasi dapat muncul di tempat kerja melalui agresivitas adalah ditunjukkan dengan sikap pekerja yang menentang aturan atau tidak mengerjakan tugas yang memberatkan secara benar, namun tidak memiliki kekuatan untuk melawan atasan sehingga melakukan tindak pembalasan secara sembunyi seperti melakukan sabotase. Sebuah artikel yang berjudul “Agresi di Tempat Kerja”pada era 2000-an menjelaskan bahwa viktimisasi di sebuah perusahaan dapat juga terjadi akibat dari perilaku atasan atau pimpinan yang bersifat agresif yakni enggan memberikan informasi penting kepada bawahan, mempermalukan bawahan di depan umum ketika terjadi sebuah kesalahan, melakukan sabotase kepada bawahan serta memanfaatkan tenaga dan pikiran para
bawahan untuk kepentingan pribadi tanpa memberikan imbalan yang pantas (Kompas.com). Karakteristik lain yang menyebabkan terjadinya viktimisasi di tempat kerja adalah afektivitas negatif (Aquino & Bradfield, 2000). Afektivitas negatif diprediksi memiliki kecenderungan untuk mengalami perasaan-perasaan negatif seperti marah, gelisah, cemas, takut, khawatir dan depresi (Aquino et al., 1999; Aquino & Brafield, 2000, Coyne et al., 2000; Vartia (dalam Aquino & Thau, 2009). Aquino et al., (1999) menjelaskan bahwa karyawan yang memiliki afektivitas negatif tinggi akan cenderung bersifat bermusuhan yang dapat membuat mereka rentan untuk mengalami viktimisasi di tempat kerja. Hal ini didukung dengan fenomena dalam dunia kerja yang dicontohkan dengan keluhan karyawan dalam menanggapi kondisi pekerjaan yang seringkali disebabkan karena perasaan negatif atau tidak nyaman terhadap kurangnya perhatian perusahaan tentang masalah psikologis mereka seperti opini, emosi, sikap termasuk persepsi karyawan. Apabila kondisi ini terjadi terus-menerus, maka secara sadar atau tidak akan menimbulkan sebuah tekanan jiwa / stress sehingga akan menjadi sebuah ancaman untuk bertindak agresif hingga menimbulkan korban (Greene, Fisher & Baum, 1978). Watson dan Clark (1984) juga memaparkan bahwa perilaku agresif yang sering ditunjukkan oleh seseorang pada dasarnya memiliki afektivitas negatif, yakni kecenderungan
untuk
mengalami
emosi-emosi
negatif
seperti
kemarahan,
kegelisahan dan ketakutan. Seseorang atau karyawan yang memiliki afektivitas negatif tinggi akan cenderung sering bersikap kasar yang dapat memicu timbulnya permusuhan seperti ancaman dibandingkan karyawan yang memiliki afektivitas negatif rendah (Baumeister, Smart & Bodden, 1996) dan memiliki hubungan yang buruk dengan supervisor mereka (George, 1992). Selain karakteristik personal, faktor situasional juga dapat menyebabkan terjadinya viktimisasi di tempat kerja. Aquino & Bradfield (2000) menjelaskan bahwa faktor situasional tersebut adalah status jabatan yang dimiliki seseorang di tempat
kerja. Fattah (1991) menyatakan bahwa fenomena viktimisasi yang dialami para pekerja di Indonesia pada umumnya disebut dengan viktimisasi stuktural yang merupakan sebuah proses munculnya korban yang berakar dari stratifikasi, nilainilai dan institusi-institusi yang terdapat dalam lingkungan pekerjaan. Hal ini diperkuat dengan konteks kejahatan secara struktural yang menjelaskan bahwa pihak atau subjek yang menjadi korban cenderung tidak berdaya, cenderung lebih lemah dari pelaku (Bernstein & Watson, 1997), bahkan tidak mengetahui realitas dirinya sebagai korban sehingga akan selalu berada dalam posisi yang menerima kondisi yang ada dan sulit untuk mempertahankan diri (Olweus, 1993). Berdasarkan riset viktimologi kriminal menyatakan bahwa dalam hierarki pekerjaan, pekerja yang lebih rentan untuk mengalami viktimisasi dan memiliki resiko tinggi untuk terkena kejahatan adalah para pekerja yang berstatus jabatan rendah. Sebuah studi melaporkan bahwa karyawan yang berada di posisi nonmanajerial akan lebih sering mengalami viktimisasi di tempat kerja dibandingkan karyawan yang berada di posisi manajerial (Aquino, 2004). Aquino & Bradfield (2000) juga berpendapat bahwa status jabatan yang tinggi akan melindungi mereka dari viktimisasi karena dua alasan. Pertama, status jabatan yang tinggi dianggap memiliki hak yang sah untuk menerima perlakuan positif di tempat kerja (Er, 1989). Kedua, mereka memiliki hak untuk menggunakan mekanisme formal kontrol sosial seperti sistem penghargaan dan hukuman untuk membalas rekan kerja yang memperlakukan mereka dengan buruk (Bies & Tripp, 1996). Hal ini sesuai dengan penelitian Aquino dan Bradfield (2000)yang membuktikan bahwa status jabatan memiliki pengaruh negatif pada viktimisasi di tempat kerja, yang berarti karyawan perusahaan yang berstatus tinggi seperti manajer dan supervisor cenderung terhindar dari terjadinya viktimisasi secara langsung maupun tidak langsung dibandingkan karyawan yang bestatus jabatan rendah seperti staff dan buruh. Fenomena viktimisasi di tempat kerja terus-menerus muncul karena terjadinya penyimpangan kegiatanyakni pembiaran yang dilakukan perusahaan
secara sengaja dalam melakukan pencegahan (Green & Tony, 2004). Pembiaran tersebut disinyalir sangat mudah terjadi di negara yang sedang berkembang yang cenderung bersifat soft state, ditandai dengan lemahnya kondisi ekonomi dan nonekonomi seperti sikap terhadap budaya, struktur kelembagaan serta hukum dan kebijakan untuk mendorong perkembangan masyarakat secara luas (Martinussen, 1999). Pernyataan tersebut didukung oleh fenomena tentang perlindungan terhadap korban viktimisasi di Indonesia yang masih dirasa belum optimal dalam pelaksanaannya karena penanganan aparat yang belum tepat sasaran. Sesuai dengan yang telah dijelaskan dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi & Korban Pasal 12 yang menyebutkan bahwa Lembaga Penanganan Saksi & Korban (LPSK) bertanggungjawab memberikan perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban yang telah terkena viktimisasi di tempat kerja meliputi kecelakaan kerja, sikap dan perilaku saat bekerja, kecelakaan transportasi, bencana alam, serta sebab lain diluar kejahatan berdasarkan kewenangan sebagaimana mestinya (Republika.co.id, 2014). Salah satu perusahaan manufaktur di daerah Kabupaten Karanganyar yang sedang berkembang pesat saat ini adalah PT. Gunung Subur Sejahtera. PT. Gunung Subur Sejahtera merupakan perusahaan yang termasuk usaha padat karya dengan jumlah sekitar 1200 orang, terutama wanita. Dengan banyaknya jumlah tenaga kerja, maka potensi terjadinya viktimisasi sangat mungkin di perusahaan ini yang dapat ditimbulkan dari konflik yang terjadi antara karyawan satu sama lain atau dengan para atasan mereka dalam proses kerja yang dijalani. Oleh karena itu penting bagi manajemen personalia untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya viktimisasi mengingat dampak yang ditimbulkan tidak hanya bagi perusahaan tetapi juga bagi individu perusahaan. Penelitian ini merupakan replikasi penuh dari penelitian sebelumnya yang membahas tentang victimization in the workplace (Aquino & Bradfield, 2000) dengan mencantumkan beberapa peran yang mendasari timbulnya viktimisasi di
tempat kerja yakni peran status jabatan, agresivitas dan afektivitas negatif. Dengan demikian berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Status Jabatan, Agresivitas dan Afektivitas Negatif pada Viktimisasi di Tempat Kerja”.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat sebagai berikut : 1. Apakah status jabatan berpengaruh negatif pada viktimisasi di tempat kerja? 2. Apakah agresivitas berpengaruh positif pada viktimisasi di tempat kerja ? 3. Apakah afektivitas negatif berpengaruh positif pada viktimisasi di tempat kerja? 4. Apakah afektivitas negatif memoderasi pengaruh agresivitas pada viktimisasi di tempat kerja?
C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pengaruh negatif status jabatan pada viktimisasi di tempat kerja. 2. Menganalisis pengaruh positif agresivitas pada viktimisasi di tempat kerja. 3. Menganalisis pengaruh positif afektivitas negatif pada viktimisasi di tempat kerja. 4. Menganalisis peran afektivitas negatif yang memoderasi pengaruh agresivitas pada viktimisasi di tempat kerja.
D. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dalam penelitian ini mengarah pada aspek : 1. Bagi Akademisi Secara akademis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan atau wawasan tambahan bagi penelitian selanjutnya terutama di bidang
manajemen
sumber
daya
manusia
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi viktimisasi di tempat kerja. 2. Bagi Praktisi Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan untuk mengantisipasi terjadinya viktimisasi di tempat kerja, melalui pengendalian karakteristik personal karyawan serta faktor situasional dalam perusahaan sehingga perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang kondusif.