BAB I PENDAHULUAN
Bab yang pertama ini akan menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian ini. A.
Latar Belakang Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
pengaruh
komposisi
kepemilikan pemerintah, komposisi kepemilikan asing, dan keterlibatan perusahaan di asosiasi bisnis terhadap kualitas environmental disclosure perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode pengamatan pada penelitian ini adalah tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Suatu perusahaan memiliki kewajiban untuk menyajikan laporan keuangan kepada para pengguna sebagai wujud akuntabilitas perusahaan. Laporan keuangan sendiri menyediakan berbagai informasi yang dapat dijadikan bahan dalam pengambilan keputusan bagi para penggunannya. Para pengguna memiliki ekspektasi tinggi terhadap kualitas, akurasi, maupun ketepatan dari informasi yang disediakan dalam laporan keuangan. Adanya informasi yang lengkap, akurat serta tepat waktu memungkinkan investor untuk melakukan pengambilan keputusan secara rasional sehingga hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan (Sembiring, 2005). Oleh karena itu, perusahaan dituntut untuk tidak sekedar
1
2
menyajikan informasi keuangan, tetapi juga secara luas mencakup pengungkapan informasi lainnya. Salah satu informasi yang saat ini perlu diungkapkan oleh perusahaan adalah informasi mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) perusahaan dalam sustainability report atau laporan keberlanjutan perusahaan. Pelaporan
akuntansi
lebih
sering
dikaitkan
sebagai
alat
pertanggungjawaban manajemen kepada pemilik modal sehingga mengakibatkan orientasi perusahaan lebih berpihak kepada pemilik modal. Menurut Donovan (2002), tujuan utama perusahaan adalah untuk memperoleh laba dan untuk menghasilkan pengembalian modal yang dapat diterima oleh pemilik modal. Dalam hal ini, perusahaan tidak hanya berusaha untuk memenuhi kepentingan pemilik modal secara finansial, tetapi lebih jauh lagi untuk menciptakan sustainability development. Menurut Nasir (2013), keberlanjutan perusahaan akan terjamin apabila orientasi perusahaan bergeser dari yang semula befokus hanya pada ukuran kinerja ekonomi, kini berfokus pada aspek keseimbangan lingkungan dan memperhatikan berbagai dampak sosial. Purwanto (2011) menilai bahwa pemikiran seperti ini yang menyebabkan perkembangan konsep single bottom line berubah menjadi triple bottom line, yaitu konsep yang dikemukakan oleh John Elkington (1997). Kini aktivitas perusahaan akan dihadapkan pada tiga konsep, yaitu profit, people, dan planet. Sama halnya dengan konsep tersebut, Global Reporting Initiative (GRI) juga membedakan pengungkapan sustainability development ke dalam tiga kategori, yaitu Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Tiga
3
konsep atau kategori inilah yang kemudian mendasari terbentuknya istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Praktik Corporate Social Responsibility (CSR) atau dikenal juga sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) merupakan sebuah kewajiban dan pengungkapannya menjadi sebuah mandatory disclosure sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini mengatur tentang kewajiban tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Pasal 74 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa perusahaan yang menjalankan usaha di bidang yang berkaitan dengan sumber daya alam wajib
melaksanakan
TJSL
dan
memperhitungkan
biayanya
dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Berkenaan dengan itu, pasal 66 ayat 2 menyatakan bahwa perusahaan dalam laporan tahunannya wajib memuat laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Selain itu, Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15 huruf (b) menyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Pasal 16 huruf (d) juga menjelaskan bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan. Undang-undang yang telah disahkan oleh DPR di atas didukung dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 yang mengatur mengenai pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas. Pasal 2 menjelaskan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban seluruh perusahaan yang berbadan hukum. Sehubungan dengan hal itu, Pasal 6 menjelaskan bahwa laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan
4
wajib dimuat dalam laporan tahunan perusahaan. Berdasarkan landasan hukum yang ada, dapat disimpulkan bahwa praktik tanggung jawab sosial dan lingkungan atau CSR maupun pengungkapannya menjadi suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh sebuah perseroan terbatas. Menurut Uwuigbe (2011), pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusaahaan telah menjadi pusat perhatian dan berkembang di negaranegara adidaya seperti Inggris dan Amerika Serikat selama hampir tiga dekade terakhir. Namun, pada negara-negara dengan perekonomian menengah dan berkembang seperti di Asia dan Afrika isu ini belum banyak mendapat perhatian. Hal ini didukung oleh penelitian Ali dan Rizwan (2013) yang menyatakan bahwa corporate social and environmental disclosure negara-negara di Asia masih rendah, yaitu 20%, dibanding Eropa (45%) dan Amerika Utara dan Latin (28%). Suhardjanto dan Permatasari (2010) juga menekankan bahwa belum banyak penelitian khususnya mengenai pengungkapan kategori lingkungan atau lebih dikenal dengan environmental disclosure di negara berkembang. Masih kurangnya perhatian dan penelitian mengenai environmental disclosure di negaranegara berkembang tidak terlepas dari rendahnya kualitas pengungkapan tanggung jawab sosial dan lingkungan pada perusahaan di negara berkembang itu sendiri. Hal ini didukung oleh Zahan dan Sufian (2013) yang menyatakan bahwa tingkat environmental disclosure di negara-negara berkembang masih sangat rendah, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan penelitian Djajadikerta dan Trireksani (2012), hanya 47,27% perusahaan yang melaporkan environmental disclosure.
5
Jumlah tersebut masih lebih rendah dibandingkan komponen tenaga kerja (60%) dan kasyarakat (48,18%) yang keduanya termasuk kategori sosial. Data tersebut juga didukung dengan penelitian Purwanto (2011) bahwa hanya 53,76% environmental disclosure yang dilaporkan perusahaan di Indonesia. Jumlah tersebut masih lebih rendah dibandingkan komponen tenaga kerja (100%), produk dan konsumen (94,62%), dan masyarakat (83,87%). Selain itu, jika dibandingkan dengan dua negara tetangga yang sama-sama negara berkembang, Indonesia masih cukup tertinggal. Menurut penelitian Suttipun (2012), 83% perusahaan di Thailand telah melakukan environmental disclosure. Sementara itu, menurut penelitian Al Arussi, Selamat, dan Hanefah (2009), 58,7% perusahaan di Malaysia telah melakukan environmental disclosure. Hal ini mengindikasikan bahwa kesadaran perusahaan-perusahaan di Indonesia dalam melakukan environmental disclosure masih rendah. Fakta bahwa masih rendahnya tingkat environmental disclosure pada perusahaan di Indonesia tidak terlepas kenyataannya masih rendahnya perhatian perusahaan-perusahaan di Indonesia terhadap masalah tanggung jawab sosial terutama mengenai dampak lingkungan dari aktivitas industrinya. Hal ini dapat dilihat dari adanya perusahaan-perusahaan Indonesia yang mendapat sorotan negatif atas terbengkalainya pengelolaan lingkungan, kerusakan lingkungan yang diakibatkan dan rendahnya minat perusahaan terhadap konversi lingkungan (Effendi, Uzliawati, dan Yulianto, 2012). Permasalahan yang ada di Indonesia saat ini meskipun sudah terdapat aturan mengenai praktik pelaksanaan dan pengungkapan TJSL (UU Nomor 40
6
Tahun 2007 dan PP Nomor 47 Tahun 2012), beberapa perusahaan masih belum mampu mengatasi isu-isu lingkungan yang ada di sekitarnya, khususnya industri pertambangan. Menurut Hackston dan Milne (1996), industri pertambangan merupakan salah satu jenis industri yang termasuk dalam high-profile industry. Di samping itu, Sulistyo (2010) menyatakan bahwa kegiatan industri pertambangan dengan metode penambangan terbuka seperti yang dilakukan hampir 95% di Indonesia, menyumbang kontribusi besar erosi dan sedimentasi. Temuan tersebut didukung oleh penemuan fakta lainnya seperti pada tahun 2012 silam, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) melaporkan telah terjadi pencemaran limbah batu bara di Daerah Aliran Sungai sekitar sungai Bengkulu akibat aktivitas delapan tambang batubara sekaligus yang beroperasi di hulu sungai. Delapan perusahaan tambang tersebut yaitu PT Bukit Sunur, PT Danau Mas Hitam, PT Bara Sirat Unggul Permai, PT Bara Mas Utama, PT Kusuma Raya Utama, PT Bara Alam Raya dan PT Inti Bara Perdana. Masalah rendahnya kesadaran perusahaan dalam konservasi lingkungan juga perlu mendapatkan perhatian serius di dunia perindustrian saat ini. Menurut Khilf, Guidara, dan Souissi (2015), kinerja perusahaan dalam hal konservasi lingkungan memiliki hubungan positif terhadap environmental disclosure. Kenyataan tersebut sangat disayangkan mengingat environmental disclosure sendiri merupakan media pertanggungjawaban strategi CSR yang diterapkan manajemen terhadap tindakan lingkungan apa saja yang telah dilakukan oleh perusahaan. Kualitas serta luas environmental disclosure akan menggambarkan kondisi yang sebenarnya pada perusahaan. Semakin rendahnya
7
kualitas environmental disclosure perusahaan, maka sangat tercermin jelas rendahnya kesadaran perusahaan dalam konservasi lingkungan. Hal tersebut merupakan cerminan kondisi di Indonesia hingga saat ini. Permasalahan lingkungan hidup menjadi perhatian yang serius, baik oleh konsumen, investor, maupun pemerintah (Suhardjanto dan Permatasari, 2010). Pada umumnya para investor akan lebih tertarik menginvestasikan dananya pada perusahaan yang memiliki strategi CSR yang baik dan juga terhindar dari praktikpraktik yang merusak lingkungan. Tak hanya investor, pihak konsumen maupun pemerintah juga cenderung memilih dan mengapresiasi perusahaan yang memiliki riwayat yang baik dalam hal environmental disclosure maupun tindakan konservasi lingkungan. Dalam arti lain, perusahaan dengan citra yang baik terhadap isu lingkungan lebih mudah diterima publik. Hal tersebut didukung oleh penyataan Gunawan (2015) bahwa motivasi terbesar perusahaan melakukan environmental disclosure adalah untuk membentuk citra yang baik. Menurut hasil penelitiannya, citra yang baik di mata publik sangat penting bagi kesuksesan perusahaan. Bahkan motivasi dalam hal akuntabilitas publik dan untuk memenuhi tuntutan stakeholder berada di peringkat kedua dan ketiga. Beberapa penelitian telah mendahului penelitian ini dengan berbagai perbedaan.
Berbagai
perbedaan
tersebut
yaitu
dari
sisi
jenis
domain
pengungkapan, perumusan teori, pemilihan variabel maupun hasil signifikansinya yang juga dipengaruhi oleh perbedaan ruang lingkup penelitian seperti waktu dan jenis industri yang diamati.
8
Jika pada penelitian sebelumnya banyak yang menggunakan domain corporate social and environmental disclosure (CSED) sebagai variabel dependen, penelitian ini akan menggunakan domain environmental disclosure sebagai salah satu bagian dari CSED. Secara umum, penelitian dengan variabel dependen kualitas environmental disclosure di Indonesia mengacu pada metode check list indeks yang digunakan oleh Sembiring (2005) yang mengadopsi dan memodifikasi model yang digunakan sebelumnya oleh Hackston dan Milne (1996) (20 komponen lingkungan). Sementara model yang digunakan oleh Hackston dan Milne (1996) diadaptasi dari indeks pada penelitian Ng (1985) yang disusun sendiri. Selain itu, Indonesian Environmental Reporting Index yang dikembangkan oleh Surhardjanto et al. (2007) juga digunakan oleh beberapa penelitian lainnya (35 komponen lingkungan). Berbeda dari penelitian sebelumnya, penelitian ini menggunakan indeks GRI 3.1 yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiative tahun 2011. Indeks GRI 3.1 memuat 30 komponen lingkungan. Pemilihan instrumen pengukuran kualitas environmental disclosure menggunakan indeks GRI 3.1 didasari atas sifatnya yang universal dan dinilai menjadi kerangka konseptual yang valid dan dapat dipercaya untuk laporan keberlanjutan organisasi dari semua ukuran, sektor dan lokasi, sehingga hasil penelitian dapat dibandingkan dengan hasil penelitian yang menggunakan indeks yang sama di seluruh dunia. Untuk variabel pertama, yaitu komposisi kepemilikan pemerintah, berdasarkan penelitian Saftiana dan Sefrilia (2012) di Indonesia dan Fontana et al. (2015) di Italia menyatakan terdapat pengaruh positif antara komposisi
9
kepemilikan pemerintah terhadap kualitas corporate social and environmental disclosure. Namun, hasil tersebut berbeda dengan temuan pada penelitian Rahmawati dan Utami (2011) di Indonesia, Zahan dan Sufian (2013) di Bangladesh, Dima dan Mbekomize (2013) di Bostwana, Akrout dan Othman (2013) di negara Arab dan Timur Tengah, dan Muttakin dan Subramaniam (2015) di negara India yang menyatakan hasil sebaliknya. Sementara itu, untuk variabel komposisi kepemilikan asing, berdasarkan penelitian Oktariani dan Mimba (2014) di Indonesia, Almeida et.al (2015) di Brazil dan Muttakin dan Subramaniam (2015) di India menyatakan terdapat pengaruh positif antara komposisi kepemilikan asing terhadap kualitas corporate social environmental disclosure. Namun, hasil tersebut berbeda dengan temuan pada penelitian Rahmawati dan Utami (2011) dan Siregar dan Bachtiar (2010) di Indonesia dan Zahan dan Sufian (2013) di Bangladesh yang menyatakan hasil sebaliknya. Penelitian ini juga menguji pengaruh keterlibatan perusahaan di asosiasi bisnis terhadap kualitas environmental disclosure. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peran Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) terhadap pengawasan praktik environmental disclosure para anggotanya dengan menambahkan variabel keterlibatan perusahaan di asosiasi bisnis tersebut. Berbeda dari penelitian seebelumnya yang menggunakan populasi perusahaan manufaktur seperti Effendi et al.. (2012) dan perusahaan dan real estate seperti Rahmawati dan Utami (2010), penelitian ini mengambil sampel dari perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Kriteria
10
perusahaan pertambangan dianggap memiliki konsentrasi tanggung jawab lingkungan yang lebih besar dibandingkan industri lainnya. Hal ini dikarenakan aktivitas perusahaan yang memiliki dampak secara langsung terhadap kerusakan ekosistem. Selain itu, periode pengamatan pada penelitian ini adalah tahun 2012 sampai dengan tahun 2014. Dari keseluruhan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penelitian
ini
mengambil
judul
“Pengaruh
Komposisi
Kepemilikan
Pemerintah, Komposisi Kepemilikan Asing, dan Keterlibatan Perusahaan di Asosiasi Bisnis terhadap Kualitas Environmental Disclosure (Studi Empiris pada Perusahaan Pertambangan yang Terdaftar di BEI)”. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan beberapa penjelasan pada latar belakang maupun penelitian
terdahulu, maka rumusan masalah yang hendak dijawab dalam penelitian ini diantaranya berikut ini. 1.
Bagaimana
kualitas
environmental
disclosure
perusahaan
pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2012-2014? 2.
Apakah komposisi kepemilikan pemerintah berpengaruh terhadap kualitas environmental disclosure perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?
3.
Apakah komposisi kepemilikan asing berpengaruh terhadap kualitas environmental disclosure perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?
11
4.
Apakah keterlibatan perusahaan di asosiasi bisnis berpengaruh terhadap kualitas environmental disclosure perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia?
C.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan memberikan
bukti empiris atas beberapa hal berikut ini. 1.
Perbandingan
kualitas
environmental
disclosure
perusahaan
pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama periode 2012-2014. 2.
Pengaruh komposisi kepemilikan pemerintah terhadap kualitas environmental disclosure pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3.
Pengaruh
komposisi
kepemilikan
asing
terhadap
kualitas
environmental disclosure pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. 4.
Pengaruh keterlibatan perusahaan di asosiasi bisnis terhadap kualitas environmental disclosure pada perusahaan pertambangan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
D.
Manfaat Penelitian
12
Peneliti berharap penelitian ini dapat memiliki konstribusi nyata bagi pembacanya seperti menjadi bahan pengembangan ilmu akuntansi mengenai praktik environmental disclosure dan menjadi bahan pertimbangan bagi beberapa pihak dalam mengambil keputusan sebagai berikut ini. 1.
Bagi investor, kreditor, maupun pihak yang memiliki kepentingan lainnya,
penelitian
ini
dapat
memberikan
penjelasan
dan
pertimbangan bahwa praktik environmental disclosure yang dilakukan perusahaan tertentu dapat menjadi komponen penilaian dan alat analisis kinerja perusahaan yang cukup penting. 2.
Bagi perusahaan, dalam hal ini perusahaan pertambangan, penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi manajemen sejauh mana kewajiban praktik environmental disclosure dijalankan perusahaan.
3.
Bagi regulator, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, ESDM, dan OJK, penelitian ini dapat menjadi dasar dalam membuat kebijakan mengenai lingkungan hidup dan persyaratan pelaporan keuangan yang bertanggung jawab.
1.5.
Sistematika Penulisan Bab-bab selanjutnya akan membahas mengenai uraian hal-hal berikut ini. BAB II
: Tinjauan Pustaka Bab ini berisi uraian mengenai tinjauan pustaka yang memuat landasan teori yang terkait dengan topik penelitian;
13
kerangka
pemikiran;
serta
penelitian
terdahulu
dan
pengembangan hipotesis. BAB III
: Metode Penelitian Bab ini berisi uraian mengenai desain penelitian; populasi, sampel, dan teknik pengambilan sampel; variabel penelitian dan pengukurannya; dan metode analisis data yang terdiri dari statistik deskriptif dan pengujian hipotesis.
BAB IV
: Analisis dan Pembahasan Bab ini berisi uraian mengenai analisis statistik deskriptif, pengujian hipotesis, dan pembahasan hasil analisis.
BAB V
: Penutup Bab ini berisi uraian mengenai kesimpulan hasil penelitian, keterbatasan, dan saran untuk penelitian selanjutnya.