BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul 1.1.1
Aktualitas
Perumahan dan pemukiman merupakan hak dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia. Negara wajib menyediakan fasilitas hunian layak bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang belum bisa memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Ketidakberdayaan MBR dalam memenuhi tempat tinggal semakin diperparah dengan fasilitas penunjang dan luas tanah yang semakin mahal. Hal ini memaksa MBR untuk tinggal di hunian tidak layak huni dan kumuh. Melalui program Penataan Kawasan Padat Penduduk dan Kumuh, pemerintah memilih jalan keluar untuk membangun hunian vertical dalam bentuk rumah susun sederhana (rusunawa) bagi MBR. Beberapa tahun yang lalu pemerintah mengadakan Gerakan Nasional Pengambangan Sejuta Rumah Susun (GNPSR) pada 2003 dicanangkan, namun yang terjadi pemasokan rumah susun masih berjalan lambat. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi dari pemerintah daerah untuk turut serta berupaya untuk percepatan pembangunan rumah susun, baik sewa maupun milik. Kabupaten Sleman, Provinsi D.I.Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang memiliki masyarakat lintas daerah. Keberadaan beberapa perguruan tinggi, pusat pemerintahan, dan fasilitas vital di DIY serta lokasi perbatasan yang cocok untuk tempat tinggal menjadikan Sleman salah satu daerah yang diminati
1
untuk bertempat tinggal. Terdapat empat rusunawa di Sleman, ditambah dengan adanya rusunawa mahasiswa. Pemerintah Kabupaten Sleman menilai bahwa rusunawa di Sleman memberikan konstribusi yang baik, konstribusi tersebut terbagi menjadi konstribusi sosiologis, finansial, dan psikologis. Meskipun rusunawa memberikan konstribusi positif, namun pada kenyataannya Rusunawa meimiliki kompleksitas masalah.
Masalah tersebut diantaranya adalah masalah pemanfaatan fasilitas
rusun, pola aktivitas yang masih belum terintegrasi, kesadaran guyub baik pengelola, paguyuban, dan penghuni yang masih rendah (Aulia:2015 ). Hal ini yang kemudian menjadi alasan bagi peneliti dalam menentukan fokus penelitian pada evaluasi implementasi kebijakan rusunawa. Diharapkan penelitian ini bisa memberikan rekomendasi kebijakan bagi stakeholder rusunawa. 1.1.2
Orisinalitas
Sesuai dengan konstitusi Negara pasal 28 H ayat (1) yang menjelaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh kesehatan. Dari pasal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa setiap warga Indonesia berhak untuk memiliki tempat tinggal yang layak. Sayangnya tidak semua warga mampu untuk memenuhi kebutuhan akan tempat tunggal layak. Pasca dikeluarkannya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA), pemerintah giat mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang kepemilikan tanah. Pada tahun 1977 kementrian dalam negeri mengeluarkan sebuah peraturan yang terdapat ditindaklanjuti dengan PMDN No. 4 tahun 1977 tentang Penyelenggaraan Tata
2
Usaha Pendaftaran Tanah mengenai Hak Atas Tanah yang dipunyai bersama dan pemilikan bagian-bagian bangunan yang ada diatasnya. Pasca dikeluarkannya kebijakan percepatan pembangunan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia, penelitian yang mengangkat tema rumah susun sederhana sewa mulai banyak ditemukan. Penelitian bertema evaluasi evektifitas dan dampak sudah sering dilakukan. Namun, peneliti menilai bahwa penelitian ini berbeda dengan yang lain dari aspek waktu, metode, teori, dan obyek penelitian yang digunakan. Penelitian yang berfokus pada evaluasi kebijakan pernah dilakukan oleh Guntara Siswaya pada tahun 2013, dengan judul Evaluasi Proses Pengambilan Keputusan Kebijakan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Studi Kasus Rusunawa Dabag Kabupaten Sleman. Pada penelitian tersebut, urgensi evaluasi bukan kepada kebijakan sosial melainkan pertimbangan setiap aktor dalam pembangunan rusunawa ini. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi, dan teori yang digunakan dalam penelitian tersebut lebih menitik beratkan pada proses pengambilan keputusan untuk memperoleh keputusan pembangunan rusunawa Sleman khususnya di Dabag. Latar belakang dari penelitian tersebut dimulai dengan keberhasilan pembangunan Rusunawa Dabag, yang diperoleh dari pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan tersebut tentunya memiliki dasar-dasar dimana dasar tersebut akan dievaluasi satu persatu untuk mengetahui bagaiman proses pengambilan keputusan yang terbaik bisa dilakukan (Guntara,2013). Hal utama yang menjadi hasil penelitian tersebut adalah penilaian terhadap proses
3
pengambilan keputusan yang dapat dikatakan berhasil dan ditemukan berbagai masalah yang ada di rusunawa. Penelitian tersebut sama sekali tidak menjelaskan tentang proses implementasi kebijakan rusunawa, seperti halnya menjelaskan tentang isi kebijakan rusunawa. Namun, penelitian tersebut dapat dijadikan pijakan awal bagi peneliti untuk memandang latar belakang pembangunan rusunawa di Dabag. Peneliti menilai bahwa sejatinya kebijakan akan mencapai tujuan yang diinginkan apabila implementasinya sesuai dengan apa yang ada dalam kebijakan tersebut. Implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh perilaku birokrasi pelaksananya (Wibawa:1994). Pada penelitian kali ini, sasaran penelitiannya dalah birokrasi pelaksananya. Peneliti akan mencoba untuk menggali data cara mencapai tujuan rusunawa dengan pembuat kebijakan dan untuk memperoleh jawaban dari faktor penghambat kebijakan rusunawa, peneliti akan melakukan wawancara dengan paguyuban dan penghuni. Hal tersebut dilaksanakan agar penelitian ini bukan hanya ingin mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan, namun hasil dari penelitian ini bisa menemukan kekuarangan dari kebijakan yang nantinya dapat digunakan oleh stakeholder untuk memperbaiki kebijakan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah kualitatif, metode ini dipilih karena penelitian ini ingin mengetahui masalah sosial yang ada disana secara holistik. Berbagai teori kebijakan dan analisis kebijakan digunakan oleh beberapa penelitian terdahulu, salah satunya adalah Adaptation, Goal Attainment, Integration, Latency (AGIL). Namun metode yang digunakan oleh peneliti dalam
4
penelitian ini, masih sangat jarang ditemui dalam penelitian yang bertema tentang implementasi pemabngunan rusunawa, yaitu peneliti menggunakan analisis NATO. Analisis NATO digunakan untuk melihat implementasi Rusunawa Dabag. Melalui Nodality, Authority, Treasue, dan Organization peneliti mencoba untuk menganalisis implementasi rusunawa berdasarkan empat sumber daya yang dimiliki pemerintah tersebut. Selain itu, penelitian juga melihat bahwa berbagai masalah yang timbul di Dabag sangat berkaitan erat dengan penghuni, menarik apabila obyek penelitian juga melibatkan penghuni agar hasil dari penelitian ini bukan hanya melihat kekurangan dari implementasi tapi apa yang dibutuhkan oleh penghuni untuk kebijakan rusunawa kedepannya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini pada prinsipnya telah memenuhi syarat orisinilitas karena belum ada penelitian sebelumnya yang mengangkat focus yang sama. Lokasi penelitian ini dipilih karena merupakan rusunawa yang menjadi Pilot Project bagi rusunawa seluruh Indonesia. Rusunawa ini dinalai sebagai rusunawa yang indah dan tidak kumuh bagi MBR. Selain itu, rusunawa ini merupakan rusunawa terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta yang tentunya terdapat berbagai latar belakang budaya, ekonomi, sosial didalamnya. 1.1.3
Relevansi
dengan
Jurusan
Pembangunan
Sosial
dan
Kesejahteraan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) merupakan salah satu cabang ilmu sosial asli di Indonesia. PSdK mempelajari berbagai aspek kehidupan
5
sosial di dalam masyarakat yang begitu kompleks dengan berbagai permasalahan dan pemecahannya. Konsentrasi keilmuan Program Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan terbagi menjadi tiga, yaitu: pemberdayaan sosial (social empowerment), kebijakan sosial (sosial policy), dan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Berdasarkan konsentrasi studi PSdK, penelitian ini merupakan bagian dari kebijakan sosial. Aspek kebijakan tidak bisa lepas dari tiga elemen, yaitu tujuan, sasaran, dan cara mewujudkan kebijakan. Cara ini merupakan serangkaian kegiatan untuk mencapai sasaran dan tujuan dari kebijakan tersebut, atau disebut juga sebagai implementasi. Dalam proses implementasi tidak jarang banyak ditemui berbagai kendala dan permasalahan, oleh karena itu evaluasi sangat dibutuhkan agar pemangku kebijakan mengetahui kekurangan dari kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini, yang menjadi titik focus adalah evaluasi implementasi pada kebijakan rusunawa yang lebih spesifik dapat terlihat dari adanya proses nodality (informasi), authority (kewenangan), treasure (harta), organization (organisasi) yang dilakukan oleh pemangku kebijakan untuk mewujudkan kebiajakan rusunawa. 1.2 Latar Belakang Kebutuhan akan tempat tinggal menjadi keniscayaan bagi semua lapisan masyarakat. Undang undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman menjelaskan bahwa rumah adalah bangunan yang berfungsi
6
sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta asset bagi pemiliknya. Namun, di Indonesia pemenuhuan kebutuhan tempat tinggal layak huni masih menjadi salah satu masalah nasional yang harus segera ditindaklanjuti. Diperkirakan tahun 2014 lebih dari separuh penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan sebagai akibat laju urbanisasi yang mencapai 4,4% per tahun dan secara terus menerus telah melahirkan dynamic phenomenon urbanization. Proses ini berakibat pada semakin besarnya suatu kawasan perkotaan, baik dalam hal jumlah penduduk maupun besaran wilayah atau tapak ekologis (dikutip dari Rencana Strategis Direktur Cipta Karya 2011-2014). Kondisi ini semakin diperparah dengan arus urbanisasi yang tak terkendali sehingga menimbulkan permukiman kumuh (slum) ataupun permukiman liar (squatter) padat penduduk di suatu wilayah perkotaan, yang mayoritas ditempati oleh masyarakat golongan menengah ke bawah. Tingkat pemenuhan kebutuhan rumah yang masih rendah, merupakan faktor utama munculnya pemukiman kumuh. Diperkirakan sampai dengan tahun 2020, rata-rata setiap tahun terdapat 1,15 juta unit rumah yang perlu difasilitasi. Saat ini pembangunan/pengembangan rumah baru mencapai 600.000 unit per tahun. Jumlah kekurangan rumah (backlog) mengalami peningkatan dari 4,3 juta unit pada tahun 2000 menjadi 5,8 juta unit pada tahun 2004 dan 7,4 juta unit pada akhir tahun 2009. Kondisi tersebut diperkirakan akan terus berakumulasi di masa yang akan datang akibat adanya pertumbuhan rumah tangga baru rata-rata sebesar 820.000 unit rumah per tahun. Sedangkan kemampuan penyediaan rumah hanya
7
mencapai dua puluh persen (20%) dari total kebutuhan rumah, bahkan sampai tahun 2000 masih terdapat 4.338.862 jiwa rumah tangga yang belum memiliki rumah dan tujuh puluh persen (70%) diantaranya adalah golongan masyarakat yang memiliki penghasilan rendah (Dikutip dari Laporan Direktur Cipta Karya 2011-2014). Pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya untuk mengurangi jumlah lahan pemukiman kumuh. Puncak dari upaya tersebut adalah pemerintah turut serta ikut berkomimen di mata dunia utuk mewujudkan Millenium Development Goals (MDGs). Dalam komitmen tersebut terdapat delapan tujuan dunia yang harus segera diwujudkan oleh pemerinyah. Salah satunya adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup yang merupakan tujuan ketujuh. Terdapat tiga target dalam tujuan ketujuh tersebut, yang salah satunya adalah mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh pada tahun 2020. Peningkatan dalam kehidupan penduduk miskin di pemukiman kumuh inipun juga mendapat perhatian dari paradigma pembangunan baru SDGs (Sustainable Development Goals) yang merupakan komitmen kelanjutan dari MDGs. Komitmen dunia tersebut bukan hanya dilaksanakan oleh Negara berkembang saja, namun seluruh Negara harus turut serta dalam pembangunan berkelanjutan tersebut. Hal tersebut membuktikan bahwa persoalan pemukiman kumuh menjadi permasalahan yang harus segera diatasi oleh seluruh Negara di dunia.
8
Pada tujuan ketujuh MDGs terdapat empat target yang wajib derealisasikan oleh Pemerintah, yaitu : Target 7A : Memadukan prinsip pembangunan berkelanjutan kedalam kebijakan dan program Negara serta mengakhiri kerusakan sumber daya alam Target 7B :Mengurangi laju hilangnya keragaman hayati dan mencapai pengurangan yang signifikan pada 2010 Target 7C : Menurunkan separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses yang berkelanjutan terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar pada 2015 Target 7 D : Pada 2020 telah mencapai perbaikan signifikan dalam kehidupan (setidaknya) 100 juta penghuni kawasan kumuh Pada target 7C dan 7D, negara menciptakan sebuah kebijakan pembangunan nasional yaitu 100-0-100. Target tersebut dikenal dengan nama Key Perfomance Indicators 100-0-100, yaitu memberikan akses air minum 100%, mengurangi kawasan kumuh hingga 0%, dan menyediakan akses sanitasi layak 100%. Target ini merupakan visi dari Direktur Cipta Karya Kemetrian Pekerjaan Umum dalam mewujudkan pemukiman layak huni dan berkelanjutan. Berbagai upaya pemerintah untuk mengatasi pemukiman kumuh telah digulirkan. Berikut adalah beberapa program yang sudah dilaksanakan maupun yang masih berjalan :
9
Tabel 1.1 Capaian Pelaksanaan Program Penanganan Kawasan PROGRAM
TAHUN PELAKSANAAN
KOMPONEN KEGIATAN
P2KP/PNPM 1999- saat ini Mandiri Perkotaan Pada 33 provinsi 268 kota/kabupaten 10.923 kelurahan/desa
Penerima Manfaat : 14.805.923 KK
USSP Pada 32 kota/kabupaten 1353 kelurahan
Penerima Manfaat : 1.226.817 KK Luas : 7.608 KK
CO-BILD 12 kota
Pembangunan Rusunawa
PLP2K-BK Pada 20 Provinsi 31 kabupaten/kota 33 lokasi
a. Peningkatan kualitas lingkungan (insfrastruktur) b. Peningkatan kualitas lingkungan Sumber Daya Manusia dan Lingkungan c. Peningkatan aksesibilitas terhadap kegiatan usaha 2005-2010 a. Peningkatan kualitas lingkungan (insfrastruktur) b. Peningkatan aksesibilitas terhadap sumber daya keuangan 2003- saat ini a. Peningkatan kualitas hunian b. Peningkatan akses masyarakat terhadap kepastian kepemilikan lahan 2010-2011 a. Pembangunan unit rusunawa (TB) b. Pembangunan PSD Unit Rusunawa a. Peningkatan prasarana dan fasilitas umum (PSU) Lingkungan b. Peningkatan kualitas lingkungan c. Peningkatan aksesibilitas kegiatan perekoomian Sumber : laporan pencapaian MDGs tahun 2011
PENCAPAIAN
10
Penerima Manfaat : 10.000 KK
Penerima Manfaat : 13.720 KK Penerima Manfaat : 33.000 KK Luas : 165 Ha
Penanganan masalah rumah kumuh perkotaan dilakukan dengan mempertimbangkan status lahan yang mereka tempati. Secara umum rumah tangga kumuh perkotaan dapat dikategorikan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, masyarakat miskin yang menempati hunian di lahan legal baik bangunan milik sendiri maupun sewa. Kelompok kedua, rumah tangga miskin yang menempati lahan illegal (squatter) yang umumnya ditandai dengan kondisi bangunan yang tidak permanen. Pada masyarakat di kelompok pertama, pemerintah melaksanakan berbagai intervensi berupa bantuan pembangunan dan perbaikan perumahan serta penyediaan sarana dan prasarana dasar permukiman seperti jalan, air minum dan sanitasi. Beberapa kegiatan yang telah dan sedang dilakukan pemerintah yang mendukung penanganan rumah tangga kumuh perkotaan melalui pemberdayaan masyarakat adalah: Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Program (NUSSP), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Community Based Initiatives for Housing and Local Development (Co-Build), Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Miskin Perkotaan serta Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2KBK). Pada masyarakat di kelompok kedua, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain melakukan relokasi mengingat keberadaan mereka di lahan tersebut selain membahayakan dirinya sendiri juga masyarakat umum. Sebagai contoh, masyarakat yang menempati baik bantaran maupun badan sungai berpotensi selain menyebabkan banjir karena mengganggu aliran air juga
11
membahayakan kehidupan mereka sendiri. Selain itu, keberadaan mereka yang menempati lahan milik publik ataupun swasta juga rawan terhadap konflik sosial. Salah satu program pemerintah untuk menangani rumah tangga kumuh perkotaan yang menempati lahan illegal adalah dengan menyediakan rusunawa (Dikutip dari Laporan Pencapaian MDGs 2011). Kebijakan untuk mengatasi masyarakat yang tinggal di pemukiman illegal diwujudkan dengan lahirnya Undang undang Nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun dan Undang undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman. Hadirnya undang undang tersebut diharapkan semua pemangku kepentingan
untuk
berkoordinasi,
berintegrasi,
dan
bersinergi
dalam
penyelenggaraan perumahan dan kawasan pemukiman serta penyelengaraan rumah susun yang diwujudkan dengan hunian vertikal. Perwujudan rumah susun sewa merupakan tanggung jawab pemerintah yang diamanatkan pada Kementrian Pekerjaan Umum melalui Direktorat Jendral Cipta Karya. Diharpkan rusunawa ini, dapat membantu pemerintah kota/kabupaten dalam menata kembali perumahan dan pemukiman di wilayahnya serta mendorong efisiensi lahan perkotaan. Direktorat Cipta Karya sebagai lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah bertugas dan bertanggungjawab menuntaskan permasalahan pemukiman kumuh melalui perbaikan yang berarti. Perbaikan ini setidaknya dapat meningkatkan kehidupan sedikitnya 100 juta masyarakat miskin yang hidup di permukiman kumuh hingga tahun 2020. Kebijakan ini bukan hanya kebijakan pusat saja,
12
melainkan dibutuhkan sinergi anatara pusat dan daerah agar segera mencapai tujuan. Penanganan perumahan kumuh juga ditanggapi sangat serius oleh Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut perlu dilaksankan karena tahun 2012 jumlah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang belum tertangani sejumlah 86.966 rumah (8,37% dari total jumlah rumah di DIY). Target tahun 2013 adalah menurunkan angka tersebut menjadi 8,0%. Pada tahun 2013 telah ditangani 1234 rumah melalui dana APBD DIY dan 2669 rumah dari dana APBN, sehingga jumlah rumah tidak layak huni menjadi 83.063 rumah, dengan demikian RTLH yang ditangani memenuhi target sebesar 8% pada tahun 2013.
Hal inilah yang
menyebabkan pembangunan perumahan masuk dalam RPJMD Tahun 2012-2017 khususnya urusan yang menitikberatkan kepada pengurangan jumlah rumah tidak layak huni dan pengurangan jumlah kawasan kumuh. Indikator kinerja tersebut akan sangat membantu dalam pengurangan rumah tangga miskin di DIY, mengingat 7 dari 14 parameter kemisikinan terkait dengan perumahan (Dikutip dari LKPJ DIY 2011). Terdapat berbagai solusi yang dikembangkan oleh pemerintah daerah istimewa Yogyakarta, yaitu mendorong kabupaten/kota untuk menyusun regulasi dalam rangka mengendalikan pertumbuhan permukiman yang sesuai dengan tata ruang dan penyediaan infrastruktur dasar yang melekat dengan pengembangan perumahan. Fasilitasi hunian vertikal (Rumah Susun/Rusun) baik berupa Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) maupun Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) di kawasan perkotaan DIY sebagai antisipasi meningkatnya
13
kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan DIY. Koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk merintis pelaksanaan skema tertentu agar masyarakat MBR dapat menghuni rumah yang layak ditengah makin mahalnya harga tanah di kawasan perkotaan DIY. Kabupaten Sleman merupakan salah satu wilayah yang mendapat perhatian serius oleh pemerintah DIY, hal tersebut dilaksanaakan karena kepadatan penduduk tertinggi berada di Kabupaten Sleman, menurut Data Sensus Penduduk BPS tahun 2013 jumlah penduduk di Kabupaten Sleman menempati posisi paling tinggi yaitu dengan angka 1.090.567 jiwa dibanding masyarakat di Kabupaten/Kota lainnya di Provinsi DIY. Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi di Sleman merupakan implikasi dari fungsi Kabupaten Sleman sebagai penyangga Kota Yogyakarta, sebagai daerah untuk melanjutkan pendidikan, dan daerah pengembangan pemukiman/perumahan, sehingga pertumbuhan penduduk yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh faktor migrasi penduduk bukan oleh faktor kelahiran yang tinggi. Untuk mencegah semakin luasnya pemukiman kumuh di Sleman pemerintah menerbitkan Peraturan Bupati Nomor 43 Tahun 2013 tentang Pemanfaatan Rusunawa. Peraturan tersebut menjelaskan bahwa rusunawa merupakan rumah susun umum yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, status penguasaanya sewa serta dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan fungsi utamanya sebagai hunian.
14
Pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan posisi strategis Daerah Sleman tentunya akan berimplikasi dengan kebutuhan akan tempat tinggal. Hal tersebut mengingat bahwa tempat tinggal merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan. Kecamatan Depok merupakan daerah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi jika dibandingkan 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Sleman. Kecamatan
Depok
memiliki
kepadatan
adalah
48.734
jiwa/
.
Desa
Caturtunggal merupakan desa yang terpadat bila dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Depok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyorini (2012) menunjukkan bahwa tahun 2010 Desa Caturtunggal memiliki penduduk 7.741/
atau senilai 774/
kepadatan
. Sesuai dengan ketentuan Direktorat
Jenderal Cipta Karya 2007 bahwa wilayah yang memiliki kepadatan penduduk diatas 400 jiwa/ha maka sudah disyaratkan membangun hunian vertikal. Tabel 1.2 Kebutuhan Rumah Susun berdasarkan Kepadatan Penduduk Klasifikasi Kawasan Kepadatan Penduduk Kebutuhan Rumah Susun
Kepadatan Rendah <150 jiwa/ha
Kepadatan Kepadatan Sangat Padat Sedang Tinggi 151-200 201-400 >400 jiwa/ha jiwa/ha jiwa/ha Sebagai Disarankan Disyaratkan Disyaratkan alternative untuk pusatuntuk pusat kawasan kegiatan kota tertentu dan kawasan tertentu Sumber : Direktorat Jenderal Cipta Karya dalam Aulia (2015)
15
Rusunawa Dabag merupakan hunian vertikal yang berada di Desa Caturtunggal, rusunawa ini menjadi rusunawa terbesar di Kabupaten Sleman. Selain itu, rusunawa ini menjadi rusunawa percontohan di Indonesia. Kesuksesan Rusunawa Dabag tidak terlepas dari campur tangan stakeholder untuk mengimplementasikan kebijakan rusunawa. Namun, pada prakteknya rusunawa ini pun memiliki banyak masalah. Berdasarkan pengamatan awal
yang
dilaksanakan
peneliti
dan
informasi
dari
sumber
terkait,
mengindikasikan adanya permasalahan yang amat kompleks di rusunawa Dabag. Pengamatan tersebut dilakukan pada tanggal 25 November 2015. “Masalah di rusunawa ini memang sangat kompleks, mulai dari masalah bertetangga yang bahkan sebelahan saja tidak kenal. Sampai akhirnya ada penghuni yang kena grebek narkoba” (Boy, Paguyuban Rusunawa Dabag). Hal ini sesuai dengan analisis Prof.Dr.Wahyudi Kumorotomo dalam Tribun Jogja tanggal 2 Mei 2015 yang menjelaskan bahwa pemandangan di Rusunawa Sleman khususnya Rusunawa Dabag tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Masih banyak mobil mewah dan ditemukan beberapa mahasiswa menyewa hunian yang diperuntukkan bagi MBR. Berbagai permasalahan yang ada di Rusunawa Dabag ini tentunya akan menghambat proses perkembangan rusunawa. Oleh karenanya, diperlukan adanya evaluasi berkenaan dengan implementasi kebijakan rusunawa. Hal tersebut untuk mengetahui masalah apa yang terjadi di Rusunawa dan sumber dari masalah tersebut.
16
1.3 Rumusan Masalah Kebijakan selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang luas, sasaran yang spesifik dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen ketiga dari suatu kebijakan, yaitu cara merupakan komponen yang berfungsi untuk mewujudkan dua komponen sebelumnya, yakni tujuan dan sasaran. Cara ini disebut sebagai implementasi. Implementasi merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. Rusunawa merupakan sebuah kebijakan untuk mengangani kawasan kumuh, dalam proses implementasinya banyak ditemukan kecurangan dan masalah seperti yang diuraikan di latar belakang. Oleh karena itu, peneliti merumuskan sebuah rumusan masalah, yaitu BAGAIMANAKAH
IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN
RUSUNAWA
DI
RUSUNAWA DABAG ?
1.4 Tujuan Penelitian Berdasar rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk melihat implementasi kebijakan rusunawa Dabag 2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat implementasi kebijakan Rusunawa Dabag
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat :
17
1. Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan memberi konstribusi bagi pemahaman dan pengembangan di bidang kebijakan sosial, khususnya pada studi evaluasi implementasi kebijakan. 2. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pemerintah dan stakeholder agar kedepannya mampu memperbaiki apa yang menjadi kendala pada suatu kebijakan.
1.6 Tinjauan Pustaka Kebijakan Sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah untuk merespon isu-isu bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak (Edi Suharto:2008). Kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), fungsi kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Midgley dalam Edi Suharto (2008) menegaskan bahwa kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yaitu perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan. 1.6.1
Rusunawa sebagai Bentuk Pelayanan Sosial
Salah satu bentuk kebijakan sosial adalah program pelayanan sosial. Pelayanan sosial adalah aksi atau tindakan untuk mengatasi masalah sosial. Pelayanan sosial dapat diartikan sebagai seperangkat program yang ditujukan untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami hambatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Jika keadaan tersebut dibiarkan maka akan
18
menimbulkan masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, dan bahkan kriminalitas. Kategorisasi pelayanan sosial biasanya dikelompokkan berdasarkan sasaran pelayanannya (misalnya : pelayanan anak remaja, lanjut usia, dll), setting atau tempatnya (misalnya: pelayanan sosial di rumah, penjara, rumah sakit, dll), atau berdasarkan jenis atau sektor (misalnya:pelayanan konseling, kesehatan mental, pendidikan khusus, vokasional, jaminan sosial, perumahan) (Edi Suharto:2008). Pelayanan sosial dapat didefinisikan sebagai salah satu bentuk kebiakan sosial yang ditujukan untuk mempromosikan kesejahteraan. Namun, pemberian pelayanan sosial bukan satu-satunya strategi untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Pelayanan sosial muncul mengacu pada perkembangan di negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, sistem Negara kesejahteraan mengacu pada konsep dan sekaligus pendekatan yang menekankan pentingnya pemberian pelayanan sosial dasar bagi setiap warga Negara. Pelayanan sosial didasari keyakinan bahwa tindakan sosial atau pengorganisasian sosial merupakan suatu wujud nyata dari kebijakan sosial sebagai representasi kehendak public dalam mempromosikan kesejahteraan warganya. Selain itu, pentingnya pelayanan sosial dilandasi oleh keyakinan bahwa kebijakan ekonomi dan kebijakan publik lainnya tidak selalu mampu mengatasi masalah sosial secara efektif. Pada negara industri maju, seperti Amerika, Inggris, dan Australia secara tradisi kebijakan sosial mencangkup ketetapan atau regulasi pemerintah menganai
19
lima bidang peleyanan sosial, yaitu jaminan sosial, pelayanan perumahan, kesehatan, pendidikan dan pelayanan atau perawatan sosial (Suharto dalam Edi Suharto:2007). Rumah menjadi kebutuhan dasar manusia. Negara memiliki kewajiban azasi untuk menyediakan perumahan bagi warganya, khususnya bagi yang kurang mampu. Pada era otonomi daerah, masalah pemenuhan kebutuhan rumah layak huni dan luasan pemukiman kumuh menjadi salah satu isu yang ingin dijawab oleh pemerintah pusat melalui berbagai kebijakan sosial dalam pembangunan. Direktur Jenderal Cipta Karya menegaskan bahwa pencegahan dan penguatan kualitas pemukiman dan perumuhan kumuh dalam undang-undang salah satunya dapat dengan dilakukannya penyelenggaraan hunian vertikal atau rumah susun (Buku Rusunawa:2012). Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 : UU nomor 20 tahun 2011 Tentang Rumah Susun). Penanganan perumahan kumuh dan permukiman kumuh tidak hanya semata-mata didasarkan atas alasan fisik dan lingkungan serta estetika kawasan perkotaan saja, tetapi tinjauan dan sentuhan dari sisi sosial, budaya serta ekonomi kemasyarakatan menjadi hal penting yang mendasari perencanaan dan perancangan penyelenggaraan perumahan dan pemukiman pada umumnya, dan rusunawa pada khususnya.
20
Rusunawa merupakan bantuan rumah layak huni bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) agar mereka terhindar dari penghunian kawasan kumuh yang tidak layak huni. Dengan melalui system subsidi maka diharapkan MBR mampu membiayai sewa rusunawa dengan fasilitas yang memadai. Rusunawa diharapkan mampu untuk membutuhi kebutuhan rumah yang murah dan terjangkau. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yang dimaksud dengan rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Adapun penyelenggaraan rumah susun bertujuan untuk : a.
Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau
dalam lingkungan sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan serta menciptkan pemukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya b.
Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah,
serta menyediaka ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan pemukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan
memperhatikan
prinsip
berwawasan lingkungan
21
pembangunan
berkelanjutan
dan
c.
Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan
pemukiman kumuh d.
Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi,
seimbang, efisien, dan produktif e.
Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan
penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan pemukiman yang layak, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah f.
Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan
terjangkau, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan dalam suatu system tata kelola perumahan dan pemukiman yang terpadu, dan g.
Memberikan kepastian hokum dalam penyediaan, kepenghunian,
pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.
1.6.2
Karakteristik Evaluasi
Dalam suatu kebijakan sosial, pemerintah sebagai penyelenggara Negara pasti melaksanakan suatu tindakan agar masyarakat kurang beruntung bisa menjadi well-being. Suatu kebijakan diterapkan tentu memiliki tujuan. Namun demikian, jika tujuan dari kebijakan belum atau tidak terlaksana dengan baik. Pemerintah perlu mengetahui sumber penyebab tujuan belum tercapai. Tentunya
22
pemerintah perlu mengetahui letak kegagalan tersebut agar hal yang sama tidak terulang kembali. Menurut Darwin dalam Nurharjadmo (2008) evaluasi kebijakan pada dasarnya adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan atau target kebijakan yang ditentukan. Tujuan dan target kebijakan ini dilihat dari seberapa jauh proses implementasi menghasilkan output di masyarakat. Evaluasi kebijakan digunakan untuk mengetahui masa depan keberlanjutan dari kebijakan tersebut, dan bertujuan untuk memperbaiki kebijakan. Evaluasi kebijakan sekiranya bermaksud untuk mengetahui 4 aspek, yaitu: (1) proses pembuatan kebijakan, (2) proses implementasi, (3) konsekuensi kebijakan, dan (4) efektivitas dampak kebijakan (Wibawa:1994). Dalam evaluasi kebijakan rusunawa ini, fokus akan ditujukan pada aspek kedua, atau disebut juga dengan evaluasi implementasi. Evaluasi implementasi penting untuk diketahui pada tingkatan mana suatu program efektif setelah diterapkan secara penuh, tetapi sebelum menjawab pertanyaan itu sangat penting untuk mengetahui pada tingkatan mana program telah nyata-nyata diterapkan. Dunn dalam Demianus (2013) menyatakan evaluasi dapat dilakukan sebelum kebijakan (evaluasi formatif) maupun sesudah kebijakan (evaluasi sumatif). Dengan kata lain, evaluasi sumatif merupakan penilaian dampak dari suatu program atau biasa disebut evaluasi dampak (outcome evaluasi) dan evaluasi formatif, merupakan proses penilaian terhadap proses dari program disebut juga evaluasi proses.
23
Dalam penelitian evaluasi kebijakan, terdapat tiga pendekatan untuk mengevaluasi kebijakan. Tiga pendekatan tersebut, yaitu pendekatan teori, praksis, dan desain (blue print). Pada penelitian evaluasi implementasi Rusunawa Dabag ini, peneliti menggunakan pendekatan teori, yaitu pendekatan Theory Driven Evaluation (TDE). TDE merupakan sebuah pendekatan evaluasi kebijakan yang fokus untuk mengidentifikasi input suatu program sehingga diharapkan melalui teori yang digunakan akan memperoleh kualitas input program. 1.6.3
Konsep Implementasi Kebijakan Sosial
Secara estimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip Webster dalam Matari : “Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu implement. Dalam kamus besar Webster, to implement (mengimplementasikan) berarti to provide the means for carriying out (meneydiakan sarana untuk melaksanakan sesuatu) dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu).” Dunn dalam Matari (2015) mengistilahkan implementasi secara lebih khusus, menyebutnya dengan istilah implementasi kebijakan dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan Publik. Menurutmya implementasi kebijakan (Policy Implementation) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebjakan di dalamkurun waktu tertentu. Matari (2015) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan aktivitas-aktivitas atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah (birokrasi), baik secaraindividu maupun organisasi. Aktivitas yang dilakukan
24
tersebut dalam upaya mencapai tujuan dari kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam pandangan umum masyarakat mengetahui bahwa implementasi kebijakan adalah suatu proses dimana rancangan kebijakan mulai dilaksanakan dan memastikan tujuan kebijakan tersebut tercapai. Seperti yang dinyatakan oleh Presman dan Wildavsky, bahwa implementasi adalah proses interaksi anatara penentuan tujuan dan tindakan untuk mencapai tujuan kebijakan (Parsons dalam Lusan:2014). Dalam (Nugroho:2006) Grindle menjabarkan content atau isi kebijakan dipengaruhi oleh faktor kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan, yaitu : 1.
Kepentingan yang dipengaruhi oleh substansi kebijakan Hal ini berarti bahwa dalam setiap perumusan kebijakan tentu akan
mengundang kepentingan aktor aktor tertentu, sehingga jika kebijakan tersebut berimplikasi negative maka implementasi kebijakan akan terancam gagal. 2.
Jenis manfaat/tipe manfaat yang akan dihasilkan Tipe manfaat kebijakan yang diterima juga berpengaruh pada
keberhasilam proses implementasi dan pencapaian dampak kebijakan yang diinginkan. 3.
Derajat perubahan yang diinginkan
4.
Kedudukan pembuat kebijakan
5.
Siapa pelaksana program
6.
Sumber daya yang dikerahkan
25
Meter dan Horn dalam Darwatiningsih (2001) menyatakan bahwa suatu kebijakan tentulah akan menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pembuat dan pelaksana suatu kebijakan. Menurut Jam Marse (Sunggono:1994) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat menimbulkan kegagalan dalam implementasi suatu kebijakan : 1.
Isi Kebijakan
Implementasi kebijakan dikatakan gagal karena masih samarnya isi dan tujuan dari kebijakan, tidak memiliki ketetapan dan ketidak tegasan dalam bentuk intern 2.
Informasi
Terjadinya kekurangan informasi, maka dengan mudahnya mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat, baik terhadap obyek kebijakan ataupun kepada pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakan dan hasil kebijakan itu. 3.
Dukungan
Dalam
implementasi
suatu
kebijakan
public
akan
sangat
sulit
pelaksanaannya jika tidak ada dukungan dan partisipasi dari semua pihak yang terlibat dalam kebijakan tersebut 4.
Pembagian Potensi
Dalam pembagian potensi anatara aktor implementasi dan organisasi pelaksana yang berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang Sementara Grindle dalam Yasir (1999) mendefinisikan implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil hasil kegiatan pemerintah.
26
Sehingga implementasi kebijakan membutuhkan system penghantaran kebijakan, dimana perangkat khusus didesain dengan maksud untuk mencapai desain akhir. Teori implementasi merupakan teori untuk melihat faktor keberhasilan implementasi suatu program atau kebijakan. Keberhasilan implemntasi berarti program yang dirumuskan menjawab permasalahn sosial yang ada dan meningkatkan kesejahteraan karena suatu program diadakan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat. Terdapat beberapa tokoh tentang teori implementasi salah satunya adalah Merilee S Grindle dalam Sibbil (2014). Menurut
Grindle,
ada
dua
variabel
yang
mempengaruhi
keberhasilan
implementasi yaitu isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Pelayanan sosial sebagai bagian dari kebijakan sosial juga perlu mendapat perhatian guna melihat sejauhmana pelaksanaannya dalam mewujudkan kesejahteraan. Proses pelayanan sosial tentunya membutuhkan perumusan awal agar program kebijakan sesuai dengan kebutuhan, hal yang perlu diperhatikan adalah : 1.
Sejauhmana kepentingan kelompok atau target groups
2.
Jenis manfaat yang diterima oleh target groups
3.
Sejaumana perubahan yang diinginkan
4.
Apakah letak sebuah program tepat
5.
Apakah sudah menyebutkan implementatornya dengan rinci
6.
Apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai
27
Program sebaiknya sesuai kebutuhan target sasaran karena tidak aka nada gunanya apabila tidak dapat menyelesaikan permasalhan yang dihadapai masyarakat. Meter
dan
Horn
(1975)
merumuskan
sebuah
abstraksi
yang
memperlihatkan hubungan antarfaktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Abstraksi Meter dan Horn dapat dilihat sebagaimana bagan dibawah. Menurut model ini, suatu kebijakan menegaskan standar dan sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada dasarnya adalah penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran tersebut. menyatakan terdapat beberapa variable yang mempengaruhi implementasi kebijakan diantaranya adalah (Nugroho:2006): 1.
Aktivitas implementasi dan komunikasi organisasi
2.
Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor
3.
Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
4.
Kecenderungan dari pelaksana/ implementor
Efektif atau tidaknya suatu kebijakan juga tergantung pada sikap dari implementor kebijakan. Karena salah satu komponen kebijakan adalah cara mencapai sasaran dari tujuan kebijakan tersebut, maka dalam cara tersebut juga terkandung komponen keijakan antara lain, siapa pelaksana atau implementornya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan, dan bagaimana keberhasilannya (Wibawa et. al.:1994). Sehingga penting adanya untuk melihat bagaimana sikap atau tindakan yang dilakukan oleh implementor kebijakan.
28
Pendapat lainnya adalah yang dikemukakan oleh Christopher Hood yang juga tidak jauh dengan apa yang dinyatakan oleh Grindle ataupun Van Meter dan van Horn. Menurut Hood (Hood and Margetts:2007) pada dasarnya pemerintah mempunyai empat sumberdaya atau instrument yang dapat mereka gunakan, nodality, authority, treasure, dan organization (atau biasa disingkat menjadi NATO) (Howlett:2009). Berikut ini merupakan penjabaran lebih jelas mengenai empat instrument tersebut: 1. Nodality Menurut Hood dalam (Osuna:2012) Nodality merupakan posisi sentral pemerintah dalam jaringan informasi masyarakat yang bisa digunakan melalui pesan, seperti pemberitahuan, pengumuman publik. Faktor yang mencakup kejelasan isi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan penerimaan terhadap kebijakan. Nodality digunakan melalui penyaluran pesan seperti pemberitahuan atau pengumuman ke publik yang menjelaskan konten dari kebijakan. Dengan adanya nodality pemerintah mampu menggunakan informasi dalam menyampaikan kebijakannya kepada masyarakat dan digunakan untuk mengubah perilaku institusi sosial yang ada. Oleh karena itu, pemerintah harus dapat memastikan informasi itu memang dibutuhkan oleh berbagai pihak yang dituju oleh kebijakan (Harahap:2004).
Nodality merupakan kemampuan dari pemerintah untuk
mengatur pesan kepada penerima pesan. Keterbatasan dalam nodality ini adalah kredibilitas dari pesan itu sendiri dan bagaimana pemerintah menjamin bahwa pesan ini diterima atau tidak oleh masyarakat. 2. Authority
29
Dalam (Margetts:2009) authority merupakan otoritas yang menunjukan bahwa pemerintah memiliki kekuatan hukum yang resmi untuk menuntut, melarang, menjamin, atau mengadili. Selain itu pemerintah juga mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi, atau menerbitkan peraturan administratif, atau dengan menguasi sumberdaya melalui pajak. Otoritas inilah yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan perilaku masyarakat selaku objek kebijakan. Atau dengan kata lain authority (kewenangan) merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melakukan pengawasan untuk mengawal agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan (Harahap:2004). 3. Treasure Treasure atau yang berarti harta, menurut Hood treasure adalah sebuah sesuatu yang dimiliki pemerintah berupa benda atau jasa yang diberikan kepada masyarakat dari pemerintah (Margetts:2009). Treasure juga mengindikasikan adanya ketersediaan dana atau benda bernilai lainnya dan pemerintah bisa menggunakannya untuk meraih tujuan kebijakan yang dibuat pemerintah (Osuna:2012). Penggunaan resources memiliki peran cukup penting dalam menjalankan kebijakan, dengan memaksimalkan sumberdaya ini diharapkan tujuan kebijakan juga mudah untuk dicapai. Dalam kondisi kebijakan Rumah Sususn ini, paguyuban menjadi sumberdaya yang dimiliki pemerintah untuk mengontrol perilkau warga rumah susun. 4. Organization Organisasi sebagai sumberdaya dapat digunakan dalam apa yang disebut oleh Hood sebagai „treatments‟, yaitu penggunaan upaya masyarakat dan
30
kemampuan material lainnya dari organisasi tersebut (Osuna:2012). Organisasi yang dijalankan pemerintah berupa sumberdaya yang mampu digunakan untuk mengontrol perilaku masyarakat. Sumberdaya ini tentunya juga dibarengi dengan kualitas dan kuantitas yang memadai sehingga mampu melaksanakan dan mencapai tujuan kebijakan. Organisasi ini juga mencakup pada karakteristik lembaga pelaksana kebijakan Rumah Susun, sehingga jelas bagaimana tugas masing-masing dalam menjalankan kebijakannya. Semua teori implementasi yang dikemukakan oleh para ilmuwan sejatinya adalah untuk menggambarkan bahwa implementasi adalah untuk memastikan tujuan dari kebijakan tersebut terlaksana. Namun, dalam konteks kebijakan Rumah Susun, untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi pendekatan yang digunakan adalah menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Hood yaitu berupa nodality (penyebarluasan informasi), authority (otoritas), treasure (harta benda), dan juga organization (organisasi).
1.7 Kerangka Berpikir Latar belakang dikeluarkan kebijakan sosial adalah dalam rangka untuk menyelesaikan masalah sosial yang sedang terjadi. Adanya kebijakan diharapkan mampu memberikan efek sosial yang dikehendaki. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah Kabupaten Sleman yang berkaitan dengan rumah susun sederhana sewa adalah ditujukan dalam rangka mencegah dan menanggulangi luasan rumah kumuh yang ada di Sleman. Namun, dalam proses implementasi kebijakan rusunawa di Rusunawa Dabag
31
ditemukan berbagai masalah. Dibutuhkan evaluasi kebijakan untuk mengetahui bagaimana proses implementasi dan masalah apa saja yang muncul di Rusunawa Dabag. Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan yang menggunakan pisau analisis NATO untuk menjelaskan implementasi kebijakan Rusunawa Dabag. Berikut adalah skema kerangka berfikir yang diterapkan oleh peneliti :
32