BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan di pedesaan telah mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan, terutama pada struktur ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan, khususnya petani. Paradigma modernisasi dalam pembangunan pertanian yang mengutamakan prinsip efisiensi berdampak terhadap perubahan struktur ekonomi rumah tangga petani. Pembangunan pertanian di pedesaan telah menyebabkan pertumbuhan perekonomian yang pesat, meski belum sepenuhnya diimbangi oleh peningkatan struktur pendapatan rumah-tangga petani. Hal tersebut disebabkan karena laju pergeseran ekonomi sektoral relatif lebih cepat dibanding laju pergeseran tenaga kerja, dimana titik balik aktivitas ekonomi di Indonesia lebih dulu tercapai dibanding titik balik tenaga kerja (labor turning point).1 Paradigma modernisasi yang kemudaian membawa dampak pada mekanisasi pertanian pada dasarnya merupakan usaha percepatan pembangunan pertanian melalui perubahan teknologi sektor pertanian. Perubahan teknologi misalnya terjadi dalam pertanian padi yang notabene sadalah tanaman kebutuhan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Perubahan teknologi tersebut mengakibatkan berubahnya cara pengolahan tanah, cara penanaman, cara penyiangan, cara penuaian sampai cara pengolahan padi menjadi beras. Perubahan tersebut meliputi penggunaan 1
Manning, C. 2000. Labourmarket adjustment to indonesia.s economic crisis: context, trend, and implications. Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES) 36(1)105-136.
1
traktor, bibit unggul, pupuk, pestisida, sabit, cara panen dengan tebasan, dan teknologi pasca panen.2 “An
agricultural
modernization
system
is
a
network
oforganizations, enterprises, and individuals focused on bringing new products, new processes, and new forms of organization into economic use, together with the institutions and policies that affect their behavior and performance. The innovation systems concept embraces not only the science suppliers but the totality and interaction of actors involved in innovation as well. It extends beyond the creation of knowledge to encompass the factors affecting demand for and use of knowledge in novel and useful ways”.3 Namun mekanisasi pertanian justru menggusur tenaga kerja manusia. Fenomena penggunaan traktor sebagai contohnya. Penggunaan traktor akan mengurangi jumlah buruh mencangkul. Pertanian seharusnya dijadikan sektor padat karya, namun dengan modernisasi pertanian lama kelamaan akan bergeser menjadi padat modal, dan menyingkirkan manusia dari pertanian. Pihak yang pertama-tama kehilangan pekerjaan adalah buruh tani perempuan, karena kaum perempuan dipergunakan untuk melakukan pekerjaan tangan dalam pertanian.4 Pertanian yang sedianya merupakan salah satu sektor andalan perekonomian Indonesia ternyata tidak mampu mengatasi permasalahan kemiskinan ini. Kemampuan sektor pertanian dalam menghasilkan devisa 2
Subekti Mahanani. (2003). Keadilan Agraria Bagi Perempuan Tani.Jurnal Analisis Sosial. Vol 8 (no2). Hlm.7-8 3
World Bank. (2009). Gender in Agriculture Sourcebook.Washington: The World Bank. Hal 258
4
Boserup, Ester. (1984). Peranan Perempuan Dalam Perkembangan Ekonomi (Mien Joebhaar dan Sunarto.Terjemahan). Hal 71
2
terbesar bagi negara dan kemampuan menyerap banyak tenaga kerja tidak diimbangi dengan pertambahan luas tanah garapan untuk usaha pertanian, sehingga terjadi kenaikan jumlah buruh tani yang sangat cepat dan memberikan
tekanan-tekanan
yang
semakin
besar
tersebut
juga
bagi
masalah
pengangguran. Perkembangan
modernisasi
menyebabkan
pembangunan disana-sini yang tak pelak menimbulkan residu-residu pembangunan berupa masyarakat yang termarjinalkan secara sosial maupun ekonomi. Para petani yang tadinya memiliki sawah, kemudian banyak yang menjualnya karena adanya alih fungsi sawah (150.000 hektar/tahun) menjadi infrastriktur jalan maupun industri. Adanya land grabbing serta himpitan ekonomi membuat makin banyak petani yang lahannya makin sempit
bahkan
tidak
memiliki
lahan.Kemudian
kemiskinan
pun
menghinggapi mereka yang banyak bekerja di sektor pertanian.5 Masalah kemiskinan di Indonesia khususnya di pedesaan merupakan persoalan yang hingga saat ini menyita perhatian banyak pihak. World Bank (1990) menetapkan suatu kelompok masyarakat dikategorikan miskin apabila pendapatan per harinya sama dengan US$2 atau kurang dari angka tersebut. Menurut data BPS, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 29.13 juta jiwa dan hampir 65 persen merupakan penduduk yang bertempat tinggal di pedesaan. Lebih lanjut menurut laporan World Bank yang dikemukakan oleh Sylva dan Bysouth (1992) mayoritas
5
Diambil dari data Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2013, yang menunjukan penduduk miskin di desa mencapai 62,8% dari total 28,55 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia.
3
penduduk miskin tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian.Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk miskin yang tinggal di pedesaan dan bekerja pada sektor pertanian memiliki sejumlah pendapatan yang berada di bawah standar kelayakan hidup. Pada
mulanya
pembangunan
pertanian
bertujuan
untuk
meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, pertumbuhan kesempatan kerja,berusaha meningkatkan gizi dan ketahanan pangan rumah tangga, serta mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Semua ini berkaitan erat dengan peran, tugas, dan fungsi masyarakat tani di pedesaan. Berpedoman kepada pendapatan rumah tangga yang dapat dihasilkan oleh suami maupun istri (pola nafkah ganda), perempuan memiliki peluang kerja yang dapat menghasilkan
pendapatan
bagi
rumah
tangganya,
sebagai
upaya
mengurangi kemiskinan di pedesaan. Problem buruh tani Indonesia di masa mekanisasi pertanian ini menjadi semakin kompleks. Di satu sisi kebutuhan dan konsumsi akan pangan meningkat tapi di sisi lain, buruh tani tidak dapat memanfaatkan peningkatan konsumsi pangan tersebut. Penerapan sistem pertanian modern pada proses-proses produksi membutuhkan biaya yang tinggi, terlebih lagi hal ini tidak diimbangi dengan peningkatan harga hasil produksi yang layak di pasar primer pada tingkat petani. Penyebab utamanya adalah keadaan posisi tawar pelaku usaha tani (termasuk buruh tani) yang kurang baik sehingga tidak mampu mengubah kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera. Padahal sektor pertanian di Indonesia termasuk sektor utama dalam kegiatan
ekonomi
Indonesia,
karena
lebih
dari
50%
penduduk 4
menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Dari 23 juta kepala keluarga petani, sebagian besar dari mereka adalah perempuan, istri atau ibu yang juga terlibat di sektor pertanian.6 Berdasarkan data BPS (2013), penduduk Indonesia berjumlah sekitar 237 juta jiwa, 36,5 persen dari keseluruhan penduduk menggantungkan hidupnya di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani. Umumnya, penduduk yang bekerja sebagai buruh tani berasal dari penduduk golongan miskin. Hal ini menjadi sebuah alasan bagi buruh tani agar lebih mengembangkan perannya untuk bertahan hidup. Kehidupannya semakin dipersulit sejak adanya perkembangan teknologi yang mengubah sistem pertanian. Berbagai akibat mulai bermunculan, salah satunya perubahan sistem tenaga kerja dan berkurangnya akses perempuan yang bekerja di sektor pertanian. Awalnya, perempuan memberikan peranan besar dalam dunia pertanian. Sumbangan ekonomi yang diberikan dalam membentuk kesejahteraan rumah tangga berasal dari curahan kerja di sektor pertanian. Namun akibat dari perubahan sistem pertanian yang mempengaruhi peran tenaga kerja, justru membuat perempuan menjadi tersingkir. Perkembangan teknologi yang menciptakan mesin-mesin pengganti tenaga petani menjadi peran baru yang menggantikan posisi petani, khususnya buruh tani perempuan. Seperti yang dikemukakan oleh Duran (1975:123-143) dan Standing (1978:12-12) dalam Suratiyah (1991;6), dalam tingkatan pembangunan ekonomi dan teknologi, tingkat partisipasi
6
Diambil dari jurnal Dina Novia Priminingtyas.Marginalisasi Perempuan dalam Pembangunan Pertanian.Proceeding Talkshow / seminar Regional Upaya Mengatasi Diskriminasi/ Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Berbasis Agama dan Budaya. PPGK, LPPM Universitas Brawijaya.
5
perempuan cenderung lebih rendah karena buruh perempuan terdorong keluar dari pasar tenaga kerja, terutama pada sektor pertanian akibat perubahan teknologi yang lebih mengutamakan peranan laki-laki.7 Hal ini didorong oleh perkembangan dunia Industri yang semakin besar dan mempengaruhi komersialisasi pertanian di pedesaan yang merupakan akibat dari Revolusi Hijau.8 Buruh tani perempuan merupakan pihak yang paling dirugikan dengan adanya mekanisasi pertanian ini. Mekanisasi telah mengubah cara penyiangan, penuaian padi sampai pengolahan akhir menjadi beras, yang kesemuanya menyingkirkan perempuan petani dari proses produksi pertanian. Beberapa penelitian di pedesaan Jawa dan Bali, telah diketahui bahwa akibat dari penggunaan mesin penggiling padi (huller), sejumlah 3.071 tenaga perempuan di Cianjur (Jawa Barat), 3.229 orang di Kecamatan Polanharjo (Jawa Tengah), 482 orang tenaga perempuan di Kecamatan Bolung dan 84 orang di Kecamatan Tabanan (Bali) kehilangan mata pencaharian sebagai buruh tumbuk padi. Tenaga penumbuk padi harus mengubah jenis pekerjaan menjadi tenaga serabutan dengan upah sangat rendah. Upah buruh tani perempuan berbeda dibanding dengan buruh tani laki-laki, dengan alasan bahwa tenaga perempuan secara kualitas maupun
7
Lihat, Suratiyah dalam Pembangunan pertanian dan peranan perempuan di pedesaan Yogyakarta dan Bali. 1991. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM. 8
Akibat dari dampak Revolusi Hijau menyebabkan turunnya berbagai kesempatan kerja baik lakilaki maupun perempuan.Laki-laki kehilangan kesempatan kerja sebagai buruh mencangkul atau membajak karena adanya traktorisasi pertanian dan perempuan kehilangan kesempatan kerja dalam memanen padi karena penggunaan varietas unggul dan masuknya sistem tebasan.( Hayami dan Anwar Hafid dalam Kodiran dan Bambang Hudayana. 1990. Peranan Perempuan dalam Sawah Surjan.Yogyakarta. Pusat Studi Kependudukan UGM)
6
secara kuantitas tidak sebesar tenaga laki-laki, sehingga harus dihargai lebih rendah. Tuntutan perubahan model produksi pertanian kemudian makin mempertegas tersingkirnya perempuan petani dari sektor pertanian.9 Di Daerah Istimewa Yogyakarta, penduduk perempuan berjumlah 1.748.581 jiwa. Sedangkan perempuan yang bekerja sebagai buruh tani berjumlah 473.839 jiwa. Kondisi ini memperlihatkan bahwa lebih dari seperempat penduduk perempuan di DIY bekerja sebagai buruh tani. Mereka menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Buruh tani perempuan memperoleh ketidakadilan dari mekanisasi pertanian. Buruh tani di Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Bantul sebagai cotohnya. Musim panen kali ini sangat sedikit kesempatan mereka untuk terlibat dalam proses panen. Pekerjaan yang dilakukan sebagian buruh tani perempuan hanya mengais-ngais sisa-sisa rontokan padi (ngangsak) di sawah yang tidak terangkut. Buruh tani perempuan mengumpulkan sedikit demi sedikit rontokan padi kemudian membawa pulang ke rumah. Padi yang telah terkumpul di rumah dijadikan bahan makanan. Petani memilih menggunakan jasa buruh tani laki-laki yang umumnya bekerja secara berkelompok, dengan alasan efisien waktu. Satu petak sawah hanya memerlukan waktu kurang dari tiga jam dalam proses panen, apabila menggunakan jasa kelompok buruh tani laki-laki. Buruh tani perempuan memerlukan waktu hampir dua hari untuk menyelesaikan panen dalam satu petak sawah. 9
Subekti Mahanani. (2003). Keadilan Agraria Bagi Perempuan Tani.Jurnal Analisis Sosial. Vol 8 (no2). Hlm.7-8
7
Mekanisasi pertanian juga dialami para buruh tani di Desa Gadingsari.
Mekanisasi
pertanian
berdampak
pada
berkurangnya
kesempatan kerja bagi buruh tani perempuan di sektor pertanian. Kesempatan kerja yang terbatas memaksa buruh tani perempuan beradaptasi dengan era mekanisasi pertanian. Buruh tani perempuan merasa pekerjaan dalam sektor pertanian tersingkir oleh adanya mekanisasi pertanian ini. Sebenarnya potensi perempuan dalam pembangunan pertanian dan ketahanan pangan sangat strategis. Mereka terlibat dalam pertanian yang berat seperti mengolah sawah, maupun yang ringan seperti mengolah hasil pertanian. Tetapi pada kenyataannya peran perempuan di sektor pertanian sering termarginalisasi akibat budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. Budaya patriarki menyebabkan pembagian kerja secara gender di bidang pertanian. Ada pekerjaan yang pantas dikerjakan oleh perempuan atau oleh pria saja, tetapi di lain pihak ada pekerjaan tertentu yang terbuka bagi kedua belah pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Pekerjaan perempuan biasanya identik dengan membutuhkan ketelitian, tidak membutuhkan fisik yang berat dan rumit berbeda dengan laki-laki yang membutuhkan fisik dan pikiran yang berat. Tantangan-tantangan
yang
dihadapi
buruh
tani
perempuan
mendorong mereka untuk menerapkan perilaku strategis yang khusus dan dimaksudkan untuk menghadapi krisis pada rumah tangga mereka. Perilaku strategis adalah tindakan aktif yang terwujud dalam kegiatan khusus yang direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu dan memerlukan sumber
8
daya.10 Perilaku strategis rumah tangga miskin di pedesaan dalam menghadapi krisis dapat dibedakan ke dalam lima cara: mengatur pola konsumsi pangan, baik kuantitas semakin sedikit maupun kualitas semakin rendah; memanfaatkan jaringan sosial informal; memberdayakan anggota rumah tangga dalam bekerja; diversifikasi sumber pendapatan untuk mengatasi kesulitan ekonomi ataupun krisis yang dihadapi rumah tangga; menggunakan alternatif subsistensi.11 Hal inilah yang menjadikan buruh tani perempuan di Desa Gadingsari harus memiliki upaya dan strategi untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Kemiskinan yang dirasakan tidak akan ada kecukupan apabila hanya suami atau laki-laki saja yang bekerja. Sedangkan pada realitas lapangan hanya banyak membutuhkan tenaga kasar laki-laki. Sehingga istri atau perempuan harus membantu mencari solusi dan strategi yang tepat. Strategi buruh tani perempuan merupakan upaya agar dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga dalam kondisi yang semakin sulit karena adanya mekanisasi pertanian.
10
Rappaport RA. 1971. The sacred in human evolution: Annual review of ecology and systematics. Michigan (US): Department of AnthropologyUniversity of Michigan. hal 23-44 11
Scott JC. 1990. Moral ekonomi petani. Jakarta (ID): LP3ES. Hal 43
9
B. Rumusan Masalah Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan di atas, dapat dirumuskan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apa dampak mekanisasi pertanian padi bagi perokonomian keluarga buruh tani perempuan? 2. Bagaimana strategi buruh tani perempuan dalam memenuhi perekonomian keluarga ditengah berkembangnya proses mekanisasi pertanian?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dampak mekanisasi pertanian tanaman padi bagi buruh tani perempuan dalam mendapatkan pendapatan dan perannya dalam ekonomi keluarga. 2. Untuk mengidentifikasi mekanisasi pertanian tanaman padi yang berkembang di masyarakat pedesaan. 3. Untuk mengetahui dan memahami strategi buruh tani perempuan dalam memenuhi perekonomian keluarga ditengah perkembangan mekanisasi pertanian.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang.
10
b) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan
dan
bagi
pengembangan
ilmu
sosiologi.
Serta
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang sosiologi pedesaan.
2. Manfaat Praktis a) Sebagai bahan evaluasi bagi civitas akademika untuk lebih memperhatikan dunia pertanian. b) Memberikan informasi kepada seluruh instansi atau Lembaga Pemerintah yang mengelola bidang pertanian agar dapat lebih mensosialisasikan masalah pertanian. Karena pertanian adalah sebagai tonggak swasembada pangan. Khususnya stakeholder lembaga terkait di Kabupaten Bantul dapat melakukan penanganan lebih lanjut terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan, serta memberikan evaluasi terhadap perkembangan pertanian secara luas, khususnya peluang bagi buruh tani perempuan. c) Memberikan kesadaran bagi berbagai kalangan, khususnya pemilik lahan pertanian di pedesaan untuk lebih peduli terhadap lingkungan pertanian dan mempertahankannya, karena lahan pertanian tersebut sebagai peluang kerja, peluang usaha, dan sebagai alat untuk usaha mengurangi kemiskinan di pedesaan.
11
E. Tinjauan Pustaka Ada beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan fokus penelitian ini yang digunakan sebagai bahan tinjauan pustaka. Antara lain sebagai berikut: Pertama, penelitian dari Dwi Angga Oktavianto yang menjelaskan bahwa bentuk modernisasi pertanian di Desa Tulas terdapat pada kegiatan pengolahan tanah berupa penggunaan traktor. Modernisasi pada kegiatan irigasi berupa penggunaan alat pompa air. Modernisasi pada kegiatan penyiangan berupa penggunaan alat penyiangan. Modernisasi pada kegiatan pemberantasan hama dengan menggunakan alat semprot. Modernisasi pada kegiatan panen dengan penggunaan sabit, mesin huller dan adanya sistem tebasan. Modernisasi pada kegiatan pasca panen dengan penggunaan alat penggiling padi. Karakteristik modernisasi pertanian di Desa Tulas. Besarnya upah buruh tani perempuan lebih kecil dibanding upah bagi buruh tani laki-laki. Karakteristik curahan waktu, buruh tani perempuan lebih banyak mencurahkan waktu dalam kegiatan domestik, buruh tani laki-laki mencurahkan waktu lebih banyak pada kegiatan publik. Karakteristik dalam bentuk marginalisasi yang ditandai dengan dominasi akses dan kontrol lakilaki terhadap sumberdaya strategis perdesaaan dan alat produksi pertanian. Karakteristik partisipasi dalam kelembagaan dan pengambilan keputusan rumah tangga rendah. Adaptasi yang dilakukan oleh buruh tani perempuan berupa survival strategies dan consolidation strategies. Buruh tani perempuan tidak ada yang melakukan adaptasi berupa accumulation
12
strategies. Posisi tawar buruh tani perempuan rendah dibandingkan buruh tani laki-laki dalam modernisasi pertanian.12 Kedua, Skripsi dari Rianto yang berjudul Dampak Modernisasi Pertanian terhadap Peluang Kerja dan Pendapatan Perempuanyang dilakukan di Desa Lobang, Karanganyar. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dampak dari adanya modernisasi pertanian didesa lobang adalah dengan adanya penggantian teknologi dalam bidang pertanian ternyata secara tidak langsung berdampak pada kearifan local.Sebelumnya, kearifan lokal masih digunakan atau dijalankan oleh masyarakat di desa lobang akan tetapi semenjak adanya modernisasi tersebut kini kearifan lokal sudah mulai hilang. Selain itu modernisasi pertanian yang terjadi di Desa Lobang juga berdampak pada peluang kerja yang didapatkan oleh para buruh tani perempuan.Semenjak adanya modernisasi dalam bidang pertanian ini, kini peluang kerja para buruh tani perempuan juga kian menyempit. Hal tersebut disebabkan karena lahan pekerjaan yang dulu sering ditangani oleh para perempuan kini sudah mulai dikerjakan oleh kaum lakilaki yang bekerja sebagai operator mesin pertanian. Dengan menyempitnya lahan pekerjaan para perempuan tersebut, ternyata juga mempengaruhi pendapatan yang dihasilkan oleh para buruh tani perempuan ini.Kini pendapatan para buruh tani perempuan sudah jauh menurun jika dibandingkan dulu. Dengan menurunya pendapatan para perempuan
12
Dwi Angga Oktavianto. 2011. Adaptasi Buruh Tani Perempuan DalamModernisasi Pertanian DiDesa Tulas Kecamatan KarangdowoKabupaten Klaten. Skripsi. Universitas Negeri Yogyakarta
13
tersebut ternyata juga berdampak pada dominasi pengambilan keputusan dalam keluarga.13 Ketiga, Skripsi saudara Eka Pratiwi yang berjudul Peran Ganda Perempuan studi tentang buruh tani di desa Mulo, Wonosari, Gunung Kidul
menjelaskan
bahwa
pasrtisipasi
seorang
perempuan
besar
adanya.Selain bekerja sebagai ibu rumah tangga ia juga berperan dan ikut berpartisipasi
dalam
mencari
nafkah
untuk
pemenuhan
ekonomi
keluarganya. Partisipasi seorang istri dalam meningkatkan kesejahteraan dalam keluarganya di Desa Mulo diwujudkan dalam tiga perannya baik dalam lingkungan rumah tangga, dalam bidang ekomoni dan juga dalam masyarakat. Beban ganda perempuan juga dirasakan oleh para perempuan karena mereka memikul tanggung jawab yang sangat besar sebagai ibu rumah tangga yang bekerja sebagai buruh tani yang tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Hal tersebut membuat perempuan mengerjakan semua pekerjaan rumah tannganya sendiri sebeum berangkat bekerja.14 Keempat, Skrpsi dari Muhammad Septiadi yang berjudul Pengaruh Ketimpangan Gender terhadap Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga Buruh Tani Miskin di Desa Cikarawang, dengan subjek yang diteliti adalah rumah tangga buruh tani yang tergolong dalam ekonomi lemah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan gender berpengaruh signifikan
terhadap
strategi
bertahan
hidup,
ketimpangan
gender
13
Rianto, 2011. Dampak Modernisasi Pertanian terhadap Peluang Kerja dan Pendapatan Perempuan. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. 14
Eka Pratiwi. 2012. Peran Ganda Perempuan studi tentang Buuh Tani di Desa Mulo,Wonosari, Gunung Kidul. Skripsi. Fakultas Dakwah. Prodi Pengembangan Masyarakat Islam. UIN SunanKalijaga.
14
berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan, dantingkat kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap strategi bertahan hidup.15 Perbedaan Penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang telah disebutkan diatas adalah, dalam penelitian ini akan dikaji mengenai dampak dari modernisasi pertanian dalam hal alih teknologi, bagi buruh tani perempuan dalam pendapatan (income), juga peranannya dalam ekonomi rumah tangganya. Kemudian dari dampak itu, bagaimana buruh tani perempuan memunculkan strateginya untuk mencukupi perekonomian keluarga ditengah arus modernisasi pertanian tersebut.
F. Kerangka Teori Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan kerangka teori sebagai tools atau alat untuk menganalisis kasus. Adapun teori yang akan digunakan antara lain:
a. Teori Risk Society(Masyarakat Resiko) dari Ulrich Beck Istilah masyarakat resiko (risk society) merupakan istilah yang melekat pada sosiolog kenamaan Jerman, Ulrich Beck. Istilah tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai sejenis masyarakat industri
karena
kebanyakan resikonya berasal dari industri. Hal tersebut dapat terjadi sebab menurut Beck kita masih berada dalam era modern, walaupun dalam bentuk modernitas yang baru. Perbedaan tersebut terletak pada tahap „klasik‟ modernitas yang sebelumnya berkaitan dengan masyarakat 15
Muhammad Septiadi. 2013. Pengaruh Ketimpangan Gender terhadap Strategi Bertahan Hidup Rumah Tangga Buruh Tani Miskin di Desa Cikarawang. Skripsi. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor
15
industri, sedangkan modernitas „baru‟ berkaitan dengan
masyarakat
resiko.16 Berbagai perubahan turut mengiringi pergantian dari modernitas tahap „klasik‟ menuju modernitas „baru‟ yang ditandai kemunculan masyarakat resiko. Salah satu perubahan yang dimaksud dalam hal masalah sentral. Jika dalam modernitas „klasik‟ masalah sentralnya berkisar pada kekayaan dan bagaimana cara mendistribusikannya dengan merata. Sementara itu dalam „modernitas baru‟ masalah sentralnya adalah resiko dan bagaimana cara mencegah, meminimalkannya, atau menyalurkannya. Dalam masyarakat resiko, keadaan menjadi tidak pasti, karena berbagai kemungkinan buruk dapat terjadi. Hal yang dimaksud seperti kemungkinan peristiwa dimana kecelakaan teknologi
tidak bisa
diasuransikan karena implikasi-implikasi yang tak terbayangkan (misalnya ledakan reaktor nuklir Chernobyl tahun 1986). Dalam hal tenaga nuklir, Beck mengidentifikasi landasan dari „prinsip asuransi‟ yang tidak hanya dalam hal ekonomi, medis , psikologi , kebudayaan dan religi. Menurutnya, “masyarakat beresiko residual telah menjadi masyarakat yang tidak dijamin asuransi” atau the residual risk society has become an uninsured society.17 Tokoh lain yang juga membahas mengenai resiko adalah Anthony Giddens. Hal tersebut diperkuat pernyataannya mengenai modernitas. Modernitas adalah kultur resiko. Ini bukan berarti bahwa kehidupan 16
Clark, 1997, (dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 561) Beck 1992 : 101 (dalam Kuper dan Kuper, 2000 : 933)
17
16
sosial kini lebih berbahaya dari pada dahulu, bagi kebanyakan orang itu bukan masalah. Konsep resiko menjadi masalah mendasar baik dalam cara menempatkan aktor biasa maupun aktor yang berkemampuan spesialis-teknis
dalam
organisasi
kehidupan
sosial.
Modernitas
mengurangi resiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan parameter resiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya tidak dikenal di era sebelumnya.18 Giddens membedakan resiko lingkungan pra modern (tradisional) dan modern. Menurutnya resiko kebudayaan tradisional didominasi oleh bahaya dunia fisik, sementara resiko lingkungan modern distrukturasi terutama oleh resiko yang ditimbulkan manusia (Giddens, 1990 : 106 ; 101, dalam Kuper dan Kuper,2000 : 933). Selain itu, Giddens juga berpendapat bahwa “resiko bukan semata-mata tindakan individu. Ada resiko lingkungan yang secara kolektif mempengaruhi massa individu yang besar”.19 Masyarakat resiko merupakan suatu istilah yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan ke kondisi-kondisi baru dalam kehidupan manusia saat ini. Terdapat perbedaan pendapat pada hal tersebut, di satu pihak perubahan dimaksud mengarah
dari era modernitas menuju
modernitas lanjut, sedangkan ada yang menyebut pula perubahan tersebut terjadi dari era modernitas menuju postmodernitas. Walaupun begitu, keduanya sepakat bahwa perubahan tersebut melahirkan konsekuensi penting. Konsekuensi yang dimaksud ialah tuntutan akan
18
Giddens, 1991 : 3-4, (dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 561) Ibid. Hlm 35
19
17
kesadaran bahwa dalam kehidupan manusiakini lebih diwarnai ketidaktentuan dan resiko yang sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Jadi, karakteristik penting dari masyarakat resiko adalah resiko dan cara untuk mengatasi atau usaha meminimalkan menjadi masalah sentral kehidupan manusia. Dalam tesis karyanya, Beck menjelaskan beberapa konsep penting
seperti
resiko,
refleksivitas
dan
efek
boomerang.Beck
menjelaskan resiko sebagai, “kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual”. Dengan demikian, resiko mempunyai hubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di dalam sebuah masyarakat (industrialisasi, modernisasi, pembangunan), yang akan menentukan tingkat resiko yang akan mereka hadapi. Setidaknya terdapat tiga ekologi atau macam resiko yang disebutkan oleh Beck, antara lain: resiko fisik-ekologis (physicalecological risk), resiko sosial (social risk), dan resiko mental (psyche risk). Dari pemikiran-pemikiraan Beck mengenai resiko juga berimbas pada beberapa kelas sosial yang menjadi korban. Hal tersebut terjadi akibat sejarah distribusi resiko itu sendiri, sebagaimana kekayaan resiko melekat pada pola kelas, hanya saja yang terjadi adalah kebalikannya. Kekayaan terakumulasi di puncak sementara resiko akan terakumulasi di dasar atau bawah.20 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika resiko nantinya akan 20
Beck,1992 : 35, dalam Ritzer dan Goodman, 2003 : 563
18
terpusat pada bangsa yang miskin karena bangsa memiliki kemampuan dan sarana untuk menjauhkannya. Meskipun begitu, kenyataan tidak akan selalu berjalan sama, karena Beck juga memberikan gambaran bahwa dunia masyarakat resiko” yang tidak dibatasi oleh tempat atau waktu. Dengan kata lain bahkan resiko dapat menimpa negara kaya sekalipun. Terkait dengan hal tersebut adalah konsepnya mengenai “efek boomerang”,yang merupakan pengaruh sampingan dari resiko yang dapat menyerang kembali ke pusat pembuatnya. Sehingga, sering kali masyarakat penikmat hasil modernisasi terjebak pada apa yang mereka nikmati. Walaupun modernisasi lebih dahulu menghasilkan resiko, namun ia akan juga menghasilkan refleksivitas yang memungkinkannya untuk mempertanyakan dirinya sendiri dan resiko yang dihasilkannya. Dalam realita, sering kali rakyat atau korban dari resiko itu sendiri mulai merefleksikan resiko modernisasi tersebut. Selanjutnya mereka mulai mengamati dan mengumpulkan data tentang resiko dan akibatnya. Oleh karena itu, refleksivitas baik berbentuk pikiran, renungan, sikap maupun tindakan akan berperan dalam mengantisipasi, mengurangi atau mengatasi dampak-dampak atau akibat-akibat dari resiko.
b. Teori ‘Etika Subsistensi’dari James C. Scott Dalam kajian sosiologi, Moral Ekonomi adalah suatu analisa tentang apa yang menyebabkan seseorang berperilaku, bertindak dan beraktivitas dalam kegiatan perekonomian. Hal ini dinyatakan sebagai
19
gejala sosial yang berkemungkinan besar sangat berpengaruh terhadap tatanan kehidupan sosial. James C. Scott menyatakan bahwa moral ekonomi petani di dasarkan atas norma subsistensi dan norma resiprositas. Di mana ketika seorang petani mengalami suatu keadaan yang menurut mereka (petani) dapat merugikan kelangsungan hidupnya, maka mereka akan menjual dan menggadai harta benda mereka. Hal ini disebabkan oleh norma subsistensi. Sedangkan resiprositas akan timbul apabila ada sebagian dari anggota masyarakat menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat yang lain. Hal ini akan menyebabkan berbagai etika dan perilaku dari para petani. Di
kebanyakan
masyarakat
petani
yang
pra-kapitalis,
kekhawatiran akan mengalami kekurangan pangan telah menyebabkan timbulnya apa yang dinamakan sebagai “Etika Subsistensi”. Etika yang terdapat di kalangan petani asia tenggara ini, ternyata juga terdapat di kalangan rekan-rekan mereka di Prancis, Rusia dan Italia di abad ke sembilan belas. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari suatu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas.21 Suatu panen yang buruk tidak hanya berarti kurang makan; agar tetap makan orang tersebut mungkin harus melakukan berbagai cara walaupun dia harus menjual tanah atau ternaknya, sehingga nantinya diharapkan dapat memperkecil kemungkinan baginya untuk mencapai batas subsistensi di tahun berikutnya.
21
Scott. (1981). Moral ekonomi petani pergolakan dan subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. Hlm 3
20
James C. Scott menambahkan bahwa para petani adalah manusia yang terikat sangat statis dan aktivitas ekonominya. Mereka dalam aktivitasnya sangat tergantung pada norma-norma yang ada. Penekanan utama adalah pada moral ekonomi petani yang dikemukakan oleh James C. Scott yang menekankan bahwa petani cendrung menghindari resiko dan rasionalitas petani yang dikemukakan Samuel L. Popkin yang menjelaskan bahwa petani adalah rasional mereka tidak menghindari resiko. Dalam Moral Ekonomi Petani: Pergerakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, Scott mengemukakan pertama kali teorinya tentang bagaimana “etika subsistensi” (etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal) melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan, termasuk pembangkangan mereka terhadap inovasi yang datang dari penguasa mereka. Secara agak kasar, Scott menggambarkan perilaku subsisten sebagai usaha untuk menghasilkan beras yang cukup untuk kebutuhan makan sekeluarga, membeli beberapa barang kebutuhan seperti garam dan kain, dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tidak dapat ditawartawar lagi dari pihak-pihak luar. Intinya, perilaku ekonomi subsisten adalah perilaku ekonomi yang hanya diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hidup paling minimal. Permasalahan yang dihadapi oleh petani dan bagaimana upaya yang dilakukan oleh petani tersebut itulah yang kita kenal dengan prinsip
21
“Safety-First” atau dahulukan selamat.22 Dahulukan selamat yang diperkenalkan oleh Roumasset inilah yang melatarbelakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial dan moral dalam tatanan masyarakat agraris. Petani lebih suka meminimumkan kemungkinan terjadinya satu bencana daripada harus memaksimumkan penghasilan rata-ratanya. Dalam prinsip “dahulukan selamat” atau “menghindari resiko” ini banyak dari para ahli ekonomi belajar dari pertanian berpenghasilan rendah di Dunia ketiga (Asia Tenggara) yang merupakan salah satu karya
terpenting
tentang
ekonomi
pertanian
subsistensi
yang
menunjukkan adanya penyesuaian pokok mengenai prinsip-prinsip tersebut.23 Pada petani-petani yang hidup dekat dengan batas subsistensinya, rasa enggan mengambil resiko itu bisa sangat kuat, oleh karena suatu hasil di atas nilai-nilai yang diharapkan mungkin tidak dapat mengimbali hukuman berat akibat hasil dibawah nilai-nilai yang diharapkan.24
Sikap
menghindari
resiko
ini
juga
dikemukakan
untuk
menjelaskan mengapa petani lebih suka menanam tanaman subsistensi daripada tanaman bukan pangan yang hasilnya untuk dijual. Salah satu hipotetis yang menerapkan prinsip dahulukan selamat dalam karya Roumasset yakni ketika melihat petani di Filipina, di mana mereka (petani) telah mengembangkan empat contoh yang representatif tentang resiko dan hasil, dengan membandingkan tiga jenis padi unggul dengan cara bertanam tradisional. Dari asumsi-asumsi yang ditawarkan tersebut, 22
Safety-First atau Dahulukan Selamat adalah kondisi dimana petani lebih suka meminimumkan kemungkinan terjadinya satu bencana daripada harus memaksimalkan penghasilan rata-ratanya. Dalam Scott. ibid. Hlm 7 23 Scott. Op cit. Hlm 27 24 Jere R. Behrman. Dalam Scott (1981). Hlm 27
22
petani filipina secara rasional akan lebih memilih teknik-teknik secara tradisional meskipun hasilnya sedikit.25 Sama hal nya dengan Roumasset, Pierre Gourou mengemukakan di Tonkin dan Annam, pertanian bukanlah satu usaha ekonomis yang bertujuan bisnis dan mencari untung, melainkan satu pertanian subsistensi yang semata-mata bertujuan menghasilkan pangan bagi mereka yang melakukannya.26 Dari beberapa gambaran tentang prinsip dahulukan selamat di atas, dapat ditangkap bahwa sebagian besar petani lebih suka meminimumkan resiko yang ada daripada harus memaksimumkan penghasilan. Begitu juga kondisi yang ada di Desa Gadingsari, dimana sebagian besar buruh tani juga melakukan hal yang sama yakni “dahulukan selamat”. Hal tersebut terlihat dari bagaimana buruh tani perempuan harus memiliki upaya lain untuk mencukupi ekonomi keluarga. Upaya atau strategi ini dilakukan buruh tani perempuan akibat pekerjaan yang dapat ia lakukan di pertanian telah tergeser oleh adanya teknologi. Dengan mengambil tindakan-tindakan yang dianggap paling bijaksana sekalipun telah mereka lakukan guna untuk dapat menghidupi keluarganya walaupun dengan penghasilan yang minim sekalipun, daripada harus beralih ke sektor lain. Setelah mengambil tindakan-tindakan teknis yang bijaksana sekalipun, keluarga petani harus tetap dapat bertahan menghadapi tahuntahun berikutnya. Untuk tetap bertahan hidup inilah menurut Scott dengan etika subsistensi, mereka para petani dapat melakukan pertama,
25 26
Jere R. Behrman. Ibid. Hlm 29-30 Gourour, Pierre. Dalam Scott (1981). Hlm 32
23
mengikat sabuk mereka lebih kencang lagi dengan jalan makan hanya sekali sehari dan beralih kemakanan yang mutunya lebih rendah. Akan tetapi jika krisinya semakin berlarut maka dengan siasat itu ia tidak akan dapat bertahan lama. Selanjutnya kedua, pada tingkat keluarga melakukan “swadaya” yakni mencakup kegiatan-kegiatan seperti berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai buruh lepas, atau bermigrasi (pekerjaan-pekerjaan sampingan).27 Banyak sekali jaringan (sanak-saudara, kawan) dan lembaga luar dari lingkungan keluarga (negara) yang dapat atau seringkali berfungsi sebagai peredam kejutan selama mengalami krisis ekonomi dalam kehidupan petani. Namun, dengan swadaya inilah strategi yang paling dapat diandalkan tanpa harus tergantung dengan bantuan dari pihak lain. Beralih ke norma resiproritas dimana petani mulai menghendaki adanya bantuan dari anggota masyarakat lain (diluar sanak-saudara) yang memiliki nilai-nilai dan kontrol sosial yang sama dalam semangat gotong-royong.28 Kondisi yang sudah melingkupi kehidupan petani selama berabad-abad lamanya itu pada akhirnya membentuk pandangan hidup mereka tentang dunia dan lingkungan sosialnya. Pandangan hidup inilah yang memberi arah kepada petani tentang bagaimana menyiasati bukan mengubah– kondisi dan tekanan yang datang dari lingkungan alam dan sosialnya melalui prinsip dan cara hidup yang berorientasi pada
27
Ibid hlm 40 Resiproritas; diperiferi jaringan kekerabatan saling bantu mungkin mulai kurang dapat diandalkan, dibandingkan dengan di antara para tetangga-tetangga yang tidak mempunyai hubungan keluarga. Dalam Scott (1981). Hlm 41 28
24
keselamatan prinsip mengutamakan selamat dan menghindari setiap resiko yang dapat menghancurkan hidupnya. Kondisi yang membentuk karakter dan ciri khas petani pedesaan sebagaimana terurai di atas telah melahirkan apa yang oleh Scott dinamakan “etika subsistensi”, yakni kaidah tentang “benar dan salah”, yang membimbing petani dan warga komunitas desa mengatur dan mengelola sumber-sumber kehidupannya (agraria) dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka di dalam komunitas.
G. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Pada penelitian ini digunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Menurut Bogdan dan Tylor penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. Penulisan ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data berupa katakata hasil wawancara yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi sebuah kunci.29 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus, dimana peneliti menggali suatu fenomena tertentu (kasus) dalam suatu waktu dan kegiatan (program, even, proses, institusi atau kelompok sosial) serta mengumpulkan informasi secara terinci dan mendalam dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama
29
Bogdan dan Tylor. 1990. Qualitative Research , Techniques and procedures
25
periode tertentu.30 Fokus studi kasus adalah spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan. Lebih lanjut John W. Creswell mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu : (1) mengidentifikasi kasus untuk suatu studi; (2) Kasus tersebut merupakan sebuah sistem yang terikat oleh waktu dan tempat; (3) Studi kasus menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa, dan (4) Menggunakan pendekatan studi kasus ini, peneliti menggambarkan konteks atau setting untuk suatu kasus.31 Dalam penelitian ini yang menjadi pokok kasus adalah masyarakat pertanian di Desa Gadingsari yang notabene merupakan masyarakat yang mayoritas adalah buruh tani dan tergolong dalam ekonomi kelas menengah bawah. Sementara itu, Robert K. Yin (2003a, 2009) membagi penelitian studi kasus secara umum menjadi 2 (dua) jenis, yaitu penelitian studi kasus dengan menggunakan kasus tunggal dan jamak/ banyak. Disamping itu, ia juga mengelompokkannya berdasarkan jumlah unit analisisnya, yaitu penelitian studi kasus holistik (holistic) yang menggunakan satu unit analisis dan penelitian studi kasus terpancang (embedded) yang menggunakan beberapa atau banyak unit analisis. Penelitian studi kasus disebut terpancang (embedded), karena terikat
30
John W.Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Tradition. (London: SAGE Publications, 1998), hlm. 37-38 31
Ibid. Hlm 36
26
(terpancang) pada unit-unit analisisnya yang telah ditentukan. Unit analisis itu sendiri dibutuhkan untuk lebih memfokuskan penelitian pada maksud dan tujuannya. Penentuan unit analisis ditentukan melalui kajian teori. Sementara itu, pada penelitian studi kasus holistik, penelitian dilakukan lebih bebas dan terfokus pada kasus yang diteliti dan tidak terikat pada unit analisis, karena unit analisisnya menyatu dalam kasusnya itu sendiri. Jika dikaitkan antara kedua cara pengelompokkan tersebut, maka jenis-jenis penelitian studi kasus dapat disusun ke alam suatu matriks 2x2. Dengan demikian, menurut Robert K. Yin penelitian studi kasus dapat terdiri dari 4 (empat) jenis. Untuk lebih jelasnya, hubungan antar kedua pengelompokkan tersebut ditunjukkan pada gambar matriks jenisjenis penelitian studi kasus berikut ini:
Gambar 1. Jenis-jenis Dasar Penelitian Studi Kasus (Sumber: Yin, 2009, 46)
27
Jika dibuatkan dalam suatu diagram, jenis-jenis penelitian studi kasus menurut Robert K. Yin ini dapat digambarkan pada diagram di bawah ini. Pada diagram tersebut juga dapat dilihat contoh judul-judul penelitian yang menggambarkan isi dari masing-masing jenis.
Gambar 2. Jenis-jenis Penelitian Studi Kasus Menurut Robert K. Yin (Sumber: Yin, 2009, 46)
Berpedoman pada jenis penilitian yang telah dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi kasus terpancang (embedded) dengan tipe single-case design. Dalam hal ini peneliti mengkaji bagaimana proses mekanisasi pertanian yang menggeser tenaga buruh tani perempuan dalam memperoleh akses pekerjaan di pertanian on farm maupun off farm, sehingga buruh tani perempuan harus memiliki strategi lain dalam mendapatkan income untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
b. Lokasi dan Waktu Penelitian
28
Lokasi penelitian berada di Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul. Di Desa Gadingsari terdiri atas 20 dusun yang merupakan daerah yang lahan pertaniannya cukup luas dan potensial. Lokasi penelitian ini dipilih karena sebagian besar dari masyarakat di Desa Gadingsari adalah buruh tani dan mayoritas dari mereka adalah termasuk dari golongan eonomi kelas menengah ke bawah. Selain itu, mudahnya peneliti untuk mengakses lokasi penelitian juga menjadi alasan pemilihan lokasi. Kegiatan penelitian ini dilakukan pada periode penyusunan tugas akhir dan skripsi pada bulan April – November 2015.
c. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Adapun jenis dan Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data Primer Data primer merupakan data yang diperoleh dari informan secara langsung yang terkait dalam penelitian. Menurut Keller, dkk (dalam Silalahi, 2010) data primer adalah data yang dikumpulkan dari situasi aktual ketika peristiwa terjadi.32 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan data primer secara langsung dari subjek penelitian untuk mendapatkan data yang sifatnya konkrit. Selain itu dilakukan pengamatan langsung pada aktivitas informan secara terarah. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
32
Dr. Ulber Silalahi, 2010. Metode Penelitian Sosial. Hlm 289
29
1) Observasi Observasi adalah suatu teknik penumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung terhadap subjek dimana seharihari mereka berada dan biasa melakukan aktivitasnya. Pengamatan ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui lebih dalam obyek penelitiannya. Buruh tani perempuan sebagai informan dalam penelitian ini bersifat terbuka dan tertutup, sehingga peneliti perlu dalam mengamati kegiatan keseharian agar mendapat gambaran tentang kondisi yang senyatanya. Observasi juga dapat memberikan gambaran kondisi wilayah penelitian, serta dapat mengurangi kecanggungan pada tahap berikutnya. Pada tahap awal penelitian, peneliti melakukan observasi partisipan pada buruh tani perempuan (yang sudah berkeluarga) yang sedang mencari pekerjaan pada pemilik lahan untuk menggarap sawah. Melalui pengamatan tersebut, dapat ditemukan informan yang memenuhi kriteria, yang selanjutnya menjadi informan kunci. Demikian seterusnya, observasi dilakukan untuk memverifikasi
informan-informan
berikutnya
yang
diperoleh
dengan menggunakan rujukan dari informan kunci.
2) Wawancara Mendalam (In Depth interview) Wawancara
adalah
metode
pengumpulan
data
dengan
mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada informan dan jawaban-jawaban informan dicatat dan direkam. Wawancara ini digunakan untuk mencari dan mengumpulkan data. 30
Sedangkan wawancara mendalam digunakan untuk menggali informasi lebih dalam, atau menggali tambahan informasi apabila jawaban informan tidak jelas dengan menyampaikan pertanyaan yang tepat dan netral. Langkah-langkah wawancara yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut: (1) peneliti terlebih dahulu memverifikasi pemenuhan kriteria informan melalui observasi; (2) peneliti membuat daftar pertanyaan (interview guide). Panduan wawancara ini
digunakan
sebagai
acuan
percakapan
tanpa
menutup
kemungkinan adanya hal-hal baru yang ditanyakan kemudian ketika sesi
wawancara
berlangsung;
(3)
Peneliti
melangsungkan
wawancara dengan informan yang disesuaikan dengan waktu dan situasi mereka. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan pada Bulan Mei – Juni 2015. Wawancara mendalam dilakukan kepada 5 informan dari para buruh tani perempuan yang berlatar belakang dari ekonomi kelas bawah. Wawancara juga dilakuakan pada buruh tani laki-laki, petani atau pemilik lahan, dan stakeholder/ pemerintah desa setempat. Adapun karakteristik informan utama dari buruh tani perempuan adalah sebagai berikut: 1. Buruh tani perempuan yang memiliki suami yang bekerja juga sebagai buruh tani. 2. Buruh tani perempuan yang memiliki suami yang bekerja selain buruh tani. (kuli bangunan, karyawan pabrik, dan petani).
31
3. Buruh tani perempuan yang sudah tidak memiliki suami, namun masih memiliki anak yang masih menjadi tanggungannya (masih sekolah/ belum bekerja).
3) Dokumentasi Teknik ini dilakukan untuk mendokumentasikan segala peristiwa atau kejadian pada saat penelitian berlangsung, meliputi hasil gambar, rekaman, bukti tertulis, dan membuat catatan lapangan selama penelitian di Desa Gadingsari. Hasil dokumentasi yang dilampirkan dalam penelitian ini berupa bukti foto beberapa informan, foto kondisi rumah, foto kegiatan yang dilakukan pada saat bekerja sebagai buruh tani, serta foto saat beraktivitas diluar pertanian.
2. Data Sekunder Menurut Emory (dalam Silalahi, 2010:291) data sekunder merupakan data yang dikumpulkan melalui sumber-sumber lain yang tersedia. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi terhadap pustaka (berupa artikel, buku, dan media cetak), serta sumber referensi dari internet yang berkaitan dengan tema penelitian. Data pendukung juga digunakan peneliti yang didapat dari pihak kantor Desa Gadingsari yang berkaitan dengan data monografi dan kependudukan. Selanjutnya data dari BPS D.I Yogyakarta yang berkaitan dengan persentase jumlah pekerja di pedesaan berdasarkan jenis kelamin, usia dan juga berdasar pada jenis sektor pekerjaan. 32
Juga data dari hasil laporan penelitian, jurnal dan online database yang berkaitan dengan penelitian tentang stigma kultural masyarakat pedesaan terhadap pertanian, juga yang berkaitan dengan mekanisasi pertanian dan peran perempuan dalam memenuhi kebutuhan perekonomian keluarga.
d. Validitas Data Validitas data ini penting dilakukan agar data yang diperoleh di lapangan dapat di pertanggungjawabkan keaslian dan kebenarannya. Oleh sebab itu dalam teknik pemeriksaan keabsahan data penulis menggunakan tiga cara:33 1) Triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. 2) Ketekunan pengamatan, dimaksudkan untuk menemukan ciri dan unsur dalam situasi yang relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal itu secara lebih rinci dan mendalam. 3) Pemeriksaan melalui forum diskusi dengan dosen pembimbing secaras sederhana yang dilakukan untuk berbagi dan bertukaran pikiran sehingga masukan-masukan baik kritik ataupun saran yang masuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penulisan.
33
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Hlm 269
33
e. Teknik Analisis Data Menurut Creswell, untuk studi kasus seperti halnya etnografi analisisnya terdiri dari “deskripsi terinci” tentang kasus beserta settingnya. Apabila suatu kasus menampilkan kronologis suatu peristiwa maka menganalisisnya memerlukan banyak sumber data untuk menentukan bukti pada setiap fase dalam evolusi kasusnya. Terlebih lagi untuk setting kasus yang “unik”, kita hendaknya menganalisa informasi untuk menentukan bagaimana peristiwa itu terjadi sesuai dengan settingnya.34 Stake
mengungkapkan
empat
bentuk
analisis
data
beserta
interpretasinya dalam penelitian studi kasus, yaitu: 1) Pengumpulan kategori , peneliti mencari suatu kumpulan dari contoh-contoh data serta berharap menemukan makna yang relevan dengan isu yang akan muncul; 2) interpretasi langsung, peneliti studi kasus melihat pada satu contoh sertamenarik makna darinya tanpa mencari banyak contoh. Hal ini merupakan suatu proses dalam menarik data secara terpisah dan menempatkannya
kembali
secara
bersama-sama
agar
lebih
bermakna; 3) Peneliti membentuk pola dan mencari kesepadanan antara dua atau lebih kategori. Kesepadanan ini dapat dilaksanakan melalui tabel 2x2 yang menunjukkan hubungan antara dua kategori;
34
Creswell. 1998 : hlm 153
34
4) Peneliti mengembangkan generalisasi naturalistik melalui analisa data, generalisasi ini diambil melalui orang-orang yang dapat belajar dari suatu kasus, apakah kasus mereka sendiri atau menerapkannya pada sebuah populasi kasus. Keberadaan penelitian studi
kasus terpancang/terjalin ini
sebenarnya menunjukkan bahwa penelitian studi kasus dapat diarahkan pada fokus tertentu, sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, yaitu dengan menggunakan unit analisis. Jadi, unit analisis sebenarnya merupakan bentuk upaya dari pengarahan penelitian studi kasus tersebut. Unit analisis itu ditentukan melalui kajian teori. Dengan demikian, penelitian studi kasus terpancang merupakan penelitian studi kasus yang menggunakan paradigma positivistik. Teknik menganalisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mengumpulkan data-data hasil temuan lapangan setelah melakukan wawancara secara mendalam (in-dept interview) dengan para buruh tani perempuan di Desa Gadingsari yang berkaitan dengan proses mekanisasi pertanian yang berlangsung dan kaitannya dalam mendapatkan akses pekerjaan di sektor pertanian on farm. Data sekunder yang berkaitan dengan data pertanian BPS D.I Yogyakarta, data monografi dari Desa Gadingsari serta studi literatur berkaitan dengan pergeseran kegiatan ekonomi pertanian. Dari hasil wawancara dari para informan, data dari BPS D.I Yogyakarta atau Bantul data monografi Desa Gadingsari, kemudian peneliti
melakukan
pemilihan
data-data
tersebut
(coding
data)
berdasarkan kebutuhan penelitian tentang strategi buruh tani perempuan 35
dalam memenuhi perekonomian keluarga ditengah mekanisasi pertanian. Selanjutnya memusatkan perhatian pada penyederhanaan data yang diperoleh
sesuai
dengan
rumusan
masalah
yang
ada,
dan
mengabstraksikan serta menafsirkan data-data tersebut sesuai kebutuhan penelitian. Data-data primer maupun sekunder yang sudah dipilih terlebih dahulu sesuai dengan kebutuhan penelitian yang berkaitan dengan masalah di atas kemudian dianalisis dengan menggunakan landasan Teori Masyarakat Resiko (Risk Society) dari Ulrich Beck dan TeoriEtika Subsistensi dari James C. Scott.
f. Sistematika Penulisan Hasil data dari penelitian disajikan dalam bentuk penjelasan data dengan uraian kalimat temuan dan analisa. Bentuk dari penyajian data tertulis dalam lima bab. Pada Bab 1 adalah pendahuluan, merupakan awal penulisan skripsi yang dimulai dengan latar belakang masalah, rumusan
masalah,
tujuan
penelitian tinjauan
pustaka,
kerangka
teoritik, metode penelitian, dan sistematika penyusunan skripsi yang peneliti gunakan. Bab berikutnya adalah Bab II, mengenai obyek penelitian, termasuk didalamnya menjelaskan kondisi demografi maupun monografi wilayah penelitian yaitu Desa Gadingsari Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, serta profil informan. Bab selanjutnya adalah Bab III, mekanisasi pertanian yang terjadi di Desa Gadingsari memberikan dampak pada kehidupan pelaku usaha tani khususnya buruh tani perempuan. Pada bagian ini mulai masuk menyajikan data hasil penelitian dari dampak tersebut yang pada dasarnya mendeskripsikan 36
jawaban dari rumusan masalah pertama yakni “Apa dampak mekanisasi pertanian padi bagi perekonomian keluarga buruh tani perempuan?”. Kemudian pada Bab IV yaitu menjelaskan dan mendeskripsikan mengenai strategi yang dilakukan buruh tani perempuan atas dampak dari adanya mekanisasi dibidang pertanian, juga menjawab pada rumusan yang kedua yakni “Bagaimana strategi buruh tani perempuan dalam memenuhi perekonomian keluarga ditengah berkembangnya proses mekanisasi pertanian?” Dan pada Bab V terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dari seluruh hasil analisis lapangan beserta beberapa catatan saran tentang hasil penelitian.
37