BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman pada saat ini menyebabkan terjadinya globalisasi
dan ekonomi inovasi telah menghasilkan ekonomi global yang memiliki tingkat persaingan yang semakin tinggi antar perusahaan. Dalam menghadapi persaingan tersebut perusahaan – perusahaan harus dengan cepat mengubah strategi bisnisnya dari bisnis yang berbasis tenaga kerja (labor-based business) menjadi bisnis berdasarkan pengetahuan (knowledge-based business), sehingga karakteristik utama
perusahaannya
menjadi
perusahaan
berbasis
ilmu
pengetahuan. Dalam masyarakat yang berbasis pengetahuan, menurut Sullivan dan Sullivan (2000), merupakan bagian besar dari nilai produk serta kekayaan perusahaan. Dengan adanya masyarakat pengetahuan (knowledge society) telah mengubah penciptaan dari nilai organisasi itu sendiri. Masa depan dan ospek dari organisasi akan sangat bergantung pada bagaimana kemampuan manajemen untuk mendahyagunakan the hidden value (nilai-nilai yang tidak tampak) dari aset yang tidak berwujud. Munculnya “new economy” yang secara prinsip didorong oleh perkembangan teknologi informasi dan ilmu pengetahuan, juga telah memicu tumbuhnya minat dalam intellectual capital (Petty dan Guthrie, 2000; Bontis, 2001). Salah satu area yang menjadi perhatian baik akademis maupun praktisi adalah yang terkait dengan kegunaan Intellectual Capital (IC) sebagai salah satu
Universitas Sumatera Utara
instrument untuk menilai perusahaan (Edvinsson dan Malone, 1997; Sveiby, 2001). Hal ini telah menjadi isu yang berkepanjangan, dimana beberapa peneliti menyatakan bahwa manajemen dan sistem pelaporan yang telah ada selama ini secara berkelanjutan kehilangan relavansinya karena tidak mampu menyajikan informasi yang esensial bagi eksekutif untuk mengelola proses yang berbasis pengetahuan (knowledge-based business) dan intangible resources (Bornemann dan Leitner,2002). Secara historis, perbedaan antara aset tidak berwujud dengan IC tidak jelas, karena disebut sebagai “goodwill” (Tan et al., 2007). Hal ini dapat ditelusuri pada awal tahun 1980-an ketika catatan dan pemahaman umum tentang nilai intangible, biasanya sering disebut sebagai goodwill, mulai tampak dalam praktek bisnis dan akuntansi (International Federation of Accountants, 1998 dalam Tan et al., 2007). Dalam penulusuran pencatatan intangible tersebut, praktik akuntansi tradisional tidak menyediakan identifikasi dan pengukuran aset tidak berwujud dalam organisasi, terutama organisasi berbasis pengetahuan (International Federation of Accountants, 1998 dalam Tan et al., 2007; Tan et al., 2007). Jenis intangible baru seperti kompetensi staf, hubungan dengan pelanggan, model simulasi, dan sistem administrasi tidak memperoleh pengakuan dalam model keuangan tradisional dan pelaporan manajemen (Tan et al., 2007). Hal ini sangat menarik karena beberapa intangible tradisional, seperti pemilikan merk, paten, dan goodwill masih jarang dilaporkan didalam laporan keuangan (International Federation of Accountants, 1998 dalam Tan et al., 2007). Dalam kenyataannya,
Universitas Sumatera Utara
IAS 38 tentang Intangible Assets melarang pengakuan untuk merk internal yang diciptakan secara internal seperti logo (mastheads), publishing titles ( judul publikasi), dan daftar pelanggan (International Accounting Standards Board, 2004). Menurut International Federation of Accountants (IFAC), intellectual capital sinonim dengan intellectual property (kekayaan intelektual), intellectual asset (aset intelektual), dan knowledge asset (aset pengetahuan). Modal ini dapat dipahami sebagai modal yang berbasis pada pengetahuan yang dimiliki oleh perusahaan. IFAC juga mengestimasikan pada saat ini 50-90 persen nilai dari perusahaan ditentukan oleh manajemen atas intellectual capital bukan manajemen terhadap aset tetap yang dimiliki. Intellectual Capital (IC) di Indonesia mulai berkembang terutama setelah munculnya PSAK No.19 (revisi 2002) tentang aset tak berwujud. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit sebagai IC, namun IC telah mendapat perhatian lebih pada saat ini. Menurut PSAK No. 19, aset tidak berwujud adalah aset non-moneter
yang dapat diidentifikasi dan tidak
mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Salah satu persoalan yang penting dihadapi sekarang adalah bagaimana untuk mengukur aset tidak berwujud atau modal intelektual. Hal ini berlawanan dengan meningkatnya kesadaran akan pengakuan IC untuk mendorong nilai dan keunggulan kompetitif perusahaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
Universitas Sumatera Utara
akan tetapi pengukuran terhadap IC perusahaan belum dapat ditetapkan secara tepat pada saat ini. Ada banyak konsep pengukuran model intelektual yang dikembangkan oleh para peneliti pada saat ini, dan salah satunya adalah model yang dikembangkan oleh Pulic. Pulic (1998, 2000) dalam Tan et al. (2007) mengembangkan “Value Added
Intelectual Coefficient” (VAICTM) yang dapat digunakan untuk
mengukur Intellectual Capital (IC) perusahaan. Komponen utama dari VAICTM dapat dilihat dari sumber daya perusahaan, yaitu physical capital (VACA-value added capital employed), human capital (VAHU-value added human capital), dan structural capital (STVA-structural capital value added). Menurut Pulic (1998), tujuan utama dalam ekonomi yang berbasis pengetahuan adalah untuk menciptakan value added. Sedangkan untuk menciptakan value added dibutuhkan ukuran yang tepat tentang physical capital (yaitu dana-dana keuangan) dan intellectual potential (dipresentasikan oleh karyawan dengan segala kemampuan dan potensi yang di dimiliki seluruh karyawan). Lebih lanjut Pulic (1998) menyatakan bahwa intellectual ability (yang kemudian disebut dengan VAICTM) menunjukkan bagaimana kedua sumber daya tersebut (physical capital dan intellectual potential) telah secara efisiensi dimanfaatkan oleh perusahaan. Mavridis (2004) dan Kamath (2007) memilih khusus sektor perbankan sebagai sampel penelitian. Hasil kedua penelitian ini menunjukkan bahwa VAICTM dapat dijadikan sebagai instrument untuk melakukan pemeringkatan terhadap sektor perbankan di Jepang dan India berdasarkan kinerja IC-nya.
Universitas Sumatera Utara
Mavridis (2004) dan Kamath (2007) mengelompokkan bank (berdasarkan kinerja IC) dalam empat kategori, yaitu (1) top performance, (2) good performance, (3) common performance, (4) bad performance. Di Indonesia, Ulum (2007) telah menguji hubungan IC terhadap kinerja keuangan perusahaan sektor perbankan. Hasilnya membuktikan bahwa intellectual capital berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan sektor perbankan. Intellectual capital juga berpengaruh terhadap kinerja keuangan masa depan perusahaan sektor perbankan. Tetapi rate of growth of intellectual capital (ROGIC) tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan masa depan. Ramadhan (2009) meneliti pengaruh intellectual capital terhadap kinerja perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia tahun 2002 – 2007. Kinerja perusahaan diukur dengan market to book value (MB), return on asset (ROA), return on equity (ROE), employee productivity (EP). Hasil penelitiannya adalah terdapat pengaruh intellectual capital terhadap kinerja perusahaan. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan ternyata menunjukkan hasil yang berbeda mengenai pengaruh intellectual capital terhadap nilai pasar dan kinerja perusahaan. Perbedaan perkembangan dan penggunaan teknologi mungkin dapat mengakibatkan perbedaan dalam penggunaan intellectual capital di berbagai negara. Tingkat penggunaan intellectual capital yang berbeda menyebabkan perbedaan kinerja keuangan perusahaan dan kemampuan perusahaan dalam menciptakan nilai.
Universitas Sumatera Utara
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat dua perbedaan. Perbedaan pertama terdapat pada pemilihan proksi variabel dependen. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rofi Farih (2010) proksi untuk mengukur kinerja perusahaan menggunakan Capital Adequency Ratio (CAR), Non Performing Loans (NPL), Net Profit Margin (NPM), dan Loan to Deposit Ratio (LDR) sedangkan dalam penelitian ini proksi variabel untuk mengukur kinerja perusahaan menggunakan Return on Asset (ROA). Perbedaan pemilihan proksi ini dikarenakan untuk mengukur kinerja perusahaan perbankan dengan menggunakan ROA kita dapat merefleksikan keuntungan bisnis dan efisiensi perusahaan dalam pemanfaatan total aset. Perbedaan yang kedua dalam penelitian ini terdapat pada jumlah tahun yang digunakan sebagai sampel penelitian. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan Rofi Farih (2010) jumlah tahun yang digunakan sebagai sampel penelitian mulai tahun 2007-2008 sedangkan dalam penelitian ini jumlah tahun yang digunakan sebagai sampel penelitian mulai tahun 2007-2010. Metode Pulic dipakai dalam mengukur intellectual capital karena seluruh informasi tersedia di laporan keuangan. Sektor perbankan dipilih sebagai sampel dalam penelitian ini karena perbankan merupakan salah satu industri yang termasuk dalam kategori industri berbasis pengetahuan (knowledge basedindustries)
yaitu
industri
yang
memanfaatkan
inovasi-inovasi
yang
diciptakannya sehingga memberikan nilai tersendiri atas produk dan jasa yang dihasilkan bagi konsumen.
Universitas Sumatera Utara
1.2
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka
masalah penelitian ini selanjutnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah Human Capital Efficiency (HCE) mempengaruhi Return on Asset (ROA)? 2. Apakah Structural Capital Efficiency (SCE) mempengaruhi Return on Asset (ROA)? 3. Apakah Capital Employed Efficiency (CEE) mempengaruhi Return on Asset (ROA)? 4. Apakah Human Capital Efficiency (HCE), Structural Capital Efficiency (SCE) dan Capital Employed Efficiency (CEE) mempengaruhi Return on Asset (ROA)? 1.3
Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut : 1. Untuk menganalisis pengaruh Human Capital Efficiency (HCE) terhadap Return on Asset (ROA). 2. Untuk menganalisis pengaruh Structural Capital Efficiency (SCE) terhadap Return to Asset (ROA). 3. Untuk menganalisis pengaruh Capital Employed Efficiency (CEE) terhadap Return on Asset (ROA).
Universitas Sumatera Utara
4. Untuk menganalisis pengaruh Human Capital Efficiency (HCE), Structural Capital Eficiencyi (SCE), dan Capital Employed Eficiencyi (CEE) terhadap Return to Asset (ROA). 1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian mengenai Intellectual Capital (IC) ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Dapat menjadi bahan tambahan referensi dan bahan pengembangan penelitian selanjutnya mengenai faktor-faktor Intellectual Capital (IC) terhadap kinerja suatu perusahaan. 2. Bagi manajemen perusahaan di Indonesia dapat menjadi masukan dan dorongan betapa pentingnya nilai dari Intellectual Capital (IC) dalam kegiatan
operasional
perusahaan
dalam
mencapai
Competitive
Advantage. 3. Bagi perusahaan perbankan di Indonesia dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam
menyusun
anggaran,
khususnya
dalam
mengalokasikan anggaran yang berkaitan dengan Intellectual Capital (IC)
Universitas Sumatera Utara