BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kehidupan manusia memiliki dua segi dimana manusia sebagai perorangan dan manusia sebagai makhluk sosial. Perkembangan jaman menuntun manusia ke dalam permasalahan yang datang silih berganti. Manusia dililit oleh masalah yang diproduksinya sendiri baik masalah sebagai perorangan maupun masalah sosial. Dengan berkembangnya
jaman, baik dalam bidang ilmu
pengetahuan maupun teknologi menyebabkan manusia itu tidak sepenuhnya bisa menerima sehingga kewalahan mengahadapi kemajuan perkembangan jaman. Banyak dampak positif yang dirasakan tetapi tidak luput juga dari adanya dampak negatif yang timbul, seperti banyak terjadi tindakan kriminal dan perilakuperilaku yang tidak sesuai dengan norma. Hal itu terjadi karena seseorang sudah kehilangan arah dan tujuan dan memiliki nafsu dan hasrat yang berlebihan yang tidak bisa dikendalikannya. Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut
sebagai
menyebabkan
penyelewengan terhadap terganggunya
ketertiban
norma terhadap
yang telah
disepakati
kehidupan
manusia.
Penyelewengan norma yang berlaku dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kejahatan dalam ruang lingkup hukum pidana dan kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkah oleh negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi akan tetapi sulit diberantas secara
1
2
tuntas.1 Indonesia sediri merupakan negara berdasarkan atas hukum (Rechtstaat). Hal tersebut tertuang dalam penjeasan Undang-Undang Dasar 1945 dan dipertegas dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke-3 Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan Negara Indonesia adalah negara hukum. Walaupun Negara Indonesia berdasarkan atas hukum, tetapi kriminalitas berkembang sejalan dengan bertambahnya penduduk, pembangunan, modernisasi, dan urbanisasi. Sehingga dikatakan bahwa perkembangan kota selalu disertai dengan perkembangan kualitas dan kuantitas kriminalitas.2 Permasalahan kriminalitas sebagai suatu kenyataan sosial yang tidak dapat dihindari, sehingga wajar menimbulkan keresahan di masyarakat karena mengganggu kesejahteraan penduduk baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Kesuksesan pembangunan yang di laksanakan oleh setiap negara sangat bergantung terhadap besar kecilnya hambatan dari kriminalitas. Peran dari masyarakat yang aktif terhadap proses pembangunan akan maksimal apabila keiminalitas bisa ditekan serendahrendahnya. Kriminalitas memberikan kerugian baik kerugian ekonomi, fisik, moral dan psikologis. Untuk menurunkan tingkat kriminalitas dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan meningkatkan kekuatan kepolisian, maupun dengan penegakkan sanksi atau hukuman yang tegas berupa penjara dan/atau denda.
1
Natangsa Surbakti, 2005, Filsafat Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, hal. 4. 2 Arif Gosita, 2009, Masalah Korban Kejahatan, Universitas Trisakti, Jakarta, hal.271.(selanjutnya disebut Arif Gosita 1)
3
Salah satu permasalahan kriminalitas yang meresahkan masyarakat yaitu tindak pidana perkosaan. Istilah "perkosaan" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan 1) Paksa, 2) gagah, kuat, perkasa. Sedangkan memperkosa berarti menundukan dengan kekerasan, menggagahi, melanggar dengan kekerasan. Tindakan ini dianggap melanggar hukum yang berlaku.3 Sebagai Negara hukum, Indonesia secara tegas memberikan sanksi pidana maksimal kepada pelaku tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan (Pasal 281 s/d 296), tindak pidana perkosaan secara khusus diatur dalam Pasal 285 yang menyatakan, barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, perkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seseorang lelaki terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar.4 Sedangkan menurut R.Sugandhi, yang dimaksud dengan perkosaan adalah seseorang pria yang memaksa pada seorang wanita bukan isterinya untuk melakukan persetubuhan dengannya dengan ancaman kekerasan, yang mana
3
Abdul Wahid & Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, Refika Aditama, Bandung, hal.40. 4 Ibid
4
diharuskan kemaluan pria telah masuk ke dalam lubang kemaluan seorang wanita yang kemudian mengeluarkan air mani.5
Dari kedua defisini tersebut memiliki persamaan yaitu pelaku merupakan seorang pria dan wanita sebagai korbannya.Korban dalam hal inimemiliki definisi yaitu mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. "Mereka" disini dapat berarti individu, atau kelompok baik swasta maupun pemerintah.6 Secara umum faktor-faktor penyebab terjadinya perkosaan di masyarakat diantaranya: 1. Pengaruh perkembangan budaya yang semakin tidak menghargai etika berpakaian yang menutup aurat, yang dapat merangsang pihak lain untuk berbuat tidak senonoh dan jahat. 2. Gaya hidup atau mode pergaulan diantara laki-laki dengan perempuan yang semakin bebas, tidak atau kurang bisa lagi membedakan antara yang seharusnya boleh dikerjakan dengan yang dilarang dalam hubungannya dengan kaedah akhlak mengenai hubungan laki-laki dengan perempuan. 3. Rendahnya pengamalan dan penghayatan terhadap norma-norma keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat. Nilai-nilai keagamaan yang semakin terkikis di masyarakat atau pola relasi horizontal yang cenderung makin meniadakan peran agama adalah sangat potensial untuk mendorong seseorang berbuat jahat dan merugikan orang lain. 4. Tingkat kontrol masyarakat (social control) yang rendah, artinya berbagai perilaku yang diduga sebagai penyimpangan, melanggar hukum dan norma keagamaan kurang mendapatkan responsi dan pengawasan dari unsurunsur masyarakat. 5. Putusan hakim yang terasa tidak adil, seperti putusan yang cukup ringan dijatuhkan pada pelaku. Hal ini dimungkinkan dapat mendorong anggota5 6
Ibid hal.41. Arif Gosita, Op.Cit., hal.90.
5
anggota masyarakat lainnya untuk berbuat keji dan jahat. Artinya mereka yang hendak berbuat jahat tidak merasa takut lagi dengan sanksi hukum yang akan diterimanya. 6. Ketidakmampuan pelaku untuk mengendalikan emosi dan nafsu seksualnya. Nafsu seksualnya dibiarkan mengembara dan menuntutnya untuk dicarikan kompensasi pemuasnya. 7. Keinginan pelaku untuk melakukan (melampiaskan) balas dendam terhadap sikap, ucapan(keputusan) dan perilaku korban yang dianggap menyakiti dan merugikannya.7 Melihat dari faktor-faktor yang diuraikan tersebut, pelajar menjadi yang paling rentan menjadi korban perkosaan karena pertama, remaja khususnya pe menganggap berpakaian yang memperlihatkan aurat merupakan mode masa kini yang wajib untuk diikuti, sedangkan cara berpakaian itulah yang mengundang orang lain untuk melakukan perkosaan. Kedua, bergesernya gaya hidup pergaulan dimana antara laki-laki dan perempuan semakin bebas yang tidak memperhatikan batasan-batasan sesuai dengan norma-norma keagamaan yang ada di dalam masyarakat. Ketiga, masa remaja merupakan masa mencari teman sebanyakbanyaknya sehingga diperlukan peran orang tua, perkosaan terjadi apabila orang tua tidak turut melaksanakan pengawasan terhadap pemilahan teman-teman pergaulannya maupun kehidupan media sosialnya. Dengan banyaknya kasus perkosaan khususnya terhadap pelajar saat ini, perkosaan dapat diawali dari praktik intimidasi, penyalahgunaan kepercayaan dalam pergaulan remaja dan hilangnya hati nurani pelakunya. Masyarakat seringkali memberikan stigmasisasi / tanggapan yang kurang simpatik terhadap
7
Abdul Wahid & Muhammad Irfan , Op.Cit., hal 72.
6
korban perkosaan dan berusaha menjauhi korban perkosaan. Beberapa kasus perkosaan yang mencerminkan hal tersebut diantaranya: 1. "Siswi SMP dijual Kawannya Sendiri", Sebut saja namanya Lusi (14 tahun), siswi SMP PGRI Waru Sidoarjo, dijual kawannya sendiri bernama Ninik dan Minati. Gadis malang ini dijual kepada seorang pemuda bernama Doni (27 tahun) bulan Juli 2000, kemudian dibawa ke Hotel Malibu di jalan Ngagel dan diperkosa disana. Lusi dibawa ke Hotel Malibu oleh Minati dan Ninik setelah puas jalan-jalan keliling kota, Lusi dimasukkan ke sebuah kamar oleh Minati dan Ninik. Selang berapa menit, Doni mengikutinya ke dalam kamar. Saat itulah Lusi dipaksa melayani nafsu seks Doni. Minati membungkan mulut Lusi, sementara Ninik memegangi tangannya, kemudian Doni menodainya.8 2. Kasus yang sama dialami gadis Banyuurip Wetan, sebut saja Dewi (16 tahun). Dewi dijual Supriatini yang juga masih kawannya sendiri kepada seorang laki-laki yang punya Wisma di lokalisasi Dolly. Setelah lebih dulu dinodai oleh Dadang, ia akhirnya dijual paksa atau diintimidasi agar melayani tamu-tamu hidung belang.9 3. Seorang siswi SMP di Depok, Jawa Barat dilaporkan hilang oleh orang tuanya. Ia diculik dan diperkosa oleh seseorang yang dikenalnya lewat Facebook. Selama dibawa penculik yang merupakan kenalannya di Facebook, korban sempat diperkosa sebanyak empat kali dan juga dicekok dengan minuman keras. Korban tidak bisa melarikan diri karena diancam dinbunuh oleh penculiknya yang merupakan sopir angkot. Dia selamat setelah dicampakkan pelaku di Terminal Depok. Setelah kejadian tersebut, kesedihan korban semakin bertambah ketika siswi tersebut dikeluarkan dari sekolahnya. Hal itu disampaikan oleh pihak sekolah pada saat siswi tersebut mengikuti upacara bendera.10 4. Aura seorang korban perkosaan yang dilakukan oleh abang kandungnya sendiri, yang kemudian melahirkan bayi perempuan di kebun sawit belakang sekolahnya, dikeluarkan dari sekolahnya SMP Negeri 1 Sinunukan. Pemberhentian Aura dari sekolahnya itu, langsung disampaikan Kepala SMP Negeri 1 Sinunukan kepada METRO melalui telepon seluler.11 8
Ibid Hal.11. Ibid 10 Detiknews, 2012, Kasihan! Diperkosa Kenalan di FB, Siswi SMP Dikeluarkan dari Sekolah di Depok, diakses tanggal 27 Desember 2014, URL: http://news.detik.com/read/2012/10/08/134557/ 2057244/10/1/kasihan-diperkosa-kenalan-di-fbsiswi-smp-dikeluarkan-dari-sekolah-di-depok. 11 Mandailingonline.com, 2011, Nasib Aura Siswi SMP Negeri 1 Sinunukan Diperkosa Abang Kandung Dikeluarkan dari Sekolah, diakses tanggal 27 Desember 2014, URL: 9
7
5. Siswi Tsanawiyah Karya Toyyiba Desa Baiya, Kecamatan Tawaeli Kota Palu, diperkosa oleh lima kakak kelasnya, siswi tersebut juga dilecehkan di dalam kelas. Aksi tersebut bahkan direkan menggunakan kamera telepon genggam. Bukan hanya dilecehkan, dalam video tersebut mawar juga dipukuli oleh pelaku karena korban mencoba melawan. korban tidak berkutik setelah wajahnya ditutupi dengan jilbab yang digunakannya dan akhirnya menerima perlakukan tidak senonoh. Ibarat peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga, setelah kasus tersebut terkuak , pihak sekolah justru mengeluarkan korban tersebut dari sekolah dengan alasan yang tidak jelas.12 Dari kasus diatas terlihat bahwa korban mendapatkan perlakuan yang tidak sepantasnya, korban telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, secara tidak langsung sekolah tersebut telah melenyapkan masa depan dari korban tindak pidana perkosaan tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh pihak sekolah merupakan pelanggaran hak asasi manusia dalam aspek pendidikan yang diatur secara konstitusional dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 C ayat (1) dan Pasal 28 E ayat (1) yang menyatakan: "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dam demi kesejahteraan umat manusia." (Pasal 28 C ayat (1)) "Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." (Pasal 28 E ayat (1))
http://www.mandailingonline.com/nasib-aura-siswi-smp-negeri-1-sinunukan-diperkosa-abangkandung - dikeluarkan-dari-sekolah. 12 kabarselebes.com, 2014, Siswi Tsanawiyah Baiya Diperkosa Lima Orang Kakak Kelasnya, diakses tanggal 27 Desember 2014, URL: http://kabarselebes.com/siswi-tsanawiyah-baiyadiperkosa-lima-orang-kakak-kelasnya.
8
Selain tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, secara khusus hak untuk mendapatkan pendidikan juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 12 yang menyatakan: " Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia. " Korban tindak pidana berhak mendapatkan perlindungan hukum yang salah satunya tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban Pasal 20 ayat (1) yang menyatakan: "Korban tindak pidana berhak memperoleh Restitusi". Jenis perlindungan hukum dalam kasus tindak pidana perkosaan yang dapat diberikan kepada korban sesuai Pasal 20 ayat (1) tersebut yaitu Restitusi dimana merupakan ganti kerugian oleh pelaku atau pihak ketiga kepada korban tindak pidana yang dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu, tetapi jenis kerugian yang diderita korban bukan saja dalam bentuk materiil seperti biaya yang dikeluarkan untuk menyembuhkan luka fisik, tetapi juga kerugian immateriil yang sulit dinilai dengan materi, seperti hilang keseimbangan jiwa, hilangnya semangat hidup dan kepercayaan diri karena kecemasan dan ketakutan akan pengalaman buruk yang telah dialaminya. Perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban hanya masih berupa ganti kerugian, karena tidak semua permasalahan yang dihadapi korban bisa di selesaikan hanya dengan ganti kerugian. Seperti halnya hak untuk
9
mendapatkan pendidikan tidak tercakup dalam perlindungan korban. Pendidikan merupakan aspek yang harus diperhatikan karena pendidikan merupakan salah satu upaya untuk membantu kemajuan bangsa. Uraian dari latar belakang di atas, merupakan faktor utama dan menjadi landasan dan alasan bagi penulis untuk melakukan penulisan skripsi yang berjudul "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
PELAJAR
SEBAGAI
KORBAN
TINDAK
PIDANA
PERKOSAAN”
1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang penulisan diatas maka rumusan masalahnya sebagai berikut: 1. Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan kepada korban perkosaan dalam hukum pidana positif Indonesia? 2. Bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan khusus kepada pelajar korban perkosaan dalam perspektif ius contituendum?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam rangka untuk mendapatkan hasil pembahasan yang sistematis, metodelogis serta tidak keluar dari permasalahan yang dikemukakan maka perlu adanya pembahasan yang dibatasi dalam ruang lingkup tertentu. Ruang lingkup yang pertama yaitu mengenai berbagai jenis perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada korban perkosaan bila ditinjau dari hukum pidana positif Indonesia, dan ruang lingkup yang kedua yaitu mengenai jenis
10
perlindungan hukum yang dapat diberikan khusus kepada pelajar korban perkosaan dalam perpsektif hukum masa mendatang (ius contituendum).
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah , maka tujuan penulisan dapat digolongkan menjadi dua yaitu: 1.4.1 Tujuan Umum: 1. Untuk
memberikan
kontribusi
keilmuan
secara
ilmiah
terkait
pengembangan hukum pidana dan juga terkait dengan perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pelajar korban tindak pidana perkosaan. 1.4.2 Tujuan Khusus: 1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum dalam peraturan perundang-undangan yang dapat diberikan kepada korban, khususnya korban tindak pidana perkosaan. 2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan khusus bagi pelajar korban perkosaan dalam perpsektif hukum masa mendatang (ius contituendum).
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Teoritis: Manfaat dari penelitian ini yakni agar dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum pidana serta
11
rujukan pada penelitian selanjutnya khususnya pemahaman terhadap perlindungan korban tindak pidana perkosaan dan dapat memberikan informasi kepada masyarakat mengenai masalah-masalah perlindungan hukum terhadap korban tindak perkosaan. 1.5.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian yang berfokus pada perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan ini diharapkan bisa menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi kongkrit bagi para legislator dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana perkosaan khususnya perlindungan hukum dari aspek pendidikan.
1.6 Landasan Teoritis Di dalam pembahasan ini dirasa perlu untuk mengemukakan suatu landasan teori untuk menjadi landasan berpikir dalam membahas dan menyelesaikan pokok permasalahan yang diangkat. Mengenai perlindungan hukum terhadap pelajar korban dari tindak pidana perkosaan, terlebih dahulu harus membahas tentang pengertian tindak pidana perkosaan, konsep korban dan konsep dari perlindungan hukum itu sendiri.
1.6.1 Pengertian Tindak Pidana Perkosaan Sebelum menguraikan mengenai pengertian tindak pidana perkosaan, perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian hukum pidana, tindak pidana dan pidana
12
menurut para sarjana. Menurut Moeljatno, Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan aturan untuk: 1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.13
Istilah "tindak pidana" dipakai sebagai terjemahan dari istilah "strafbaar feit" atau "delict". Akan tetapi di dalam berbagai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dikenal istilah-istilah yang tidak seragam dalam menterjemahkan "strafbaar feit".14 Istilah yang paling populer dipakai adalah istilah "tindak pidana" yaitu apabila kita perhatikan Buku-buku hukum pidana, serta peraturan perundang-undangan hukum pidana yang pada umumnya mempergunakan istilah "tindak pidana".15 Menurut Simons "strafbaar feit", adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan, dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.16 Sedangkan menurut Menurut Van Hamel, arti dari pidana atau straf yaitu:
13
Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta, Jakarta, Hal.1. Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal.7. 15 Ibid hal.8. 16 Ibid hal.9. 14
13
"Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara".17 Menurut Simons, menyebutkan bahwa Pidana atau Straf itu adalah suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah".18
Tindak pidana perkosaan dapat digolongkan ke dalam kekerasan seksual dimana merupakan salah satu bentuk kejahatan yang melecehkan dan menodai harkat kemanusiaan, serta patut dikategorikan sebagai jenis kejahatan melawan kemanusiaan ( crime against humanity). Menurut Gerson W. Bawengan, ada tiga pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing, yaitu: 1. Pengertian secara praktis Kejahatan dalam pengertian ini adalah suatu pengertian yang merupakan pelanggaran atas norma-norma keagamaan, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat-istiadat yang mendapat reaksi baik berupa hukuman maupun pengecualian. 2. Pengertian secara religius Kejahatan dalam arti religius ini mengidentikan arti kejahatan dengan desa, dan setiap dosa terancam dengan hukuman api neraka terhadap jiwa yang berdosa 3. Pengertian secara yuridis Kejahatan dalam arti yuridis disini, maka kita dapat melihat misalnya di dalam KUHP hanyalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan pasal-pasal dari buku Kedua, itulah yang disebut kejahatan. Selain KUHP, kita dapat pula menjumpai hukum pidana khusus, hukum pidana militer, fiskal, ekonomi atau pada ketentuan lain yang menyebut suatu perbuatan sebagai kejahatan.19
17
P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, 2012, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 33. 18 Ibid hal.34. 19 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Op.Cit., hal. 27.
14
Kekerasan seksual merupakan salah satu praktik seks yang menyimpang artinya hubungan seksual yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan, diluar perkawinan yang sah dan bertentangan dengan ajaran agama. Kekerasan seksual lebih menunjuk pada perilaku seksual deviatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan pihak korban dan merusak kedamaian di tengah masyarakat. Adanya kekerasan seksual yang terjadi, maka penderitaan bagi korbannya teah menjadi akibat yang serius. Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 1993 disebutkan bahwa, yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah "setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampokan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi".
Peran gender perempuan membuat perempuan menjadi rentan terhadap berbagai perlakuan tindak kekerasan yang dapat berupa bermacam-macam dan bisa terjadi dimana saja, seperti yang tertuang didalam rekomendasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) artikel 1 Tahun 1992 yang menyatakan: ”Kekerasan diarahkan terhadap perempuan karena ia adalah seorang perempuan atau dilakukan terhadap atau terjadi terhadap perempuan secara tidak proporsional. Termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang menyebabkan penderitaan fisik, mental atau menyakitkan secara seksual atau bersifat ancaman akan tindakan-tindakan tersebut, pemaksaan dan mendukung kebebasan.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita ke dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
15
tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Sebagai Negara peserta, Indonesia wajib untuk mentaati segala ketentuan dan prosedur yang menjadi ketetapan dalam instrumen tersebut.
1.6.2 Konsep Korban Viktimologi adalah suatu ilmu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Viktimologi berasal dari kata Latin “victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti pengetahuan ilmu/studi.20 Dalam pengertian luas korban diartikan sebagai orang yang menderita atau dirugikan akibat pelanggaran baik bersifat pelanggaran hukum pidana (penal) maupun diluar hukum pidana (non penal) atau dapat juga termasuk korban penyalahgunaan kekuasaan (victim abuse of power). Sedangkan pengertian korban dalam artian sempit dapat diartikan sebagai victim of crimeyaitu korban kejahatan yang diatur dalam ketentuan hukum pidana. Dari perspektif Ilmu Viktimologi ini pada hakikatnya korban tersebut hanya berorientasi kepada dimensi akibat perbuatan manusia, sehingga di luar aspek tersebut, misalnya seperti akibat bencana alam bukanlah merupakan obyek kajian ilmu Viktimologi.21 Dari perspektif Ilmu Viktimologi korban tersebut yang hanya berorientasi kepada dimensi akibat perbuatan manusia, dapat diklasifikasikan secara global menjadi:
20
Arif Gosita, Op.Cit.,hal.328. Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana (Perspektif, Teoritis Dan Praktik), P.T. Alumni, Bandung, hal.246. 21
16
1. Korban kejahatan (victims of crime) sebagaimana termaktub dalam ketentuan hukum pidana sehingga pelaku (offender) diancam dengan penerapan sanksi pidana. Pada konteks ini maka korban diartikan sebagai penal victimology dimana ruang lingkup kejahatan meliputi kejahatan tradisional, kejahatan kerah putih (white collar crimes), serta victimless crimes yaitu victimisasi dalam korelasinya dengan penegak hukum, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan; 2. Korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (victims of abuse of power). Pada konteks ini lazim disebutkan dengan terminologi political victimology dengan ruang lingkup abuses of power Hak Asasi Manusia (HAM) dan terorisme. 3. Korban akibat pelanggaran hukum yang bersifat administratif atau yang bersifat non penal sehingga ancaman sanksinya adalah sanksi yang bersifat administratif bagi pelakunya. Pada konteks ini lazimnya ruang lingkupnya bersifat economic victimology dan 4. Korban akibat pelanggaran kaedah sosial dalam tata pengadilan bermsyarakat yang tidak diatur dalam ketentuan hukum sehingga sanksinya bersifat sanksi sosial atau sanksi moral.22
Muladi menyebutkan pengertian korban kejahatan sebagai: Seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan (A Vistim is a person who has suffered damage as a result of a crime and/or whose sense of justice has been directly disturbed by the experience of having been the target of a crime).23
1.6.3 Konsep Perlindungan Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban 22
Ibid Muladi, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, hal.66. 23
17
yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata perlindungan memiliki arti tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberi perlindungan kepada orang yang lemah.24 Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan kepada kaedah-kaedah.25 Beberapa pendapat yang dapat dikutip sebagai suatu patokan mengenai perlindungan hukum, diantaranya: 1. Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.26 2. Menurut Satjipto rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.27 Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyeksubyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 24
W.J.S. Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cetakan IX, Balai Pustaka, Jakarta, hal.600. 25 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, hal.38. 26 Setiono, 2004, Rule of Law (Supremasi Hukum), Magister Ilmu Hukum ProgramPascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal. 3 27 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Kompas, Jakarta, hal. 121.
18
a. Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. b. Perlindungan Hukum represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.28
Konsep perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, terkandung beberapa asas hukum yang memerlukan perhatian. Hal ini disebabkan dalam konteks hukum pidana, sebenarnya asas hukum harus mewarnai baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Asasasas yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Asas manfaat Artinya, perlindungan korban tidak hanya ditunjukan bagi tercapainya kemanfaatan (baik materiil maupun spiritual) bagi korban kejahatan, tetapi juga kemanfaatan bagi masyarakat secara luas, khususnya dalam upaya mengurangi jumlah tindak pidana serta menciptakan ketertiban masyarakat. 2. Asas keadilan Artinya, penerapan asas keadilan dalam upaya melindungi korban kejahatan tidak bersifat mutlak karena hal ini dibatasi pula oleh rasa keadilan yang juga harus diberikan pada pelaku kejahatan. 3. Asas keseimbangan Tujuan hukum disamping memberikan kepastian dan perlindungan terhadap kepentingan manusia, juga untuk memulihkan keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu menuju pada keadaan yang semula (restitutio in integrum), asas keseimbangan memperoleh tempat yang penting dalam upaya pemulihan hak-hak korban. 4. Asas kepastian hukum Asas ini dapat memberikan dasar pijakan hukum yang kuat bagi aparat penegak hukum pada saat melaksanakan tugas-tugasnya
28
Musrihah, 2000, Dasar dan teori Ilmu Hukum, Grafika Persada, Bandung,hal.30.
19
dalam upaya memberikan perlindungan hukum pada korban kejahatan.29
Mengacu pada penerapan perlindungan hak korban kejahatan sebagai akibat dari terlanggarnya hak asasi korban, maka dasar dari perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori diantaranya:
1. Teori Utilitas Teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga bagi sistem penegakan hukum pidana secara keseluruhan. 2. Teori tanggung jawab Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya. 3. Teori ganti kerugian Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli warisnya.30
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Dalam penulisan skripsi ini dipergunakan penelitian secara normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yakni dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum dan kaedah-
29
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom,2007, Urgensi Perlindungan Korban KejahatanAntara Norma dan Realita, PT. RadjaGrafindo Persada, Jakarta, hal.164. 30 Ibid, hal.162.
20
kaedah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan dan peraturan perundang-undangan,31 khususnya ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan juga PP Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban kaitannya dengan bagaimana jenis perlindungan hukum yang tepat untuk diberikan kepada pelajar korban perkosaan. Penelitian ini mengkaji adanya kekosongan norma dalam konteks ketiadaan jenis perlindungan hukum terhadap korban dari aspek pendidikan terhadap korban tindak pidana perkosaan.
1.7.2 Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (the case approach). Untuk pengkajian permasalahannya dilihat dari segi hukumnya dan mengenai sumbernya berasal dari peraturan perundang-undangan serta teoriteori yang ada sebagai dasar dalam pelaksanaannya.32
1.7.3 Sumber Bahan Hukum Dalam penelitian pada umumnya diperoleh data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang dinamakan data primer (data dasar) dan data yang 31
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 13. 32 Peter Mahmud Marzuki, 2009,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 10.
21
diperoleh dari bahan – bahan pustaka. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder. Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data yang sudah terdokumen dalam bentuk bahan – bahan hukum. ”Data Hukum Sekunder terdiri dari bahan hukum primer yang bersumber dari peraturan perundang – undangan dan dokumen hukum, bahan hukum sekunder dari buku – buku ilmu hukum dan tulisan – tulisan hukum lainnya”.33Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a.
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas: (a) peraturan perundangundangan, (b) catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan, (c) putusan hakim.34
b.
Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.35 Terdiri dari buku – buku literarur ilmu hukum, serta artikel – artikel dari koran, makalah, majalah dan data terkait yang diperoleh melalui sarana internet (website) yang berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan ini.
33
Abdulkadir Muhammad,2004,Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 202. 34 Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika Offset, Jakarta, hal.47. 35 Abdulkadir Muhammad, Loc.cit., hal. 202.
22
c.
Bahan hukum tersier, yakni “bahan – bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya”.36 Terkait dengan jenis- jenis data sekunder diatas, penulisan ini menggunakan
bahan hukum primer, yaitu KUHP, RKUHP, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Permberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Bahan hukum sekunder, yaitu artikel serta data – data terkit yang diperoleh melalui sarana internet, serta bahan hukum tersier yang diperoleh melalui Kamus hukum dan ensiklopedia. 1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Adapun pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan sistem kartu (card system). Sistem ini dilakukan dengan tiga cara, yaitu : 36
Bambang Sunggono, 2002, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 117.
23
1. Mempergunakan kartu pengarang. Cara ini dilakukan apabila penulis telah mengetahui dengan pasti nama pengarang atau penulis dari bahan pustaka yang diketahuinya. 2. Mempergunakan kartu judul. Hal ini dapat dilakukan apabila penulis tidak mengetahui secara pasti nama pengarang, namun penulis mengetahui judul bahan pustaka yang dicari. 3. Mempergunakan kartu subjek. Yang dimaksud dengan kartu subjek adalah pokok bahan atau bidang ilmu yang menjadi isi dari suatu bahan . dari subjek ini, penulis tidak perlu mengetahui nama pengarang ataupun judul dari suatu bahan pustaka.37
1.7.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah terkumpul, diolah dengan langkah-langkah deskripsi, sistematis dan eksplanasi. Deskripsi merupakan penggambaran mengenai bahan-bahan hukum sebagaimana sesuai dengan ketentuan yang ada, sedangkan mengenai sistematisasi yaitu menggabungkan bahan-bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain sehingga tidak menunjukan adanya kontradiksi. Kemudian mengenai eksplanasi yaitu memberikan uraian-uraian serta argumentasi-argumentasi terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh.
37
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,1985, Op.Cit. , hal. 23.