BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perkembangan internet saat ini bergerak pesat. Cyberspace yang pada mulanya hanya sebuah khayalan dan ramalan dalam sebuah novel fiksi ‘’Neuromancer’’ karya William Gibson di tahun 1984, telah benar-benar lahir dan bahkan menawarkan realitas dan kebudayaan tersendiri (Djibran:2007). Ontologi ruang kini mengalami gugatan. Jika sebelumnya setiap orang hanya mengenal batasan ruang secara geografis, namun saat ini kebudayaan ruang bisa disebut telah disubstitusi oleh kebudayaan virtual. Kebudayaan yang mengusung dimensi ‘pascaruang’ yaitu sebuah tatanan baru yang menawarkan kesadaran virtual, di mana seluruh aktivitas kebudayaannya dilakukan dalam dunia maya yang tanpa batas (Slouka:2000). Perubahan dimensi ruang antara lain bisa diamati pada wacana seksualitas dalam euforia kebudayaan virtual. Perbincangan seks, gender dan tubuh telah mengalami pergeseran kearah teknokrasi sensualitas (Howes: 2003). Sebuah tatanan berbasis teknologi seksual yang ditopengi nilai-nilai ekonomi, hadir melalui berbagai imaji tatapan (voyeurism) diciptakan, hingga mengkondisikan pada pemujaan citra tubuh.
1
Fenomena tersebut lebih lanjut bisa dilihat dari perkembangan teknologi pencitraan seksualitas artifisial lewat medium internet. David Bell (2001:127) menjelaskan, bahwa kepuasaan seksual kini mampu diciptakan dan diburu lewat cybersex. Pemanfaatan perangkat virtualsex semacam teledildonic, yaitu ruang maya berbasis teknologi komputer dikonstruksi untuk kegiatan seksual jarak jauh, yang dilengkapi dengan sensor dan saraf-saraf buatan dalam jagat kebudayaan cyber mampu menstimuli hasrat seks. Sejalan dengan pemikiran tersebut, Rheingold (1993:5) meingilustrasikan kebudayaan cyber “sebagai ruang konseptual di mana semua kata, interaksi manusia, perilaku ekonomi, politik dan budaya telah dimanisfestasikan oleh setiap orang melalui teknologi Computer Mediated Communication (CMC) yaitu sebuah kemuktahiran perangkat komputer yang mampu memediasi aktivitas komunikasi setiap orang ’’. Salah satu teknologi Computer Mediated Communication (CMC) yang memiliki keterkaitan dengan miniaturisasi ruang cyber dalam konstruksi imaji seksualitas, dapat ditemui dan diamati pada situs video chat Camfrog. Situs Video chat Camfrog adalah jenis Video Chat dan Messenger yang memiliki
koneksitas
video
Messenger maupun Skype. Sebab
(streaming)
jauh
lebih
baik
dari Yahoo
Camfrog tidak saja mampu melakukan live
streaming audio dan video namun dapat pula menampung lebih dari 1.000 pengguna hadir dalam ‘ruang’ virtual memainkan peran seperti: melihat, mendengar, dan obrolan (chatting) dengan banyak pengguna sekaligus tanpa memerlukan kehadiran
2
bersama
di
dalam
ruang
yang
sama.
Melalui
situs
resminya,
disebutkan software yang diciptakan oleh Camshare LLC ini memungkinkan pengguna di seluruh dunia, milihat user bisa lebih dari satu user yaitu melalui keunggulan melipatgandakan web cam, hingga tak terhingga tergantung kapasitas jaringan internet user. Saat ini, terhitung sejak Desember 2012 software Camfrog telah didownload sebanyak lebih dari 70 juta kali dengan user aktif setiap jam (online) diatas 200.000.1 Selain jumlah user mencapai angka ratusan ribu, perangkat ini memperlakukan pembagian zona yang terwakili pada beberapa negara. Posisi Indonesia dalam situs Camfrog masuk dalam kategori Negara yang bermukim di zona Asia. Tepatnya pada urutan pertama dengan jumlah room sebanyak 28 menyusul Malaysia sekitar 7 room.2 Istilah room mengacu pada ruang virtual forum video chat Camfrog. Berpijak dari banyaknya jumlah room Indonesia, salah satu alasan yang membuat situs ini kian digemari pengguna jejaring maya dikarenakan pola-pola interaksi dalam situs ini turut meminiaturisasi sebuah “rumah ideal” bagi mereka yang berhasrat menciptakan imaji seksual lewat medium digital. Pengguna (user) di dalamnya seolah menjadi ‘penghuni’ rumah virtual ini.
1
Lihat situs resmi Camfrog, https://www.Camfrog.com. ‘’Video Chat Rooms & Live Webcams’’. Untuk angka di atas tidak tetap, akan terus berganti tiap harinya. Diakses, 02 Desember 2012 pukul, 21.35. 2 Lihat situs video chat Camfrog.com kategori zona Asia.diakses 02 Desember, 2012, pukul 21.25
3
Penghuni (user) berhak mamasuki banyak kamar (room) dalam situs Camfrog yang dihuni hingga ratusan orang tergantung sejauh mana ‘pelayanan’ di masingmasing room. Camfrog sebagai ruang maya kini hadir mengisi celah sublimasi hasrat libidinal. Ratusan bahkan mungkin ribuan pasang mata melalui tayangan live streaming menyatu dalam ruang cyber mempertontonkan gerak, gesture, ocehan, desahan, rayuan bahkan aktivitas seksual mulai dari tarian erotis, masturbasi, onani hingga hubungan intim hadir dalam miniaturisasi ruang cyber tersebut. Karakter dasar aspek virtual dalam kaitannya dengan aktivitas seksual sempat dikemukakan oleh Cooper & Griffin-Shelley ( 2002), di mana sebagian orang menilai reaksi seksual dan emosional dapat diperoleh melalui Cyber sex, yaitu sebuah bentuk reaksi yang dirasakan tak jauh berbeda dengan aktivitas seksual sesungguhnya. Keberadaan ruang cyber sex juga dapat memuaskan fantasi seks tanpa harus berhubungan intim secara nyata. Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Guantleet (2000:15) bahwa setiap orang, dari semua orientasi seks dimungkinkan menggunakan internet untuk kepentingan seks. Penggunaanya melibatkan diri mereka bisa saling bercerita satu sama lain termasuk berbagi imajinasi menuju kepuasan seksual. Keunggulan cyberspace rupanya masih menyimpan beberapa masalah mendasar yang perlu penulis tekankan yaitu, menyoroti kemajuan teknologi informasi pada kenyataannya justru memunculkan sejumlah persoalan baru menyangkut memudarnya batasan ruang sosial oleh miniaturisasi ruang cyber.
4
Kerisauan ini sempat dikemukakan filsuf Prancis Jean Baudrillard (2006:3435) bahwa “mekanisme cyberspace telah menciptakan semacam ekstasi, yaitu kondisi mental dan spritual di dalam diri setiap orang yang berpusar seperti spiral. Gerakannya menuju titik ekstrim yaitu penghambaan pada segala sesuatu yang mendekonstruksi asumsi-asumsi etik”. Yang menarik untuk dibahas saat ini sebagaimana yang sempat diteliti Djibran (2007) terkait transformasi kebudayaan pascaruang, tentunya bukan sekedar kecanggihan teknologi informasi saja. Bukan pula kabel-kabel, chip, atau jaringan yang berseliweran di sekeliling kita dan memiliki jalin kelindan yang kompleks dan rumit. Hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh adalah bagaimana transformasi kebudayaan cyber dalam meminiaturisasi ruang realitas memegang kendali (kuasa) bagi memudarnya pesona sosial-reality, menuju kidung kematiannya tergantikan oleh realitas virtual. Sekaligus pada saat yang bersamaan turut melenyapkan aspek ketubuhan diganti dalam balutan kerja mesin-mesin. Kini, melalui jaringan komputer- internet semacam situs Camfrog seseorang dapat melihat representasi imaji visual dirinya dan partner seksnya yang tampak hidup dan nyata. Hingga menghadirkan bentuk-bentuk pemujaan terutama berkaitan dengan imaji yang dibentuk sekaligus dilekatkan pada objek tatapan. Pada akhirnya hanya tergantung pada password yang digunakan, tergantung pada apa yang ia ingin lihat, serta kapasitas seberapa mampu ia bayar, setiap orang dapat menemukan satu, sepuluh, atau seribu partner seks di dalam ruang simulasi komputer, salah satunya situs Camfrog itu sendiri. Bahkan lebih jauh Krista Scott (1998) menaruh curiga 5
bahwa cyberculture tidak lain adalah soal ideologi kekuasaan, dengan alasan bahwa revolusi digital sebenarnya merupakan dialektika kekuasaan3. Point inilah yang disebut-sebut Michael Foucault (1980:149) diskursus ruang sebagai “wadah beroperasinya kekuasaan yang selalu menentukan gerak tubuh subjek’’. Melalui penjelasan pada latar belakang ini, kiranya menjadi penting bagi penulis untuk menelaah lebih lanjut aspek
miniaturisasi ruang cyber-seks, serta
memeriksa (dominasi) relasi kuasa yang memungkinkan hadir dalam ruang virtualseks khususnya pada situs video chat Camfrog sebagai objek kajian. 1.2. Rumusan masalah Berdasarkan ulasan latar belakang penelitian di atas, penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana imaji seksualitas dalam miniaturisasi ruang cyber video chat Camfrog di Indonesia ? 2. Bagaimana relasi kuasa (dominasi) dimungkinkan hadir beserta gerakan resistensinya dalam miniraturisasi ruang cybersex pada Situs Camfrog? 1.3 Tujuan penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah:
3
Lihat: Amradani, 2002. ‘Cyberculture’ dalam Newsletter Kunci edisi 2 ‘Cyberculture’ ulasan Krista scott (1998) 'Girls Need Modems!': Cyberculture and Women's Ezines
6
1. Untuk
menelaah
bagaimana
imaji
seksualitas
melalui
pemadatan
(miniaturisasi) ruang ke dalam tanda dan citra elektonik/mesin-mesin hasrat situs video chat Camfrog. 2. Untuk mengetahui relasi kuasa (dominiasi) yang dimungkinkan hadir dalam ruang cybersex pada situs Camfrog. 1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian yang mengambil topik cybersex telah banyak, terutama dari perspektif Psikologi dan Ilmu Hukum. Di antanya: penelitian yang dilakukan Bingham dan Piotrowski (1996). Hasil penelitian mereka tertuang dalam Psychological
Report berjudul On-line
sexual
addiction:
A
contemporary
enigma, mengungkapkan “pada individu pecandu situs porno (addicted to cybersex) memiliki beberapa ciri di antaranya: Keterampilan dan kecakapan sosial yang tidak memadai, bergelut dengan fantasi-fantasi yang bersifat seksual. Berkomunikasi dengan figur-figur ciptaan hasil imaginasinya sendiri hingga tidak mampu mengendalikan dirinya. Selain itu, Pada tahun 1997, Dr Delmonico & Elizabeth Griffin ( dalam Cooper dkk: 2002) meneliti “bagaimana respon pemanfaatan cybersex dalam mengkonstruksi aktivitas virtual seks di Amerika .’’ Hasil penelitian itu, menyebutkan 38% dari responden pengguna internet terlibat dalam cybersex. Hasil survei tersebut juga melaporkan 25% responden yang melakukan cybersex telah bertemu dengan pasangan online mereka untuk melakukan kencan seks di dunia nyata (off line), dan hal ini dinilai sangat signifikan mempengaruhi aspek psikologi yang 7
akan dikenal dengan “revolusi seksual” sebagai respon dari pemanfaatan internet yang kian pesat. Patut dicatat, dua penelitian tersebut menurut penulis belum bisa dianggap mewakili setiap tindakan keseharian dalam pemanfaatan cybersex. Terlebih kesimpulan yang menilai pecandu cybersex memiliki ciri atau gejala
berupa
menurunnya kecakapan sosial, justru telah menggiring pada wacana medik psikiatri sebagai solusi meredam aktivitas cybersex. Penelitian berbasis psikiatri ini semakin menegaskan penggunaan cybersex merupakan bentuk ‘penyimpangan’medik sekaligus kelainan seksual. Selain itu angka 25 % responden pengguna cybersex yang memilih melanjutkan kencan off line masih terlampau prematur dijadikan kesimpulan. Sebab peneliti tidak sepenuhnya melakukan pengamatan melibatkan kognisi sosial responden, mencermati faktor sosio kultural yang memungkinkan mempengaruhi aspek psikologi responden. Beberapa kasus terkait aspek kultural, misalnya menghubungkan dengan percepatan teknologi informasi saat ini turut membentuk budayanya sendiri. Dengan demikian aspek kultural inilah menurut penulis belum dipahami peneliti dalam kedua tulisan tersebut. Selanjutnya penelitian dari aspek Hukum di Indonesia, dilakukan oleh Dewi Bunga (2011). Peneliti dari Universitas Udayana Denpasar ini menyoroti ‘’Prostitusi Cyber’’ dalam diskursus penegakan hukum dalam anatomi kejahatan transnasional. Hasil penelitiannya menyebutkan, “aktivitas cybersex dikategorikan sebagai tindakan melawan hukum berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 8
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbasis pada argumentasi kesusilaan, (Bunga. 2011:109) Penelitian Dewi Bunga yang mengambil kajian hukum (cybercrime) menurut penulis tidak jauh berbeda dengan penelitian cybersex dari aspek psikologi dan psikiatri. Penelitian Bunga telah memposisikan perilaku cybersex selain dikategorikan penyimpang
di mata hukum (yuridiksi) juga dituntut bertanggung jawab terkait
norma kesusilaan. Mengaitkan antara cybersex dan norma kesusilaan justru telah memposisikan penelitian ini menjadi sangat esensialis, yaitu sebuah pandangan dalam filsafat yang meninjau kedudukan manusia sebagai entitas yang esensi dalam reduksionisme biologis, bahwa munusia telah ditundukkan oleh kepastian hukum alam (Gelman: 2005) Kecendrugan penelitian yang terjebak dalam esensialisme tersebut mengalami hambatan. Persoalannya tidaklah mudah menetapkan batas-batas atau ruang lingkup delik kesusilaan.
Pengertian dan batas-batas "kesusilaan" itu sangat luas serta
memungkinkan berbeda-beda menurut pandangan dan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Kesusilaan, nilai dan etika bukanlah sesuatu yang universal, yang berasal dari garis ilahi (takdir), melainkan hasil produksi dan re-produksi budaya dalam waktu dan tempat tertentu. Subyek yang berbicara selalu tergantung pada posisi-posisi diskursif yang lebih dulu ada. Kebenaran bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan diciptakan, melalui konstruksi diskursif. Selain penelitian cybersex yang berhubungan dengan perspektif psikologi dan hukum, terdapat juga penelitian serupa namun mengambil pendekatan yang berbeda, 9
yaitu berpijak pada perspektif Cultural Studies. Salah satunya terdapat dalam penelitian Gareth Branwyn ( Bell,2007 :396) yang menyoroti tentang compu-sex dalam
dimensi
erotika
bagi
cybernauts.
Hasil
penelitianya
menyebutkan,
“computersex memiliki kemampuan dalam menggerakkan aktivitas seksual dalam perangkat bit-digital hingga pada aspek pertukaran daya tarik
seksual”. Ia
berpendapat bahwa internet tidak hanya sebagai ruang untuk menjalin ikatan dan menerima identitas, tetapi di dalamnya memiliki pelipatan-pelipatan kategori social, di antaranya: identitas, komunitas dan imajinasi. Menggantikan pengalamanpengalaman kehidupan nyata agar tidak sukar diterima publik. Misalnya orang (user) kebingungan mencari identitas seksual dalam dunia cyber, sehingga tidak jarang banyak user menggunakan identitas palsu untuk dapat diterima secara virtual dalam sebuah komunitas. (Branwyn dalam Bell,2007 :400) Di Indonesia berdasarkan hasil penelusuran penulis, cenderung masih sedikit penelitian yang mengambil studi tentang cybersex, terutama terkait konsep Cultural Studies atau Cyberculture. Di Indonesia sejauh ini penelitian cybersex masih didominiasi oleh perepektif hukum dan psikologi. Tidak jarang sejumlah peneliti menempatkan cybersex dalam kategori prilaku abnormal atau sebagai tindakan pelanggaran Undang-undang sehingga dikategorikan cybercrime. Sementara penelitian cybersex atau cyberqueer yang berbasis perspektif Cultural Studies di Indonesia, bisa ditemukan pada penelitian Ari Setyorini (2011). Ia menyoroti Performativitas Gender dan Seksualitas dalam Weblog Lesbian di
10
Indonesia. Penelitian tersebut bertujuan untuk “mengetahui bagaimana identitas gender dan seksualitas ditampilkan dalam weblog lesbian Indonesia. serta sejauh mana praktik hubungan kekuasaan atas subordinasi terhadap lesbian ditampilkan dalam weblog”. Hasil penelitian mengkonfirmasikan bahwa identifikasi gender dan seksualitas lesbian yang cenderung merupakan kombinasi terhadap femininitas dan maskulinitas. Melalui proses criss-crossing lesbian memperformativitaskan diri mereka dengan “aksi panggung”, menempelkan identifikasi identitas feminin dan maskulin melalui dandanan, pakaian, gesture tubuh, dan seksualitas. (Setyorini.2011: 119 ) Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu mengenai cybersex, perlu penulis tekankan, bahwa penelitian yang akan ditelaah ini memiliki perbedaan, khususnya menyangkut problematisasi konstruksi seksualitas dalam miniaturisasi ruang cyber. Terutama pada korpus kajian teknologi video chat yang memiliki beragam kompleksitas di dalamnya. Serta yang lebih penting menggugat fenomena cybersex sebagai bagian dari liberalisasi hasrat, tubuh dan seks dewasa ini tidak bisa lagi hanya mengandalkan perspektif esensialisme terutama pada kajian medis-pskiatri, ilmu hukum bahkan terlebih lagi menggunakan pendekatan agamis (moralis) yang sudah sering dikaji itu. Sebab kategori-kategori tersebut menggiring pada sebuah pengetahuan yang mereduksi seluruh aspek sosial dan budaya masyarakat hanyut dalam kubangan kepastian-kepastian esensi, bahwa manusia ditundukkan oleh kekuatan absolutisme alam. Pengertian dan pengetahuan (medis-psikiatri) merupakan
11
perkara kontestasi wacana yang hadir lewat legitimasi kekuasaan sebuah zaman di mana ia dihadirkan. Sehingga menurut penulis hal ini belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu. 1.5. Landasan Teoritik Untuk menjawab pertanyaan pada rumusan masalah penelitian, penulis akan menggunakan sejumlah teori yang diharapkan mampu menjawab pertanyaan tersebut. Di antaranya menggunakan teori filsuf Prancis Jean Baudrillard, berupa pendekatan teori simulasi. Selanjutnya untuk mempertajam analisis atas bentuk-bentuk praktik dominiasi (kekuasaan) tak setara dalam diskursus miniaturisasi ruang cybersex penulis merujuk teori Michel Foucault tetang Power Relation (hubungan kekuasaan). 1.5.1 Simulasi Imaji dan Miniaturisasi Ruang Cyber Di dalam karya-nya Simulation (1983) Baudrillard mengatakan ‘’All that is real becomes simulation’’. Semua yang nyata kini menjadi simulasi. Kalimat tersebut telah secara tegas menggambarkan realitas masyarakat informasi dewasa ini. Ketika media elektronik ditemukan dalam sekejap terjadi sebuah loncatan kesadaran tentang dunia yang makin menyusut. Fenomena ini menurut Baudrillard (2006: 2) mengisyaratkan bahwa kemajuan teknologi informasi, “tidak lagi memiliki transendensi atau kedalaman, yang ada hanya bentangan informasi tanpa ujung. Realitas kini tidak sekedar dapat diceritakan, direpresentasikan dan disebarluaskan. Tetapi realitas kini dapat dibuat, direkayasa dan disimulasi dalam realitas buatan’’.
12
Melalui karya magnum opusnya tersebut, Baudrillard (1983) memaparkan kondisi sosial-budaya masyarakat Barat tengah berada dalam dunia simulacra dan simulasi. Sebuah dunia yang terbangun dari konsekuensi relasi perkembangan ilmu dan teknologi, kejayaan kapitalisme, konsumerisme, serta runtuhnya narasi-narasi besar modernisme. Berbeda dengan logika produksi seperti disuarakan Marx, bagi Baudrillard (1983) konsep produksi peninggalan Marx kini sudah tidak relevan lagi. Jika era pramodern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange), era modern ditandai dengan logika produksi, maka kini tengah menjelang sebuah era baru, yakni kemuktahiran teknologi, yang ditandai dengan logika simulasi. Lebih lanjut Baudrillard menjelaskan apa yang dimaksudnya sebagai simulasi: ‘’Simulation is characterized by a precession of the model, of all models around the merest fact the model come first. Facts no longer have any trajectory of their own, they arise at the intersection of the models; a single fact may even be engendered by all the models at once. Simulation is no longer that of a territory, a referential being or a substance. It is the generation by models of a real without origin or reality; a hyperreal. The territory no longer precedes the map, nor survives it. Henceforth, it is the map that precedes the territory precession of simulacra it is the map that engenders the territory [...](Baudrillard, 1983: 32)4.
4. Terjemahan: Simulasi dibangun berdasarkan model-model yang begitu cermat, semua model yang nyaris mendekati fakta, dan dimana model tampil mendahului fakta. Fakta kini tidak lagi memiliki alur sejarahnya sendiri, ia hadir dalam silang sengkarut bersama model-model; bahkan bisa jadi sebuah fakta diproduksi oleh model-model. Simulasi tidak berkaitan dengan sebuah teritori, sebuah acuan atau pun substansi. Simulasi adalah era yang dibangun oleh model-model realitas tanpa asal-usul; sebuah dunia hiperreal. Teritori tidak lagi hadir sebelum peta, atau membentuknya. Sebaliknya, petalah yang hadir sebelum teritori sebuah acuan simulacra petalah yang membentuk teritori[..]
13
Praktik simulasi bagi Baudrillard (1983) dapat diamati dalam wahana Disneyland. Melalui wahana tersebut Baudrillard menjelaskan inilah dunia yang dibentuk dalam susunan permainan tanda, citra, kode dan model-model realitas tanpa referensi, ia hadir sebelum realitas yang sebenarnya ada. Lebih jauh, Disneyland yang hadir melalui penggabungan imajinasi simbolik, desain arsitektur seni yang sempurna, serta kecanggihan teknologi rekayasa elektronik menurut Baudrillard (1983) mengemban misi untuk menyebarkan kepercayaan tentang dunia simulasi dan hiperrealitas. Dalam bahasa Baudrillard diungkapkan: ‘’Disneyland is presented as imaginary in order to make us believe that the rest is real, when in fact all of Los Angeles and the America surrounding it are no longer real, but of the order of the hyperreal and of simulations It is no longer a question of a false representation of reality (ideology), but of concealing the fact that the real is no longer real, and thus of saving the reality principle’’ (Baudrillard, 1983: 25)5 Dalam ungkapan Baudrillard (1983:4) era simulasi berawal dari proses penghancuran segala acuan referensi, serta tidak lagi berkaitan dengan persoalan imitasi, reduplikasi atau bahkan parodi. Era simulasi lebih tertarik mempersoalkan proses penggantian tanda-tanda real, bagi realitas itu sendiri.
5. Terj:Disneyland dihadirkan sebagai suatu imajinasi untuk menanamkan kepercayaan kepada kita bahwa keberadaannya benar-benar nyata, sementara dalam kenyataan, Los Angeles dan seluruh Amerika justru tidak lagi nyata, melainkan hiperreal dan merupakan produk mekanisme simulasi. Disneyland tidak berkaitan dengan persoalan representasi realitas yang keliru (ideologi), melainkan persoalan bagaimana menyembunyikan kenyataan bahwa yang real kini tidak lagi real, dan dengan demikian berkaitan dengan persoalan penyelamatan prinsip-prinsip realitas
14
Pada akhirnya dalam realitas simulasi seperti ini, manusia tak lebih sebagai sekumpulan massa mayoritas yang diam, yang menerima segala apa yang diberikan padanya. Dalam bukunya In The Shadow of Silent Majorities, Baudrillard (1983a) menganalogikan kumpulan massa yang diam ini sebagai black hole, di mana berbagai informasi, sejarah, kebenaran dan tata nilai lenyap ke dalamnya tanpa meninggalkan bekas (sisa) apapun juga. Berbagai informasi yang disampaikan kepada massa yang diam seperti ini, pada akhirnya justru tidak lagi berfungsi sebagai informasi. Ia kini kehilangan nilai informasinya dan justru sebaliknya menimbulkan keterasingan sosial. Dalam ungkapannya Baudrillard mengatakan : ‘’It is thought that the masses may be structured by injecting them with information, their captive social energy is believe to be released by means of information and messages. Quite the contrary. Instead of transforming the mass into energy, information produces even more mass. Instead of informing as it claims, instead of giving form and structure, information neutralises even further the social field; more and more it creates an inert mass impermeable to the classical institutions of the social, and to the very contents of information’’ (Baudrillard, 1983a: 25).6
1.5.2 Miniaturisasi
6. Terj: Kerapkali dinyatakan bahwa massa dapat diatur melalui menanamkan informasi kepada mereka, dan energi sosial dapat dibentuk melalui sarana penanaman informasi dan pesan-pesan. Tetapi yang terjadi sebenarnya kebalikannya. Ketimbang membentuk massa menjadi sekumpulan energi informasi dan pesan-pesan ternyata cuma menghasilkan massa pasif yang lebih banyak lagi. Ketimbang memberi informasi, seperti yang dinyatakan didepan, ketimbang memberi bentuk dan struktur sosial, informasi sebaliknya bahkan telah menimbulkan proses pengosongan wilayah sosial menjadi semakin buruk. Informasi telah membentuk sekumpulan massa yang tak berdaya dan tertutup terhadap berbagai institusi sosial klasik dan terhadap kandungan informasi.
15
Pengertian miniaturiasi bagi Baudrillard (1983b:2) tidak saja memperpanjang badan atau sistem saraf manusia, bahkan lebih fantastis lagi mampu menghasilkan multiplisitas realitas, mampu menyulap citra, halusinasi, ilusi menjadi nyata. Mampu mereproduksi masa lalu dalam kondisi kekinian, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan eksistensinya. Sebagaimana dideskripsikan Baudrillard berikut ini: ‘’No more mirror of being and appearances, of the real and its concept; no more imaginary coextensivity: rather, genetic miniaturization is the dimension of simulation. The real is produced from miniaturized units, from matrices, memory banks and command models - and with these it can be reproduced an indefinite number of times. It no longer has to be rational, since it is no longer measured against some ideal or negative instance. It is nothing more than operational. In fact, since it is no longer enveloped by an imaginary, it is no longer real at all. It is a hyperreal: the product of an irradiating synthesis of combinatory models in a hyperspace without atmosphere.’’ (Baudrillard,1983b: 2).7 Penjelasan Baudrillard tersebut kian menguatkan bahwa kenyataan (fakta) tidak lebih dari susunan unit-unit miniatur yang dikembangkan melampaui kenyataan itu sendiri.
Bagi Baudrillard (1983b: 183) tepatnya ia menyebut kenyataan adalah
hiperrealitas, yaitu ”era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan 7.Terj: Tak ada lagi cermin diri, penampakan, kenyataan dan konsep-konsep yang dikandungnya. Tak ada lagi pengembaraan imajiner: lebih dari itu, yang ada adalah miniaturisasi genetik sebagai ciri dimensi simulasi. Kenyataan kini dibentuk dari unit-unit miniatur, dari matriks, memory bank dan model-model acuan dan dengannya kenyataan dapat direproduksi sampai jumlah yang tak terhingga. Kenyataan pun kini tak lagi harus rasional, karena ia tak lagi dapat diukur dengan ukuran-ukuran ideal. Kenyataan kini tak lebih dari apa yang beroperasi. Dan karena ia tak lagi dibungkus oleh imajinasi-imajinasi, maka kenyataan pun kini tak lagi real sama sekali. Kenyataan adalah hiperrealitas itu sendiri, produk sintesa model-model gabungan dalam ruang hiperspace tanpa atmosfer.
16
referensi dimana, yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu direproduksi”. Merujuk pendapat Baudrillard (1983b) bahwa di era infromasi disebutnya juga sebagai era dimulainya miniaturiasasi realitas, selayaknya remote control, komputer, tubuh, waktu dan kesenangan. Dengan demikian, pentingnya menelaah konsep miniaturisasi ini sekaligus menjadi ‘pintu masuk’ menyelidiki konstruksi identitas dan komunitas dalam situs video chat Camfrog. Sebagaimana diingatkan oleh David Silver (2000) bahwa saat ini studi cyberculture telah ditandai oleh dua pendekatan. Masing-masing merujuk pada Howard Rheingold melalui kajian komunitas virtual dan Sherry Turkle yang populis lewat penelitiannya terkait identitas dalam interaksi virtual. Kedua aspek tersebut dipandang penting karena dalam membincangkan ruang yang dilandaskan pada tatanan miniaturisasi tentunya akan mengkonstuksi identitas, dan komunitas di dalamnya. Polemik ruang dalam pengertian abad informasi jika bersandar pada perspektif Baudrillard, kini kehilangan dimensi realitasnya. Ontologi ruang telah tergeser oleh kemampuan simulasi dalam kecanggihan teknologi informasi yang menempatkan ruang kehilangan pijakannya yang konkrit. Terkait dengan kondisi tersebut Filsuf Italia Paul Virilio (1991:86) menyebutkan ruang yang tersimulasi sebagai ruang elipsis, yaitu ruang yang disarati oleh kejutan-kejutan yang tak terduga. Tidak lagi berkaitan dengan tekanan tetapi dengan interupsi melalui percepatan yang muncul melenyapkan dunia real.
17
Pemikiran kritik modernitas yang disampaikan Baudrillard menurut Douglas Kellner(1994:48) berlaku dalam memahami karakter seksualitas dalam masyarakat kontemporer. Bermula pada prinsip segala sesuatu direduksi menjadi sekedar tanda dan imaji penampakan ke dalam logika tontonan turut serta menguatkan imaji seksualitas di abad informasi dewasa ini. Ketika naluri ekstasi sebagai wujud berkerjanya hasrat dalam mengkomunikasikan, memproduksi, segala hal dalam bentuk tanda, citra, dan barang, yang dipentingkan bukanlah sampainya pesan, makna atau tujuan, melainkan kesenangan dan kegairahan yang diperoleh dalam proses komunikasi. Secara tegas Baudrillard (2006:10) mengingatkan seksualitas dalam abad informasi telah melenyapkan ruang privat, ia menghilang bersamaan lenyapnya ruang publik. Keduanya tidak lagi jadi rahasia disaat kehidupan pribadi berubah menjadi sebatas potongan tubuh yang ditonton dari latar media . 1.5.3
Relasi Kuasa Perspektif Michel Foucault
Pemikiran Foucault tentang kekuasaan berbeda dengan analisis kekuasaan Marxis, yang senantiasa melihat beropreasinya kekuasaan secara negatif. Foucault melalui penelitiannya atas problematisasi narasi klinik justru membuatnya cenderung mengamati produksi dan beroperasinya kekuasaan secara positif. Penjelasan negatif tentang kekuasaan di mata Foucault sudah dianggap tidak memadai untuk menangkap luasnya spektrum relasi kekuasaan (Suyono 2002:51) Penerapan konsep kekuasaan yang memiliki kecendrungan negatif, menurut Foucault
seperti dikatakan dalam wawancaranya dengan Alessandro Fontano
18
(1979:36) bahwa “bila kekuasaan tiada lain kerjanya kecuali represif, akankah kita dapat mempercayai bahwa seseorang pasti terus mematuhi secara sukarela?” Bagi Foucault kenyataan bahwa kekuasaan semakin intensif dan makin berdiri tegak tidak bisa sekedar dijelaskan hanya memakai kategori lama seperti paksaan (represif). Foucault (1977) mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai yang melekat pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui terumus dalam pengetahuan. Bahasa menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan karena ilmu-ilmu terumus dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Kekuasaan pengetahuan terkonsentrasi di dalam kebenaran pernyataan-pernyataan ilmiah. Dalam pandangan Foucault (1975:35) “kekuasaan dan pengetahuan saling terkait. Tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan bidang pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus hubungan kekuasaan.” Misalnya penelitian Michel Foucault tentang sejarah seksualitas. Foucault (2006:120) menegaskan bahwa “pembentukan suatu tipe pengetahuan tentang seks harus dianalisis bukan dalam konteks penindasan atau hukum, melainkan dalam konteks kekuasaan”. Namun kata kekuasaan bagi Foucault cenderung menimbulkan sejumlah salah paham mengenai bentuk, jati diri, dan satuannya. Selanjutnya, ia memberikan penegasan, sebagaimana dijelaskan berikut ini: ‘’Kekuasaan harus dipahami pertama, sebagai semacam hubungan kekuatan itu berlaku dan merupakan unsur-unsur pembentuk organisasi. Kedua, sebagai permainan yang dengan jalan perjuangan 19
dan pertarungan tanpa henti mengubah,memperkokoh dan memutarbaliknya. Ketiga, sebagai hubungan kekuatan yang saling mendukung yang membentuk system, keempat sebagai strategi tempat hubungan kekuatan itu berdampak dalam lembaga, perumusan hukum dan hegemoni sosial’’ (Foucault, 2006:121) Bagaimana Kekuasaan Beroperasi? Foucault (2006:122-124) menjelaskan karakter kekuasaan beroprasi meliputi: 1. Kekuasaan bukan sesuatu yang diperoleh, dirampas atau dibagi. 2.
Hubungan-hubungan kekuasaan tidak berada pada posisi luar terhadap tipe-tipe hubungan lain (proses ekonomi, hubungan antar kenalan, dan hubungan seksual) tetapi hubungan tersebut telah imanen di dalamnya.
3.
Kekuasaan datang dari bawah, artinya tidak ada hubungan matrix suatu oposisi biner antara pendominasian dan yang didominasi, dualitas itu berulang dari atas ke bawah serta bermain di dalam aparat produksi seperti di keluarga.
4.
Hubungan kekuasaan sekaligus bersifat intensional dan tidak subjektif. Tidak ada kekuasaan tanpa serangkaian sasaran. Rasionalitas kekuasaan adalah taktik yang tersurat pada tingkat terbatas.
5. Di mana ada kekuasaan, memungkinkan ada perlawanan. Resistensi ini bukan berasal dari posisi di luar hubungan kekuasaan. Perlawanan menjadi bagiandari kekuasaan itu sendiri. Kekuasaan melahirkan antikekuasaan. Selanjutnya bagaimana kekuasaan bergeser searah dengan strategi yang dikembangkan oleh wacana. Dalam perspektif ini, kekuasaan sebagai rejim wacana 20
dianggap mampu menggapai, menembus dan mengontrol individu sampai pada kenikmatan-kenikmatan yang paling intim. Caranya, menggunakan metode melalui wacana-wacana yang dirumuskan dalam bentuk penolakan dan pelarangan, namun juga perangsangan, rayuan dan intensifikasi yaitu teknik-teknik kekuasaan yang memiliki banyak bentuk ( Foucault dalam Haryatmoko, 2010). Pada point ini kiranya tepat apa yang dikonsepsikan Foucault (1980:149) terkait diskursus ruang sebagai “wadah beroperasinya kekuasaan yang selalu menentukan gerak tubuh subjek’’. Dengan demikian sifat dari tubuh, baik yang berkesadaran dan ketaksadaran serta kehidupan emosional subjek dibentuk pula secara diskursif membentuk cara pandang, pemaknaan dan pengetahuan berdasarkan formasi dikursus ‘ruang’ sekaligus turut mendisiplinkan tubuh individu di dalamnya. Dengan demikian, melalui dua konsepsi teoritik tersebut digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Khusus pendekatan teori simulasi dari Jean Baudrillard penulis berupaya mengeksplorasi bagaimana miniaturisiasi ruang cyber Camfrog dibentuk menjadi sebuah ruang ‘intim’ yang sanggup menggetarkan imaji seksualitas user menyerupai sebuah fakta yang menawarkan hasrat dan keintiman yang rill melalui kehadiran teknologi video chat Camfrog. Namun, tidak hanya sampai pada telaah simulasi ruang cyber, penulis juga memproblematisasikan eksistensi ruang cyber sebagai tempat kontestasi dan reproduksi kekuasaan. Oleh karena itu pendekatan teori relasi kekuasaan Michel Foucault digunakan guna mempertajam analisis .
21
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Korpus Penelitian Sebagai korpus, penelitian ini mengambil kajian pada sebuah situs video chat Camfrog di Indonesia. Adapun pertimbangan menjadikan Camfrog sebagai korpus penelitian di antaranya: 1.
Camfrog merupakan salah satu media chatting yang cukup digemari para netter di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai nama room di Camfrog seperti room kategori 18+ yang sebagian besar dimiliki dan dikelola user Indonesia, contoh room-room
tersebut adalah : Geli-geli
sedap, Indonesia 18X Zone, Jilatin donk say, Nenen vs Titit, Live Show Girls, Maho vs Ebong, atau menggunakan nama room sesuai identitas daerah di Indonesia misalnya, room Borneo party club, Bandung bergoyang, Surabaya bergetar, Makasar Free action dan lain-lain. 2.
Camfrog beserta karakter virtualnya, telah dianggap nampak seperti dunia nyata. Setiap orang menghuni rumah/ kamar masing-masing dijadikan tempat tinggal selamanya atau sementara. Kinerja Camfrog sama saja dengan dunia nyata tersebut. Memiliki sebuah rumah di dalamnya terdapat room yang memungkinkan penghuninya berinteraksi, meliputi: berbicara, menatap atau menyapa melalui beragam fitur seperti emoticon berbentuk bibir, jempol, bunga, dan buah hati- telah menunjang interaksi sesama penghuni room atau di luar zona. Selain itu, seorang (user) dengan memanfaatkan fasilitas 18+ (dewasa) mampu berbisik, mengintip, dan 22
berbincang hingga merasakan dentuman dan desahan erotik
mampu
memicu ejakulasi dari masing-masing pihak. Inilah bentuk simulasi seksual di era informasi saat ini, yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. 1.6.2. Metode Pengumpulan Data Secara teknis, pengumpulan data diperoleh dari beberapa postingan berupa arsip post, arsip percakapan dan visual image yang ditampilkan dalam beberapa room di video chat Camfrog. Arsip tersebut berisi beberapa postingan dan percakapan. Pengumpulan data ini lebih mempertimbangkan pada banyaknya jumlah pengunjung room yang berinteraksi di dalamnya. Teks yang dipilih menjadi data penelitian adalah teks yang mendukung kepentingan tujuan penelitian, yakni mendeskripsikan imaji seksualitas dalam miniaturisasi situs video chat Camfrog 1.6.3. Metode Analisi Data Penelitian
ini
merupakan
penelitian
multidisiplin
dengan
memilih
menggunakan metode analisa wacana kritis perspketif Norman Fairclough. Adapun alasan memilih analisis wacana kritis yang dikembangkan oleh Fairclough karena, pendekatan
ini merupakan bentuk penting praktik sosial yang memproduksi,
mengubah pengetahuan dan hubungan sosial mencakup hubungan kekuasaan dan sekaligus dibentuk oleh struktur dan praktik sosial yang lain ( Jorgensen dan Phillips, 2007:122) Selain itu, analisis ini memiliki perhatian utama pada bahasa, meski tidak menutup kemungkinan digunakan pula untuk menganalisa visual image.
23
Buku Language And Power (Fairclough.1989) telah membagai analisis wacana kritis ke dalam tiga tahap analisa. Tahap pertama yakni deskripsi, di mana bahasa (teks)menjadi unit analisa.Tahap selanjutnya adalah interpretasi, di mana teks dikaitkan dengan konteks sosial diproduksi dan dikonsumsi. Dengan demikian analisis mengenai miniaturisasi (simulasi) ruang cyber menjadi penting untuk mengungkap pembentukan imaji seksualitas. Tahap ketiga adalah eksplanasi, sebagai rangkaian metodis yang mengulas tentang praktik sosial. Tahap ini akan menjawab dua hal, yaitu bagaimana relasi kuasa berpeluang hadir dalam wacana, serta gerakan resistensi terhadap relasi kuasa yang muncul sebagai efek sosial atas diskurus tersebut. Untuk tahapan terakhir ini penulis menggunakan teori Foucault mengenai relasi kuasa pada seksualitas yang dipaparkan dalam History of Sexuality dipakai untuk mempertajam analisa. Analisis wacana kritis Fairclough merupakan model praktik sosial (social practices). Konsekuensi model wacana sebagai praktik sosial bagi Fairclough meniscayakan setiap penggunaan bahasa merupakan peristiwa komunikatif yang terdiri atas tiga dimensi berikut ini. 1. Teks (tuturan, pencitraan, visual image, atau gabungan ketiganya); 2. Praktik kewacanaan yang melibatkan pemroduksian dan pengonsumsian teks; dan 3. Praktik sosial ( Fairclough dalam Jorgensen & Phillips, 2007:128).
24
Gambar bagan analisis wacana kritis Faircloch (1989)
1.6.4 Sistematika Penulisan
BAB I
:
Pendahuluan
BAB II
:
Gambaran Umum Penelitian Pada
bab
ini
penulis
akan
mendeskripsikan‘Dinamika
Cybersex di Indonesia’ melalui: 1) Diskursus globalisasi dan praktik konsumsi perangkat digital oleh komunitas/generasi informasi di Indonesia. 2) Peninjauan kembali internet sebagai tempat ‘merayakan’ sekaligus arena kontestasi kebebasan seksual, khususnya pada sejumlah forum seks online di Indonesia. 3) memaparkan pelarangan dan
pemblokiran
situs
berkonten
‘porno’
di
Indonesia.
4)
mengidentifikasi sejumlah perangkat digital berbasis video chat streaming yang dominan diakses untuk kepentingan visual erotika di Indonesia.
25
BAB III:
:
Pembahasan Pada bab ini penulis akan menganalisis bagaimana imaji
seksualitas dalam miniaturisasi ruang cyber video chat Camfrog di Indonesia. Melalui perangkat analisi wacana, tahap pertama (deskripsi teks) berupa visual image dan arsip post mengenai imaji seksualitas, identitas dan komunitas dalam meminiaturisasi sebuah ruang simulasi bagi pengguna video chat Camfrog untuk kepentingan sublimasi hasrat seksual. Termasuk mencermati konteks lokalitas masing-masing room. BAB IV
Pada bab ini penulis akan mengulas interpretasi sosial konteks, di mana Camfrog hadir dibincangkan, dilarang dan dibolehkan, serta eksplanasi relasi kuasa tak setara yang dimungkinkan hadir dalam produksi wacana miniaturisasi video chat Camfrog di Indonesia
BAB V
:
Penutup Pada
bab
ini,
penulis
akan
memeriksa
sekaligus
memproblematisasikan, yakni mempertanyakan apakah gerakan resistensi user Camfrog wujud ‘perlawanan’atas rezim moralis di Indonesia, benarkah resistensi?
26