1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Perkembangan alat pembayaran sangat cepat dan maju. Pada zaman dahulu
dikenal suatu sistem pembayaran yang disebut sistem barter (pertukaran). Baik antara barang dengan barang maupun barang dengan jasa atau sebaliknya. Namun akhirnya cara bertransaksi dengan sistem ini mengalami jalan buntu karena tidak ada kepastian tentang standar dalam sistem barter, dan untuk itu diperlukan kepastian nilai tukar dengan menciptakan satuan nilai tukar yang disebut uang. Untuk tahap berikutnya diciptakanlah cara transaksi lain dengan mempergunakan uang sebagai alat tukar yaitu kartu kredit. Saat ini, uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di masyarakat khususnya transaksi dalam jumlah yang kecil. Namun penggunaan uang mempunyai kendala dalam efisiensi waktu pembayaran serta ketidakpraktisan mobilitas uang dalam jumlah yang besar. Selain itu mempergunakan uang untuk keperluan transaksi dalam jumlah besar, dalam segi keamanan berisiko tinggi untuk pembawa uang dari perbuatan orang-orang jahat, seperti pencurian, perampokan, dan pemalsuan uang. Mengingat semakin besar kualitas maupun kuantitas tindak kriminal pada zaman sekarang. Akibatnya, kegiatan penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran mulai berkurang. Diperlukan alternatif penggunaan alat tukar yang praktis, efisien dan aman. Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan
2
terjadinya perubahan gaya hidup dalam kehidupan bermasyarakat. Teknologi telah mampu mengubah pola pikir masyarakat dan ditemukanlah cara baru untuk mengadakan transaksi dengan banyak kelebihan yang dimilikinya. Menurut Dahlan Siamat keuntungan-keuntungan yang didapat pemegang kartu kredit dari penggunaan kartu kredit adalah, lebih aman dan praktis, karena tidak perlu membawa uang tunai dalam jumlah besar; keluasan, karena kartu kredit telah diterima sebagai alat pembayaran di seluruh kota di seluruh dunia; sistem pembayaran yang fleksibel; pembayaran atas tagihan dapat diangsur (credit card) atau beberapa waktu (charge card); program merchandising, yaitu kesempatan membeli barang-barang dengan mengangsur tanpa bunga; bantuan-bantuan perjalanan terutama ke luar negeri, misalnya referensi, dokter, rumah sakit, dan bantuan hukum; purchase protection plan, yaitu asuransi perlindungan pembelian barang yang diberikan secara otomatis.1 Dengan segala kelebihan tersebut cara-cara transaksi pembayaran konvensional kini mulai ditinggalkan dan masyarakat menggantikannya dengan cara-cara yang lebih praktis dan lebih efisien yaitu salah satunya adalah kartu kredit. Yang mana kartu kredit saat ini adalah salah satu kebutuhan masyarakat modern sebagai alat pembayaran tunai. Kartu kredit merupakan sejenis kartu yang dibuat dari plastik dengan ukuran standar tertentu dan berisikan data nomor kartu kredit yang terekam dalam magnetic stripe pada bagian belakang kartu. Pada bagian depan kartu terdapat nama dan nomor pemegang kartu kredit yang dicetak timbul, juga terdapat tanggal masa berlaku
1 Dahlan Siamat, 2001, Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Ketiga, Fakultas Ekonomi Indonesia, Jakarta, h. 415
3
kartu kredit tersebut. Nomor pemegang kartu kredit biasanya terdiri dari 12-16 digit dan unik untuk setiap bank dan pemegang kartu kredit. 2 Cikal bakal kartu kredit berawal dari Diners Club. Di tahun 1949 seorang pengusaha bernama Frank McNamara secara tidak sengaja ketinggalan dompet setelah acara makan malam di sebuah restoran terkenal. Saat tagihan datang, Frank McNamara baru sadar bahwa dompetnya tertinggal. Akibat kejadian ini Frank McNamara mulai mencari solusi pengganti uang tunai atau dompet yang sering tertinggal. Tahun 1950, Frank McNamara dengan rekannya Ralph Schneider kembali ke restoran tersebut dan menggunakan sebuah kartu pembayaran yang unik. Yang mana ini adalah cikal bakal kartu kredit yang dikenal hingga saat ini. Bermula dari Diners Club yang saat itu adalah jenis kartu "charge card". 3 Kartu "charge" adalah kartu kredit dalam arti konsumen bisa menunda pembayaran pada saat bertransaksi atau berbelanja di toko. Pihak Bank yang akan membayar terlebih dulu kepada toko. Jumlah pengeluaran tidak dibatasi dan di bulan berikutnya bank yang menagih ke konsumen dan konsumen wajib membayar penuh (full). Sejak saat itu (1951) penggunaan kartu Diners Club begitu terkenal di Amerika dan pada tahun yang bersamaan ditemukanlah bahan pembuat kartu dengan bahan dasar plastik yang membuatnya semakin terkenal. Sebab waktu dulu kartu masih menggunakan bahan dasar kertas. Sedikit berbeda dengan kartu kredit yang kita kenal sekarang. Dana yang bisa pemegang kartu kredit gunakan untuk
2
Johannes Ibrahim, 2004, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, PT. Refika Aditama, Bandung, h. 11 3 Sigit Triandaru dan Totok Budisanto, 2006, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi 2, Jakarta, h. 256
4
menarik uang tunai maupun berbelanja terbatas pada limit kredit yang disetujui. Kelebihan dari kartu kredit ini, pemegang kartu kredit tidak harus membayar penuh (full) jumlah tagihan yang jatuh tempo. Pemegang kartu kredit boleh mengangsur atau menyicil dengan jumlah minimal tertentu, sisanya termasuk bunga akan ditagihkan kepada nasabah pada bulan berikutnya. Bentuk kemudahan seperti inilah yang membuat kartu kredit sangat digemari oleh masyarakat. Pemakaian kartu kredit semakin berkembang melalui perluasan yang dilakukan oleh Bank of America dengan perjanjian lisensi kepada bank-bank lain di seluruh dunia. Kartu ini kemudian menjadi Visa Card, dan tahun 1966 terbit pula Master Card.4 Kehadiran kartu kredit di Indonesia diawali oleh Citibank, bank asing terlama yang beroperasi di Indonesia, yaitu sejak 1989. Bank Central Asia lalu menyusul menerbitkan kartu kredit untuk penggunaan internal nasabah dan Bank Duta menjadi bank lokal pertama yang bekerja sama dengan prinsipal internasional menerbitkan kartu kredit. Prinsipal kartu kredit yang masuk ke Indonesia adalah Visa, Master, American Express (Amex), Dinners Club International, dan Japan Credit Bureau (JCB). Melalui jaringan prinsipal itu, kartu kredit yang dikeluarkan bank bisa dipakai sebagai alat pembayaran di hampir semua belahan dunia. Sekitar 90 persen kartu kredit yang diterbitkan bank di Indonesia bekerja sama dengan Visa dan Master Card. Saat ini pemakaian kartu kredit sebagai alat pembayaran tunai sudah semakin luas oleh masyarakat Indonesia karena masyarakat merasakan manfaat kartu kredit yaitu kepraktisan, rasa nyaman dan aman yang ditimbulkan. Walaupun
4
Ibid
5
keberadaan kartu kredit tidak dimaksudkan untuk menghapus secara keseluruhan sistem pembayaran yang menggunakan uang tunai ataupun cek, namun untuk kegiatan pembayaran yang jumlah pembayaran tingkat menengah maka keberadaan kartu kredit sesungguhnya dapat menggeser peranan uang tunai maupun cek. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/52/PBI/2005 sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/8/PBI/2008 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu dalam pasal 1 angka 4, dijelaskan bahwa kartu kredit adalah Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu kredit dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu kredit berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut pada waktu yang disepakati baik secara sekaligus (charge card) ataupun secara angsuran. Berbagai jenis kartu kredit dikeluarkan bank-bank di Indonesia, maka keberadaan bank pada saat ini sangat mengambil peranan dalam menerbitkan kartu kredit sebab ini adalah salah satu bentuk pelayanan dari bank itu sendiri untuk para nasabahnya. Penerbitan kartu diawali dengan adanya perjanjian penerbitan kartu kredit antara bank penerbit dengan nasabah yang mana perjanjian penerbitan kartu kredit ini adalah sebagai perjanjian baku (standar), menurut Mariam Darius Badruzaman perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam
6
bentuk formulir. 5 Pihak bank menyodorkan formulir kepada nasabahnya dan persetujuan nasabah atas segala syarat dan akibat hukum yang dapat muncul berkaitan dengan penggunaan kartu kredit. Berdasarkan permohonan calon pemegang kartu kredit (cardholder) yang telah memenuhi persyaratan-persyaratan, nasabah akan menerima kartu untuk membayar iuran tahunan menurut ketentuan bank sebagai penerbit (issuer). Nasabah kemudian dapat menggunakan kartunya untuk transaksi pada pihak yang menerima pembayaran melalui kartu tersebut (merchant). 6 Pengguna kartu kredit disebut nasabah bank. Pasal 1 angka 18 Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa nasabah adalah orang yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan bank yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan. Bank dan nasabah saling terikat antara satu sama lainnya, yang ditegaskan di dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Selain itu, para pihak juga harus saling mematuhi dan melaksanakan perjanjian yang dibuat dengan baik sesuai dengan apa yang telah diperjuangkan sebelumnya. Perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat perjanjian tersebut, seperti apa yang dimuat didalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Namun perlu diingat
5
Mariam Darus Badrulzaman, 1990, Perjanjian Baku (Standar) Perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, h. 22 6 Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Adtya Bakti, Bandung, h. 130
7
bahwa tidak setiap pelaksanaan perjanjian yang dibuat selalu seperti apa yang telah diperjanjikan sebelumnya. Penyebabnya adalah adanya salah satu pihak yang melakukan wanprestasi atau cidera janji. Maka hendaknya sebelum membuat perjanjian harus mengetahui terlebih dahulu syarat-syarat sahnya perjanjian. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 1320 mengatur syaratsyarat tersebut, yaitu: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang. Syarat pertama adalah sepakat. Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. 7 Kesepakatan dalam penerbitan kartu kredit dilakukan oleh pemohon dengan mengisi dan menanda-tangani aplikasi atau permohonan penerbitan kartu kredit di bank yang bersangkutan. Apabila pemohon dinilai layak maka bank akan menerbitkan kartu kredit. Pemberitahuan pihak bank yang diterima oleh pemohon merupakan kesepakatan yang terjadi di antara kedua belah pihak. Syarat kedua adalah kecakapan. Unsur kecakapan dalam penerbitan kartu kredit pada dasarnya setiap orang yang telah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk dan
7 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2014, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Rajawali Pers, Jakarta, h. 95
8
atas namanya sendiri, baru kemudian dicari tahu apakah orang-perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut juga berwenang untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu. 8 Berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Pasal 1330 ayat (1) menentukan bahwa seseorang baru dikatakan dewasa jika ia: telah berumur 21 tahun; telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah. Syarat ketiga adalah suatu hal tertentu. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) menjelaskan maksud hal tertuntu dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334. Pasal 1332 berbunyi sebagai berikut: “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian” Pada dasarnya menegaskan bahwa yang dapat menjadi objek dalam perikatan adalah kebendaan yang termasuk dalam lapangan harta kekayaan. Pasal 1333 yang berbunyi sebagai berikut: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok pernjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung” Secara sepintas dengan rumusan “pokok-pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” tersebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
8
Ibid, h. 127
9
(Burgerlijk Wetboek) hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian rumusan tersebut hendak memberikan penegasan bahwa apapun jenis perikatannya, baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu pasti melibatkan keberadaan atua eksistensi dari suatu kebendaan tertentu.9 Pasal 1334 mengatur mengenai perjanjian yang melahirkan perikatan bersyarat, yang berbunyi sebagai berikut: “Kebendaan yang baru saja akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yan gmenjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178.” Maka kesimpulan yang didapat dari ketiga Pasal tersebut adalah, suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian harus berupa suatu hal atau suatu barang atau benda yang dapat ditentukan jenisnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa objek dari penerbitan kartu kredit tidak dikategorikan barang tetapi “suatu hal”, berupa jasa yang mana dalam konteks penerbitan kartu kredit adalah fasilitas kredit dari pengguna kartu kredit berupa fasilitas pinjaman yang diberikan kepada pemegang kartu kredit. 10 Syarat keempat adalah suatu sebab yang halal, hal ini diatur dalam Pasal
9
Ibid, h. 155 Johannes Ibrahim, Op. cit., h. 47
10
10
1335 sampai dengan Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Pasal 1335 yang berbunyi sebagai berikut: “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.” Dijelaskan bahwa yang disebut sebab yang halal adalah: − Bukan tanpa sebab; − Bukan sebab yang palsu; − Bukan sebab yang terlarang.
Pasal 1336 yang berbunyi: “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah.” Dari rumusan Pasal 1336 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) di atas dapat dilihat bahwa pada dasarnya Undang-Undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya suatu perjanjian tertentu, yang ada diantara para pihak. Mungkin saja perjanjian dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. 11 Dengan membarasi rumusan mengenai sebab yang halal menjadi sebab yang tidak terlarang, Pasal 1337 menyatakan bahwa: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.” Dalam rumusan yang demikian pun sesungguhnya Undang-Undang tidak 11
Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 162
11
memberikan batasan mengenai makna sebab yang tidak dilarang. Dan UndangUndang juga tidak menjelaskan bagaimana alasan atau sebab yang menjadi dasar pembentukan suatu perjanjian dapat digali atau ditetapkan hingga benar bahwa sebab itu adalah terlarang.12 Ke empat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam: dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif). Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak terlarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif, maupun batal demi hukum dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari pejanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.13 Terpenuhinya syarat-syarat sah perjanjian diatas maka pihak penerbit kartu kredit dapat menerbitkan kartu kredit untuk calon pengguna kartu kredit.
12
13
Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 163 Kartika Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit., h. 94
12
Pemakaian kartu kredit menunjukkan jumlah transaksi yang meningkat dalam kegiatan transaksi perdagangan atau transaksi pembelian barang dan jasa di Indonesia. Hal ini dapat dimungkinkan terjadinya masalah-masalah pada penggunaan kartu kredit di antara para pihak yang terlibat. Adapun yang menjadi kewajiban pemegang kartu kredit adalah membayarkan uang pangkal, uang tahunan, biaya administrasi, bunga, dan denda kepada bank penerbit; mematuhi batas maksimum pembayaran dengan menggunakan kartu kredit; menandatangani bukti transaksi yang disodorkan oleh penjual; membayar kembali harga pembelian sesuai dengan tagihan bank penerbit. Terjadinya masalah keterlambatan pembayaran tagihan kartu kredit yang selanjutnya menimbulkan kemacetan atau yang biasa disebut juga tagihan kartu kredit macet. Kartu kredit yang macet akan menimbulkan masalah bagi pemegang kartu kredit dan bagi pihak bank yang menerbitkan kartu kredit tersebut. Permasalahan yang timbul pun semakin kompleks, karena kartu kredit tidak sama dengan kredit perbankan lainnya yang memiliki perjanjian yang lebih mengikat dengan adanya unsur agunan, sehingga dalam memprosesnya kartu kredit membutuhkan perhatian yang lebih. Dalam prakteknya transaksi pembayaran dengan menggunakan kartu kredit diberikan oleh bank dengan sangat mudah bahkan tanpa melakukan studi lapangan atas kondisi calon pengguna kartu kredit. Sehingga besar kemungkinannya melakukan wanprestasi apabila tidak digunakan dengan bijak yang mana akan menimbulkan masalah bagi pemegang kartu kredit. Kartu kredit yang mengalami masalah disebabkan oleh tidak dipenuhinya kewajiban oleh pemegang kartu kredit, pihak bank selaku penerbit kartu kredit akan melakukan langkah-langkah penyelesaian
13
dari masalah tersebut. Atas dasar hal diatas yang mendorong penulis untuk menulis skripsi dengan judul “PENYELESAIAN TAGIHAN KARTU KREDIT AKIBAT PEMEGANG KARTU KREDIT TIDAK MEMENUHI KEWAJIBAN PADA PT. BANK MANDIRI (PERSERO) TBK CABANG SINGARAJA SEBAGAI BANK PENERBIT”
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah terurai sebelumnya, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap tagihan yang timbul akibat tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja? 2. Bagaimana upaya penyelesaian tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Agar lebih terarahnya tulisan ini, sekiranya perlu diadakan pembatasan
terhadap permasalahan tersebut. Hal ini untuk membatasi pembahasan agar tidak ada penyimpangan dari permasalahan yang dikemukakan. Maka pokok pembahasan disini adalah mengenai penyelesaian wanprestasi atau cidera janji yang dilakukan nasabah sebagai pemegang kartu kredit dalam pembayaran tagihan kartu kredit yang menyebabkan kemacetan atau yang biasa disebut juga tagihan
14
kartu kredit macet.
1.4
Orisinalitas Penelitian Penelitian yang saya dapat temukan sejenis adalah yang berjudul “Upaya
Penyelesaian Terhadap Pelanggaran Perjanjian Kartu kredit” penelitian tersebut dibuat pada tahun 2013 dan pada pembahasannya hanya sebatas penelitian hukum normatif yang mana hanya mengkaji dan menganalisis peraturan-peraturan tertulis. Sedangkan penelitian saya selain mengkaji dan menganalisis peraturan-peraturan tertulis juga menganalisis gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata dalam hal ini saya melalukan penelitian langsung pada PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja. Selain itu penelitian saya juga mengkaji dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja.
1.5
Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini secara umum adalah: 1) Untuk mengetahui dan mendalami ilmu hukum yang berkaitan dengan masalah wanprestasi pemegang kartu kredit kepada bank penerbit. 2) Untuk menambah dan memperdalam pengetahuan tentang hukum perdata dalam bidang hukum perjanjian khususnya mengenai kartu
15
kredit secara teori dan praktek yang dilaksanakan oleh pihak yang terkait didalamnya.
b. Tujuan Khusus Tujuan penelitian ini secara khusus adalah : 1) Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja. 2) Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana upaya penyelesaian tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja.
1.6
Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu : a. Manfaat Teoritis 1) Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan yang jelas tentang penyelesaian tagihan kartu kredit macet khususnya dalam bidang hukum perbankan serta menambah wawasan pengetahuan Ilmu Hukum. 2) Dijadikan sumber informasi ilimiah guna melakukan pengkajian lebih lanjut dan mendalam tentang penyelesaian tagihan kartu kredit macet, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan yang mungkin timbul di kemudian hari.
16
b. Manfaat Praktis 1) Bagi kalangan praktisi dengan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dan berharga dalam melaksanakan tugas-tugas. 2) Bagi masyarakat luas diharapkan dengan hasil penelitian ini akan memberikan kesadaran bahwa perjanjian antara pihak bank dan pemegang kartu kredit harus dipenuhi dengan tepat waktu agar tidak ada timbulnya masalah antar kedua belah pihak. 1.7
Landasan Teoritis Perjanjian merupakan dasar hubungan hukum antara nasabah pemegang
kartu kredit dengan pihak bank penerbit. Setiap perjanjian secara hukum harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak yang ditegaskan di dalam pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Maka setiap perjanjian yang dibuat asal tidak bertentangan dengan hukum kebiasaan yang berlaku maka perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam kegiatan kartu kredit akan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak tersebut, dengan demikian pula, tentunya perikatan dalam buku ketiga berlaku terhadap perjanjian-perjanjian yang berkenaan dengan kartu kredit, secara mutualis-mutadis.14 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab
14
ibid, h. 301
17
Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengatur secara jelas tentang penggunaan kartu kredit, tetapi terdapat beberapa Undang-Undang yang memberikan landasan bagi penerbitan dan pengoperasionalan kartu kredit yaitu Kepres No.61 Tahun 1988 tentang
lembaga
pembiayaan,
Keputusan
Mentri
Keuangan
No.1251/KMK.013/1998 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan lembaga pembiayaan, Undang-Undang No.10 Tahun 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-Undang No.7 Tahun 1992, dan berbagai peraturan-peraturan lainnya. Dalam
bisnis
transaksi
kartu
kredit
baik
penggunaan
maupun
pengoperasionalan kartu kredit, biasanya terdapat dua pihak utama atau pokok yang saling berkaitan. Penerbit kartu kredit (issuer) yaitu pihak yang membuat, mengeluarkan, dan mengelola produk kartu plastik sebagai alat pembayaran, yang berkewajiban memelihara dan memonitor segala aktivitas nomor rekening nasabah tersebut. Biasanya berupa bank atau lembaga keuangan bukan bank (financial institution) dan pengelola penggunaan kartu kredit. Pemegang kartu kredit (cardholder) adalah nasabah atau pihak yang telah memenuhi semua persyaratan yang telah dikategorikan sehingga berhak memegang dan menggunakan kartu kredit tersebut sebagai alat pembayaran. Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dihubungkan dengan 3 (tiga) teori hukum yaitu yang pertama adalah teori efektivitas hukum yaitu untuk mengetahui apakah hukum itu benar benar diterapkan atau dipatuhi oleh masyarakat maka harus dipenuhi beberapa faktor yaitu, faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat itu sendri, faktor kebudayaan. Kelima faktor tersebut
18
saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum itu, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum. Menurut Soerjono Soekanto, efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.15 Teori yang kedua adalah kepastian hukum yang dapat dilihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum. “Kepastian dalam hukum” dimaksudkan bahwa setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda (multi-tafsir) yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian hukum dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Akibatnya akan membawa perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Sedangkan “kepastian karena hukum” dimaksudkan, bahwa karena hukum itu sendirilah adanya kepastian. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. Teori yang ketiga adalah teori penyelesaian sengketa yang dapat dibagi 15
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja Karya, Bandung, h. 80
19
menjadi dua yaitu penyelesaian melalui badan peradilan (litigasi) dan penyelesaian di luar badan peradilan (non-litigasi). Penyelesaian sengketa secara litigasi dilakukan melalui badan peradilan. Dapat dikatakan penyelesaian sengketa melalui litigasi ini sebagai penyelesaian sengketa yang memaksa salah satu pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan perantara badan peradilan. Penyelesaian sengketa melalui litigasi tentu harus mengikuti persyaratan-persyaratan dan prosedurprosedur formal di badan peradilan dan sebagai akibatnya jangka waktu untuk menyelesaikan suatu sengketa menjadi lebih lama.16 Penyelesaian di luar badan peradilan (non-litigasi) yang telah diatur dalam Pasal 70 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang mengatur tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Oleh sebab itu penyelesaian sengketa di luar badan peradilan dibagi menjadi dua yaitu arbritase dan alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, dimana para pihak yang bersengketa mengangkat pihak ketiga (arbiter) untuk menyelesaikan sengketa mereka. Yang mana keberadaan arbriter harus melalui persetujuan bersama dari para pihak yang bersengketa. Persetujuan bersama menjadi penting bagi arbiter, karena keberadaannya berkait erat dengan peran arbiter dalam memberikan keputusan akhir.17 Alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal di Indonesia pada saat ini adalah negosiasi, mediasi, konsilisasi. Negosiasi adalah salah satu strategi
16 Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan, Visi Media, Jakarta, h. 9 17 Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, h. 15
20
penyelesaian sengketa yang paling sederhana dan murah, dimana para pihak sepakat untuk menyelesaikan permasalahan mereka melalui proses musyawarah atau perundingan. Proses ini tidak melibatkan pihak ketiga, karena para pihak atau wakilnya berinisiatif sendiri menyelesaikan sengketa mereka. Para pihak terlibat secara langsung dalam dialog dan prosesnya.18 Tetapi kenyataannya, sering juga pihak-pihak yang bersengketa mengalami kegagalan dalam bernegosiasi karena tidak menguasai teknik bernegosiasi dengan baik. Mediasi adalah salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa di luar badan peradilan. Dijelaskan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/5/PBI/2006, maka apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan bank, maka penyelesaian atas sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan melalui mediasi. Pasal 1 Angka (5) mendefinisikan mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian ataupun seluruh permasalahan yang disengketakan. Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Konsiliasi pada dasarnya memiliki karakteristik yang hampir sama dengan mediasi, hanya saja peran konsiliator lebih aktif daripada mediator. Mediator berubah fungsi menjadi konsiliator. Konsiliator berwenang menyusun dan merumuskan penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat konsiliator menjadi resolusi. Kesepakatan ini juga bersifat final dan mengikat para pihak. Dalam hal perjanjian kartu kredit, pemegang kartu kredit sangat besar 18
Ibid, h. 9
21
kemungkinannya melakukan wanprestasi apabila tidak digunakan dengan bijak yang mana akan menimbulkan masalah bagi pemegang kartu kredit. Oleh karena itu dalam hal ini, wanprestasi sangat mungkin sehubungan dengan keterbatasan dana pemegang kartu kredit. Yang mana masalah tersebut adalah keterlambatan pembayaran tagihan kartu kredit yang selanjutnya menimbulkan kemacetan atau yang biasa disebut juga tagihan kartu kredit macet. 1.8
Metode Penelitian Penulisan suatu karya tulis dalam hal ini skripsi, salah satu komponen yang
menentukan bermutu tidaknya sebuah tulisan adalah metode dalam pencarian datadata yang menjadi bahan dasar dan tulisan ilmiah itu. Istilah “Metedologi” berasal dari kata metode yang berarti “jalan ke”. Metode penelitian adalah suatu tulisan atau karangan mengenai penelitian disebut ilmiah dan dipercaya kebenarannya apabila pokok-pokok pikiran yang dikemukakan disimpulkan melalui prosedur yang sistematis dengan menggunakan pembuktian yang meyakinkan, oleh karena itu dilakukan dengan cara yang obyektif dan telah melalui berbagai tes dan pengujian. 19 Namun demikian, menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan, yaitu: 1) Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian. 2) Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan. 3) Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.20 19
Winarno Surakhmad, 1990, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Tehnik, Tarsito, Bandung, h. 26 20 Soerjano Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III Penerbit Universitas Indonesia, h. 87
22
Dengan mengacu pada uraian diatas, metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Jenis Penelitian Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan yuridis empiris, yang maksudnya penelitian hukum dilakukan dengan pengamatan secara langsung di lapangan, kemudian hasil pengamatan di lapangan tersebut dikonfirmasi/ dibandingkan dengan teori yang dianut untuk bidang yang diamati itu.21 Definisi lain diberikan oleh Ronny Hanitijo yang menyatakan bahwa yuridis empiris merupakan suatu pendekatan yang mengacu pada peraturan – peraturan tertulis untuk kemudian dilihat bagaimana implementasinya di lapangan.22 Penelitian hukum dilakukan dengan memakai dasar-dasar teori hukum dan mencocokkan dengan keadaan nyata di dalam praktek hukum yang lazim dilakukan oleh para pelaku hukum. Penelitian yang didasarkan kepada teori-teori hukum, peraturan perundang-undangan dan kemudian dihubungkan dengan penerapannya dengan praktek penerapan hukum. b. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis pendekatan Perundang–undangan (The Statue Approach), Pendekatan Fakta (The Fact Approach), dan Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual Approach). Permasalahan penelitian dikaji dengan uraian yang argumentatif
21
Winarno Surakhmad, 1970, Dasar-Dasar Teknik Research: Pengantar Penyelidikan Ilmiah, Transito, Bandung, h. 5 22 Ronny Hanitijo Soemitro, 1994, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia, Jakarta, h. 116
23
berdasarkan perundang-undangan dan fakta yang ada di lapangan. c. Data dan Sumber Data Pada penelitian hukum yuridis empiris sumber data yang diperlukan bersifat data sekunder dan data primer. Data primer bersumber dari penelitian lapangan yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertama di lapangan baik dari responden maupun informan. Sedangkan data sekunder bersumber dari penelitian kepustakaa. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah: 1) Data Primer didapatkan melalui penelitian langsung yang dilakukan pada obyek yang akan diteliti untuk memperoleh data yang diperlukan diperoleh dari sumber pertama. Dalam penelitian ini data diperoleh dari PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja. 2) Data sekunder diperoleh dari membaca buku literatur hukum, peraturan perundang-undangan, surat kabar, majalah-majalah hukum, yang memiliki kaitan erat dengan penelitian ini. d. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah: 1) Teknik Wawancara Wawancara merupakan suatu metode pengumpulan data dengan jalan tanya jawab yang bersifat sepihak, yang dilakukan secara sistematis didasarkan pada tujuan research. 23 Wawancara dilakukan terhadap sumber informasi yang telah ditentukan sebelumnya dengan berdasarkan pada pedoman wawancara sehingga 23
ibid, h. 21
24
diharapkan dapat memberikan gambaran faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan kartu kredit macet dan penyelesaian tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja. 2) Teknik Studi Dokumen Membaca, memahami, mencatat, mengutip penjelasan data yang didasarkan pada peraturan perundang – undangan, teori dan konsep dimana dengan metode ini diharapkan akan memperoleh jawaban mengenai pokok permasalahan yaitu sejauh mana faktor-faktor penyebab terjadinya tagihan kartu kredit macet dan penyelesaian tagihan kartu kredit macet di PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk. Cabang Singaraja. e. Teknik Analisis Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan ditemukan tema. Setelah data dan informasi dapat dikumpulkan, kemudian diolah dan dianalisa. Pengolahan dan analisa ini dilakukan secara kualitatif. Peraturan-peraturan dan literatur-literatur mengenai penyelesaian tagihan kartu kredit macet dipadukan dengan data dari informan di lapangan dianalisis secara kualitatif, dicari pemecahannya, dan kemudian dapat ditarik kesimpulan.