BAB I PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Perjuangan kesamaan hak, peran, dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dimulai dengan timbulnya gerakan emansipasi di tahun 1950 dan 1960an. Perjuangan kesamaan laki-laki dan perempuan diperkuat dengan deklarasi yang dihasilkan dari konferensi PBB tahun 1975, memprioritaskan pembangunan bagi kaum perempuan. Dari deklarasi tersebut mulai diperkenalkan tema Women In Development
(WID),
yang
bermaksud
mengintegrasikan perempuan dalam
pembangunan. Sampai akhirnya sekitar tahun 1980-an, berbagai studi menunjukkan bahwa kualitas kesetaraan lebih penting daripada sekedar kuantitas, maka tema WID diubah menjadi Women and Development (WAD). Dan kemudian program WAD diteruskan oleh Gender and Development (GAD) sebagai tindak lanjut dari pembangunan dengan peran antara laki-laki perempuan dalam mendirikan kesinambungan pembangunan. Di Indonesia sendiri perjuangan persamaan gender ini telah dimulai oleh R. A Kartini, yang menempatkan beliau menjadi salah satu pahlawan nasional wanita. Akan tetapi hingga sekarang ini, ketertinggalan perempuan mencerminkan masih
1 Universitas Sumatera Utara
adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Dalam beberapa aspek pembangunan, perempuan kurang dapat berperan aktif yang disebabkan oleh kondisi dan posisi yang kurang menguntungkan dibanding lakilaki. Seperti peluang dan kesempatan yang terbatas dalam mengakses dan mengontrol sumber daya pembangunan, sistem upah yang merugikan, tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah, sehingga manfaat pembangunan kurang diterima kaum perempuan. Berbagai upaya pembangunan nasional yang selama ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, baik perempuan maupun laki-laki, ternyata belum dapat memberikan manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki, bahkan belum cukup efektif memperkecil kesenjangan yang ada di antara laki-laki dan perempuan. Upaya-upaya tersebut selalu dihalangi dengan adanya peran ganda, subordinasi, marginalisasi, stereotyping, pelecehan, kekerasan, trafficking dimana melibatkan perempuan sebagai korban. Kesenjangan yang terdapat antara laki-laki dan perempuan bukan hanya terdapat dalam kehidupan rumah tangga (pembedaan terhadap domestik dan publik) akan tetapi isu-isu terhadap kesenjangan gender juga terdapat dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik dan hukum, ekonomi dan ketenagakerjaan, agama, serta bidang informasi dan komunikasi. Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis 2 Universitas Sumatera Utara
Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Tuntutan atas kesamaan hak bagi setiap manusia didasarkan pada prinsipprinsip hak asasi manusia (HAM). Pasal 28 ayat (2) UUD RI 1945 telah menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif itu.” Sementara itu Pasal 3 UU No. 30 Tahun 1999 tentang HAM telah menegaskan bahwa “…setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat yang sama dan sederajat….” Kesetaraan dan keadilan gender tidak terlepas dari proses perjuangan hak-hak azasi manusia (HAM) yang dideklarasikan PBB tahun 1948. Pelaksanaan HAM memberikan aspirasi bagi kaum perempuan dalam mengatasi kepincangan dan ketidakadilan perlakuan sebagai konstruksi sosial, yang menempatkan perempuan dalam status di belakang laki-laki. Dalam masyarakat Indonesia sendiri, gender masih diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin. Mayoritas masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, marginalisasi, subordinasi, 3 Universitas Sumatera Utara
stereotyping, terhadap salah satu gender semakin meningkat, ditambah lagi dengan masyarakat adat Indonesia menganut paham patriarkhi. Dalam bidang pendidikan, sekolah berfungsi untuk melakukan transfer nilainilai dan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat, termakasud nilai dan norma gender. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut di transfer secara lugas maupun tersembunyi, baik melalui teks-teks tertulis dalam buku pelajaran, maupun dalam perlakuan-perlakuan yang mencerminkan nilai dan norma gender yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat. Sosialisasi bias gender dalam dunia pendidikan telah lama dimulai tanpa disadari oleh masyarakat sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari muatan teks bacaan yang digunakan sewaktu SD, seperti kutipan berikut : “Ayah (laki-laki) bekerja di kantor, sedangkan ibu (perempuan) bekerja di kebun” atau “Ayah membaca Koran dan ibu memasak di dapur”. Sosialisasi yang panjang tersebut mengakibatkan gender dianggap sebagai ketentuan dari Tuhan, artinya gender telah menjadi bagian dari sistem nilai atau ideologi dalam masyarakat. Sebagai sistem nilai, maka gender merasuk dan berpengaruh pada sistem sosial dan kemudian berpengaruh pula pada benda atau teknologi yang ada. Kerangka berpikir dalam pendekatan ide kognisi dalam kebudayaan dicerminkan oleh pengertian tersebut, bahwa bangunan atas kebudayaan (sistem nilai budaya atau ideologi) akan mempengaruhi bangunan tengah kebudayaan (sistem sosial budaya) dan akhirnya sistem nilai dan sistem sosial budaya akan mempengaruhi benda budaya (teknologi artefak). 4 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, maka sistem nilai gender akan berpengaruh pada sistem sosial di sekolah. Artinya perilaku yang tampak dalam kehidupan sosial sekolah akan menampakkan bias gender. Interaksi guru-guru, gurumurid, murid-murid, baik di kelas maupun di luar kelas tidak terlepas dari hal tersebut. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran sendiri yang merupakan bagian inti dari kehidupan sosial sekolah akan menampakkan bias gender. Oleh karena itu kebijakan pemerintah tentang pengarustamaan gender telah tertuang dalam Inpres Tahun 2000 tentang Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Nasional. Berpedoman pada hal tersebut Departemen Pendidikan Nasional merespon adanya program pengarustamaan gender di bidang pendidikan dan secara terus menerus untuk mengupayakan terselenggaranya pembangunan di bidang perspektif gender. Salah satu bentuk program pengerustamaan gender adalah sosialisasi pengarustamaan gender dalam bidang pendidikan. Tanggapan sekolah terhadap program pengarusutamaan gender ini salah satunya terlihat dengan keterbukaan pihak sekolah untuk menerima pihak-pihak dari luar untuk mengadakan kegiatan yang bersifat kewanitaan, seperti “Koteks goes to school”
1
, yang
memberikan pemahaman mengenai problem kewanitaan secara biologis maupun tentang kehidupan sosial perempuan. Pada Tahun 2003 sendiri telah tersusun program pendidikan perspektif gender sangat memperhatikan adanya perempuan dan laki-laki diberi peluang yang sama dalam memperoleh pendidikan. Sasaran pendidikan adalah kaum perempuan untuk 1
Iklan Media Stasiun Televisi Swasta
5 Universitas Sumatera Utara
mengejar ketertinggalan agar tidak terjadi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan 2. Ketertinggalan perempuan disebabkan masih kentalnya pandangan akan lebih pentingnya anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Anak laki-laki akan menjadi kepala keluarga, anak laki-laki akan meniti karir yang dapat dibanggakan dan dipamerkan serta merupakan tumpuan harapan untuk menghidupi keluarganya. Penilaian tersebut menempatkan anak laki-laki dan perempuan seakan-akan memiliki nilai yang berbeda. Semakin tinggi tingkat pendidikan anak laki-laki, semakin tinggi pula nilai dan kedudukannya. Beberapa isu yang selalu dihadapi oleh perempuan di Indonesia yang diakibatkan dari sistem patriarkhi yang dianut oleh mayoritas masyarakat budaya di Indonesia : 1. Berpendidikan rendah Anak perempuan jarang bersekolah tinggi misalnya melanjutkan sekolah di SMP/SMU, apalagi ke Perguruan Tinggi. Mereka hanya tamat Sekolah Dasar, setelah itu tinggal di rumah membantu orangtua membanting tulang mencari nafkah dan biaya pendidikan untuk saudara laki-laki. Akibat dari pendidikan yang rendah ini, perempuan semakin terpinggirkan dan tinggal dalam kebodohan dengan dalih kodrat.
2
www.depdiknas.go.id
6 Universitas Sumatera Utara
2. Kawin paksa Ini juga sudah menjadi tradisi. Banyak alasan mengapa terjadi kawin paksa. Umpamanya, orangtua perempuan memaksa anaknya untuk kawin supaya ia mendapat penghormatan dari orang lain, segera mendapat cucu, merasa berutang budi kepada pihak laki-laki, meringankan beban keluarga, calon menantu kebetulan orang kaya sehingga derajatnya di tengah masyarakat akan meningkat, dan masih banyak alasan lain. 3. Tidak berhak mengemukakan pendapat Di kebanyakan budaya di Indonesia, perempuan tidak boleh angkat bicara, sekalipun keputusan itu merugikan dirinya sendiri. Dalam hal suami-istri, seandainya suami tidak ada di rumah sementara ada satu hal penting yang harus diputuskan saat itu juga, maka istri tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan harus menunggu suami pulang atau bila ada ayah mertuanya, maka itulah yang bisa membantu memberi keputusan. Dalam musyawarah adat, perempuan tidak dilibatkan. Mereka hanya menunggu apa yang diputuskan oleh kaum lelaki. 4. Anak perempuan tidak membawa rejeki Pada masyarakat Nias dan Cina, bila seorang ibu melahirkan anak pertama perempuan, maka keluarga tersebut akan sangat kecewa, sebab yang paling diharapkan lahir adalah anak laki-laki yang dianggap sebagai pembawa rejeki dan generasi penerus. Perempuan dianggap kurang penting, inferior, dan tidak berkompeten memegang satu jabatan. 7 Universitas Sumatera Utara
5. Peminggiran terhadap Janda dan Perawan Tua. Bagi perempuan yang sudah menyandang status janda dan perawan tua sudah barang tentu mereka kurang diperhitungkan dan difungsikan dengan alasan kurang mampu apalagi bila kondisi sosial ekonomi yang tidak memadai. 6. Pemuas kaum lelaki Posisi perempuan ditempatkan sebagai pemuas kebutuhan biologis saja dan melupakan kebutuhan sosial lainnya. 7. Mengalami kekerasan Karena posisi perempuan cenderung lebih rendah di mayoritas budaya patrilineal, cenderung terjadi kekerasan kepada perempuan. Kekerasan yang terjadi bukan hanya terbentuk secara fisik melainkan juga secara non fisik. Selain dari pada sistem patriarkhi yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia, terdapat isu-isu lainnya yang mencerminkan keadaan bias gender, dengan banyaknya akses yang lebih didominasi oleh laki-laki seperti, pemilihan Ketua Kelas, Ketua OSIS, Informal Leader, Pemimpin Upacara, yang lebih cenderung dikandidati oleh siswa laki-laki, juga pembedaan perlakuan guru terhadap siswa perempuan dan laki-laki, perwakilan sekolah, pemisahan blok denah tempat duduk antara perempuan dan laki-laki sampai dengan penggunaan seragam, dimana hal-hal demikian sepertinya menjadi hal yang biasa bagi masyarakat dan mungkin tidak menyadari bahwa telah terjadi bias gender disekeliling mereka. Pengetahuan dan pemahaman manusia dimulai dengan adanya sosialisasi panjang dalam hidupnya. Banyak institusi yang memberikan pengetahuan kepada 8 Universitas Sumatera Utara
masyarakat, termakasud juga Sekolah sebagai unit institusi pendidikan. Pada SMA N 17 sendiri, terletak di lingkungan masyarakat yang mayoritas berasal dari suku Batak Karo dan Batak Toba yang dikenal memiliki sistem patriarkhi yang sangat melekat dalam kehidupan berbudayanya, serta lokasi Sekolah berada di sekitar pinggiran kota Medan, yang sering diasumsikan oleh masyarakat bahwa daerah pinggiran kota akan mengalami dampak yang lebih kecil terhadap penyebaran informasi daripada kawasan pusat kota. Ketertarikan untuk melakukan penelitian tentang pemahaman gender ini dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan gender yang tidak disadari oleh siswa-siswi yang duduk di bangku sekolah.
1.2 Perumusan Masalah Dari yang telah diuraikan di latar belakang, adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Bagaimanakah pemahaman gender pelajar sekolah umum, dalam hal ini pada siswa-siswi SMA N 17 Medan?”
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengetahui bagaimanakah pengetahuan pelajar SMA khususnya pada siswa-siswi SMA N 17 Medan mengenai konsep gender dan perbedaannya dengan jenis kelamin.
9 Universitas Sumatera Utara
2. Untuk mengungkapkan berbagai kondisi gender yang terdapat dalam sistem sosial yang telah tersosialisasikan dalam waktu yang lama (membudaya).
1.4 Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi Manfaat dari Penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang konsep Gender dan konstruksi sosial yang tersusun di dalam masyarakat, 2. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara (USU) untuk menambah dan memperkaya bahan referensi dan bahan penelitian serta sumber bacaan, 3. Secara kritis, hasil dari penulisan penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pikiran dan kontribusi motivasi kepada mahasiswa untuk meningkatkan kualitas pengetahuan khususnya dalam ilmu teknologi informasi dan komunikasi.
10 Universitas Sumatera Utara
1.5 Kerangka Teori 1.5.1 Konseptualisasi Gender: Pendekatan Konstruksi Sosial Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis. Pemahaman mengenai jenis kelamin laki laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan gender feminin, kaitan antara jenis kelamin dengan gender bukanlah merupakan korelasi absolut 3. Hal ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam suatu kebudayaan dapat dianggap feminin dalam budaya lain. Dengan kata lain, kategori maskulin atau feminin itu bergantung pada konteks sosial budaya setempat. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminin. Realitas sosial menunjukkan bahwa pembagian peran berdasarkan gender melahirkan suatu keadaan yang tidak seimbang saat perempuan menjadi tersubordinasi oleh laki laki. Hal ini yang disebut dengan ketimpangan gender. Analisis tentang gender dalam kegiatan ekonomi, misalnya, tidak dapat dipisahkan dari analisis tentang keluarga. Keluarga dan ekonomi merupakan dua lembaga yang saling berhubungan sekalipun tampaknya keduanya terpisah satu sama lain. Menurut Chafetz (1991), ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses ke sumber-sumber yang langka
3
Mosse, Julia, Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1996
11 Universitas Sumatera Utara
dalam masyarakat 4 . Ketidakseimbangan ini didasarkan pada keanggotaan kategori gender. Sumber-sumber yang penting itu meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain, prestise, peranan yang menentukan, waktu yang leluasa, maknan dan perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik. Ketimpangan gender di dalam keluarga serta rendahnya otoritas perempuan dilihat pada sumber-sumber yang dianggap langka dan tidak memperhatikan, misalnya, mengapa ketimpangan semacam ini terjadi dan membentuk suatu realitas sosial serta mengapa ketimpangan tersebut dilestarikan oleh berbagai pihak. Konstruksi sosial telah hadir untuk menjelaskan kecenderungan tersebut dengan cara melihat realitas sebagai sesuatu yang dibentuk secara sosial. Dalam hal ini, konstruksionisme sosial menekankan tentang bagaimana realitas keadaan dan pengalaman mengenai sesuatu diketahui dan diinterpretasikan melalui aktivitas sosial. Sebagai konstruksi sosial budaya, gender terbentuk dari sejarah pengalaman manusia yang diinterpretasikan dan dimaknai berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Pembagian kerja secara seksual bersumber dari pengalaman awal manusia. Pada awal kehidupan manusia, berburu merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup dan berburu hampir selalu dilakukan oleh laki-laki. Perempuan dan anak-anak bergantung pada laki-laki untuk memperoleh daging. Pengalaman awal laki-laki yang berbeda dengan perempuan kemudian melahirkan anggapan yang berbeda terhadap 4
Chafetz, Janet Saltzman. The Gender Division of Labour and Reproduction of Female Disadvantage : Toward and Integreted Theory” dalam R. L. Blumber (ed). Gender Family and Economy : The Triple Overlap. Nebury Park : Sage Publikation.
12 Universitas Sumatera Utara
dua jenis kelamin ini. Subordinasi perempuan itu tidak hanya bersifat kultural, tetapi juga berakar pada pembagian kerja berdasarkan gender. Pembagian kerja ini bersumber pada asosiasi simbolis antara perempuan dengan alam (nature) dan laki laki dengan budaya (culture). Perempuan dengan fungsi reproduksinya diasosiasikan dengan domestik dan laki laki di lingkungan publik akhirnya melahirkan hubungan hubungan hierarkis, yakni laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior. Nilai-nilai budaya yang membedakan peran laki-laki dan perempuan dalam realitas sosial dapat ditemukan dalam berbagai basis kebudayaan, seperti dalam lembaga-lembaga sosial, ajaran-ajaran agama, mitos mitos, simbol, serta praktikpraktik sosial lainnya. Nilai-nilai budaya ini bersifat objektif karena kebudayaan adalah milik publik.
Kajian Gender dan Relasi Istilah Gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan tersebut sangat dibutuhkan karena selama ini kita seringkali mencampuradukkan ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah, dengan ciri manusia yang bersifat nonkodrati yang sebenarnya dapat berubah atau diubah. Dengan kata lain masyarakat tidak membedakan yang mana sebetulnya jenis kelamin (kodrat) dan yang mana gender. 13 Universitas Sumatera Utara
Penanaman konsep gender dilakukan sebagai pengetahuan juga berupa penanaman sikap. Sehingga gendering merupakan konstruksi sosial-psikologis berarti secara historis dan budaya. Penanaman pengetahuan yang baru dan pembentukan sikap gender memerlukan langkah-langkah yang berbeda dengan pengetahuan lainnya mengingat gender merupakan suatu pemaknaan budaya yang telah melekat di masyarakat. Dalam perkembangannya, sistem sosial, membentuk status, peran dan tanggung jawab sosial yang diberikan kepada setiap unit sosial yang berada di dalamnya. Status dan peran tersebut memberikan atribut secara tidak langsung kepada individu terhadap cara mereka berinteraksi di kelompok. Atribut tersebut memberikan memberikan tanggung jawab kepada individu akan berjalannya keharmonisan dalam kelompok dengan menciptakan aturan dan norma yang berfungsi sebagai pembatas atas perilaku individu agar sesuai dengan perilaku kelompok. Atribut yang terbentuk tersebut merupakan sebuah proses organis yang dibutuhkan untuk mendapatkan keteraturan dalam berinteraksi dalam sistem sosial. Terjadi kontradiksi yang bias apabila atribut tersebut kemudian berbenturan dengan masyarakat yang memiliki sistem patriarkhi dalam tatanan budaya mereka. Sistem tersebut memberikan arti yang bias terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan. Patriarkhi sendiri mnitikberatkan bahwa laki-laki memiliki nilai yang lebih daripada perempuan, sehingga seolah-olah terjadi perbedaan status dan peran antara laki-laki dan perempuan itu sendiri. Pembedaan tersebut menghasilkan ketidakadilan dan diskriminasi yang dialami oleh perempuan sebagai kaum “bawah”. 14 Universitas Sumatera Utara
Fenomena adanya bias gender dapat tampil dalam bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender, seperti : a. Marjinalisasi (pemiskinan), Perempuan cenderung dimarginalkan, yaitu diposisikan dipinggir. Dalam rumah tangga, perempuan adalah konco wingking di dapur. b. Subordinasi (penomorduaan), Kaum perempuan
harus tunduk
kepada kaum laki-laki.
Pemimpin
(superordinat) hanya pantas dipegang oleh laki-laki, sedangkan perempuan hanya boleh menjadi yang dipimpin (subordinat). c. Kekerasaan, Kaum perempuan berada dalam posisi yang lemah, karenanya kaum perempuan sering menjadi sasaran tindak kekerasan (violence) oleh kaum laki-laki. Dalam masyarakat, bentuk kekerasan itu mulai dari digoda, dilecehkan, dipukul, dicerai sampai diperkosa. d. Beban ganda Akibat ketidakadilan gender itu, kaum perempuan harus menerima beban pekerjaan yang lebih berat dan lebih lama daripada yang dipikul kaum lakilaki. Dalam bekerja, laki-laki paling aktif makasimal bekerja rata-rata 10 jam/hari, sedangkan perempuan bekerja 18 jam/hari. Pada umumnya beban ini dianggap remeh oleh kaum laki-laki, karena secara ekonomi dinilai kurang berarti.
15 Universitas Sumatera Utara
1.6 Defenisi Konsep Pemahaman Gender Kemampuan
individu
yang
berkaitan
dengan
pengetahuan
terhadap
penanaman peran, status, dan tanggung jawab sosial dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial. Gender Perbedaan tingkah laku antar jenis kelamin yang merupakan hasil bentukan masyarakat. Gender tidak bersifat biologis melainkan sebuah bentukan masyarakat melalui proses sosial-budaya yang panjang. Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Gender berbeda dengan seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis (Moore, 1988, 1994:10) 5. Jenis Kelamin Pembedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan keadaan biologis (jasmani) 6. Konstruksi Sosial Suatu proses pembangunan nilai, norma secara sosial yang dibangun berdasarkan hasil pikiran masyarakat. Konstruksi sosial cenderung menjadi kebiasaan dalam masyarakat dalam menilai suatu fenomena sosial.
5
Moore, hal. 10. Moore, Hendrietta. L. Feminism and Anthropology. Cambridge : Polity Press. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka, Jakarta.2002 6
16 Universitas Sumatera Utara
Ketidakadilan Gender Secara konseptual ketidakadilan yang berbasis gender sebagai sebuah bentuk refleksif pendefinisian dan pembakuan atas peran-peran yang berbeda (yang seringkali diskriminatif) pada laki-laki dan perempuan terhadap sesuatu yang didasarkan atas pembagian kerja menurut kategori jenis kelamin dan asumsi ideologi patriarkhi. Akibat kuatnya ideologi gender yang patriarkhis yang berkembang di masyarakat ini, maka laki-laki dan perempuan tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan peran-peran sosial dan kultural karena secara faktual ketidakadikan gender telah termanifestasikan dalam pelbagai bentuk keyataan sosial, budaya, ekonomi, politik dan agama 7. Sekolah Umum Bangunan atau lembaga yang dijadikan sebagai tempat untuk transfer ilmu pengetahuan, nilai dan norma yang terdapat di dalam kehidupan masyarakat 8. Pengajaran Sekolah umum berorientasi kepada pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan yang umum ataupun keseluruhan tentang lingkungan.
7
Faqih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1997 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka, Jakarta.2002 8
17 Universitas Sumatera Utara