BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Perjanjian menguasai begitu banyak bagian kehidupan manusia, hingga orang tidak mengetahui berapa banyak perjanjian yang telah dibuat setiap harinya. Dalam pengertiannya yang luas, perjanjian adalah kesepakatan yang melandasi hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Dalam hal perjanjian jual-beli pengertiannya adalah kesepakatan yang dibuat oleh 2 (dua) pihak di mana pihak pertama disebut sebagai penjual dan pihak lainnya sebagai pembeli. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.1 Perjanjian bisa dibuat dalam bentuk lisan maupun tertulis. Perjanjian dalam bentuk tertulis pada dunia bisnis disebut kontrak. Namun sebenarnya kontrak ataupun perjanjian memiliki pengertian yang sama yaitu kesepakatan antara para pihak yang mempunyai akibat hukum yang mengikat. Perjanjian atau kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun kecil, baik domestik maupun internasional. 1
R. Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, cet. 10, PT. Intermasa, Jakarta, hal.1 (selanjutnya disebut Subekti I).
1
2 Fungsi kontrak sangat penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dapat terlaksana dan dipenuhi. Dalam hal terjadi pelanggaran, maka terdapat kompensasi yang harus dibayar dan konsekuensi hukum yang harus ditanggung. Dalam dunia bisnis, waktu dan kepastian merupakan faktor yang penting. Hukum kontrak dalam hal ini memberikan sarana yang memungkinkan para pihak mengakomodasi seluruh kepentingannya. Kontrak merupakan janji yang mengikat dan janji-janji tersebut menimbulkan harapan-harapan yang layak. Hukum kontrak dalam hal ini merupakan instrumen hukum yang berfungsi untuk menjamin pelaksanaan janji dan harapan itu.2 Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Titel II Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351 Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 No. 23 (selanjutnya disebut BW). Menurut Pasal 1313 BW, yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan, dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Terjadinya persesuaian kehendak ini dapat berupa lisan atau tertulis. Dari sini timbul suatu penawaran dan suatu acceptance (penerimaan), sehingga menimbulkan suatu persetujuan yang mengakibatkan timbulnya ikatan-ikatan bagi masing-masing pihak. Suatu janji dengan sengaja antara dua pihak tersebut dan kesepakatan untuk saling mengikatkan diri, menimbulkan suatu hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang perlu untuk diwujudkan. Hak dan kewajiban yang perlu diwujudkan ini, berupa prestasi yang tersimpul dalam suatu kewajiban untuk 2
Yohanes Sogar Simamora, 2009, Hukum Perjanjian ; (Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, hal. 32-33.
3 memberikan atau menyerahkan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 BW). Dengan demikian perjanjian merupakan hubungan hukum yang mengikat antara para pihak. Pihak yang satu dapat menuntut prestasi yang diperjanjikan pada pihak lainnya. Untuk itu para pihak diwajibkan untuk secara efektif berperan dalam mewujudkan apa yang diperjanjikan. Mengingat perjanjian berlaku sebagai undang-undang maka jika salah satu pihak melakukan wanprestasi, maka pihak lainnya dapat menuntut pemenuhan prestasi melalui gugatan dipengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 1320 BW disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian, diperlukan 4 syarat, yaitu adanya sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat perikatan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pemenuhan persyaratan ini membuat setiap orang dapat membuat perjanjian apa saja. Pasal 1320 BW disebut sebagai ketentuan yang mengatur asas konsesualisme, yaitu perjanjian adalah sah apabila ada kata sepakat mengenai halhal yang pokok dari perjanjian. Hal ini berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dalam membuat semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW, sehingga perjanjian harus dibuat dengan memenuhi ketentuan Undang-Undang, maka perjanjian tersebut mengikat para pihak yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak tersebut. Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) BW, salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menerapkan asas kebebasan berkontrak, adalah itikad baik dari pihak yang membuat perjanjian. Itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian
4 adalah kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam melaksanakan apa yang akan diperjanjikan.3 Asas itikad baik dengan demikian mengandung pengertian, bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.4 Pengaturan itikad baik di Indonesia ditemukan yang dalam Pasal 1338 ayat (3) BW yang menyebutkan bahwa perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Ketentuan ini sangat abstrak. Tidak ada pengertian dan tolok ukur itikad baik dalam BW. Oleh karena itu, perlu dicari dan ditelusuri makna dan tolok ukur itikad baik tersebut. Asas iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan dengan karakter reciprocal trust dan consideration sesuai dengan tujuan norma hukum. Unsur moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan tujuan hukum.5 Pelaksanaan perjanjian mengacu kepada itikad baik yang objektif. Itikad baik objektif mengacu kepada suatu norma yang objektif. Itikad baik tersebut tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada pengaturan perundang-undangan di Indonesia. Dengan makna 3
Subekti, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, hal. 26. (Selanjutnya disebut Subekti II). 4 Sutan Remy Sjahdeni, 2008, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 49. 5 Arthur S. Hartkamp dan Marianne dalam Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum, No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 56-62. (Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy I)
5 yang demikian itu menjadikan standar itikad baik sebagai suatu universal social force yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warga negara harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan itikad baik terhadap semua warga negara.6 Penyamaan perilaku itikad baik dengan ketaatan pada standar objektif membatasi elastisitas konsep itikad baik, mengesampingkan fakta eksternal yang menunjukkan perilaku itikad buruk, dan secara potensial menimbulkan hasil yang tidak adil. Standar pengukuran perilaku dalam pembentukan perjanjian, pelaksanaan perjanjian, atau penegakan hukum perjanjian harus menjadi sesuatu yang elastis. Standar tersebut harus dibuat fleksibel dengan gagasan itikad baik, yang pada hakikatnya suatu konsep yang luas. Gagasan itikad baik merupakan a single mode of analysis comprising a spectrum of related, factual considerations. 7 J.M van Dunn membagi tahapan berkontrak dalam tiga fase, yakni fase pra kontrak, fase pelaksanaan kontrak dan fase pasca kontrak itikad baik sudah harus ada sejak fase pra-kontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak8 Itikad baik pada tahap prakontrak merupakan kewajiban untuk memberitahukan atau menjelaskan dan meneliti fakta material bagi para pihak yang berkaitan dengan jual beli tanah yang dinegosiasikan itu. Sehubungan dengan hal itu, putusan-putusan Hoge Raad menyatakan para pihak yang bernegosiasi masing-masing memiliki itikad baik.9
6
Ibid. Ridwan Khairandy, 2011, “Kebebasan Berkontrak dan Facta Sunt Servanda Versus Itikad Baik: Sikap yang harus diambil Pengadilan,” disampaikan pada, Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Hukum kontrak, Universitas Islam Indonesia, tanggal 8 februari, hal. 26-27. (Selanjutnya disebut Ridwan Khairandy II). 8 Ibid, hal. 190. 9 Ibid, hal. 190. 7
6 Itikad baik subjektif dapat dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Seorang pembeli yang beritikad baik adalah seorang yang membeli barang dengan niat untuk membeli suatu benda yang diinginkan dengan kesadaran bahwa untuk membeli benda tersebut diperlukan pembayaran. Pembeli yang beritikad baik ini adalah seorang pembeli yang jujur. Sebaliknya adalah pembeli yang beritikad buruk atau pembeli yang tidak jujur. Jadi, itikad baik di dalam hukum benda di artikan sebagai kejujuran. Penjual yang beritikad baik atau penjual yang jujur adalah orang yang jujur yang menunjukkan adanya cacat yang melekat pada barang yang dijualnya itu, dalam hal jual beli tanah, penjual jujur menunjukkan cacat mengenai asal usul tanahnya. Dalam hal ini, itikad baik merupakan suatu elemen subjektif. Itikad baik subjektif ini berkaitan dengan sikap batin atau kejiwaan yaitu apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan itikad baik atau kejujuran. Pihak yang memiliki itikad baik dalam tahap pra perjanjian/kontrak jual beli tanah namun menderita kerugian pada tahap pelaksanaan perjanjian/kontrak, hak-haknya patut untuk dilindungi, sehingga janji-janji pra perjanjian/kontrak akan berdampak hukum bagi yang melanggarnya, dimana asas itikad baik harus sudah ada sejak pada tahap pra perjanjian/kontrak atau pelaksaan kontrak. Sementara itu, masalah jual beli tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari dan itikad baik dalam jual beli merupakan faktor yang penting sehingga pembeli yang beritikad baik akan mendapat perlindungan hukum secara wajar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan yang tidak beritikad baik tidak perlu mendapat perlindungan hukum.
7 Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam jual beli khususnya jual beli atas tanah, seperti status hukum tanah tersebut apakah sedang dalam sengketa atau tidak dan sedang dijaminkan atau tidak, hal tersebut biasanya tercantum dalam surat pernyataan tidak dalam sengketa yang ditandatangani oleh pihak penjual dan diketahui oleh pejabat daerah setempat dimana objek jual beli itu berada. Itikad baik yang ditunjukkan oleh pihak pembeli yaitu dengan membayar harga yang telah disepakati, dan pihak penjual berkewajiban menyerahkan objek jual beli yang telah dibayar kepada pihak pembeli dalam keadaan tidak sedang dijaminkan ke instansi manapun. Hal ini merupakan salah satu problem hukum apabila penjual tidak memiliki itikad baik yaitu tidak mengatakan yang sebenarnya mengenai obyek tanah yang dijualnya, seperti misalnya tanah sedang dijaminkan tetapi tidak dikatakan secara terus terang atau tanah yang dijual sebenarnya masih dalam sengketa tetapi dikatakan tidak dalam sengketa. Selain itu, bila pembeli atau penjual tidak mempunyai itikad baik akan menyulitkan notaris untuk membuatkan akta jual beli tanahnya mengingat notaris kesulitan dalam menilai itikad baik dari para pihak baik penjual maupun pembeli. Iktikad baik sebernarnya tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat.10 Dengan makna yang demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu tekanan sosial yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara 10
P. van Warmelo, 1976, An Introduction to the Principles of Roman Law, Juta and Co Ltd, Cape Town, hal. 151.
8 harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warganegara.25 Ini merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam semua transaksi. Hal ini sesuai dengan Roscoe Pound yang menyatakan jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar objektif yang didasarkan pada kebiasaan sosial, maka orang lain juga harus bertindak yang serupa terhadap dirinya.11 Walaupun itikad baik menjadi asas penting dalam hukum kontrak pada berbagai sistem hukum tetapi asas itikad baik tersebut masih menimbulkan sejumlah permasalahan hukum lainnya. Permasalahan hukum tersebut diantaranya berkaitan keabstrakan atau kekaburan makna itikad baik sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal itikad baik, dalam praktik (praktek) timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim yang ditentukan secara kasus per kasus.12 Permasalahan yang menarik untuk diteliti diantaranya berkaitan dengan kekaburan makna itikad baik sehingga timbul pengertian itikad baik yang berbeda-beda baik dari perspektif waktu, tempat, dan orangnya. Selain tidak ada makna tunggal itikad baik tersebut, timbul pula permasalahan mengenai tolak ukur, dan fungsi itikad baik tersebut. Akibatnya, makna dan tolak ukur serta fungsi itikad baik lebih banyak disandarkan pada sikap atau pandangan hakim 11
Ridwan Khairandy, 2009, “Makna, Tolok Ukur, Pemahaman, dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak,” Jurnal Hukum No. Edisi Khusus, Vol. 16, hal. 51-71. 12 Budi Untung, 2012, Hukum dan Etika Bisnis, Andi, Yogyakarta, hal.87
9 yang ditentukan secara kasus per kasus. Demikian juga bila dikaitkan dengan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang pada saat ini seringkali penjual maupun pembeli banyak menggunakan penipuan atau itikad buruk pada waktu melakukan transaksi jual beli tanah. Hal ini terjadi mengingat harga tanah semakin hari semakin meningkat pesat sehingga mengundang minat orang untuk meraih keuntungan sesaat yang besar namun dengan cara melakukan penipuan dalam transaski jual beli tanah yang mengabaikan asas itikad baik. Penilaian itikad baik harus memperhatikan kepatutan. Setiap kontrak harus didasarkan pretium iustum yang mengacu kepada reason dan equity yang mensyaratkan adanya keseimbangan antara kerugian dan keuntungan bagi kedua belah pihak dalam kontrak (just price). Hal tersebut sejalan dengan tujuan hukum sendiri, yakni merealisasikan keadilan. Isi hukum, termasuk isi kontrak harus memuat nilai-nilai keadilan. Ketentuan Pasal 1342 BW menyebutkan bahwa jika kata-kata dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun kontrak yang dibuat orang hendaknya jelas isinya sehingga memberi kepastian. Hal inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin kejelasan makna (plain meaning rules).13 Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Oleh karena itu, jika semuanya sudah jelas ditulis 13
Suhardana, 2008, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, hal. 65.
10 dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak diperlukan, tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut justru akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut.14 Berdasarkan
penelitian
kepustakaan
baik
melalui
perpustakaan-
perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yaitu : 1. Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan judul ”Kajian Kontrak Baku dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun dalam Perspektif Itikad Baik (Kasus Rumah Susun Permata Gandaria Antara Nyonya X dengan Pt. Putra Surya Perkasa)”. Magister Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tahun 2012. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah perspektif asas itikad baik terhadap kontrak baku khususnya pada perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun? b. Bagaimanakah asas itikad baik memberikan perlindungan bagi calon pembeli terkait dengan kontrak baku yang terdapat dalam perjanjian pengikatan jual beli satuan rumah susun? Penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Arkie V.Y. Tumbelaka membahas perjanjian pengikatan 14
Bambang Sutiyoso, 2013, “Penafsiran Kontrak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya bagi Para Pihak yang Bersangkutan,” Jurnal Hukum Iuq Quia Iustum, No.2, Vol.20, hal. 208-209.
11 jual beli tanah satuan rumah susun permata Gandaria, sedangkang pada penelitian yang akan dilakukan membahas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli tanah pada umumnya. 2. Penelitian Erna Widjajati dengan judul ”Itikad Baik dalam Jual Beli Tanah di Indonesia”. Program Magister Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, Tahun 2010. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Apakah perbuatan penjual yang menyatakan bahwa tanah yang dijualnya kepada pembeli tidak dalam sengketa baik mengenai haknya atau batas-batasnya, namun dalam pelaksanaan perjanjian ternyata tidak sesuai dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum menurut KUH Perdata? b. Apakah penjual memiliki itikad tidak baik dalam perjanjian jual beli tanah tersebut? c. Apakah pengadilan agama memiliki kewenangan untuk meletakkan sita jaminan terhadap tanah yang merupakan harta bersama antara A dengan S? Penelitian Erna Widjajati dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Erna Widjajati membahas mengenai itikad baik dalam jual beli tanah di Indonesia, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
12 3. Penelitian Bronto Hartono dengan judul “Prinsip Itikad Baik dalam Pelaksanaan Perjanjian Asuransi Jiwa PT.Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang”. Program Pascasarjana Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang, Tahun 2013. Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut : a. Apakah cacat (kesehatan) tersembunyi merupakan pelanggaran prinsip Utmost Good Faith? b. Bagaimana akibat hukum klaim asuransi, apabila terdapat cacat (kesehatan) tersembunyi dalam perjanjian asuransi jiwa,
jika
dihubungkan dengan prinsip Utmost Good Faith? c. Bagaimana penyelesaian sengketa klaim asuransi dalam perjanjian asuransi jiwa yang diketahui terdapat cacat (kesehatan) tersembunyi? Penelitian Bronto Hartono dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama meneliti tentang itikad baik dalam perjanjian. Perbedaannya jika penelitian Bronto Hartono membahas tentang prinsip itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) di Regional Office Semarang, sedangkan pada penelitian yang akan dilakukan membahas mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Berdasarkan persamaan dan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan seperti diuraikan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik substansi maupun metodologinya.
13 Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul ”Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini dikemukakan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah mewujudkan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah? 2. Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan
umum
penelitian
ini
merupakan
upaya
peneliti
untuk
pengembangan ilmu hukum terkait dengan perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. Berdasarkan hal ini tujuan umum dari penelitian ini adalah “untuk mengetahui dan menganalisis asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.” 1.3.2 Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana mewujudkan asas itikad dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
14 2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. 1.4 Manfaat Penelitian Tiap penelitian harus diyakini kegunaannya bagi pemecahan masalah yang diselidiki. Untuk itu perlu dirumuskan secara jelas tujuan penelitian yang bertitik tolak dari permasalahan yang diungkap. Suatu penelitian setidaknya harus mampu memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis dalam kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang saling berkaitan yaitu dari segi teoritis dan segi praktis. 1.4.1 Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi pengembangan keilmuan hukum khususnya hukum perdata dalam hal perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah dan ilmu pengetahuan lainnya.
2. Memberi masukan bagi para pihak yang membutuhkan pengetahuan mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. 3. Bermanfaat sebagai bahan kajian awal yang lebih mendalam bagi peneliti lainnya yang akan melakukan kajian atas asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Memberikan masukan bagi para pihak yang terkait atau masyarakat dalam memaknai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas
tanah.
15 2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan dapat memberikan informasi dalam memahami asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang telah menjadi kebenaran umum. Menurut Kerlinger15 sebuah teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian. Teori memiliki peranan yang sangat penting untuk memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Keadilan dan Teori Kehendak, sedangkan asas yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Asas Kepatutan dan Prinsip Rasionalitas serta konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Konsep Jual Beli. 1.5.1.1 Teori Keadilan Transaksi jual beli tanaj mempersyaratkan adanya itikad baik antara penjual dan pembeli. Itikad baik penjual dengan menunjukkan kejujuran mengenai tanah yang dijualnya meskipun ada cacat yang tersembunyi yang 15
17.
Fred N. Kerlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt, Rinehart, hal. 16-
16 mungkin tidak mudah untuk diketahui pembeli, sedangkan itikad baik pembeli ditunjukkan dengan sikap percaya dari pembeli atas penawaran yang diajukan oleh penjual. Adanya itikad baik antara penjual dan pembeli itu dapat mewujudkan keadilan dalam transaksi jual beli tanah yang berarti juga tidak ada pihak baik penjual ataupun pembeli yang dirugikan. Oleh karena itu, Teori Keadilan digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama yaitu cara mewujudkan asas itikad dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang berarti juga mewujudkan keadilan diantara pihak penjual dan pembeli.. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”,16 yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,” dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”.17 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. 16
Gustav Radbruch, 1950, Legal Philosophy, in The legal Philosophies of Lask, Radbruch, and Dabin, Translated by Kurt Wilk, Harvard University Press, Massachusetts, hal. 107. Lihat juga Achmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor, hal.67. 17 Peter Mahmud Marzuki, 1997, “The Need for the Indonesian Economic Legal Framework”, dalam Jurnal Hukum Ekonomi, Edisi IX, hal. 28.
17 Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch tujuan kepastian menempati peringkat yang paling atas di antara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu, Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas dengan menempatkan tujuan keadilan di atas tujuan hukum yang lain. Memanglah demikian bahwa keadilan adalah tujuan hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri.18 Oleh karena itu hukum diciptakan untuk menggapai keadilan melalui peraturan perundang-undangan yang adil sehingga dapat memberi kemanfaatan bagi orang banyak. Dengan demikian dari 3 tujuan hukum, keadilan, kepastian dan kemanfaatan, keadilan didudukan pada urutan yang pertama dan utama. Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum juga oleh banyak hakim menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, apakah hal itu tidak menimbulkan masalah? Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Dicontohkannya, dalam kasus hukum tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya.19 18
Achmad Ali, Op.Cit., hal. 69 Achmad Ali, 2008, Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, Yasrif Watampone, Jakarta, hal. 95-96. 19
18 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semua tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Dalam Teori Keadilan pengertian keadilan memiliki sejarah pemikiran yang panjang. Dapat dikatakan tema keadilan merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani Kuno.20 Memang secara hakiki, dalam diskursus hukum, sifat dari keadilan itu dapat dilihat dalam 2 (dua) arti pokok, yakni dalam arti formal yang menuntut bahwa hukum itu berlaku secara umum, dan dalam arti materil, yang menuntut agar setiap hukum itu harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat.21 Namun apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu berkembang dengan pendekatan yang berbedabeda, karena perbincangan tentang keadilan yang tertuang dalam banyak buku atau literatur, tidak mungkin tanpa melibatkan tema-tema moral, politik dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir-hampir sulit untuk dilakukan. Pada garis besarnya, pembahasan mengenai keadilan terbagi atas 2 (dua) arus pemikiran, yang pertama adalah keadilan ontologis atau metafisik, sedangkan yang kedua, keadilan yang rasional. Keadilan yang metafisik atau ontologis diwakili oleh Plato, sedangkan keadilan yang rasional diwakili oleh pemikiran Aristoteles. Keadilan yang metafisik, sebagimana diutarakan oleh Plato,
20
E. Fernando M. Manullang, 2007, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, hal.96. 21 Franz Magnis Suseno, 2003, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 81.
19 menyatakan bahwa sumber keadilan itu asalnya dari inspirasi dan intuisi. Sementara, keadilan yang rasional mengambil sumber pemikirannya dari prinsipprinsip umum dari rasionalitas tentang keadilan.22 Lebih lanjut, Aristoteles memformulasikan bahwa filsafat hukum membedakan keadilan menjadi 2 (dua) yaitu keadilan distributif dengan keadilan korektif, yang merupakan dasar bagi semua pembahasan teoritis terhadap pokok persoalan keadilan. Keadilan distributif mengacu pada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di hadapan hukum (equity before the law)23. Sedangkan keadilan korektif, pada dasarnya merupakan ukuran teknis dan prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dengan demikian, jelas sekali bahwa dalam menentukan pengertian keadilan, baik secara formal maupun substansial, dirasakan sangat sulit ditentukan secara definitif. Keadilan itu dapat berubah-ubah isinya, tergantung dari pihak siapa yang menentukan isi keadilan itu, termasuk juga faktor-faktor lainnya yang turut membentuk keadilan itu, seperti tempat maupun waktunya. Seperti halnya John Rawls, yang membangun teorinya secara teliti mengenai keadilan. Menurut Rawls, keadilan itu tidak saja meliputi konsep moral tentang individunya, tetapi juga mempersoalkan mekanisme dari pencapaian keadilan itu sendiri, termasuk juga bagaimana hukum turut serta mendukung upaya tersebut).24
22
W. Friedman, 1967, Legal Theory, Columbia University Press, New York, hal. 346. Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum: Study Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, hal. 54. 24 John Rawls, 2009, Teori Keadilan, terj. Mahendra, Remaja Rosdakarya, Bandung, hal. 11. 23
20 Sedangkan keadilan menurut Kelsen, pada dasarnya menyatakan keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak) dan perlindungan itu sendiri pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).25
1.5.1.2 Teori Kehendak Teori kehendak dalam penelitian ini digunakan untuk membahas rumusan masalah yang kedua yaitu akibat hukum jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian jual beli tanah yang hingga saat ini belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Teori ini dipergunakan untuk membahas rumusan masalah yang kedua yaitu akibat hukum jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian jual beli tanah yang hingga saat ini belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tidak adanya itikad baik dari para pihak atau salah satu pihak sebenarnya terjadinya kehendak para pihak adalah semu. Jika saja piha yang bertikad baik mengetahui bahwa pihak lain tidak memiliki itikad baik tentunya tidak ada pertemuan kehendak yang berarti juga tidak terjadainya perjanjian diantara para pihak. Teori kehendak termasuk salah satu teori hukum kontrak klasik yang berasal dari prinsip private autonomy, kemudian bermakna bahwa kehendak para pihak yang menentukan hubungan hukum kontrak mereka. Prinsip yang demikian 25
51.
Hans Kelsen, 2000, Pengantar Teori Hukum, Penerbit Nusa Media, Bandung, hal, 48-
21 memiliki beberapa konsekuensi sebagai berikut (1) hukum yang berlaku bagi mereka tersebut semata-mata berkaitan dengan maksud yang sebenarnya dari pihak yang berjanji; (2) maksud para pihak harus “bertemu” pada saat sebelum dibuatnya kontrak; (3) hakim tidak memiliki kewenangan untuk mengisi celah dalam suatu kesepakatan dan tidak berdaya menghadapi kemungkinan hal yang tidak terduga; dan (4) pihak yang berjanji bebas mengungkapkan kemauannya.26 Teori kehendak adalah salah satu teori dari hukum kontrak klasik. Menurut teori kehendak suatu kehendak menghadirkan suatu ungkapan kehendak di antara para pihak, yang harus dihormati. Dalam teori kehendak berasumsi bahwa suatu kontrak melibatkan hak dan kewajiban yang dibebankan kepada para pihak. Para pihak dalam suatu perjanjian memiliki hak untuk memenuhi kepentingan pribadinya sehingga melahirkan suatu perikatan. Pertimbangannya ialah bahwa para pihak harus memiliki kebebasan dalam setiap penawaran dan mempertimbangkan kemanfaatannya bagi dirinya. Subekti mengungkapkan bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian. Kontrak atau perjanjian semata-mata adalah suatu pernyataan kehendak dari dua atau lebih individu. Pernyataan ini merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan ini maka kontrak yang dibuat tidak dapat ada. Para pihak membuat kontrak dengan beberapa kehendak yaitu : a. b. c. d. e.
Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji; Kebutuhan terhadap janji atau janji-janji antara dua atau lebih; Pihak dalam suatu perjanjian; Kebutuhan terhadap janji-janji yang dimuat dalam bentuk kewajiban, dan; Kebutuhan terhadap kewajiban bagi penegakkan hukum.27 Perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah sebenarnya mencantumkan
janji-janji antara pihak penjual dengan pihak pembeli melalui klausula-klausula 26
Ridwan Khairandy, 2011, “Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak”, Jurnal Hukum No. Edisi Khusus Vol. 18, hal. 46. 27 R. Subekti, Op.Cit, hal. 3.
22 hak dan kewajiban para pihak. Kehendak para pihak yang disebutkan dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah ini harus dinyatakan oleh para pihak. Suatu pernyataan kehendak antara pihak penjual dengan pihak pembeli merupakan suatu syarat yang harus ada. Tanpa adanya pernyataan ini maka perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah yang dibuat tidak akan pernah ada. Teori kehendak dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah adalah sebagai teori yang menegaskan bahwa terdapat kebebasan bagi para pihak untuk mewujudkan kehendaknya yang dinyatakan dalam transaksi hukum dua belah pihak yaitu dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
1.5.1.3 Asas Kepatutan Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 BW berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya Suatu perjanjian dilaksanakan dengan terlebih dahulu harus menetapkan secara tegas dan cermat apa yang menjadi isi dari perjanjian tersebut. Dengan demikian dapat diketahui hal-hal yang menjadi hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Akan tetapi dalam kenyataannya seseorang dalam mengadakan kontrak tidak mengatur maupun menetapkan secara teliti mengenai hak dan kewajiban mereka. Biasanya para pihak hanya menyebutkan hal-hal yang pokok dan penting saja.28 Berdasarkan Pasal 1339 BW, satu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh kepatutan, 28
O.C.Kaligis, 2009, Asas Kepatutan dalam Arbitrase, Alumni, Bandung, hal.. 191.
23 kebiasaan, dan undang- undang. Dengan kata lain, setiap perjanjian dilengkapi dengan aturan yang terdapat dalam undang-undang, adat kebiasaan. Sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh keputusan (norma kepatutan) juga harus diindahkan. Dalam Pasal 1339 BW inilah,dapat diketahui bahwa kepatutan dan adat kebiasaan ditunjuk sebagai norma di samping undang-undang yang ikut berperan dalam menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak. Kepatutan dalam perjanjian berkaitan dengan kesesuaian dan keselarasan antara perjanjian dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Kepatutan dengan acuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan pula dengan prinsip itikad baik dan prinsip kehati-hatian. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.29 Berdasarkan uraian ini dapat disimpulkan dalam perjanjian terdapat asas kekuatan mengikat, yaitu terikatnya para pihak pada perjanjian tidak terbatas pada hal yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap unsur-unsur lain sepanjang sesuai dengan kebiasaan dan kepatutan serta moral.
1.5.1.4 Prinsip Rasionalitas Prinsip rasionalitas pertama kali diperkenalkan oleh John Rawl. Rawls menawarkan suatu penyelesaian terkait dengan problematika keadilan dengan 29
Purwahid Patrik, 2006, Asas lktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, hal. 36.
24 membangun teori keadilan berbasis kontrak.30 Menurutnya suatu teori keadilan yang memadai harus dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana asas-asas keadilan yang dipilih merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua individu yang bebas rasional dan sederajat. Hanya melalui pendekatan kontrak sebuah teori keadilan mampu menjamin pelaksanaan hak dan sekaligus mendistribusikan kewajiban secara adil bagi semua orang. Oleh karenanya dengan tegas Rawls menyatakan, suatu konsep keadilan yang baik haruslah bersifat kontraktual. Setiap konsep keadilan yang tidak berbasis kontraktual harus dikesampingkan demi kepentingan keadilan itu sendiri. Dalam konteks ini Rawls menyebut “justice as fairness” yang ditandai dengan adanya prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.31 Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip keadilan yang lebih mengutamakan asas hak daripada asas manfaat. Prinsip keadilan distributif dirumuskan oleh Rawls, sebagai berikut:32 a. The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hak yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki setiap orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (prinsip kesamaan hak). b. Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling tidak 30
Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 40. 31 Ibid. 32 Ibid.
25 mendapat peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapatan dan prioritas). Rumusan prinsip kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu prinsip perbedaan (the different principle) dan prinsip persamaan yang adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulakn bahwa keadilan hanya dapat dicapai apabila pelaksanaan hak dan kewajiban antara masing-masing bank tersebut di atas dengan debitur telah didistribusikan secara adil. Tanpa keadilan maka hubungan antara para pihak dalam perjanjian kredit tidak akan memenuhi konsep justice as fairness yang ditandai oleh prinsip rasionalitas, kebebasan dan kesamaan.
1.5.1.5 Konsep Jual Beli Dalam Teori Jual Beli, jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian atau persetujuan khusus yang ada dalam BW mulai Pasal 1457 BW sampai dengan Pasal 1540 BW. Sedangkan untuk definisi dari jual beli sendiri disebutkan dalam Pasal 1457 BW. 33 Jadi perjanjian jual beli adalah perjanjian atau persetujuan dua pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Dimana si penjual berjanji akan menyerahkan hak sesuatu barang kepada si pembeli, sedangkan si pembeli akan membayar harga barang tersebut sesuai dengan harga yang sudah disepakati bersama antara penjual dan pembeli.
33
Salim, H. S., Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 49.
26 Dari pengertian jual beli yang diberikan oleh Pasal 1457 BW tersebut, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban : a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual. Pengertian lain mengenai jual beli ini adalah perjanjian timbal balik dalam pihak yang satu (penjual), berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga barang yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.34 Disamping jual beli yang diatur oleh BW (yang tertulis) di dalam pergaulan masyarakat di Indonesia juga dikenal suatu pengertian jual beli yang diatur oleh Hukum Adat (yang tidak tertulis). Menurut Hukum Adat, jual beli dilakukan secara terang dan tunai. Terang artinya bahwa jual beli dilakukan di hadapan Kepala Adat dan Tunai artinya bahwa jual beli itu dianggap telah dilaksanakan secara tunai, walaupun ada harga yang
belum
dibayar
(masih
berhutang).
Jadi
menurut
Hukum
Adat
yangdinamakan jual beli itu bukanlah persetujuan belaka yang dilakukan antara kedua belah pihak, melainkan suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik untuk selama-lamanya, dengan pembayaran harga pembelian. Maka selama penyerahan belum terjadi, belumlah
34
R. Subekti I, Op.Cit, hal.1.
27 ada terjadi jual beli dan belum dapat dikatakan, bahwa barangnya adalah milik si pembeli.35 Unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan harga sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dari harga, maka lahirlah jual beli yang sah dan mengikat. Perjanjian jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan sepakat tentang “keadaan benda dan barang tersebut”, sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayar (Pasal 1458 BW). Pasal 1458 BW ini merupakan asas konsensualisme dari jual beli yang dirumuskan dalam Pasal 1457 BW. Dengan demikian maka berdasarkan Pasal 1457 BW dan Pasal 1458 BW pengertian jual beli yang dianut oleh BW adalah harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 1. Persetujuan/kata sepakat 2. Kewajiban menyerahkan barang 3. Kewajiban menyerahkan uang dari harga barang. Apabila
diteliti
unsur-unsur
tersebut
sifatnya
terbatas,
sehingga
berdasarkan unsur-unsur tersebut dapat dikatakan jual beli menurut BW hanya mempunyai sifat ”obligatoir” (mengikat), tidak juga mempunyai ”zakelijke werking,” artinya tidak berdaya langsung mengenai kedudukan barangnya.36
35
A. B Loebis, 1976, Jual Beli Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, hal. 5. 36 Djoko Prakoso dan Bambang Riyani Lany, 1987, Dasar Hukum Persetujuan Tertentu Di Indonesia, Jakarta, hal. 3
28 Hak dan kewajiban para pihak yang dimaksud sebenarnya adalah hak dan kewajiban si penjual yang merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban si pembeli. Perihal kewajiban yang utama terdapat pada Pasal 1474 BW, yaitu ia mempunyai kewajiban utama yaitu menyerahkan barangnya dan menanggung. Sedangkan dalam Pasal 1516 BW, adalah memberikan hak kepada pembeli untuk menangguhkan atau menunda pembayaran sebagai akibat gangguan yang dialami oleh pembeli atas barang yang dibelinya. 1. Kewajiban pihak penjual Dalam sistematika BW, kewajiban si penjual diatur dalam Buku III, Bab Kelima, Bagian Kedua mulai dari Pasal 1473 BW sampai dengan Pasal 1512 BW. Menurut BW, bagi pihak penjual ada dua kewajiban, yaitu : a. Kewajiban menyerahkan barangnya Kewajiban penjual dalam penyerahan barang yang diartikan sebagai suatu penyerahan pemegangan barang secara nyata, sekaligus juga dengan hak
milik
atas
barang-barang
yang
diperjualbelikan.
Kewajiban
menyerahkan hak milik, meliputi perbuatan yang menurut hukum diperlakukan
untuk
mengalihkan
hak
milik
atas
barang
yang
diperjualbelikan itu dari si penjual kepada si pembeli. BW, mengenal 3 (tiga) macam barang, yaitu : barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh, sehingga menurut BW, terdapat tiga macam penyerahan hak milik yang masingmasing barang itu : 1) Barang bergerak Untuk barang bergerak cukup dengan menyerahkan kekuasaan atas barang itu. Dalam Pasal 612 BW disebutkan : “penyerahan kebendaan
29 bergerak, terkecuali yang tidak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada. Penyerahan tak perlu dilakukan apabila. Kebendaan yang harus diserahkan dengan alas an hak lain telah dikuasai oleh orang yang hendak menerimanya.” 2) Barang tetap (tak bergerak) Untuk barang tetap (tak bergerak) penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “nama”melalui pegawai kadaster yang juga dinamakan pegawai balik nama atau pegawai penyimpanan hipotik, yaitu Pasal 616 BW: ”Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 BW.” Pasal 620 BW: “dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan termuat dalam tiga Pasal lalu, pengumuman tersebut di atas dilakukan dengan memindahkan sebuah salinan otentik yang lengkap dari salinan akta otentik atau keputusan yang bersangkutan ke Kantor penyimpanan hipotik, yang mana dalam lingkungannya barang-barang tak bergerak yang harus diserahkan berada dan dengan membukukannya dalam register. Bersama-sama
dengan
pemindahan
tersebut,
pihak
yang
berkepentingan harus menyampaikan juga kepada penyimpan hipotik, sebuah salinan otentik yang kedua atau sebuah petikan dari akta atau Keputusan
itu agar
bersangkutan”.
penyimpan
mencatat dari register
yang
30 3) Barang tak bertubuh Barang tak bertubuh penyerahan dilakukan dengan perbuatan yang dinamakan “cessie” sebagaimana diatur dalam Pasal 613 BW yang berbunyi : “penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Penyerahan tiaptiap piutang surat bawa, dilakukan dengan menyerahkan surat itu; penyerahan piutang karena surat tunjuk, dilakukan dengan menyerahkan surat disertai dengan endorsement’. Sehingga berdasarkan BW, hak milik belum berpindah dengan perjanjian jual beli. Hak milik baru berpindah dengan levering atau penyerahan. Maka dalam BW, levering merupakan suatu perbuatan hukum guna memindahkan hak milik yang caranya tergantung dari macam barang yang dipindahkan, seperti diterangkan di atas. b. Kewajiban menanggungnya Kewajiban kedua dari penjual adalah menanggung, bahwa si pembeli tidak akan diganggu dalam menikmati barang yang ia sudah beli dan sudah di terimanya. Menurut Pasal 1491 BW, penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli adalah: 1) Kewajiban menanggung kenikmatan dengan tentram 2) Kewajiban menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. 2. Kewajiban pihak pembeli Sebenarnya hanya ada satu kewajiban si pembeli, yaitu untuk membayar harga barang yang dibelinya seperti yang disebutkan dalam Pasal
31 1513 BW yaitu: kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu dan di tempat sebagaimana di tetapkan menurut perjanjian. “Harga” tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam suatu Pasal Undang-undang namun sudah dengan sendirinya termaktub di dalam pengertian jual beli, oleh karena bila tidak maka akan merubah perjanjian itu sendiri. Misalnya apabila harga itu berupa barang maka perjanjiannya adalah “tukar menukar” atau apabila harganya adalah jasa maka perjanjiannya adalah perjanjian kerja. Dalam perjanjian “jual beli” sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dipihak lain ada uang. Tergantung macamnya uang tidak harus dalam bentuk rupiah karena terjadinya di Indonesia tetapi para pihak bisa menentukan lain. Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan seorang pihak ketiga. Dalam hal yang demikian, maka jika pihak yang ketiga ini tidak mampu untuk perkiraan tersebut atau menentukannya, maka tidaklah terjadi suatu pembelian (Pasal 1465 BW). Hal ini berarti, bahwa perjanjian jual beli yang harganya harus ditetapkan oleh pihak ketiga itu pada hakekatnya adealah suatu perjanjian dengan “syarat tangguh”, karena perjanjian baru akan jadi kalau harga itu sudah ditetapkan oleh orang tersebut. Jika pada waktu membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu pembayaran, maka si pembeli
32 harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan (levering) barangnya dilakukan (Pasal 1514 BW). Transaksi jual beli menurut hukum perdata menganut asas konsensualitas, yang berarti kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini adalah suatu asas dalam perjanjian yang timbul sejak tercapainya kesepakatan. Perjanjian itu sudah sah apabila telah tercapai mengenai hal-hal yang pokok, yakni adanya kesepakatan, kedua belah belah pihak cakap, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Dalam hal ini tidak diperlukan suatu formalitas.37 Perjanjian pengikatan jual beli sebenarnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umumnya. Hanya saja perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III BW, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan.38 Perjanjian pengikatan jual beli lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Persyaratan tersebut ada yang lahir dari peraturan perundang-undangan yang ada dan ada pula yang timbul sebagai kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli hak atas tanah. Persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas baru Akta Jual Beli (AJB) dapat ditandatangani. Pada umumnya persyaratan yang 37
R. Subekti, 1982, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 15. (Selanjutnya disebut Subekti III). 38 Muchtar Rudianto, 2010, Perjanjian Pengikatan Jual-Beli Sebagai Perjanjian Pendahuluan, Rajawali Press, Jakarta, hal.38
33 sering timbul adalah persyaratan yang lahir kesepakatan para pihak yang akan melakukan jual beli, misalnya pada waktu akan melakukan jual beli, pihak pembeli menginginkan adanya sertipikat hak atas tanah yang akan dibelinya sedangkan hak atas tanah yang akan dijual belum mempunyai sertipikat, dan di sisi lain misalnya, pihak pembeli belum mampu untuk membayar semua harga hak atas tanah secara lunas, sehingga baru dibayar setengah dari harga yang disepakati.39 Pengertian Perjanjian pengikatan jual beli dapat kita lihat dengan cara memisahkan kata dari Perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan pengikatan jual beli. Perjanjian pengertiannya dapat dilihat pada sub bab sebelumnya, sedangkan Pengikatan Jual Beli pengertiannya menurut R. Subekti40 dalam bukunya adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga. Sedang menurut Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.41 Dari pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya. Sebagaimana telah diterangkan tentang pengertiannya, maka kedudukan perjanjian pengikatan jual beli yang sebagai perjanjian pendahuluan
39
Ibid. R. Subekti I, Op.Cit, hal.75. 41 Herlien Budiono, 2004, “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Artikel Majalah Renvoi, edisi Tahun I, No 10, Bulan Maret, hal. 57. 40
34 maka perjanjian pengikatan jual beli berfungsi untuk mempersiapkan atau bahkan memperkuat perjanjian utama/pokok yang akan dilakukan, karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan awal untuk lahirnya perjanjian pokoknya. Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janjijanji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian pokoknya. Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam klausul perjanjiannya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat agar perjanjian pokoknya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli tersebut dapat ditanda tangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), seperti janji untuk melakukan pengurusan sertipikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagaimana diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sebagai akta jual beli dapat ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli.Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penandatanganan akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya.Dan pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah terpenuhi.42
42
Kamaluddin Patradi, 2010, Pemberian Kuasa Dalam Praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah, Gamma Press, Yogyakarta, hal.20
35 Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas. Akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris adalah suatu perjanjian pengikatan jual beli atas objek tanah yang dibuat antara calon penjual dan calon pembeli yang dibuat sebelum ditandatanganinya Akta Jual Beli (AJB). Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang bersertipikat hak milik dapat dilaksanakan dihadapan notaris sedangkan pembuatan akta jual beli wajib dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Karena objek yang diperjualbelikan yakni tanah merupakan benda yang tidak bergerak yang pengalihan haknya melalui suatu perbuatan hukum jual beli harus dibuat melalui suatu akta PPAT maka sebelum dibuat, akta jual beli tersebut pada umumnya perlu dilakukan pemenuhan sejumlah persyaratan baik oleh penjual maupun oleh pembeli.43
Pemenuhan persyaratan dari pihak penjual pada
umumnya
berhubungan dengan surat-surat sebagai tanda bukti hak milik atas tanah tersebut maupun surat keterangan hak waris yang masih dalam pengurusan apabila tanah yang akan dijual tersebut merupakan harta warisan.44 Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan
43
Aditya Sudarnanto, 2009, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Antara Kewenangan Dan Kewajiban, Pelita Ilmu, Semarang, hal.21. 44 Muchtar Rudianto, Op. Cit., hal. 39.
36 jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.45 Selanjutnya mengenai pengertian jual beli tanah menurut Harun Al Rashid, pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak/orang lain yang berupa dari penjual kepada pembeli tanah.46 Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA), di negara kita masih terdapat “dualisme” dalam hukum agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih berlaku dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan kita, yaitu hukum adat dan hukum barat. Sehingga terdapat juga dua macam tanah yaitu tanah adat (tanah Indonesia) dan tanah barat (tanah Eropah).47 Dalam pengertian hukum adat “jual beli” tanah adalah merupakan suatu perbuatan hukum, yang mana pihak penjual menyerahkan tanah yang dijualnya kepada pembeli untuk selama-lamanya, pada waktu pembeli membayar harga (walaupun haru sebagian) tanah tersebut kepada penjual. Sejak itu, hak atas tanah telah beralih dari penjual kepada pembeli. Dengan kata lain bahwa sejak saat itu pembeli telah mendapat hak milik atas tanah tersebut. Jadi “jual beli” menurut hukum adat tidak lain adalah suatu perbuatan pemindahan hak antara penjual kepada pembeli. Maka biasa dikatakan 45
Ibid, hal. 57. Harun Al Rashid, 1987, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturanperaturannya), Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 50. 47 A.P. Parlindungan, 1973, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung, hal. 40. 46
37 bahwa “jual beli” menurut hukum adat itu bersifat “tunai” (kontan) dan “nyata” (konkrit).48 Sehubungan dengan hal tersebut Boedi Harsono berpendapat bahwa dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual beli, tukar-manukar, hibah) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai. Jual beli tanah dalam hukum adat adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah, dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan. Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai, dalam arti pembeli telah menjadi pemegang haknya yang baru.49 Pengertian menurut hukum adat tersebut berbeda dengan sistem yang dianut BW. Menurut sistem BW jual beli hak atas tanah dilakukan dengan membuat akta perjanjian jual beli hak dihadapan notaris, dimana masing-masing pihak saling
berjanji untuk melakukan suatu prestasi berkenaan dengan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli itu, yaitu pihak penjual untuk menjual dan menyerahkan tanahnya kepada pembeli dan pembeli membeli dan membayar harganya.50
Perjanjian jual beli yang dianut BW tersebut bersifat obligatoir, karena perjanjian itu belum memindahkan hak milik. Adapun hak milik baru berpindah dengan dilakukannya levering atau penyerahan. Dengan demikian maka dalam sistem BW tersebut “levering” merupakan suatu perbuatan yuridis guna memindahkan hak milik (“transfer of ownership”).51
48
K. Wantjik Saleh, 1973, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 30. Boedi Harsono, 1983, Penggunaan dan Penerapan Asas-asas Hukum Adat pada Hak Milik Atas Tanah, Paper disampaikan pada Simposium Hak Milik Atas Tanah Menurut UUPA, Bandung-Jakarta, hal. 14. (selanjutnya disebut Boedi Harsono I) 50 Bachtiar Effendie, 1993, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya, Alumni, Bandung, hal. 86. 51 R. Subekti I, op.cit, hal. 11. 49
38 Sedangkan pengertian jual beli tanah yang tercantum dalam Pasal 1457 BW menyatakan bahwa jual beli tanah adalah sesuatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual harga yang telah disetujui.52 Selanjutnya Pasal 1458 BW mengatakan : “Jual beli telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang mencapai kata sepakat tentang benda dan harganya, walaupun benda itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.” Kemudian dikatakan oleh Pasal 1459 BW: “Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612 BW, Pasal 613 BW dan Pasal 616 BW”. Berkaitan dengan hal tersebut, K. Wantjik Saleh berpendapat, bahwa jual beli menurut hukum barat terdiri atas dua bagian yaitu : perjanjian jual belinya dan penyerahan haknya. Yang keduanya itu terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga walaupun yang pertama sudah selesai, biasanya dengan suatu akta notaris, tetapi kalau yang kedua belum dilakukan, maka status tanah masih milik penjual, karena disini akta notaris hanya bersifat obligatoir.53 Setelah Berlakunya UUPA sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUPA, hanya manyatakan, jual beli, penukaran, penghibahan, penberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
52
Wiryono Prodjodikoro I, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, hal. 13. (selanjutnya disebut Prodjodikoro, Wiryono I). 53 K. Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 32.
39 Sehubungan dengan hal tersebut, Boedi Harsono berpendapat mengingat bahwa hukum agraria sekarang ini memakai sistem dan asas-asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik/penyerahan tanah untuk selamalamanya oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya pada penjual.54 Dengan berdasarkan pada Pasal 5 UUPA, maka jual beli tanah setelah UUPA mempergunakan sistem dan asas dalam hukum adat. Berbeda dengan pendapat tersebut adalah pendapat Saleh Adiwinata yang menyatakan: bilamana kita perhatikan jual beli menurut UUPA ini dengan membandingkan caranya dengan jual beli menurut hukum adat sebelum UUPA berlaku, maka dari saat terjadinya persetujuan jual beli sampai kepada si pembeli menjadi pemilik penuh adalah barbeda sekali caranya beserta formalitas lainya adalah lebih mirip kepada jual beli eigendom dari jual beli tanah dengan Hak Milik Indonesia.55 Pengertian jual beli tanah tidak mengacu secara fisik obyek yang diperjualbelikan adalah tanah. Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yang akan dijual. Hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.56
54
Boedi Harsono, 1972, UUPA, Sejarah Penyusunan, Isi, Pelaksanaan Hukum Agraria, Bagian I dan II Jilid I, Djambatan, Jakarta, hal. 68. (selanjutnya disebut Boedi Harsono II). 55 Saleh Adiwinata, 1976, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, Alumni, Bandung, hal. 74. 56 Effendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 8
40 Hak atas tanah menurut Pasal 16 UUPA ialah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Guna Air, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan, Hak Guna Ruang Angkasa dan hak-hak lain yang bersifat sementara (Pasal 53 UUPA). Pengertian hak milik menurut Pasal 20 yang dihubungkan dengan Pasal 6 UUPA merumuskan : “Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi sosial”. Sedangkan menurut pendapat R. Susanto, Hak milik adalah hak untuk menguasai tanah dengan cara yang seluas-luasnya dan memungut hasil dari tanah itu dengan sepenuhnya, dengan mengindahkan peraturan-peraturan pemerintah dan hukum adat setempat. Unsur-unsur yang terpenting dari hak milik adalah: 1. Menguasai tanah; artinya si pemilik tanah dapat
menyewakan,
menggadaikan, meminjamkan; menukarkan, menghadiahkan, menjual tanah menurut kehendak si pemilik. 2. Memungut hasil.57 Selanjutnya dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA dijelaskan bahwa hak milik bersifat “zakelijk”. Sehingga karena tak bersifat pribadi (persoonlijk) maka hak ini dapat dialihkan dan beralih pada pihak lain.58
57
R. Susanto., 1980, Hukum Pertanahan (Agraris)., Cetakan 1, Pradnya Paramita, Jakarta,
hal. 26. 58
Sudargo Gautama, 1973, Tafsiran UUPA, Alumni, Bandung, hal. 124.
41 Peralihan/beralihnya hak milik atas tanah apabila dilihat dari segi hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (istilah lain adalah perbuatan hukum), atau karena suatu peristiwa hukum. Tindakan hukum (rechtshandelingen) termasuk jual beli, hibah, pemberian dengan wasiat, penukaran, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya. Sedangkan beralihnya hak milik karena peristiwa hukum misalnya karena pewarisan.59 Jadi dapat dikatakan bahwa peralihan hak karena tindakan hukum adalah peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut berpindah pada pihak lain. Sedangkan karena peristiwa hukum, terjadi apabila seseorang yang mempunyai salah satu hak meninggal dunia, sehingga secara otomatis haknya berpindah pada ahli warisnya.60
1.5.2 Kerangka Pemikiran Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian dan landasan teori yang telah dikemukakan, maka digambarkan kerangka pemikiran sebagai berikut:
59 60
Harun Al Rashid, Op.Cit, hal. 51. K. Wantjik Saleh, Op.Cit, hal. 19.
42
Judul Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah
Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah mewujudkan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah? 2. Bagaimanakah akibat hukum yang terjadi jika tidak merealisasikan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah?
Teori, Asas, Konsep -
Teori Keadilan Teori Kehendak Asas Kepatutan Prinsip Rasionalitas Konsep Jual Beli
Metode Penelitian Analisis Bahan Hukum Kesimpulan dan Saran Gambar 1 Kerangka Pemikiran
1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang mengkaji dan menganalisa bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait dengan asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
43 Penelitian hukum normatif (normative legal research) merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum tertentu. Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan dan bahan pustaka.61 Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum positif.62 Dalam peneltian normatif hukum dipandang identik dengan norma-norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom, mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.63
1.6.2 Jenis Pendekatan Pendekatan (apprach) yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan yaitu:64 1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach). 2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
61
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida Media, Jakarta, hal.
34. 62
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang, hal. 295. 63 Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metodeologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal 13-14. 64 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.
44 3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). 4. Pendekatan Historis (historical approach). 5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach). 6. Pendekatan Kasus (case approach). Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabung sehingga dalam suatu penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah metode pendekatan
perundang-undangan
(statute
approach),
pendekatan
konsep
(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat permasalahan yang diteliti adalah mengenai asas itikad baik dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah.
1.6.3 Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder yaitu data yang diambil secara tidak langsung atau yang telah terlebih dahulu dikumpulkan orang lain di luar dari penelitian sendiri. Adapun bahan hokum sekunder terdiri dari:65 1. Sumber Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dikaji, terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 b. Burgerljik Wetboek, Stb, 1847 No.23.
65
Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18.
45 c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104-Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2117. d. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 58-Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 643. e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 50Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3969. f. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. g. Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012 Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. h. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 1 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Pertanahan. 3. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti: hasil penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder ini sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.66 4. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
66
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 24.
46 sekunder, seperti kamus hukum,67 Surat kabar, majalah mingguan, bulletin dan internet juga dapat menjadi bahan bagi penelitian ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.68
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam pengumpulan bahan hukum ini harus ditegaskan permasalahan mengenai jenis, sifat dan kategori data serta perlakuan terhadap data yang dikumpulkan. Tujuannya agar pengumpulan data dan penganalisaan terhadap data dapat sesuai dengan tujuan dari penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum yang akan digunakan adalah studi pustaka atau studi dokumen yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai obyek penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan data sekunder mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data, melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara 67
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001. Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. hal. 14-15. 68 Jay A. Sieglar dan Benyamin R. Beede, 2007. The Legal Souyrces of Public Policy, Lexington Books, Massachussets, Toronto, hal. 23.
47 deskriptif, interpretatif, evaluatif dan argumentatif, yang diterangkan sebagai berikut: 1. Teknik deskriptif, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendalam mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidananya. 2. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum seperti penafsiran historis, sistematis, dan lain-lain. Selanjutnya bahan Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif ,sistematis dan argumentatif. 3. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan, proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam baik dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder. 4. Teknik Sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak sederajat. 5. Teknik Argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.69
69
Buku Pedoman, 2008, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, hal. 14.