BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Periklanan menurut Kamus Istilah Periklanan Indonesia adalah pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media, antara lain: pers, radio, televisi, bioskop, yang bertujuan membujuk konsumen untuk melakukan tindak membeli atau mengubah perilakunya (Nuradi, 1996:4). Desain iklan, yang dalam bentuk kehadirannya seringkali perlu ditunjang dengan suara, menurut Pirous (1989), pada hakikatnya adalah suatu bahasa. Tugas utamanya adalah membawakan pesan dari seseorang, lembaga, atau kelompok masyarakat tertentu kepada orang lain. Periklanan merupakan aktivitas komunikasi yang berfokus pada
kegiatan
pemasaran. Meliputi strategi pemasaran, yakni logika pemasaran yang dipakai unit bisnis untuk mencapai tujuan pemasaran (Kotler, 1991:416). Sebagai sebuah aktivitas komunikasi menurut Liliweri (1991:20), periklanan bertugas menciptakan interaksi perorangan dengan mengunakan tanda yang tegas. Dengan demikian, aktivitas komunikasi tersebut juga berarti pembagian unsur perilaku, atau cara hidup dengan eksistensi seperangkat ketentuan dan pemakaian
2 tanda verbal dan tanda visual yang telah disepakati bersama. Karena itulah rancangan iklan selalu menggunakan teknik tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Atas nama target waktu, menurut pakar periklanan internasional David Ogilvy seperti tertulis dalam bukunya berjudul: Ogilvy on Advertising yang diterbitkan 1983, iklan merupakan medium informasi yang mengandung bobot seni. Di antaranya, pertama, penjualan ide yang menjadi andalan terkait masa berlakunya suatu barang atau jasa untuk jangka waktu panjang. Kedua, penyebaran ide perihal keuntungan pihak komunikan bila menerima ide sebagaimana dianjurkan oleh komunikator, berupa penggunaan barang atau jasa yang disarankan, serta kenikmatan yang diperoleh dari penggunaan barang atau jasa tersebut (Tinarbuko, 2008: 11). Desain iklan dalam hal bentuk atau visualisasinya, berhadapan dengan sejumlah alat, teknik, bahan dan ketrampilan. Ungkapan pesan verbal dan pesan visual yang baik, akan lebih bernilai apabila didukung dengan teknik penyampaian pesan yang baik pula saat mewujudkan pesan verbal dan pesan visual tersebut. Seperangkat alat yang dimanfaatkan oleh desainer iklan, antara lain adalah aspek visual yang meliputi bentuk ilustrasi, layout, warna, dan tipografi sebagai unsur pembentuk pesan verbal. Serta aspek verbal yang terdiri: judul,
sub judul, teks dan slogan (Jewler, dan
Drewniany, 2001: 57). Desain iklan dalam perspektif desain komunikasi visual dapat dipahami sebagai salah satu upaya pemecahan masalah (komunikasi, atau komunikasi visual) untuk menghasilkan suatu desain iklan yang paling baru di antara desain iklan yang terbaru (Tinarbuko, 1998:66).
Dalam konteks ini, penekanannya dititikberatkan upaya
3 pemecahan masalah komunikasi atau komunikasi visual dengan mengedepankan aspek kebaruan sebagai panglima perangnya. Desain iklan, sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi verbal dan visual melalui simbol-simbol kasatmata, dewasa ini pengalami perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan manusia, simbol-simbol verbal dan visual hadir dalam bentuk teks, slogan, simbol dan sistem tanda, serta ilustrasi yang terpampang di seluruh media iklan baik yang tercetak, di media massa cetak dan media massa elektronik elektronik, di media iklan luar ruang, bahkan sampai display di berbagai pusat perbelanjaan dengan segala aneka daya tariknya. Selain itu, profesi desainer iklan menjadi
bagian dari mata rantai sebuah
penelitian sosial, saat sang desainer iklan menjalankan proses penciptaan desain iklan. Artinya, desainer iklan, sebelum berkarya haruslah melakukan berbagai penelitian lapangan, dan kajian verbal visual dengan pendekatan lintas ilmu. Penggembaraan kreatifnya diawali dari menemukenali permasalahan komunikasi berbentuk tanda verbal dan tanda visual. Selanjutnya, mencari data verbal dan data visual. Lalu menyusun konsep kreatif berlandaskan karakteristik target sasaran. Terakhir, menentukan visualisasi final desain untuk mendukung tercapainya sebuah proses komunikasi guna menyampaikan pesan verbal dan pesan visual yang fungsional, persuasif, artistik, dan komunikatif. Hal itu dilakukan untuk lebih memfokuskan penyampaian pesan verbal dan pesan visual melalui karya desain iklan tersebut. Jenis iklan yang dipaparkan di atas adalah jenis iklan komersial. Pada dasarnya, periklanan dibagi menjadi empat bagian. Pertama, iklan komersial. Kedua, iklan
4 nonkomersial atau biasa disebut Iklan Layanan Masyarakat (ILM), yang akan menjadi objek penelitian ini. Ketiga, iklan filantropi. Keempat iklan politik. Sementara itu, Kamus Istilah Periklanan Indonesia (1996:136) mendefinisikan iklan layanan masyarakat sebagai jenis periklanan yang dilakukan oleh suatu organisasi komersial maupun nonkomersial, sering juga oleh pemerintah, untuk mencapai tujuan sosial atau sosio-ekonomi, demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan Crompton and Lamb (1986:428) menyebut iklan layanan masyarakat sebagai sebuah pengumuman atau pemberitahuan yang tidak dipungut bayaran untuk memajukan sebuah program, aktivitas atau layanan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, atau aktivitas sosial untuk layanan organisasi nonprofit dan pemberitahuan lain yang dianggap bermanfaat untuk masyarakat. Berikut ini tabel penjelas yang membedakan antara iklan komersial dengan iklan layanan masyarakat: Iklan Komersial:
Iklan Sosial (Iklan Layanan Masyarakat):
Pesan yang disampaikan berbentuk pesan komersial yang berujung pada keuntungan finansial Menyampaikan pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan kepada para calon pembeli yang paling potensial atas produk barang atau jasa tertentu dengan biaya semurahmurahnya (Jefkins, 1996:5). Pesan komersial yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media iklan (Kasali, 1992:9)
Pesan yang disampaikan berbentuk pesan sosial
Pesan yang dibayar dan disampaikan melalui sarana media yang bertujuan
Dalam iklan layanan masyarakat disajikan pesan sosial yang
Iklan layanan masyarakat mempunyai peran penting bagi berbagai kegiatan nonbisnis.
Iklan layanan masyarakat dirasakan manfaatnya dalam menggerakkan solidaritas masyarakat manakala menghadapi suatu masalah sosial.
5 membujuk konsumen untuk melakukan tindak membeli atau mengubah perilakunya (Nuradi, 1996:4) Iklan komersial menjadi sebentuk strategi sosial persuasif yang dimaksudkan untuk memengaruhi cara orang memandang pembelian dan konsumsi barang.
Iklan komersial bertujuan mengangkat dan memancangkan nilai-nilai kenikmataan dalam hidup (Danesi, 2010:363) Ada dua ketegori iklan komersial; pertama, periklanan untuk konsumen, yang bertujuan untuk mempromosikan sebuah produk. Kedua, periklanan untuk perdagangan, dimana pelemparan barang ke pasar diajukan pada dealer dan kalangan profesional melalui publikasi dan media dagang yang sesuai (Danesi, 2010:364)
dimaksudkan untuk membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap sejumlah masalah yang harus mereka hadapi (Kasali, 1992: 201 ). Menurut Ad Council, kriteria yang digunakan untuk menentukan kampanye iklan layanan masyarakat adalah: nonkomersial, tidak bersifat keagamaan, nonpolitik, berwawasan nasional, diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat, diajukan oleh organisasi yang telah diakui, dapat diiklankan, mempunyai dampak dan kepentingan tinggi sehingga patut memperoleh dukungan media lokal ataupun nasional (Kasali, 1992:202). Yang tidak termasuk iklan layanan masyarakat adalah informasi waktu via telepon, prakiraan cuaca, dan pengumuman promosi. Pemasangan iklan layanan masyarakat tidak dikenakan sewa media (gratis) oleh media massa cetak dan elektronik.
Sebagai media yang bergerak dalam bidang sosial, iklan layanan masyarakat pada umumnya berisi pesan sosial tentang kesadaran nasional dan lingkungan hidup. Misalnya: iklan layanan masyarakat yang dibuat untuk menyukseskan program imunisasi nasional, pemberantasan nyamuk demam berdarah, virus flu burung, budaya gemar mmembaca, budaya menabung, mewaspadai gempa bumi, menjaga lingkungan hidup, membuang sampah pada tempatnya, tertib lalulintas, wajib membayar pajak, hemat listrik, donor darah, dan sebagainya. Iklan layanan masyarakat
6 keberadaannya bersifat independen, tidak terkait pada konsep bisnis perdagangan, politik atau agama.
Karena ILM adalah iklan sosial, maka keberadaannya bersifat independen. Kehadiran ILM dimaksudkan sebagai citra tandingan terhadap keberadaan iklan komersial. Sebagai sebuah citra tandingan, pada dasarnya ILM adalah alat untuk menyampaikan pesan sosial kepada masyarakat. ILM tidak terkait dengan konsep bisnis perdagangan, politik atau agama. Konsep pesan verbal dan pesan visualnya tidak berbeda dengan iklan komersial. Keduanya merupakan media komunikasi visual yang berperan untuk mempengaruhi khalayak luas sebagai target sasaran agar dapat tergerak hatinya untuk melakukan sesuatu yang dianjurkan oleh pesan ILM tersebut. Oleh karena itu, perencanaan sebuah ILM mengacu pada konsep iklan komersial. Jika dilihat dari wujud dan proses komunikasinya, ILM mengandung tanda verbal dan tanda visual serta pesan verbal dan pesan visual yang
dihadirkan secara
komunikatif. Gabungan antara tanda verbal dan tanda visual serta pesan verbal dan pesan visual yang ada pada ILM bertugas mempersuasi khalayak sasaran yang dituju. Dengan demikian, bentuk komunikasi visual seperti itulah menjadikan pesan verbal dan pesan visual tersebut menjadi bermakna. ILM pada dasarnya adalah alat untuk menyampaikan pesan sosial kepada masyarakat.
Media
semacam
ini
sering
dimanfaatkan
pemerintah
untuk
menyebarluaskan program kerjanya. Sebagai media yang bergerak dalam bidang sosial, ILM pada umumnya berisi pesan verbal dan pesan visual tentang kemanusiaan, kesehatan, pendidikan, keamanan, ekonomi, kebudayaan, kesenian dan lingkungan
7 hidup. Misalnya ILM yang dibuat untuk menyukseskan program imunisasi nasional, pemberantasan nyamuk demam berdarah, virus flu burung, budaya gemar membaca, budaya menabung, menjaga lingkungan hidup, membuang sampah pada tempatnya, tertib lalulintas, wajib pajak, hemat listrik, donor darah, dan sebagainya. Penelitian ini akan mengkaji makna konotasi ILM yang dimuat di harian Kompas periode 1994 -2006. Penelitian ini secara khusus akan mengkaji makna konotasi ILM yang muncul dari pesan verbal dan pesan visual yang bersumber dari tanda verbal (terkait dengan judul, subjudul, teks, dan slogan) serta tanda visual (terkait dengan ilustrasi, tipografi, dan tata visual). Makna konotasi yang terkandung dalam pesan verbal dan pesan visual ILM yang dimuat di harian Kompas periode 1994 -2006 menarik untuk dikaji dengan pendekatan analisis semiotika, karena seluruh pesan verbal dan pesan visual ILM tersebut memiliki tanda yang menyajikan interaksi antara teks verbal dan teks visual. Charles Sander Peirce menyebut tanda ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas tertentu (Eco, 1979:15). Atas dasar itulah, mengacu pada teks ILM yang menjadi objek penelitian ini, secara keseluruhan mengandung tanda seperti yang disebutkan Peirce, yaitu: ikon, indeks dan simbol. Maka analisis semiotika atas makna konotasi yang terkandung dalam ILM tersebut menjadi layak untuk diterapkan. Konsep dasar semiotika yang digunakan untuk menjalankan analisis semiotika atas ILM yang menjadi objek penelitian ini juga mengacu pada teorinya Roland Barthes yang berangkat dari pendapat Ferdinand de Saussure. Pendekatan ini menekankan menekankan tanda verbal dan tanda visual yang disertai maksud (signal) serta berpijak pada pandangan dari pandangan berbasis tanda verbal dan tanda visual
8 yang tanpa maksud (symptom). Dalam konteks ini, ILM yang menjadi objek penelitian mengandung tanda yang ber-signal dan ber-symptom. Atas dasar itulah, dalam mencari makna konotasi yang terkandung dalam ILM tersebut, harus diawali dengan mengamati dan menginterpretasikan tanda berbentuk ikon, indeks, simbol dan kode sosial yang menurut Roland Barthes adalah cara mengangkat kembali fragmenfragmen kutipan (Zoest, 1993:39-42). Hal itu menjadi menarik untuk dilakukan dalam penelitian ini, karena esensi membongkar makna konotasi pada ILM yang dijadikan objek penelitian ini, dapat diamati dari adanya hubungan antara tanda verbal dan tanda visual. Proses pengamatan tersebut diawali dengan: pertama mengumpulkan. Kedua, menafsirkan teks tersebut. Ketiga, Menjelaskan kode-kode kultural. Keempat, membuat generalisasi dengan mengungkapkan makna konotasi dari tanda yang ada. Kelima, membuat kesimpulan (Stokes, 2003:80). Hasil yang diharapkan dapat dilihat bagaimana interaksi tanda verbal dan tanda visual berfungsi sebagai elemen dasar. Fungsi itu menjadi penting sebagai elemen dasar untuk menyampaikan pesan verbal dan pesan visual pada khalayak sasaran yang dituju dari ILM tersebut. Dengan demikian, analisis semiotika atas makna konotasi yang terkandung dalam ILM tersebut menjadi layak untuk diterapkan. Dalam proses mengkaji makna konotasi atas tanda verbal dan tanda visual serta pesan verbal dan pesan visual ILM yang dimuat di harian Kompas periode 1994 -2006 akan menggunakan pendekatan teori semiotika, teori desain komunikasi visual, dan teori gaya bahasa.
9 1.2 Perumusan Masalah Berdasar latar belakang di atas, ditemukan beberapa permasalahan yang perlu dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah: 1. Bagaimana mendeskripsikan tanda verbal dan tanda visual yang menjadi elemen dasar pembentukan pesan verbal dan pesan visual dari Iklan Layanan Masyarakat tersebut? 2. Bagaimana memahami penggunaan gaya bahasa dalam Iklan Layanan Masyarakat tersebut? 3. Bagaimana memahami makna konotasi yang muncul atas interaksi tanda verbal dan tanda visual serta pesan verbal dan pesan visual dalam Iklan Layanan Masyarakat tersebut? 4. Bagaimana memahami makna konotasi yang muncul dari pesan verbal dan pesan visual serta penggunaan beberapa gaya bahasa dari
Iklan Layanan
Masyarakat tersebut?
1.3 Batasan Masalah Judul penelitian ini adalah, ‘’Tanda Verbal dan Tanda Visual Iklan Layanan Masyarakat (Analisis Semiotika pada Iklan Layanan Masyarakat (ILM) yang dimuat di harian Kompas 1994 – 2006)’’ Penelitian ini lebih menitikberatkan bagaimana melihat interaksi tanda verbal dan tanda visual yang menjadi elemen dasar pembentukan pesan verbal dan pesan visual
10 dari ILM tersebut. Serta bagaimana memahai makna konotasi yang muncul dari pesan verbal dan pesan visual dalam ILM tersebut. Dalam proses mengkaji makna konotasi atas tanda verbal dan tanda visual serta pesan verbal dan pesan visual ILM yang dimuat di harian Kompas periode 1994 -2006 akan menggunakan pendekatan teori semiotika, teori desain komunikasi visual, dan teori gaya bahasa. Harian Kompas dipilih karena yang dijadikan target sasaran ILM tersebut adalah Status Ekonomi Sosial (SES) golongan menengah ke atas. Sedangkan segmentasi pembaca harian Kompas SES B-A. Artinya, pembaca harian Kompas adalah golongan menengah ke atas. Atas dasar itulah, media yang dipilih untuk menempatkan ILM tersebut adalah harian Kompas. Hal itu didasari fakta yang menyatakan bahwa harian Kompas adalah media massa cetak dengan segmentasi menengah ke atas (SES B-A) sebagai media yang dipercaya menyosialisasikan pesan ILM periode akhir Orde Baru (1994 – 1998) dan awal Orde Reformasi (1998- 2006). Semuanya itu dinilai sesuai dengan konsep pemilihan media untuk ILM yang dijadikan objek penelitian ini. Dengan demikian, dipilihnya surat kabar harian Kompas periode 1994-2006 sebagai media yang berfungsi untuk menyosialisasikan pesan verbal dan pesan visual ILM, karena target sasaran ILM tersebut adalah kelompok golongan masyarakat klas menengah ke atas, atau SES
(Status Ekonomi Sosial) B-A. Sedangkan harian
Kompas merupakan surat kabar berskala nasional yang mempunyai reputasi yang baik dan bertanggung jawab sebagai media massa cetak atas beragam pemuatan berita daerah, nasional maupun internasional. Tiras harian Kompas dalam setiap hari
11 penerbitannya mencapai 500 ribu lembar. Dengan jumlah oplah yang demikian banyak itu memberikan jaminan akan jumlah pembaca setianya. Pelanggan dan pembaca harian Kompas terdiri dari kelompok golongan masyarakat klas menengah ke atas, atau SES (Status Ekonomi Sosial) B-A. Dengan demikian, karakteristik pelanggan dan pembaca harian Kompas yang terdiri dari kelompok golongan masyarakat klas menengah ke atas, atau SES (Status Ekonomi Sosial) B-A sesuai dengan target sasaran yang dikehendaki ILM tersebut. Sedangkan periode tahun 1994-2006 dipandang cukup bervariasi di dalam penentuan sampel ILM yang menjadi objek kajian penelitian ini. Dikatakan bervariasi karena ILM yang dijadikan objek penelitian ini ada direntang periode akhir Orde Baru (1994 – 1998) dan awal Orde Reformasi (1998- 2006).
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang membahas analisis semiotika tanda verbal dan tanda visual Iklan Layanan Masyarakat, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan penelitian ini sebagai upaya mendeskripsikan interaksi tanda verbal dan tanda visual yang menjadi elemen dasar pembentukan pesan verbal dan pesan visual dari Iklan Layanan Masyarakat tersebut. 2. Tujuan penelitian ini sebagai upaya memahami penggunaan gaya bahasa dalam Iklan Layanan Masyarakat. 3. Tujuan penelitian ini sebagai upaya Layanan Masyarakat tersebut.
memahami makna konotasi dalam Iklan
12 4. Tujuan penelitian ini sebagai upaya memahami makna konotasi yang muncul dari pesan verbal dan pesan visual serta penggunaan beberapa gaya bahasa dari Iklan Layanan Masyarakat tersebut?
1.5 Manfaat Penelitian: Manfaat Teoretis dan Manfaat Praktis
1.5.1 Manfaat Teoretis 1. Secara teoretis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan pemahaman atas upaya mengidentifikasikan tanda dan tanda visual yang menjadi elemen dasar pembentukan pesan verbal dan pesan visual dari ILM tersebut. 2. Secara teoretis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan panduan dalam mengungkapkan makna konotasi yang muncul dari tanda verbal dan tanda visual serta pesan verbal dan pesan visual dalam kandungan ILM tersebut.
1.5.2 Manfaat Praktis 1. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat memperluas wawasan dan menambah pengetahuan mengenai pentingnya memahami semiotika komunikasi visual dalam proses perancangan ILM. 2. Secara praktis, dengan pendekatan semiotika komunikasi visual, penelitian ini bermanfaat memberikan masukan positif bagi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat ketika merancang dan membuat ILM yang dikemas secara kreatif dengan pendekatan simbolis.
13 1.6 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dengan sistematika sebagai berikut: BAB I, Pendahuluan, terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian (Manfaat Teoretis dan Praktis), Sistematika Penyajian, Kajian Pustaka dan Landasan Teori (mencakup teori semiotika, teori desain komunikasi visual, dan teori gaya bahasa), Metode dan Teknik Penelitian. BAB II, Membahas Deskripsi Interaksi Tanda dan Pesan Verbal – Visual dalam ILM BAB III, Membahas Analisis Penggunaan Gaya Bahasa dalam Iklan Layanan Masyarakat. BAB IV, Membahas Makna Konotasi yang muncul dalam Iklan Layanan Masyarakat. BAB V, Penutup sebagai Kesimpulan dari Penelitian Ini, Temuan-temuan Penting, dan Saran-saran yang Relevan dengan Penelitian Ini.
1.7 Kajian Pustaka Hingga saat ini belum ditemukan penelitian, disertasi maupun tesis yang mengulas secara langsung dan komprehensif seperti penelitian yang sedang dikerjakan penulis dengan judul: ‘’Tanda Verbal dan Tanda Visual Iklan Layanan Masyarakat (Analisis Semiotika pada Iklan Layanan Masyarakat (ILM) yang dimuat di harian Kompas 1994 – 2006)’’ Berdasarkan studi pustaka yang dilakukan, penulis menemukan beberapa penelitian berbentuk jurnal, tesis ataupun disertasi yang mengulas permasalahan semiotika, iklan komersial, dan iklan layanan masyarakat yang dekat dengan topik penelitian untuk penelitian disertasi ini.
14
Penelitian Rizaldy Yusuf berjudul Representasi Mitos Gaya Hidup Dalam Iklan (Analisis Semiotika Barthes pada Iklan Kopi Kapal Api Special Versi “Suka Yang Hitam”) menitikberatkan pada aspek tanda sebagai unsur utama penyampai pesan iklan komersial. Hasil penelitian Rizaldy Yusuf yang diterbitkan Jurnal Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial, Universitas Bakrie Indonesia, Volume 2, No 05, Tahun 2014 ini ingin membuktikan kehebatan aspek tanda dalam merepresentasikan mitos gaya hidup yang disampaikan oleh iklan Kapal Api Special versi “Suka Yang Hitam” Penelitian ini menyimpulkan bahwa makna konotasi dari iklan tersebut merepresentasikan mitos kemewahan gaya hidup modern sebagai bentuk gaya hidup baru pada saat minum kopi merek Kapal Api Special. Persamaan: Pertama, penelitian ini menggunakan teori semiotika, teori iklan, teori desain komunikasi visual. Kedua, penelitian ini menggunakan analisis semiotika untuk mengungkap makna konotasi atas tanda yang terkandung dari iklan tersebut. Perbedaan: Pertama, objek penelitian berbentuk iklan komersial Kopi Kapal Api Special Versi “Suka Yang Hitam’’ Kedua, penelitian tersebut tidak membahas tanda visual dan tanda verbal sebagai unsur utama pembentuk pesan verbal dan pesan visual. Penelitian B. Wahyudi Joko Santoso berjudul, ‘’Wacana Iklan Komersial Berbahasa Indonesia di Televisi’’, menekankan pada aspek pesan iklan komersial. Penelitian B. Wahyudi Joko Santoso berjudul yang dikemas dalam bentuk disertasi ini menemukan pesan iklan komersial di televisi berlapis dua. Lapis pertama, berupa pesan denotatif – informatif. Lapis kedua berupa pesan konotatif. Pesan pertama pada umumnya berupa kelebihan-kelebihan produk/jasa yang ditawarkan dan pesan
15 perintah penggunaan baik secara
langsung literal maupun tidak langsung literal,
sedangkan pesan lapis kedua berupa citra (image/myth). Pesan-pesan tersebut disampaikan secara demonstratif, ekspresif, impresif, atraktif, dsb., dalam suasana yang (sangat) kondusif: ramah, santai, senang, humor. Penelitian tersebut juga menyimpulkan, pertama, iklan komersial memiliki tiga bagian: butir pertama, tubuh iklan, dan penutup. Butir utama memiliki tiga fungsi: menarik/mengalihkan perhatian, menyatakan tema pokok iklan, dan membangkitkan minat pemirsa. Tubuh iklan berfungsi memberikan informasi lebih lanjut berkenaan dengan produk/jasa yang ditawarkan.
Adapun
penutup
iklan
berfungsi
untuk
memberikan
simpulan/penegasan/dorongan terhadap pentingnya produk/jasa yang diiklankan dibeli/digunakan oleh pemirsa (sasaran) TV. Kedua, iklan komersial di TV tersusun atas dua aspek: verbal dan nonverbal. Aspek verbal yang mewarnai wacana iklan ini meliputi aspek penting, yakni (i) ortografi, (ii) fonologi, (iii) morfologi, (iv) leksikal, (v) sintaksis, (vi) semantik, (vii) gaya bahasa, (viii) campur kode. Sementara itu, aspek nonverbal wacana ini setidaknya mencakup lima aspek penting, yakni (i) penutur: berupa mimik, gesture, dan prosemik dari Bintang Iklan (Bi), (ii) produk/jasa, (iii) latar, (iv) jingle dan soundtrack, serta (v) warna dan pencahayaan. Ketiga, keefektifan Iklan Komersial di TV menurut responden adalah cukup efektif bila dibandingkan dengan iklan di media lain karena media ini setidaknya mempunyai empat kelebihan, yakni bahasanya sederhana, bersifat audiovisual, adanya jingle – soundtrack, dan demonstrasi produk/jasa oleh Bi (Santoso, 2006).
16 Persamaan: Pertama, penelitian ini menyoroti makna konotasi pada pesan iklan komersial di televisi. Kedua, penelitian ini menggunakan teori semiotika, teori pragmatik, teori sosioliguistik dan teori iklan. Perbedaan: Pertama, objek penelitian berbentuk iklan komersial yang ditayangkan di televisi. Kedua, penelitian tersebut tidak membahas tanda visual dan tanda verbal sebagai unsur utama pembentuk pesan verbal dan pesan visual. Penelitian Fenni Khairifa berjudul ‘’Penyampaian Iklan Layanan Masyarakat Kepada Khalayak’’ ini diterbitkan Jurnal Harmoni Sosial, Mei 2007, Volume I, No. 3 Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Darma Agung Medan ini dilaporkan bahwa iklan layanan masyarakat yang disiarkan melalui televisi sampai kepada khalayak. Tetapi isi pesan dan bentuk pesan dari iklan layanan masyarakat tersebut tidak diingat responden. Penyebabnya, responden tidak memerhatikan bentuk pesan dan isi pesan iklan layanan masyarakat yang di tayangkan di televisi. Responden lebih memerhatikan mata acara yang menjadi kesukaan mereka. Persamaan: Pertama, objek penelitian yang dipilih adalah iklan layanan masyarakat. Kedua, penelitian ini sebatas menyoroti sampai tidaknya pesan iklan layanan masyarakat yang ditayangkan di televisi. Ketiga, penelitian ini hanya menggunakan teori iklan. Perbedaan: Pertama, penelitian tersebut tidak membahas tanda visual dan tanda verbal sebagai unsur utama pembentuk pesan verbal dan pesan visual. Kedua, penelitian ini tidak menggunakan teori pragmatik, teori sosiolinguistik, teori semiotika, teori gaya bahasa dan teori desain komunikasi visual.
17 Penelitian ini berjudul
Sound Advertising: A Review of the Experimental
Evidence on the Effects of Music in Commercials on Attention, Memory, Attitudes, and Purchase Intention. Dalam Penelitian ini, David Allan dari
Department of
Marketing Saint Joseph's University, Philadelphia, USA, memaparkan studi empiris tentang hubungan atau interaksi antara musik dan hirarki efek periklanan, atau lebih spesifiknya tentang perhatian, memori, perilaku, dan niatan membeli. Dalam penelitiannya yang diterbitkan Journal of Media Psychology, Volume 12, No. 3, 2007, Allan menyebutkan, literatur yang paling relevan untuk menganalisanya lewat formasi dari dua tabel teori dan eksperimen yang komperhensif. Variabel musik, seperti tingkat menariknya, kesesuaian, melodi, mood, tempo, tekstur, nada suara, serta valensi ditunjukkan untuk memengaruhi perilaku konsumen melalui iklan dan brand, untuk menjadi pengingat, pemberi kenikmatan, gairah, serta niatan membeli. Review ini menyediakan ringkasan tentang hasil dan fondasi terhadap penelitian masa depan tentang sound advertising. Persamaan: Pertama, teori yang digunakan teori iklan dan teori media iklan. Kedua, objek penelitiannya memanfaatkan periklanan. Perbedaan: Pertama, penelitian tersebut tidak membahas tanda visual dan tanda verbal sebagai unsur utama pembentuk pesan verbal dan pesan visual. Kedua, penelitian ini tidak menggunakan teori pragmatik, teori sosiolinguistik, teori semiotika, teori gaya bahasa dan teori desain komunikasi visual. Ketiga, objek penelitian memanfaatkan periklanan berbasis media audio dan audio visual. Penelitian Maartje Brattinga yang bekerja sebagai Guest Curator Dutch Poster Museum ini membahas tentang periklanan Indonesia periode pertama abad 20.
18 Penelitian berjudul Advertising in The Dutch East Indies in Search of A Tropical Style yang diterbitkan Jurnal Wimba, Vol. 06 No. 2 Tahun 2014 mengupas awal periode kehidupan modern dan seiring dengan itu Belanda sangat serius memikirkan industri periklanan. Hal itu dapat dilihat saat Belanda terlibat dalam periklanan modern dan menghadirkan beberapa agensi periklanan di Indonesia. Ilustrator Belanda melakukan perjalanan ke koloninya di timur untuk bekerja sebagai seniman periklanan. Karena terpengaruh dengan seni dan craftmanship Indonesia, serta lingkungan yang tropis, akhirnya membuat mereka mengembangkan gaya Belanda Indonesia yang spesifik. Persamaan: Pertama, teori yang digunakan teori iklan dan teori iklan surat kabar. Kedua, objek penelitiannya memanfaatkan salah satu media iklan bernama poster. Perbedaan: Pertama, penelitian tersebut tidak membahas tanda visual dan tanda verbal sebagai unsur utama pembentuk pesan verbal dan pesan visual. Kedua, penelitian ini tidak menggunakan teori pragmatik, teori sosiolinguistik, teori semiotika, teori gaya bahasa dan teori desain komunikasi visual. Ketiga, objek penelitian berbentuk poster. Berdasarkan penelusuran kepustakaan atas kajian pustaka yang ada, hingga saat ini, penulis belum menemukan penelitian baik berupa penelitian, disertasi maupun tesis yang mengulas secara langsung dan komprehensif atas penelitian yang penulis kerjakan dengan judul: ‘’Tanda Verbal dan Tanda Visual Iklan Layanan Masyarakat (Analisis Semiotika pada Iklan Layanan Masyarakat (ILM) yang dimuat di harian Kompas 1994 – 2006)’’ Untuk itulah, penelitian yang penulis kerjakan layak untuk diselesaikan sampai tuntas menjadi disertasi utuh bersama.
seperti yang telah disepakati
19
1.8 Landasan Teori Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam rumusan masalah, maka dipilihlah teori yang terkait. Teori tersebut adalah teori semiotika, teori desain komunikasi visual, teori sosioliguistik, teori pragmatik, teori gaya bahasa. Teori tersebut digunakan untuk mendeskripsikan kode dan tanda verbal serta tanda visual. Teori tersebut juga dimanfaatkan untuk memahami makna konotasi yang terkandung dalam ILM yang dijadikan objek penelitian ini.
1.8.1 Semiotika sebagai Ilmu Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semiotika menurut Kamus Linguistik adalah ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan tanda-tanda (Kridalaksana, 1993:195). Dengan demikian, semiotika adalah studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu bekerja. Dalam konteks ini, pokok perhatiannya adalah membahas masalah tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu
20 gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18). Semiotika menurut John Fiske memiliki tiga bidang studi utama, yakni: pertama, tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. Kedua, kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentrasmisikannya. Ketiga, kebudayaan tempat tanda dan kode bekerja. Ini pada gilirannya bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Karena itu, semiotika memfokuskan perhatiannya terutama pada teks. Hal lainnya adalah memperhatikan status penerima. Dalam semiotika, penerima atau pembaca, dipandang memainkan peran yang lebih aktif (Fiske, 2005: 60-61). Sebagai disiplin khusus, semiotika dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi studi tentang tetanda yang berfungsi di dunia kegiatan manusia. Oleh karena itu, menurut S.E. Larsen, semiotika adalah studi terhadap berbagai struktur tanda daan
21 aneka proses tanda. Semiotika dalam pengertian yang luas, adalah studi kegiatan manusia yang mendasar, yaitu menciptakan makna. Tetanda adalah segala corak atau tipe unsur – verbal, nonverbal, natural, artifisial – yang membawa makna. Dalam konteks ini, masih menurut S.E. Larsen, semiotika meneliti tiga masalah mendasar. Pertama, bagaimana dunia yang mengelilingi kita itu disusun lewat tetanda sebagai lingkungan yang manusiawi karena persepsi dan pengertian kita terhadapnya. Kedua, bagaimana dunia ini dikodekan dan dikodekan kembali dan dengan demikian menjadi sebuah ranah kultural khusus yang terdiri atas jejaring tetanda. Ketiga, bagaimana kita berkomunikasi dan bertindak lewat tetanda agar ranah ini menjadi jagat kultural yang diikutsertakan secara kolektif (Larsen, 1994:3821). Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai metode kajian ke dalam berbagai cabang keilmuan ini dimungkinkan karena ada kecenderungan untuk memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain, bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial
dapat dianggap sebagai fenomena bahasa,
semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan karena luasnya pengertian tanda itu sendiri (Piliang, 1998:262). Semiotika menurut Berger (2000:10). memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Peirce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan di antara keduanya tidak saling mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan
Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce filsafat. Saussure
menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology).
22 Georges Mounin mengakui bahwa bapak semiologi adalah Saussure. Menurutnya, Saussure adalah tokoh penting semiologi, karena dalam bukunya, Cours de linguistique generale, telah membaptis dan mendefinisikan secara garis besar perihal ilmu umum tentang semua sistem tanda atau semua tentang sistem simbol, sistem itu membuat manusia bisa berkomunikasi di antara mereka (Mounin, 1970:11). Sementara itu menurut Jeanne Martinet, secara prospektif objek semiologi adalah semua sistem tanda, entah apa pun substansinya, apa pun batasannya: gambar, gerak tubuh, bunyi melodis, benda-benda, dan pelbagai kompleks yang tersusun oleh substansi yang bisa ditemukan dalam ritus, protokol, dan tontonan sekurangkurangnya merupakan sistem pertandaan (Martinet, 2010:3) Mengutip pendapatnya Saussure, Rahayu S Hidayat mengatakan, semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Hidayat, 1998:26). Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya adalah semiotika (semiotics). Bagi Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat diterapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22). Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi. Semiotika memandang komunikasi sebagai pembangkit makna dalam pesan – baik oleh penyampai maupun penerima pesan. Makna bukanlah konsep yang mutlak
23 dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan. Pemaknaan merupakan proses aktif. Para ahli semiotika seperti dituturkan John Fiske, menggunakan kata kerja seperti ‘menciptakan’, ‘membangkitkan’, atau ‘menegosiasikan’ untuk mengacu pada proses ini. Negosisasi mungkin merupakan istilah yang paling berguna karena di dalamnya menunjukkan adanya ke sana dan kemari, memberi dan menerima, di antara manusia dan pesan. Makna merupakan hasil dari interaksi dinamis antara tanda, interpretant, dan objek: makna secara historis ditempatkan dan akan berubah seiring dengan perjalanan waktu. Bahkan lebih berguna untuk menggunakan istilah ‘pemaknaan’ dan menggunakan istilah Peirce ‘semiosis’ untuk tindak pertandaan (Fiske, 2005:68). Menurut Saussure, seperti dikutip Pradopo (1991:54) tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.
24 Tanda akan selalu mengacu pada (mewakili) sesuatu hal (benda) yang lain yang disebut referent. Lampu merah mengacu pada jalan berhenti. Wajah cerah mengacu pada kebahagiaan. Air mata mengacu pada kesedihan. Apabila hubungan antara tanda dan yang diacu terjadi, maka dalam benak orang yang melihat atau mendengar akan timbul pengertian (Eco, 1979:59). Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu (Eco, 1979:15). Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Hubungan ketiga unsur yang dikemukakan Pierce terkenal dengan nama segitiga semiotik. Sementara itu menurut John Fiske, baik Peirce maupun Saussure sama-sama mencoba menjelaskan berbagai cara berbeda dalam tanda menyampaikan makna. Peirce membuat tiga kategori tanda yang masing-masing menunjukkan hubungan yang berbeda di antara tanda dan objeknya, atau apa yang diacunya. Dalam sebuah ikon, dalam beberapa hal tanda menyerupai objeknya. Tanda itu kelihatan atau kedengarannya menyerupai objeknya. Dalam indeks ada hubungan langsung antara tanda dan objek. Artinya, keduanya benar-benar terkait. Dalam simbol tidak ada hubungan atau kemiripan antara tanda dan objeknya: sebuah simbol dikomunikasikan hanya karena manusia sepakat dengan simbol itu menunjukkan
25 sesuatu. Sebuah foto merupakan suatu ikon, asap merupakan indeks api, dan suatu kata merupakan sebuah simbol. Dijelaskannya lebih lanjut, tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metonimi. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit berawan tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Proses ini merupakan proses kognitif dan terjadi dalam memahami pesan iklan. Rangkaian pemahaman akan berkembang terus seiring dengan rangkaian semiosis yang tidak kunjung berakhir. Selanjutnya terjadi tingkatan rangkaian semioisis. Interpretan pada rangkaian semiosis lapisan pertama, akan menjadi dasar untuk mengacu pada objek baru dan dari sini terjadi rangkaian semiosis lapisan kedua. Jadi, apa yang berstatus sebagai tanda pada lapisan pertama berfungsi sebagai penanda pada lapisan kedua, dan demikian seterusnya. Sementara itu, Saussure tidak peduli dengan indeks. Bahkan sebagai ahli linguistik, dia hanya benar-benar menaruh perhatian pada simbol, karena kata-kata
26 adalah simbol. Namun para pengikutnya mengakui bahwa bentuk fisik tanda (yang oleh Saussure dinamakan penanda) dan konsep mental yang terkait dengannya (petanda) dapat dikaitkan dengan cara yang ikonik atau arbitrer. Dalam sebuah relasi ikonik, penanda terlihat atau terdengar seperti petanda. Dalam relasi arbitrer, keduanya terkait berdasarkan kesepakatan di antara penggunannya. Apa yang diistilahkan Saussure dengan relasi ikonik atau relasi arbitrer antara penanda dan petanda terkait dengan tepat pada ikon dan simbolnya Peirce (Fiske, 2005:69). Terkait dengan itu, Barthes mengemukakan teorinya tentang makna konotatif. Ia berpendapat bahwa konotasi dipakai untuk menjelaskan salah satu dari tiga cara kerja tanda dalam tatanan pertandaan kedua. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung tatkala tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dan nilai-nilai kulturalnya. Ini terjadi tatkala makna bergerak menuju subjektif atau setidaknya intersubjektif. Semuanya itu berlangsung ketika interpretant dipengaruhi sama banyaknya oleh penafsir dan objek atau tanda. Bagi Barthes, faktor penting dalam konotasi adalah penanda dalam tatanan pertama. penanda tatanan pertama merupakan tanda konotasi. Jika teori itu dikaitkan dengan bekerjanya sebuah iklan layanan masyarakat, maka setiap pesan ILM merupakan pertemuan antara signifier (lapisan ungkapan) dan signified (lapisan makna). Lewat unsur verbal dan visual (nonverbal), diperoleh dua tingkatan makna, yakni makna denotatif yang didapat pada semiosis tingkat pertama dan makna konotatif yang didapat dari semiosis tingkat berikutnya. Pendekatan semiotik terletak pada tingkat kedua atau pada tingkat signified, makna pesan dapat dipahami secara utuh (Barthes, 1998:172-173).
27 Mengingat ILM mempunyai tanda berbentuk bahasa verbal dan visual, serta merujuk bahwa teks ILM dan penyajian visualnya juga mengandung ikon terutama berfungsi
dalam
sistem-sistem
nonkebahasaan
untuk
mendukung
peran
kebahasaannya, maka pendekatan semiotik terhadap ILM layak diterapkan. Konsep dasar semiotik yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada Roland Barthes yang berangkat dari pendapat Ferdinand de Saussure. Pendekatan ini menekankan pada tanda-tanda yang disertai maksud (signal) serta berpijak dari pandangan berbasis pada tanda-tanda yang tanpa maksud (symptom). Iklan Layanan Masyarakat sebagai salah satu karya desain komunikasi visual mempunyai tanda yang ber-signal dan ber-symptom, dan dalam memaknai makna ILM harus mengamati ikon, indeks, simbol, dan kode sosial yang menurut Barthes adalah cara mengangkat kembali fragmen-fragmen kutipan (Zoest, 1993:39-42). Sebab esensi membongkar makna ILM dapat dilihat dari adanya hubungan antara gejala struktural yang diungkapkan oleh tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh acuannya. Hasilnya akan dapat dilihat dan diketahui bagaimana tanda-tanda tersebut berfungsi.
1.8.2 Semiotika sebagai Metode Analisis Tanda ILM Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan
suatu
informasi
sehingga
bersifat
komunikatif.
Ia
mampu
menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual.
28 Sementara itu, Charles Sanders Pierce, menandaskan bahwa kita hanya dapat berpikir dengan medium tanda. Manusia hanya dapat berkomunikasi lewat sarana tanda. Tanda dalam kehidupan manusia bisa tanda gerak atau isyarat. Lambaian tangan yang bisa diartikan memanggil atau anggukan kepala dapat diterjemahkan setuju. Tanda bunyi, seperti tiupan peluit, terompet, genderang, suara manusia, dering telpon. Tanda tulisan, di antaranya huruf dan angka. Bisa juga tanda gambar berbentuk rambu lalulintas, dan masih banyak ragamnya (Noth, 1995:44).
1.8.2.1 Tanda (Ikon, Indeks, Simbol) Merujuk teorinya Pierce, maka tanda-tanda dalam gambar dapat dilihat dari jenis tanda yang digolongkan dalam semiotik. Di antaranya: ikon, indeks dan simbol (Noth, 1995:45). Ikon adalah tanda yang mirip dengan objek yang diwakilinya. Dapat pula dikatakan, tanda yang memiliki ciri-ciri sama dengan apa yang dimaksudkan. Misalnya, foto Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah ikon dari Pak Sultan. Peta Yogyakarta adalah ikon dari wilayah Yogyakarta yang digambarkan dalam peta tersebut. Cap jempol Pak Sultan adalah ikon dari ibu jari Pak Sultan. Indeks merupakan tanda yang memiliki hubungan sebab akibat dengan apa yang diwakilinya. Atau disebut juga tanda sebagai bukti. Contohnya: asap dan api, asap menunjukkan adanya api. Jejak telapak kaki di tanah merupakan tanda indeks orang
29 yang melewati tempat itu. Tanda tangan (signature) adalah indeks dari keberadaan seseorang yang menorehkan tanda tangan itu. Simbol merupakan tanda berdasarkan konvensi, peraturan, atau perjanjian yang disepakati bersama. Simbol baru dapat dipahami jika seseorang sudah mengerti arti yang telah disepakati sebelumnya. Contohnya: Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki perlambang yang kaya makna. Namun bagi orang yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya, Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.
1.8.2.2 Kode Kode, merujuk terminologi sosiolinguistik ialah variasi tutur yang memiliki bentuk yang khas, serta makna yang khas pula (Poedjosoedarmo, 1986:27). Sementara itu, kode menurut Piliang (1998:17), adalah cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang ke orang lainnya. Di dalam praktik bahasa, sebuah pesan yang dikirim kepada penerima pesan diatur melalui seperangkat konvensi atau kode. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi. (Eco, 1979:9). Fungsi teks-teks yang menunjukkan pada sesuatu (mengacu pada sesuatu) dilaksanakan berkat sejumlah kaidah, janji, dan kaidah-kaidah alami yang merupakan dasar dan alasan mengapa tanda-tanda itu menunjukkan pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode (Hartoko, l992:92).
30 Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks yang bersangkutan. Kode bahasa itu dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks-teks tersusun menurut kode-kode lain yang disebut kode sekunder, karena bahannya ialah sebuah sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip-prinsip drama, bentuk-bentuk argumentasi, sistem metrik, itu semua merupakan kode-kode sekunder yang digunakan dalam teksteks untuk mengalihkan arti. Roland Barthes dalam
bukunya S/Z mengelompokkan kode-kode tersebut
menjadi lima kisi-kisi kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kultural atau kode kebudayaan (Barthes, 1974:106). Uraian kode-kode tersebut dijelaskan Pradopo (1991:80-81) sebagai berikut: Kode Hermeneutik, yaitu artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, akhirnya menuju pada jawaban. Atau dengan kata lain, Kode Hermeneutik berhubungan dengan teka-teki yang timbul dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain. Kode Semantik, yaitu kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas, maskulinitas. Atau dengan kata lain Kode Semantik adalah tanda-tanda yang ditata sehingga memberikan suatu konotasi maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, loyalitas. Kode Simbolik, yaitu kode yang berkaitan dengan psikoanalisis, antitesis, kemenduaan, pertentangan dua unsur, skizofrenia.
31 Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Kode Kebudayaan atau Kultural, yaitu suara-suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, legenda.
1.8.2.3 Makna (Denotatif dan Konotatif) Kita semua seringkali menggunakan makna tetapi sering kali pula kita tidak memikirkan makna itu. Ketika kita masuk ke dalam sebuah ruangan yang penuh dengan perabotan, di sana muncul sebuah makna. Seseorang sedang duduk di sebuah kursi dengan mata tertutup dan kita mengartikan bahwa ia sedang tidur atau dalam kondisi lelah. Seseorang tertawa dengan kehadiran kita dan kita mencari makna; apakah ia mentertawai kita atau mengajak kita tertawa? Seorang kawan menyeberang jalan dan melambaikan tangannya ke arah kita, hal itu berarti ia menyapa kita. Makna dalam satu bentuk atau bentuk lainnya, menyampaikan pengalaman sebagian besar umat manusia di semua masyarakat. Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan simbol-simbol. Simbol mengacu pendapat Spradley (l997:121) adalah objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol sendiri meliputi apapun yang dapat kita rasakan atau alami.
32 Menggigil bisa diartikan dan dapat pula menjadi simbol ketakutan, kegembiraan atau yang lainnya. Mencengkeram gigi, mengerdipkan mata, menganggukkan kepala, menundukkan tubuh, atau melakukan gerakan lain yang memungkinkan, semuanya dapat merupakan simbol. Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas lingkup makna yang lebih besar adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Spradley (l997:122) menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata (makna referensial). Piliang (1998:14) mengartikan makna denotatif adalah
hubungan
eksplisit
antara
tanda dengan referensi atau realitas dalam
pertandaan tahap denotatif, Misalnya, ada gambar manusia, binatang, pohon, rumah. Warnanya juga dicatat, seperti merah, kuning, biru, putih, dan sebagainya. Pada tahapan ini hanya informasi data yang disampaikan. Spradley (l997:123) menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih daripada arti referensialnya. Menurut Piliang (1998:17), makna konotatif meliputi aspek makna yang berkaitan dengan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Contohnya, gambar wajah orang tersenyum, dapat diartikan sebagai suatu keramahan, kebahagiaan. Tetapi sebaliknya, bisa saja tersenyum diartikan sebagai ekspresi penghinaan terhadap seseorang. Untuk memahami makna konotatif, maka unsur-unsur yang lain harus dipahami pula. Menurut Williamson, dalam teori semiotika iklan menganut prinsip peminjaman tanda sekaligus peminjaman kode sosial. Misalnya, iklan yang menghadirkan bintang film terkenal, figur bintang film tersebut dipinjam mitosnya, idiologinya, imagenya, dan sifat-sifat glamour dari bintang film tersebut.
33 Williamson membagi a currency of sign menjadi beberapa bagian. Di antaranya product as signified
(produk sebagai petanda, konsep atau makna), product as
signifier (produk sebagai penanda, bentuk), product as generator, and product as currency (Williamson, 1984:24-38). Hal tersebut di atas adalah teori semiotika strukturalis. Kaum strukturalis mencoba mengungkapkan prinsip bahwa perbuatan manusia mengisyaratkan sistem yang diterima dari berbagai hubungan, yang diterapkan oleh Barthes kepada semua praktik sosial. Ia menafsirkan hal-hal itu sebagai sistem tanda yang beroperasi atas model bahasa. Dalam semiotika struktural berpegang pada prinsip Form Follows Function, dengan mengikuti model semiotika penanda atau fungsi
(Piliang, 1998:298).
Semiotika struktural mengacu pada Saussure dan Barthes dengan signifier (penanda, bentuk) dan signified (petanda, makna). Hubungan antara penanda dan petanda relatif stabil dan abadi. Pada jantung strukturalisme menurut Pradopo, ada ambisi ilmiah untuk menemukan kode, aturan, sistem yang mendasari semua praktik sosial dan kebudayaan manusia (Pradopo, 1991:71). Sedangkan
pascastrukturalis
menurut
Piliang,
mengacu
pada
konsep
intertekstualitas Julia Kristeva dan konsep dekonstruksi dari Jacques Derrida. Julia Kristeva misalnya,
ia tergabung dalam Tel Quel Perancis
menggunakan istilah
intertekstualitas untuk menjelaskan fenomena dialog antarteks, kesalingtergantungan antara suatu teks (karya) dengan teks (karya) sebelumnya. Kristeva melihat kelemahan dalam konsep referensi dari formalisme dan modernisme yang cenderung melecehkan
34 kutipan atau kuotasi. Bagi Kristeva, sebuah teks atau karya seni tidak lebih semacam permainan dan mosaik kutipan-kutipan dari berbagai teks atau karya masa lalu. Ia mengistilahkan semacam ruang ‘pasca sejarah’ yang di dalamnya beberapa kutipan dari berbagai ruang, waktu, dan kebudayaan yang berbeda-beda saling melakukan dialog. Sebagaimana yang dikemukakan Kristeva, sebuah teks (karya) hanya dapat eksis apabila di dalamnya, beberapa ungkapan yang berasal dari teks-teks lain, silang menyilang dan saling menetralisir satu dengan lainnya. Sebagai proses linguistik dan diskursif, Kristeva menjelaskan intertektualitas sebagai pelintasan dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya. Ia menggunakan istilah ‘transposisi’ untuk menjelaskan perlintasan di dalam ruang pascasejarah ini, yang di dalamnya satu atau beberapa sistem tanda digunakan untuk menginterogasi satu atau beberapa sistem tanda yang ada sebelumnya. Interogasi tekstual ini dapat menghasilkan ungkapan-ungkapan baru yang sangat kaya dalam bentuk maupun makna. Interogasi ini dapat berupa peminjaman atau penggunaan (pastiche), distorsi, plesetan, atau permainan makna untuk tujuan kritis, sinisme, atau sekadar lelucon (parodi), pengelabuhan identitas dan penopengan (camp), serta reproduksi ikonis atau kitch. Sebuah teks postmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual sang seniman;
kegelisahannya,
ketakutannya,
ketertekanannya,
keterasingannya,
kegairahannya atau kegembiraannya, melainkan sebuah permainan dengan kutipankutipan bahasa. Kecenderungan posmodernisme adalah menerima segala macam pertentangan dan kontradiksi di dalam karyanya, disebabkan bercampuraduknya berbagai bahasa. Teks posmodernisme, tidak bermakna tunggal, akan tetapi adalah
35 aneka ragam bahasa masa lalu dan sudah ada, dengan asal muasal yang tidak pasti, yang di dalamnya aneka macam tulisan, tak satu pun di antaranya yang orisinal, bercampur dan berinteraksi. Teks adalah sebuah jaringan kutipan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung jumlahnya (Piliang, 1998:284). Ciri-ciri pascastrukturalis: pertama, tanda tidak stabil, sebuah penanda tidak mengacu
pada
sebuah makna yang pasti. Dalam hal tertentu terjadi ambiguitas,
yakni sesuatu yang dianggap sah. Kedua, membongkar hirarki makna. Pada oposisi biner, hirarki makna itu dibongkar. Ketiga, menciptakan heterogenitas makna, terbentuk pluralitas makna, pluralitas tanda yaitu persamaan hak dalam pertandaan. Dalam postmodernisme menggunakan prinsip Form Follows Fun dengan model semiotika penanda dan makna ironis (Piliang, 1998:298). Terkait dengan itu, maka pembahasan ILM dengan kajian semiotika dalam penelitian ini akan mengunakan teorinya Pierce untuk melihat tanda iklan (ikon, indeks, simbol), teorinya Barthes untuk melihat kode (kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, kode kebudayaan), teorinya Saussure untuk melihat makna konotatif dan makna denotatif. Kemudian Williamson dengan teori semiotika iklan terkait dengan peminjaman tanda dan kode sosial juga dimanfaatkan untuk memahami ILM yang menjadi kajian penelitian ini. Di samping tentunya semiotika strukturalis dan semiotika pascastrukturalis. Hal ini menjadi penting karena untuk kasus tertentu, semiotika strukturalis tidak bisa untuk menganalisis teks ILM, ketika ILM tersebut keluar dari kode yang berlaku. Dengan demikian, semiotika
36 strukturalis yang stabil tidak bisa menjelaskan teks yang bersifat labil, untuk itu diperlukan semiotika pasca strukturalis.
1.8.3 Teori Desain Komunikasi Visual dalam ILM Pengertian desain komunikasi visual menurut Sutanto (2005:15-16) berhubungan dengan penampilan rupa yang dapat dicerap orang banyak dengan pikiran maupun perasaannya; rupa yang mengandung pengertian atau makna, karakter serta suasana, yang mampu dipahami (diraba dan dirasakan) oleh khalayak umum atau terbatas. Wilayah desain komunikasi visual melingkupi berbagai bidang yang beraneka ragam sifat maupun cara kerjanya. Ia merambah dunia iklan, promosi, kemasan, percetakan, pameran, perambuan, grafis arsitektur, perwajahan dan sistem informasi pada produk, grafis pada film dan televisi. Pada dasarnya, penampilan desain komunikasi visual hanya terdiri dari dua unsur utama: verbal (tulisan) dan visual (gambar tangan atau fotografi). Dalam konteks ini, penekanannya pada segi visual. Komunikasi visual yang dalam bentuk kehadirannya seringkali perlu ditunjang dengan suara, menurut Pirous (1989), pada hakikatnya adalah suatu bahasa. Tugas utamanya
membawakan
pesan
dari
seseorang,
lembaga,
atau
kelompok
masyarakat tertentu kepada orang lain. Sebagai bahasa, maka efektivitas penyampaian pesan tersebut menjadi pemikiran utama seorang desainer komunikasi visual. Untuk itu, seorang desainer haruslah pertama, memahami betul seluk beluk pesan yang ingin disampaikan. Kedua, mengetahui kemampuan menafsir kecenderungan kondisi
37 fisik maupun jiwa kelompok masyarakat yang menjadi sasaran. Ketiga, harus dapat memilih jenis bahasa dan gaya bahasa yang serasi dengan pesan yang dibawakannya dan tepat untuk dibicarakan secara efektif, jelas, mudah, dan mengesankan bagi si penerima pesan. Komunikasi visual sebagai suatu sistem pemenuhan kebutuhan manusia di bidang informasi visual melalui simbol-simbol kasat mata,
dewasa ini mengalami
perkembangan sangat pesat. Hampir di segala sektor kegiatan manusia, simbol-simbol visual hadir dalam bentuk gambar, sistem tanda sampai display di berbagai pusat perbelanjaan dengan segala aneka daya tariknya. Gambar merupakan salah satu wujud simbol atau bahasa visual yang di dalamnya terkandung struktur rupa seperti garis, warna dan komposisi. Ia dikelompokkan dalam kategori bahasa komunikasi nonverbal, dibedakan dengan bahasa verbal yang berwujud tulisan ataupun ucapan. Di dalam rancang grafis yang kemudian berkembang menjadi desain komunikasi visual banyak memanfaatkan daya dukung gambar sebagai simbol visual pesan, guna mengefektifkan komunikasi. Upaya mendayagunakan
simbol-simbol visual berangkat dari kenyataan bahwa bahasa
visual memiliki karakteristik yang bersifat khas bahkan istimewa untuk menimbulkan efek tertentu pada pengamatnya. Hal demikian ada kalanya sulit dicapai bila diungkapkan dengan bahasa verbal. Ditambahkan Hadi (1998), sebagai bahasa, desain komunikasi visual adalah ungkapan ide dan pesan dari perancang kepada masyarakat yang dituju melalui simbol-simbol berwujud gambar, warna, dan tulisan. Ia akan komunikatif apabila bahasa yang disampaikan itu dapat dimengerti oleh khalayak sasarannya. Ia juga akan
38 berkesan apabila dalam penyajiannya itu terdapat suatu keunikkan sehingga ia tampil secara istimewa, mudah dibedakan dengan lainnya. Maka di dalam berkomunikasi, diperlukan sejumlah pengetahuan yang memadai seputar siapa target sasaran yang akan dituju dan bagaimana cara sebaik-baiknya berkomunikasi dengan mereka. Semakin baik dan lengkap pemahaman kita terhadap hal-hal tersebut, maka akan semakin mudah untuk menciptakan bahasa visual yang komunikatif. Dalam hal bentuk atau visualisasinya, desain komunikasi visual berhadapan dengan sejumlah alat, teknik, bahan dan ketrampilan. Ungkapan yang baik, akan lebih bernilai apabila didukung dengan teknik yang baik dan ditunjang kepiawaian dalam mewujudkannya. Seperangkat alat yang dimanfaatkan oleh desain komunikasi visual, antara lain aspek visual meliputi: bentuk ilustrasi, layout, warna dan aspek verbal terdiri dari teks, tipografi (Jewler, dan Drewniany, 2001:57). Iklan layanan masyarakat, menurut Kamus Istilah Periklanan Indonesia (Nuradi, 1996:136), adalah jenis periklanan yang dilakukan oleh pemerintah, suatu organisasi komersial atau pun nonkomersial untuk mencapai tujuan sosial atau sosio-ekonomis terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Iklan bukan semata-mata
pesan bisnis yang menyangkut usaha mencari
keuntungan secara sepihak. Iklan juga mempunyai peran yang sangat penting bagi berbagai kegiatan nonbisnis. Di negara-negara maju, iklan telah dirasakan manfaatnya dalam menggerakkan solidaritas masyarakat manakala menghadapi suatu masalah sosial. Dalam iklan tersebut disajikan pesan-pesan sosial yang dimaksud untuk membangkitkan kepedulian masyarakat
terhadap sejumlah masalah yang harus
39 dihadapi, yakni kondisi yang bisa mengancam keserasian dan kehidupan umum. Iklan seperti itu menurut Kasali (1992:201) disebut iklan layanan masyarakat (ILM). Misalnya, ILM gerakan anti narkoba, subsidi listrik, hemat listrik, pemilu yang jujur dan adil, kebakaran hutan, bencana alam, kerukunan agama, ras dan suku, pelestarian lingkungan hidup, konservasi hutan, imunisasi nasional, membudayakan pengunaan helem dan sabuk pengaman, tertib lalulintas, dan sebagainya. Biasanya tema-tema tersebut disesuaikan dengan masalah nasional yang sedang aktual di tengah masyarakat. Melalui ILM orang bisa diajak berkomunikasi guna memikirkan sesuatu yang bersifat memunculkan kesadaran baru yang bersumber dari nurani individual maupun kelompok. Di antaranya, hal-hal yang berorientasi tentang lingkungan hidup, sosial kemasyarakatan dan kebudayaan. Semuanya itu adalah fenomena yang ada di seputar kita yang sebenarnya telah kita ketahui dan rasakan, namun tak pernah terpikirkan karena mungkin tidak menghantui, menyangkut, bahkan mengusik kepentingan kita secara langsung. Pada dasarnya ILM sebagai salah satu karya kreatif dalam ranah desain komunikasi
visual,
merupakan
salah
satu
media
yang
berfungsi
untuk
menyosialisasikan pesan-pesan sosial kepada khalayak sasaran dengan cara penyampaian yang berpedoman pada metode periklanan komersial. Tujuannya agar kelompok tertentu dalam masyarakat mau memikirkan sesuatu dan terlibat secara aktif seperti yang dimaksudkan oleh pesan dalam ILM tersebut (Miryam, 1984:22). Istilah ILM merupakan terjemahan dari
public service advertising. Menurut
Subakti (1993:57), keberadaan ILM di Indonesia sudah lama, dimungkinkan usianya
40 hampir sama dengan iklan komersial. Tetapi pada awalnya isi pesan ILM hanya terbatas pada hal-hal tertentu yang diketahui masyarakat. Sehingga kegunaannya hampir sama dengan media penerangan. Misalnya, iklan pemadam kebakaran.
1.8.4 Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata dalam Iklan Layanan Masyarakat Gaya bahasa menurut Kamus Linguistik susunan Harimurti Kridalaksana adalah: pertama, pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis. Kedua, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu. Ketiga, keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1993:63). Dengan mengutip pendapat Hartmann dan Stork
(1973:223), Marsono
mendefinisikan gaya bahasa. Menurut Marsono, gaya bahasa adalah cara menyampaikan gagasan atau hasil renungan oleh penulis dengan menggunakan unsurunsur kebahasaan yang khusus (Marsono, 1996:381). Hal senada juga dituliskan Gorys Keraf dalam bukunya berjudul Diksi dan Gaya Bahasa, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai dengan posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kataa lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam bahasa standar (bahasa baku) Gorys Keraf (2005:117-145) membaginya dalam tiga kategori besar. Yakni: gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.
41 1.8.5 Gaya Bahasa Resmi Gaya bahasa resmi adalah gaya bahasa dalam bentuknya yang lengkap, gaya bahasa yang dipergunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi, gaya bahasa yang dipergunakan oleh mereka yang diharapkan mempergunakannya dengan baik dan terpelihara. Amanat kepresidenan, berita negara, khotbah-khotbah mimbar, tajuk rencana, pidato-pidato yang penting, artikel-artikel yang serius atau esai yang memuat subyek-subyek yang penting, semuanya dibawakan dengan gaya bahasa resmi. Gaya bahasa resmi tidak semata-mata berdasarkan dirinya pada perbendaharaan kata saja, tetapi juga mempergunakan atau memanfaatkan bidang-bidang bahasa lain: nada, tata bahasa, yang semuanya diambil dari bahasa standar yang terpilih.
1.8.6 Gaya Bahasa Tak Resmi Gaya Bahasa Tak Resmi juga merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya dalam kesempatan-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal. Bentuknya, menurut Gorys Keraf, tidak terlalu konservatif. Gaya ini biasanya digunakan dalam karya-karya tulis, buku-buku pegangan, artikel-artikel mingguan atau bulanan yang baik, dalam perkuliahan, editorial, kolumnis, dan sebagainya. Singkatnya, gaya bahasa tak resmi adalah gaya bahasa yang umum dan normal bagi kaum terpelajar. Masih menurut Gorys Keraf, gaya bahasa tak resmi dapat juga memperlihatkan suatu jangka variasi, mulai dari bentuk informal yang paling tinggi (yang sudah bercampur dan mendekati gaya resmi) hingga gaya bahasa percakapan kaum terpelajar.
42
1.8.7 Gaya Bahasa Percakapan Sejalan dengan kata-kata percakapan, Gorys Keraf mengatakan, terdapat gaya bahasa percakapan. Dalam gaya bahasa ini, pilihan katanya adalah kata-kata populer dan kata-kata percakapan. Namun di sini harus ditambahkan segi-segi morfologis dan sintaksis, yang secara bersama-sama membentuk gaya bahasa percakapan. Biasanya segi-segi sintaksis tidak terlalu diperhatikan, demikian pula segi-segi morfologis yang biasa diabaikan sering dihilangkan. Kalau dibandingkan dengan gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tak resmi, maka gaya bahasa percakapan ini, menurut Gorys Keraf, dapat diumpamakan sebagai bahasa dalam pakaian sport. Itu berarti bahasanya masih lengkap untuk suatu kesempatan, dan masih dibentuk menurut kebiasaan-kebiasaan, tetapi kebiasaan ini agak longgar bila dibandingkan dengan kebiasaan pada gaya bahasa resmi dan tak resmi. Dalam bahasa percakapan, terdapat banyak konstruksi yang digunakan oleh orang-orang terpelajar, tetapi tidak pernah digunakan bila ia harus menulis sesuatu. Kalimat-kalimatnya singkat dan bersifat fragmenter. Sering kalimat-kalimat yaang singkat itu terdengar seolah-olah tidak dipisahkan oleh perhentian-perhentian final, seakan-akan disambung terus.
1.8.8 Gaya Bahasa Berdasarkan Nada dalam Iklan Layanan Masyarakat Gaya bahasa berdasarkan nada, menurut Gorys Keraf didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana.
43 Seringkali sugesti ini akan lebih nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari pembicara, bila sajian yang dihadapi adalah bahasa lisan. Karena nada itu pertama-tama lahir dari sugesti yang dipancarkan oleh kata-kata, sedangkan rangkaian kata-kata itu tunduk pada kaidah-kaidah sintaksis yang berlaku, maka menurut Gorys Keraf, nada, pilihan kata, dan struktur kalimat sebenarnya berjalan sejajar. Yang satu akan mempengaruhi yang lain. Dengan latar belakang ini, kata Gorys Keraf, gaya bahasa dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah waccana dan dibagi atas: gaya yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah.
1.8.9 Gaya Sederhana Gaya ini biasanya cocok untuk memberi instruksi, perintah, pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya. Sebab itu untuk mempergunakan gaya ini secara efektif, penulis harus memiliki kepandaian dan pengetahuan yang cukup. Karena gaya ini biasanya dipakai dalam memberi instruksi, pelajaran, dan sebagainya, maka gaya ini cocok pula digunakan untuk menyampaikan fakta ataau pembuktian-pembuktian. Untuk membuktikan sesuatu, kita tidak perlu memancing emosi dengan menggunakan gaya mulia dan bertenaga. Bila untuk maksud-maksud tersebut emosi ditonjolkan, maka fakta atau jalan pembuktian akan merosot peranannya. Gaya ini dapat memenuhi keinginan dan keperluan penulis, tanpa baantuan dari kedua gaya lainnya.
44 1.8.10 Gaya Mulia dan Bertenaga Menurut Gorys Keraf, sesuai dengan namanya, gaya ini penuh dengan vitalitas dan energi, dan biasanya digunakan untuk menggerakkan sesuatu. Menggerakkan sesuatu tidak saja dengan mempergunakan tenaga dan vitalitas pembicara, tetapi juga menggunakan nada keagungan dan kemuliaan. Tampaknya hal ini mengandung kontradiksi, tetapi kenyataannya memang demikian. Nada yang aggung dan mmulia akan sanggup pula menggerakkan emosi setiap pendengar. Dalam keagungan, terselubung sebuah tenaga yang halus, tetapi secara aktif dan meyakinkan bekerja untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu. Gorys Keraf memberikan contoh, khotbah tentang kemanusiaan dan keagamaan, kesusilaan dan Ketuhanan, biasanya disampaikan dengan nada yang agung dan mulia. Ttetapi di balik keagungan dan kemuliaan itu terdapat tenaga penggerak yang luar biasa, tenaga yang benar-benar mampu menggetarkan emosi para pendengar atau pembaca. Bila wajah luar yang diperlihatkan adalah sama dengan apa yang terdapat di balik tabirnya, maka secara langsung oleh Gorys Keraf dinamakan gaya yang bertenaga penuh
vitalitas.
Ahli-ahli
pidato,
demagog-demagog
yang
ulung
biasanya
menggerakkan emosi massa dengan gaya ini. Kefasihan yang dimilikinya seolah-olah banjir yang melanda apa saja yang dijumpainya, menerjang dan menghanyutkan semua batu dan wadas, ke mana saja ingin dibawanya. Massa seolah-olah turut dihanyutkan dari suatu emosi ke emosi yang lain, dari suatu kutub ke kutub yang lain. Bagi massa yang kurang berpendidikan dan bersifat emosional, gaya ini paling efektif. Tetapi ini tentu tidak dapat dicapai oleh setiap orang. Mereka ingin mencoba gaya ini,
45 sekurang-kurangnya harus mmemiliki pula bakat dan kemauan yang kuat untuk memahirkannya.
1.8.11 Gaya Menengah Gaya menengah menurut Gorys Keraf adalah gaya yang diarahkan kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai. Karena tujuannya menciptakan suasana senang dan damai, maka nadanya bersifat lemah-lembut, penuh kasih sayang, dan mengandung humor yang sehat. Pada kesempatan-kesempatan khusus seperti pesta, pertemuan, dan rekreasi, orang lebih menginginkan ketenangan dan kedamaian. Akan ganjillah rasanya kalau dalam suatu pesta pernikahan ada orang yang memberikan sambutan berapi-api, menggerahkan segala emosi dan tenaga untuk menyampaikan sepatah kata. Para hadirin yang kurang waspada akan turut terombangambing dalam permainan emosi semacam itu. Karena sifatnya yang lemah lembut dan sopan santun, maka gaya ini biasanya menggunakan metafora bagi pilihan katanya. Ia akan lebih menarik bila mempergunakan perlambang-perlambang, sementara itu ia memperkenalkan pula penyimpangan-penyimpangan yang menarik hati, cermat dan sempurna nadanya serta menyenangkan pula refleksinya. Kata-kata seolah-olah mengalir dengan lemah-lembut bagaikan sungai yang jernih, bening airnya dalam bayangan dedaunan yang hijau di hari cerah. Walaupun dari segi nada yang terkandung dalam sebuah wacana dapat dibedakan tiga macam gaya sebagaimana
sudah diuraikan di atas, kemampuan berbahasa
seseorang tidak hanya terbatas pada ketiga macam gaya tersebut. Seperti halnya gaya
46 menengah terletak antara gaya sederhana dengan gaya agung dan bertenaga, maka tiap-tiap gaya tersebut masih dapat diperinci lagi atas bagian-bagian yang lebih kecil. Dalam gaya mulia dan bertenaga, kata Gorys Keraf menyontohkan, masih terdapat macam-macam tingkat keagungan dan kehebatan. Begitu pula gaya menengah dan gaya sederhana. Dengan demikian dapat diperoleh banyak variasi gaya berdasarkan nada, dengan perbedaan-perbedaan yang sangat halus. Kemahiran berbahasa menurut Gorys Keraf menuntut berbagai macam aspek yang berbeda-beda. Tetapi agaknya akan menertawakan bila dikatakan bahwa seorang orator atau seorang penulis terkenal hanya akan mempergunakan salah satu nada atau gaya sebagai yang telah diuraikan di atas. Semuanya tergantung dari situasi dan kemampuan. Seorang penulis atau seorang orator akan mempergunakan semua kemungkinan, sesuai dengan keadaan dan kemampuannya sendiri. Pilihannya tidak didasarkan pada topiknya secara keseluruhan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh bagian-bagian dari masalah yang dikemukakan. Jadi, dalam sebuah pidato atau tulisan, seorang pembicara atau penulis dapat mempergunakan bermacam-macam cara. Pada suatu kesempatan, ia berusaha mengobarkan emosi dengan mempergunakan kata-kata yang bertenaga, tetapi pada kesempatan lain ia berbicara dengan lemah lembut. Pada suatu bagian dari pidato atau tulisannya ia berbicara dengan gaya sederhana agar jelas persoalan yang dikemukakannya, namun di bagian lain ia berusaha untuk menyentuh emosi pembaca atau pendengar melalui nada yang agung dan mulia.
47 1.8.12 Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat dalam ILM Struktur sebuah kalimat, menurut Gorys Keraf, dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Yang dimaksud dengan struktur kalimat di sini, jelasnya, adalah kalimat bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Pertama, kalimat yang bersifat periodik, bila bagian yang terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Kedua, kalimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Bagian-bagian yang kurang penting atau semakin kurang penting dideretkan sesudah bagian yang dipentingkan tadi. Dan jenis yang ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat. Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka menurut Gorys Keraf, dapat diperoleh gaya bahasa sebagai berikut:
1.8.13 Klimaks Dengan mengutip pendapat dari Abrams (1981:139),
Marsono mengatakan
bahwa gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat berbentuk klimaks adalah gaya bahasa dengan beberapa satuan kebahasaan berupa kalimat atau frasa yang tersusun secara periodik yang makin lama mengandung peningkatan (Marsono, 1996:474). Sementara itu, menurut Gorys Keraf (1990:124), gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung
urutan-urutan
pikiran
yang
setiap
kali
semakin
meningkat
kepentingannya dari gagasan sebelumnya. Klimaks disebut juga gradasi. Istilah ini
48 dipakai sebagai istilah umum yang sebenarnya merujuk kepada tingkat atau gagasan tertinggi.
1.8.14 Antiklimaks Dengan mengutip Abrams (1981:141), Marsono berpendapat bahwa Antiklimaks adalah gaya bahasa dengan beberapa satuan kebahasaan berupa kalimat atau frasa yang tersusun secara periodik yang makin lama makin mengandung makna penurunan (Marsono, 1996:477). Senada dengan Marsono, Gorys Keraf mengatakan Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Artinya, antiklimaks sebagai bahasa merupakan suatu acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang efektif karena gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu. Antiklimaks sebagai dinyatakan dalam kalimat terakhir masih efektif karena hanya mencakup soal tata tingkat. Tata tingkat ini biasa terjadi karena hubungan organisatoris, hubungan usia atau besar kecilnya sesuatu barang. Tetapi bila yang dikemukakan adalah persoalan atau gagasan yang abstrak, sebaiknya jangan mempergunakan gaya antiklimaks. Seperti halnya dengan gaya klimaks, antiklimaks dapat dipakai sebagai suatu istilah umum yang masih mengenal spesifikasi lebih lanjut. Dekrementum, menurut Gorys Keraf adalah antiklimaks yang berwujud menambah ide yang kurang penting pada suatu ide yang penting seperti pada contoh pertama di atas. Dan bila antiklimaks
49 itu mengurutkan sejumlah ide yang semakin kurang penting, maka ia disebut oleh Gorys Keraf sebagai katabasis, seperti diperlihatkan pada contoh kedua dan ketiga. Sebaliknya, bila dari suatu ide yang sangat penting tiba-tiba menukik ke suatu ide yang sama sekali tidak penting, maka antiklimaks disebut batos, misalnya; engkaulah raja yang mahakuasa di daerah ini, seorang hamba yang pengecut dari tuanmu yang pemurah (Keraf, 2005: 126).
1.8.15 Antitesis Antitesis menurut Gorys Keraf adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang. Gaya bahasa ini juga mempergunakan unsur-unsur pararelisme dan keseimbangan kalimat.
1.8.16 Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna dalam ILM Gaya bahasa berdasarkan makna, menurut Gorys Keraf, diukur dari langsung tidaknya makna. Yaitu, apakah acuan yang dipakai masih memepertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan manka dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksudkan tadi. Terkait dengan itu, masih menurut Gorys Keraf, kita dapat mempergunakan kedua istilah itu dengan pengertian yang sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara
50 evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Trope atau figure of speech dengan demikian memiliki bermacam-macam fungsi; menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak ketawa, atau untuk hiasan. Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech menurut Gorys Keraf, dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.
1.8.17 Kiasmus Kiasmus adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frasa ataupun klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.
1.8.18 Erotesis atau Pertanyaan Retoris Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya bahasa ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para
51 orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin.
1.8.19 Hiperbol Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan suatu hal.
1.8.20 Gaya Bahasa Kiasan Gaya bahasa kiasan, menurut Gorys Keraf, dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenarnya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan. Perbandingan biasa mencakup dua anggota yang termasuk dalam klas yang sama, sedangkan perbandingan kedua, sebagai bahasa kiasan, mencakup dua hal yang termasuk dalam klas yang berlainan. Sebab itu, untuk menetapkan apakah suatu perbandingan itu merupakan bahasa kiasan atau tidak, hendaknya diperhatikan tiga hal berikut: (1) Tetapkanlah terlebih dahulu klas kedua hal yang diperbandingkan, (2) Perhatikan tingkat kesamaan atau perbedaan antara kedua hal tersebut, (3) Perhatikan konteks di mana ciri-ciri kedua hal itu diketemukan. Jika tak ada kesamaan maka perbandingan itu adalah bahasa kiasan.
52 Pada mulanya, menurut Gorys Keraf, bahasa kiasan berkembang dari analogi. Mula-mula, analogi dipakai dengan pengertian proporsi, sebab itu, analogi hanya menyatakan hubungan kuantitatif. Misalnya hubungan antara 3 dan 4 dinyatakan sebagai analog
dengan 9 dan 12. Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa
hubungan antara x dan y sebagai analog dengan hubungan antara nx dan ny. Dalam memecahkan banyak persamaan, dapat disimpulkan bahwa nilai dari suatu kuantitas yang tidak diketahui dapat ditetapkan bila diberikan relasinya dengan sebuah kuantitas yang diketahui. Menurut Gorys Keraf , sejak Aristoteles, kata analogi dipergunakan baik dengan pengertian kuantitatif maupun kualitatif. Dalam pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai kemiripan atau relasi identitas antara dua pasangan istilah berdasarkan sejumlah besar ciri yang sama. Sedangkan dalam pengertian kualitatif, analogi menyatakan kemiripan hubungan sifat antara dua perangkat istilah. Dalam arti yang lebih luas ini, terang Gorys Keraf, analogi lalu berkembang menjadi kiasan. Gagasan-gagasan sering dinyatakan dengan ungkapan-ungkapan yang populer melalui analogi kualitatif ini. Hal ini tampak jelas dari seringnya orang menggunakan metafora, yang sebenarnya merupakan sebuah contoh dari analogi kualitatif. Kemiripan hubungan antara pasangan atau perangkat istilah diterima sebagai kesamaan antara istilah-istilah itu sendiri. Sebab itu, makna istilah analogi menjadi luas dan akhirnya mengandung arti kesamaan pada umumnya, kecuali yang termasuk dalam klas yang sama. Perbandingan dengan analogi ini kemudian muncul dalam bermacam-macam gaya bahasa kiasan, seperti diuraikan di bawah ini.
53 1.8.21 Metafora Metafora adalah semacam analogi yang mmembandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati, cindera mata, dan sebagainya. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagaikan, dan sebagainya, sehingga pokok pertama langsung dihubungkan dengan pokok kedua. Proses terjadinya sebenarnya sama dengan simile tetapi secara berangsur-angsur keterangan mengenai persamaan dan pokok pertama dihilangkan. Metafora tidak selalu harus menduduki fungsi predikat, tetapi dapat juga menduduki fungsi lain seperti subyek, obyek, dan sebagainya. Dengan demikian, metafora dapat berdiri sendiri sebagai kata, lain halnya dengan simile. Konteks bagi sebuah simile sangat penting, karena akan membantu makna persamaan ini; sebaliknya, makna metafora justru dibatasi oleh sebuah konteks. Bila dalam sebuah metafora, kita masih dapat menentukan makna dasar dari konotasinya sekarang, maka metafora itu masih hidup. Tetapi kalau kita tidak dapat menentukan konotasinya lagi, maka metafora itu sudah mati, sudah merupakan klise. Dengan matinya sebuah metafora, kita berada kembali di depan sebuah kata yang mempunyai denotasi baru. Metafora semacam itu dapat berbentuk sebuah kata kerja, kata sifat, kata benda, frasa atau klausa; menarik hati, memegang jabatan, mengembangkan, menduga dan sebagainya. Sekarang tidak ada orang yang berpikir bahwa bentuk-bentuk itu tadinya adalah metafora.
54 1.8.22 Alegori, Parabel, dan Fabel Bila sebuah metafora mengalami perluasan, maka ia dapat berwujud alegori, parabel, dan fabel. Ketiga bentuk perluasan itu biasanya mengandung ajaran-ajaran moral dan seringkali sukar dibedakan satu dari lainnya. Alegori adalah suatu cerita singkat yang mengandung kiasan. Makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Dalam alegori, nama-nama pelakunya adalah sifat-sifat yang abstrak, serta tujuannya selalu jelas tersurat. Parabel (parabola) adalah sebuah kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam kitab Suci yang bersifat alegoris, untuk menyamppaikan suatu kebenaran moral atau kebenaran spiritual. Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan makhluk-makhluk yang tidak bernyawa bertindak seolaholah sebagai manusia. Tujuan fabel seperti parabel ialah menyampaikan ajaran moral atau budi pekerti. Fabel menyampaikan suatu prinsip tingkah laku melalui analogi yang transparan dari taindak tanduk binatang, tumbuhan, atau makhluk yang tak bernyawa.
1.8.23 Personifikasi atau Prosopopoeia Personifikasi atau prosopopoeia adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolaholah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu
55 corak khusus dari metafora, yang mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia. Seperti halnya simile dan metafora, personifikasi mengandung suatu unsur persamaan. Kalau metafora (sebagai istilah umum) membuat perbandingan dengan suatu hal yang lain, maka dalam penginsanan hal yang lain itu adalah benda-benda mati yang bertindak dan berbuat seperti manusia, atau perwatakan manusia. Pokok yang diperbandingkan itu seolah-olah berwujud manusia, baik dalam tindak tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia sendiri.
1.8.24 Alusi Alusi adalah semacam acuan yang berusaha menyugestikan kesamaan antara orang, tempat atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal. Misalnya dulu sering dikatakan bahwa Bandung adalah Paris Jawa. Demikian dapat dikatakan: Kartini kecil itu turut memperjuangkan persamaan haknya. Kedua contoh tersebut adalah alusi. Ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk membentuk sebuah alusi yang baik, yaitu: (1) Harus ada keyakinan bahwa hal yang dijadikan alusi dikenal jjuga oleh pembaca, (2) Penulis harus yakin bahwa alusi itu membuat tulisannya menjadi lebih jelas, (3) Bila alusi itu menggunakan acuan yang sudah umum, maka usahakan untuk menghindari acuan semacam itu. Bila ketiga hal tersebut tidak diperhatikan maka acuan itu akan dianggap plagiat atau akan ketinggalan vitalitasnya.
56
1.8.25 Metonimia Kata metonimia diturunkan dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan onoma yang berarti nama. Dengan demikian, metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Hubungan tersebut dapat berupa penemu untuk hasil penemuan, pemilik untuk barang yang dimilikinya, akibat untuk sebab, sebab untuk akibat, isi untuk menyatakan kulitnya, dan sebagainya. Metonimia dengan demikian adalah suatu bentuk dari sinekdoke.
1.9 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode analisis dengan pendekatan metode penelitian kualitatif. Metodenya diawali dengan cara mendeskripsikan tanda verbal dan tanda visual ILM. Selanjutnya untuk memahami makna konotasi ILM digunakan teori semiotika, teori desain komunikasi visual, dan teori gaya bahasa. Metode analisis semiotika komunikasi visual juga dimanfaatkan sebagai metode analisis data verbal dan data visual atas pesan verbal dan pesan visual yang ada di dalam ILM. Penggunaan metode analisis semiotika komunikasi visual dalam penelitian berjudul: ‘’Tanda Verbal dan Tanda Visual Iklan Layanan Masyarakat (Analisis Semiotika pada Iklan Layanan Masyarakat (ILM) yang dimuat di harian Kompas 1994 – 2006)’’ Hal ini dilandasi oleh sebuah prinsip, bahwa ILM sebagai sebuah objek penelitian mengandung aspek komunikasi dan informasi, yakni karya desain komunikasi visual berujud ILM sebagai bentuk komunikasi.
57 Selain itu, penggunaan metode analisis semiotika komunikasi visual sebagai salah satu metode pembacaan ILM disebabkan kecenderungan untuk memandang berbagai hal seperti seni, budaya, sosial, desain komunikasi visual, dan ILM sebagai fenomena bahasa dan tanda. Metode analisis semiotika komunikasi visual, pada dasarnya beroperasi pada dua jenjang analisis. Pertama, analisis tanda secara individual. Mencakup: jenis, struktur, kode, dan makna tanda. Kedua, analisis tanda sebagai sebuah kelompok atau kombinasi. Yakni kumpulan tanda-tanda yang membentuk teks. Sedangkan teks dipahami sebagai kombinasi tanda-tanda. Dengan demikian, karya desain komunikasi visual salah satunya berbentuk ILM juga dapat dilihat sebagai sebuah teks. Oleh karena itu, keberadaannya merupakan kombinasi tandatanda (Piliang, 2004:88).
1.10 Cara Analisis Cara menganalisa objek penelitian dilakukan secara deskriptif dengan memanfaatkan konsep Triadik Analisis Komunikasi Visual. Konsep Triadik Analisis Komunikasi Visual penulis ciptakan untuk melihat dan mengidentifikasikan interaksi tanda verbal dan tanda visual yang terkandung di dalam ILM sehingga
mampu
ditemukan makna konotasi atas pesan verbal dan pesan visual yang komunikatif, dan persuasif yang ditujukan pada khalayak sasaran yang dituju. Konsep Triadik Analisis Komunikasi Visual penulis ciptakan untuk mencari hubungan dan singgungan antara objek karya desain komunikasi visual berbentuk iklan layanan masyarakat. Sedangkan iklan layanan masyarakat membutuhkan media
58 iklan berbentuk koran, dalam hal ini harian Kompas. Keberadaan iklan layanan masyarakat diselaraskan dengan keberadaan khalayak sasaran yang dituju oleh tanda verbal dan tanda visual serta pesan verbal dan pesan visual yang ada di dalam iklan layanan masyarakat. Garis lurus antara karya desain komunikasi visual berbentuk iklan layanan masyarakat, media berwujud harian Kompas, dan khalayak sasaran ditempatkan pada sisi Triadik Analisis Komunikasi Visual di sisi bawah. Di sisi kiri Triadik Analisis Komunikasi Visual terdapat sudut lurus karya desain komunikasi visual berbentuk iklan layanan masyarakat, konteks (kesepakatan proses mengkaji karya desain iklan layanan masyarakat dalam bentuk rumusan masalah. Dan sudut paling atas adalah teori utama dan teori penunjang yang digunakan sebagai referensi untuk membantu mengkaji objek penelitian tersebut. Di sisi sebelah kanan dari Triadik Analisis Komunikasi Visual dimulai dari sudut khalayak sasaran, lalu naik ke sudut konten (berisi bentuk pesan dan isi pesan ILM) dan di sudut atas ketemu lagi dengan sudut adalah teori utama dan teori penunjang yang digunakan sebagai referensi untuk membantu mengkaji objek penelitian tersebut. Singgungan antara sisi kiri Triadik Analisis Komunikasi Visual bernama konteks akan terhubung garis lurus dengan singgungan sisi kanan bernama konten. Selanjutnya menurun menghubungkan dengan sudut dari singgungan karya desain komunikasi visual berwujud ILM dengan khalayak sasaran yang bernama media. Ketiga titik tersebut (konteks – konten – media) membentuk segitiga sama sisi terbalik. Pada titik itulah alur pikir kajian semiotika komunikasi visual menemukan bentuknya berupa paparan deskrisptif makna konotasi tanda verbal dan tanda visual serta pesan verbal dan pesan visual ILM yang menjadi objek penelitian tersebut.
59 Secara visual, bentuk Konsep Triadik Analisis Komunikasi Visual diciptakan untuk melihat dan mengidentifikasikan tanda verbal dan tanda visual yang terkandung di dalam ILM sehingga mampu menemukan makna konotasi atas pesan verbal dan pesan visual yang komunikatif, dan persuasif yang ditujukan pada khalayak sasaran yang dituju, adalah sebagai berikut:
1.11 Tahapan Analisis Semiotika Pertama, mendeskripsikan dan mengklasifikasikan tanda verbal dan tanda visual ILM yang menjadi objek penelitian. Kedua, menafsirkan makna tanda verbal dan tanda visual dengan mengkaitkan teori semiotika, teori desain komunikasi visual, dan teori gaya bahasa. Ketiga, menjelaskan kode-kode sosial untuk memperkaya proses pencarian makna atas ILM tersebut. Keempat, membuat kesimpulan makna tanda verbal dan tanda visual ILM (Stokes, 2006:80-81).
60
1.12 Objek Penelitian Objek penelitian adalah ILM yang dibuat beberapa biro iklan guna merespon tema-tema yang dirancang oleh pemerintahan Republik Indonesia, dan pernah dimuat di media massa cetak, dalam hal ini surat kabar harian Kompas, periode 1994-2006. Kenapa dipilih surat kabar harian Kompas periode 1994-2006? Karena target sasaran ILM tersebut adalah kelompok golongan masyarakat klas menengah ke atas, atau SES (Status Ekonomi Sosial) B-A. Sedangkan harian Kompas merupakan surat kabar berskala nasional yang mempunyai reputasi yang baik dan bertanggung jawab sebagai media massa cetak atas beragam pemuatan berita nasional maupun internasional. Tiras harian Kompas dalam setiap hari penerbitannya mencapai 500 ribu lembar. Dengan jumlah oplah yang demikian banyak itu memberikan jaminan akan jumlah pembaca setianya. Pelanggan dan pembaca harian Kompas terdiri dari kelompok golongan masyarakat klas menengah ke atas, atau SES (Status Ekonomi Sosial) B-A. Dengan demikian, karakteristik Pelanggan dan pembaca harian Kompas yang terdiri dari kelompok golongan masyarakat klas menengah ke atas, atau SES (Status Ekonomi Sosial) B-A sesuai dengan target sasaran yang dikehendaki ILM tersebut Sedangkan periode tahun 1994-2006 dipandang cukup bervariasi di dalam penentuan sampel ILM yang menjadi objek kajian penelitian ini.
61 1.13 Penentuan Objek Penelitian Penentuan objek penelitian dilakukan secara purposive sampling. Dalam penelitian kualitatif, menurut H.B. Soetopo dalam bukunya berjudul ‘’Metodologi Penelitian Kualitatif’’ teknik cuplikannya bersifat purposive, karena dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal (Soetopo, 2006:46). Populasi dari penelitian ini adalah 65 ILM periode 1994-2006 yang pernah dimuat di media massa cetak, dalam hal ini surat kabar harian Kompas. Sampel dari penelitian ini adalah 31 ILM. Ketigapuluhsatu sampel ILM tersebut dipilih dan ditetapkan berdasarkan klasifikasi teori sosiolinguistik, teori pragmatik, teori semiotika, teori periklanan, dan teori desain komunikasi visual yang mengandung pesan verbal dan pesan visual serta memenuhi unsur tanda, kode, dan makna konotasi yang menjadi topik penelitian ini. ILM yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah ILM yang pernah dimuat di harian Kompas periode 1994-2006. Agar mudah dilihat, dibaca dan dipahami tanda verbal dan tanda visual ILM serta pesan verbal dan pesan visual ILM, penulis membagi menjadi dua kelompok besar: a) ILM yang dibuat tahun 1994-1998 dan b) ILM yang dibuat pada 1999-2006. Iklan Layanan Masyarakat yang dimuat di harian Kompas periode tahun 19942006 dipandang cukup bervariasi di dalam penentuan sampel ILM yang menjadi objek kajian penelitian ini. Dikatakan bervariasi karena ILM yang dijadikan objek penelitian ini ada direntang periode akhir Orde Baru (1994 – 1998) dan awal Orde Reformasi (1998 - 2006).
62 1.13.1 ILM yang dirancang akhir Orde Baru (1994 – 1998), sebagai berikut: 1. ILM Pemilu 2. ILM Hak Cipta 3. ILM Lalulintas Angkutan Umum 4. ILM Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN-OTA) 5. ILM Telekomunikasi 6. ILM Koperasi 7. ILM Gerakan Disiplin Nasional 8. ILM Minat Baca 9. ILM Krisis Moneter 10. ILM Seni dan Budaya
1.13.2 ILM yang dibuat awal Orde Reformasi (1998 - 2006), sebagai berikut: 1. ILM Obat (versi Obat Asli), 2. ILM Memberdayakan Perempuan (versi Kesetaraan Jender), 3. ILM Harmoni Hidup Antarmanusia (versi AIDS – HIV,
versi Gertak (Gerakan
Serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk), dan versi Flu Burung), 4. ILM Pemilu 2004 (versi Pemilu 2004 Beda!), 5. ILM Damai (versi Damai Itu Indah), 6. ILM Kewajiban Warga (versi Bayar Listrik, dan versi Bayar Pajak), 7. ILM Buta Aksara (versi Pemberantasan Buta Aksara), 8. ILM Hak Konstitusi (versi Akta Kelahiran untuk Semua Anak)
63 Mengamati ILM yang dibuat periode akhir Orde Baru (1994 – 1998) dan ILM yang dirancang awal Orde Reformasi (1998 - 2006) terlihat jelas permainan tanda, kode dan makna konotasi yang sangat berbeda. Pengelompokan tersebut dilakukan secara acak berdasarkan realitas sosial yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia, dan permasalahan tersebut mengemuka sekitar tahun 1994 – 1998 dan tahun 1999 - 2006.
1.14 Pengambilan Kesimpulan Dalam penelitian ini, pengambilan kesimpulan akan berpijak pada teori semiotika, teori desain komunikasi visual, dan teori gaya bahasa yang mengamati tanda, kode, dan makna konotasi melalui tanda verbal dan tanda visual, seperti: ikon, indeks, dan simbol. Kode hermeneutik, kode simbolik, kode semantik, kode narasi, dan kode kebudayaan. Makna konotasi yang ditekankan di sini adalah konotasi sebuah tanda selalu berkaitan dengan kode nilai, makna sosial serta berbagai perasaan, sikap atau emosi yang ada. Setiap teks adalah kombinasi sintagmatik tanda-tanda, lewat kode sosial tertentu, yang menghasilkan konotasi tertentu. Sementara itu, pendekatan pada ikon, indeks dan simbol digunakan untuk menganalisa unsur faktual, ekspresif, dan mengidentifikasikan semantik pada tanda visual yang ada pada ILM. Teori desain komunikasi visual, digunakan untuk menganalisis aspek-aspek teks pesan verbal dan teks pesan visual yang terkandung dalam ILM yang dijadikan objek penelitian ini.