BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembangunan berwawasan lingkungan terus dilakukan oleh berbagai pihak baik oleh pemerintah maupun swasta, dimana kegiatan mereka juga melibatkan beberapa pihak ketiga seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Perguruan Tinggi, lembaga donor, dan sebagainya. Pembangunan berwawasan lingkungan merupakan sebuah proses memperbaiki dan atau mempertahankan kondisi wilayah dengan melakukan berbagai aktivitas atau program secara terpadu dan terus menerus dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Salah satu kegiatan dalam pembangunan berwawasan lingkungan adalah pembangunan hutan. Skenario mengenai hutan secara konseptual sudah memiliki blue print yang berisi rancang bangun keberadaan dan peran hutan dari tingkat lokal, nasional dan global (Srihardiono, 2005: xii). Inti dari pembangunan hutan berkelanjutan adalah memberikan
kontribusi
hutan
dalam
pembangunan
nasional
tanpa
mengesampingkan fungsi konservasi; lingkungan alam, sosial dan budaya. Hutan secara umum berfungsi sebagai penampung karbon-dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer1 bumi yang paling penting. Selain fungsi alamiah, fungsi sosial budaya dimana masyarakat Indonesia saat ini masih banyak yang tinggal di dalam atau di pinggir hutan atau hidupnya bergantung pada hutan. Akhirnya, masyarakat 1
Bagian atmosfer yang paling bawah di dekat permukaan bumi, tempat tinggal makhluk hidup. Sumber dari makalah perkuliahan Antropologi Ekologi.
1
hutan membentuk identitasnya sebuah karakteristik unik sebagai hasil dari adaptasi atas lingkungan hutan tersebut.Sama halnya pada masyarakat pesisir, nelayan, pemburu-peramu, peladang berpindah, petani dan perkotaan (Purba dkk, 2002: 34-57).Departemen Kehutanan mengeluarkan data bahwa pertengahan tahun 2000 menyebutkan, sedikitnya 30 juta penduduk secara langsung mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan. Hutan mempunyai kontribusi cukup besar dalam mensuplai oksigen dan mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh industri-industri besar sehingga keberdaan hutan yang baik akan memperlambat perubahan iklim. Pembangunan hutan dapat dilakukan dalam bentuk konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, pemulihan hutan dan penghutanan kembali atau reforestrasi, serta peningkatan cadangan karbon hutan (www.redd-indonesia.org). Prinsip pengelolaan hutan secara lestari sejalan dengan program pengelolaan hutan melalui sistem HTI atau Hutan Tanaman Industri (Srihardiono, 2005: xiii). Demikian juga dengan prinsipprinsip pengelolaan hutan pada umumnya termasuk yang harus di lakukan HPH-A (Hak Pengelolaan Hutan-Alam). Aktifitas pengelolaan dan pemanfaatan yang berhubungan dengan lingkungan dapat dijalankan suatu kelompok masyarakat apabila mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang lingkungan tersebut. Dengan mempunyai pengetahuan yang cukup, masyarakat dapat mengidentifikasi sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya, serta membentuk pola dan cara melakukan kegiatan eksploitasi. Pemahaman menyangkut lingkungan alam dan disertai
2
dengan pola perilaku merupakan suatu yang sangat diperlukan agar dapat melakukan aktifitas yang berhubungan dengan lingkungan (Ahimsa-Putra, 1994). Bagi perusahaan pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan), seperti perusahaan PT. Sari Bumi Kusuma (SBK), pekerja (karyawan) merupakan ujung tombak dari pelaksanaan dari program hutan lestari. Program hutan lestari pada hutan
produksi
dapat
terlaksana
dengan
model
pengelolaan
hutan
berkesinambungan. Pengelolaan yang bijaksana terhadap keberadaan alam itu sendiri, menjaga dengan baik lingkungan ekologi dan lingkungan sosial budaya. Manfaat yang diperoleh pengelola hutan produksi dengan sistem kelola yang berkesinambungan adalah dapat mensejahterakan perusahaan, baik dari pemilik dan para pekerja yang terlibat dalam pengelolaan tersebut karena persyaratan mengelola dengan baik sudah dijalankan dengan benar. Keberhasilan proses pelaksanaan program pembangunan hutan yang berkelanjutan tidak terlepas dari peran pekerja itu sendiri. Dan peran pekerja pada program hutan lestari akan mendapatkan imbalan berupa upah atau gaji. Upah menjadi salah satu persoalan serius karena hal ini dirasakan langsung oleh para pekerja. Mengingat upah merupakan komponen terbesar dari pendapatan seseorang, sehingga tingkat upah merupakan salah satu indikator yang mencerminkan kesejahteraan pekerja. Oleh karena itu, salah satu upaya perlu kajian kritis atas penghidupan buruh atau pekerja yang selama ini menjadi persoalan ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya pemenuhan upah buruh yang masih rendah.
3
Persoalan upah tidak hanya masalah serius bagi pekerja atau buruh, namun juga bagi pengusaha sebagai pihak pemberi upah dan pemerintah sebagai regulator. Begitu pentingnya persoalan upah dalam hubungan ketenagakerjaan, sudah seharusnya kebijakan-kebijakan yang mengatur pengupahan mencerminkan keadilan. Sekali lagi, bahwa upah bagi pekerja merupakan sumber untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka dan juga sumber motivasi. Upah bagi pekerja juga dapat bermakna sebagai simbol status sosial dalam masyarakat dimana mereka berada. Relasi kerja antara pengusaha dan pekerjanya selalu dilandasi oleh motif ekonomi, dimana masing-masing pihak hendak mendapatkan manfaat semaksimal mungkin. Bagi pekerja yang telah banyak mencurahkan waktu dan tenaganya maka mereka hendak mendapatkan balas jasa atau upah setinggi-tingginya. Dan sebaliknya, bagi pengusaha hendak menekan biaya produksi atau melakukan optimalisasi dan efisiensi kerja dimana salah satunya adalah dengan menekan upah pekerja. Sesuai dengan fenomena di atas bahwa studi mengenai upah masih sedikit dilakukan di Indonesia (Manning 1994; Anonim, hlm. 2). Sedangkan studi mengenai pasar tenaga kerja hanya menyentuh masalah kuantitas dan kualitas tetapi belum menekankan masalah pengupahan. Saya hampir tidak menemukan studi mengenai pengupahan pada sektor tenaga kerja di bidang kehutanan, sehingga penelitian ini menjadi suatu yang penting. Studi ini akan melihat ketimpangan upah yang terjadi pada perusahaan yang berbasis kehutanan, dimana diyakini bahwa hutan merupakan suatu yang penting bagi penjaga nafas
4
dunia, sesuai dengan adagium bahwa hutan adalah paru-paru dunia. Sama halnya dengan hutan dan upah, bahwa upah merupakan nafas kehidupan pekerja atau karyawan di sektor hutan.
B. Rumusan Masalah Pekerja perusahaan kayu seperti pada PT. SBK merupakan ujung tombak dari pelaksanaan dari program hutan lestari, sebuah program mengelola hutan produksi secara berkesinambungan. Para pekerja mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran sebagai bentuk ikatan kerjanya. Oleh karena itu, pekerja sepatutnya mendapatkan reward yang lebih baik untuk jaminan kehidupan hari esok. Distribusi dari hasil pengusahaan hutan berupa gaji atau upah seharusnya diberikan secara layak sesuai dengan bidang pekerjaan masing-masing pekerja. Artinya distribusi hasil tidak hanya untuk pemilik korporasi namun pekerja level grassroad (pekerja tingkat bawah) juga menikmati distribusi atas manfaat ekonomi tersebut. Bentuk reward tidak hanya dalam wujud materi (kenaikan upah dan pemberian insentif) saja, namun dalam kompensasi-kompensasi yang lain; misalnya: peningkatan jaminan kesehatan, pelayanan pendidikan, sarana komunikasi yang memadai maupun jaminan hari tua karyawan. Rumusan permasalahnya adalah mengapa terjadi ketimpangan upah pekerja di PT. Sari Bumi Kusuma? Untuk mendapat jawaban atas pertanyaan tersebut peneliti akan melihat keseharian beberapa pekerja PT SBK, baik dalam kehidupan di rumahtangga maupun saat mereka bekerja. Pekerja PT SBK tentunya terikat aturan main perusahaan agar mendapatkan target-target
5
perusahaan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, para pekerja wajib menguasai berbagai macam teknologi tepat guna untuk melaksanakan pekerjaannya tersebut. Kemudian lebih detail, saya mengamati proses pengupahan dan melihat berapa besaran upah yang diterima pekerja sesuai dengan jenis pekerjaannya melalui para pekerja yang terbuka memberikan stroke gaji mereka. Kendala terberat adalah upah menjadi hal yang secret bagi perusahaan dan akibatnya saya tidak mendapatkan data pengupahan melalui bagian keuangan PT SBK. Para pekerja yang terbuka, yang mau memperlihatkan besaran gaji mereka sangat membantu saya mencermati ketimpangan upah; dan juga melalui beberapa wawancara dengan beberapa pekerja.
C. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. untuk membuat tugas akhir berupa tesis sebagai syarat menyelesaikan Pascasarjana Jurusan Antropologi Budaya. 2. Mengetahui sistem pengupahan di PT Sari Bumi Kusuma dimana upah merupakan komponen penting sebagai indikator kesejahteraan mereka. distribusi manfaat ekonomi atas pengelolaan hutan oleh korporasi kepada para pekerjanya sudah berjalan dengan adil atau belum sehingga menekan terjadinya ketimpangan upah yang terjadi.
6
D. Manfaat Penelitian 1) manfaat akademis yaitu menyumbangkan pemikiran dalam wacana teoritis tentang Antropologi Kehutanan. 2) tujuan praktis yaitu untuk: i) memberikan gambaran mengenai sistem pengupahan pada sektor industri kehutanan yang ada di Indonesia; ii) memberikan masukan kepada owner atau pemilik PT Sari Bumi Kusuma terkait pengupahan yang selama ini mereka jalankan dengan harapan kedepannya ada perbaikan upah atau kelayakan upah, karena relasi pekerja dan pengusaha didasarkan pada prinsip yang mutualistik.
E. Landasan Teori Upah didefinisikan sebagai segala macam pembayaran yang timbul dari kontrak kerja, terlepas dari jenis pekerjaan dan denominasinya. Upah menunjukkan penghasilan yang diterima sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilakukan. Dewan Penelitian Pengupahan Nasional mendefinisikan upah sebagai berikut: “upah ialah suatu penerimaan kerja untuk berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi yang dinyatakan menurut suatu persetujuan undang-undang dan peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja. Dari pengertian di atas dapat dimaknai bahwa upah merupakan bentuk penghargaan dari tenaga kerja atau pekerja atau karyawan yang dimanifestasikan sebagai hasil produksi yang berwujud uang atau suatu jasa yang dianggap sama
7
dengan itu, yang diberikan secara mingguan atau bulanan, sesuai dengan kebijakan perusahaan. Sistem upah di Indonesia pada umumnya didasarkan pada fungsinya yaitu menjamin kehidupan yang layak bagi pekerja dan keluarganya, mencerminkan imbalan atas hasil kerja seorang pekerja dan menyediakan insentif guna mendorong produktifitas kerja. Ada dua hal besar terkait denga upah, menurut Ricardo yaitu harga alami tenaga kerja (natural price of labour) dan harga pasar tenaga kerja (market price of labour). Harga alami tenaga kerja berlaku dalam jangka panjang dan jika ada pengaruh harga terhadap penawaran masih punya waktu dan kesempatan untuk melakukan intervensi. Namun, ketika hukum upah dibicarakan secara sederhana, yang menjadi rujukan bukan harga alami tetapi lebih merujuk pada pasar upah (wage market). Harga tenaga kerja, layaknya harga barang dan jasa, bahwa tinggirendahnya ditentukan oleh permintaan (demand) dan penawaran (supply) pasar akan tenaga kerja. Dengan demikian interaksi antara penawaran dan permintaan sangat menentukan tingkat upah dan pemanfaatan input tenaga kerja. Sejalan dengan teori Malthus yang menilai bahwa upah yang wajar dihubungkan dengan perubahan jumlah penduduk, maka tingkat upah sebagai harga penggunaan input dalam hal ini tenaga kerja sangat ditentukan oleh penawaran tenaga kerja dimana penduduk sebagai sumber utamanya. Ketika ada kenaikan jumlah penduduk, maka saat yang sama, penawaran terhadap tenaga kerja mengalami peningkatan yang berujung pada tekanan tingkat upah untuk segera turun; hal yang sama berlaku untuk sebaliknya.
8
Adapun sistem pengupahan dalam suatu negara berdasarkan dari falsafat atau sistem yang anut masing-masing negara. Menurut Soemarsono (2003), bahwa teori yang mendasari sistem pengupahan pada dasarnya dibedakan menjadi dua kutub utama: pertama, berdasarkan ajaran Karl marx mengenai teori nilai dan pertentangan kelas; dan kedua, berdasar teori pertambahan produk marginal berlandaskan asumsi perekonomian bebas. Ajaran Marx ini menyatakan bahwa hanya pekerja yang merupakan sumber nilai ekonomi dan nilai suatu barang tergantung nilai jasa buruh atau jumlah waktu kerja yang dipergunakan untuk memproduksi barang tersebut. Implikasi pandangan Marx tersebut adalah: a) harga barang berbeda sesuai jumlah jasa buruh yang dialokasikan untuk memproduksi barang tersebut; b) jumlah jam kerja hampir sama guna memproduksi suatu barang, oleh karena itu harga dibeberapa tempat hampir sama; dan c) seluruh pendapatan nasional diciptakan buruh, jadi hanya buruh yang berhak mendapatkan pendapatan nasional tersebut. Dengan demikian, sistem pengupahan berdasarkan pandangan Marx sebagai berikut: a) jenis dan jumlah kebutuhan konsumsi tiap-tiap orang adalah hampir sama, mengingat harga setiap barang hampir sama maka upah tiap pekerja hampir sama; b) sistem pengupahan tidak memberikan insentif yang sangat perlu untuk menjamin peningkatan produktifitas kerja dan pendapatan nasional; c) sistem kontrol yang sangat ketat diperlukan untuk menjamin setiap orang betulbetul mau bekerja menurut kemmpuannya.
9
Selain dari teori Marx di atas ada juga teori yang relevan dengan penelitian ini, yaitu: pertama, Teori Upah Neo Klasik atau teori upah kompetitif dan kedua, teori upan non kompetitif. Teori yang kedua didasarkan pada asumsi: hubungan antara upah yang main tinggi dengan laba yang semakin tinggi pula dan asumsi adanya perilaku yang tidak memaksimasi (Kruger dan Summers, 1987; Fields dan Wolff, 1995). Teori upan non kompetitif juga diistilahkan dengan teori upah alternatif, dimana teori ini memberi landasan bahwa akan selalu ada pengangguran terpaksa (involuntary unemployment) dan adanya industry fixed effect yang menjadikan kekakuan upah, sebab industri yang memberikan upah tinggi maupun rendah ternyata tidak melakukan penyesuaian, tetapi cenderung mempertahankannya (setiadji, 2002). Berkembang pula teori-teori yang berusaha menjelaskan fenomena perbedaan upah antar industri. Salah satu yang menjelaskan dimana industri bersedia memberikan upah pekerja sesuai dengan harga pasar tenaga kerja adalah adanya semacam bagi rente (rents sharing hypothesis) antara pengusaha dan pekerja. Wujudnya pengusaha memberikan upah yang lebih tinggi daripada harga balas jasa yang berlaku dan sebagai imbalannya adalah pekerja memberikan upaya (effort) yang lebih baik bagi perusahaan. Dan sebagai implikasinya, produktifitas perusahaan dan outputnya meningkat secara signifikan (Leibensten, 1963, Pugel 1980, Oswald, 1992, Blanchflower et all 1996 via anonim 2008) . Industri atau perusahaan layaknya PT Sari bumi Kusuma adalah dunia kerja kapitalistik artinya keuntungan atau profit menjadi cita-cita akan adanya. Wilayah perusahaan terdapat hanya dua kelas demi menggerakkan eksistensinya
10
yaitu pemilik perusahaan dan pekerja. Pemilik perusahaan dapat berupa individu maupun gabungan individu atau korporasi (grup). Karakteristik perusahaan bercorak ekonomi kapitalis, dimana ciri-cirinya adalah 1) produksi komoditi yaitu yang dijual ke pasar, 2) produksi dijalankan dimana alat produksi dimiliki secara pribadi. 3) produksi dijalankan untuk sebuah pasar yang tidak terbatas, 4) memaksimalkan keuntungan, 5) produksi juga untuk akumulasi capital (Mandel, 2006: 42-45) Lebih lanjut Mandel menegaskan dimana salah satu ciri-ciri khusus kapitalisme adalah dia merubah tenaga kerja manusia menjadi komoditi. Nilai tenaga kerja ditentukan oleh biaya untuk reproduksi.Nilai tenaga kerja memiliki ciri khusus terkait komoditi lain, elemen stabil dan elemen variable.Elemen stabil adalah nilai komoditi yang dibutuhkan untuk mnyusun ulang tenaga kerja dalam arti fisiologis (memungkinkan pekerja untuk menguatkan kembali kalori, vitamin dan pekerja melepas energi otot dan syaraf yang tanpanya tidakmungkin pekerja mampu melaksakanannya).Elemen variable adalah nilai komoditi yang digunakan dalam “standar kehidupan normal” di suatu masa dan di sebuah negeri tertentu. (2006: 49-50). Tenaga kerja yang menjual jasanya punya dua nilai sebagai komoditas ; pertama nilai guna (melekat pada diri tenaga kerja); kedua, nilai tukar (ketika jasanya di bayar oleh pemodal sesuai keinginan pemodal). Namun pada tahap lanjut pemodal membayar nilai tukar tenaga kerja untuk mendapatkan nilai pakainya, namun mendapatkan lebih besar nilai pakai atas tukarnya.Oleh Marx disebut nilai lebih (kelebihan kerja). (Arif dan Adi, 2013: 115) di sini ada satu
11
pengertian bahwa seorang pekerja mencurahkan tenaga lebih dan nikmat hasil dari curahan waktu lebih justru menjadi hak majikan. Jadi pekerja seolah-olah menjadi pekerja yang baik atau „pekerja sosial‟ di arena pertarungan modal kapital yang menghasilkan profit berlipat-lipat. Upah sangat terkait dengan jam kerja, dimana beberapa literatur mengatakan bahwa era primitif orang harus bekerja 4-5 jam untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi diera modern lebih dari itu. Pada tataran ekstrim, seseorang harus kerja dalam durasi dan intensitas padat sehari, sedikit istirahat dan hanya mendapatkan upah yang rendah, di sebut dengan eksploitasi. Bentuk lain dari eksploitasi adalah bermula pada masa perbudakan Yunani kuno, di era feodalisme dimana buruh di paksa kerja dalam tingkat yang tinggi dan upah yang rendah, meski di eropa perbudakan berakhir abad 14. (Arif dan Adi, 2013: 119) We see then that that which determines the magnitude of the value of any article is the amount of labour socially necessary, or the labour-time socially necessary for its production. Each individual commodity, in this connexion, is to be considered as an average sample of its class. Commodities, therefore, in which equal quantities of labour are embodied, or which can be produced in the same time, have the same value. The value of one commodity is to the value of any other, as the labour-time necessary for the production of the one is to that necessary for the production of the other. "As values, all commodities are only definite masses of congealed labour-time."(Das Capital, Marx..)
Seperti penjelasan di atas bahwa dalam kondisi pasar persaingan sempurna, upah di pasar tenaga kerja secara fleksibel menyesuaikan keseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Meskipun demikian, seringkali upah tidak berlaku secara fleksibel melakukan penyesuaian ketika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja (Mankiw, 2003: 24). Kekakuan upah ini menurut Mankiw dapat disebabkan oleh:
12
adanya intervensi dari pemerintah, kekuatan serikat pekerja dan kelambanan pengusaha merespon perubahan pasar tenaga kerja. Selama ini, secara umum, konsep upah sangat erat dengan standar karakteristik individu pekerja, karakteristik human capital (empat modal: capital, sosial, budaya dan simbolik dalam Bourdieu, 2009: 20), karakter daerah (dalam bentuk penetapan UMR) serta karakteristik dari pekerjaan yang ada. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas upah antara lain: umur tenaga kerja, status pekerjaan (formal atau non-formal), status perkawinan, daerah atau lokasi kerja, jenis kelamin pekerja (dapat juga perspektif gender), tingkat pendidikan tenaga kerja dan terakhir adanya pelatihan kerja atau kursus-kursus keahlian tertentu. Juga yang berpengaruh adalah faktor waktu pekerja atau karyawan bekerja di perusahaan tersebut. Dari beberapa pendapat yang ada di atas beserta faktor-faktor yang mempengaruh pengupahan, saya melihat terjadinya ketimpangan dalam sistem upah yang diterapkan perusahaan kayu PT Sari bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. Oleh karena itu, saya akan menelaah lebih dalam penyebab dari ketimpangan tersebut dan beberapa hal yang terkait atau mendukung kelanggengan sistem ini.
F. Kajian Pustaka Beberapa penelitian terdahulu belum banyak yang melihat pekerja dari ketimpangan upah, namun penelitian yang ada mengenai masalah pekerja dilihat dari
memperlihatkan diantaranya
perspektif pengelolaan uang. Dimana
13
penekanan studi ini pada kuasa uang pada perempuan yaitu Mujinem (2003) meneliti masalah perbedaan akses dan kontrol antara laki-laki dan perempuan dalam usaha genteng di Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman. Temuannya menunjukkan bahwa perempuan lebih dominan dalam mengendalikan keuangan terkait dengan modal usahanya dan keputusan-keputusan mengenai belanja bahan baku, upah pekerja, kontrol atas pekerja di tangan perempuan. Laki-laki (suami) dominan dalam menggunakan alat kerja dan merawatnya karena anggapan bahwa laki-laki lebih mengerti mengenai mesin.Keduanya memiliki kesamaan (equality) dalam memajukan usaha mereka. Srihardono mengkaji masalah hutan, khususnnya hutan tanaman industri di Indonesia dimana menurutnya pengelolaan hutan tanaman industri (HTI) melibatkan para pekerja yang tersegmentasi dalam skill dan gender. Sebagian besar perempuan bekerja pada proses persemaian dan pemilihan bibit karena perempuan dianggap lebih jeli dan telaten dalam memilih bibit yang baik, sebaliknya sebagian besar laki-laki bekerja pada bagian yang memerlukan tenaga lebih (2005: 46). Akhirnya kesejahteraan atau upah pekerja perempuan masih kalah dengan pekerja laki-laki. Ada juga, Nurdiyana (2009) mengkaji masalah pekerja perempuan pada pendulangan intan di Kalimantan Selatan. Ia mengatakan bahwa perempuan bekerja karena berbagai alasan yaitu motif ekonomi (keterhimpitan ekonomi keluarga) dan aktualisasi diri (kelompok berkecukupan dan berpendidikan tinggi). Implikasi perempuan bekerja adalah bertambahnya beban kerja; sedangkan dari segi penghasilan bahwa perempuan yang memiliki penghasilan lebih tinggi dari
14
laki-laki maka dominasi pengambilan keputusan dalam rumahtangga ada di tangan perempuan. Lain halnya dengan Musfidar (2012) dimana ia melihat faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan distribusi pendapatan di Sulawesi Selatan. Adapun beberapa faktor tersebut diantaranya adalah perbedaan skill atau ketrampilan antar pekerja. Kemudian adanya penetapan upah minimum regional di suatu wilayah, dimana UMR ini harus memperhatikan inflasi. Ketiga, berkembangnya industri skala besar yang menyerap tenaga kerja terutama berpindahnya tenaga di sektor pertanian menuju industri sehingga ada timpang pendapatan disana. Sedangkan Al Fairusy (2012) melihat adanya ketimpangan pendapatan pada nelayan di Pulau Banyak, yang tercermin dalam hubungan patronase. Justru masing- masing mendapatkan keuntungan dari sistem ini. Hubungan Patron-Klien tidak semata hubungan vertikal yaitu pemilik modal dan termodali, namun ada hubungan
hubungan horizontal dimana Patron (Tauke) dapat memberikan
perlindungan pada klien (Palawik). Jadi, tidak hanya masalah hubungan ekonomi semata, juga masalah sosial dapat di selesaikan oleh sang patron. Adanya ketimpangan ditribusi dalam suatu program di teliti oleh Prasetyo Aji (2013) dimana masuknya program REDD+ di desa Bahaur, Kabupaten Pulang Pisau telah menempatkan mereka yang memeliki modal baik kapital (uang, tanah), posisi politik (elit lokal) sebagai penguasa. Program yang masuk ke desa dikuasai oleh para elit desa dan juga akses terhadap tanah baik pembukaan lahan baru untuk perkebunan sawit maupun lahan implementasi REDD+. Dalam perkebunan sawit skala besar, elit lokal berperan menjadi penghubung antara
15
pemilik kapital dengan masyarakat pada umumnya. Masyarakat bawah berperan hanya sebagai penerima program dan tidak ada kemampuan menjadi penghubung dengan pemilik modal, terlebih melakukan akses terhadap sumberdaya alam secara meluas. Penelitan mengenai disparitas upah di Indonesia telah dilakukan Permana (2006) untuk menganalisis ketimpangan pendapatan antar gender, dimana dalam hal ini pendapatan yang diperoleh dari upah dijelaskan oleh faktor-faktor pendidikan dan pengalaman, lokasi pekerja dan pekerjaannya berada, serta karakteristik
sosio-demografi-ekonomi.
Hasilnya
faktor
pendidikan
mempersempit jurang kesenjangan upah antara pria dan perempuan. Saya melihat bahwa kajian mengenai ketimpangan upah pekerja di sektor kehutanan belum banyak di teliti sehingga tulisan ini akan mengkaji secara mendalam mengenai hal tersebut. Pekerja sebagai aktor yang terlibat secara langsung dalam proses pelestarian hutan selama ini. Dengan berbagai bidang yang ada, pekerja bekerja berdasarkan job deskripsi yang telah ditentukan perusahaan. dan hasil dari hasil dari keringat mereka yang keluar adalah upah, yang terindikasi ada ketimpangan didalamnya. Dengan mengambil sampel pekerja di PT SBK Kalteng, kami menelaah yang tentunya hal ini menjadi suatu yang penting baik bagi keilmuan antropologi maupun bagi pemerintah selaku pemangku kepentingan dan masyarakat luas.
16
G. Metode Penelitian 1. Pemilihan Lokasi Lokasi penelitian bertempat di IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah: camp 54B (divisi Binhut dan PMDH), cam 93 TPTJ dan Kantor Pusat (camp 35) di Nanga Nuak, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, Pemilihan Informan Pemilihan informan ditentukan berdasar konsep yang ditulis Spradley (1997: 61; Benard 1994: 166 via Endraswara 2006: 239) dimana dinyatakan bahwa seorang informan merupakan orang yang paham akan topik yang dibahas. Untuk itu dimulai dari informasi key person atau key informant. Penentuan informan dilakukan secara random dengan jumlah yang tidak terbatas. 2. Teknik Pengumpulan Data Oleh karena penelitian ini bertujuan untuk mengungkap peran pekerja PT SBK maka penelitian ini menggunakan beberapa metode pengumpulan data yaitu: a. Partisipasi observasi Metode partisipasi observasi merupakan hal semestinya dilakukan dalam penelitian seorang antropolog terutama menyangkut kegiatan etnografi (Jorgensen, 1989: 81). Observasi atau pengamatan merupakan metode yang pertama-tama digunakan dalam penelitian ilmiah
(Bachtiar, 1994: 109 via Koentjoroningrat 1994). Dengan
partisipasi observasi diharapkan akan memiliki pengalaman yang
17
sama dengan masyarakat (pekerja) di IUPHHK SBK. Secara teknis peneliti harus terlibat langsung atau ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pekerja SBK. Untuk itu, peneliti tinggal bersama pekerja di PT Sari Bumi Kusuma, Kalimantan Barat-Kalimantan Tengah, selama 3 bulan berturut-turut. Peneliti mengunjungi flaying camp untuk melihat aktifitas pekerja harian dalam hutan meskipun peneliti tidak ikut tidur atau menginap di sana. Peneliti ikut tinggal beberapa hari di desa (Desa Tanjung Paku dan Desa Kejamei) ikut melihat langsung keseharian penyuluh lapangan PMDH dan mengunjungi beberapa desa yang lain/tidak menginap (Desa Karuei 4 kali, Kihambatang 3 kali, Kaburei 1 kali, Riam
Batang
dan
Tumbang
Taberau
masing-masing 1 kali). Peneliti akan mencatat setiap aktifitas pekerja sebagai sebuah data. Kemudian memilah dan memilih sebagai bentuk klasifikasi dan kategorisasi atas data, sehingga akan terpilih data yang relevan dengan topik penelitian. b. Wawancara Wawancara atau interview ialah cara yang digunakan seseorang dalam tujuan tertentu mencoba mendapatkan keterangan atau pendirian secara lisan dari informan (Koentjoroningrat, 1994: 129). Wawancara dilakukan dengan dua cara yang pertama, wawancara bebas. Dalam wawancara bebas, siapapun bisa menjadi informan dan proses wawancara berlangsung tidak terstruktur atau dapat dilakukan dengan sambil lalu yaitu melalui percakapan sehari-hari (Jorgensen, 1989).
18
Kedua, wawancara mendalam (indepth interview). Informan terpilih yang memiliki relefansi informasi persoalan ini.informan terpilih guna menjadi informan indepth adalah pekerja yang berkompeten mengenai masalah ini dan terkait dengan tema. Menurut Siagian (2007) bahwa wawancara mendalam merupakan pertukaran pandangan antara peneliti dengan mitranya. Dalam terjemahan bebas bahwa wawancara mendalam adalah proses menyelami isi hati. Jadi informasi yang tergali akan lebih dalam dan informan mampu mengeluarkan semua informasi yang dibutuhkan dan tidak ada yang disembunyikan lagi. c. Studi pustaka Tujuan studi literatur atau studi pustaka adalah untuk memperoleh referensi yang dibutuhkan dalam proses pengerjaan dan penyelesaian penelitian. Sumber-sumber yang diacu dapat berasal dari buku, Koran, internet, jurnal internasional dan lokal, laporan penelitian, makalah seminar dan lain sebagainya.Uaraian dalam studi pustaka berisi tentang gambaran mengenai topik penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh para peneliti dan juga menunjukkan pendekatan dari permasalahan yang dikaji.
19