BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk kehidupan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Perkawinan dalan Bahasa Arab disebut dengan al-nikah atau al-wathi yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. 2 Selanjutnya Tahir Mahmood mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan, masing-masing menjadi suami-isteri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi. Lebih jelasnya ia menyatakan “Marriage is a relationship of body and soul between a man and woman as husband and wife for the purpose of establishing a happy and lasting family founded an belief in god almighty”. 3 Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian perkawinan atau pernikahan yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati “perintah Allah dan melaksanakannya
1
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2
Imam Taqiyuddin, Kifayatul al-Akhyar fi Hal ghayat al-Ikhtiyar, (Bandung : Al-Ma’Arif, t.t), Juz II, h. 36 3
Tahir Mahmood, Personal law in Islamic Countries, (New Delhi : Academy of law and Religion, 1987), h. 209
1
2
merupakan ibadah. 4 Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. 5 Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetbooek) putusnya perkawinan dipakai istilah “pembubaran perkawinan” (ont binding des huweliks). 6 Yang diatur dalam bab X dengan tiga bagian, yaitu tentang pembubaran perkawinan pada umumnya (pasal 199), tentang pembubaran perkawinan setelah pisah meja dan ranjang (pasal 200-2006 b), tentang perceraian perkawinan (pasal 207-232 a), dan yang tidak dikenal dalam hukum adat atau hukum agama (Islam) walaupun kenyataannya juga terjadi, ialah bab XI tentang pisah meja dan ranjang (pasal 233-249). Dengan ibadah dalam sebuah perkawinan menjadi perkawinan yang harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya apa yang menjadi tujuan perkawinan yaitu : terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Namun seringkali apa yang menjadi tujuan perkawinan itu kandas diperjalanan harus bubar ditengah jalan karena beberapa sebab dan alasan perceraian. Walaupun perkawinan itu ditujukan untuk selama-lamanya, tetapi ada kalanya terjadi hal-hal tertentu yang menyebabkan perkawinan tidak dapat 4
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 “Perkawinan Menurut Hukum Islam Adalah Pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqal ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” 5
Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”, Lihat Juga Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2005), h. 7 6
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Mandar Maju, 1990), Cet Ke 1, h. 160
3
diteruskan, misalnya salah satu pihak berbuat serong dengan orang lain, terjadi pertengkaran terus menerus antara suami isteri, suami atau isteri mendapat hukuman lima tahun penjara atau lebih berat, dan masih banyak lagi alasan-alasan yang menyebabkan perceraian. Adanya perceraian membawa akibat hukum terputusnya ikatan suami isteri. Apabila dalam perkawinan telah dilahirkan anak, maka perceraian juga membawa akibat hukum terhadap anak, yaitu orang tua tidak dapat memelihara anak secara bersama-sama lagi, untuk itu pemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu dari orang tua. Di lain pihak akibat perceraian terhadap harta kekayaan adalah harus dibaginya harta bersama antara suami isteri tersebut. 7 Dalam pasal 199 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan perkawinan dapat bubar karena (1) kematian salah satu pihak ; (2) keadaan tidak hadirnya suami isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh perkawinan baru isteri atau suami, setelah mendapat izin dari hakim sesuai dengan pasal 199 ayat 3 dan 4 yang menyatakan bahwa keputusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan ranjang dan pembekuan pernyataan bubarnya perkawinan dalam putusan itu dalam registrasi catatan sipil karena kematian salah satu pihak. Ada beberapa sebab yang menyatakan bahwa perkawinan dapat putus berdasarkan atas persetujuan antara suami-isteri. 8 Lebih lanjut dinyatakan dalam pasal 209 ayat (1), (2), (3), dan (4) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata alasan7
Masyudin, ‘Akibat Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 19 Juli 2010 dari http://www.Skripsi-Tesis.com, 8
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana, 2006), h. 445-446
4
alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah : zina baik yang dilakukan oleh suami atau isteri ; meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja ; suami atau isteri di hukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan ; salah satu pihak melakukan penganiayaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami atau isteri). 9 Sebenarnya perpisahan suatau ikatan perkawinan merupakan hal yang wajar. Karena akad atau perikatan terjadi jika dua orang yang apabila mempunyai kemauan dan kesanggupan yang dipadukan dalam suatu ketentuan dan dinyatakan denga kata-kata yang bisa dipahami. Dengan demikan terjadilah peristiwa hukum yang disebut dengan perikatan. 10 Apabila ikatan tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi, karena berbagai pertimbangan maka konsekuensinya dapat terjadi talak. Pada dasarnya perkara talak itu diperbolehkan, namun merupakan hal yang amat dibenci oleh Allah SWT. Idealnya sebuah kehidupan rumah tangga adalah untuk hidup rukun bahagia dan tenteram namun sebuah perjalanan hidup tidak selamanya mulus sesuai yang diharapkan, kadang terdapat perbedaan pandangan dalam memahami kehidupan dan pertengkaran diantara pasangan suami isteri yang merasa tidak nyaman dan tenteram lagi dengan perkawinan mereka, karena pada kenyataannya membina hubungan keluarga tidak mudah bahkan sering terjadi perkawinan 9
R.. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2006), Cet. 37, h. 46-51 10
1
Ahmad Kurzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan, (Jakarta: Rajawali Press, 1995), h.
5
mereka kandas ditengah jalan. 11 Perselisihan yang timbul dalam pernikahan kini banyak disebabkan permasalahan yang beragam bermula dari faktor ekonomi, perbedaan dalam menentukan sikap penyelesaian masalah yang mementingkan ego, dan lain sebagainya. 12 Syarat untuk mendirikan rumah tangga bahagia dapat dikelompokkan menjadi empat faktor yaitu : 13 1. Faktor yang berkenaan dengan ciri-ciri pribadi, keadaan bathin dan hubungan timbal balik antara anggota-anggota keluarga. Faktor inilah yang merupakan faktor terpenting. 2. Faktor yang berkaitan dengan masalah ekonomi keluarga, meliputi penghasilan yang memadai, pengaturan terhadap urusan rumah tangga termasuk ketertiban pembelanjaan rumah tangga. 3. Faktor-faktor
yang
berkaitan
dengan
pikiran-pikiran
umum
yang
mendominasi rumah, termasuk perilaku suami isteri dan pandangan mereka terhadap nilai-nilai moral dan agama. 4. Faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan hubungan keluarga dan cara pengaturan waktu-waktu senggang, waktu untuk istirahat dan rekreasi. Banyak suami yang tidak mengetahui apa yang diinginkannya. Oleh karena itu, yang pertama harus dikerjakan seorang isteri adalah membantunya 11
Chuzaemah Tahido Yanggo dan A. Hafit Anshari. A. Z., Problematika Hukum Islam dan Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), h. 72 12
Budianto, ‘Perselisihan Dalam Rumah Tangga’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com. 13
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), Cet Ke-1, h. 166
6
memperjelas angan-angan dan keinginan yang ada dalam benaknya, atau membantunya mengetahui apa yang sebenarnya dicari dalam kehidupan ini. Setelah itu ia mengajukan diri agar diikut sertakan dalam merealisasikan tujuan-tujuan yang hendak dicapai suaminya dan juga tujuan mereka berdua. Sebenarnya, dua tujuan diatas tidak ada bedanya. Tujuan-tujuan suami haruslah satu dan sesuai dengan tujuan isterinya yang menjadi teman hidupnya. Sebab, keberadaan satu tujuan merupakan asas pernikahan yang bahagia. 14 Seorang suami atau isteri yang baik tidak akan meninggalkan pasangannya disaat mengalami berbagai macam cobaan. Sebagaimana mereka telah bersamasama merasakan kebahagiaan, maka mereka juga harus bersama-sama pula sewaktu berada dalam keadaan susah tanpa disertai keluh kesah dan perasaan marah. 15 Pada saat didalam rumah tangga timbul masalah seperti suami ketahuan berselingkuh dengan perempuan lain maka bicarakan berdua dengan baik-baik tanpa emosi dan pertengkaran. Selesaikan masalah rumah tangga dengan pikiran dewasa dan kepala dingin. Apabila dalam rumah tangganya mengalami masalah, alangkah indahnya antara suami dan isteri mengingat kembali masa-masa indah dahulu agar rasa emosi itu bisa diredam oleh diri sendiri. Jika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan dan jalan terakhirnya yaitu perceraian maka bercerailah
14
Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, h. 80
15
Ibid., h. 85
7
secara resmi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada Pasal 39 UUP dinyatakan : 1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri. Masalah yang muncul kemudian adalah bagaimana perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan yang membuat masyarakat tidak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia. Kasus perceraian sering terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat, apakah dilakukan karena inisiatif suami untuk permohonan cerai talak atau inisiatif untuk menggungat cerai suami. Dalam masalah perceraian sudah diatur sedemikian oleh aturan yang dijadikan pedoman oleh umat Islam di Negara Indonesia, tetapi masyarakat di Desa Kadu Ti’is hampir seluruhnya melakukan perceraian tanpa mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan tersebut. Bukannya masyarakat di Desa Kadu Ti’is tidak ingin mematuhi aturan yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang hanya saja terbatasnya keuangan di Desa Kadu Ti’is dan mahalnya biaya perceraian. Perceraian yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama. Bila dilihat dari hukum yang berlaku maka
8
perceraian yang mereka lakukan tidak mempunyai kekuatan hukum meskipun keduanya sebelumnya melakukan pernikahan yang dicatat.16 Akan tetapi pada kenyataannya banyak sekali masyarakat yang melakukan sebuah perceraian sebagai jalan terakhir untuk mengakhiri sebuah pernikahan tanpa melalui proses persidangan di pengadilan. Padahal sudah jelas sekali bahwa perceraian
hanya
dapat
dilakukan
melalui
sebuah
proses
persidangan
dipengadilan dan telah melalui prosedur yang telah ditentukan serta telah melalui usaha untuk perdamaian untuk tidak terjadinya perceraian, jika semua jalan itu sudah dijalankan dan tetap menjadi keinginan antara suami isteri tetap bercerai maka perceraianlah yang menjadi jalan terakhir bagi keduanya. Akibat hukum dari perceraian yang dilakukan tanpa melalui proses persidangan di pengadilan pada masyarakat merupakan akibat hukum berdasarkan hukum Islam. Akibat hukum tersebut meliputi akibat terhadap harta benda, sedangkan apabila dipandang dari perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka perceraian tersebut belumlah mempunyai akibat hukum yang diakui dan bersifat mengikat secara yuridis. Seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Kadu Ti’is Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten Pandeglang ketika diantara mereka ada yang bercerai mereka hanya mendatangkan pihak keluarga dan beberapa orang saksi, bukan hanya itu saja, ada beberapa masyarakat Desa Kadu Ti’is yang ingin bercerai hanya cukup mengucapkan kata cerai secara lisan di depan saksi-saksi, kemudian mereka 16
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
9
mendapatkan bukti cerai yaitu sebuah selembar kertas yang menyatakan mereka sah bercerai. Dengan cara yang mereka lakukan tersebut dianggap perceraian yang sah, tapi jika ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka perceraian mereka tidaklah sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Menurut Undang-Undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 39 ayat 1 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan. 17 Perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan bukan hanya di desa kadu ti’is saja tapi di semua desa yang ada di daerah terpencil. Karena bagi mereka proses perceraian sangat membutuhkan biaya yang besar sedangkan mereka tidak cukup untuk membayar biaya perceraian di pengadilan maka dari itu mereka melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan hanya lewat KUA
lalu
mereka
mendapatkan
surat
cerai
mereka. 18
Ada
sebagian
masyarakatnya jika ingin bercerai maka hanya mendatangkan penghulu yang waktu itu menikahkan mereka lalu mendatangkan kedua orang tua mereka masing-masing sebagai saksi bahwa suami dan isteri akan melakukan perceraian setelah itu suami dan isteri mendatangani surat cerai diatas selembar kertas yang bermaterai, maka menurut mereka sudah sah perceraian mereka berdua dan mereka sudah tidak menjadi pasangan suami isteri.
17
Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Perkawinan, (Jakarta : Akademik Presindo, 1986), Cet Ke 1, h. 114 18
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
10
Selain karena faktor biaya yang sangat mahal melakukan proses perceraian di pengadilan, faktor lainnya, dikarenakan tempat pengadilan yang begitu jauh dari tempat tinggal mereka. Tempat tinggal mereka di pelosokpelosok dan perdesaan yang jauh dari mana-mana termasuk pasar sekalipun sedangkan tempat pengadilan agama yang letaknya di perkotaan jauh dari pedesaan, makanya masyarakat tidak bisa melakukan perceraian melalui proses persidangan. Selain itu dikarenakan awamnya atau tidak tahunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikehidupan mereka. Dengan adanya perilaku perceraian masyarakat Desa Kadu Ti’is tersebut maka saya tertarik untuk melakukan penelitian yang akan saya tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. berdasarkan permasalahan tersebut, maka penulis merasa terdorong untuk melakukan penelitian dan membuat pembahasan skripsi ini dengan judul “PERCERAIAN
TANPA
MELALUI
PROSES
PERSIDANGAN
DI
PENGADILAN AGAMA DI TINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974 (Studi Kasus Di Desa Kadu Ti’is Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten Pandeglang)” B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan ini tidak meluas kemana-mana, maka skripsi ini harus penulis batasi agar nantinya diharapkan dapat memberikan konstribusi pemahaman yang mendalam. Karena pembahasan mengenai perceraian sangat luas, maka penelitian ini difokuskan pembahasannya mengenai perceraian tanpa
11
melalui proses persidangan di pengadilan agama. Karena di dalam UndangUndang yang berkaitan dengan masalah perceraian sangat luas, maka penulis juga mempertegas batasan-batasan penyusunan skripsi ini mengenai perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama di tinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 2. Perumusan Masalah Menurut Peraturan Perundang-undangan Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 39 ayat 1 dan KHI Pasal 115 yang berbunyi : Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Meskipun peraturan perceraian telah jelas diatur seperti yang sudah dijelaskan diatas, akan tetapi pada kenyataannya sebagian masyarakat dari Desa Kadu Ti’is yang melakukan perceraian tidak melalui Pengadilan. Maka dalam permasalahan ini penulis akan menelusuri dan meneliti tinjauan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 1. Faktor apa saja yang menyebabkan sebagian masyarakat di Desa Kadu Ti’is melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama? 2. Bagaimana tatacara perceraian diluar Pengadilan Agama yang dilakukan sebagian masyarakat Desa Kadu Ti’is? 3. Apakah tradisi perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama pada sebagian masyarakat desa Kadu Ti’is sesuai dengan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974?
12
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui proses perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. b. Untuk mengetahui faktor penyebab dari perceraian di Desa Kadu Ti’is tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama. c. Untuk mengetahui dampak positif dan negaifnya akibat perceraian masyarakat di Desa Kadu Ti’is. d. Untuk mengetahui tradisi perceraian di Desa Kadu Ti’is dengan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 2. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : a. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui faktor yang menyebabkan
masyarakat bercerai tanpa proses persidangan di
pengadilan b. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pentingnya perceraian melalui proses persidangan di pengadilan Agama c. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai betapa penting mempunyai surat cerai atau kekuatan hukum perceraian yang sah melalui proses persidangan di pengadilan dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
13
d. Dapat mengetahui dampak positif dan negatif perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan D. METODE PENELITIAN Untuk memperoleh data yang akan di butuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa langkah antara lain : 1. Jenis Penelitian a. Penulis kepustakaan (library research) yaitu penulis yang di lakukan dengan cara mengkaji buku-buku, literatur-literatur, dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. b. Penelitian lapangan (field research) yaitu penelitian yang di lakukan dengan cara mengumpulkan data-data lapangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. 2. Sumber Data a. Data Primer : Data yang didapat dari hasil wawancara dengan masyarakat yang bercerai tanpa melalui proses persidangan. Dalam penelitian menggunakan tehnik wawancara secara mendalam (in-depth interview) dengan
menggunakan
wawancara.
pokok-pokok
Pokok-pokok
tersebut
masalah guna
sebagai
pedoman
menghindari
terjadinya
penyimpangan dari pokok masalah penelitian dan kevakuman selama wawancara. b. Data Sekunder : Data yang memberikan bahan tidak langsung atau data yang didapat selain dari data primer. Data ini dikumpulkan melalui penelusuran buku, makalah tulis baik dari surat kabar, internet, literatur-
14
literatur yang mempunyai relevansi dalam penelitian ini dan data lapangan tempat penelitian, ataupun data lain yang berkumpul dan yang mempunyai hubungan dengan tema ini. 3. Tehnik Pengumpulan Data Dalam
pengumpulan
data-data
akurat
saat
penelitian,
penulis
menggunakan beberapa tehnik, yaitu : a. Interview (Wawancara), yaitu suatu alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi yang jelas dan akurat yang berkaitan dengan hal yang diteliti. 19 Wawancara dilakukan dengan cara mengadakan tanya jawab langsung dengan masyarakat setempat, serta tanya jawab juga dilakukan dengan lembaga pemerintahan dibidang hukum yaitu pengadilan setempat. b. Dokumentasi, yaitu dengan cara melihat dokumen dan arsip-arsip yang ada di lembaga pemerintah atau swasta setempat yang dijadikan objek penelitian serta data-data yang diperoleh dari literatur dan referensi yang berhubungan dan berkenaan dengan judul skripsi ini. c. Observasi, adalah kegiatan yang diarahkan untuk memperhatikan sesuatu secara akurat, serta mencatat fenomena atau kejadian yang muncul saat pengamatan serta mempertimbangkan hubungan aspek dalam fenomena tersebut. Observasi dilakukan penelitian apabila dalam penelitian nanti sedang terjadi kegiatan yang menjadi objek utama bagi penelitian.
19
Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah, Metodelogi Penelitian Sosial (terapan dan kebijaksanaan), hal : 39
15
4. Jenis Data Adapun jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif (deskriptif) yaitu data yang didapatkan dari buku, literatur-literatur yang mempunyai relevansi dalam penelitian ini dan data lapangan tempat penelitian. 5. Tehnik Analisa Data Dalam menyusun skripsi ini menggunakan tehnik analisa dengan cara menganalisis dan mengambil kesimpulan dari data-data yang ada. 6. Tehnik Penulisan Skripsi Adapun tehnik penulisan skripsi ini menggunakan buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Cet 1 Tahun 2005. 7. Kerangka Teori Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya, fiqh al-Sunnah menyatakan bahwa kata itlaq, yang berarti “melepaskan” atau “meninggalkan”. Selanjutnya dalam istilah agama, talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan. 20 Sedangkan Al-San’ani dalam kitabnya, subul al-salam memberikan pengertian talak menurut bahasa adalah “pelepasan ikatan yang kokoh”, sedangkan menurut istilah syara’, talak adalah pelepasan akad perkawinan. 21 20
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah [terj.] Drs. Moh. Tholib, (Bandung : Al-Ma’ruf, 1994), hal. 9
21
Al-San’ani, Subulus Salam [terj.] Abu Bakar Muhammad, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1995)
16
Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian dalam istilah ahli fikih disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, yaitu lawan kata dari berkumpul. Kemudian kedua kata ini dijadikan istlah oleh para ahli fikih yang berarti perceraian antara suami isteri. Kemudian yang dimaksud dengan perceraian atau talak disini adalah sebagaimana yang dijelaskan didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 38 menerangkan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, percerian, dan atas keputusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perUndang-Undangan tersendiri yang sudah jelas. E. REVIEW STUDI TERDAHULU Penulis melakukan review terdahulu sebelum menentukan judul skripsi, dalam review terdahulu penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya dengan perceraian. Diantaranya adalah :
17
Pertama, skripsi yang berjudul, Penyelesaian Perkara Perceraian Bersama Dengan Gugatan Penguasa Anak (analisis putusan No. 816/pdt.G/2004/PPAJT) Oleh : Ariyanih (102044124992) Tahun 2006. Skripsi menjelaskan bahwa cerai gugat diatur dalam pasal 86 ayat (1) yaitu: gugatan soal penguasa anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun sesudah perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Kedua, skripsi yang berjudul, Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Karena Penganiayaan (Studi kasus di pengadilan agama jaktim) Oleh : Desi Royalya (101044222186)Tahun 2005. Skripsi ini menjelaskan bahwa sebab berakhirnya suatu ikatan perkawinan terbagi menjadi : 1. Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami isteri masih hidup dapat terjadi atas kehendak suami dan isteri. 2. Dapat juga terjadi di luar kehendak keduanya. Ketiga, skripsi yang berjudul, Cerai Gugat Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi kasus cerai gugat karena cacat badan di pengadilan agama jaktim) Oleh : Ahmad Madroji (101044222175) Tahun 2005. Skripsi ini menjelaskan hukum cerai gugat karena cacat badan menurut KHI landasan hukum cerai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, analisa tentang cerai gugat karena cacat badan menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
18
Jelas sekali bahwa skirpsi ini berbeda dengan skripsi terdahulu. Dalam skripsi ini yang akan saya tulis mengenai tentang perilaku perceraian masyarakat kadu ti’is Mekar Jaya pandeglang. F. SISTEMATIKA PENULISAN Untuk lebih mempermudah pembahasan dan penulisan skripsi ini, maka penulis mengklarifikasikan dalam beberapa bab, dengan sistematika sebagai berikut : Pada Bab Pertama, penulis menjelaskan mengenai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Pada Bab Kedua, penulis menjelaskan mengenai pengertian perceraian, rukun dan syarat-syarat perceraian, perceraian dalam perspektif fiqh, perceraian dalam perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pada Baba Ketiga, penulis menjelaskan mengenai sejarah singkat desa kadu ti’is, letak geografis, kondisi kebudayaan, dan kondisi perekonomian di desa kadu ti’is. Pada Bab Keempat, penulis menjelaskan mengenai tradisi perceraian masyarakat di desa kadu ti’is, alasan dan faktor perceraian, akibat perceraian masyarakat di desa kdu ti’is yang membahas tentang dampak positif dan negatifnya, prosedur perceraian di desa kadu ti’is, perceraian menurur Undang-
19
Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan analisa penulis terhadap perilaku perceraian yang terjadi pada masyarakat kadu ti’is. Pada Bab Kelima, penulis menjelaskan mengenai inti kajian penelitian penulis mengenai kesimpulan dan saran-saran.
BAB II TINJAUAN HUKUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian Perceraian a. Pengertian “Putusnya Perkawinan” adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “perceraian” atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami isteri. Untuk maksud perceraian itu fiqh menggunakan istilah furqah. 1 Perceraian dalam istilah ahli fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak” berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “furqah” berarti “bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti : perceraian antara suami isteri. Perceraian berasal dari bahasa Arab yaitu Thalaq yang berarti membuka ikatan, baik ikatan nyata seperti ikatan kuda atau tawanan ataupun ikatan ma’nawi seperti
ikatan
pernikahan.
Sedangkan
thalaq
menurut
istilah
adalah
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. Secara spesifik menurut syara’ thalaq adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami isteri. 2
1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, ( Jakarta : Kencana, 2006), h. 189 2
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), Cet ke-1, h. 94
20
21
Perkataan “talak” dan “furqah” dalam istilah fiqih mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti yang umum, ialah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Arti khusus ialah perceraian yang diajtuhkan oleh suami saja. 3 Talak merupakan kalimat bahasa Arab yang artinya “menceraikan” atau “melepaskan”. Mengikuti istilah syara ia bermaksud, “melepaskan ikatan pernikahan atau perkawinan dengan kalimat atau lafaz yang menunjukkan talak atau perceraian”. Dalam Islam perceraian biasa disebut dengan talak. Dan dalam bab ini penulis akan memaparkan beberapa pengertian dari talak. Kata talak berasal dari bahasa arab “ithlaq” yang berarti “melepaskan” atau meninggalkan. Dalam istilah fiqih berarti melepaskan ikatan perkawinan, yakni perceraian antara suami isteri,4 talak merupakan perceraian yang timbul karena sebab-sebab dari pihak suami. 5 Jika suami melafazkan kalimat sindiran kepada isterinya, maka dengan sendirinya mereka berdua telah terpisah dan istrinya berada dalam keadaan iddah. Jika semasa isteri didalam iddah kedua pasangan ingin berdamai, mereka boleh
3
Ibid., h. 156
4
Muhammad Baghir Al Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al Qur’an, As Sunnah da Pendapat Para Ulama, (Bandung : Mizan, 2002), Cet Ke 2, h. 81 5
2, h. 35
Djamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta : Ghalia Indah, 1985), Cet Ke
22
☺ ☺
( :
/ق ِ )اﻟﻄﻼ
Artinya: “Maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau ceraikanlah mereka dengan cara yang baik pula”. (QS. At-Talaq : 2) Talak merupakan perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT., hal ini pun disepakati oleh para ulama sebagaimana yang terdapat dalam hadits Nabi SAW :
ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َ ﷲ ُ ﷲ ﺻَﻠّﻰ ا ِ لا َ ْﺳﻮ ُ ل َر َ َﻗﺎ: ل َ ﻋﻨْ ُﻬ َﻤﺎ َﻗﺎ َ ﷲ ُ ﻲ اا َﺿ ِ ﻋ َﻤ َﺮ َر ُ ﻦ ُ ْﻋﻦْ ِاﺑ َ :ﺳﱠﻠ َﻢ َ َو ق )رواﻩ اﺑﻮد اودواﺑﻦ م ﺟﻪ وﺻﺤﺤﻪ ِﻼ َﻄ ﷲ اﻟ ﱠ ِ ﻰا َ ل ِاﻟ ِﻼ َﺤ َ ْﺾ اﻟ ُ َاﺑْ َﻐ (اﻟﺤﺎآﻢ Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a berkata : Rasulullah SAW bersabda : perbuatan yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan dinilai shahi oleh Hakim) 6 Adapun pengertian perceraian menurut istilah ahli hukum adalah : a. Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal talak itu. b. Mazhab Maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami isteri. 7
6
7
Abu Daud, Sunan Abu Daud (Beirut : Dar al-Fikr, 1994), Jilid 2, h. 500
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam ”Nikah”, Ensiklopedia Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Cet Ke-2, Jilid 4, h. 53
23
c. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau pelepasan perkawinan dimasa yang akan datang. d. Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri. 8 Menurut Prof. Subekti, S.H. perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan dari salah satu pihak dalam perkawinan tersebut. 9 b. Hukum Perceraian Perceraian dalam Islam memang dibolehkan kalau rumah tangga yang didirikan sulit dirajut kembali, tetapi menjatuhkan talak mempunyai muatan hukum yang berbeda-beda. Hukum perceraian adalah 10 : a) Wajib Sebuah rumah tangga yang selalu ribut dan terjadi pertengkaran (syiqaq) yang sangat memuncak antara suami dan isteri, serta sudah diusahakan intervensi pihak ketiga yang terdiri dari dua orang, satu orang dari pihak suami dan satu orang lagi dari pihak isteri, yang berfungsi sebagai pendamaian. Namun usaha ini tidak membawa hasil maka sudah seharusnya talak itu dijatuhkan.
8
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1996), Cet ke-2, Jilid 9,
9
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), Cet ke-31, h. 42
h. 9
10
Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, (Yogyakarta: Darussalam Perum Griya Suryo, 2004), h. 232
24
b) Sunnah Seorang isteri yang kurang menjaga kehormatannya seperti bermata keranjang, mudah mengundang kecemburuan suaminya, bergaul terlalu dekat dengan orang lain, dan sebagainya, dan setelah diberikan peringatan oleh suaminya tentang perilaku dan sikapnya itu agar dihentikan tetapi dia tetap tidak menghiraukan, maka sebaiknya (sunnah) talak itu dijatuhkan. c) Mubah (boleh) Hubungan rumah tangga antara suami dan isterinya cenderung tertutup, pergaulan sehari-harinya kurang harmonis, ada ketidakcocokan, dan sebagainya, maka suasana rumah tangga semacam ini dibolehkan terjadi perceraian. d) Haram Seorang isteri dalam keadaan haid, atau dalam keadaan suci dan hari-hari yang dilalui antara suami dan isterinya biasa mengadakan hubungan badan, tahu-tahu suaminya mau menjatuhkan talak. e) Makruh Sebuah rumah tangga yang berjalan sebagaimana biasanya dan tidak terjadi badai sedikitpun yang dianggap bisa meretakkan keharmonisan rumah tangganya yang didirikan, maka menjatuhkan talak pada suasana semacam imi hukumnya makruh menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan pendapat Hanafi adalah haram hukumnya, karena bisa menimbulkan kesengsaraan terhadap isteri dan anak-anaknya. Ini berlandaskan kepada sabda Nabi SAW :
25
“Tidak boleh mendatangkan mudarat (kepada isterinya) dan tidak juga kepada orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad dan Malik). Talak adalah sesuatu yang halal yang dibenci oleh Allah SWT, tetapi ada talak yang dijatuhkan oleh seorang suami yang tidak dibenci oleh Allah SWT disebabkan oleh tindakan dan perilaku pasangannya 11 diantaranya : 1. Isterinya diketahui berbuat zina; 2. Isterinya berbuat nusyuz dan sudah berkali-kali dikasih peringatan; 3. Isterinya suka mabuk, penjudi, bertindak tanduk yang bisa merugikan lingkungan sekitarnya; dan 4. Isterinya susah diajak kerja sama dalam membina rumah tangga yang lebih damai dan tentram, mau menang sendiri, kurang menghargai peran suami, dan sebagainya. Talak atau sebuah perceraian itu sah apabila dijatuhkan oleh seorang lakilaki yang bertindak sebagai suami (atau bisa diwakilkan), dewasa (baligh), tidak gila, dan tidak ada paksaan. Seorang suami yang dipaksa oleh orang lain agar menceraikan isterinya tanpa sebab-sebab yang dibenarkan oleh syariat Islam, menurut Syafi’i dan Maliki, adalah tidak sah talaknya. Hal ini berlandaskan pada Nabi Muhammad SAW : “Diangkat (tidak diberikan beban hukum) kepada umatku tentang kesalahan, kelupaan dan sesuatu yang dipaksa kepadanya.” (HR. Ibnu Majah). 11
Ibid., h. 234.
26
Sedangkan pendapat Hanafi, talak yang dipaksakan kepada seorang suami dan orang yang bersangkutan mau menerimanya adalah tetap sah, karena ada tindakan menerima terhadap sesuatu yang dipaksakan itu. Adapun seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dan dia dalam keadaan mabuk, menurut Syafi’i, Maliki dan Hanafi, adalah sah jika orang yang bersangkutan itu mabuk mengikuti kemauannya sendiri, bukan karena paksaan atau darurat lainnya. Istinbath hukum semacam ini merupakan hukuman yang harus diterima oleh seorang pemabuk yang bergelimang dengan kemaksiatan. Sedangkan pendapat Hanbali, seorang suami yang sedang mabuk yang menjatuhkan talak kepada isterinya adalah tidak sah, karena pada saat itu orang yang bersangkutan sudah hilang akal atau bisa dikatagorikan orang hilang. Seorang suami yang menjatuhkan talak kepada isterinya dengan perkataan yang bolok-olok atau bersenda gurau, menurut Syafi’i dan Hanafi, adalah sah. Ini berlandaskan kepada sabda Nabi Muhammad SAW : “Ada tiga perkara: sesungguhnya memang benar-benar sungguh-sungguh dan ungkapan olok-oloknya sama dengan ungkapan yang sungguh-sungguh: yaitu nikah, talak dan rujuk.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah). Sedangkan pendapat Maliki dan Hanbali, suami yang menjatuhkan talak dengan perkataan bernada senda gurau adalah tidak sah, karena ucapan yang dilontarkan itu hanya sekedar guyonan belaka dan tidak bisa dikatagorikan yang sungguh-sungguh.
27
c. Dasar Hukum Perceraian Perceraian (thalak) dalam agama Islam diatur dalam Al-Qur’an dan AlHadits Nabi SAW. Dan adanya landasan tersebut menegaskan bahwa perceraian dalam Islam dibolehkan atau halal dilakukan sebagaimana yang tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 227 :
(227: 2 / )اﻟﺒﻘﺮﻩ
⌧
Artinya: “Dan kalau mereka tetap hendak menceraikan isterinya itu, maka Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Selanjutnya disebutkan sebagaiman firman Allah dalam Al-Qur’an suarat Al-Baqarah ayat 228 :
☺ ☺
☺ ☯
Artinya:
(228 : 2 / )ﻟﺒﻘﺮﻩ “Dan wanita-wanita yang diceraikan itu harus menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ dan tidak boleh mereka menyembunyikan isi kandungannya yang telah diciptakan oleh Allah, jika mereka benar-benar percaya kepada Allah dan hari kemudian. Dan suaminya berhak menarik kembali isterinya itu (dalam masa iddah), kalau mereka mau berdamai. Dan kaum wanita mempunyai hak terhadap kaum pria, sebagaimana kaum pria mempunyai hak terhadap kaum wanita dengan cara yang sebaik-baiknya. Hanya kaum pria
28
mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kaum wanita satu tingkat. Tuhan Maha Tinggi dan Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah : 228) Selanjutnya disebutkan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229 :
⌧ ⌧
☺
☺
☺ ⌧ ☺ ⌧
(
:
/ )اﻟﺒﻘﺮﻩ
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) itu hanya dua kali, sesudah itu harus kembali rujuk lagi dengan cara yagn sebaik-baiknya, atau diceraikan lepas dengan cara yang sebaik-baiknya pula. Dan tidak dihalalkan bagi kamu mengambil kembali apa yagn sudah diberikan kepada isterimu sedikitpun juga, kecuali kalau kedua belah pihak merasa tidak akan dapat menepati batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah. (Dalam hal ini) kalau kamu pun (para hakim) berpendapat bahwa tidak mungkin bagi kedua belah pihak dapat menepati batas-batas yang telah ditentukan oleh Allah itu, maka tidak ada dosa buat kedua belah pihak mengenai uang tebusan dari isteri-isterinya itu. Demikianlah batasanbatasan ketentuan dari Allah. Janganlah hendaknya kamu langgar batas-batas tersebut. Barang siapa yang melanggar batas-batas Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. Firman Allah SWT surat At-Thalaq ayat 1 :
29
⌧
(
:
/ )اﻟﻄﻼق
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (izinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali, Allah mengadakan sesudah itu sesuatu ketentuan yang baru”. (Q.S. At-Thalaq ayat 1). Firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 231 :
☺ ☺
30
(
:
/ )اﻟﺒﻘﺮﻩ
⌧
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya. Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula), janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan. Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan dan ingatlah nikmat Allah padamu. Dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkannya itu, dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasannya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah : 231)
B. Rukun Dan Syarat-Syarat Perceraian Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat, sebagai berikut 12 : a. Suami Suami adalah yang emiliki hak talak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah. Abu Ya’la dan Al-Hakim meriwayatkan hadits dari Jabir bahwa Rasulullah SAW bersabda : 12
Drs. H. Abdul Rahman Ghazaly, M. A., Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 201
31
ﻻ ﻃﻼق ﻻ ﺑﻌﺪ ﻧﻜﺢ وﻻ ﻋﺘﻖ اﻻ ﺑﻌﺪ ﻣﻠﻚ Artinya: “Tidak ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan. Abu Daud dan Al-Tirmizi meriwayatkan hadits dari Amir Ibn Syu’aib bahwa Rasulullah SAW bersabda :
ﻻﻧﺬر ﻻﺑﻦ ادم ﺗﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﻤﻠﻖ واﻻ ﻋﺘﻖ ﻓﻴﺎ ﻻ ﻳﻤﻠﻚ وﻻ ﻃﻼق ﻓﻴﻤﺎ ﻻ ﻳﻤﻠﻚ Artinya: “tidak ada nazar bagi anak Adam (manusia) tentang hal yang baik dimiliki, tidak ada pemerdekaan budak dalam hal yang tidak dimiliki, dan tidak ada talak dalam hal yang tidak dimiliki. Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan 13 : 1. Berakal Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya. 2. Baligh Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak oleh anak yang
13
Ibid, h. 202
32
sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, talaknya dipandang jatuh. 3. Atas kemauan sendiri Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain. Kehendak dan kesukarelaan melakukan perbuatan menjadi dasar taklif dan pertanggung jawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa melakukan sesuatu (dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak bertanggung jawab atas perbuatannya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW :
ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َ ن َو َﻣﺎاﺳْ َﺘﻜْ َﺮ ُهﻮْا َ ﻄﺎ َء َواﻟ ﱢﻨﺴْ َﻴﺎ َﺨ َ ْﻋﻦْ ُا ﱠﻣ ِﺘﻲْ اﻟ َ ﺿ َﻊ ِ ﷲ َر َ نا ِا ﱠ Artinya: “Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dari dosa silap, lupa dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya. b. Isteri Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap isteri sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap isteri orang lain. Untuk sahnya talak, bagi isteri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut 14 : 1) Isteri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Isteri yang menjalani masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenaya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga 14
Ibid, h. 203
33
menambah jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak ba’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas isterinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in itu bekas isteri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami. 2) Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. Jika ia menjadi isteri dengan akad nikah yang batil, seperti akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah dengan perempuan saudara isterinya (memadu antara dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami pernah menggauli ibu anak tirinya itu dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang ada. c. Shighat Talak Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap isterinya yang menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan atau lisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain. Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap isterinya menunjukkan kemarahannya, semisal suami memarahi isteri, memukulnya, mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka yang demikian itu bukan talak. Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan,
34
tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami tentang talak tetapi tidak ditujukan terhadap isterinya juga tidak dipandang sebagai talak. d. Qashdu (Sengaja), Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebua salak kepada isterinya, semestinya ia mengatakan kepada isterinya itu kata-kata : “Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh. 15 C. Perceraian Dalam Perspektif Fiqh Menurut istilah, adalah : melepaskan ikatan (hal al-qoid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan. 16 Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Definisi yang agak panjang dapat dilihat di dalam kitab kifayat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz jahiliyah yang setelah Islam 15
16
Ibid, h. 204
Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 207
35
datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-Qur’an, hadist, ijma ahli agama dan ahli sunnah. 17 Dari definisi diatas, jelaslah bahwa talak merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Dengan demikian ikatan perkawinan sebenarnya dapat putus dan tata caranya telah diatur baik di dalam fikih maupun di dalam UUP. Meskipun perkawinan tersebut sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat diputuskan. Perkawinan Islam tidak boleh dipandang sebagai sebuah sakramen seperti yang terdapat di dalam agama Hindu dan Kristen, sehingga tidak dapat diputuskan. Ikatan perkawinan harus dipandang sebagai sesuatu yang alamiah, bisa bertahan dengan bahagia dan bisa juga putus di tengah jalan. 18 Para ulama klasik juga telah membahas masalah putusnya perkawinan ini di dalam lembaran kitab-kitab fikih. Menurut Imam Malik srebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’ dan zihar. Imam safi’i menuliskan sebab-sebab putusnya perkawinan adalah talak, khulu, khiyar atau fasakh, syiqoq, nusyuz, ila’, zihar dan li’an. As-Sarakshi juga menuliskan sebab-sebab perceraian, talak, khulu, ila’ dan zihar. 19
17 18
19
Ibid Ibid Ibid, h. 208
36
Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal dan menghindarkan terjadinya perceraian (talak). Dapatlah dikatakan, pada prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali pada hal-hal yang darurat. Ada empat kemungkinan yang dapt terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian 20 yaitu : 1. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri Nusyuz bermakna kedurhakaan yang dilakukan seorang isteri terhadap suaminya. Hal ini bisa terjadi dalam bentuk pelanggaran perintah,
penyelewengan
dan
hal-hal
yang
dapat
mengganggu
keharmonisan rumah tangga. Berdasarkan firman Allah memberikan opsi sebagai berikut : a. Isteri diberi nasehat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya. b. Pisah ranjang. Cara ini bermakna sebagai hukuman psikologis bagi isteri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi terhadap kekeliruannya. c. Apabila dengan cara ini tidak berhasil, langkah berikutnya adalah memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya. Penting untuk
20
Ahmad Rafiq,Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 1995), h. 269-272
37
dicatat, yang boleh dipukul adalah bagian yang tidak membahayakan si isteri seperti betisnya. 21 2. Nusyuz Suami Terhadap Isteri Kemungkinan nusyuz ternyata tidak hanya datang dari isteri tetapi dapat juga datang dari suami. Selama ini sering disalah pahami bahwa nusyuz hanya datang dari pihak isteri saja. Padahal al-Qur’an juga menyebutkan adanya nusyuz dari suami sebagaimana yang tercantum pada firman Allah SWT :
⌧ ☺ ☯
☺ ⌧
☺
⌧
☯
⌧ ☺
(
:
/ ) اﻟﻨﺴﺎء
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa : 4/128)
21
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UI Press, 1986), h. 93
38
Adapun nusyuznya suami dapat terjadi dalam bentuk kelalaian dari pihak suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap isteri, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin. 3. Terjadinya siqoq Jika
kedua
kemungkinan
diatas
telah
disebutkan
di
muka
menggambarkan satu pihak yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal, maka kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya terlibat dalam syiqoq (percekcokan), misalnya disebabkna kesulitan ekonomi, sehingga keduanya sering bertengkar. Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan syiqoq. Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqoq adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami isteri tidak dapat lagi didamaikan harus dilalui beberapa proses. Sebagaimana firman Allah SWT :
☺
☺ ☯ ☺
(
:
/ ) اﻟﻨﺴﺎء
☺
⌧
Artinya: “Bila kamu khawatir terjadinya perpecahan antara mereka berdua, putuslah seorang penengah masing-masing dari pihak keluarga suami dan pihak keluarga isteri. Jika keduanya menghendaki
39
kerukunan, Allah akan memberikan jalan kepada mereka, sungguh Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa : 4/35) Berdasarkan ayat diatas, jelas sekali aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga. Dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak di karenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka. Ini lebih mudah mendamaikan suami isteri yang sedang bertengkar. An-Nawawi dalam syarah muhazzab menytakan bahwa disunnahkan hakam itu dari pihak suami isteri, dan jika tidak boleh dari pihak lain. 22 4. Salah
satu
pihak
melakukan
perbuatan
zina
(fahisyah),
yang
menimbulkan saling tuduh-menuduh antar keduanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang di dakwakan, dengan cara li’an seperti telah disinggung di muka. Li’an sesungguhnya telah memasuki “gerbang putusnya” perkawinan, dan bahkan untuk selama-lamanya. Karena akibat li’an adalah terjadinya talak ba’in kubro. 23 Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkat tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki. Seolah-olah
22
Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grouf, 2006), h. 214 23
Ibid., h. 214
40
talak menjadi hak frerogatif laki-laki sehingga bisa saja seorang suami bertindak otoriter, misalnya, mencerai isteri (perempuan) secara sepihak. 24 Jika fikih terkesan mempermudah terjadinya perceraian, maka UUP dan aturan-aturan lainnya terkesan mempersulit terjadinya perceraian ini untuk dapat terwujudnya sebuah perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang dibenarkan Undang-Undang dan ajaran agama. Jadi tidak semata-mata diserahkan kepada aturan-aturan agama. 25 D. Perceraian Dalam Perspektif UU No.1 Tahun 1974 Pada pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Namun dalam realitanya sering kali perkawinan tersebut kandas ditengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. 26 Pasal 38 UUP menyatakan : Perkawinan dapat putus karena, a. Kematian, b. Perceraian, dan c. atas keputusan pengadilan. Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau isteri meninggal dunia. Sedangkan untuk 24
Ibid, h. 215
25
Ibid, h. 216
26
Ibid., h. 216
41
sebab perceraian, UUP memberikan peraturan-peraturan yang telah baku, terperinci, dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. Dan UUP tidak menyebutkan beberapa lama jangka waktu untuk menetapkan hilangnya atau dianggap meninggalnya seseorang itu. Di dalam UUP pasal 38 tersebut dipandang cukup jelas. 27 Didalam PP No.9 Tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain diluar kemampuannya ; c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihka lain ; d. Salah satu pihak mendapt cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menghilangkan kewajibannya sebagai suami atau isteri ; e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan :
27
Ibid, h. 217
42
1)
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2)
Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3)
Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri. Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh
perceraian. Adapaun bunyi pasalnya sebagai berikut : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah : a. Baik ibu atau bapak tertap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai
penguasaan
anak,
pengadilan
memberikan
keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Berbeda dengan putusnya perkawinan dengan sebab kematian yang merupakan ketentuan Allah yang tidak bisa ditolak, sebab-sebab lain seperti
43
percerian pada dasarnya kesalahan yang bersumber dari manusia itu sendiri. Terjadinya perceraian misalnya, lebih disebabkan ketidak mampuan pasangan saumi isteri tersebut merealisasikan tujuan perkawinan itu sendiri. 28
28
Ibid, h. 220
BAB III GAMBARAN UMUM DESA KADU TI’IS A. Sejarah Singkat Desa Kadu Ti’is Nama “Ranca” adalah lahan yang dialiri air yang mengandung banyak lumpur hingga mencapai 1-2 meter sehingga lahan ini tidak di garap oleh masyarakat, nama “Bugel” adalah sebuah bukit/hutan tua, atau di sebut oleh masyarakat setempat adalah “Leuweung Kolot”, dan bukit ini mempunyai mata air yang terus mengalir ke ranca tersebut. Sehingga di satukanlah ranca dan bukit tersebut sehingga menjadi “Rancabugel” 1 Sedangkan di lihat dari sudut pemerintahan, desa Rancabugel adalah salah satu pemekaran dari Desa Wirasinga Kecamatan Cimanuk, pada tahun 1980 Desa Wirasinga di mekarkan menjadi 3 (tiga desa) yaitu Desa Wirasinga, Rancabugel dan Pasirmae, pada awalnya Desa Rancabugel masuk kepada Kecamatan Cimanuk, pada tahun 2005 ada pemekaran Kecamatan antara Kecamatan Banjar dan Kecamatan Cimanuk, dan Desa Rancabugel masuk kepada Kecamatan baru yaitu Kecamatan Mekarjaya. Desa Rancabugel pernah dipimpin oleh beberapa kepala desa diantaranya : a. Bapak Husein b. Bapak H. Dulsirad c. Bapak Nurdin 1
Wawancara Pribadi dengan Sumantri. Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari, 2010
43
44
d. Bapak Sukraya e. Bapak Sumantri B. Letak Geografis Desa Rancabugel dengan luas Wilayah seluruhnya 323 ha, Penggunaan lahan di Desa Rancabugel terdiri Lahan Sawah 150 ha dan Lahan Darat 173 ha. Lahan Darat terbagi pada lahan Perkebunan, Hutan dan Pertanian dan Pemukiman. 2 a. Batas-Batas Desa Rancabugel sebagai berikut : Sebelah Utara
: Desa Gunung Cupu Kecamatan Cimanuk
Sebelah Timur
: Desa Pareang, Desa Wirasinga
Sebelah Barat
: Desa Pasirmae Kecamatan Cipeucang
Sebelah Selatan
: Kabupaten Lebak
b. Sedangkan jarak tempuh ke desa rancabugel adalah : Jarak dari Kecamatan Mekarjaya
10 km
Jarak dari ibu kota Kabupaten
25 km
Jarak dari ibu kota Provinsi
45 km
Jarak dari ibu kota Negara
155 km
c. Daftar Kampung atau dusun, dan jaraknya dari satu kampung ke kampung lain 500 m-1 km. Diantaranya : a. Kampung Rancabugel
2
Wawancara Pribadi dengan Sumantri. Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari, 2010
45
b. Kampung Karoya c. Kampung Pasir Pogor Girang d. Kampung Pasir Pogor Kidul e. Kampung Kebon f. Kampung Dukuh g. Kampung Karya Jaya Barat h. Kampung Karya Jaya Timur i. Kampung Panamun j. Kampung Kadu Ti’is k. Kampung Garunggang l. Kampung Rancanyenang m. Kampung Dahu C. Kondisi Kebudayaan Sebelum kita membahas kebudayaan di Desa Kadu Ti’is, kita bahas pengertian kebudayaan itu sendiri terlebih dahulu. Definisi kebudayaan yang di kemukakan oleh beberapa ahli yaitu 3 : 1.
Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, adat istiadat, dan
3
Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com.
46
kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat. 2.
M. Jacobs dan B. J. Stern Kebudayaan mencakup keseluruhan yang meliputi bentuk teknologi sosial, ideologi, realigi, dan kesenian serta benda yang kesemuanya merupakan warisan sosial.
3.
Koentjaraningrat Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan relajar.
4.
Dr. K. Kopper Kebudayaan merupakan sistem gagasan yang menjadi pedoman dan pengarah bagi manusia dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun kelompok.
5.
William H. Haviland Kebudayaan adalah seperangkat peraturan dan norma yang dimiliki bersama oleh para anggota masyarakat yang jika dilaksanakan oleh para anggotanya akan melahirkan perilaku yang dipandang layak dan dapat diterima oleh semua masyarakat.
6.
Kihajar Dewantara Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni zaman dan alam yang merupakan
47
bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. 7.
Francis Merill • Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh interaksi sosial • Semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan melalui interaksi simbolis.
8.
Bounded et:al Kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi diri kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya diantara para angggota suatu masyarakat. Pesan-peasan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintah, institusi agama, sistem pendidikan, dan semacam itu.
9.
Mitchell (Dictionary of Soriblogy) Kebudayaan adalah sebagian perulangan keseluruhan tindakan atau aktifitas manusia dan produk yang dihasilkan manusia yang telah
48
memasyarakat secara sosial dan bukan sekedar dialihkan secara genetikal. 4 10. Robert H. Lowie Kebudayaan adalah segala sesuatau yang diperolah individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, nama-nama artis, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan dari kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. 11. Arkeologi R. Soekmono Kebudayaan adalah seluruh hasil usaha manusia, baik berupa benda ataupun hanya berupa buah pikiran dan dalam penghidupan. Secara etimologi (bahasa), kebudayaan berasal dari akar kata budaya (Budaya Sansekerta) “bodhya” yang diartikan pikiran dan akal budi. Berbudaya berarti mempunyai budaya, mempunyai pikiran dan akal budi untuk memajukan diri. Kebudayaan diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sebagai hasil pemikiran dan akal budinya; peradaban sebagai hasil akal budinya; ilmu pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang
dimanfaatkan
untuk
kehidupannya
dan
memberikan
manfaat
kepadanya. 5
4
Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com. 5
Dadan Anugerah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta : Jala Permata, 2008), Cet Ke-1, h. 32
49
Desa Kadu Ti’is mempunyai kebudayan tersendiri yang mungkin berbeda dari yang lainnya. Seperti dalam bidang pengetahuan : anak-anak di Desa ini pendidikannya bisa dihitung, lulusan SD jumlahnya 1.071 orang, lulusan SLTP jumlahnya 227 orang, lulusan SLTA jumlahnya 52 orang, lulusan perguruan D II jumlahnya 4 orang, SI jumlahnya 3 orang, dan yang tidak sekolah jumlahnya 412 orang, kebanyakan orang tua disini mengatakan bahwa buat apa anak saya sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka di dapur-dapur juga kerjanya dan lagian saya tidak mampu untuk menyekolahkan anak saya ke tingkat yang lebih tinggi. 6 Untuk masalah kepercayaan, masyarakat Desa Kau Ti’is masih percaya kepada Allah SWT., tetapi ada juga yang masih percaya dengan gunaguna, pelet pokoknya hal-hal yang berbau mistis. Kepercayan seperti itu sudah menjadi kebudayaan bagi masyarakat Desa Kadu Ti’is serta kota Pandeglang. Kesenian di Desa Kadu Ti’is seperti alat musik yang sering mereka gunakan adalah gendang, suling yang sering di gunakan oleh orang-orang sunda dan sering digunakan jika ada salah seorang masyarakat sedang mengadakan pernikahan maka sering memanggil dangdutan atau tarian-tarian
6
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
50
seperti jaipongan dan lain-lainnya. Bukan hanya dari segi alat musiknya saja tapi kesenian yang masih digunakan si desa ini yaitu pencak silat. 7 Adat istiadat di desa ini dalam masalah pernikahan, jika ada salah satu dari masyarakat ini ada yang melakukan pernikahan maka sesudah mereka resmi menjadi pasangan suami isteri lalu mereka digiring atau diarak keliling desa gunanya untuk mengetahui kepada penduduk desa sekitar bahwa mereka berdua telah resmi menjadi pasangan suami isteri. Pasangan suami isteri tersebut di temani oleh keluarga mereka masing-masing untuk keliling desa. Selain itu ada juga yang sudah menjadi adat istiadat masyarakat disini, seperti dalam setiap hari-hari besar contohnya maulid Nabi SAW., bulan Rajab, Roah, dan bulan Syafar. Di saat bulan-bulan tertentu itu mereka mempunyai kebiasaan melakukan sedekahan (itu sebutan bagi masyarakat Desa Kadu Ti’is). Setiap acara maulidan tanggal 12, 24, 25, dan 27 masyarakat mengeluarkan sedekah buat masyarakat sekitar seperti memberikan makanan kesetiap rumah dan semua masyarakat di Desa itu melakukannya dengan ikhlas dan senang. Pada setiap bulan Rajab pun mereka melakukan sedekahan seperti itu. Membawakan atau memberikan makanan kepada masyarakat sekitar, istilahnya mereka saling tukar-menukar makanan. Begitupun saat
7
Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 12 Juni 2010
51
menjelang datangnya bulan puasa (Roah), masyarakat sekitar memberikan atau sedekahkan makanannya kepada masyarakat sekitar.8 Jika menjelang bulan syafar, sama seperti maulidan, Rajab dan Roah sama-sama memberikan sedekahan makanannya kepada masyarakat tetapi disini yang bikin bedanya adalah setiap bulan syafar masyarakatnya diwajibkan memberikan sedekah makanannya berupa ketupat dan itu sudah menjadi tradisi di Desa Kadu Ti’is. Hanya bukan syafar saja sedekahannya harus berupa ketupat itu yang jadi utamanya di bulan syafar. Kalau kita lihat dari setiap acara hari-hari besar seperti yang diatas bahwa menggambarkan di Desa ini masih kuat agamanya tetapi kenapa masih ada yang mempercayai dengan adanya dukun ataupun yang lainnya. Dalam masalah perceraian di Desa Kadu Ti’is ini pun sudah menjadi tradisi mereka, setiap masyarakat yang melakukan perceraian tidak melalui proses persidangan di karena ada beberapa faktor penyebab yang menurut mereka tidak bisa melakukan perceraiannya di depan persidangan. Salah satu faktor penyebabnya yaitu: 1. Letak persidangannya yang jauh dari perkampungan mereka 2. Faktor ekonomi 3. Repot dan sulitnya mengurus perceraian, mereka menginginkan perceraian yagn simpel dan gampang.
8
Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 12 Juni 2010
52
4. Karena sudah adanya perceraian (tidak melalui proses persidangan) yang seperti itu di Desa Kadu Ti’is sejak berdirinya Desa tersebut. Angka perceraian di Kabupaten Pandeglang saat ini terbilang tinggi. Berdasarkan data di Pengadilan Agama (PA) dalam kurun waktu sebulan, ada 20 hingga 25 perkara. Bahkan, sampai akhir April ini, sudah 100 perkara yang selesai disidangkan.Walaupun begitu, bila dibandingkan kabupaten dan kota lain di Banten, jumlahini terbilang rendah. Humas PA Pandeglang Sopyan Maulani mengatakan, perceraian di Pandeglang mayoritas didominasi oleh faktor ekonomi. Istri dengan terpaksa menuntut suami karena merasa tidak dipenuhi kebutuhan hidupnya. “Penyebab lainnya karena ditinggal pergi dalam jangka waktu lama oleh suami,” katanya kepada Radar Banten di ruang kerjanya, Jumat (30/4). Ia menilai, jika dibanding dengan daerah lain, kasus perceraian di Pandeglang relatif kecil. “Di sini yang menggugat cerai rata-rata istri. Kalau dirata-rata jumlahnya mencapai 75 persen,” tukasnya seraya menambahkan ada empat alasan isteri menggugat cerai suami. 9 Pertama si suami meninggalkan isteri selama dua tahun lebih, kedua suami tidak memberikan nafkah wajib selama tiga bulan, ketiga menyakiti badan seperti memukul dan keempat membiarkan atau tidak mempedulikan isteri selama enam bulan. Ia melanjutkan, tahun 2008 perkara perceraian mencapai 150 perkara dan tahun 2009 meningkat jadi 280 kasus. “Jenis
9
Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com.
53
perceraian yang ditangani PA terbagi dua. Yakni gugat cerai (cerai yang diajukan isteri-red) dan permohonan ikrar talak yang disampaikan suami,”paparnya. Dalam kesempatan ini bapak yang telah 13 tahun menjadi hakim di PA Pandeglang meminta masyarakat mematuhi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam aturan itu, semua persoalan dalam pernikahan harus diselesaikan melalui jalur ini. Rain Fachrudin meminta Pemkab memperbanyak lapangan kerja sebagai solusi menekan angka perceraian. “Saya yakin gugat cerai yang diajukan isteri akan berkurang jika suami memiliki pekerjaan alias tidak menganggur,” 10 D. Kondisi Ekonomi Secara umum mata pencaharian masyarakat di Desa Rancabugel masih mengandalkan sektor pertanian yang pada umumnya dikarenakan kondisi yang sangat mendukung untuk pertanian, namun demikian ada beberapa sektor lain yang menjadi andalan pendapatan masyarakat. Seperti Buruh Perkebunan, Budidaya Ikan Air Tawar, Beternak dan Berkebun ada juga beberapa masyarakat yang berdagang kecil-kecilan, melihat kondisi jalan yang dilalui desa Rancabugel sekarang banyak yang rusak sehingga sulit untuk memasarkan hasil pertanian. 11
10
Kuntoro, ‘Pengertian Kebudayaan’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com. 11
Wawancara Pibadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
BAB IV PERCERAIAN MASYARAKAT DI DESA KADU TI’IS A. Tradisi Perceraian Masyarakat Desa Kadu Ti’is a. Prosedur Perceraian Semua masyarakat yang sudah berumah tangga sudah pasti menginginkan rumah tangganya yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Akan tetapi tidak sedikit pula masyarakat yang rumah tangganya mengalami perselisihan yang pada ujungnya berakhir dengan sebuah perceraian. Seperti halnya masyarakat di Desa Kadu Ti’is ternyata tidak semua masyarakatnya dapat atau memiliki suasana sebagaimana yang mereka inginkan. Beberapa rumah tangga tidak harmonis lagi, yang kemudian bercerai. Mereka menganggap bahwa perceraian adalah suatu jalan yang terbaik diantara mereka karena menurut mereka apabila tidak bercerai, salah satu diantara mereka merasa tersakiti dikarenakan tidak ada rasa tanggungjawab antara mereka. Selain alasan yang diatas ada juga alasan dari terjadinya perceraian diantaranya faktor ekonomi dan karena tidak saling memahami antara keduanya yang mengakibatkan perselisihan terus-menerus sehingga perceraian dipilih sebagai jalan terbaik. Perceraian bukanlah suatu yang mustahil terjadi bagi setiap masyarakat yang sudah menikah. Masyarakat yang berada di Desa Kadu Ti’is pun ada masyarakat yang bercerai akan tetapi mereka bercerai tidak mengikuti
54
55
prosedur yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Proses perceraian yang dilakukan masyarakat Kadu Ti’is yaitu perceraian tanpa melalui proses persidangan di pengadilan agama. Prosedur perceraian yang dilakukan suami isteri di Desa Kadu Ti’is langkah pertama yaitu melalui kelurahan, maupun para penghulu atau lebe dan juga tokoh masyarakat setempat. Masyarakat yang ingin melakukan perceraian biasanya mereka mendatangi Bapak RT setempat dan mereka mengemukakan alasan-alasan kenapa mereka ingin bercerai, dalam hal ini Bapak RT berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang ingin bercerai dengan segala cara, jika RT setempat tidak mampu lagi untuk mendamaikan kedua belah pihak untuk hidup rukun, maka Bapak RT menghadirkan RW setempat. 1 Tugas RT dan RW dalam hal ini yaitu bermusyawarah untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang ingin melakukan perceraian, jika RT dan RW tidak sanggup membujuk kedua belah pihak untuk rukun kembali dan tidak sanggup mendamaikan mereka maka dari pihak RT dan RW memanggil atau menghadirkan Bapak lurah, penghulu dan tokoh masyarakat juga para saksi dari pihak keluarga masing-masing. Pasangan suami isteri yang ingin melakukan perceraian setelah sudah memberitahukan kepada RT, RW, Bapak Lurah, penghulu, dan tokoh
1
Wawancara Pribadi dengan Bapak Abah Ibin, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010, Jam 14:10
56
masyarakat, kemudian suami mengucapkan kata cerai kepada isterinya yang disaksikan oleh pihak keluarga masing-masing dan dihadapan penghulu, setelah kata talak itu di ucapkan maka resmilah mereka bercerai dan bagi mereka itu sudah sah perceraian kedua belah pihak. Persyaratan yang lain yaitu hanya selembar kertas yang berisi ungkapan bahwa telah terjadi perceraian diantara keduanya, yang kemudian ditanda tangani oleh suami dan istri yang bercerai di atas materai. Dari tata perceraian yang mereka lakukakan tersebut sudah dianggap sah, dan yang menjadi bukti dari perceraian mereka adalah selembar kertas yang berisi ungkapan cerai lalu selembar kertas itu di pegang oleh kedua belah pihak yang sudah sah melakukan perceraian. 2 Tradisi atau kebiasaan perceraian yang berlaku di desa kadu ti’is sudah berlaku sejak dahulu kala hingga sekarang pun tradisi ini tetap berjalan. Bagi masyarakat kadu ti’is proses perceraian yang mereka lakukan sudah sah dan mempunyai kekuatan hukum, sehingga mereka tidak merasa takut akan hal yang datang dikemudian hari jika salah satu diantara kedua belah pihak ada menuntut hak asuh anak dan menuntut harta gono gini, karena mereka memiliki selembar kertas yang berisi ungkapan cerai yang ditanda tangani di atas materai. Itulah yang dapat dijadikan bukti oleh mereka. 3
2
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
3
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
57
Jika perceraian sudah terjadi ada kemungkinan kedua belah pihak rujuk kembali dan bisa juga tidak, dengan kata lain tetap bersatus janda atau duda bahkan ada juga yang menikah lagi dengan orang lain yang dianggap lebih baik dari pasangan mereka sebelumnya. Bagi mereka yang akan menikah lagi dengan yang lain maka harus menunjukkan tanda bukti bahwa dia sudah bercerai dengan pasangannya yang sebelumnya. Mengenai perceraian biasanya diprioritaskan adalah anak-anak dan bagaimana masa depannya. Namun bagi masyarakat Kadu Ti’is perceraian bukanlah penghalang bagi anak-anak mereka untuk mendapatkan kasih sayang dari orang tua kandung mereka. Hal ini karena mereka memberikan kebebasan kepada anaknya untuk ikut ke bapak atau ibunya. Orang tua mereka tetap mengutamakan kasih sayang kepada anak-anak mereka meskipun sudah bercerai. 4 Sedangkan mengenai harta bersama menurut tradisi masyarakat Kadu Ti’is jatuhnya kepada istri dikarenakan anak yang diperoleh dari pernikahannya yang terdahulu diasuh oleh mantan isterinya sehingga harta bersama tersebut jatuh kepda mantan isterinya guna untuk kehidupan anaknya pada saat ini dan masa depannya. Setelah terjadi perceraian suami tidak boleh mempermasalahkan mana yang menjadi hak isterinyaa dan suaminya tidak berhak untuk meminta bahkan menggunakannya sedikitpun. 5
4
5
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
58
Prosedur perceraian baik penerimaan perkara sampai jalannya persidangan secara global, mulai dari pendaftaran perkara di kepaniteraan pengadilan sampai perkara tersebut disidangkan. Awal surat gugatan atau permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani diajukan kepanitera Pengadilan Agama atau (surat gugatan diajukan pada sub kepaniteraan gugatan sedangkan permohonan pada sub kepaniteraan permohonan) Undang-Undang membedakan antara perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik Hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian. 6 Perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak dan perceraian atas kehendak isteri disebut cerai gugat. Menurut Hukum Islam suamilah yang memegang tali perkawinan, oleh karenanya suamilah yang berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak. Pemohonan cerai talak meskipun bentuknya adalah permohonan tetapi pada hakekatnya adalah kontentius (perkara gugatan). Sedangkan perceraian atas kehendak isteri disebut dengan cerai gugatan. 7 Sebelum perkara terdaftar di kepaniteraan, penitera melakukan penelitian terlebih dahulu terhadap kelengkapan berkas perkara (penelitian terhadap bentuk dari isi gugatan permohonan) sudah dilakukan sebelum perkara didaftarkan. Misalnya dalam membuat surat gugatan kepaniteraan 6
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 2003), Cet Ke4, h. 206 7
Ibid., h. 208
59
dibolehkan memberikan arahan pada penggugat apabila dalam gugatan yang dibuat tidak sesuai. Apabila terjadi kesalahan dalam gugatan atau permohonan maka tidak boleh didaftarkan sebelum petita dan positanya jelas. Jika hal tersebut terjadi maka gugatan atau permohonan tersebut terlebih dahulu harus diperbaiki, panitera sebagai pihak yang mempunyai kewenangan dalam meneliti berkas gugatan atau permohonan sebaiknya melakukan penelitian tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas perkara, lalu berkas perkara beserta resume tersebut diserahkan kepada ketua pengadilan (dengan buku ekspedisi lokal sebenarnya) dengan disertai saran tidak misalnya berbunyi “syarat-syarat cukup dan siap untuk di sidangkan”. 8 Kemudian penggugat atau pemohon menghadap kemeja I untuk menaksir besarnya biaya perkara dan menulisnya pada surat kuasa untuk membayar (SKUM). Besarnya biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut. Hal ini sejalan dengan pasal 193 Rbg atau pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 ayat (1) UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yang meliputi : a. Biaya kepaniteraan dan biaya materai b. Biaya pemeriksaan saksi ahli, juru bahasa dan biaya sumpah
8
Raihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Cet Ke2, Cet Ke8, h. 129
60
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut. 9 Ketentuan diatas tidak berlaku bagi yang tidak mampu dan diizinkan untuk mengajukan gugatan perkara secara prodeo (Cuma-Cuma). Ketidak mampuannya dapat dibuktikan dengan melampirkan surat keterangan dari lurah atau kepala desa setempat yang dilegalisir oleh camat. Setelah itu, penggugat atau pemohon menghadap kemeja II dengan menyerahkan surat gugatan atau permohonan dan surat kuasa untuk membayar (SKUM) yang telah dibayar. Setelah selesai, kemudian surat gugatan atau permohonan tersebut dimaksudkan dalam map berkas acara, kemudian menyerahkannya pada wakil panitia untuk disampaikan kepada ketua pengadilan melalui panitera. 10 Setelah terdaftar, gugatan diberi nomor perkara, kemudian diajukan kepada ketua pengadilan, setelah ketua pengadilan menerima gugatan maka ia menunjuk hakim yang ditugaskan untuk menangani perkara tersebut. Pada prinsipnya pemeriksaan dalam persidangan dilakukan oleh hakim maka ketua
9
Pasal 90 ayat (1), Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h. 74 10
M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), Cet Ke2, h. 14
61
menunjuk seorang hakim sebagai ketua majelis dan dibantu dua orang hakim anggota. 11 Setalah itu hakim bersangkutan dengan surat ketetapannya dapat menetapkan hari, tanggal serta jam, kapan perkara itu akan disidangkan, ketua majelis memerintahkan memanggil kedua belah pihak supaya hadir dalam persidangan. Pasal 121 HIR, 12 untuk membantu majelis hakim dalam menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih penitera sidang dalam hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti. 13 Tata cara memanggil dimana harus secara resmi dan patut, yaitu : a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi yang dipanggil ditempat tinggalnya. b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada kepala desa dimana ia tinggal. c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli warisnya.
11
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), Cet Ke6, h. 39 12
M. Fauzan, Pokok-Pokok Acara Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), Cet Ke2, h. 13 13
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), Cet Ke1, h. 214
62
d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah (tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil) kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan. e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai. 14 Sedangkan proses pemeriksaan perkara di depan sidang dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang telah tertera dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan dari UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pasal 54 15 : “hukum acara yang berlaku pada pengadilan Agama dalam lingkungan peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini”. Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya bersifat cecking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada uapaya perdamaian, inisiatif perdamaian dapat timbul dari hakim penggugat ataupun tergugat. Hakim harus sungguh-sungguh mendamaikan para pihak apabila ternyata upaya perdamaian yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang
14
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), Cet Ke6, h. 40 15
Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, h. 202-203
63
dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan diwali dengan membaca surat gugatan. 16 Selanjutnya pada tahap dari tergugat, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap penggugat melalui hakim. Pada tahap replik penggugat kembali menegaskan isi gugatannya yang dilakukan oleh tergugat dan juga mempertahankan diri atas sanggahan-sanggahan yang disangkal tergugat. Kemudian pada tahap duplik, tergugat dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh penggugat. 17 Tahap replik dan duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian, penggugat dan tergugat mengajukan semua alat-alat bukti yang demikian untuk mendukung jawabannya (sanggahan-sanggahan), masingmasing pihak berhak menilai alat bukti pihak lawannya. Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketanya.
16
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), Cet Ke6, h. 41-42 17
Ibid., h. 43
64
b. Alasan Perceraian dan faktor perceraian Yang dimaksud dengan alasan perceraian di sini adalah suatu kondisi dimana suami atau isteri mempergunakannya sebagai alasan untuk mengakhiri atau memutuskan tali perkawinan mereka. Di Indonesia dalam hal masalah perceraian telah diatur dalam rangkaian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dan sebagai warga Negara Indonesia sudah sepatutnya kita harus mentaati dan menjalankan peraturan yang ada. Pada pasal 39 ayat 1 menerangkan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Dalam hal terjadinya perceraian haruslah memenuhi beberapa alasanalasan. Sehingga perceraian tersebut dapat terlaksana, hal ini sesuai dengan pasal 39 ayat 2 undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi : “Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.” Tradisi perceraian masyarakat di Kadu Ti’is yang dilakukan diluar persidangan di Pengadilan Agama sudah menjadi adat atau kebiasaan yang dilakukan masyarakat di desa ini dan berlaku hingga sekarang. Perceraian yang terjadi ini terdapat berbagai macam alasan diantaranya yaitu: 18
18
Wawancara Pribadi dengan Abah Ibin, Desa Kadu Tti’is Pandegllang, 13 Februari 2010
65
1. Faktor ekonomi, seperti yang sudah kita ketahui biaya perceraian melalui Pengadilan Agama sangatlah tinggi sehingga bagi masyarakat yang berlatar belakang ekonomi menengah kebawah dalam hal ini masyarakat Kadu Ti’is tidaklah mampu menyelesaikan masalah perceraian mereka melalui Pengadilan Agama. 2. Waktu persidangan (proses persidanga sangat lama) 3. Karena perselingkuhan dari salah satu pihak (suami atau isteri) dan 4. Karena meninggal dunia. Berdasarkan alasan-alasan diatas yang banyak terjadi perceraian di Desa Kadu Ti’is dikarenakan meninggal dunia dan perselingkuhan. Bagi masyarakat Desa Kadu Ti’is jika telah terjadi perselingkuhan maka jalan yang terbaik yaitu perceraian, hal ini dianggap bila diteruskan rumah tangganya tidak akan harmonis lagi. 19 Sebenarnya masih banyak alasan-alasan yang sering terjadi dalam perceraian di dalam rumah tangga masyarakat Desa Kadu Ti’is yaitu dikarenakan faktor perekonomian, kurangnya komunikasi antara suami dan isteri, ditinggal mati (meninggal) oleh salah satu dari mereka, perselingkuhan. Alasan tersebut yang sering membuat perceraian terjadi. Perceraian yang dilakukan di luar persidangan yang sudah menjadi tradisi di Desa Kadu Ti’is ini merupakan hal yang tidak boleh berlaku lagi di
19
2010
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari,
66
Indonesia. Prosedur perceraian sudah diatur sedemikian rupa, sehingga perceraiannya sah menurut Agama dan Negara. Sedangkan yang melatar belakangi terjadinya perceraian di luar persidangan di Desa Kadu Ti’is yang paling utama adalah faktor ekonomi. 20 Dengan kurangnya ekonomi bagi masyarakat Kadu Ti’is ini suatu hambatan bagi mereka untuk menjalankan peraturan-peraturan hukum yang ada di Indonesia khususnya mengenai perceraian. Masyarakat Kadu Ti’is merasa tidak mampu untuk membayar pengeluaran untuk mengurusi prosedur perceraian yang dilakukan di pengadilan. Maka mereka memilih untuk bercerai yang tidak sah menurut Negara, yaitu yang hanya dihadiri dari pihak KUA, suami dan isteri yang akan bercerai kemudian mendatangani surat cerai yang ditulis di selembar kertas yang bermaterai. Mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian ada beberapa alasan yang melatarbelakangi kenapa perceraian dapat terjadi. Hal ini dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam pasal 116 dan PP No. 9 tahun 1975 pasal 19. Terdapat juga pasal 39 ayat 2 UUP No.1 tahun 1974. Alasan perceraian menurut hukum Islam adalah : 1. Tidak ada lagi keserasian dan keseimbangan dalam suasana rumah tangga, tidak ada lagi rasa kasih sayang yang merupakan tujuan dan hikmah dari perkawinanan
20
2010
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari
67
2. Karena salah satu pihak berpindah Agama 3. Salah satu pihak melakukan perbuatan Keji 4. Suami tidak memberi apa yang seharusnya menjadi hak Isteri 5. Suami melanggar janji yang pernah diucapkan sewaktu Akad Pernikahan (Taklik Talak). 21 Hal-hal yang menjadi sebab putusnya Ikatan Perkawinanan antara seorang suami dengan seorang Isteri yang menjadi pihak-pihak terkait dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 38 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan ada tiga sebab, yaitu karena kematian, karena Perceraian, dan atas keputusan pengadilan agama. 22 Perceraian bisa merupakan sebab hak suami, sebab hak istri, dan sebab keputusan pengadilan. 1. Sebab yang merupakan hak suami Islam memperbolehkan untuk memutus ikatan perkawinan atas dasar kemauan pihak-pihak. Suami di beri hak untuk melaksanakan suatu perbuatan hukum yang akan menjadi sebab pemutusannya. Perbuatan hukum itu disebut dengan Talak. 23 2. Sebab yang merupakan Hak Isteri. 21
Muhammad Hamidy, Perkawinan Dan Permasalahannya, (Surabaya : Bina Ilmu, 1980), h.
22
Ahmad Khuzari, MA., Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995), Cet 1, h. 117 23
Ibid, h. 117-118
68
Isteri diberi hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang menjadi sebab putusnya perkawinan, perbuatan hukum tersebut adalah Khul’un. 24 Isteri meminta suaminya untuk melakukan pemutusan tali ikatan perkawinan dengan cara isteri menyediakan pembayaran untuk menembus dirinya kepada suami. 3. Sebab atas keputusan Pengadilan. Sesuai dengan kedudukannya, kekuasaan atau hak pengadilan berada di luar pihak-pihak yang mengadakan akad sehingga dalam hal pemutusan hubungan ikatan perkawinan ini pengadilan tidak melakukan inisiatif keterlibatannya terjadi apabila salah satu pihak, baik pihak suami ataw pihak isteri mengajukan gugatan atau permohonan kepada pengadilan. 25 Suami isteri memiliki hak yang sama untuk melakukan perceraian karena para pihak itu tidak melaksanakan hak dan kewajiban dalam rumah tangga. Akan tetapi perceraian itu, harus dengan alasan-alasan yang sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang. Adapun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan pasal 39 ayat 2 dijelaskan bahwa untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang dapat di jadikan dasar untuk perceraian, oleh karena itu dalam peraturan pemerintahan nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 24
Ibid, h. 121
25
Ibid, h. 123
69
19 dan dalam kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 dan 51 menjelaskan tentang alasan perceraian yang dapat terjadi. Untuk itu penulis berusaha untuk menguraikannya satu persatu sebagai berikut : 1.
Salah satu pihak berbuat Zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan Zina adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Zina merupakan alasan untuk bercerai. Pembuktian zina ini dapat dibuktikan dengan mendengar kesaksian para saksi yang memang benar-benar mengetahuai perbuatan zina tersebut. Namun dalam pembuktian ini sangat sulit untuk di buktikan, maka dalam persidangan digunakan istilah perselingkuhan. Awal dari perbuatan ini menimbulkan pertengkaran serta memancing konflik dalam rumah tangga secara terus menurus.begitu pula dengan perbuatan judi, madat serta mabuk yang berdampak sama dengan perbuatan zina.
2.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. Perceraian dengan alasan diatas bertujuan untuk melindungi pihak yang ditinggalkan karena tidak ada kejelasan tentang informasi keadaan pihak yang meninggalkan. Jadi pihak yang ditinggalkan dapat dilindungi dari haknya.
70
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukumannya lebih berat setelah per kawinan berlangsung. Dalam peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 23 disebutkan bahwa : Gugatan perceraian karena salah seorang suami atau isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun hukuman yang lebih berat, sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 19 huruf (c) maka untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memutus perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Hal ini berarti pihak tergugat tidak dapat melumpuhkan alat bukti yang diajukan penggugat, karena hakim pun terikat secara mutlak atas alat bukti tersebut, dengan syarat : a. Hukuman yang dijatuhkan paling rendah lima tahun penjara b. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Adanya keterangan dari pengadilan yang bersangkutan, menjelaskan bahwa putusan pidana tersebut telah benar mempunyai hukum tetap d. Putusan dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung antara suami isteri. 26 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
26
M. Yahya Harap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1993), Cet Ke 2, h. 260
71
Jika seorang suami melakukan penganiayaan berat terhadap isterinya, maka isteri berhak mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya di pengadilan. Sebagai langkah untuk tidak terjadi lagi hal-hal yang lebih buruk lagi. 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri. Cacat badan juga dapat dijadikan alasan untuk bercerai, ini disebabkan oleh karena salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami isteri. Perceraian pada alasan ini bisa tidak terjadi kalau masingmasing pihak dapat menerima kekurangan serta kelebihan masing-masing. 6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak pada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pertengkaran yang terjadi antara suami isteri secara terus menerus ini berdampak buruk bagi kelangsungan hidup rumah tangga mereka. Semua usaha harus dilakukan untuk berdamai antara suami isteri tersebut tapi kalau tidak bisa maka salah satu jalan adalah perceraian. Masyarakat Desa Kadu Ti’is melakukan perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama karena ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat hanya melakukan perceraiannya melalui saksi-saksi dari kedua belah pihak. Faktor diantaranya letak Pengadilan Agama yang jauh dari perkampungan mereka, ketidak tahuan mereka dalam melakukan
72
perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan lain sebagainya. Faktor yang menyebabkan perceraian sering terjadi dalam rumah tangga di Desa Kadu Ti’is diantaranya yaitu 27 : 1. Faktor Perekonomian Masyarakat Desa Kadu Ti’is masih mengandalkan dari sektor pertanian karena kondisi yang sangat mendukung untuk pertanian, ada beberapa sektor lain yang menjadi andalan masyarakat Desa Kadu Ti’is seperti dari perkebunan salah satunya kelapa muda yang sering dijual keluar daerah, pertenakan seperti melihara kambing, ayam dan sebagainya. Mereka hanya mengandalkan penghasilan dari perkebunan, pertanian dan perternakan saja, itupun tidak banyak yang didapat dari penghasilan tersebut. 2. Letak Pengadilan Agama yang jauh Jarak antara perkampungan dengan kotanya sangat jauh dijangkau oleh masyarakat perkampungan. Bukan hanya letak Pengadilan saja yang jauh tapi dari perkampungan kepasarpun sangat jauh jaraknya dan sulit dijangkau oleh masyarakat perkampungan. Kebanyakan masyarakat yang bertempat tinggal diperkampungan seperti di Desa Kadu Ti’is ini harus mempunyai kendaraan seperti motor. Motor yang mereka punya hampir
27
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumantri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010, Pukul 13:00
73
seluruhnya motor bodongan yang tidak mempunyai STNK dan mesin yang sudah diganti oleh mereka masing-masing. Masyarakat sekitar walaupun membeli motor bodongan seperti itu, bagi mereka yang penting hanya sebagai kendara untuk mereka pergi jauh-jauh seperti kepasar itu sudah jauh jika sudah melewati pasa mereka tidak berani karena sudah banyak polisi, bisa-bisa mereka terkena tilang oleh polisi. 3. Faktor ketidak tahuan masyarakat terhadap perceraian Pada dasarnya masyarakat yang tinggalnya di perkampungan ataupun di pedesaan tidak mengetahui adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Ada juga yang sudah mengetahui tapi berpura-pura tidak mengetahuinya, itu yang membuat masyarakatnya menjadi tidak memperdulikan terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada. 4. Faktor Pendidikan Pendidikan masyarakat di Desa Kadu Ti’is kebanyakan lulusannya hanya sampai tingkat SLTA, untuk melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi lagi orang tua tidak bisa membiayainya dikarenakan mahalnya biaya perguruan tinggi. Bagi orang tua disana, anak mereka bisa bersekolah sampai tingkat SD saja sudah bersyukur alhamdulilah. Masyarakat di Desa Kadu Ti’is hanya lulus sampai SD dan yang tidak bersekolah jumlah masih banyak sekitar 412 orang makanya mereka tidak mengetahui peraturan diluar dari Desa mereka seperti peraturan Undang-Undang tentang perceraian dan yang lain-lain. Jika kita lihat pendidikan di Desa
74
Kadu Ti’is sudah jelas bahwa sangat kurangnya pendidikan disana. Pengetahuan serta wawasan masyarakat disana sangat kurang sekali, makanya mereka tidak mengerti tentang apa itu Undang-Undang, cara menggunakan komputer, dan yang lainnya. Ada yang melanjutkan sampai keperguruan tinggi S1 jumlahnya 3 orang dan DII jumlahnya 4 orang. Rata-rata masyarakat yang mempunyai gelar DII dan S1 menjabat sebagai lurah di desa dan ada juga yang menjadi tokoh Agama yang suka mengajar ngaji disana pokoknya masyarakat yang sekolahnya sampai tingkat tinggi mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sekitar dan dihormati. c. Kekuatan Hukum Perceraian Tidak ada seorang pun yang ketika melangsungkan perkawinan mengharapkan akan mengalami perceraian. Apalagi jika dari perkawinan itu telah dikaruniai anak. Walaupun demikian ada kalanya ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan lagi sehingga terpaksa harus terjadi perceraian antara suami isteri. Untuk melakukan perceraian pihak yang ingin melakukan perceraian harus mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa ”pengadilan hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
75
kedua belah pihak yang akan bercerai itu, maka perceraian tidak jadi dilakukan. Dalam hal ini adanya ketentuan bahwa perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan, semata-mata ditujukan demi kepastian hukum dari perceraian itu sendiri. Seperti diketahui bahwa putusan yang berasal dari lembaga peradilan mempunyai kepastian hukum yang kuat, dan bersifat mengikat para pihak yang disebutkan dalam putusan itu. Dengan adanya sifat yang mengikat ini, maka para pihak yang tidak mentaati putusan pengadilan dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai contoh, bekas suami yang tidak mau memberikan biaya hidup yang ditentukan oleh pengadilan selama isteri masih dalam masa iddah atau tidak mau memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anank yang di wajibkan kepadanya, dapat dituntut oleh bekas isteri dengan menggunakan dasar putusan pengadilan yang telah memberikan kewajiban itu kepada bekas suami. Adapun pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara perceraian ialah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam. 28 Setelah perkawinan putus karena perceraian, maka sejak perceraian itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dalam arti telah tidak ada upaya hukum lain lagi oleh para pihak, maka berlakulah segala akibat putusnya perkawinan karena perceraian. Jika dari perkawinan yang telah dilakukan,
28
Soemati, ‘Kekuatan Hukum Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 20 Agustus 2009 dari http://docs.google.com
76
terdapat anak, maka terhadap anak tersebut berlaku akibat perceraian sebagaimana diatur dalam pasal 41 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Itu kekuatan hukum menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sedangkan menurut tradisi di Desa Kadu Ti’is bagi suami isteri yang ingin bercerai hanya mendatangkan saksi kedua belah pihak dan di depan bapak Sumantri (dalam kedudukan/jabatan sebagai lurah)setelah itu pihak-pihak yang akan melakukan perceraian menandatangi surat cerai diatas selembar kertas yang bermaterai, selembar kertas yang bermaterai tersebut oleh masyarakat lingkungan desa Kadu Ti'is beranggapan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, setelah itu kertas tersebut di pegang oleh kedua belah pihak yang sudah sah bercerai. Kemudian ada lagi tradisi yang menganggap atau melakukan perceraian hanya dengan ucapan yang di ucapkan di depan saksi-saksi kedua belah pihak seperti orang tua dari sang suami dan kedua orang tua sang isteri. Sebenarnya kekuatan hukum yang seperti itu tidak sah jika dilihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. kekuatan hukum tersebut juga tidak bisa dijadikan bukti jika suatu saat nanti salah satu dari mereka melakukan tuntutan seperti kewajiban mantan suami memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak maka sang isteri tidak bisa menuntut mantan suaminya dikarenakan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap yang bisa dan mengharuskan mantan suaminya memberikan biaya pemeliharaan dan
77
pendidikan anaknya. Kekuatan hukum mereka hanya sebuah selembar kertas yang bermaterai saja, itu tidak bisa dijadikan kekuatan hukum tetap atau kekuatan hukum yang kuat dan bersifat mengikat karena tidak ada keputusan dari pengadilan, itu hanya keputusan dari kedua orang tua mereka masingmasing. Tradisi perceraian di Desa Kadu Ti’is tidak pernah mengalami permasalahan seperti menuntut mantan suami agar memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak atau sebaliknya mantan isteri dituntut untuk melakukan keadilan dalam mengatur anaknya untuk bisa hidup bersama mantan suaminya B. Akibat Perceraian Masyarakat Di Desa Kadu Ti’is Akibat perceraian ialah bahwa suami dan isteri hidup sendiri-sendiri, isteri atau suami dapat bebas untuk menikah lagi dengan orang lain. Perceraian membawa konsekwensi yuridis yang berhubungan dengan status isteri, status anak dan status harta kekayaan. Sesudah perceraian bekas isteri dapat bebas untuk menikah setelah masa iddah berakhir. Persetubuhan antara bekas suami dan bekas isteri dilarang, sebab mereka sudah tidak terikat dalam pernikahan yang sah lagi. Terhadap isteri, sebagai akibat terjadinya perceraian, isteri dapat menikah kembali setelah masa iddah berakhir baik dengan bekas suami ataupun dengan orang lain. 29
29
Masyudin, ‘Akibat Perceraian’, Artikel Diakses Pada Tanggal 19 Juli 2010 dari http://www.Skripsi-Tesis.com,
78
Akibat dari perceraian tersebut yaitu berdampak terhadap isteri yang berstatus janda atau suami yang berstatus duda, perebutan hak asuh anak, perkembangan anak dan psikologi terhadap anak, kecewanya orang tua dari masing pihak yang melihat anaknya telah bercerai dan masih banyak lagi akibat dari perceraian. Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai, dan perceraian yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada pasal-pasal berikut ini, yaitu : 1. Dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 30 disebutkan, akibat putusnya perkawinan karena percerian ialah : a. Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan
mengenai
penguasaan
anak-anak
pengadilan
menghindari keputusan: b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang di perlukan anak itu; Bilamna
bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut:
30
Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2006), h. 549
79
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri; 2. Dalam Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) 31 dinyataakan, bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. Memberikan Mut’ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda kecuali bekas isteri tersebut Qobla al-Dukhul; b. Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil: c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separoh apabila Qobla al-Dukhul; d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun: e. Dalam Pasal 150 dinyatakan, bekas suami berhak melakukan rujuk’ kepada bekas isterinya yang masih dalam masa iddah; f. Dalam Pasal 151 dinyatakn, Bekas Isteri selama dalam masa iddah, wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain;
31
h. 149
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta ; Akademik Presindo, 2004),
80
g. Dalam Pasal 152 dinyatakan, Bekas isteri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz; h. Dalam Pasal 156 dinyatakan Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a. Anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: 1. Wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu; 2. Ayah; 3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; 5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah; b. Anak yang sudah mumayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya; c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula; d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuanya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);
81
e. Bilammana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b),(c), dan (d); f. Pengadilan
dapat
pula
dengan
mengingat
kemampuan
ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Menurut masyarakat Desa Kadu Ti’is perceraian itu bisa berdampak kepada semua orang. Berdampak di sini dibagi menjadi dua bagian yaitu dampak positif dan dampak negatif. a. Dampak Positif Perceraian adalah perbuatan yang sangat di benci oleh Allah SWT. Karena perceraian itu bisa berdampak kepada semua orang, seperti berdampak kepada diri sendiri, orang tua dan yang terutama berdampak buat anak sendiri. Walaupun perceraian itu di benci oleh Allah tapi masih ada saja yang melakukan perceraian karena jalan terakhirnya adalah perceraian dan hanya jalan itu yang terbaik buat keduanya. Di Desa Kadu Ti’is perceraian menurut masyarakatnya berbeda-beda, ada yang mengatakan perceraian yang mereka lakukan itu yang terbaik buat keduanya, ada juga yang mengatakan bahwa perceraian itu mereka lakukan karena sang suami yang kunjung tidak ada kabarnya dan tidak memberikan nafkah lagi kepada isteri dan anaknya, ada juga yang mengatakan bahwa dari
82
pada harus menahan rasa sakit hati karena melihat suami selingkuh lebih baik perceraianlah yang Ibu Nengsih lakukan. Menurut masyarakat Desa Kadu Ti’is perceraian dimana-mana berdampak negatif tidak ada dampak positifnya. Penulis penasaran dengan pengakuan dari salah seorang Ibu Nengsih yang menyatakan bahwa ia mengalami perceraian oleh suaminya dikarenakan adanya perselingkuh antara suami saya dengan perempuan lain selama ia bekerja di Jakarta. Mengapa penulis penasaran dengan perceraian yang dialami oleh ibu Nengsih? Karena ibu Nengsih satu-satunya masyarakat di Desa Kadu Ti’is yang mengatakan bahwa perceraian berdampak positif buat dirinya sendiri dan anaknya, walaupun tidak menutup kemungkinan perceraian tersebut berdampak negatif buat sang buah hati (anak). Timbul pertanyaan penulis mengapa ibu Nengsih mengatakan bahwa perceraian ini berdampak positif bagi ibu sendiri. Perrtanyaan penulis dijawab bahwa 32 : ”Dampak positifnya status bagi saya jadi lebih jelas dan tidak digantung oleh yang tidak kunjung pulang dan menunggu kiriman uang buat kebutuhan hidup sehari-hari saya dengan anak tidak kunjung dikirim, saya lama-lama jenuh menunggu yang tidak jelas dan tidak ada kepastian dari suami sehingga saya mengambil tindakan menuntut bercerai dengan suami. Alasan lain sehingga saya berkeras menuntut bercerai diketahui bahwa selama ini suami saya tidak mengirimkan uang dan tidak pernah pulang-pulang ke 32
Wawancara Dengan Ibu Nengsih, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
83
kampung, karena suami saya telah berselingkuh dengan perempuan lain di Jakarta. Setelah saya bercerai dengan suami saya, saya merasa lega dan senang karena pada akhirnya saya mempunyai status yang saya sandang yaitu single parent walaupun sebenarnya di dalam hati saya merasakan sakit yang begitu mendalam karena saya tidak percaya dengan apa yang dilakukan oleh suami saya. 33 Sebenarnya mempunyai status single parent tersebut tidaklah mudah karena saya harus berkerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup saya dan anak saya, yang pada saat itu masih kecil. Hidup diperkampungan seperti ini memanglah sulit karena jauh dari mana-mana apa lagi pekerjaan. Pekerjaan saya hanya bertani menanam padi agar hasil padi saya bisa di jual ke luar kota dan yang pastinya saya bisa menghasilkan uang agar saya bisa memenuhi kehidupan saya dan anak saya. 34 Dampak positif yang ibu Nengsih rasakanpun bukan hanya itu saja tapi ibu Nengsih bisa lebih banyak mendapatkan pengalaman hidup, bisa mengontrol emosinya sendiri, bisa menata hidupnya kembali dengan orang lain dan lain sebagainya. Dengan kesabaran ibu Nengsih dan terus menjalankan hidupnya sendiri beserta anaknya dan mendidiknya dengan sungguh-sungguh.
33
Wawancara Pribadi dengan Ibu Nengsih, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
34
Wawamcara Pribadi dengan Ibu Nengsih, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
84
Seperti yang telah kita ketahui menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 153 ayat 2 b : Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurangkurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. 35 Seperti yang sudah dijelaskan diatas, sebelum Ibu Nengsih menjalankan masa Iddah selama 3 (tiga) kali suci selama masih datang bulam jika tidak datang bulan maka masa Iddah 90 (sembilan puluh) hari setelah masa Iddah selesai maka Ibu Nengsih diperbolehkan menikah kembali. Setelah menikah dan mempunyai keluarga baru, ibu Nengsih tidak ingin mengalami perceraian untuk yang kedua kalinya, untuk itu ibu Nengsih akan lebih memperbaiki lagi kehidupannya. b. Dampak Negatif Jika kita melihat dari sisi negatif perceraian, maka dampak dari perceraian itu sangatlah buruk kepada psikologi anak dan perkembangan anak itu sendiri. Memang sangat tidak adil khususnya buat anak sendiri yang harus melihat kedua orang tuanya berpisah atau bercerai. Mengapa sebagai orang tua tidak pernah melihat atau memikirkan dampak dari perceraian yang mereka lakukan terhadap anaknya dan kenapa harus anak yang menjadi korban dari perceraian orang tua kita
35
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 49
85
Idealnya, seorang anak dibesarkan dalam keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu. Tetapi kadangkala keadaan ”memaksa” seorang ibu membesarkan anak seorang diri. Meski si ibu sudah merawat dan memperhatikan si anak, tapi tetap saja ada dampak psikologis yang akan dialami oleh anak yang dibesarkan tanpa figur ayah. 36 Menurut Lifina Dewi, M. Psi, psikolog dari Universitas Indonesia, ”Pada anak-anak yang memiliki sifat tegar atau tidak memperdulikan keadaan yang sebenarnya mungkin dampaknya tidak terlalu terlihat tapi untuk anak yang sensitif pasti akan terjadi perubahan perilaku, misalnya jadi pemurung atau suka menangis diam-diam, hal ini biasanya terjadi pada anak yang orang tuanya bercerai. 37 Kadangkala, perceraian adalah satu-satunya jalan bagi orang tua untuk dapat terus menjalani kehidupan sesuai yang mereka inginkan. Namun apapun alasannya, perceraian selalu menimbulkan akibat buruk pada anak, meskipun dalam kasus tertentu perceraian dianggap merupakan alternatif terbaik daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan pernikahan yang buruk. Jika memang perceraian adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan tak terhindar lagi, apa tindakan terbaik yang harus dilakukan
36
Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com, 37
Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com,
86
oleh orang tua (Mama dan Papa) untuk mengurangi dampak negatif perceraian tersebut bagi perkembangan mental anak-anak mereka. Dengan kata lain bagaimana orang tua menyiapkan anak agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi akibat perceraian. 38 Sebagai orang dewasa, mudah bagi kita memahami bahwa pernikahan tidak selamanya berlangsung sesuai harapan dan rencana. Setiap orang berubah, perubahan berdampak pada penyesuaian kebutuhan; termasuk kebutuhan untuk diperhatikan dan dicintai. Kondisi ini beresiko mengubah perasaan pada pasangan, rasa cinta bekurang, atau jatuh cinta pada orang lain, hingga akhirnya berujung pada keputusan untuk berpisah. 39 Entah apapun penyebabnya, perpisahan selalu menciptakan kesedihan bagi pihak yang merasa ditinggalkan, atau dikhianati. Akan lebih mudah kondisinya jika perpisahan hanya melibatkan pasangan. Banyak sekali dampak negatif perceraian yang bisa muncul pada anak.”Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi pembangkang, tidak sabaran, impulsif, dan lain-lain. Bisa jadi, anak akan merasa bersalah dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab perceraian orang tuanya. ”Anak akan mempunyai pikiran: ’Ah jangan-jangan saya yang membuat papa dan mama bercerai,’ sehingga muncul rasa marah dan bersalah
38
Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com, 39
Wawancara Pribadi dengan Bapak Sanuri, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
87
pada dirinya.” Apalagi jika dalam proses selanjutnya, terjadi perebutan anak antara suami isteri. ”Anak menjadi sulit untuk memilih, pingin ikut ayah, tapi kok akhirnya ikut sang ibu. Ia akan merasa menjadi biang keladi perebutan hak asuh anak.” Dampak lain adalah anak jadi apatis, menarik diri, atau sebaliknya, mungkin kelihatan tidak terpengruh oleh perceraian orang tuanya. ”Orang tua harus berhati-hati melihat, apakah ini memang reaksi yang wajar, karena dia sudah secara matang bisa menerima hal itu, atau hanya pura-pura.” Anak juga bisa menjadi tidak percaya diri dan merasa takut menjalani kedekatan dengan lawan jenis, anak bisa jadi akan dendam pada orang tuanya, seperti terlibat drugs dan alkohol, dan yang ekstrem, muncul pikiran untuk bunuh diri.” 40 Psikolog, Dra. Sugiarti Musabiq, M. Kes, mengungkap pentingnya ayah dan ibu yang telah berpisah untuk tidak mementingkan kepentingan diri sendiri. ”Perceraian, bagaimanapun prosesnya, memang tetap mengandung konflik dan mempengaruhi emosi pasangan maupun anak. Senantiasa ada masa transisi yang relatif berat. Masa transisi yang dimaksud adalah perubahan keadaan yang semula tenang menjadi bergejolak karena ketidaksepahaman maupun konflik antara pasangan, yang mau tidak mau
40
Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com,
88
berefek pada sikap, tingkah laku dan perkataan, baik yang disadari maupun tidak”. 41 Agar dampak proses perceraian dapat diminimalisasi pada anak, pastikanlah anda dan pasangan melakukan langkah-langkah berikut ini : a. Sampaikan baik-baik Anak mengingat saat-saat orang tua menyampaikan berita perceraian dalam waktu yang sangat panjang. Karena berita ini membuatnya panik, menguncang rasa aman dirinya. Idealnya berita ini disampaikan bersamasama pada anak oleh anda dan pasangan. Sampaikan bahwa keputusan itu diambil untuk kebaikan bersama. Jelaskan juga bahwa pernikahan ini diawali oleh cinta, dan sebenarnya anda mengharapkan untuk selalu bersama. Tetapi setelah dijalani hal tersebut tidak terlaksana. Ungkapan juga bahwa anda sebenarnya sedih dan kecewa. Pastikan pula bahwa perpisahan ini bukan salah anak, anda dan pasangan tetap akan mencintai mereka dan selalu menemani mereka sekalipun berpisah. 42 b. Jangan saling menjelekkan Sekalipun tergolong sulit, sebaiknya anda tidak mengungkapkan halhal buruk tentang pasangan. Jika anda butuh bercerita atau ingin curhat tentang
pasangan,
pastikan
anak
tidak
mendengar
apapun.
Tidak
mengabaikan. Hal yang menjadi masalah pada anak-anak korban perceraian 41
Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com, 42
Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com,
89
adalah mereka selalu menduga-duga tentang kepastian mendapat perhatian dari orang tua. Karenanya sebaiknya anda dan pasangan selalu menepati janji dan jadwal yang berhubungan dengan anak. c. Masa transisi Kondisi yang paling menegangkan bagi anak adalah ketika dia pergi meninggalkan orang tua yang satu ke orang tua yang lain. Hal ini disebabkan karena anak merasakan ketegangan diantara kedua orang tuanya. Atasi kondisi ini dengan memberi penguatan positif bahwa anda dan pasangan mencintai mereka, dan sangat ingin mereka menikmati suasana yang gembira ketika berada bersama anda ataupun pasangan. d. Tenggang rasa Umunya orang tua berpikiran bahwa agar semuanya berjalan lancar, peraturan yang diterapkan ketika anak bersama ibu haruslah konsisten diterapkan saat ia ada bersama ayah. Sebenarnya tidak perlu demikian, tidak perlu membuat perdebatan baru dengan mantan. Anak yang paling kecil sekalipun bisa menemukan dan memahami bahwa ayah ibunya berbeda, demikian pula aturan ketika dia bersama ayah atau ibunya. e. Kepentingan bersama. Jika anda adalah orang tua yang mendapatkan mandat perwalian anak, pastikan bahwa mantan pasangan tahu bahwa anda sangat menginginkan
90
keterlibatannya dalam kehidupan anak. Hal ini akan membuat mantan pasangan merasa lebih nyaman ketika ia akan bertemu dengan anak. 43 f. Menikmati hubungan baru Sekalipun semula tidak terpikirkan, sebaiknya sejak awal dipahami bahwa anda ataupun pasangan memiliki kemungkinan menjalin hubungan baru. Pastikan anda siap menghadapi situasi ini. Hal yang penting untuk diingat bahwa reaksi dan dampak perceraian terhadap anak sebenarnya dapat diatasi jika anda dan pasangan memberi dukungan yang positif pada anak sejak awal. Tetapi jika perceraian anda sudah terlanjur mengarah ke situasi yang negatif, tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaikinya, karena anak-anak anda membutuhkannya, berapa pun usia mereka. Keinginan untuk menarik anak ke salah satu pihak dan menentang pihak yang lain akan sangat menonjol pada model perceraian tersebut. Tapi jika itu dilakukan, berarti orang tua sungguh-sungguh merupakan individu egois yang hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak memikirkan kesejahteraan dan masa depan anak. Kalau perceraian memang tidak terhindar lagi, maka mari membuat perceraian tersebut menjadi perceraian yang tidak merugikan anak. Suami isteri memang bercerai, tapi jangan sampai anak dan orang tua ikut juga
43
Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com,
91
bercerai. Anak-anak sangat membutuhkan cinta dari kedua orang tua dan menginginkan kedua orang tuanya menjadi bagian dalam hidup mereka. Bagi anak, rasa percaya diri, rasa terima dan bangga pada dirinya sendiri bergantung pada ekspresi cinta kedua orang tuanya. Bagi anda yang akan atau sedang atau telah bercerai, cobalah untuk selalu mengingat hal tersebut dan masa depan anak-anak anda. Perhatian berupa materi memang perlu, namun itu saja sangat tidak memadai untuk membuat anak mampu beradaptasi dengan baik. Jangan lagi menjadikan negeri ini semakin riwet dengan membiarkan anak-anak kita yang tidak berdosa menjadi terlantar. 44 Perceraian yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is ini memang dilihat dari Undang-Undang tidak sah karena tidak ada kekuatan hukum tetapnya, tetapi masyarakat di Desa ini yang sudah bercerai tidak pernah ada masalah sama sekali seperti masalah kepada anak, harta bersama serta masalah pendidikan dan pemeliharaan anak sekalipun. Memang setelah orang tuanya bercerai anaklah yang menjadi korbannya tetapi mereka bercerai secara baik-baik dan tidak meninggalkan tanggung jawabnya kepada anak mereka masing-masing. Seperti dengan perceraian yang dialami oleh ibu Nengsih dengan mantan suaminya. Mereka bercerai dengan mempunyai anak yang masih kecil, lalu mereka berdua tidak memperebutkan anaknya harus ikut dengan siapa karena mereka sebagai orang tua tahu bahwa dengan perceraian mereka
44
Anton, ‘Dampak Perceraian Terhadap Anak’, Artikel Diakses Pada Tanggal 09 Februari 2010 dari http://docs.google.com,
92
sudah membuat anak mereka menjadi hancur hatinya, maka dari itu mereka berdua sebagai orang tuanya tidak mengharuskan anaknya ikut dengan siapa. Bagi ibu Nengsih serta mantan suami anaknya adalah segala-galanya buat mereka dan mereka tidak akan pernah menghilangkan rasa kasih sayang mereka buat anak-anaknya. Ibu Nengsih dan mantan suami mempercayai anaknya dididik oleh neneknya karena ibu Nengsih dan mantan suami harus bekerja di jakarta untuk memenuhi kebutuhan hidup buat anaknya juga agar anaknya bisa terpenuhi semua kebutuhannya. Bukan hanya itu saja tapi ibu Nengsih dan mantan suami tidak pernah lepas untuk memberikan kasih sayang mereka kepada anaknya seperti menjenguk atau merawatnya sesekali jika mereka sedang pulang ke kampung. Selama mereka berada di kampung mereka tidak henti-hentinya memberikan kasih sayang, merawatnya, mendidiknya, memberikan apa yang dibutuhkan anaknya walaupun sebenarnya keadaan mereka sangat sulit dalam perekonomiannya mereka tetap berusaha membuat anaknya senang dan bahagia, bagi mereka apapun yang akan mereka lakukan, itu yang terbaik buat anaknya. Ibu Nengsih beruntung anaknya tidak berdampak terhadap perceraian mereka, tetapi sesungguhnya ibu Nengsih serta mantan suami tidak mengetahui bahwa anaknya mempunyai rasa minder atau tidak percaya diri
93
jika kumpul dengan ibu Nengsih dengan suami barunya dan bapak dengan isteri barunya yang masing-masing sudah diberikan anak. 45 Penulis yang kebetulan dekat dengan anak dari ibu Nengsih yang bernama Suprana yang sudah dewasa berusia kira-kira 25 tahun dan yang pada saat itu dia bersedia di wawancarai oleh penulis tentang bagaimana perceraian yang dialami oleh kedua orang tuanya lalu bagaimana dengan perasaan Suprana sendiri melihat orang tuanya sudah bercerai. Suprana menceritakan semua kepada penulis. 46 Pertama kali Suprana melihat orang tuanya bercerai adalah perasaan yang sangat sedih dan merasa dirinya tidak berguna bagi orang tuanya terutama dirinya sendiri. Dia juga mempunyai perasaan minder atau tidak percaya diri bila mendekati seorang wanita yang dia sukai, selain itu juga dia merasa minder jika harus kumpul sama bapak tiri dan adek-adek tirinya padahal bapak dan adek-adek tirinya sangat baik kepada dirinya hanya saja Suprana merasa tidak pantas untuk ikut bergabung bersama bapak serta adekadek tirinya, dia lebih suka tinggal bersama neneknya dari pada harus ikut gabung dengan keluarga baru dari ibunya sendiri. Sedangkan kepada keluarga bapak barunya pun Suprana merasa minder dan tidak percaya diri jika sedang berkumpul sama ibu dan adek-adek tirinya. Selama Suprana bekerja di Jakarta pun Suprana tidak pernah mau
45
Wawancara Pribadi dengan Ibu Nengsih, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
46
Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
94
tinggal bersama bapak kandungnya di Jakarta padahal bapaknya sendiri yang meminta Suprana untuk tinggal di rumahnya tetapi tetap saja nana tidak mau. Paling dia ke rumah bapaknya hanya sekedar menanyakan keadaan bapak serta keluarganya setelah itu dia pergi lagi ketempat kerjanya dan dia lebih milih untuk tinggal di tempat kerjanya dari pada tinggal di rumah bapak kandungnya sendiri. Perasaan minder dan tidak percaya diri itu ternyata susah dihilangkan di dalam dirinya karena Suprana sendiripun tidak tahu kenapa perasaan itu muncul dalam dirinya. Perasaan itu muncul setelah nana beranjak dewasa dan sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik buat dirinya sendiri. 47 Dalam masalah harta kekayaanpun Ibu Nengsih serta mantan suami tidak pernah meminta harta. Selain masyarakat disini mempunyai tradisi dalam perceraiannya yang menurut Undang-Undang tidak sah tapi desa ini pun mempunyai tradisi dimana setelah suami isteri telah bercerai maka harta yang dipunyai oleh mereka dulu, seluruh hartanya jatuh kepada mantan isteri dan mantan suami tidak berhak mendapatkan hartanya. 48 C. Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 14: Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut Agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat 47
Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
48
Wawancara Pribadi dengan Suprana, Desa Kadu Ti’is Pandeglang, 13 Februari 2010
95
kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. 49 Pasal 15: Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila memang terdapat alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 17: Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam Pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat Keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
Hasanudin, ‘Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974’, artikel diakses pada tangga 09 Februari 2010dari http://docs.google.com. 49
96
Pasal 18: Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang Pengadilan. Pasal 19: Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya; c.
Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Pasal 20: (1) Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. (2) Dalam hal kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat.
97
(3) Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 21 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf b, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman penggugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampaui 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah. (3) Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali kerumah kediaman bersama. Pasal 22 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf f, diajukan kepada Pengadilan ditempat kediaman tergugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri itu. Pasal 23: Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami isteri mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk rnendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan
98
putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakaan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 24 (1) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan Penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan. Pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. (2) Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan pengugat atau tergugat, pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami; b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak; c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri. Pasal 25: Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu. Pasal 26 (1) Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
99
(2) Bagi Pengadilan Negeri panggilan dilakukan oleh juru sita; bagi Pengadilan Agama panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Agama. (3) Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. (4) Panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. (5) Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan. Pasal 27 (1) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20 ayat (2), panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. (2) Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
100
(3) Tenggang waktu antara panggilan terakhir sebagai dimaksud dalam ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan. (4) Dalam hal sudah dilakukan panggilan sebagai dimaksud dalam ayat (2) dan tercatat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan. Pasal 28: Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Pasal 29 (1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Hakim selambatlambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. (2) Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. (3) Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 20 ayat (3) sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurangkurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan.
101
Pasal 30: Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya. Pasal 31 (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang perneriksaan. Pasal 32: Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian. Pasal 33: Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup. Pasal 34 (1) Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. (2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
102
Didalam PP No.9 Tahun 1975 pasal 16 dinyatakan hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut : a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ; b.
Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama (2) tahun berturutturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal yang lain diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihka lain ; d. Salah satu pihak mendapt cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menghilangkan kewajibannya sebagai suami atau isteri ; e. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selanjutnya pada pasal 39 UUP dinyatakan : 1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. 2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tdak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. 3) Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
103
Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang ditimbulkan oleh perceraian. Adapaun bunyi pasalnya sebagai berikut : Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah : a. Baik ibu atau bapak tertap berkewajiban memelihara dan mendidik anakanaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai
penguasaan
anak,
pengadilan
memberikan
keputusannya. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. D. Analisa Penulis Dari uraian penjelasan setiap bab diatas dapat diketahui bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Gugatan perceraian yang diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
104
Adapun pelaksaan perceraian yang dilakukan suami isteri di Desa Kadu Ti’is itu sebagaimana hasil penelitian yang penulis lakukan di Kecamatan Mekar Jaya Kabupaten Pandeglang melalui aparat kelurahan, maupun para penghulu atau lebe dan juga tokoh masyarakat setempat, secara singkat penulis uraikan pelaksanaan perceraian di luar Pengadilan Agama tersebut. Pada pasangan suami isteri yang ingin melakukan perceraian itu yang biasanya yang pertama mereka datangi adalah Bapak RT setempat disana mereka mengemukakan alasan-alasan kenapa mereka ingin bercerai, dalam hal ini RT mewakili tugas seorang hakim yakni berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang sedang bersengketa dengan segala cara, akan tetapi bilamana RT setempat tidak mampu lagi untuk membujuk atau mendamaikan kedua belah pihak untuk hidup rukun, maka biasanya Bapak RT menghadirkan RW setempat. Tugas RW dalam hal ini sama halnya seperti RT yaitu berembuk atau bermusyawarah dengan RT untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa, perlu diketahui pula bahwa selama proses ini, yakni menghadapi RT dan RW para pasangan kawin yang melakukan perceraian itu tidak didampingi oleh siapapun. Barulah setelah RT dan RW sudah tidak sanggup lagi mendamaikaan kedua belah pihak maka dari pihak RT dan RW memanggil atau menghadirkan penghulu dan tokoh masyarakat juga para saksi dari pihak keluarga masing-masing atau orang yang mengetahui kejadian yang sebenarnya.
105
Pada hal ini penghulu dan tokoh masyarakat berperan sama seperti RT dan RW tersebut yakni berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Apabila tidak ditemukan kesepakatan antara kedua belah pihak untuk mendamaikan, maka penghulu dan tokoh masyarakat meminta keterangan dahulu oleh para saksi, guna mengetahui kebenaran-kebenaran para pihak yang bersangkutan. Apabila hal ini para saksi memberikan keterangan yang sama seperti yang dijelaskan oleh para pihak yang bersengketa, maka penghulu dan tokoh masyarakat kembali mengkonfirmasikan hal ini kepada para pihak yang bersengketa. Setelah hal ini dilakukan dan para pihak yang bersangkutan masih tetap pada pendiriannya (yakni ingin bercerai) maka penghulu dan tokoh masyarakat mengambil keputusan perceraian dengan lisan yang didengarkan oleh para saksi dan pihak isteri yang bersengketa, dengan demikian kedua belah pihak telah bercerai dan berakhirlah hubungan perkawinan mereka. Perlu diketahui perceraian mereka hanya dilakukan secara lisan dan tidak tertulis, tetapi apabila salah satu pihak yang bersengketa tidak hadir pada putusan perceraian tersebut maka penghulu dan tokoh masyarakat membuat surat pernyataan cerai untuk disampaikan kepada pihak yang tidak hadir. Perlu diketahui pula bahwa proses perceraian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa itu dilakukan dari pengaduan kedua belah pihak sampai diputusnya itu 10 hari dan tidak dipungut biaya. Adapun apabila para pihak yang bersengketa itu memiliki anak, maka apabila anak tersebut
106
berusia dibawah 6 tahun itu biasanya diasuh oleh ibunya dan apabila diatas usia tersebut itu diserahkan sepenuhnya kepada anak untuk memilih kepada siapa dia akan tinggal atau dipelihara. Akan tetapi dari pihak suami tidak memberikan nafkah kepada anaknya. Menurut hukum Islam, cerai (talak) adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan sebagaimana kita lihat dalam pasal 129, 130, 131 (11) sesuai dengan pasal 117 KHI. 50 Islam mengajarkan kepada kita bahwa dalam perceraian, jika sang isteri atau sang suami ingin melakukan perceraian maka lakukanlah atau laksanakanlah sesuai dengan ajaran agama dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 agar perceraiannya mempunyai kekuatan hukum tetap dan mempunyai surat keterangan cerai dari Pengadilan Agama. Jadi berdasarkan analisa penulis dalam melaksanakan perceraian tanpa melalui proses persidangan yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan ajaran Agama Islam karena memiliki perbedaan dalam penafsiran menurut adat di Desa Kadu Ti’is dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. sehingga dalam hal ini lebih baik ketentuan-ketentuan tersebut tidak dijadikan patokan utama dalam suatu perceraian dan dapat membuka pola pikir masyarakat di Desa Kadu Ti’is di Kecamatan Mekar Jaya
50
Abdul Manan, M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Pengadilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), Cet Ke 5, h. 28
107
Kabupaten Pandeglang karena Allah SWT melihat manusia bukan dari banyaknya harta dan jabatan. Akan tetapi semua dilihat dan diukur berdasarkan iman dan takwa seseorang. Dan ketahuilah bahwa perceraian itu sangat dibenci oleh Allah SWT.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian diatas penulis dapat memberikan beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut : 1. Faktor utama penyebab terjadinya perceraian di luar Pengadilan Agama adalah faktor ekonomi, faktor yang lain yaitu terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga dan suami yang selingku dengan perempuan lain. 2. Tata cara perceraian di luar Pengadilan Agama yang terjadi di Desa Kadu Ti’is yaitu dengan mereka mendatangi RT untuk menyelesaikan masalah mereka setelah itu ketua RT menghadirkan ketua RW, apabila belum selesai juga maka ketua RW menghadirkan Penghulu dan Tokoh masyarakat. Kemudian menghadirkan saksi dari kedua orang tua mereka masing-masing untuk dimintai keterangan dan pada akhirnya Penghulu dan Tokoh Masyarakat dengan disaksikan para saksi memutuskan perceraian secara lisan bagi yang hadir dan tertulis bagi pihak yang tidak hadir. 3. Perceraian yang dilakukan di Desa Kadu Ti’is tidak sah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan sudah jelas perceraian tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dikarenakan teori dengan kenyataan yang ada di Desa Kadu Ti’is tidak
108
109
mengikuti prosedur tata cara perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
B. Saran-Saran Penulis berharap agar kiranya pemahaman tentang tata cara perceraian yang sesuai dengan pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dimana salah satu persyaratan perceraian harus di depan sidang Pengadilan di masukkan kedalam materi setiap majelis taklim yang berada di Desa Kadu Ti’is agar masyarakat menajadi paham dan mengerti tentang tata cara perceraian, dan kepada petugas Kantor Urusan Agama di Desa Kadu Ti’is memberikan pemahaman kepada pasangan suami isteri yang ingin bercerai agar melakukan perceraian di depan sidang Pengadilan. Akhirnya semoga penelitian ini dapat memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2006 Abdurrahman, Kompilsai Hukum Islam Di Indonesia, Akademik Presindo, Jakarta, 2004 Abdul Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat, Kencana, Jakarta, 2003 Abu Daud, Sunan Abu Daud, Dar al-Fikr, Beirut, 1994 Adil Abdul Mun’im Abu Abbas, Ketika Menikah Jadi Pilihan, Ahmad Basiq Djalil, Peradilan Agama Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006 Ahmad Kurzari, Perkawinan Sebagai Sebuah Perikatan, Rajawali Press, 1995 Ahmad Rafiq, Hukum Islam Di Indonesia, Rajawali Pres, Jakarta, 1995 Al-San’ani, Subulus Salam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1995 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2006 Azhari Akmal Tarigan dan Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana Prenada Media Grouf, Jakarta, 2006 Badan Penelitian Dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri Dan Otonomi Daerah, Metodelogi Penelitian Sosial (Terapan dan Kebijaksanaan) Chuzaemah Tahido Yanggo dan A. Hafit Anshari. A. Z., Problematika Hukum Islam dan Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2002 Dadan Anugerah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antar Budaya Konsep dan Aplikasinya, Jala Permata, Jakarta, 2008 Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam “Nikah”, Ensiklopedia Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan Hukum Adat dan Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990
110
111
Imam Taqiyuddin, Kifayatul al-Akhyar fi Hal ghayat al-Ikhtiyar, Al-Ma’arif, Bandung, 1995 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1987 Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan hidup rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”, Lihat Juga Tim Redaksi Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, Fokus Media, Bandung, 2005 Tahir Mahmood, Personal law in Islamic Countries, Academy of law and Religion, New Delhi, 1987 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2003 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 Muhammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, Darussalam Perum Griya Suryo, Yogyakarta, 2004 Muhammad Fauzan, Pokok-Pokok Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005 Muhammad Hamidy, Perkawinan Dan Permasalahannya, Bina Ilmu, Surabaya, 1980 Muhammad Yahya Harap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara dan Proses Persidangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2006 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Daar al-Fath, Kairo, 2000 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemahan, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1996
112
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Pres, Jakarta, 1986 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2003 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006 www.google.com
114 WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN (Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama) Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber
: Bapak Sanuri
Jabatan
: Penghulu
Pewawancara : Risna Ayesa Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apakah bapak sudah lama menjadi penghulu di desa kadu ti’is? Jawab : Sudah cukup lama juga saya menjadi penghulu di desa kadu ti’is sekitar 2 tahun saya menjabat sebagai penghulu. 2. Apakah bapak pernah mengurus perceraian di desa ini? Jawab : Tidak karena saya menjadi penghulu baru 2 tahun jadi saya belum pernah mengurus perceraian. 3. Bagaimana menurut bapak tentang proses perceraian yang dilakukan pada masyarakat di desa kadu ti’is? Jawab : Perceraian di desa ini memang seperti itu, masyarakatnya tidak ada yang melalui proses perceraiannya di depan persidangan karena biaya yang sangat mahal dan
115 mengurus di Pengadilannya sangat sulit dan ribet bukan hanya itu saja, sudah menjadi tradisi dan kebiasaanya bagi masyarakat di desa kadu ti’is. 4. Apa Bapak Sanuri bekerja di KUA? Jawab : Saya tidak bekerja di KUA dan saya bukan pegawai KUA 5. Jika Bapak bukan salah satu pegawai dari KUA, mengapa Bapak bisa menjadi penghulu di Desa Kadun Ti’is? Jawab : Saya bisa menjadi penghulu karena saya dipilih oleh bapak lurah setempat yaitu Bapak Sumantri untuk mewakili desa ini menjadi penghulu di Desa Kadu Ti’is. 6. Apakah peran KUA di desa tersebut? Jawab : Peran KUA di desa ini hanya sebagai tempat pencatat nikah bagi masyarakat desa sedangkan penghulu di datangkan bukan dari KUA melainkan penghulu desa masingmasing yang sudah di pilih oleh Bapak Lurah yaitu Bapak Sumantri. 7. Apakah di KUA sebelum menikahkan orang ada kurscaten terlebih dahulu dari BP4? Jawab : Di sini sih setiap masyarakat yang ingin menikah memang mendapatkan pengarahan atau nasehat terlebih dahulu tetapi bukan dari BP4 melainkan dari orang tua masingmasing. 8. Apa penyebab perceraian yang sering terjadi di desa? Jawab :
116 Yang saya ketahui penyebab perceraian dari rumah tangga mereka yaitu dikarenakan faktor ekonomi, suami tidak memberikan nafkah kepada anak dan isterinya selama berbulan-bulan, suami berselingkuh dengan wanita lain (adanya orang ketiga dalam rumah tangganya), ditinggal mati (meninggal) oleh suami, sudah tida ada lagi ketidak cocokan dalam rumah tangganya. Tapi yang paling sering terjadi dalam perceraian di desa ini yaitu seringnya ditinggal mati (meninggal) oleh suami, faktor ekonomi dan perselingkuhan itu yang sering di jadikan penyebab retaknya rumah tangga di desa ini. 9. Bagaimana dengan si anak dan harta kekayaan yang dimiliki oleh mereka berdua selama mereka masih menjadi pasangan suami isteri? Jawab : Selama pasangan itu sudah resmi bercerai maka si anak bebas untuk hidup dengan siapa saja dan kedua orang tuanya tetap memberiikan kasih sayang yang cukup kepada anaknya tanpa ada kekurangan sedikitpun sedangkan dengan harta kekayaan tidak pernah dijadikan masalah yang besar juga karena masyarakat disini tidak mempunyai harta yangg banyak paling hartanya hanyalah sawah dan peternakan. Jika masalah harta di desa ini bisa dibilang sudah tradisi juga karena setiap pasangan yang resmi bercerai maka bagi mantan isterilah yang berhak mendapatkan harta kekayaannya sedangkan mantan suami tidak berhak membawa harta sedikipun dari isterinya, karena itu sudah menjadi tradisi di desa ini juga. Makanya masyarakat disini yang sudah pisah dari suaminya mereka masih bisa menghidupkan anakanaknya serta dirinya sendiri dengan bergantung kepada hasil dari sawah dan peternakannya tersebut.
117 10. Apa yang membuktikan bahwa kedua belah pihak sudah resmi bercerai? Jawab : Kalau yang dimaksud adalah surat cerai maka didesa ini tidak ada surat cerainya. Mereka hanya memegang kertas selembar yang bertuliskan kata cerai lalu di tandatangani diatas materai oleh kedua belah pihak setelah itu surat tersebut di pegang oleh masing-masing kedua belah pihak yang sudah resmi bercerai.
121 WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN (Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama) Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber
: Abah Ibin
Jabatan
: Tokoh yang di tuakan di Desa
Pewawancara : Risna Ayesa Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apakah Bapak sudah lama tinggal dikampung ini? Jawab : Saya tinggal dikampung ini sejak saya dilahirkan oleh Ibu saya. Saya dibesarkan dikampung ini sampai saya sudah berkeluarga tetap tinggal dikampung ini karena saya sudah cinta dengan perkampungan sini. Orang tua saya juga tinggal disini. Suasan dipedesaan yang sejuk dan tidak ramai dari kendaraan yang membuat saya betah untuk tinggal di Desa ini. 2. Apakah perceraian di Desa ini selalu tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama? Jawab : Perceraian di Desa ini memang tidak pernah melalui proses persidangan di Pengadilan Agama dikarenakan beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat di Desa ini tidak pernah melakukan perceraian melalui proses persidangan di Pengadilan Agama. Perceraian tersebut sudah lama sejak orang tua saya tinggal disini jadi
122 menurut masyarakat disini sudah tidak heran lagi dengan perceraian yang tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama. 3. Bagaimana menurut Bapak sendiri tentang adanya perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama? Jawab : Menurut saya sah-sah saja perceraian yang seperti ini karena perceraian di Desa ini sudah menjadi tradisi atau kebiasaan untuk masyarakat sekitar. Di desa ini jika ada yang bercerai pasti minta bantuan saya karena saya disini dihormati oleh masyarakat desa dank arena saya yang mengerti tentang perceraian. 4. Apakah menurut Bapak sah dengan adanya perceraian tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama dengan adanya peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan? Jawab : Tadi yang sudah saya jelaskan sama risna bahwa perceraian yang seperti itu sah-sah saja tapi jika kita melihat kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perceraian tersebut tidak sah karena tidak mempunyai kekuatan hokum yang tetap dan tidak ada surat cerai yang akan memperkuatnya dalam bentuk masalah apapun, tapi mau gimana lagi kalau perceraian itu sudah menjadi tradisi dan kebiasaan di Desa ini dan susah dirubahnya. 5. Apa saja yang menyebabkan masyarakat di Desa ini bercerai? Jawab : Penyebab dari perceraian dalam rumah tangga di Desa kami itu rata-rata karena ditinggal meninggal oleh suaminya dan rata-rata suami selingkuh diluar sana dengan
123 seorang perempuan lain dan kebanyakan yang menginginkan perceraian itu adalah isteri (isteri yang meminta untuk bercerai dari suaminya).
118 WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN (Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama) Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber
: Suprana
Jabatan
: Anak Ibu Nengsih
Pewawancara : Risna Ayesa Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apakah benar kamu anak dari Ibu Nengsih? Jawab : Iya memang benar saya anak dari Ibu Nengsih 2. Apakah saya boleh mewawancarai anda? Jawab : Boleh saja, memang ingin wawancara mengenai apa nih 3. Apakah kamu sudah mengetahui bahwa orang tua kamu sudah bercerai? Jawab : Iya, Saya sudah tahu bahwa orang tua saya sudah bercerai 4. Sejak kapan kamu mengetahui perceraian orang tuamu? Jawab : Sejak umur 8 tahun saya mengetahuinya. Ibu dan Nenek saya yang cerita sama saya bahwa Bapak saya sudah pisah dengan Ibu.
119 5. Apakah kamu dirawat atau diasuh oleh Ibu atau Bapak? Jawab : Orang tua saya tetap merawat dan mendidik saya sampai saya dewasa seperti ini tapi saya dari kecil tinggal sama Nenek dan Nenek yang merawat saya dengan sabar dan penuh kasih sayang. 6. Berapa lama kamu tinggal dirumah Nenek dan apakah selama kamu sudah dewasa tinggal bersama dari salah satu orang tuamu? Jawab : Dari bayi sampai dewasa sekarang ini saya tetap tinggal bersama Nenek saya. Saya tidak mau tinggal bersama Ibu ataupun Bapak karena orang tua saya sudah mempunyai keluarga sendiri jadi saya tidak mau merusak kebahagiaan mereka. 7. Setelah kamu mengetahu orang tua kamu bercerai, Bagaimana perasaan kamu? Jawab : Perasaan saya sedih karena orang tua saya sudah tidak bersama-sama lagi dan saya sedih karena sering kali teman-teman saya meledek orang tua saya yang sudah bercerai dan saya sering diejek bahwa saya tidak punya Bapak tapi saya tidak pernah diambil hati. Setiap teman ngejek saya seperti itu saya hanya cuek dan langsung pergi dari teman-teman saya. 8. Apakah setelah orang tuamu sudah mempunyai keluarga baru lagi, kamu sering datang menjenguk orang tuamu? Jawab : Kalau Ibu saya sering datang kerumahnya karena rumah Ibu dekat dengan rumah Nenek masih di kampung hanya beda desa saja sedangkan Bapak saya jarang main
120 kerumahnya karena Bapak saya menetap di Jakarta dengan keluarga barunya, ingin ketempat Bapak tapi jauh dan saya tidak mempunyai ongkos untuk kerumah Bapak.
WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN (Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama) Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber
: Bapak Sanuri
Jabatan
: Penghulu
Pewawancara : Risna Ayesa Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apakah bapak sudah lama menjadi penghulu di desa kadu ti’is? Jawab : Sudah cukup lama juga saya menjadi penghulu di desa kadu ti’is sekitar 2 tahun saya menjabat sebagai penghulu. 2. Apakah bapak pernah mengurus perceraian di desa ini? Jawab : Tidak karena saya menjadi penghulu baru 2 tahun jadi saya belum pernah mengurus perceraian. 3. Bagaimana menurut bapak tentang proses perceraian yang dilakukan pada masyarakat di desa kadu ti’is? Jawab : Perceraian di desa ini memang seperti itu, masyarakatnya tidak ada yang melalui proses perceraiannya di depan persidangan karena biaya yang sangat mahal dan
mengurus di Pengadilannya sangat sulit dan ribet bukan hanya itu saja, sudah menjadi tradisi dan kebiasaanya bagi masyarakat di desa kadu ti’is. 4. Bapak di Desa ini sebagai penghulu berarti Bapak mengetahui prosedur perceraian, mengapa Bapak tidak memberitahukan kepada masyarakat tentang prosedur perceraian menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974? Jawab : Diberitahukan beberapa kalipun kepada masyarakat di Desa ini, mereka tetap tidak akan melakukan perceraian di Pengadilan Agama dikarena faktor dari perekonomian di Desa kami yang menyebabkan masyarakat sini tidak melakukan proses perceraiannya di Pengadilan Agama. 5. Mengapa Bapak tetap melakukan perceraian tersebut jika ada pasangan suami isteri yang bercerai tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama? Jawab : Karena di Desa ini yang ditunjuk untuk menjadi penghulu itu adalah Bapak jadi semua yang ingin bercerai melapor ke Bapak. Jika saya tidak melaksanakan permintaan kedua belah pihak maka saya akan dilaporkan kepada Bapak Lurah dan bias-bisa saya tidak dipercaya oleh masyarakat sekitar. 6. Apakah Bapak Pegawai dari KUA? Jawab : Saya bukan pegawai KUA. Aku menjadi penghulu karena ditunjuk atau dipilih oleh Bapak Sumantri sebagai lurah di Desa Kadu Ti’is untuk menjadi penghulu di Desa Kadu Ti’is.
7. Apakah data-data perceraian di desa ini ada di KUA dan apa gunanya KUA di Desa Kadu Ti’is? Jawab : Gunanya KUA hanya mencatatkan pernikahan dan perceraiannya. Data-data perceraian tersebut ada di KUA tetapi kami tidak memberi ijin kepada siapapun untuk melihat ataupun foto copy karena kami tidak ingin mengambil resiko ketahuan oleh orang lain karena perceraian di Desa tidak melalui proses persidangan i dan kami takut dilacak keberadaan Desa kami karena itu bentuknya non illegal dan tidak mempunyai kekuatan hkum yang tetap di Pengadilan Agama
124 WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN (Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama) Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber
: Ibu Nengsih
Jabatan
: Yang mengalami perceraian
Pewawancara : Risna Ayesa Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Apa benar Ibu sudah bercerai dari suami? Jawab : Iya memang benar saya sudah bercerai dari suami saya yang dulu. 2. Siapa yang menginginkan perceraian ini? Jawab : Saya yang ingin bercerai dari suami saya 3. Apa yang menyebabkan Ibu ingin bercerai dari suami Ibu? Jawab : Suami saya telah berselingkuh dengan wanita lain selama dia bekerja di jakarta dan dia sudah tidak menafkahi anak serta isterinya. 4. Apakah Ibu bercerai melalui proses persidangan di Pengadilan Agama? Mengapa! Jawab : Tidak, saya tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama karena letak PA yang sangat jauh dari desa saya dan mahalnya biaya perceraian dan susah atau
125 ribetnya mengurus perceraian di Pengadilan Agama. Saya bercerai dengan suami hanya melalui kiyai dan disaksikan oleh kedua orang tua kita masing-masing. 5. Apa yang membuktikan Ibu dan suami bahwa Ibu telah bercerai? Jawab : Bukti bahwa saya sudah resmi bercerai dari suami saya yaitu hanya selembar kertas yang ditandatangani oleh saya dan suami diatas materai dan disaksikan oleh kiyai dan kedua orang tua kita masing-masing. 6. Apakah sah perceraian yang Ibu lakukan tanpa melalui proses persidangan di Pengadilan Agama? Jawab : Iya sah perceraian yang saya lakukan karena saya bercerai dengan suami disaksikan oleh kedua orang tua kita masing-masing dan dihadapan Bapak penghulu yang waktu itu menikahkan saya dengan suami saya. 7. Bagaimana dengan anak Ibu yang sekarang sudah dewasa dengan perceraian Ibu dan suami? Jawab : Saya bercerai dengan suami sejak anak saya masih kecil sekitar umur 5 bulan tapi setelah anak saya berumur 8 tahun saya memberitahukan tentang keadaan orang tuanya yang sudah mengalami perceraian atau pisah dari bapaknya. Anak saya juga sebelumnya lama-lama mengetahui bahwa Bapaknya sudah tidak tinggal bersama lagi dengan Ibunya. Semakin dewasa saya memberi tahu mengapa alasan Ibu dan Bapak berceraian. Ibu bercerai karena Bapak selingkuh dnegan perempuan lain selama Bapak bekerja di Jakarta.
126 8. Setelah Ibu bercerai dari suami dan Ibu menikah lagi, apakah dengan bukti selembar kertas yang menyatakan bahwa Ibu pernah menikah bisa dijadikan bukti abhwa Ibu telah bercerai dari suami Ibu yang pertama? Jawab : Jika saya menikah dengan laki-laki lain maka saya hanya menunjukkan selembar kertas yang menyatakan saya pernah bercerai dari suami setelah itu selembar kertas tersebut ditunjukkan kepada orang tua laki-laki dan dihadapan penghulu. Jika semua sudah selesai maka saya baru bias menikah kembali dengan laki-laki lain. 9. Apakah Ibu menikah kembali sebelumnya meminta ijin kepada anak Ibu? Jawab : Pastinya saya minta ijin kepada anak saya, masalah boleh atau tidaknya dengan anak saya, saya akan terima keputusannya karena saya menikah dengan laki-laki lain yang benar-benar sayang dan mau nerima anak saya apa adanya. Jika saya diperbolehkan menikah kembali sama anak maka saya akan menikah. 10. Selama Ibu bercerai dari suami, Apakah Ibu melarang anaknya untuk tidak bertemu dengan Bapaknya? Jawab : Saya tidak pernah melarang anak untuk tidak bertemu lagi dengan Bapaknya karena saya tidak berhak, dia adalah Bapak dari anak saya juga dan saya tidak boleh ikutin egois saya sendiri. Semua akan saya lakukan demi anak, apapun itu.
127 WAWANCARA KUESIONER PENELITIAN (Perceraian Tanpa Melalui Proses Persidangan Di Pengadilan Agama) Desa Kadu Ti’is Kec. Mekar Jaya Kab. Pandeglang
Narasumber
: Bapak Sumantri
Jabatan
: Kelurahan
Pewawancara : Risna Ayesa Hari/Tanggal : Sabtu, 13 Februari 2010
1. Bagaimana menurut bapak jika ada masyarakat di sekitar ini ada yang ingin bercerai? Jawab : Yang pertama pasti saya merasa sedih karena saya sebagai lurah tidak bisa membuat warga di desa ini hidup harmonis dan tentram. Kemudian saya akan bertanya kepada kedua belah pihak yang ingin bercerai, alasan apa yang membuat kedua belah pihak ingin bercerai lalu apa tidak ada jalan yang lain selain perceraian dan apa sudah dipikirkan dengan baik-baik, setelah saya bertanya kepada mereka dan kedua belah pihak sudah yakin ingin bercerai maka saya sebagai lurah di desa ini, akan saya bantu mengurus perceraian kedua belah pihak. 2. Bagaimana proses perceraian di Desa Kadu Ti’is ini? Jawab : Proses perceraian di desa ini hanya datang ke RT, RW dan kelurahan untuk mengetahui bahwa kedua belah pihak ingin bercerai lalu dari RT memanggil bapak Sanuri yang bekerja di KUA lalu kedua belah pihak membawa saksi-saksi yaitu
128 kedua orang tua kedua belah pihak setelah itu kedua belah pihak melakukan perceraian di depan saksi-saksi dan di depan bapak Sanuri setelah itu kedua belah pihak sudah sah bercerai lalu kedua belah pihak menandatangani surat cerai di atas selembar kertas yang bermateraikan dan kertas itu di pegang oleh masing-masing kedua belah pihak yang sudah sah melakukan perceraian. 3. Siapa saja yang berperan penting dalam proses perceraian? Jawab : Yaitu RT, RW, bapak lurah. Kedua orang mereka masing-masing untuk dan bapak Sanuri sebagai yang bekerja di KUA dan sering menikahkan masyarakat di desa ini. 4. Apakah proses perceraian ini sudah ada sejak lama? Jawab : Memang proses perceraian di desa ini tidak melalui proses persidangan di Pengadilan Agama sudah ada sejak dahulu kala. Dan perceraian yang sperti ini sudah menjadi adat bagi masyarakat di desa kadu ti’is. 5. Apakah masyarakat di desa ini mengetahui tentang proses perceraian yang harus dilakukan di depan Pengadilan Agama? Jawab : Masyarakat disini tidak mengetahui dan tidak paham sekali dengan peraturan undangundang yang seperti itu dan kalau mengetahuipun mereka tetap tidak bisa melakukan perceraian di Pengadilan Agama. Kebanyakan masyarakat disini mengetahuinya bahwa perceraian yang seperti itu yang biasa dilakukan di desa kadu ti’is. 6. Fakor apa yang menyebabkan masyarakat di desa kadu ti’is melakukan perceraian tanpa mealui proses persidangan di Pengadilan Agama?
129 Jawab : Faktor yang pertama karena perekonomian di desa tersebut sangat lemah, fakktor yang kedua karena letak Pengadilan Agama yang jauh dari letak desanya, yang ketiga karena biaya mengurus perceraian di Pengadilan Agama terbilang mahal, dan faktor yang terakhir adalah karena perceraian ini sudah menjadi adat ataupun kebiasaan bagi masyarakat di desa kadu ti’is. 7. Apakah letak Pengadilan Agama menjadi faktor perceraian tidak dapat dilaksanakan di Pengadilan Agama? Jawab : Iya, salah satunya karena letak Pengadilan Agama yang begitu jauh dari perkampungan atau desa. 8. Apakah bapak sebagai lurah di desa ini sudah memberikan mereka nasehat tentang adanya peraturan perceraian menurut Undang-Undang? Jawab : Setiap masyarakat disini yang ingin melakukan perceraian sudah saya kasih tahu bahwa proses perceraian itu harus melalui proses persidnagan di Pengadilan Agama dan sbelumnyapun saya sudah sering mengatakanya di setiap ada pertemuan dan disetiap ada acara di desa. 9. Apakah setelah kedua belah pihak bercerai maka data-data perceraian itu ada di KUA? Jawab : Data-data itu ada di KUA tetapi data perceraian tersebut sudah lama kalau untuk akhir-akhir ini sudah tidak ada lagi yang bercerai di desa kadu ti’is, maksudnya
130 perceraian di desa ini sudah jarang terjadi lagi. Data-data perceraian disini juga tidak bisa dilegalisir karena kami tidak menginjikan memberikan
baik dalam bentuk
legalisir ataupun foto copy kepada siapapun, saya takut desa kami dilacak oleh pegawai Pengadilan atau siapapun