1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebagai sumber daya manusia dalam kehidupan, laki-laki dan perempuan sama-sama berkedudukan sebagai subyek dan objek pembangunan. Mereka mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan menikmati hasil pembangunan. Yang membedakan keduanya adalah kondisi fisiknya, yaitu alat reproduksinya, laki-laki memiliki penis sedang perempuan memiliki vagina. Kenyataannya perbedaan reproduksi antara laki-laki dan perempuan seringkali dibakukan sehingga perempuan dipandang lebih rendah dibanding lakilaki. Perempuan digambarkan sebagai manusia lemah, cengeng, tidak dapat mengambil keputusan penting, perempuan bekerja di rumah dan membantu suami mencari nafkah tambahan dan laki-laki adalah manusia sempurna, kuat dan lakilaki mencari nafkah utama (Megawangi, 1999: 95-96, Umar, 2001: 39, Marsot, 2000: 51) Perbedaan jenis kelamin yang berdampak pada pembedaan peran dan fungsi sosial—atau disebut dengan gender—inilah yang menjadi sorotan banyak intelektual. Anggapan dan pencitraan terhadap perempuan seperti di atas tentu merupakan bentuk ketidakadilan. Karena disadari ataupun tidak hal ini menimbulkan perlakuan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, akibatnya perlakuan ini seringkali menguntungkan pihak yang berjenis kelamin
2
laki-laki dibandingkan perempuan. Menurut Fakih (1999:12) perbedaan gender telah melahirkan berbagai tindakan ketidakadilan gender yang dialami oleh kaum perempuan. Menurut Fakih (1999: 13-21) ketidakadilan tersebut termanifestasi atas lima hal. Pertama, proses marginalisasi yang mengakibatkan kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, keyakinan agama, keyakinan tradisi, maupun kebiasaan. Keterwakilan perempuan dalam pemeritahan, misalnya dalam kabinet masih sangat sedikit. Begitu juga dengan kouta keterlibatan perempuan dalam politik yang—menurut Undang-Undang No 10 tahun 2008 dan UndangUndang No 2 tahun 2008—baru sebatas 30%. Kedua, munculnya subordinasi gender yang disebabkan kekeliruan anggapan mengenai perempuan yang irrasional mengakibatkan perempuan tidak bisa tampil memimpin. Ketika Megawati Soekarno Putri mencalonkan diri menjadi presiden, banyak tokoh, termasuk agamawan, yang menolaknya karena alasan agama bahwa perempuan tidak boleh memimpin. Ketiga, stereotip, yakni pelabelan atau penandaan negatif terhadap suatu kelompok tertentu yang didasarkan pada anggapan yang salah. Misalnya, perempuan dianggap tidak dapat mengambil keputusan penting, emosional, suka digoda, cengeng. Stereotip terhadap perempuan dapat dilihat dari tiga aspek: bilogis, psikologis dan mitologis. Secara bilogis, perempuan dianggap lebih lemah dari laki-laki. Sementara secara psikologis, perempuan dianggap sebagai sosok yang emosional dalam bertindak, suka dilindungi, tidak menyukai tantangan, dan serta lembut. Sedangkan secara mitologis yang merujuk pada ajaran agama dan
3
mitos-mitos
tertentu, perempuan
hampir
senantiasa
diposisikan
sebagai
subordinasi laki-laki. Dalam budaya Jawa, secara kultural dalam naskah Wulang Estri menyebutkan tugas perempuan adalah macak “berhias”, masak “memasak”, dan manak “melahirkan” dengan wilayah operasi dapur, sumur dan kasur. Dalam budaya Jawa juga dikenal dengan tiga kesetiaan perempuan, yakni ketika kecil harus patuh terhadap orang tua, ketika dewasa harus patuh terhadap suami, dan ketika sudah tua harus patuh terhadap anak-anaknya.1 Keempat, kekerasan (violence) atau serangan terhadap fisik maupun psikologis terhadap seseorang. Kekerasan yang disebabkan oleh bias gender disebut dengan gender-related violence. Kekerasan terhadap perempuan baik fisik maupun psikologis baik di ruang domestik maupun publik seringkali terjadi. Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kekerasan terhadap Tenaga Kerja Wanita (TKW) baik yang bekerja di Indonesia maupun di luar negeri terus terjadi di setiap tahunnya. Kelima, beban kerja (burden) yang ditanggung oleh perempuan yang lebih banyak dan lebih lama. Misalnya, perempuanlah (baca: ibu) yang seakan-akan bertanggungjawab untuk mengurus dan memelihara anak. Keenam, kelima dampak di atas berakibat pada tersosialisasinya citra, posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan, sehingga pada gilirannya apa yang terjadi pada perempuan dianggap sebagai peristiwa normal. Kelima manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling terkait antara satu dengan lainnya. Bahkan, kelima jenis ketidakadilan tersebut seringkali menimpa 1
Hendarto Supatra, Sri Puji Astuti, dan Suharyo, “Stereotip perempuan dalam bahasa Indonesia dalam Rumah Tangga di Pantai Utara Jawa tengah” dalam http://www.lemlit.undip.ac.id/abstrak/index2.php?option=com_content&task=view&id=246&pop =1&page=0&Itemid=288, diakses pada 3 Maret 2013
4
perempuan tidak secara satu persatu, melainkan bersamaan. Artinya, tidak jarang perempuan mengalami jenis ketidakadilan pertama, kedua, dan ketiga sekaligus. Ketidakadilan gender ini bisa dilakukan oleh siapa saja, baik masyarakat maupun lembaga pemerintah. Tidak hanya itu, dalam ranah pemikiran keagamaan, perempuan juga sering diposisikan secara subordinat di bawah laki-laki. Misalnya, ketika Megawati
Soekarno
Putri
hendak
mencalonkan
diri
sebagai
presiden
menggantikan B.J. Habibie, sejumlah kiai menolaknya dengan alasan bahwa menurut Islam perempuan tidak diperkenankan menjadi pemimpin. Selain itu, konsep dosa exist dalam doktrin tentang legend of the fall dan pembantaian Habil dan Qabil merupakan bentuk ketidakdilan gender. Legend of the fall dalam tiga tradisi agama (Abrahamic religions; Yahudi, Kristen dan Islam) merupakan kisah dramatis kejatuhan Adam dan Hawa yang konon berada dalam suatu tempat istimewa, Surga. Dalam doktrin tersebut, perempuan diyakini sebagai sumber dosa dan penggoda laki-laki (Adam), sehingga jatuh ke dalam jurang kegelapan (Becher, 2004: 143, Kvam dkk (ed), 1999, Dirks, 2006: 261-266). Dalam doktrin tersebut, perempuan diyakini sebagai penyebab diturunkannya Adam ke bumi, Hawa pada waktu itu dipercayai telah membujuk Adam untuk memakan buah khuldi sehingga Adam memakan buah tersebut—dalam Alkitab disebut buah Keabadian—yang dilarang oleh Allah. Dalam al-Qur’an, peristiwa ini tertulis pada surat al-Baqarah ayat 35-39. Dalam ayat tersebut disebutkan jika Adam mendekati pohon tersebut maka ia termasuk orang-orang yang dhalim.
5
Ini artinya, stereotip terhadap perempuan tidak hanya terjadi dalam ruang kehidupan sosial, tetapi juga ada dalam tradisi teks, termasuk teks keagamaan. Selain teks keagamaan, dalam teks karya sastra, ketidakadilan gender juga sering ditemukan. Hal ini karena karya sastra pada dasarnya merupakan fenomena kehidupan, struktur dan kebudayaan suatu masyarakat. Karya sastra sebagai sebuah karya yang dihasilkan melalui proses imajinasi merupakan cerminan fenomena sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Karya sastra lahir dari konteks sejarah dan sosial suatu bangsa, sehingga karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya yang melatarinya (Teeuw, 1983:11). Persoalan perempuan ini juga termuat dalam beberapa naskah lain di antaranya adalah Lontaraq Tanété, Sampek dan Engtay, Hikayat Nabi Yusuf, Serat Candrarini, dan lain sebagainya. Serat Yusuf sebagai produk budaya pada masanya merupakan bentuk gubahan dari surat Yusuf dalam al-Qur’an, yang telah dialihbahasakan ke aksara Jawa dan Pegon (menggunakan huruf Arab tetapi dalam bahasa daerah). Gubahannya berbentuk tembang macapat dengan menyisipkan beberapa cerita yang sebenarnya tidak terdapat dalam cerita aslinya. Masyarakat Jawa sebagai bagian dari Serat Yusuf, memposisikan perempuan dalam posisi nomor dua. Stereotip yang negatif terhadap perempuan semakin membuat perempuan terkungkung dalam masalah-masalah domestik. Tidak jarang stereotip ini kemudian menjadikan perempuan mengalami subordinasi dan kekerasan dari patnernya yakni laki-laki.
6
Menurut Titik Pujiastuti (1984), Serat Yusuf mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa. Ia digunakan dalam tata cara kehidupan sehari-hari sebagai sebuah tradisi yang berhubungan dengan masalah pranata, yakni pada upacara-upacara yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup manusia dan masalah lain yang dianggap cukup penting dalam kehidupan masyarakat Jawa, misalnya untuk tujuan ekonomis, memikat lawan jenis, acara tujuh bulanan kehamilan dan lain-lain. Serat Yusuf yang ditulis oleh Nalaputra (1935), sebagai produk budaya Jawa abad 19 yang erat dengan budaya patriarki menggambarkan sosok perempuan sebagai makhluk yang irrasional, suka menggunjing, tidak setia, dan lain sebagainya. Misalnya, perempuan digambarkan suka menggoda terdapat dalam pupuh ketiga belas nomor 27-28 berbunyi: 27. Ri sampoeni mangkana poetry Djalika, tan kena nahen brangti, Kalindi kasmaran, soemapoet ing wredja, atangkep lawing sang poetry, Sarwja ngoendjimat, anggajoe asta anglis 27. Sesudah demikian jalika tak kuasa menahan cinta, menahan asmara terasa pening, lalu menutup pintu, sambil mengerling/melirik. 28. Markija goesti pakanira njawa, tambnen oeneng mami, deni laraningwang, tan ijan na sira toewan, joesoep lingi djoro naleki, moega hjang soekma, angraksa-a ing kami 28. Kemarilah sayang dikau, obati rasa rindu hamba, sebab hamba menanggung sakit, tiada lain karena dikau, Yusup. Dalam hati berkata, semoga Tuhan melindungi hamba.
Dari penggalan Serat Yusuf di atas dapat digambarkan bahwa Zulaikha adalah istri seorang raja yang berusaha untuk menggoda Yusuf seringkali dijadikan justifikasi bahwa perempuan secara umum adalah suka menggoda dan tidak setia, sebagaimana yang dicitrakan oleh Zulaikha dalam Serat Yusuf ini.
7
Budaya patriakhi ini tidak hanya berlaku pada masa Serat ini ada, tetapi juga berlaku hingga sekarang, baik di Timur ataupun di Barat (Retnowulandari, 2010). Terkait dengan hal ini, al-Qur’an dalam surat Yusuf ayat 23 disebutkan bahwa: Artinya: Dan wanita yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.
Baik Serat Yusuf maupun surat Yusuf sama-sama menceritakan bahwa Yusuf digoda. Namun membedakan keduanya adalah bahwa dalam Surat Yusuf tidak disebutkan siapa perempuan tersebut, sementara dalam Serat Yusuf secara eksplisit disebutkan adalah Zulaikha. Selain itu, Serat Yusuf menceritakan kisah Yusuf dan Zulaikha lebih detail daripada Surat Yusuf. Contoh lain ketidaksesuaian Surat Yusuf dengan Serat Yusuf adalah soal keperawanan Zulaikha kendati ia sudah menjadi istri raja, sebagaimana yang disebutkan dalam Serat Yusuf sebagai berikut: Kotjapa sira sang Nata, aptya goeling kalawan Sang soepoetri, linroenan periekoe, denira Sang hjang Soeksma, edjin kang dateng aroepa poetri sampoen, rowangi sapagoelingan, satjoembana lan Sang Aji. (bait 21) [Sang Nata ingin tidur dengan sang Putri, kuasa Tuhan diganti emban, jin datang menyerupai sang Putri, menemani seperaduan, bersetubuh dengan sang Aji] Poetri Djalika rinaksa, ing Hjang Soeksma ambalanang wawangi, tan kena sira Sang Praboe, amoeroegoel ta sira, poetri Djalika maksi kanya sirekoe, sinadya deni Pangeran, ing Bagenda Joesoep singgi (bait 22)
8
[Putri Jalika dilindungi Tuhan, sang Prabu tidak berkenan memperkosanya. Putri Jalika tetap masih perawan, disengaja oleh Tuhan, sebenarnya bagi Baginda Yusuf]
Sementara
itu,
al-Qur’an
tidak
memberikan
keterangan
tentang
keperawanan Zulaikha. Sebagai karya sastra, Serat Yusuf dikembangkan berdasarkan imajinasi dan kreatifitas pengarang, sehingga perluasan kisah, percakapan, nama-nama tokoh bahkan penambahan alur cerita adalah wajar (lihat lampiran perbedaan dan persamaan kisah Yusuf antara Serat Yusuf dan Surat Yusuf) Penelitian dilakukan karena dilatarbelakangi sebuah masalah yang ingin dicari penyelesaiannya. Masalah yang ingin diteliti dalam penelitian ini adalah, adanya ketidakcocokan antara das sollen—adanya kesejajaran dan keadilan gender dalam masyarakat, dalam al-Qur’an (QS, 3:195; 16:97; 4:124; 9:71-72; dan 4:32), laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Allah, dengan das sein bahwa perempuan dalam Serat Yusuf digambarkan dengan stereotip yang negatif akibat dari budaya patriarki, yang mengakibatkan perempuan menempati posisi yang subordinat di bawah laki-laki telah menggugah peneliti untuk mengkaji lebih jauh tentang Serat Yusuf ini. Atas hal ini, ada empat hipotesis. Pertama, laki-laki dan perempuan sebagai sumber daya manusia (SDM) sama-sama mempunyai hak dan kewajiban dalam masyarakat. Kedua, keduanya (laki-laki dan perempuan) mempunyai peran bagi kehidupan masyarakat. Ketiga, peran keduanya (laki-laki dan perempuan) selama ini tidak seimbang, kedudukannya tidak setara. Keempat, ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan menimbulkan ketidakadilan. Kelima, ketidakadilan merupakan nilai yang melanggar prinsip kemanusiaan (HAM).
9
Rekomendasi No.19 Sidang ke 11 tahun 1992 Komite PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, dengan jelas menyebutkan bahwa kekerasan berbasis gender adalah sebuah bentuk diskriminasi yang langsung ditujukan terhadap perempuan, karena hal tersebut memberi akibat pada perempuan secara tidak proporsional, menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas dasar persamaan hak dengan laki-laki. Hal tersebut termasuk tindakan-tindakan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, mental dan seksual, ancaman-ancaman, paksaan dan perampasan kebebasan lainnya. Selanjutnya seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis (psikis) berupa trauma emosional dan pembatasan kebebasan secara legal, sosial maupun kultural (Convention Watch Universitas Indonesia, 2004: 47). Sebuah karya sastra, termasuk Serat Yusuf, lahir dalam locus dan tempus tertentu, oleh sebab itu situasi lahirnya sebuah teks memberikan konstribusi atas muatan karya tersebut. Sebagaimana kodrat alaminya, karya sastra merupakan institusi sosial yang dipengaruhi dan mempengaruhi sosial (Kushartanti, 2005: 141). Ini artinya bahwa Serat Yusuf selain dipengaruhi oleh konteks sosial saat Serat Yusuf ini dikarang, juga Serat Yusuf memberikan pengaruh terhadap konteks sosial saat itu, bahkan juga sampai saat ini Serat Yusuf memiliki peranan penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya Jawa, sebagaimana yang diungkap oleh Titik Pujiastuti (1984). Fenomena ini menjadikan penelitian ini sangat penting untuk dilakukan.
10
Seluruh naskah ini menjadi sumber data, yang akan menampilkan citra perempuan sebagai 1), sosok yang memikat namun pasif dan lemah, 2), emosional, 3) tidak dapat mengendalikan birahinya, 4) pelayan laki-laki, dan 5), memiliki iman yang lebih rendah dibanding laki-laki. Secara keseluruhan naskah Serat Yusuf yang tersebar diberbagai tempat berjumlah 111 naskah. Keseluruhan naskah tersebut tersimpan di antaranya (1) di Yogyakarta, yakni Perpustakaan Museum Sonobudoyo dan Perpustakaan Pakualaman. (2) Di Surakarta, yakni Perpustakaan Kraton Surakarta, Perpustaaan Mangkunagara
dan
Perpustakaan
Radyapustaka.
(3)
di
Jakarta,
yakni
Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Dari beberapa variasi Serat Yusuf yang berada di beberapa tempat tersebut, penulis memilih Serat Yusuf yang ditulis oleh Nalaputra, yakni naskah nomor PBB 38 yang berada di Museum Sono Budoyo Yogyakarta, dengan alasan di antaranya; keadaan naskah ini masih sangat baik dan pembahasan mengenai kisah Yusuf-Zulaikha cukup panjang, serta paling mudah diakses oleh peneliti. Kisah Yusuf yang unik (merupakan kisah terbaik/ahsan al-Qashash) dan populer--memiliki banyak verian dalam berbagai bahasa di antaranya Arab, Jawa, Melayu, dan Belanda--ini menjadi penting dalam Kajian Timur Tengah. Sebab, selain kisah Yusuf merupakan kisah dalam al-Qur’an yang turun di wilayah Arab, kisah Yusuf dalam Serat Yusuf sendiri merupakan karya sastra yang ditulis pada masa Islamisasi gencar di Indonesia, di sini bisa diketahui bagaimana pengaruh
11
Islam yang berasal dari Timur Tengah sangat kuat hingga masuk sendi-sendi masyarakat khususnya karya sastra.
B. Masalah, Rumusan Masalah dan Permasalahan Dalam konteks ilmu sastra, penelitian merupakan suatu proses penajaman tentang msalah-masalah yang berhubungan dengan sistem sastra. Oleh karena itu, suatu masalah dikemukakan di dalam penelitian merupakan akibat dari kepekaan tertentu terhadap fenomena literer yang dihadapi (Chamamah, 1990: 5). Penelitian dilakukan karena adanya kesenjangan antara das sain dan das sollen. Masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah adanya ketidakadilan gender yang dialami oleh perempuan dalam Serat Yusuf. Penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan gambaran ketidakadilan gender yang dialami perempuan Jawa yang ada dalam masyarakatnya. Dari uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah patriarki yang terdapat dalam Serat Yusuf sebagai bentuk resepsi dari Surat Yusuf dalam alQuran. Permasalahan yang akan dicari jawaban dalam penelitian adalah pada aspek pernaskahan, kesusastraan yakni Serat Yusuf sebagai bagian dari karya sastra, keperempuanan dan yang terakhir adalah aspek resepsi dari cerita yang terdapat dalam al-Qur’an. C. Obyek Penelitian Penelitian ini memiliki dua objek, sebagai berikut:
12
1. Formal Objek formal penelitian ini adalah perempuan dalam citra ketidakadilan gender. 2. Material Sumber data dalam penelitian ini adalah karya-karya yang menceritakan perempuan dalam citra ketidakadilan gender di antaranya adalah Lontaraq Tanété, Sampek dan Engtay, Hikayat Nabi Yusuf, Serat Candrarini, dan lain sebagainya. Pada era masa kini, Persepsi tentang citra perempuan yang demikian masih terlihat juga. Misalnya Gadis Pantai karya Pramudia Ananta Toer, Perempuan Dititik Nol karya Nawal El Sadawi, Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang, Tarian Bumi karya Oka Rusmini, Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisabana, Belenggu karya Armin Pane, dan Serat Yusuf karya Nalaputra. a. Populasi Data yang dipilih untuk dimasukkan sebagai populasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pada ketentuan, yakni karya-karya yang menggambarkan perempuan dalam citra ketidakadilan gender dalam konteks Indonesia. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari beberapa karya sastra. Hal ini dilakukan untuk mengetahui perspektif masyarakat dalam memandang perempuan yang terdapat dalam karya-karya mereka. Keseluruhan populasinya adalah Hikayat Nabi Yusuf (1983), Serat Candrarini (1792), Serat Dharma Gandul (1959) dan Serat Yusuf (1932).
13
b. Sampel Dalam penelitian ini dipilih satu karya sastra yakni Serat Yusuf. Hal ini berdasarkan pada penilaian bahwa Serat Yusuf merupakan naskah yang dapat dipandang representasi dalam menampilkan data penelitian ini. Selain itu, naskah ini terjangkau dan uraiannya luas. Naskah merupakan warisan budaya yang perlu dijaga kelestarian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, nilai yang memberi informasi tentang tujuan penelitian. Naskah lama merupakan akar budaya yang secara langsung sebagai identitas budaya bangsa.
D. Tujuan penelitian Peneliti membagi tujuan penelitian ini ke dalam dua bagian: teoritis dan praktis, sebagai berikut: 1. Teoritis a) Memberikan sumbangan penelitian yang berperspektif keadilan gender dalam kajian sastra nusantara. b) Mengetahui per-teks-an dan kedudukan naskah Serat Yusuf karya Nalaputra dalam hal ketidakadilan gender di antara naskah-naskah Serat Yusuf lainnya. c) Sebagai salah satu media untuk menyampaikan pesan, masukan dan ide mengenai perempuan bagi masyarakat.
14
2. Praktis a) Menyelamatkan nilai-nilai yang terkandung dalam naskah lama, sebagai peninggalan masa lampau yang bernilai kehidupan budaya dan agama. b) Memberikan
informasi
kepada
pembaca
dalam
menyikapi
ketimpangan gender yang menimpa perempuan di antaranya berawal dari stereotip yang melekat pada perempuan. c) Memberikan alternatif pandangan masyarakat pembaca bahwa pandangan terhadap perempuan tidak lepas dari sasio-kultur seseorang itu berada dan sesuai dengan masanya dalam hal ini kenyataan yang menimpa perempuan merupakan akibat dari budaya patriarki yang dikonstruksikan secara sepihak untuk semakin mensubsordinasi perempuan dan menguatkan superioritas laki-laki. d) Pembacaan terhadap karya yang materi teksnya diambil dari alQur’an, harus memperhatikan latar penciptaan karya tersebut bahwa pembacaan tersebut terpolusi oleh faktor sosial budaya masyarakat yang menciptakannya.
E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini di antara penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.Tinjauan Pustaka dikemukakan dari aspek-aspek masalah yang pernah dikemukakan dalam permasalahan yang akan dibagi menjadi dua bagian, sebagaimana yang tampak
15
pada judul penelitian ini, Perempuan dalam Citra Ketidakadilan Gender Kajian Feminis dan Resepsi atas Kisah Yusuf dalam Serat Yusuf yaitu: E.1. Ketidakadilan Gender Sebelum membahas tentang penelitian-penelitian tentang ketidakadilan gender, penting kiranya untuk mengulas tentang definisi ketidakadilan gender. Istilah
ketidakadilan
gender
merupakan
gabungan
antara
dua
kata
ketidakkeadilan (kebalikan dari keadilan) dan gender. Keadilan yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai justice dalam kamus Oxford Advanced Learner (Crowther (Ed), 1995: 645) dimaknai sebagi 1) right and fair behaviour or treatment, 2) the quality of being fair or reasonable. Ini artinya bahwa keadilan suatu sikap yang terbebas dari diskriminasi dan ketidakjujuran. Sementara
gender
merupakan
istilah
yang
digunakan
untuk
menggambarkan karakteristik laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh konstruksi sosial yang bernuansa psikologis, sosiologis dan budaya (Murniati, 2004: 60). Istilah gender dibedakan dengan istilah seks, di mana gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari
segi
sosial-budaya,
maka
seks
secara
umum
dipakai
untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis.
Jadi
keadilan
gender
dapat
dipahami
dengan
melakukan
penyamarataan atau kesamaan terhadap laki-laki maupun perempuan dalam konstruksi sosial baik dari segi psikologis, sosiologis maupun budaya. Ketidakadilan gender terjadi ketika seseorang diperlakukan berbeda (tidak adil) berdasarkan alasan gender. Kenapa seseorang dapat dikatakan
16
mengalami ketidakadilan gender sebab dalam relasi antara laki-laki dan perempuan telah terjadi ketimpangan, asimetris, tidak setara dan diskriminatif. Tindak kekerasan yang terkait dengan perbedaan jenis kelamin yang dikenal dengan istilah kekerasan berbasis gender (gender based violence) yakni tindak kekerasan yang diakibatkan oleh relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki, pada relasi powerless-powerful antara keduanya. Perempuan sebagai pihak yang poweless akan lebih mudah menerima kekerasan fisik dan psikis dari laki-laki, yang powerful. Motif dibalik suatu tindak kekerasan misalnya bukan hanya untuk mendapatkan kepuasan seksual, melainkan juga merupakan pembuktian akan supremasi, dominasi dan kontrol terhadap perempuan (Sihite, 2007: 226) Mansour Fakih (1999:12-13) mengatakan ketidakadilan gender merupakan sistem atau struktur sosial di mana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban. Ketidakadilan termanifestasikan dalam bentuk marjinalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, stereotip, diskriminasi dan kekerasan. Dus, tema tentang perempuan dalam citra ketidakadilan gender telah banyak diteliti, di antaranya adalah oleh Asep Didik Sodikin dengan judul “Perlawanan Perempuan Terhadap Ketidakadilan Gender: Tinjauan Kritik Sastra Feminis dalam Novel Entrok karya Okky Madasari”. Ini merupakan tesis yang diajukan pada Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada tahun 2011. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa perempuan memanfaatkan karya sastra sebagai sarana strategis untuk mencapai kesetaraan
17
hak bersama laki-laki. Melalui novel Entrok, perempuan menulis gagasan perlawanan terhadap ketidakadilan gender dengan menyuarakan beragam fakta yang dialami perempuan dari sudut pandang mereka, seperti ketidakadilan gender yang termanifestasi dalam stereotip, subordinasi, marjinalisasi, kekerasan dan beban kerja. Realitas ketertindasan yang disuarakan perempuan melalui ketidakadilan gender mencakup keterbatasan untuk bertindak, memilih, memegang prinsip hidup diungkapkan apa adanya, seksualitas dan tubuh. Pengungkapan ketidakadilan ini diharapkan dapat membuka kesadaran perempuan untuk melakukan langkah-langkah antisipasi dan melakukan perlawanan terhadap penindasan melalui tindakan nyata. Dengan begitu perempuan dapat menjadi diri yang mampu menyuarakan kehendaknya seperti laki-laki. Perempuan merupakan diri yang bebas, bukan milik laki-laki (sistem patriarki) tetapi milik dirinya sendiri. Perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan gender dalam novel Entrok dilakukan dengan membuat tahapan-tahapan membangun kekuatan pondasi perlawanan. Tahapan ini berupa penguasaan perempuan terhadap bidang pendidikan dan ekonomi di sektor publik dan domestik. Kekuasaan perempuan pada kedua bidang ini pada gilirannya dapat membentuk kekuatan besar dalam rangka melawan ketidakadilan gender dalam bentuk sikap mental negatif, marjinalisasi, adat-istiadat, kekerasan seksual dan kebijakan pemerintah. Penelitian lainnya berjudul “Representasi Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Film Analisis Semiotik Terhadap Film Provoked” ditulis
18
oleh Novika Purwindah yang diajukan pada Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarya tahun 2011. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan akan menyebabkan korban kehilangan haknya sebagai perempuan untuk hidup sesuai dengan asas persamaan, kemerdekaan dan keamanan pribadi untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, mendapat pelayanan kesehatan fisik maupun
mental
yang
sebaik-baiknya,
dan
untuk
tidak
mengalami
penganiayaan maupun kekejaman lain, perlakuan atau penyiksaan secara tidak manusiawi sesuai dengan pasal 3 rumusan kesepakaan hasil konvensi PBB tahun 1979 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Selanjutnya akar penyebab dari segala bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah karena pemahaman yang keliru, konstruksi sosial dan nilainilai budaya patriarki. Konstruksi ini sulit untuk diubah karena seluruh sistem sosial
dan
budaya
masyarakat
seakan
sengaja
dirancang
untuk
mempertahankan tatanan yang mengukuhkan kekuatan nilai-nilai patriarki. Rosa M. C. Petege meneliti tentang “Pemahaman Konsep Gender dan Sikap Terhadap Ketidakadilan Gender Pada Perempuan Dalam Budaya Suku Mee Di Papua”. Tesis ini diajukan pada Pasca Sarjana Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2003. Dengan mengunakan 5 hipotesis, penelitian ini menyatakan bahwa: (1) pada umumnya mahasiswa suku Mee di Jawa memiliki pemahaman konsep gender secara baik, namun dengan skor empiris yang rendah sehingga pemahaman tersebut perlu ditingkatkan, (2) mahasiswa
19
suku Mee cenderung menolak terhadap berbagai bentuk ketidakadilan yang umum terjadi dalam budaya suku Mee, namun dengan skor empiris yang rendah, yakni banyak mahasiswa yang cenderung mempertahankan berbagai bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan. (3) Perbedaan pemahaman konsep gender secara signifikan hanya ditemukan antara mahasiswa Jabotabek-Jawa Barat dengan kota studi yang lain, sedangkan antara kelompok mahasiswa yang lainnya tidak terdapat perbedaan pemahaman, (4) perbedaan sikap terhadap ketidakadilan gender pada perempuan secara signifikan hanya ditemukan antara mahasiswa Jabotabek-Jawa Barat dengan kota studi yang lain, antara laki-laki dan perempuan, dan antara mahasiswa semester 6 ke atas dan mahasiswa semester awal, sedang antara kelompok
mahasiswa yang lainnya tidak terdapat
perbedaan sikap, (5) sikap ketidakadilan gender pada perempuan ditemukan mempunyai korelasi yang positif dan sangat berarti dengan pemahaman konsep gender. Penelitian lainnya berjudul “Potret Wanita Suku Dani Dalam Novel Sali Karya Dewi Linggasari: Kajian Sosiologi Sastra”, yang ditulis oleh Mustahid. Penelitian ini merupakan tesis yang diajukan kepada Program Studi Ilmu Sastra Pasca Sarjana Jurusan Ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2009 ini mengungkapkan bahwa novel Sali mencerminkan masalah kehidupan perempuan suku Dani yang diwarnai oleh adat yang konservatif yang telah membawa kehidupan masyarakatnya tidak berkeadilan. Penulis mengatakan untuk menghindari ketidakadilan tersebut diperlukan
20
adanya
pencerahan
kepada
masyarakat,
yakni
sesuatu
yang
dapat
menumbuhkan pikiran kritis pada permasalahan yang dihadapi. Novel Sali menawarkan solusi dengan memberikan pengetahuan serta pendidikan. Menurut penulis, dengan cara ini dapat memberi pandangan terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga adat yang konservatif tidak terjadi lagi. Melalui metode ekranisasi, Sri Mariati meneliti tentang “Simbol Ketidakadilan Gender Terhadap Novel Dan Film Perempuan Berkalung Sorban”. Penelitian yang diajukan pada Universitas Gadjah Mada tahun 2010 ini menyatakan bahwa baik dalam novel maupun film perempuan berkalung sorban menunjukan bahwa simbol-simbol ketidakadilan gender terlihat pada kata-kata dan kalimat yang mengandung makna konotatif yang berwujud pada stereotipe, marjinalisasi, subordinasi dan kekerasan. Dwi Sulistiorini mengangkat tema “Citra Wanita Dalam Kumpulan Cerpen Lakon Dikota Kecil Karya Ratna Indraswari Ibrahim”, sebuah tesis yang diajukan pada program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang tahun 2005.
Penelitian ini mengangkat masalah bahwa dalam kumpulan
cerpen tersebut diketahui terdapat marjinalisasi terhadap citra perempuan dalam konstruksi cerita-cerita domestik sosial. Dengan memakai pisau analisis sastra feminis disimpulkan bahwa dari kumpulan cerpen Lakon Dikota Kecil, sebelas cerpen dari dua puluh cerpen menggambarkan wanita tunduk terhadap budaya patriarki, sehingga ideologi gender yang diterapkan oleh para tokoh dapat mengokohkan budaya patriarki dan menimbulkan ketidakadilan gender, sedang sembilan lainnya berjuang melawan budaya patriarki, untuk
21
mengembalikan hakikat kaumnya agar dianggap sebagai manusia yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki, dan pada akhirnya tokohtokoh ini dapat memperoleh keadilan gender. Peneliti juga menegaskan bahwa kumpulan cerpen Lakon Dikota Kecil memberikan informasi kepada pembaca bahwa terdapat perjuangan perempuan untuk mendapatkan pengakuan yang sejajar dengan laki-laki. Sementara itu, hasil penelitian Chrisna Putri Kurniati tahun 2008 yang berjudul “Citra Perempuan Dalam Novel Sinden Karya Purwadmadi Admadipurwa Sebuah Kajian Sastra Feminis” (Fakultas Ilmu Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) menyatakan bahwa konsep citra perempuan dalam budaya Jawa yang bertolak pada budaya patriarki adalah makhluk yang halus, lembut dan lemah. Oleh karena itu lakilaki menganggap bahwa perempuan cukup berdiam di rumah saja, mengurus dapur, dan mengasuh anak sehingga tidak perlu ikut campur dalam urusan di luar rumah. Konsep ini dalam tradisi Jawa disebut dengan konco wingking yang tugasnya olah-olah, umbah-umbah, mengkurep mlumah, lan momong bocah. Menurutnya, tugas domestik yang diperankan oleh perempuan adalah bentuk pengabdian seorang perempuan sebagai istri. Selain itu, citra perempuan sebagai istri juga dituntut untuk setia pada suami membuat perempuan semakin terpuruk pada posisi sebagai pelayan suami. Situasi tersebut sebagai faktor lahirnya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diwujudkan dengan kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual dan pelacuran.
22
Untuk menghadapi hal ini, menurut Kurniati (2008) keberadaan perempuan dalam keluarga dan masyarakat harus mendukung persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan, kebebasan dalam mengeluarkan pendapat dan diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk menentukan kehidupannya sendiri. Sudiati menulis tesis berjudul “Citra Wanita Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami” untuk fakultas Ilmu Budaya Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2005. Dengan menggunakan teori sastra feminis dan struktur naratif, hasil penelitiannya menyatakan bahwa wanita dalam Saman mengalami permasalahan yang oleh Sudiati dikelompokkan menjadi 6; pengalaman seksual wanita, permasalahan virginitas, kebebasan reproduksi, sistem patriarki dalam keluarga, pembagian kerja seksual, dan adat perkawinan Jawa. Wujud citra wanita dalam novel Saman dapat dikenali berdasarkan aspek sosiologis dan psikologisnya. Aspek sosiologis tampak pada kondisi sosial meliputi latar sosial, sosial keagamaan dan latar pendidikannya. Tokoh perempuan ini dicitrakan sebagai tokoh berpendidikan tinggi yang modern-egaliter yang cenderung tidak mematuhi pranata sosial patriarki. Sedang aspek psikologisnya tampak pada bentuk kepribadian tokoh wanitanya. Kepribadian ini lebih didominasi oleh kepribadian yang bersifat superior. Bentuk kepribadian tokoh wanita dimiliki oleh keempat tokoh yang ada. Laila merupakan tokoh berpendirian yang kuat, tidak menyukai pembedaan pembagian kerja antara wanita dengan pria, menganut paham sek bebas, menentang adanya pandangan bahwa wanita itu the second sex. Yasmin
23
merupakan sosok wanita yang pandai, cantik dan kaya tetapi dalam perjalanan kehidupannya mengalami perubahan kepribadian dari wanita setia menjadi tidak setia. Cok merupakan sosok wanita mempunyai idealisme kuat, modern, dinamis dan setia dalam persahabatan dan bebas dalam memandang masalah seksualitas. Terakhir, Shakuntala adalah wanita berpendirian kuat penganut prinsip sek bebas, dan tidak mau terikat pada pranata sosial yang berlaku dalam masyarakat. Dalam ranah politik, tulisan Tri Marhaeni Puji Astuti dalam jurnal Yin Yang/ Vol.3/ No.1/ Jan-Jun 2008 STAIN Purwokerto menulis artikel berjudul “Citra Perempuan Dalam Politik”. Ia menjelaskan bahwa isu-isu yang berkaitan dengan perempuan dan politik tidak lepas dari image dan konstruksi sosial perempuan dalam relasi masyarakat. Image yang melekat dalam benak masyarakat adalah konsep stereotip tentang perempuan di berbagai sektor, termasuk dalam sektor politik dan pemerintahan. Image tersebut akhirnya “ditarik” ke dunia publik —termasuk di dunia politik— bahwa perempuan “tidak layak” memimpin karena perempuan tidak rasional dan lebih mengandalkan emosinya. Pandangan yang bersumber dari stereotip dan bias gender inilah yang akhirnya banyak menimbulkan ketimpangan gender di berbagai sektor. Kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang politik sebenarnya ada dan memungkinkan, namun karena berbagai faktor perempuan yang masuk pada ranah politik jarang sekali terjadi. Faktor utamanya adalah pandangan stereotip bahwa dunia politik merupakan dunia publik, dunia yang
24
keras, dunia yang memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan dunia yang membutuhkan pikiran-pikiran cerdas, yang kesemuanya itu diasumsikan milik laki-laki, bukan perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah “penghuni” area domestik, tidak dapat berpikir rasional dan kurang berani mengambil risiko yang kesemuanya itu sudah menjadi stereotip perempuan. Faktor lain adalah ketimpangan-ketimpangan gender yang berakar dari sosial budaya mengakibatkan jumlah perempuan yang mencapai jenjang pendidikan tinggi lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Akibatnya perempuan tidak mempunyai pengetahuan yang memadai dan tidak dapat berkiprah dalam dunia politik. Selain itu, pemahaman politik di kalangan perempuan juga masih rendah, mengingat dunia politik adalah “milik laki-laki”, maka masyarakat memandang tidak perlu memberi pemahaman politik pada kaum perempuan. Tulisan mengenai citra perempuan melalui kacamata seni telah dilakukan oleh Murtadi, dengan tema “Citra Perempuan Dalam Iklan Di Majalah Femina Edisi Tahun 1999; Kajian Semiotik Terhadap Nilai-Nilai Gender Dalam Desain Iklan” . Tulisan ini dimuat dalam jurnal Nirmana Vol.3 Juli 2001, Fakultas Bahasa Dan Sastra Universitas Negeri Surabaya. Tulisan ini menghasilkan kesimpulan bahwa secara umum citra perempuan digambarkan sebagai insan yang memiliki peran menjadi “penjaga nilai-nilai halus dan adiluhung” di rumah. Konsep iklan rata-rata menggambarkan bahwa kodrat perempuan sebagai makhluk dengan tugas utama penyambung
25
keturunan, lemah lembut, anggun, pandai memasak, lebih emosional dan fisiknya kurang kuat. Lebih lanjut Murtadi mengelompokkan citra perempuan dalam iklan di atas menjadi lima poin pokok; Pertama, citra perempuan sebagai pengurus utama keluarga, di sini digambarkan kesuksesan perempuan bukan dilihat dari pendidikan maupun kariernya, tapi lebih ditentukan keberhasilannya dalam mengatur rumah tangganya, yaitu sebagai pendamping suami dan dalam mendidik anak-anaknya. Kedua, citra perempuan sebagai pengemban tugas-tugas di dapur. Image yang muncul dalam iklan kelompok ini adalah meskipun perempuan memiliki pendidikan dan karier yang tinggi, pekerjaan di dapur tetap merupakan tugas utama dan masalah pokok pembagian pekerjaan dalam rumah tangga yang cenderung memberatkan kaum istri tidak dipecahkan, tetapi malah dibiarkan agar intervensi dari produk/jasa yang diiklankan dapat dimungkinkan berperanan. Ketiga, citra perempuan yang selalu ingin tampil memikat secara kondrati. Perempuan dicitrakan sebagai sosok yang ingin tampil sempurna. Untuk itu perempuan perlu mempertegas kodrat keperempuanannya secara biologis. Agar perempuan dapat mencapai kondisi tersebut maka seluruh anggota tubuh harus dalam keadaan sehat dan selalu dirawat secara teratur. Keempat, citra perempuan yang selalu harus mengikuti pergaulan. Poin ini menyatakan secara kodrati perempuan selalu dihantui oleh ketakutanketakutan akan kekurangan pada dirinya. Untuk itu mereka ingin selalu menutupi kekurangan tersebut agar tampil sempurna sehingga merasa diterima
26
di kelompok pergaulan tertentu. Kelima, citra perempuan sebagai obyek untuk menyenangkan
(pemuas)
laki-laki.
Pada
beberapa
iklan,
masih
memperlihatkan citra perempuan yang dipandang sebagai “obyek” untuk memuaskan kaum laki-laki, meskipun dalam iklan di majalah Femina citra tersebut digambarkan secara lebih halus (tersirat). Dari penelitian-penelitian di atas jelas bahwa tema mengenai perempuan dalam citra ketidakadilan gender dalam kisah Yusuf belum menjadi obyek materi yang diteliti, oleh sebab itu maka penelitian ini perlu dilakukan.
E.2. Kisah dan Serat Yusuf Penelitian mengenai kisah Yusuf telah dilakukan, di antaranya: Pertama, Pada tahun 1984, Titik Pujiastuti meneliti Serat Yusuf dengan judul “Peranan Serat Yusuf di dalam Kehidupan Masyarakat Jawa”. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa Serat Yusuf memiliki peranan yang sangat besar dalam perkembangan masyarakat Jawa. Kedua, Abdul Aziz Muslim dengan tema “Serat Yusuf Mangunpawira; Telaah Filologi dan Analisis Resepsi”. Tulisan ini merupakan tesis yang diajukan pada Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2009. Dengan menggunakan obyek materi Serat Yusuf karya Mangunpawira, penelitian ini dilakukan dengan masalah struktur tembang macapat dan struktur intrinsik sastra. Dari penelitian ini diketahui bahwa hadirnya Serat Yusuf di tengah-tengah masyarakat pendukungnya
27
adalah bentuk usaha yang dilakukan oleh penulis dalam mendakwahkan ajaran Islam dengan media sastra. Alasan lainnya adalah dalam rangka membumikan al-Qur’an di tengah kondisi masyarakat yang masih belum banyak yang memahami ajaran-ajaran al-Qur’an dengan media bahasa Arab. Oleh karena itu hadirnya ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an yang digubah ke dalam bentuk tembang akan terasa mudah. Ketiga adalah penelitian mengenai struktur naratif kisah nabi Yusuf yang telah dilakukan oleh Fadhil Munawar Mansur, tetapi dia menggunakan obyek materi syarah teks Raudatul Irfan, kitab tafsir berbahasa Sunda. Penelitian ini merupakan sebuah laporan penelitian yang berada pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 1992. Dari ketiga penelitian ini jelas bahwa tema tentang perempuan dalam ketidakadilan gender dalam kisah Yusuf masih belum dilakukan. Keempat, Hikayat Nabi Yusuf yang ditulis pada tahun 1955. Hikayat nabi Yusuf berbentuk buku yang telah dicetak, pasalnya buku ini ditulis berdasarkan kitab Kasasul Anbiya (kisah para nabi). Kitab ini telah ditulis oleh seorang penulis Aceh bernama Ishak Peutua. Selain menulis hikayat nabi Yusuf, Peutua juga menghasilkan kisah nabi Musa dan nabi Sulaiman yang berjudul Hikayat Nabi Musa dan Hikayat Nabi Sulaiman. Hikayat nabi Yusuf ditulis dengan tulisan Arab yang cukup jelas dengan menggunakan bahasa Aceh yang baik. Dengan deskripsi naskah ukuran 20 x 16 cm, tebal 194 halaman yang tiap halamannya terdiri dari 24 baris. Hikayat nabi Yusuf ini
28
telah dialihaksarakan ke dalam bahasa Latin sebagaimana adanya dalam naskah oleh Ramli Harun pada tahun 1983 (Ishak: 1983).
F. Kerangka Teori Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, maka dilanjutkan dengan penerapan teori yang relevan untuk mendukung tercapainya tujuan penelitian yang dimaksud. Teori yang akan dipakai dalam penelitian ini ada 3 yakni (1) teori filologi, sebagai pisau analisis untuk melacak bagaimana pernaskahan dari Serat Yusuf (2) teori feminis, untuk menganalisis perempuan dalam ketidakadilan gender, dan (3) teori resepsi, untuk mengetahui pembacaan penulis Serat Yusuf (Nalaputra) mengenai perempuan dalam ketidakadilan gender. F.1. Teori Filologi Teori filologi merupakan studi yang meneliti karya-karya masa lampau. Istilah filologi berasal dari kata “philos” yang berarti cinta dan “logos” yang berarti kata, jadi filologi dimaknai dengan “cinta kata” atau “senang bertutur”. Makna ini kemudian berkembang menjadi “senang belajar” atau “senang kebudayaan”. Penelitian filologi selanjutnya membatasi jangkauannya pada penelitian hasil kebudayaan masyarakat lama yang berupa tulisan dalam naskah atau lazim disebut dengan teks. Meminjam pendapat Alwi (1995: 64) naskah merupakan buku atau sesuatu yang ditulis dan menyimpan berbagai ungkapan, pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Sedang teks merupakan kandungan atau muatan naskah, yakni sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja.
29
Metode filologi pada mulanya bertujuan untuk menemukan teks yang dekat dengan teks aslinya. Sebab teks yang dekat dengan aslinya ini dimungkinkan tidak banyak mengandung kesalahan (Reynold & Wilson, 1974: 186). Menurut Baried (1994: 5) pendekatan filologi seperti ini lazim disebut dengan pendekatan filologi tradisional. Pada era sekarang, yang disebut dengan studi filologi modern tidak hanya berakhir pada suntingan naskah atau kritik teks saja, analisisnya lebih menekankan perhatiannya pada perkembangan teks dan proses penyambutan teks tersebut dari waktu ke waktu, setiap teks dianggap mewakili zaman dan lingkungan asal teks ditulis (Baried dkk., 1994: 5). Teori filologi modern ini, digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini untuk mengetahui seperti apa gambaran Serat Yusuf dalam berbagai variannya. Alasan penggunaan teori filologi modern ini karena ia memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang ada dalam berbagai naskah sebagai alternatif yang positif (Baried dkk., 1994: 6). Perbedaanperbedaan tersebut dipandang sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif untuk memahami teks. Dalam pandangan ini, naskah dipandang sebagai dokumen budaya, sebagai refleksi dari zamannya. Inti penelitian filologi adalah menyajikan teks agar dapat terbaca oleh pembaca masa kini. Cara agar teks masa lampau dapat dipahami oleh pembaca masa kini, menurut Robson (1994: 12) adalah dengan dua cara, yakni: menyajikan dan menafsirkannya. Maka telaah filologis yang akan dilakukan dalam penelitian ini meliputi: mendeskripsikan Serat Yusuf yang tersebar di beberapa tempat dengan melalui katalog, mendeskrepsikan Serat
30
Yusuf
karangan
Nalaputra
sebagai
obyek
material
penelitian
ini,
mengambarkan isi dan terakhir menerjemah. F.2. Teori Sastra Feminis Kritik sastra feminis adalah salah satu teori sastra yang digunakan untuk menganalisis karya sastra dalam perspektif feminis, yakni pandangan yang melihat manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam posisi seimbang, bukan dalam posisi berlawanan. Dalam paradigma perkembangan kritik sastra, kritik sastra feminis dianggap sebagai kritik sastra yang bersifat revolusioner yang ingin menumbangkan wacana dominan yang dibentuk oleh suara tradisional yang bersifat patriarki (Ruthven, 1984: 7). Feminisme merupakan sebuah teori yang mengungkapkan harga diri pribadi dan harga diri semua perempuan. Secara umum feminisme adalah ideologi yang membebaskan perempuan, sebab yang melekat dalam semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelaminnya. Teori feminis menawarkan barbagai analisis mengenai penyebab dan pelaku dari penindasan perempuan (Humm, 2002: 158). Fakih (1999: 38) mengatakan bahwa feminisme adalah suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan usaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 208-209), diskriminasi didefinisikan sebagai pembedaan sikap dan perlakuan terhadap sesama manusia atau perlakuan tidak adil terhadap kelompok masyarakat tertentu.
31
Secara bahasa, istilah feminis berasal dari kata “femme” (woman), artinya perempuan (tunggal) yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial. Dalam konteks ini, Selden (1985) membedakan istilah male dan female dengan maskulin dan feminin. Menurutnya istilah male dan female merupakan hakekat alamiah manusia sebagai aspek berbedaan biologis sedang maskulin dan feminin merupakan aspek perbedaan secara psikologis dan kultural, dengan kata lain male dan female menunjukan seks sedang maskulin dan feminin menunjukan jenis kelamin dan gender. Kata feminisme sendiri berasal dari kata latin “femina” yang memiliki sifat keperempuanan. Kata feminisme berhubungan erat dengan femaleness dan feminity, akan tetapi ketiga kata ini berbeda penggunaannya. Feminisme atau feminism dikaitkan dengan masalah politik, femaleness dengan masalah biologis sedang feminity dikaitkan dengan budaya (Hawthorne, 1994: 67). Feminisme memulai pandangannya dengan persepsi tentang ketimpangan posisi perempuan dibanding laki-laki dalam pandangan masyarakat. Akibat dari persepsi ini timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan cara penyetaraan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (Hubies, 1997:19). Dalam ilmu sastra, feminisme berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yakni, studi sastra yang mengarahkan fokus analisnya kepada wanita, jika pada umumnya ada anggapan bahwa yang mewakili pembaca dan
32
pencipta dalam sastra adalah laki-laki, maka kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter, 1985: 3). Dari sudut pandang sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarki yang terdapat dalam masyarakat. Menurut Millet (dalam Selden, 1985: 131-132) istilah patriarki (pemerintahan ayah) adalah tidak lain untuk menguraikan sebab penindasan terhadap perempuan. Sistem patriarki memposisikan perempuan sebagai laki-laki yang inferior. Kekuatan digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan. Operasional kritik ini adalah meneliti karya sastra dengan melacak ideologi yang membentuknya dan menunjukkan perbedaan-perbedaan antara yang dikatakan oleh karya dengan yang tampak dari sebuah pembacaan secara teliti (Ruthven, 1990: 32). Aplikasi kritik sastra feminis dalam penelitian ini mengggunakan dua cara yakni: pertama, mengidentifikasi tokoh perempuan dalam karya sastra. Kedua, mencari kedudukan tokoh perempuan dalam hubungannya dengan tokoh lain, baik tokoh laki-laki dan tokoh perempuan. Dengan demikian analisis ini lebih tertuju kepada gagasan atau pemikiran yang terefleksikan dalam ucapan maupun tindakannya. Feminisme merupakan gerakan menuntut adanya emansipasi atau kesatuan hak dan keadilan dengan pria. Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Tuntutan
33
yang digaungkan gerakan ini di antaranya, hak atas perlindungan perempuan dari kekerasan rumah-tangga, pelecehan seksual dan perkosaan, persamaan hak perempuan dalam bidang pekerjaan, pendidikan, berpolitik, dan lain sebagainya. Pencetus ide dan pemikiran-pemikiran di atas sebagian besar adalah perempuan-perempuan kelas menengah Inggris, Prancis dan Amerika Serikat. Dalam catatan sejarah gerakan feminis terbagi menjadi tiga gelombang besar. Gelombang pertama diawali oleh pidato dari Sojouner Truth, seorang budak berkewarganegaraan Amerika pada tahun 1851 di Akron Ohio. Dalam pidatonya ini, ia membeberkan masalah perbudakan di negaranya yang kemudian pidatonya ini dikenal dengan sebutan “Ain’t I A Woman”. Di tahun 1972, gerakan feminis menggaungkan tentang hak perempuan mengenyam pendidikan, hak atas kesempatan kerja pada ranah publik, perbaikan kedudukan perempuan dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Gagasan ini disuarakan dengan sangat lantang oleh Marry Wallstonecraff dalam bukunya yang berjudul Vindication Rights of Women. (Gamble, 2010: 19). Gelombang kedua ditandai adanya tuntutan akan kebebasan perempuan dalam ranah publik, perempuan tidak hanya mengerjakan pekerjaan rumah tangga tetapi perempuan juga dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya di luar rumah. Gelombang ini semakin keras bergaung dengan diterbitkannya buku The Feminin Mistique yang ditulis oleh Betty Friedan seorang tokoh feminis berkebangsaan Amerika pada tahun 1963. Dalam
34
bukunya ini ia memprotes bahwa perempuan hanya diperbolehkan mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tidak hanya itu Fridan juga menekankan kesadaran perempuan akan adanya diskriminasi yang dialami oleh kaum perempuan, sehingga mereka dapat berfikir maju, bahwa adanya diskriminasi terhadap perempuan itu tidak lain disebabkan oleh tidak adanya kesempatan pendidikan dan berkarir diruang publik. Setelah menerbitkan bukunya ini kemudian ia membentuk organisasi perempuan yang diberi nama “National Organization For Women” (NOW) pada tahun 1966 (Gamble, 2010: 35-45). Gelombang ketiga dimulai dari tahun 1991 hingga sekarang, gelombang
ini
ditandai
dengan
pemenangan
sebuah
kasus
yang
memperkarakan seorang anggota the US Supreme Court yang melakukan pelecehan terhadap perempuan. Feminisme gelombang ketiga dapat juga disebut dengan postfeminis. Postfeminis merupakan kritik terhadap feminis gelombang kedua yang memposisikan perempuan sebagai subyek yang dipermasalahkan. Dalam postfeminisme, perempuan diberikan ruang yang sangat lebar untuk menentukan apa yang mereka pilih. Dalam postfeminisme terjadi pergeseran konseptual di dalam feminisme, mulai dari perdebatan mengenai masalah persamaan antara laki-laki dan perempuan, sampai pada masalah perbedaan (Brooks, 2004: 6). Postfeminis menyoroti isu-isu mengenai hubungan antar gender, di mana kedua jenis kelamin tersebut saling mempengaruhi, antara yang satu dengan yang lainnya tidak berarti apa-apa apabila tidak ada pihak yang
35
lainnya, antara keduanya tidak lain adalah saling melengkapi. Sejatinya manusia memang telah ditakdirkan hidup dalam perbedaan, baik secara budaya maupun keyakinan, meyakini persamaan (equality) tanpa perbedaan adalah sebuah hal sulit yang bermuara pada usaha untuk memecah belah. Sebagai pisau alanisis dalam meneliti Serat Yusuf, peneliti memandang bahwa
pendekatan
postfeminis
tepat
digunakan.
Sebab
postfeminis
memposisikan perempuan dan laki-laki seimbang, yakni memandang perempuan telah beranjak dari bias gender kepada sadar gender (Brooks, 2004: 6). Maka dengan memakai pendekatan postfeminis diharapkan dalam menggali masalah citra perempuan dalam ketidakadilan gender pada Serat Yusuf akan maksimal.
F.3. Teori Resepsi Serat Yusuf merupakan gubahan dari surat Yusuf dalam al-Qur’an yang telah berubah menjadi tembang macapat dengan menggunakan huruf Arab dan ditulis dengan bahasa Jawa. Artinya, Serat Yusuf merupakan bagian dari hasil pembacaan Nalaputra (penulis) terhadap surat Yusuf. Untuk mengetahui bagaimana pembacaan penulis terhadap surat Yusuf inilah tujuan mengapa teori ini perlu dimasukkan dalam meneliti perempuan dalam ketidakadilan gender dalam Serat Yusuf. Teori resepsi merupakan ilmu keindahan yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan pembaca terhadap karya sastra (Pradopo, 2007: 218). Resepsi sastra merupakan pendekatan penelitian sastra yang pusat studinya
36
berkaitan dengan pengaruh teks sastra karena pembacaan terhadap karya sastra tersebut (Segers, 2000: 26-27). Menurut Chamamah (1992), dilihat dari fisik teks karya sastra, penelitian resepsi dapat dilakukan melalui penelitian intertekstual, proses penyalinan, penyaduran dan penerjemahan. Obyek studi sastra dalam estetika resepsi adalah penerimaan serta sambutan pembaca atau masyarakat pembaca terhadap karya sastra. Iser dalam bukunya the Act of Reading mengatakan sebuah makna diangkat dari hubungan interaksi pembaca dan teksnya. Antara teks dengan pembaca terjadi komunikasi yang intens sehingga menghasilkan tanggapan atau penafsiran dari pembaca, sebagaimana premis yang diutarakan oleh Iser text could only have meaning when it is read (Iser, 1978: 20). Lebih lanjut Iser juga mengatakan pusat pembacaan karya sastra adalah interaksi antara struktur dan penerimanya. Hal ini mengindikasikan bahwa penerimaan terhadap suatu karya sastra akan berpotensi untuk menyebabkan pemaknaan yang berbeda. Inilah yang menjadi sebab teori fenomenologis sastra mengambil perhatian pada kenyataan bahwa studi karya sastra harus mempertimbangkan bukan hanya teks aktualnya saja tetapi juga tindakan yang terlibat dalam merespon teks itu. Teks dengan sendirinya hanya menawarkan “aspek skematis” yakni pokok persoalan dari karya tersebut dapat dihasilkan, sementara produksi yang sesungguhnya terjadi melalui tindakan konkretisasi (Iser, 1978: 21). Atas dasar ini, Iser menyimpulkan karya sastra memiliki dua kutub yang disebut dengan kutub artistik dan kutub estetik. Kutub artistik adalah
37
teks penulis sedang kutub estetik adalah realisasi yang disempurnakan oleh pembaca. Maka jelas bahwa karya sastra sendiri tidak dapat diidentikkan dengan teks atau dengan konkretisasi, tetapi harus disituasikan antara keduanya (Iser, 1978: 21). Berkaitan dengan pembaca, Iser membagi pembaca menjadi dua yaitu pembaca implisit dan pembaca nyata. Pembaca implisit adalah pembaca yang diciptakan sendiri oleh teks untuk pembaca tersebut dan menjadi jaringan kerja struktur yang mengundang jawaban yang mempengaruhi kita untuk membaca dengan cara tertentu. Pembaca nyata adalah menerima citra mental tertentu dalam proses pembacaan yang tidak dapat dipungkiri akan menghasilkan citraan yang diwarnai oleh persediaan pengalaman yang ada. Membaca karya sastra merupakan aktivitas resepsi yang melibatkan pandangan subyektif, bahkan penyambutan kritik. Aktivitas membaca merupakan praktik secara kultural yang melibatkan pengenalan, pengetahuan dan tingkah laku. Karya sastra didasarkan pada konvensi yang berlaku bagi penerima. Hal ini disebut dengan repertoire, yakni seperangkat norma-norma sosial budaya yang diungkapkan teks, konvensi diarahkan oleh hal-hal yang dapat diterima, di samping juga didasarkan partisipasi pembaca atau realisasi teks (Iser, 1978: 69). Perjalanan
pembaca
melalui
buku
merupakan
sebuah
proses
penyesuaian yang terus menerus. Kita menyimpan dalam pikiran kita harapan-harapan tertentu, berdasarkan pada ingatan kita pada pelaku-pelaku dan peristiwa-peristiwa, semuanya ditransformasikan selama kita menjelajahi
38
teks tersebut. Apa yang kita tangkap ketika membaca hanya serangkaian titik pandangan yang berubah, bukan sesuatu yang tetap dan sepenuhnya berarti pada tiap titik (Iser, 1978: 118). Dengan demikian, Serat Yusuf merupakan hasil respon dari pembacaan terhadap surat Yusuf dalam al-Qur’an. Storage penulis Serat Yusuf yang patriarkis inilah kemudian menghasilkan karya sastra yang berisi stereotip negatif terhadap perempuan, yang kemudian menimbulkan ketidakadilan gender terhadap perempuan.
G. Metode penelitian G.1. Jenis Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan Penelitian Pustaka (library research), yakni suatu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber data. Selanjutnya, data yang ada dijabarkan secara deskriptif untuk mengetahui berbagai citra ketidakadilan gender yang digambarkan dalam Serat Yusuf dengan menggunakan perspektif kritik sastra feminis dan dibantu dengan filologi. G.2. Pengambilan Data Data-data yang diangkat berdasarkan buku-buku (library research). Pengambilan data merupakan prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan (Nazir, 1988: 211). Sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Karena penelitian ini meneliti Serat Yusuf, maka data primernya berpokok
39
pada Serat Yusuf dan untuk menyempurnakan analisa, peneliti membaca buku-buku lain sebagai data sekuder yakni diambil dari kajian pustaka, bukubuku pendukung, dan sumber-sumber lain yang terkait. G.3. Analisis Data Dalam menganalisis data ini digunakan beberapa langkah sebagai berikut: a)
Menentukan karya yang dijadikan objek material penelitian sebagai sampel, yakni kisah Yusuf dalam Serat Yusuf.
b)
Menetapkan obyek formal penelitian, yakni ketidakadilan gender pada perempuan bahwa perempuan dicitrakan sebagai penggoda. Pencitraan yang demikian ini tentu harus diubah karena bermuatan ketidakadilan dan menyakiti hati perempuan.
c)
Melakukan studi pustaka dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang mendukung obyek penelitian di samping juga mencermati data-data tersebut. Pustaka yang dimaksud adalah buku-buku yang berkaitan dengan tinjauan kritik feminis yang berhubungan dengan studi perempuan dalam bidang hukum, psikoanalitiki, biologi, sosiologi dan lain sebagainya.
d)
Menganalisis kisah Yusuf dalam Serat Yusuf yang berkaitan dengan perempuan dalam citra ketidakadilan gender, dengan menggunakan kritik sastra feminis, teori resepsi dan filologi.
e)
Mengungkapkan hasil analisis dalam bentuk tulisan sesuai dengan standar penulisan yang berlaku.
40
f)
Menarik kesimpulan
H. Sistematika Penyajian Sebagai
langkah
akhir
dalam
menulis
penelitian,
penulis
akan
menguraikan sistematika pembahasan yang akan dijabarkan menjadi empat bab. Bab pertama berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian dan terakhir Sistematika Pembahasan. Bab dua berisi tentang A)
pernaskahan, yang akan diuraikan dalam
beberapa subjudul, di antaranya: 1) sinopsis Serat Yusuf, 2) inventarisasi naskah, garis besar isi teks. B) Perempuan dalam karya sastra Jawa, C) Resepsi karya sastra atas teks al-Qur’an (surat Yusuf) Bab tiga berisi tentang analisis feminis , yang akan diuraikan menjadi dua sub judul yakni A) Citra Perempuan dalam Serat Yusuf yang menjelaskan tentang citra perempuan. Pertama, perempuan sebagai makhluk individu yang akan diuraikan dalam tiga kategori, 1) sosok yang menawan, 2) istri raja yang mencintai yusuf dan 3). Manusia yang tertolak. Kedua, perempuan dalam masyarakat, yakni sebagai: 1) sosok yang pasif, 2) emosional, 3) tidak dapat mengendalikan birahinya, dan 4) sebagai pelayan laki-laki, serta 5) memiliki iman yang lebih rendah dibanding laki-laki. B) Serat Yusuf dalam Perspektif Kesetaraan Gender. Sebagai bagian akhir penelitian akan ditutup dengan bab empat yang berisi simpulan dari hasil penelitian dan saran-saran.