BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Industri perbankan mempunyai peranan yang kompleks terhadap perekonomian yang dapat kita rasakan seperti sekarang, dimana hampir seluruh aspek kegiatan manusia tidak dapat dipisahkan dengan bank. Bahkan, kegiatan perbankan merupakan jantung dari kegiatan-kegiatan industri lainnya. Hal ini disebabkan bank mempunyai kedudukan yang strategis pada setiap sistem perekonomian dan pengatur sumber likuiditas bagi setiap jenis usaha. Tahun 1998-1999, perbankan Indonesia mengalami dua peristiwa besar yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi perekonomian maupun kondisi industri perbankan itu sendiri. Pertama, pada akhir tahun 90-an Indonesia mengalami krisis ekonomi yang berdampak pada keterpurukan perbankan nasional. Negative spread perbankan tidak dapat dihindari sehingga muncul banyak bank-bank bermasalah yang pada akhirnya dilikuidasi dan dimerger. Peristiwa kedua yaitu ditetapkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang ini mengatur tentang dual banking system dalam perbankan Indonesia, dimana pada pasal 1 ayat 3 UU No. 10 Tahun 1998 dinyatakan bahwa “Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa
1
2
dalam lalu lintas pembayaran”. Undang-undang tersebut telah memberikan dukungan regulasi terhadap perkembangan perbankan dengan prinsip syariah, sehingga muncul bank-bank syariah sebagai alternatif perbankan nasional. Bank-bank syariah yang bermunculan merupakan suatu alternatif dalam rangka memperbaiki kondisi perbankan nasional yang porak poranda akibat krisis yang melanda perekonomian Indonesia. Pola bagi hasil yang diterapkan bank syariah inilah yang memungkinkan bank syariah tidak terpengaruh oleh tingkat suku bunga yang fluktuatif dan spekulatif. Hal ini terbukti dengan kinerja perbankan syariah yang mampu bertahan melewati krisis ekonomi dibandingkan dengan perbankan konvensional. Industri perbankan syariah mengalami perkembangan yang pesat seiring meningkatnya pangsa pasar perbankan syariah. Hal ini disebabkan mulai meningkatnya pemahaman dan kesadaran oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, tentang konsep ekonomi syariah dimana riba adalah haram dan pola bagi hasil dan kemitraan yang diterapkan bank syariah. Sampai pada akhir tahun 2007 di Indonesia terdapat tiga bank umum syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Mega Syariah serta 25 unit usaha syariah. Sementara itu, Bank Perkreditan Rakyat yang manjalankan usaha dengan prinsip syariah telah mencapai 114 BPR Syariah. Pada awal perkembangannya, industri perbankan syariah mempunyai beberapa kendala yang dapat menghambat percepatan perkembangan perbankan syariah. Seperti yang diungkapkan dalam Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia untuk periode 2002-2011 (Bank Indonesia), ada beberapa hal
3
yang harus diperhatikan dalam upaya mendorong pertumbuhan industri perbankan syariah di Indonesia, diantaranya: •
Kerangka dan perangkat pengaturan perbankan syariah yang belum lengkap.
•
Cakupan pasar masih terbatas.
•
Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai produk dan jasa perbankan syariah.
•
Institusi pendukung yang belum lengkap dan efektif.
•
Efisiensi operasional perbankan syariah yang masih belum optimal.
•
Porsi skim pembiayaan bagi hasil dalam transaksi bank syariah masih perlu ditingkatkan.
•
Kemampuan untuk memenuhi standar keuangan syariah internasional. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia yang disusun
oleh Bank Indonesia, telah ditetapkan inisiatif-inisiatif strategis dalam upaya mengembangkan perbankan syariah yang secara sistematis dituangkan dalam tiga tahap. Tahap I (2002-2004) difokuskan pada pembentukan kerangka dasar sistem pengaturan yang disesuaikan dengan karakteristik operasional perbankan syariah yang sehat. Untuk tahap II (2004-2008), merupakan kelanjutan dari programprogram pengembangan yang telah dilakukan pada tahap I. Dan untuk tahap III (2008-2011), merupakan finalisasi sistem perbankan syariah yang diharapkan dapat memenuhi standar keuangan dan kualitas pelayanan internasional. Saat ini perbankan syariah telah berada pada akhir tahap II (2004-2008) dan awal untuk menuju tahap III (2008-2011). Dimana dalam tahap II, inisiatif
4
strategis difokuskan untuk memperkuat struktur industri perbankan syariah yang merupakan kelanjutan dari program-program pengembangan yang telah dilakukan pada tahap I. Dari data yang diperoleh, perbankan syariah menunjukkan pertumbuhan yang menggembirakan. Tabel berikut ini menunjukkan beberapa indikator perkembangan perbankan syariah di Indonesia selama tahun 2002-2007. Tabel 1.1 Indikator Perkembangan Perbankan Syariah Dalam Triliun Rupiah Indikator
Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Aset 4.05 7.86 15.33 20.88 26.72 Dana Pihak Ketiga 2.92 5.72 11.86 15.58 20.67 Pembiayaan yang Diberikan 3.28 5.53 11.49 15.23 20.44 Sumber: Laporan Perkembangan Perbankan Syariah, Bank Indonesia.
36.54 28.01 27.94
Tahap I, selama tahun 2002-2004 aset perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan yaitu sebesar 73,58%. Sedangkan untuk tahap II dari tahun 2004 sampai akhir tahun 2007, aset perbankan syariah tumbuh sebesar 42,86% dimana sampai akhir tahun 2007 aset perbankan syariah mencapai 36,54 triliun rupiah. Pertumbuhan aset ini menunjukkan kemampuan perbankan syariah dalam optimalisasi operasionalnya. Jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun perbankan syariah sampai pada akhir tahun 2007 telah mencapai 28,01 triliun rupiah. Dari jumlah dana pihak ketiga ini mengalami peningkatan yang signifikan dalam Tahap I (2002-2004) sebesar 75,38% dan tahap II selama tahun 2004 sampai akhir tahun 2007 sebesar 44,38%. Jumlah DPK yang cenderung mengalami
5
peningkatan secara berkesinambungan ini telah membuktikan peningkatan kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan dananya melalui perbankan syariah. Begitupun dengan pembiayaan yang diberikan perbankan syariah yang cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal ini seiring dengan meningkatnya dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh perbankan syariah. Peningkatan pembiayaan yang diberikan mencapai level tertinggi terjadi selama tahun 2007 yaitu sebesar 26,84%. Untuk dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun pada tahun 2007 mengalami peningkatan sebesar 26,20% dari tahun 2006. Angka tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan pembiayaan yang diberikan melebihi dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun. Hal ini mengindikasikan bahwa perbankan syariah mampu menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediasi dengan menyalurkan dana yang berhasil dihimpun pada pembiayaan. Perkembangan
perbankan
syariah
ini
mengindikasikan
tingkat
kepercayaan masyarakat yang semakin baik terhadap bank syariah. Seiring dengan adanya perkembangan pesat dari sisi aset, penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), dan pembiayaan yang tersalurkan, perlu diperhatikan tingkat kesehatan bank syariah tersebut agar kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah tetap terjaga. Kepercayaan dari masyarakat merupakan landasan utama usaha perbankan dimana dengan adanya kepercayaan, masyarakat mau menitipkan dananya pada bank dan bank menyalurkannya kembali pada masyarakat. Pada dasarnya, kepercayaan dari masyarakat terhadap bank syariah tergantung bagaimana kinerja, posisi keuangan, kemampuan bank dalam
6
mengelola dana, integritas, dan kredibilitas manajemen bank. Atau secara umum kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah tergantung pada kesehatan bank tersebut yang dinilai dari permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank syariah. Tingkat NPF merupakan salah satu indikator penilaian kesehatan bank syariah yang menggambarkan besarnya pembiayaan bermasalah. Sehingga kinerja bank syariah dalam mengelola pembiayaan yang disalurkan dapat terlihat dari perkembangan NPF. Pada tahun 2006, tingkat NPF perbankan syariah masih dapat dikatakan wajar walaupun dalam beberapa bulan mengalami kenaikan NPF yang melebihi batas wajar yang telah ditentukan Bank Indonesia. Sedangkan selama tahun 2007 tingkat NPF perbankan syariah mengalami fluktuasi yang perlu mendapat perhatian serius, dimana pada awal sampai pertengahan tahun tingkat NPF perbankan syariah terus mengalami kenaikan, namun pihak perbankan syariah mampu mengendalikannya hingga berangsur-angsur turun pada akhir tahun 2007.
7
Tabel 1.2 Tingkat Non Performing Financing Perbankan Syariah
Rasio NPF (%) Batas Wajar Rasio NPF (%) Tahun 2006 Tahun 2007 Januari 5 3,54 5,17 Februari 5 3,97 5,54 Maret 5 4,27 5,73 April 5 3,99 6,14 Mei 5 4,19 6,17 Juni 5 4,23 6,20 Juli 5 4,71 6,58 Agustus 5 5,08 6,63 September 5 5,13 6,29 Oktober 5 5,07 6,23 November 5 5,24 5,66 Desember 5 4,75 4,05 Sumber: Statistik Perbankan Syariah, Bank Indonesia. Bulan
Perkembangan rasio NPF untuk tahun 2007 yang dapat dilihat dari tabel di atas lebih mencolok dari pada tahun 2006. Selama tahun 2006, rasio NPF paling tinggi pada bulan November mencapai 5,24% dimana rasio ini sudah pada tingkatan yang perlu diwaspadai. Pada bulan November tahun 2006 tersebut pembiayaan bermasalah mencapai 1,07 triliun rupiah. Pada awal tahun 2007 yaitu bulan Januari, rasio NPF mencapai 5,17% dan terus merangkak naik sampai pada bulan Agustus sebesar 6,63%. Kenaikan rasio ini akibat meningkatnya jumlah pembiayaan bermasalah yaitu sebesar 0,58 triliun rupiah. Akan tetapi pada bulan September, perbankan syariah mampu mengendalikan tingkat NPF sampai pada akhir tahun 2007 yaitu sebesar 4,05%. Berikut ini disajikan grafik perkembangan tingkat NPF perbankan syariah selama tahun 2006 dan 2007:
8
Tingkat NPF (%)
Perkembangan Tingkat NPF Perbankan Syariah 7 6 5 4 3 2 1 0 Ja n
Fe b
M Ap M ar r ei
Ju n
Ag Se Ok No De Jul us pt t v s t
Gambar 1.1 Grafik Perkembangan NPF Perbankan Syariah Tahun 2006 dan 2007
Grafik yang menunjukkan perkembangan tingkat NPF perbankan syariah di atas mengindikasikan menurunnya kualitas pembiayaan yang sangat mencolok pada tahun 2007. Hal itu dapat terlihat dengan menetapkan batas wajar rasio NPF sebesar 5% maka tingkat NPF pada tahun 2007 cenderung dominan berada di atas 5%, hanya pada akhir tahun 2007 yaitu pada bulan Desember rasio NPF dapat ditekan menjadi 4,05%. Sedangkan pada tahun 2006 tingkat NPF masih dapat terkontrol di bawah 5% walaupun tren-nya cenderung mengalami kenaikan sepanjang tahun. Rasio-rasio NPF selama tahun 2007 tersebut tentu perlu mendapat perhatian karena telah melampaui batas yang telah ditetapkan Bank Indonesia yaitu sebesar 5%, terlebih pada saat ini perbankan syariah sudah akan mencapai perkembangan tahap III.
9
PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk merupakan bank umum syariah yang pertama berdiri di Indonesia. Seiring dengan semakin dikenal dan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah, Bank Muamalat mampu meningkatkan jumlah penyaluran dana khususnya dalam bentuk pembiayaan. Seiring meningkatnya pembiayaan yang disalurkan, indikator kinerja keuangan Bank Muamalat berupa rasio pembiayaan bermasalah juga menunjukkan adanya kenaikan yang fluktuatif. Pada akhir tahun 2006, tepatnya pada triwulan ke IV tahun 2006, rasio pembiayaan bermasalah (NPF) mencapai 5,76%. Kemudian pada triwulan I tahun 2007, pembiayaan bermasalah menurun menjadi 3,67% dari total pembiayaan yang diberikan, dan meningkat pada triwulan berikutnya. Triwulan ke II rasio NPF menunjukkan angka 4,89% dan pada puncaknya naik pada triwulan ke III yang mencapai 6,59%. Tren fluktuasi tingkat non performing financing ini telah melampaui batas yang ditetapkan Bank Indonesia, sehingga apabila tren ini tidak dikendalikan akan muncul kredit bermasalah dalam jumlah besar yang dapat menurunkan kesehatan operasi bank. Adanya kenaikan pada rasio NPF, berarti terdapat penurunan kualitas pembiayaan sehingga muncul kenaikan pembiayaan bermasalah. Dan sebaliknya, ketika terjadi penurunan rasio NPF maka kinerja bank dapat dinilai baik karena mampu menekan pembiayaan bermasalah. Adanya pembiayaan bermasalah (NPF) berdampak pada kelancaran operasi bank, keadaan perbankan nasional, serta keadaan ekonomi moneter. Kelancaran operasi bank akan terganggu karena meningkatnya cadangan aktiva produktif sehingga terjadi penurunan return on
10
asset (ROA) yang pada akhirnya menurunkan profitabilitas dan reputasi bank tersebut. Selain itu perbankan akan mengalami rush (penarikan besar-besaran) secara makro akibat likuiditas yang rendah. Secara makro, pembiayaan bermasalah akan mengakibatkan adanya multiplier effect berupa penurunan percepatan pertumbuhan ekonomi sektor riil. Jika perkembangan rasio NPF yang cenderung mengalami kenaikan tidak segera dikendalikan, akan memberikan dampak baik bank syariah itu sendiri maupun keadaan perbankan syariah nasional. Bank Muamalat Indonesia merupakan
bank
syariah
nasional
yang
dapat
memberikan
gambaran
perkembangan industri perbankan syariah nasional. Hal ini dikarenakan bank tersebut merupakan salah satu dari tiga Bank Umum Syariah (BUS) di Indonesia yang mendominasi portofolio industri perbankan syariah nasional. Pembiayaan bermasalah akan berdampak pada persepsi publik yang menilai ketidakmampuan bank syariah dalam menjalankan fungsinya, sehingga akan menurunkan reputasi bank tersebut. Persepsi publik yang negatif ini akan berdampak pada bank syariah lain, dan kemungkinan terjadi adanya distribusi risiko reputasi. Dampak secara nasional, jika kalangan lembaga keuangan dan perbankan global mencermati terganggunya kesehatan bank akibat naiknya NPF maka tindakan perbankan global yang tidak diharapkan terjadi adalah mengurangi atau bahkan menutup fasilitas kredit kepada bank-bank yang ada di Indonesia karena dinilai reputasi bank-bank di Indonesia memburuk. Hal ini akan menjadi kendala berkembangnya perbankan nasional khususnya perbankan syariah. Selain itu, pembiayaan bermasalah akan berdampak bagi pemerintah. Target makro
11
ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi tinggi, rendahnya laju inflasi, penurunan angka pengangguran, dapat terhambat. Fluktuasi pada tingkat NPF mencerminkan usaha perbankan syariah dalam mengendalikan besarnya pembiayaan yang bermasalah. Usaha menekan tingkat NPF yang berdampak pada kenaikan tingkat return bank syariah ini akan memacu para investor untuk bermitra dengan bank syariah yang mana selain mengharapkan jasa keuangan syariah juga mengharapkan tingkat return yang lebih baik. Non perfoming financing perbankan syariah sangat dipengaruhi oleh kualitas pembiayaan yang diberikan oleh perbankan syariah, yang dapat dilihat dari kolektibilitasnya. Menurut Adiwarman Karim, Direktur Utama Karim Business Consulting, peningkatan NPF disebabkan meningkatnya jumlah pembiayaan
yang
disalurkan.
Perbankan
syariah
menyalurkan
dananya
diantaranya dengan prinsip bagi hasil dan jual beli. Setiap jenis pembiayaan tentu memiliki kontribusi dan risiko bagi usaha perbankan syariah. Dalam perkembangannya, bank syariah diharapkan mampu melakukan ekspansi usaha, salah satunya dengan ekspansi kredit atau ekspansi pembiayaan. Adanya perbedaan kontribusi dan risiko yang akan didapat oleh bank syariah tentu akan berpengaruh pada jumlah pembiayaan yang disalurkan dalam upaya ekspansi pembiayaan untuk masing-masing produk pembiayaannya. Hal ini dilakukan bank syariah sebagai bentuk kehati-hatian dalam menyalurkan pembiayaan agar tingkat pembiayaan bermasalah tidak mengalami kenaikan.
12
Seiring dengan ekspansi pembiayaan yang dilakukan, bank syariah mempertimbangkan adanya risiko dari masing-masing pembiayaan yang disalurkan baik pembiayaan dengan prinsip bagi hasil maupun jual beli. Hal ini juga yang melatarbelakangi adanya fenomena rendahnya penyaluran pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dan dominasi pembiayaan dengan prinsip jual beli dalam komposisi pembiayaan yang diberikan bank syariah. Berdasarkan uraian di atas disinyalir adanya keterkaitan antara kebijakan ekspansi pada pembiayaan bagi hasil dan jual beli terhadap Non performing financing (NPF). Sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai penanaman atau penyaluran dana bank syariah terkait dengan upaya menjaga kesehatan bank syariah, dengan judul: “Pengaruh Ekspansi Pembiayaan Dengan Prinsip Bagi Hasil dan Prinsip Jual Beli terhadap Non Perfoming Financing pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang penelitian di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ekspansi pembiayaan dengan prinsip bagi hasil pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 2. Bagaimana ekspansi pembiayaan dengan prinsip jual beli pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 3. Bagaimana perkembangan non performing financing (NPF) pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
13
4. Seberapa besar pengaruh ekspansi pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dan jual beli terhadap Non performing financing pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi dan melakukan analisis terhadap ekspansi dalam penyaluran pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil dan jual beli serta non performing financing pada bank syariah kemudian menarik kesimpulan atas permasalahan yang diajukan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui ekspansi pembiayaan dengan prinsip bagi hasil pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 2. Untuk mengetahui ekspansi pembiayaan dengan prinsip jual beli pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 3. Untuk mengetahui perkembangan non performing financing (NPF) pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk. 4. Untuk mengetahui besarnya pengaruh ekspansi pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dan jual beli terhadap Non performing financing pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
1.4 Kegunaan Penelitian Dengan adanya penelitian ini, diharapkan memberikan kegunaan baik secara teoritis maupun secara praktis sebagai berikut:
14
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan dan bahan kajian bagi ilmu pengetahuan khususnya manajemen perbankan terkait dengan masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Sehingga akan didapat gambaran yang jelas dengan adanya studi aplikasi antara teori yang ada dengan fakta yang ada di lapangan. 2. Secara praktis, dengan adanya penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan masukan bagi perbankan syariah dalam melakukan kebijakan penyaluran pembiayaan terkait dengan kegiatan operasional bank syariah sebagai upaya menjaga kesehatan bank dalam hal ini pemeliharaan kualitas aktiva produktif khususnya pembiayaan yang diberikan dengan menekan tingkat NPF. Sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan perbankan syariah di Indonesia.
1.5 Kerangka Pemikiran, Asumsi, dan Hipotesis 1.5.1
Kerangka Pemikiran Bank merupakan lembaga perantara keuangan atau biasa disebut dengan
lembaga intermediasi keuangan antara pihak surplus kepada pihak minus (financial intermediary). Bank syariah adalah bank yang melakukan kegiatannya sesuai dengan prinsip syariah atau prinsip-prinsip hukum Islam. Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pasal 1 poin 13 bahwa: “Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
15
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).”
Dalam menjalankan fungsi intermediasinya, bank syariah melakukan penyaluran dana yang berhasil dihimpun dalam bentuk pembiayaan dengan prinsip syariah. Istilah pembiayaan merupakan istilah kredit yang digunakan pada lembaga keuangan syariah. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pasal 1 poin 12 dijelaskan bahwa: “Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.”
Pembiayaan yang diberikan ditetapkan ke dalam berbagai jenis transaksi, dimana dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah menyatakan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa; transaksi bagi hasil (mudharabah dan musyarakah), transaksi sewa (ijarah atau ijarah muntahiyah bit tamlik), transaksi jual beli (murabahah, salam, dan istishna), transaksi pinjam meminjam (qardh), transaksi multijasa (ijarah dan kafalah). Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil yang paling banyak diterapkan adalah dengan transaksi mudharabah dan musyarakah. Dalam bukunya, Muhammad Syafi’I Antonio (2001:90) mengungkapkan bahwa:
16
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Adapun pengertian dari al-mudharabah, adalah sebagai berikut: Al-mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kalalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Sedangkan untuk pembiayaan jual beli, transaksi yang sering digunakan adalah murabahah, salam dan istishna. Adapun pengertian dari masing-masing transaksi tersebut adalah sebagai berikut: Ba’I al-Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam ba’i al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:101). Ba’i as-Salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka. (Muhammad Syafi’i Antonio 2001:108). Ba’i al Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. (Muhammad Syafi’i Antonio, 2001:113). Pembiayaan yang diberikan dengan prinsip bagi hasil memiliki perbedaan karakteristik dengan pembiayaan dengan prinsip jual beli. Untuk pembiayaan bagi hasil, pihak bank maupun nasabah tidak dapat memastikan hasil yang akan didapat dari akad kerjasama usaha tetapi kedua belah pihak akan menanggung
17
bersama risiko usaha yang dibiayai tersebut serta membagi return dari usaha tersebut sesuai dengan kesepakatan. Hasil yang akan didapat kedua belah pihak tergantung pada usaha yang dibiayai, sehingga mengandung unsur ketidakpastian. Untuk pembiayaan yang diberikan dengan prinsip jual beli, pihak bank dapat menentukan return atas pembiayaan yang ditetapkan di muka, sehingga keuntungan atas pembiayaan jual beli ini dapat ditentukan. Seperti yang diungkapkan oleh Syafi’i Antonio (2001) bahwa pembiayaan dengan prinsip bagi hasil memiliki risiko yang relatif tinggi yaitu; (1) nasabah menggunakan dana bukan seperti yang disebut dalam kontrak (side streaming), (2) lalai dan kesalahan yang disengaja, (3) penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur. Sedangkan kemungkinan risiko yang timbul atas pembiayaan dengan prinsip jual beli adalah (1) default atau nasabah sengaja tidak membayar angsuran, (2) fluktuasi harga kompetitif, (3) nasabah menolak barang yang dikirim, (4) penjualan barang yang akan memperbesar risiko default nasabah. Karena risiko yang relatif tinggi inilah yang menyebabkan rendahnya penyaluran pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Dalam menyalurkan pembiayaannya, bank syariah menetapkan pola kebijakan penentuan porsi skim pembiayaan dengan pertimbangan tertentu. Prioritas utama sebagai dasar pertimbangan kebijakan penyaluran pembiayaan adalah “sektor yang menghasilkan keuntungan terbesar dengan risiko terkecil” (Muhammad, 2004:220). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa dari hasil funding, bank syariah akan menentukan kebijakan alokasi pembiayaan yang
18
diberikan (financing) pada pembiayaan yang memberikan return yang besar dan risiko yang kecil. Pembiayaan bagi hasil merupakan pembiayaan yang dinilai berisiko tinggi karena adanya ketidakpastian tingkat return yang akan diperoleh sehingga kemungkinan adanya penyaluran pembiayaan yang bermasalah juga akan semakin tinggi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Dahlan Siamat (2004:91) bahwa “semakin tinggi ketidakpastian pendapatan yang diperoleh suatu bank, semakin besar kemungkinan risiko yang dihadapi dan semakin tinggi pula premi risiko atau bunga yang diinginkan”. Namun, dalam bank syariah tidak menggunakan bunga akan tetapi adanya pembagian keuntungan ataupun risiko (profit and loss sharing) sehingga memungkinkan adanya keadilan antara pengelola dana dan penyedia dana. Sehubungan dengan usaha bank syariah dalam melaksanakan ekspansi pembiayaan, pihak bank akan mempertimbangkan ekspansi berdasarkan prinsip pembiayaannya untuk menekan risiko atas ekspansi yang dilakukan. Risiko kredit (pembiayaan) muncul jika bank tidak dapat memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bunga dari pembiayaan yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. Seperti yang dinyatakan oleh Dahlan Siamat (2004:92) bahwa: Risiko kredit (default risk) merupakan suatu risiko akibat kegagalan atau ketidakmampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima dari bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan atau dijadwalkan. Pada umumnya risiko kredit ini dinilai dari besarnya pembiayaan yang bermasalah atau non performing financing (NPF). Dalam PSAK No. 31 tentang Akuntansi Perbankan pada pasal 24 disebutkan bahwa:
19
“Kredit non performing pada umumnya merupakan kredit yang pembayaran angsuran pokok dan/atau bunganya telah lewat 90 (Sembilan puluh) hari atau lebih setelah jatuh tempo, atau kredit yang pembayarannya secara tepat waktu sangat diragukan. Kredit non performing terdiri atas kredit yang digolongkan sebagai kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.
Penggolongan kualitas pembiayaan ditetapkan menjadi lima golongan kolektibilitas yaitu lancar (pass), dalam perhatian khusus (special mention), kurang lancar (substandard), diragukan (doubtful), macet (loss). Kualitas pembiayaan yang termasuk non performing financing adalah golongan kurang lancar, diragukan, dan macet. Pengelolaan aktiva produktif dalam bentuk pembiayaan harus dilaksanakan dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Hal ini dikarenakan agar kualitas aktiva produktif senantiasa dalam keadaan lancar dan bank selalu dalam keadaan sehat, sehingga akan mendorong kepercayaan nasabah bahwa bank mampu mengelola dana dengan baik. Non pembiayaan
performing yang
financing
disalurkan
oleh
menggambarkan bank.
Tingkat
bagaimana NPF
yang
kualitas rendah
menggambarkan bahwa bank mampu mengelola pembiayaan yang disalurkan dengan baik. Sebaliknya jika tingkat NPF yang tinggi, hal ini menggambarkan bahwa kualitas pembiayaan yang disalurkan mengalami penurunan akibat pengelolaan pembiayaan yang kurang baik. Menurut Dahlan Siamat (2004:175) salah satu faktor internal yang mempengaruhi terjadinya kredit bermasalah adalah kebijakan perkreditan yang ekspansif. Kebijakan kredit yang ekspansif ini diambil dengan menetapkan sejumlah target kredit yang harus dicapai untuk kurun waktu tertentu. Hal ini
20
dapat terjadi pada perbankan syariah dengan adanya fenomena over likuiditas pada tahun 2004 pasca munculnya fatwa MUI bahwa bunga bank haram pada Desember 2003 dan tingkat bagi hasil bank syariah yang lebih tinggi dibanding bank konvensional sehingga dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dihimpun bank syariah mengalami kenaikan yang berarti. Keadaan over likuiditas ini membuat bank menjadi agresif untuk menyalurkan pembiayaannya sehingga bank tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. Kebijakan perkreditan yang ekspansif pada perbankan syariah pada umumnya dikonsentrasikan pada pembiayaan jual beli yang dinilai lebih kecil risikonya dan pada sisi lain lebih mempertimbangkan keputusan penyaluran pembiayaan dengan prinsip bagi hasil. Dengan adanya risiko yang mengikat pembiayaan bagi hasil dan jual beli ini bank akan menetapkan kebijakan dengan menentukan porsi masing-masing pembiayaan ini agar tidak muncul non performing financing. Sehingga besarnya pembiayaan yang diberikan dengan prinsip bagi hasil dan jual beli akan mempengaruhi tingkat non performing financing bank syariah. Dalam penghitungan rasio NPF, unsur yang digunakan adalah jumlah pembiayaan bermasalah dan jumlah pembiayaan yang diberikan, kemudian dibandingkan. Rasio NPF tersebut mengandung unsur jumlah pembiayaan yang diberikan atau jumlah pembiayaan yang tersalurkan kepada masyarakat. Sehingga jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank syariah baik dengan prinsip bagi hasil maupun jual beli akan mempengaruhi besar kecilnya rasio NPF. Kemudian, risiko yang terdapat pada pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dan jual beli
21
merupakan unsur untuk memperkirakan jumlah pembiayaan bermasalah, sehingga besar kecilnya volume penyaluran pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil dan jual beli akan berpengaruh terhadap tingkat NPF. Terkait dengan kebijakan pembiayaan yang ekspansif, jika penyaluran pembiayaan tidak dilakukan secara konsisten maka ketika bank syariah tidak mampu menyalurkan pembiayaannya, seiring dengan pelunasan pembiayaan oleh debitur sehingga jumlah pembiayaan semakin mengecil pada akhirnya rasio NPF akan meningkat. Untuk lebih memudahkan pemahaman atas kerangka pemikiran tersebut, berikut ini digambarkan paradigma penelitian yang merupakan alur proses berfikir dalam penelitian ini:
Ekspansi Pembiayaan Bagi Hasil Non performing financing
Ekspansi Pembiayaan Jual Beli
Gambar 1.2 PARADIGMA PENELITIAN
22
1.5.2
Asumsi Asumsi atau anggapan dasar merupakan landasan teori di dalam pelaporan
hasil penelitian. Dalam penelitian ini ditetapkan asumsi yaitu: 1. Perhitungan rasio NPF sesuai dengan pedoman perhitungan rasio keuangan dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor: 7/56/DPbS tanggal 9 Desember 2005. 2. Untuk masing-masing jenis pembiayaan yaitu dengan prinsip bagi hasil dan jual beli, disesuaikan dengan produk yang digunakan PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk.
1.5.3
Hipotesis Husein Umar (2000:42) menyatakan bahwa:
“Menurut pola umum metode ilmiah, setiap penelitian terhadap suatu obyek hendaknya dibawah tuntunan suatu hipotesis, yang berfungsi sebagai pegangan sementara atau jawaban sementara yang masih harus dibuktikan kebenarannya di dalam kenyataan (empirical verification), percobaan (experimentation) atau praktek (implementation).” Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah pada suatu penelitian (Sugiyono, 2007:85). Dalam penelitian ini, hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: “ekspansi pembiayaan dengan prinsip bagi hasil dan jual beli memiliki pengaruh terhadap non performing financing”.
23
1.6 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil obyek bank umum syariah yang ada di Indonesia. Agar diperoleh data-data yang mampu mewakili keadaan bank syariah, maka dalam penelitian ini, PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk dijadikan obyek penelitian karena merupakan bank umum syariah yang pertama berdiri dan telah mampu bertahan melewati masa krisis perbankan yang terjadi pada tahun 19971998. Untuk proses penelitian, mulai dari pengumpulan data sampai pada proses penulisan hasil penelitian, dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2008.