BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perdebatan tentang indikator pembangunan sosial-ekonomi sudah sejak lama terjadi. Pendapatan per kapita sebagai indikator pembangunan telah digugat oleh kalangan ekonomi maupun non-ekonomi yang melihat ketidakakuratan indikator tersebut, yang kemudian memunculkan beberapa indikator baru. Indikator baru secara umum berfokus pada pembangunan manusia. Morris (1979 dalam Kuncoro, 2010:
17), membangun the Physical Quality of Life Index
(PQLI), yang lazim diterjemahkan sebagai Indeks Mutu Hidup (IMH). Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium Development Goals/MDG’S), yang disepakati oleh pimpinan dunia dalam KTT 2000. MDG merupakan komitmen masyarakat internasional, khususnya negara yang sedang berkembang, terhadap visi pembangunan. Visi ini secara kuat menempatkan pembangunan sosial dan ekonomi secara berkelanjutan. Secara nasional beberapa tahun belakangan ini banyak program atau kebijakan yang diambil oleh pemerintah untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi. Kesenjangan antardaerah seringkali menjadi suatu permasalahan yang serius. Beberapa daerah mencapai pertumbuhan signifikan, sementara beberapa daerah lainnya mengalami tingkat pertumbuhan yang lambat. Daerah-daerah tersebut tidak mengalami kemajuan yang sama karena sumber-sumber yang
1
dimiliki pun berbeda. Adanya kecenderungan pemilik modal (investor) memilih daerah perkotaan atau daerah yang memiliki fasilitas seperti prasarana perhubungan, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, perbankan, asuransi, dan tenaga terampil (Barika, 2012). Menurut Sjafrizal (2008: 117), ketimpangan ekonomi antarwilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi demografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antarwilayah. Oleh karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antarwilayah juga mempunyai implikasi terhadap kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ketimpangan
merupakan
dampak
yang
tidak
terelakkan
dari
pembangunan. Perbedaan dari masing-masing setiap daerah, menjadikan setiap daerah memiliki cara dan kebijakan tersendiri dalam meningkatkan perekonomian daerahnya
sehingga
sangat
berpengaruh
terhadap
tingkat
kesejahteraan
masyarakat dalam suatu daerah tersebut. Dengan demikian, muncul persoalan perbedaan yang ada, akibat dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang menyebabkan semakin melebarnya ketimpangan antardaerah. Salah satu dampak negatif yang terjadi akibat adanya ketimpangan adalah inefesiensi ekonomi serta melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas (Todaro,2004: 59-60). Widodo (2006: 6), berpendapat bahwa salah satu penyebab hasil pembangunan yang sering kali tidak sesuai dengan target yang diharapkan adalah karena adanya kesalahan persepsi tentang arti pembangunan yang hanya berusaha
2
mencapai Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi tanpa memperhatikan faktor lain. Kondisi tersebut dapat menimbulkan masalah yang pada akhirnya berdampak pada tingginya kesenjangan sosial ekonomi. Indikator yang sering digunakan untuk menghitung tingkat pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Hal ini karena PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik kinerja perekonomian. Selain itu, PDRB juga mampu mengukur dua hal pada saat bersamaan, yaitu total pendapatan semua orang dalam perekonomian dan total pembelajaan negara untuk membeli barang dan jasa hasil dari perekonomian (Mankiw, 2013: 8). Keberhasilan pembangunan suatu daerah tidak hanya dapat diukur melalui kemampuannya dalam meningkatkan pendapatan daerah, pendapatan per kapita, PDRB maupun indikator sejenis lainnya.
Namun apakah keberhasilan
peningkatan PDRB di suatu daerah juga berdampak terhadap kesejahteraan, dan apakah terjadi ketimpangan antarpenduduk. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan kembali manusia sebagai subjek atau pusat dari proses pembangunan (people-centered development). Penempatan manusia sebagai subjek
pembangunan
menekankan
pada
pentingnya
pemberdayaan
(empowerment) manusia, yaitu kemampuan untuk mengaktualisasi segala potensi yang dimiliki masing-masing individu. Sejarah mencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan berdimensi manusia mampu berkembang, walaupun tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah (Kuncoro, 2004: 64).
3
Pemekaran daerah di Indonesia adalah pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi serta kota dan kabupaten dari induknya. Landasan hukum untuk pemekaran daerah di Indonesia adalah Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Reformasi tahun 1998 melahirkan tuntutan desentralisasi dan otononomi daerah. Perubahan Undang-Undang No. 5/1974 menjadi UndangUndang No.22/1999
sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang
No.32/2004. Perkembangan daerah otonomi hasil pemekaran sejak tahun 1999 sebelumnya hanya ada 26 provinsi, 324 kabupaten, dan 59 kota di Indonesia. Namun, sejak 1999 hingga 2009 muncul 7 Provinsi baru, 164 kabupaten, dan 34 kota baru akibat pemekaran. Dengan demikian, saat ini jumlah daerah di Indonesia menjadi 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Untuk Provinsi Bengkulu setelah terjadi pemekaran pada tahun 2003 yakni bertambahnya 5 kabupaten baru, sehingga menjadi 9 kabupaten dan 1 kota dengan jumlah penduduk sekarang sebanyak 1,828 juta jiwa. Visi dari Provinsi Bengkulu adalah terwujudnya masyarakat Bengkulu yang semakin maju, semakin bertaqwa, dan semakin sejahtera. Pembangunan yang dilaksanakan bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang maju baik secara materi maupun secara non materi. Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang kompetitif yaitu masyarakat yang memiliki pendidikan, keterampilan, dan keahlian yang tinggi dan spesifik sehingga mampu bersaing dengan masyarakat daerah lainnya. Variabel maju ditandai dengan indikator terus meningkatnya angka pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
4
PDRB Provinsi Bengkulu menurut lapangan usaha Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dengan migas tahun 2012 mencapai 24,173 miliar rupiah lebih tinggi dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya. PDRB ADHB dengan migas Provinsi Bengkulu menyumbang sebesar 0,36 persen terhadap PDB nasional (33 Provinsi), sementara untuk PDRB ADHK tahun 2012 dengan migas sebesar 9.464 miliar rupiah. PDRB Provinsi Bengkulu ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Perkembangan PDRB menurut ADHB dan ADHK Provinsi Bengkulu Tahun 2008-2012 (Miliaran Rupiah) PDRB ADHB
PDRB ADHK
Tahun
Dengan Migas(Miliar)
Tanpa Migas (Miliar)
Dengan Migas (Miliar)
Tanpa Migas (Miliar)
2008 2009 2010 2011 2012
14.916 16.385 18.600 21.269 24.173
14.916 16.385 18.600 21.269 24.173
7.442 7.860 8.340 8.878 9.464
7.442 7.860 8.340 8.878 9.464
Sumber: BPS, 2011
Kinerja perekonomian Provinsi Bengkulu atas dasar harga berlaku mengalami kenaikan sebesar 11,78 persen sedangkan atas dasar harga konstan mengalami kenaikan 6,03 persen. Semakin membaiknya kinerja perekonomian Provinsi Bengkulu pasca krisis ekonomi tergambar dari angka pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan yang terus mengalami peningkatan atau mengalami percepatan pertumbuhan. Pertumbuhan PDRB ini didorong oleh pertumbuhan sektor-sektor ekonomi, dari sembilan sektor penyusunan PDRB tercatat empat sektor diantaranya yang memilih kontribusi cukup besar dalam mendorong pertumbuhan PDRB Provinsi Bengkulu. Struktur perekonomian Provinsi Bengkulu tahun 2011, didominasi besarnya kontribusi sektor pertanian dengan kontribusi sebesar 39,84 persen,
5
sektor perdagangan, hotel dan restoran (18,74 persen), dan sektor jasa (15,76 persen). Selain ketiga sektor di atas, sektor lainnya yang memiliki kontribusi cukup besar adalah sektor jasa keuangan (4,28 persen), dan sektor pengangkutan dan komunikasi (8,29 persen). Struktur perekonomian Provinsi Bengkulu dapat dilihat pada Gambar 1.1
Sumber: BPS, 2011 Gambar 1.1 Struktur Perekonomian PDRB ADHB Provinsi Bengkulu
Berdasarkan data sektor perekonomian di Provinsi Bengkulu di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas pendapatan penduduk kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu masih didominasi oleh sektor pertanian dalam arti luas yaitu perkebunan, tanaman pangan, perikanan, sayuran, dan peternakan. Dengan sektor terbesar adalah kelapa sawit, kemudian diikuti padi sawah, kopi, karet, dan perikanan tangkap laut.
6
Sumber: BPS, 2012 Gambar 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Bengkulu terhadap Nasional Tahun 2004-2012 (persen)
Selama kurun waktu dari tahun 2004-2012 perkembangan tingkat pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bengkulu dalam tiga tahun terakhir mengalami percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang baik. Pertumbuhan ekonomi tahun 2012 mencapai 6,61 persen yang berarti lebih tinggi dibandingkan pada tahun 2010 dan 2011. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2012 melebihi dari tingkat pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara untuk pertumbuhan sektor, seluruh sektor tumbuh positif pada tahun 2011 dan sektor dengan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi serta sekaligus pendorong pertumbuhan ekonomi Bengkulu adalah: sektor pertanian (39,84 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (18,74 persen), dan sektor jasa (15,76 persen). Dengan melihat perbandingan pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu terhadap Nasional di atas,
dapat dilihat perkembangan PDRB per kapita di
kabupaten/kota Provinsi Bengkulu pada Gambar 1.3.
7
Sumber: BPS, 2011 Gambar 1.3 Perkembangan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 2011 (ribu rupiah)
Gambar 1.3 menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan PDRB per kapita yang cukup tinggi, di mana sebagian besar kabupaten/kota memiliki PDRB per kapita dibawah rata-rata PDRB per kapita provinsi, PDRB per kapita tertinggi mencapai 16.487 ribu/jiwa terdapat di Kabupaten Rejang Lebong, sedangkan PDRB per kapita terendah di Kabupaten Seluma dan Kabupaten Kaur. Kabupaten Lebong, jika dilihat dari pertumbuhan, termasuk dalam tiga kabupaten dengan pendapatan terendah, tetapi jika dilihat dari PDRB per kapita, Kabupaten Lebong termasuk dalam empat kabupaten dengan PDRB terbesar. Indikator kemiskinan di Provinsi Bengkulu, dalam kurun waktu 20042012 secara absolut terjadi penurunan. Jumlah penduduk miskin tahun 2012 (september) adalah sebesar 310,4 ribu jiwa. Dengan tingkat kemiskinan dari tahun 2004-2012 mengalami penurunan dan hingga akhir tahun 2012 mencapai 17,51
8
persen. Kondisi kemiskinan di Provinsi Bengkulu masih tergolong tinggi jika dibandingkan terhadap rata-rata kemiskinan nasional (11,66 persen).
Sumber: BPS Bengkulu, 2013 Tabel 1.2 Perkembangan Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Bengkulu Tahun 2008-2013
Penyebaran penduduk miskin terbesar tahun 2011 terdapat di Kota Bengkulu yaitu sebanyak 70,00 ribu jiwa dan Rejang Lebong sebanyak 42,20 ribu jiwa, dan terendah di Kabupaten Bengkulu Tengah sebesar 6,50 ribu jiwa. Sementara itu, tingkat kemiskinan tertinggi terdapat di Kabupaten Bengkulu Selatan sebesar 22,55 persen dan tingkat kemiskinan terendah di Kabupaten Bengkulu Tengah sebesar 6,49 persen, seperti terlihat pada Tabel 1.3 Tabel 1.3 Perkembangan Kemiskinan Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu Tahun 2006-2011 Penduduk Miskin (000) Persentase Kemiskinan Kabupaten/Kota 2006 2011 2006 2011 2006-2011 2006-2011 Bengkulu Selatan 49,3 32,80 16,50 37,45 22,55 14,90 Rejang lebong 42,0 42,20 -0,20 17,36 16,79 0,57 Bengkulu Utara 78,3 37,80 40,50 23,56 14,40 9,16 Kaur 41,0 24,50 16,50 38,55 22,26 16,29 Seluma 60,0 36,90 23,10 37,89 20,90 16,99 Muko-muko 27,9 21,10 6,80 21,19 13,28 7,91 Lebong 16,4 12,60 3,80 18,91 12,43 6,48 Kepahiang 20,8 19,10 1,70 18,20 15,02 3,18 Bengkulu Tengah 6,50 -6,50 6,49 Kota Bengkulu 24,2 70,00 -45,80 9,28 22,23 112,95 Bengkulu 360,0 303,40 56,60 23,00 17,36 5,64 Sumber: BPS Bengkulu, 2011
9
Berdasarkan Tabel 1.3 tingkat kemiskinan di kabupaten/kota Provinsi Bengkulu pada tahun 2012 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tingkat nasional. Jika dibandingkan pada setiap kabupaten/kota yang ada di Provinsi Bengkulu, Kota Bengkulu yang memiliki tingkat PDRB per kapita yang paling tinggi juga memiliki tingkat persentase kemiskinan yang paling besar jika dibandingkan pada setiap kabupaten yang ada di Provinsi Bengkulu. Provinsi Bengkulu terus mengalami percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang baik
terhadap perekonomian nasional, dan juga mengalami penurunan
tingkat kemiskinan jika dibandingkan tingkat nasional. Akan tetapi, mengalami ketimpangan yang tidak merata pada setiap kabupaten/kota jika dilihat dari tingkat kemiskinan maupun PDRB per kapita pada masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih lanjut mengenai ketimpangan antar dan dalam wilayah kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu serta menganalisis
faktor-faktor
dominan
yang
memengaruhi
ketimpangan
antarwilayah tersebut, sehingga dapat sebagai bahan perumus kebijakan agar ketimpangan
tidak
semakin
tinggi
yang
nantinya
dapat
menghambat
pembangunan.
1.2 Keaslian Penelitian Studi empiris tentang ketimpangan pembangunan antarwilayah telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, baik di tingkat regional maupun nasional serta penelitian di negara lain. Salah satunya adalah Yakunina dan Bychkov (2015) melakukan penelitian tentang Correlation Analysis Of The Components Of The Human Development Index Across Countries. Hasil
10
penelitian menunjukkan adanya korelasi, dari tingkat pendidikan, informasi komunikasi tingkat harapan hidup terhadap Indeks Pembangunan Manusia pada 15 negara ekonomi didunia. Nurhuda, Muluk dan Presetyo (2012),dalam penelitiannya menemukan bahwa PDRB per Kapita, Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, dan IPM memengaruhi perbedaan ketimpangan pembangunan di Provinsi Jawa Timur. Hasil analisis menunjukkan bahwa PAD dan IPM berpengaruh negatif terhadap ketimpangan pembangunan. Dengan demikian IPM yang semakin tinggi dan merata pada daerah Provinsi Jawa Timur akan mendorong terjadinya peningkatan
pertumbuhan
ekonomi
sehingga
akan
menurunkan
tingkat
ketimpangan pembangunan antardaerah. Barika (2012), meneliti tentang analisis ketimpangan pembangunan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu Tahun 2005-2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara rata-rata dari tahun 2005 hingga 2009 nilai indeks entrhopi theil di Provinsi Bengkulu mengalami banyak perbedaan. Kabupaten Seluma, Kaur, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, dan Mukomuko relatif memiliki kemerataan yang cukup merata hal ini ditandai dengan nilai indeks entropi theil yang mendekati dibawah 10 persen. Daerah yangmemiliki ketidakmerataan tertinggi sebesar 22 persen, yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma, Kaur, Bengkulu Utara, dan Rejang Lebong. Analisis pengaruh pengeluaran pemerintah daerah dan pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pembangunan wilayah yang diteliti oleh Harun dan Mazki (2012), dengan estimasi regresi data panel pada uji Chow untuk memilih antara pendekatan Pooled Least Square (PLS) dan Fixed Effect
11
Model(FEM) dan pada uji Hausman untuk memilih antara pendekatan FEM dan Random Effet Model (REM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa koefisien yang diperoleh pada variabel pengeluaran pemerintah adalah -2.26. Hal ini menunjukkan bahwa semakin meningkatnya pengeluaran pemerintah akan semakin menurunkan nilai Indeks Williamson yang berarti menunjukkan pembangunan yang semakin merata. Hal ini mengindikasikan bahwa walaupun pengeluaran pemerintah sangat kecil dibandingkan dengan PDRB, tetapi pengeluaran pemerintah dapat mengatasi masalah ketimpangan pembangunan wilayah. Cheung dan Wu (2013), melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh globalisasi terhadap tingkat ketimpangan intraprovinsi. Dengan menggunakan data panel seluruh kabupaten/kota di 28 provinsi dalam periode waktu 1997-2007, Cheung dan Wu melakukan regresi dengan melibatkan sebelas variabel dengan menggunakan nilai koefisien gini sebagai variabel dependen. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah Foreign Direct Investment (FDI) berkorelasi negatif terhadap ketimpangan regional intraprovinsi. Tingkat industrialisasi dan perkembangan sektor jasa memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan, sedangkan perdagangan internasional tidak berpengaruh terhadap ketimpangan regional secara signifikan. Perdagangan domestik memiliki pengaruh negatif tetapi infrastruktur transportasi memiliki pengaruh positif terhadap ketimpangan. Temuan lainnya adalah bahwa ketimpangan makin tinggi saat kinerja sektor utama (dalam kasus ini adalah sektor pertanian) menurun. Penelitian yang menggunakan analisis ketimpangan dengan melihat jumlah PDRB per kapita yang diteliti oleh Bonet (2006), dengan judul penelitian
12
Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombia experience. Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa dengan menggunakan data panel didapatkan hasil bahwa proses desentralisasi fiskal meningkatkan ketimpangan pendapatan regional selama masa analisis. Hal ini terlihat dari beberapa faktor yaitu alokasi dari porsi utama atas sumber daya lokal baru untuk pengeluaran sekarang (gaji dan upah), investasi infrastruktur dan modal, kurangnya komponen redistribusi dalam transfer nasional, serta kurangnya kapasitas institusional pada pemerintah daerah. Selain itu, dua variabel kontrol yaitu keterbukaan perdagangan dan aglomerasi produksi juga berhubungan positif dan signifikan terhadap ketimpangan pendapatan regional. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis ketimpangan pembangunan yang dilihat dari variabel DAU, IPM, investasi, persentasi kemiskinan, jumlah penduduk, belanja pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi dari masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu dalam kurun waktu 2010-2014, dengan menggunakan analisis data panel. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini bersumber pada data Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD), dan Badan Perencanaan Pembangunan Derah (Bappeda). Dalam penelitian ini diuji faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Barika (2012) untuk penentuan variabel Model regresi Linier dengan beberapa penyesuaian. Penelitian dari Nurhuda, Muluk dan Prasetyo (2012) penggunaan variabel IPM, Jumlah Penduduk, Pertumbuhan Ekonomi, dan DAU yang digunakan untuk melihat
13
faktor yang memengaruhi ketimpangan, Cheung dan Wu (2012), menggunakan data panel untuk melihat ketimpangan intrapropinsi, dan penelitian dari Jaime Bonet (2006) perhitungan tentang penentuan ketimpangan dengan menggunakan PDRB per kapita dari kabupaten/kota dibagi dengan jumlah PDRB per kapita di Provinsi Bengkulu dikurangi satu. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya Barika dan Nurhuda, Muluk, dan Prasetyo menggunakan indeks williamson, indeks theil dan regresi linier berganda. Perbedaan lainnya adalah penggunaan variabel bebas DAU, IPM, investasi, kemiskinan, jumlah penduduk, belanja pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu 5 tahun (2010-2014).
1.3 Rumusan Masalah Ketimpangan dalam pembangunan ekonomi terjadi baik antarnegara, antarprovinsi, maupun antarkabupaten di Indonesia. Ketimpangan dalam pembangunan pada dasarnya tidak bisa dihindari karena perbedaan potensi dan karakter antarwilayah, yang menjadi masalah adalah ketika ketimpangan tersebut terus meningkat selama periode yang mengakibatkan tidak meratanya distribusi hasil pembangunan yang dinikmati oleh warga di daerah yang bersangkutan. Provinsi Bengkulu sebagai salah satu provinsi yang memiliki tingkat PDRB yang relatif kecil jika dibandingkan dengan tingkat PDRB di provinsiprovinsi lain. Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dari penelitian ini dilihat dari tingkat PDRB kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu kecenderungan adanya kesenjangan yang cukup tinggi, di mana sebagian besar kabupaten/kota memiliki PDRB per kapita dibawah rata-rata PDRB per kapita
14
Provinsi. Akan tetapi, jika dilihat dari tingkat pertumbuhan provinsi, pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bengkulu dalam tiga tahun terakhir mengalami percepatan laju pertumbuhan ekonomi yang baik, di mana rata-rata pertumbuhan ekonomi di Provinsi Bengkulu pada tahun 2012 melebihi rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Perekonomian Provinsi Bengkulu mampu tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian Provinsi Bengkulu terus mengalami peningkatan pertumbuhan. Meskipun perekonomian di Bengkulu menunjukkan peningkatan, tetapi berdasarkan hasil PDRB daerah, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kemajuan ekonomi tidak diimbangi dengan pemerataan pendapatan antarwilayah kabupaten/kota. Hal ini mengindikasikan bahwa di Provinsi Bengkulu terdapat masalah ketimpangan pembangunan antarwilayah kabupaten/kota. Besar kecilnya ketimpangan di kabupaten/kota Provinsi Bengkulu memberikan gambaran tentang kondisi dan perkembangan pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu. Untuk memberikan gambaran yang lebih baik tentang kondisi dan perkembangan pembangunan daerah di kabupaten/kota Provinsi Bengkulu, akan dibahas faktor dan variabel yang memengaruhi ketimpangan pembangunan wilayah yang dilihat dari variabel DAU, IPM, investasi, kemiskinan, jumlah penduduk, belanja pemerintah, dan pertumbuhan ekonomi.
15
1.4 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang dituliskan sebelumnya, maka pertanyaan penelitiannya adalah faktor-faktor apa saja yang memengaruhi ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu?
1.5 Tujuan Penelitan Berdasarkan pertanyaan penelitian yang dituliskan sebelumnya, maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu.
1.6 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap beberapa hal sebagai berikut. 1.
Memberikan wawasan dalam ilmu pengetahuan terutama untuk pembangunan daerah di Provinsi Bengkulu yang akan datang yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional.
2.
Memberikan masukan dan informasi bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu terkait pengambilan kebijakan ekonomi khususnya untuk pembangunan dan peningkatan pemerataan perekonomian daerah guna menurunkan disparitas pembangunan antarwilayah.
3.
Sebagai bahan pembanding dan referensi bagi peneliti lain.
16
1.7 Sistematika Penulisan Penulisan tesis ini disusun berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut; Bab I Pendahuluan, yang menguraikan tentang latar belakang, keaslian penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian. Pokok bahasan selanjutnya Bab II, Tinjauan Pustaka, yang menguraikan tentang landasan teori. Tinjauan pustaka yang digunakan, bagian ini berisi tentang konsep ketimpangan pembangunan di Kabupaten/Kota Provinsi Bengkulu, Bab III Metode Penelitian disajikan desain penelitian, definisi operasional, dan metoda analisis data, sedangkan Bab IV Analisis menyajikan deskripsi data, uji hipotesis, dan pembahasan hasil penelitian. Pada bagian terakhir Bab V Kesimpulan dan Saran disajikan simpulan, keterbatasan penelitian, dan saran.
17