BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan gaya hidup pada masyarakat di dunia dewasa ini yang
dipengaruhi
pengetahuan
dan
oleh
semakin
teknologi
berkembang
sehingga
pesatnya
menyebabkan
ilmu
terjadinya
penurunan aktivitas fisik seseorang. Penurunan aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup akan menyebabkan terjadinya problem-problem kesehatan seperti sakit jantung, diabetes mellitus, stroke, hipertensi dan kadar kolestrol yang tinggi. Stroke adalah salah satu penyakit kardiovaskular yang berpengaruh terhadap pembuluh darah arteri yang menuju dan berada di otak, stroke terjadi ketika pembuluh darah yang mengangkut oksigen dan nutrisi menuju otak pecah atau terblokir oleh bekuan sehingga otak tidak mendapat darah yang dibutuhkannya. Jika kejadian berlangsung lebih dari 10 detik akan menimbulkan kerusakan permanen otak (Feigin, 2005). Stroke merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu menjadi perhatian di seluruh dunia pada dewasa ini karena stroke menempati urutan ketiga teratas penyebab kematian di dunia selain penyakit jantung koroner dan semua jenis kanker. Selain menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia stroke juga menjadi urutan 1
2
tertinggi penyebab terjadinya gangguan atau penurunan aktivitas fungsional sehari-hari (Activities of Daily Living) secara mandiri (Banerjee dan Tapas, 2006; Dobkin, 2005). Sekitar 400/100.000 orang yang berusia di atas 45 tahun mengalami serangan stroke pertama setiap tahunnya di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia (Dobkin, 2005). Menurut International Stroke Trial report, pada 6 bulan setelah stroke, sekitar 20% mati, 50% independen dan 30% tergantung dalam self care (Weir et al., 2001). Menurut data World Health Organization (WHO) dalam Mackay dan Bonita menunjukan bahwa 5,71 juta orang meninggal akibat stroke pada tahun 2004, dan angka tersebut diperkirakan akan meningkat menjadi 6,3 juta pada 2015 dan 7,8 juta pada 2030. Prevalensi penderita stroke di Indonesia meningkat dari 8,3 per 1.000 populasi penduduk pada tahun 2007 menjadi 12,1 per 1000 populasi penduduk pada tahun 2013 (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur (Yastroki, 2007). Motor impairment adalah gangguan yang paling sering terjadi pada
insan
pasca
stroke.
Motor
impairment
tersebut
akan
menyebabkan terjadinya penurunan mobilisasi insan pasca stroke
3
dalam aktivitas hidup sehari-hari yang salah satunya adalah gangguan aktivitas berjalan. Gangguan aktivitas berjalan pada pasien stroke merupakan gangguan yang paling sering dijumpai dimana sekitar 85% pasien pasca stroke yang mengalami walking impairment akan mengalami pemulihan fungsi berjalan sekitar waktu enam bulan setelah onset (Dias et al., 2007). Terjadinya gangguan aktivitas berjalan (walking impairment) pada insan pasca stroke disebabkan oleh ganguan balance ability, postural control, muscle weakness, spasticity, physical factors seperti motor recovery, cardiorespiratory fitness, perception, muscle strength, motor control, gangguan proprioseptif, abnormal muscle activation pattern dan muscle tone (Yavuzer, 2006). Dengan terjadinya gangguan-gangguan seperti motor control, gangguan balance dan postural control dapat menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan berjalan pada insan pasca stroke baik dari sisi kecepatan (walking velocity) maupun daya tahan (endurance) ketika berjalan. Penurunan walking velocity pada pasien pasca stroke dapat menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari (Activities of Daily Living) secara mandiri. Walking velocity adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat berjalan dengan nyaman dan mandiri. Walking velocity pada individu yang sehat adalah 1,3 m/detik – 1,4 m/detik sedangkan pada insan pasca stroke rata-rata 0,2 m/detik - 0,8 m/detik (Jonsdottir et al., 2009; Jonkers et al., 2009; Bohannon, 1997).
4
Walking velocity pada pasien pasca stroke dapat diukur dengan menggunakan 10 Meter Walk Test (10MWT). 10MWT digunakan untuk menguji self-selected comfortable walking speed (SCWS). 10MWT memerlukan waktu yang singkat dan usaha maksimal oleh karena itu, 10MWT ini berhubungan dengan kekuatan otot (muscle strength) (Graham et al., 2008). Untuk meningkatkan walking velocity yang berkaitan dengan muscle strength, selective movement, dan motor control pada pasien pasca stroke membutuhkan pelayanan kesehatan yang salah satu timnya adalah fisioterapi. Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan
dengan
menggunakan
penanganan
secara
manual,
peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi (PerMenKes RI No 80 Tahun 2013). Modalitas atau teknologi fisioterapi yang dapat digunakan untuk meningkatkan walking velocity pada penderita stroke bisa menggunakan pemberian stimulasi elektrik, penerapan terapi latihan strengthening serta pelatihan dengan pendekatan neuroscience. Pelatihan dengan pendekatan neuroscience pada pasien pasca stroke untuk meningkatkan walking velocity bisa menggunakan Bobath Approach,
Proprioceptive
Neuromuscular
Facilitation
(PNF),
Brunnstrøm, Motor Relearning Programme (MRP), Constraint Induce
5
Movement Therapy (CIMT), Functional Strength Training (FST), Feldenkrais (Belda-Lois et al., 2011). Pelatihan metode Bobath merupakan suatu problem solving approach untuk melakukan suatu assessment dan treatment kepada individu dengan gangguan fungsi, gerak melalui fasilitasi selective movement dan postural control karena adanya suatu lesi pada Sistem Saraf Pusat (SSP). Metode Bobath dapat diterapkan pada individuindividu dengan kondisi gangguan gerak dan postur dari segala usia untuk meningkatkan kemampuan fungsional (Raine, 2006; IBITA, 2007). Tujuan pelatihan metode Bobath untuk meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke adalah untuk meningkatkan postural control, selective movement, serta realignment agar terjadi cortical plasticity, muscle plasticity dan motor learning untuk meningkatkan keterampilan gerak (movement skill) dan efisiensi (Raine, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan Scrivener et al., (2014) dengan metode Bobath terjadi peningkatan walking velocity pada 190 sampel pasien stroke dari 0,17 m/detik menjadi 0,60 m/detik dengan alat ukur 10MWT. Feldenkrais
adalah sebuah
integrative approach
untuk
memberikan pembelajaran dan meningkatkan fungsi pada individu dari berbagai kemampuan mereka selama rentang kehidupan. Dengan menekankan pada self-awarness melalui suatu proses pembelajaran (learning) dengan memberikan stimulasi pada penginderaan (sensing),
6
gerakan (moving), perasaan (feeling), dan pikiran (thinking). Metode Feldenkrais bertujuan untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk self-organize behavior (Ginsburg, 2010; Buchanan dan Ulrich, 2001). Mekanisme pelatihan metode Feldenkrais untuk meningkatkan walking velocity dengan terjadinya peningkatan body awareness dimana akan memperbaiki sequence of movement sehingga akan memberikan feedback berupa peningkatan persepsi, peningkatan koordinasi, balance dan peningkatan kekuatan otot (Feldenkrais, 2005). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Batson dan Deutsch (2005) pelatihan metode Feldenkrais yang dilakukan pada 4 orang pasien stroke selama 6 minggu menghasilkan peningkatan sebesar 56,4% DGI (Dymanic Gait Index). Metode Bobath menekankan pada aktivasi postural dengan posisi-posisi melawan gravitasi dengan melibatkan rekrutmen sensori input untuk memodulasi gerakan melalui postural control dan selective movement yang menjadi target peningkatan stabilitas, keseimbangan dan kualitas gerak dalam pendekatan aktivitas fungsional (Raine, 2009). Metode Feldenkrais menekankan pada peningkatan internal representation dan kesadaran gerak yang akan meningkatkan rasa tubuh dalam berbagai posisi yang dilakukan sama pada sisi kanan dan sisi kiri tubuh (Ginsburg, 2010). Metode Bobath lebih task performance
oriented
daripada
metode
Feldenkrais
dalam
7
mengajarkan pasien dalam konteks aktivitas fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Pasien pasca stroke akan mengalami gangguan gerak dan fungsi tubuh seperti gangguan balance ability, postural control, spasticity, muscle strength, dan motor control yang mengakibatkan terjadinya penurunan walking velocity sehingga akan menurunkan kemampuan activities of daily living secara mandiri. Untuk meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke membutuhkan pelatihan-pelatihan
oleh
fisioterapi
yang
dapat
menyelesaikan
problem-problem tersebut secara komprehensif dan efektif oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pelatihan Metode Bobath Lebih Baik Daripada Pelatihan Metode Feldenkrais untuk Meningkatkan Walking Velocity pada Pasien Pasca Stroke”.
8
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah pelatihan metode Bobath dapat meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke? 2. Apakah pelatihan metode Feldenkrais dapat meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke? 3. Apakah pelatihan metode Bobath lebih baik daripada metode Feldenkrais untuk meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Menambah dan memperkaya khazanah keilmuan dan dasar ilmiah pada pelatihan metode Bobath dan pelatihan metode Feldenkrais untuk meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke. 1.3.2 Tujuan Khusus (1) Untuk mengetahui bahwa pelatihan metode Bobath dapat meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke. (2) Untuk mengetahui bahwa pelatihan metode Feldenkrais dapat meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke.
9
(3) Untuk mengetahui bahwa pelatihan metode Bobath lebih baik daripada metode Feldenkrais untuk meningkatkan walking velocity pada pasien pasca stroke.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Melalui penelitian ini diharapkan mampu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya fisioterapi pada penanganan insan pasca stroke. 2. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai referensi tambahan dan bahan masukan dalam meningkatkan informasi untuk program fisioterapi, khususnya dalam fisiologi olahraga. 3. Bagi Peneliti Berguna untuk menambah pengetahuan, pengalaman dan kesempatan mempelajari pelatihan metode Bobath dan metode Feldenkrais bagi insan stroke.