I.
PENDAHULUAN
Makan pagi mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi seseorang. Menurut Ensmenger dan Robson (1994), makan pagi penting untuk menunjang aktivitas, meningkatkan respon fisik dan mental.
Meninggalkan
kebiasaan makan pagi dapat mengakibatkan lambung kosong selama 10 hingga 12 jam, ketidakseimbangan sistem saraf pusat yang diikuti pusing, badan gemetar, cepat lelah, lesu, mudah tersinggung, mudah cemas dan kurang dapat berkonsentrasi (Kusmiyati, 2004). Breakfast food merupakan produk cepat saji yang dapat menjadi pilihan sebagai makanan pengganti nasi karena memiliki nilai gizi dan kepraktisan yang semakin dibutuhkan oleh masyarakat khususnya pada pagi hari.
Bahan baku
breakfast food harus mengandung karbohidrat yang cukup tinggi. Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) merupakan salah satu bahan pangan dengan kandungan karbohidrat tinggi. Talas banyak ditanam di Indonesia dan sudah banyak dikembangkan. Menurut Rauf dan Lestari (2009), pada tahun 2007 total produksi talas di Indonesia mencapai 7.014 ton. Menurut Briawan et al. (2004), di Hawai talas difermentasi menjadi poi yang merupakan makanan pokok. Poi juga disarankan sebagai makanan bayi dan orang sakit karena memiliki daya cerna yang tinggi. Tepung talas di Filipina dan Columbia digunakan sebagai pengganti terigu dalam pembuatan roti. Peluang pengembangan talas sebagai bahan pangan berpati non beras cukup besar dan memungkinkan munculnya produk olahan talas yang lebih beragam. Umbi talas memiliki kandungan gizi cukup tinggi, setiap 100 g bahan mengandung karbohidrat total 25 g, mineral terutama kalsium sebesar 47 mg dan fosfor 67 mg (Direktorat Bina Gizi Masyarakat Depkes RI, 1995 dalam 1
Therik et
al., 2001). Menurut Onwueme (1994), talas mengandung karbohidrat berkisar antara 13 – 29% dengan komponen utama adalah pati yang mencapai 77,9%. Namun umbi talas mengandung kristal kalsium oksalat yang dapat menyebabkan rasa gatal di mulut. Menurut Nip (1997), kristal kalsium oksalat dapat dikurangi bahkan dapat dihilangkan dengan perendaman dalam larutan garam, pengukusan, perebusan, penggorengan dan pemanggangan. Penggunaan talas dalam bentuk tepung lebih praktis dan efisien dibandingkan dengan bentuk segarnya. Pemanfaatan tepung talas sebagai bahan dasar breakfast food mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan penggunaan pati talas. Hal ini disebabkan tepung masih terkandung serat yang penting untuk kesehatan. Pemanfaatan tepung talas sebagai bahan baku breakfast food masih memiliki kekurangan yaitu rendahnya kandungan protein dalam tepung talas. Pemenuhan standar mutu protein breakfast talas dilakukan dengan penambahan bahan pangan yang mengandung protein tinggi. Contoh bahan makanan dengan kandungan protein tinggi adalah tempe. Tempe merupakan produk fermentasi kacang-kacangan menggunakan kapang Rhizopus oligosporus dan R. oryzae dan dalam frekuensi yang agak jarang menggunakan Aspergillus oryzae (Kasmidjo, 1989). Tempe umumnya dibuat dari kacang kedelai sehingga pembuatan tempe yang menggunakan jenis kacang-kacangan lain merupakan upaya diversifikasi pangan. Kacang gude adalah salah satu jenis kacangkacangan yang potensial sebagai bahan baku tempe.
Gude mengandung
protein yang cukup tinggi yaitu 21 g dalam 100 g berat total Penggunaan
jenis
kacang-kacangan
yang
(Syam, 1985).
berbeda
akan
menghasilkan
karakteristik fisikokimia dan sensorik tempe serta hasil olahannya yang berbeda. Hal itu disebabkan perbedaan komposisi gizi terutama kandungan protein, karbohidrat 2
dan lemak. Kandungan karbohidrat kacang gude lebih tinggi dari kedelai namun protein dan lemak kacang gude lebih rendah dari kedelai.
Menurut Syam (1985),
dalam 100 g kacang gude terkandung protein 21 g, karbohidrat 62 g dan lemak 1,4 g sedangkan dalam 100 g kacang kedelai terkandung protein 34,9 g, karbohidrat 34,8 g dan lemak 18,1 g. Hasil penelitian Ma’rifah (2009) menunjukkan bahwa suplementasi tepung tempe kedelai 30% pada produk breakfast ubi kayu merupakan hasil kombinasi terbaik dan memenuhi standar RDA (Recomanded Dietary Allowances). Rakhmawati (2008) menambahkan, breakfast ubi jalar dengan penambahan tepung germinasi kedelai sebesar 30% menghasilkan breakfast dengan protein terlarut tinggi (3,55% bk), tektur renyah dan warna coklat agak gelap. Jumlah tepung tempe yang perlu disuplementasikan agar diperoleh produk breakfast talas dengan kandungan protein terlarut tinggi, tekstur renyah dan flavor enak belum dikaji. Jenis tepung tempe mana yang paling tepat sebagai suplemen produk yang paling disukai oleh konsumen juga perlu diteliti, sehingga perlu dikaji konsentrasi dan jenis tepung tempe suplemen yang tepat antara tepung tempe gude dan tepung tempe kedelai untuk menghasilkan breakfast talas dengan mutu sensorik dan nutrisional terbaik. Pengkajian jenis tepung tempe juga melibatkan tepung tempe pasaran mengingat Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia. Menurut Idris (2008), pada tahun 2006 terdapat 85.400 unit Industri Kecil dan Menengah (IKM) usaha tempe di Indonesia. Peningkatan nilai gizi breakfast talas juga dapat dilakukan dengan suplementasi menggunakan tepung ikan. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan asam amino metionin dan sistin yang merupakan asam amino pembatas pada produk kacang-kacangan. Ikan kembung adalah salah satu jenis ikan yang dapat digunakan 3
sebagai suplemen pada breakfast talas. Ikan kembung
(Rastregiller sp)
merupakan golongan ikan kurus (lean fish) yang mempunyai kadar lemak rendah. Ikan kembung mengandung 73,3-79,3% air; 16,6-21,4% protein; 0,5-4,1% lemak (Hadiwiyoto, 1993). Penelitian Rahmawati (2004) menunjukkan bahwa Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) pati talas dengan tepung wortel sebanyak 20% dan tepung ikan kembung sebanyak 30% mempunyai kandungan gizi yang memenuhi standar Codex 1976 pada kadar lemak, protein total dan vitamin A serta memenuhi standar PAG energi.
(Protein Advisory Group) untuk serat kasar, kadar air dan Namun uji inderawi pada penelitian Primahati (2005) menunjukkan
bahwa ibu responden memiliki tingkat kesukaan yang lebih rendah terhadap Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) pati talas dengan suplementasi tepung ikan kembung sebanyak 30% bila dibandingkan dengan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP ASI) Promina. Besarnya proporsi tepung ikan kembung yang akan ditambahkan ke dalam produk breakfast talas perlu dikaji lebih lanjut karena penggunaan tepung ikan yang berlebihan dapat mempengaruhi tekstur breakfast talas dan menimbulkan off flavor berupa bau amis. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dikaji pengaruh proporsi tepung talas, tepung dari berbagai jenis tempe dan tepung ikan terhadap sifat fisikokimia dan sensorik breakfast talas. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menentukan proporsi tepung tempe dan tepung ikan yang tepat sehingga dihasilkan breakfast talas dengan kandungan protein terlarut tinggi, tekstur renyah, tidak bau amis serta flavor yang enak, 2) menemukan jenis tepung tempe yang tepat sehingga dihasilkan breakfast talas dengan kandungan protein terlarut tinggi, tekstur renyah dan flavor enak, 3) menentukan kombinasi terbaik yang menghasilkan breakfast talas dengan kandungan protein terlarut tinggi, tekstur renyah, bau amis minimal serta flavor yang enak. 4
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1) diversifikasi pangan melalui pengolahan umbi talas menjadi bahan baku pembuatan makanan sarapan (breakfast food), 2) membantu mewujudkan ketahanan pangan melalui pengolahan umbi talas, kacang-kacangan dan ikan serta 3) peningkatan pemanfaatan nilai ekonomis kacang kedelai, kacang gude dan ikan sebagai bahan baku tepung produk breakfast food.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Talas
Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott) merupakan salah satu umbi-umbian yang banyak ditanam di Indonesia. Talas termasuk divisi Spermatophyta, subdivisi Monocotyledoneae, ordo Aracales, famili Araceae, genus Calocasia dan spesies Colocasia esculenta (L.) Schott. Tanaman talas mempunyai variasi yang besar baik karakter morfologi seperti umbi, daun dan pembungaan serta kimiawi seperti rasa dan aroma (Hartati dan Prana, 2003). Talas banyak ditanam di Indonesia karena merupakan tanaman yang dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropis, mudah dibudidayakan serta tidak terlalu memerlukan pengairan. Tanaman ini juga dapat dijadikan sebagai tanaman sela dan dapat tumbuh sepanjang tahun di daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Talas 5
di Indonesia dapat dijumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai ke pegunungan dengan ketinggian 1000 meter di atas permukaan laut (Onwueme, 1994). Kultivar talas yang terdapat di Indonesia antara lain kultivar Ketan, Sutra, Semir, Siriwa, Kudo, Berod, Bogor, Burkok, Enau, Lampung, Bentul dan Apu. Umbi talas berbentuk silinder atau lonjong sampai agak bulat. Kulit umbi talas berwarna kemerahan, bertekstur kasar dan terdapat berkas-berkas pertumbuhan akar. Kandungan kimia umbi talas dipengaruhi oleh varietas, iklim, kesuburan tanah dan umur panen (Lingga, 1990). Kandungan gizi yang terdapat pada 100 g umbi talas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan gizi umbi talas Kandungan Gizi Energi (kal) Protein (g) Lemak (g) Hidrat arang total (g) Serat (g) Abu (g) Kalsium (mg) Posfor (mg) Besi (mg) Karoten (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air (g) Bagian yang dapat dimakan (%) Sumber : Lingga (1990)
Jumlah 120 1,5 0,3 28,2 0,7 0,8 31 67 0,7 0 0,05 2 69,2 85
Menurut Setyowati et al. (2007), sekitar 10% penduduk dunia mengkonsumsi talas sebagai pangan. Pati umbi talas mempunyai sifat yang mudah larut dan mudah dicerna karena memiliki ukuran granula yang sangat kecil yaitu 1 sampai 4 µm. Hal ini memungkinkan talas digunakan sebagai bahan dasar produk dengan kecernaan tinggi seperti makanan bayi dan makanan sarapan.
6
Umbi talas dapat dibuat menjadi tepung talas dan digunakan sebagai dasar pembuatan makanan olahan lainnya. Pembuatan tepung talas memiliki beberapa keuntungan yaitu awet, mudah diaplikasikan untuk bermacam-macam produk serta mudah penyimpanannya. Penepungan talas juga dapat mengurangi kerugian akibat tidak terserapnya umbi segar talas di pasar ketika produksi panen berlebih (Hartati dan Prana, 2003). Sifat kimia tepung talas dan tepung terigu sebagai pembanding dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan kimia tepung talas dan tepung terigu. Jenis Tepung Sifat Kimia Talasa Terigub Abu (% bk) 2,24 1,13 Lemak (% bk) 2,01 1,13 Protein (% bk) 3,90 10,2 Karbohidrat (% bk) 91,70 87,53 Serat kasar (% bk) 2,70 0,34 Energi (Kal) 400,91 377,55 Sumber: a = Therik et al .,(2001) b = Direktorat Bina Gizi Masyarakat (1995) dalam Therik et al., (2001)
B.
Tempe dan Tepung Tempe
Tempe adalah salah satu bentuk olahan kacang-kacangan yang sudah memasyarakat. Tempe dihasilkan dari proses fermentasi kapang golongan Rhizopus. Hifa kapang tumbuh dengan intensif dan membentuk jalinan yang mengikat biji kedelai yang satu dengan biji yang lain sehingga menjadi massa yang kompak dan kuat (Cahyadi, 2007). Menurut Kasmidjo (1989), perubahan biokimia proses fermentasi tempe meliputi kenaikan kadar bahan padat terlarut, kenaikan kadar asam amino bebas, berkurangnya lemak dan karbohidrat, kenaikan kadar selulosa, kenaikan kadar abu 7
dan berkurangnya berbagai senyawa antigizi. Perubahan utama yang terjadi pada karbohidrat selama fermentasi tempe adalah kehilangan heksosa secara cepat dan pemecahan stakhiosa secara lambat. Koswara (1992) menambahkan, selama fermentasi terjadi penurunan kadar karbohidrat penyebab flatulensi yaitu stakhiosa dan rafinosa sehingga akan meningkatkan daya cerna tempe dan bebasnya masalah flatulensi. Kedelai merupakan jenis kacang-kacangan yang umum digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe. Tempe kedelai di Indonesia diproduksi oleh 85.400 unit Industri Kecil dan Menengah (IKM) tempe dengan kapasitas produksi 10 kg sampai 4 ton tempe per hari (Astuti et al., 2000). Proses pembuatan tempe pasaran yang berbeda pada setiap produsen mempengaruhi nilai gizi tempe yang dihasilkan. Perbedaan komposisi kimia tempe kedelai dan tempe pasaran dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi kimia kacang kedelai, tempe kedelai dan tempe pasaran (dalam 100 g bagian yang dapat dimakan) Komponen Kacang Kedelai Tempe Kedelai Tempe Pasaran Protein (g) 34,9 20,8 14,0 Lemak (g) 18,1 8,8 7,7 Karbohidrat (g) 34,8 13,5 9,1 Abu (g) 1,6 0,9 Serat (g) 1,4 1,4 Karoten total (mg) 34 35 Kalsium (mg) 227,0 155 517 Besi (mg) 8,0 4,0 1,5 Fosfor (mg) 585,0 326 202 Vitamin B1 (mg) 1,1 0,19 0,17 Air (g) 7,5 55,3 68,3 Sumber : Departemen Kesehatan RI (1995) dalam Cahyadi (2007) Penggunaan jenis kacang-kacangan lain sebagai bahan baku pembuatan tempe perlu dikembangkan dalam upaya membantu mensukseskan program diversifikasi pangan. Salah satu kacang-kacangan non kedelai yang berpotensi untuk digunakan 8
sebagai alternatif bahan dasar tempe adalah kacang gude.
Tempe gude ternyata
hampir tidak mengandung asam fitat yang merupakan senyawa antigizi pengikat mineral-mineral yang diperlukan oleh tubuh dan membentuk kelat yang bersifat tidak larut (Rukmini et al., 1992). Kandungan protein kacang gude lebih rendah dari kedelai tetapi mutu protein berdasarkan susunan asam aminonya tidak kalah dengan kedelai. Susunan asam amino gude, tempe gude maupun kedelai beserta produk tempenya mempunyai asam amino pembatas pada metionin dan sistin. Kandungan asam amino esensial tempe gude dan tempe kedelai dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan asam amino esensial tempe gude dan tempe kedelai dalam mg/g (bk) Asam amino (mg/g) Tempe gude Tempe kedelai Isoleusin 344 176 Leusin 437 348 Lisin 499 263 Metionin 64 51 Sistin 57 45 Total asam amino S 121 96 Fenilalanin 462 261 Triosin 238 156 Total asam amino aromatik 700 417 Treonin 252 190 Triptofan 66 58 Valin 245 179 Sumber : Damardjati dan Widowati (1985) Tempe baik tempe kedelai maupun tempe gude merupakan pangan yang mudah rusak
oleh
aktivitas enzim proteolitik. Enzim proteolitik mendegradasi protein
menjadi amoniak sehingga tempe tidak layak untuk dikonsumsi.
Masa simpan
tempe hanya 2-3 hari pada suhu ruang. Tempe dapat diawetkan dalam bentuk tepung tempe sehingga tempe menjadi lebih fleksibel dalam penggunaannya dan lebih lama masa simpannya. Komposisi zat gizi tepung tempe kedelai dapat dilihat pada Tabel 5.
9
Tabel 5. Komposisi zat gizi tepung tempe kedelai Komponen Protein (%) Lemak (%) Karbohidrat (%) Kadar air (%) Serat makanan (%) Vitamin E (mg/100 g) P (mg/ 100 g) Ca (mg/100 g) Mg (mg/100 g) Na (mg/ 100 g) Besi (Fe) (mg/ 100g) Cu (mg/ 100 g) Zu (mg/100 g) Sumber: LIPI (2001) dalam Atmojo (2007)
Jumlah 46,1 22,7 10,1 4,1 1,4 39,4 340,8 149,0 35,0 7,5 10,4 1,9 1,3
Menurut Atmojo (2007) tepung tempe dapat diperoleh dari tempe segar melalui proses pengirisan, pengukusan, pengeringan, penggilingan dan penyaringan. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Pemotongan tempe segar Tempe segar dipotong berbentuk segi empat dengan ukuran seragam. Tujuan pemotongan tempe segar menjadi potongan yang lebih kecil adalah untuk memperoleh ukuran yang seragam sehingga dalam proses pengeringan akan lebih cepat dan merata. Potongan yang lebih kecil juga akan mempercepat dan mempermudah proses penggilingan. 2. Blanching Pengukusan bertujuan untuk menghentikan aktifitas jamur tempe, membunuh jasad renik atau mikrobia pembusuk, mengurangi aroma dan rasa mentah yang tidak disukai. Blanching dapat dilakukan dengan dua cara yaitu mencelupkan ke dalam air panas atau dengan cara memasukkan ke dalam uap panas pada suhu 100°C selama 10 menit. 10
3. Pengeringan Pengeringan merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dengan menggunakan energi panas. Pengeringan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan buatan menggunakan alat pengering dan pengeringan alami menggunakan panas matahari. 4. Penggilingan Penggilingan adalah proses penghancuran tempe menjadi tepung tempe yang dilakukan menggunakan mesin penggiling khusus untuk pembuatan tepung. 5. Penyaringan Penyaringan bertujuan untuk menghasilkan homogenitas ukuran butiran tepung sehingga produk yang dihasilkan memiliki tekstur yang halus. Penyaringan tempe dilakukan dengan menggunakan ayakan berukuran 80 mesh.
C.
Tepung Ikan
Tepung ikan adalah suatu produk padat kering yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar cairan dan sebagian atau seluruh lemak yang terkandung di dalam tubuh ikan (Afrianto dan Liviawaty, 1989).
Penggunaan
tepung ikan dalam suatu produk makanan akan meningkatkan nilai gizi produk tersebut terutama nilai protein. Tepung ikan mengandung asam amino yang cukup lengkap. Kandungan asam amino pada tepung ikan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan asam amino tepung ikan Jenis Asam Amino Lisin Histidin 11
Kadar Asam Amino (% bk) 3,67 0,82
Arginin Aspartat Treonin Serin Glutamat Prolin Glisin Alanin Sistin Valin Metionin Isoleusin Leusin Tirosin Fenilalanin Sumber : Sitompul (2004)
3,18 4,31 2,35 3,00 6,30 2,80 3,88 3,38 0,46 2,57 1,56 2,12 3,62 1,58 2,37
Ikan mentah yang dapat menghasilkan tepung ikan bermutu baik adalah ikan yang tidak berlemak (lean fish). Ikan berlemak (fatty fish) menghasilkan tepung ikan yang berlemak. Hal ini merugikan karena oksidasi lemak akan mengakibatkan tepung ikan mudah mengalami ketengikan (Afrianto dan Liviawaty, 1989). Ikan kembung merupakan salah satu jenis ikan dengan kadar lemak rendah. Kadar lemak ikan kembung sebesar 8,8% (Burhanuddin et al., 1984).
Menurut
Afrianto dan Liviawaty (1989), pembuatan tepung ikan meliputi beberapa langkah. Ikan kembung segar dibersihkan dan dibuang segala kotoran maupun organ – organ yang tidak layak dikonsumsi seperti kepala, insang dan ekor, selanjutnya dicuci hingga bersih dan dipotong – potong menjadi agak kecil. Potongan–potongan ikan kemudian ditaburi dengan garam dan didiamkan selama beberapa menit, dilanjutkan dengan pemasakan dan pengepresan. Ikan yang sudah dipres kemudian dikeringkan dalam oven dan setelah kering digiling dan diayak dengan ayakan ukuran 80 mesh.
D.
Produk Breakfast
12
Breakfast adalah salah satu produk ekstrusi yang merupakan pangan pengganti sarapan pagi dan berfungsi sebagai sumber energi, sumber zat gizi penting seperti protein, vitamin, mineral, serat serta memiliki tekstur yang renyah (Bouvier et al., 2001). Produk breakfast yang telah banyak beredar di pasaran adalah breakfast cereal. Ada tiga jenis breakfast cereal, yaitu ready to cook breakfast cereal, instant breakfast cereal dan ready to eat breakfast cereal dimana ready to eat breakfast cereal (RTEBC) merupakan bentuk yang paling popular (Potter, 1996). Ciri khas dari produk breakfast adalah kadar air rendah dan tekstur renyah. Berdasarkan teknik pengolahannya, breakfast cereal dijumpai dalam bentuk serpihan (flake), hancuran atau parutan (shredded), mengembang (puffed), panggangan (baked) dan extrudat (extruded). Proses pemasakan merupakan tahapan proses yang harus dilakukan dalam proses pembuatan breakfast cereal. Proses pemasakan membentuk sifat fisik yang diperlukan untuk membentuk tekstur produk yang diinginkan (Syamsir, 2008). Flaking adalah bentuk paling umum dari RTEBC. Prosesnya sederhana, hanya dengan menambahkan air, diratakan dengan cara melewatkan pada ekstruder lalu dipanggang pada suhu tinggi untuk memperoleh tekstur dan flavour yang dikehendaki. Penambahan vitamin, mineral, protein dan serat telah lama dilakukan untuk memperoleh produk akhir dengan gizi yang seimbang. Menurut Ensminger dan Robson (1994), pengkayaan nilai gizi dalam breakfast cereal bertujuan untuk memperbaiki beberapa zat gizi yang hilang selama pembuatan breakfast cereal. Standar mutu breakfast cereal dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Standar mutu breakfast cereal atau makanan sarapan berdasarkan SNI 010222-1995 No Komponen Jumlah 1. Keadaan (bau dan rasa) Normal 2. Air Maksimal 3,0 % bb 13
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Abu Protein Lemak Karbohidrat Serat kasar Bahan tambahan makanan a. Pemanis buatan (sakarin dan siklamat) b. Pewarna tambahan 9. Cemaran logam a. Timbal (Pb) b. Tembaga (Cu) c. Seng (Zn) d. Timah (Sn) e. Raksa (Hg) 10. Cemaran arsen 11. Cemaran mikrobia a. Angka lempeng total b. Coliform c. Escherichia coli d. Salmonella/ 25 g e. Staphylococcus aureus/ g f. Kapang Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1996).
Maksimal 4,0 % bb Minimal 5,0 % bb Minimal 7,0 % bb Minimal 6,0 % bb Maksimal 0,7 % bb Tidak boleh ada Sesuai SNI 01-0222-1995 Maksimal 2,0 mg/ kg Maksimal 30,0 mg/ kg Maksimal 40,0 mg/ kg Maksimal 0,16 mg/ kg Maksimal 0,03 mg/ kg Maksimal 1,0 mg/ kg Maksimal 5.105 Maksimal 102 APM/g Maksimal < 3 APM/g Negatif Negatif Maksimal 102 koloni/g
Breakfast cereal juga harus memenuhi standar RDA (Recommended Dietary Allowances) yaitu, menyumbang 10% kebutuhan energi dan 22% kebutuhan protein anak-anak berusia 7 sampai 9 tahun. Kebutuhan energi anak-anak berusia 7 sampai 9 tahun adalah 1800 kkal dan protein 45 g/ hari (Ensminger dan Robson, 1994). Bahan dasar produk breakfast juga dapat dibuat dengan umbi-umbian. Umbi talas merupakan salah satu sumber karbohidrat yang penting. Penelitian yang telah dilakukan Agustia (2006) pada proses pembuatan breakfast berbahan dasar umbi talas dihasilkan produk dengan kadar protein terlarut 2,44% bk; koefisien rehidrasi 2,25; kadar air 2,33% bb; kadar abu 3,75% bk; kadar protein total 9,98% bk; kadar serat kasar 3,29% bk; kadar lemak total 1,71% bk dan kadar karbohidrat (by difference) 82,55% bk dengan nilai tekstur renyah-sangat renyah (3,73); flavor agak enak-enak (2,73); tidak berbau langu (1,0); warna coklat agak gelap (2,0) dan memiliki nilai kesukaan 3,00 yaitu suka. 14
E.
Pati dan Gelatinisasi
Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji-bijian atau umbiumbian. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Granula pati tersusun atas dua polimer yaitu amilosa dan amilopektin (Haryadi, 1993). Amilosa mempunyai rantai lurus dengan ikatan α (1,4) D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai rantai bercabang dengan ikatan
α (1,6) D-
glukosa. Menurut Winarno (1997), perbandingan kedua komponen tersebut menentukan sifat-sifat pati. Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas. Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut disebut gelatinisasi (Winarno, 1997). Parameter gelatinisasi pada beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Parameter gelatinisasi pada pati talas, uwi dan kentang Parameter Gelatinisasi Sumber To (°C)1 Tp(°C)2 Pati talas 70,95 78,53 Pati uwi 69,18 76,08 Pati kentang 56,96 67,97 Sumber : Aprianita et al., (2009) Keterangan : 1 = suhu mula-mula gelatinisasi 2 = suhu puncak gelatinisasi 3 = suhu akhir gelatinisasi
Tc(°C)3 84,67 81,50 75,02
Suspensi pati yang dipanaskan pada suhu 60 sampai 70°C akan menyebabkan granula pati yang berukuran relatif besar membengkak sangat cepat. Granula yang lebih kecil ikut membengkak hingga seluruh granula pati membengkak secara 15
maksimal jika suhu pemanasan terus meningkat.
Molekul amilosa dan
amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen yang lemah dimana atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif dan gugus hidroksil yang lain. Suhu yang semakin naik mengakibatkan ikatan hidrogen melemah dan molekul air mempunyai energi kinetik yang semakin besar sehingga akan memudahkan molekul-molekul air untuk berpenetrasi masuk ke dalam granula (Fennema, 1976). Granula-granula pati akan pecah dan molekul-molekul pati keluar dan terlepas dari granula serta masuk dalam sistem larutan saat larutan pati mencapai suhu gelatinisasi. Hal ini menyebabkan perubahan viskositas. Amilosa dan amilopektin besar pengaruhnya terhadap viskositas sistem dispersi pati dan air. Gugus hidroksil yang terletak pada salah satu ujung rantai amilosa dan pada ujung rantai pokok amilopektin berperan dalam penarikan air oleh pati karena gugus hidroksil dari pati akan tarik-menarik dengan gugus hidrogen dari air. Semakin rendah kadar amilosa dan amilopektin pada pati maka gugus hidroksilnya akan turun sehingga akan menyebabkan gaya tarik-menarik antara pati dengan air menjadi kecil sehingga viskositas yang dihasilkan juga kecil
(Whistler dan Miller, 1994).
Proses gelatinisasi pati pada pembuatan breakfast talas terjadi pada saat tahapan blanching. Pati yang tergelatinisasi akan membentuk gel dan daya serap air menjadi lebih besar sampai 60%, akibatnya ikatan intermolekuler pecah dan ikatan-ikatan hidrogen mengikat air. Peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum dipanaskan menjadi berada di dalam butirbutir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi. Hal ini dapat mempercepat proses pengeringan dan tekstur menjadi padat. Blanching juga dapat mencegah reaksi browning sehingga intensitas browning dapat diminimalkan (Winarno, 1997). 16
F.
Pemanggangan
Pemanggangan merupakan suatu unit operasi yang menggunakan udara panas dan bertujuan untuk mencapai eating quality, dekstruksi mikrobia serta menurunkan aktivitas air bebas pada makanan. Proses pemanggangan pada pembuatan breakfast juga bertujuan untuk menyempurnakan gelatinisasi pati. Pemanggangan dapat dilakukan dengan menggunakan oven (Desrosier, 1988). Pemanggangan atau baking diaplikasikan untuk produk-produk makanan berbahan dasar tepung. Mekanisme penguapan air pada pemanggangan sama dengan mekanisme penguapan air pada produk yang dikeringkan, namun pemanggangan menggunakan suhu dan kecepatan pemanasan yang lebih tinggi serta waktu yang relatif lebih singkat, sehingga dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan komplek komponen makanan pada permukaan. Menurut Fellows (1990), mekanisme penguapan air pada produk yang dikeringkan ialah ketika udara panas dialirkan ke produk yang basah, panas akan ditransfer dan panas laten penguapan menyebabkan air menguap. Difusi uap air melalui boundary film (udara yang melapisi produk) dibawa oleh aliran udara. Hal ini akan menciptakan area dengan tekanan udara yang lebih rendah pada permukaan produk dan penurunan tekanan uap air terjadi dari bagian dalam produk makanan yang lembab ke udara kering. Penurunan ini memberikan drying force (tekanan pengeringan) untuk menggerakkan air dalam produk makanan. Karakteristik makanan panggang adalah pembentukan dry crust di permukaan atau keseluruhan produk. Perubahan yang terjadi selama pemanggangan antara lain penguapan air dalam bahan, perubahan komponen pati, protein dan lemak dan 17
perubahan sifat sensorik. Perubahan sifat sensorik meliputi perubahan warna, aroma dan tekstur. Pembentukan warna disebabkan karena adanya karamelisasi gula dan reaksi Maillard. Karamelisasi gula juga menghasilkan maltol dan isomaltol yang memberi flavor khas roti.
III.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto selama 4 bulan yaitu Mei 2009 sampai September 2009.
B. Bahan dan Alat 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas, tempe kedelai, kacang kedelai kuning impor dan ikan kembung yang dibeli di pasar Wage serta kacang gude yang dibeli di Magelang. Bahan
pendukung yang digunakan
berupa tapioka, laru tempe ”Ra Prima”, gula halus, margarin, garam, vanili, soda kue, ovalet, madu, Sodium Tripolyphosphate dan air.
Bahan kimia yang
digunakan untuk analisis adalah larutan protein (Bovine Serum Albumin), reagen
18
Lowry A, reagen Lowry B, etil eter, alkohol netral 95%,
NaOH 0,1N,
phenolphtalein, H2SO4, K2SO4 dan etanol 95%. 2. Alat Alat yang digunakan untuk memproduksi breakfast talas meliputi oven (Memmert 854 Schwabach Germany), multifunction ekstruder, kompor gas (Rinnai RI-602 E Japan) beserta perlengkapannya, timbangan digital (AND GR-2000), neraca ohaus (Adventurer Pro AV 412 VSA), ayakan 80 mesh, blender (National), aluminium foil, loyang, pisau, talenan, sendok dan plastik.
Analisis kimia dilakukan dengan
menggunakan alat Soxhlet (P Selecta Recisterm), kertas saring whatman, labu lemak (Duran 250 ml Germany), sentrifuse (Sigma 204), spektrofotometer UV mini (Shimadzu), tanur (Thermolyne Series-1000 Furnace), bomb caloriemeter, dan seperangkat peralatan gelas (Pyrex).
C. Rancangan Percobaan
Penelitian ini termasuk metode eksperimental dengan bentuk rancangan faktorial. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perlakuan yang dicoba meliputi: 1. Proporsi tepung talas: tepung tempe: tepung ikan (P) yang terdiri dari 3 taraf, yaitu: P1 = 70% : 30% : 0% P2 = 70% : 20% : 10% P3 = 70% : 10% : 20% 2. Jenis tepung tempe (T) yang terdiri dari 3 taraf, yaitu: T0 = Tepung tempe kedelai yang di pasaran 19
T1 = Tepung tempe kedelai T2 = Tepung tempe kacang gude Perlakuan tersebut disusun dalam bentuk faktorial, sehingga diperoleh sembilan kombinasi perlakuan sebagai berikut: P1T0 P2T0 P1T1 P2T1 P1T2 P2T2 Masing – masing perlakuan diulang
P3T0 P3T1 P3T2 3 kali, sehingga seluruhnya terdiri dari 27
unit percobaan.
D. Variabel dan Pengukuran
Variabel yang diamati dan diukur dalam penelitian ini meliputi variabel fisikokimia yang terdiri dari kadar protein terlarut, koefisien rehidrasi, kadar air, kadar lemak, kadar asam lemak bebas, kadar abu dan kadar serat kasar serta variabel sensorik yang meliputi tekstur, warna, bau amis, flavor dan tingkat kesukaan. Pengukuran terhadap variabel dilakukan secara langsung terhadap unit-unit percobaan meliputi: 1. Kadar air (Soedarmadji et al., 1997) Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang telah direbus beratnya kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105°C selama 3-5 jam. Sampel kemudian didinginkan dalam desikator hingga mencapai suhu kamar dan ditimbang, dan diulangi lagi sampai mendapatkan berat yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus: Kadar air (% bb)= B-C B-A
X 100%
Keterangan: 20
A = Berat cawan (g) B = Berat cawan ditambah sampel sebelum dikeringkan (g) C = Berat cawan ditambah sampel setelah dikeringkan konstan (g)
2. Protein terlarut dengan metode Lowry (Soedarmadji et al., 1997) a. Penyiapan Kurva Standar Larutan protein (Bovine Serum Albumine) sekitar 300µg/ ml dilarutkan. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi sehingga kadarnya bertingkat dari 30300µg/ ml, untuk memperolehnya dilakukan pengenceran bertingkat masing-masing 10 kali. Masing-masing tabung ditambahkan 8 ml reagen Lowry B dan dibiarkan paling sedikit 10 menit. Reagen Lowry A ditambahkan dan dikocok selama 20 menit. Larutan standar diukur ODnya (absorbansinya) pada panjang gelombang 600 nm dengan spektrofotometer. Kurva standar dibuat dari hasil pengukuran yang menunjukkan hubungan antara OD (pada ordinat) dan konsentrasi (pada absis). b. Penyiapan Larutan Sampel Sampel ditimbang sebanyak 2 g dan ditambahkan akuades 18 ml. Sampel kemudian dikocok dalam shaker selama 30 menit. Sampel disentrifus 2500 rpm selama 10 menit setelah tercampur sempurna dan supernatannya dipisahkan. Presipitat yang diperoleh kemudian dilarutkan dalam buffer asam asetat pH 5,0
misalnya
sampai 10 ml. Sejumlah volume tertentu diambil dari larutan protein sampel dan dilakukan seperti prosedur pada larutan standar. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan kurva standar. 3. Kadar lemak dengan metode Soxhlet (AOAC, 1975 dalam Soedarmadji et al., 1997) Labu penampung dan alat ekstraksi soxhlet dibersihkan dan dikeringkan. Sebanyak 2 g (X) sampel dibungkus dengan kertas saring Whatman 41 kemudian 21
dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 14 jam, kemudian ditimbang (Y). Sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas penangas air dan dihubungkan dengan pendingin tegak. Etil eter dimasukkan melalui lubang pendingin sampai setengah dari alat soxhlet (seluruh sampel tercelup). Sampel diekstraksi selama 16 jam sampai etil eter yang ada menjadi jernih. Sampel kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C, selama 1 jam kemudian ditimbang (Z). Kadar lemak (%bb) = Y - Z X 100% X Kadar lemak (%bk) = Y–Z X 100% Berat kering sampel
4. Penentuan kadar asam Soedarmadji et al., 1997)
lemak
bebas
(Mehlenbacher,
1960
dalam
Bahan diaduk merata dan dalam keadaan cair pada waktu diambil contohnya. Sebanyak +28,2 g contoh ditimbang dalam erlemeyer. Sejumlah 50 ml alkohol netral panas dan 2 ml indikator phenolphthalein (PP) ditambahkan ke dalam erlemeyer. Bahan dititrasi dengan larutan 0,1 N NaOH yang telah distandarisasi sampai warna merah jambu tercapai dan tidak hilang selama 30 detik. Asam lemak bebas dinyatakan sebagai % FFA atau sebagai angka asam: % FFA = ml NaOH X N X berat molekul asam lemak X 100 berat contoh X 1000
5. Kadar serat kasar (Soedarmadji et al., 1997) 5 g bahan dimasukkan ke dalam erlemeyer 600 ml, kemudian ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 (1,25 g H2SO4 pekat / 100 ml = 0,255 N H2SO4) dan ditutup dengan pendingin balik. Campuran bahan tersebut dididihkan selama 30 menit dan digoyang– goyang secara periodik. Suspensi disaring melalui kertas saring dan residu yang
22
tertinggal dalam erlemeyer dicuci dengan akuades mendidih. Residu dicuci dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (diuji dengan kertas lakmus). Residu dipindahkan ke dalam erlemeyer lagi dengan spatula dan sisanya dicuci dengan larutan NaOH (1,25 g NaOH/ 100 ml = 0,313 N NaOH) sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk ke dalam erlemeyer, kemudian dididihkan lagi dengan pendingin balik selama 30 menit. Residu disaring lagi dengan kertas saring sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%, kemudian dicuci lagi dengan akuades mendidih dan 15 ml etanol 95%. Kertas saring dengan isinya dimasukkan ke dalam krus porselin dan dikeringkan pada suhu 1100C sampai berat konstan (1-2 jam) kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar serat dihitung dengan rumus: Kadar serat (% bb) = B X 100% A Kadar serat (% bk) =
B X 100% A (1 - % kadar air)
Keterangan : A = berat sampel (g) B = berat residu setelah dikeringkan (g) 6. Kadar abu (Soedarmadji et al., 1997) Sampel dari penentuan kadar air dibakar dalam tanur pengabuan pada suhu 5000C selama 5 jam sampai diperoleh warna abu keputihan, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai mencapai berat konstan. Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut : Berat abu (g) X 100% Berat kering sampel (g)
Kadar abu (% bb) =
Berat abu (g) X 100% Berat sampel awal (g)
7.
Kadar abu (% bk) =
Kemampuan pembasahan atau rehidrasi (Singh et al.,2007) 23
Kemampuan rehidrasi produk kering dihitung berdasarkan seberapa jauh penyerapan kembali air oleh produk kering pada suhu kamar dalam waktu tertentu. Sampel ditimbang sebanyak 1 g (A), direndam dalam aquades dengan suhu 25°C selama 20 menit,ditiriskan 5 menit lalu ditimbang (B). Koefisien rehidrasi = B A 8.
Uji sensorik (Soekarto, 1985) Uji sensorik yang dilakukan terhadap breakfast talas meliputi tekstur, warna, bau amis dan flavor dengan menggunakan metode scoring dan tingkat kesukaan dengan menggunakan metode hedonik yang dilakukan secara organoleptik. Panelis yang digunakan adalah panelis semi terlatih dengan jumlah minimal 15 orang. Panelis diminta untuk memberikan penilaiannya terhadap sampel yang diuji dengan menggunakan skala numerik. Kuisioner uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 2.
E. Analisis Data
Data hasil pengamatan variabel fisikokimia dianalisis dengan analisis ragam (uji F) dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan Uji Duncans atau Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf 1 %. Sifat sensorik dianalisis dengan menggunakan uji Friedman dan jika berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji banding ganda pada taraf 5 %. Penentuan kombinasi perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Indeks Efektivitas.
F. Pelaksanaan Penelitian 24
1. Penelitian pendahuluan a. Pengkajian metode proses pembuatan tepung talas Penelitian tahap pertama bertujuan mencari metode pembuatan tepung talas yang tepat untuk menghasilkan tepung talas dengan derajat putih dan rendemen yang tinggi, serta rasa gatal yang minimum. Percobaan dilakukan dengan mencoba 3 macam metode pengolahan, yaitu umbi talas diiris (slicing), diparut dan disawut. Ketiga bentuk olahan talas kemudian direndam dalam berbagai konsentrasi larutan garam (2%, 4% dan 6%), selanjutnya dicuci dan dikeringkan pada suhu 600C hingga kering patah dan ditepungkan kemudian diayak 80 mesh. Tepung talas yang dipilih adalah tepung talas yang mempunyai derajat putih yang tinggi dan rasa gatal yang minimum. b. Pengkajian metode proses pembuatan tepung tempe Tahap ini menggunakan tiga jenis bahan baku tempe yaitu tempe kedelai pasaran, tempe kedelai dan tempe kacang gude. Perlakuan yang dicoba adalah variasi waktu fermentasi yaitu 20 jam, 25 jam, 30 jam dan 35 jam.
Proses
pembuatan tempe meliputi tahap perendaman selama 18 jam untuk fermentasi asam, pengupasan kulit ari, pencucian, pengukusan, inokulasi dengan ragi tempe, pengemasan dan inkubasi (pemeraman). Tempe kedelai dan tempe gude yang dipilih untuk menjadi tepung adalah tempe dengan lama fermentasi 30 jam dan 35 jam, sedangkan tempe kedelai pasaran digunakan sebagai standar atau kontrol. c. Pembuatan tepung ikan Prosedur pembuatan tepung ikan sebagai berikut: ikan dibersihkan dan di fillet untuk diambil dagingnya. Daging kemudian diblanching uap selama 15 menit,
25
selanjutnya dipres untuk mengeluarkan air dan dikeringkan dalam oven pada suhu 700C, digiling dan diayak dengan ayakan 80 mesh. d. Penentuan perbandingan tepung talas dan tapioka Perbandingan tepung talas dan tapioka yang dicoba untuk membuat tepung komposit adalah talas : tapioka = 9:1 dan 8:2. Penggunaan talas : tapioka untuk membuat tepung komposit berdasarkan Agustia (2006) adalah 9:1 yang menghasilkan produk breakfast talas dengan tekstur kurang renyah. Tepung komposit dengan perbandingan talas : tapioka = 8:2 menghasilkan produk breakfast talas dengan tekstur renyah. e. Penentuan persentase margarin dan ovalet Penambahan margarin dan ovalet berdasarkan penelitian Agustia (2006), yaitu masing-masing sebanyak 3,5% dan 5%. Penambahan margarin dan ovalet yang dicoba adalah 4% dan 5,5%. Pada penambahan margarin dan ovalet yang dicoba adalah 4% dan 5,5% dihasilkan produk breakfast talas yang tidak keras. 2. Penelitian lanjutan Penelitian lanjutan dilaksanakan melalui dua tahap yaitu persiapan bahan dan tahap pembuatan breakfast talas. Diagram alir pembuatan tepung talas, tepung tempe, tepung ikan secara berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 4, 5 dan 6. Breakfast talas
dibuat
dengan
cara
mencampur semua bahan, kemudian
ditambahkan air sebanyak 150 % dari total tepung. Adonan diuleni sampai rata, kemudian disteam blanching. Adonan kemudian dimasukkan ke dalam ekstruder, lalu dicetak bentuk kotak dengan ketebalan 3 mm.
Adonan dipanggang dalam oven
pada suhu 1500C selama 45 menit. Produk breakfast talas kemudian dianalisis variabel fisikokimia dan sensoriknya.
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Variabel Fisikokimia
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan proporsi tepung komposit talas: tempe: ikan (P) dan jenis tepung tempe (T) serta interaksi antar keduanya (PXT) terhadap variabel fisikokimia disajikan pada Tabel 9. Matriks rata-rata hasil pengamatan terhadap variabel fisikokimia disajikan pada Lampiran 8. Tabel 9. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap variabel fisikokimia breakfast talas yang diamati No Variabel Perlakuan 27
P T PxT 1. Kadar protein terlarut ** ** ** 2. Koefisien rehidrasi ** tn tn 3. Kadar air ** tn tn 4. Kadar lemak tn tn tn 5. Kadar asam lemak bebas ** ** tn 6. Kadar abu tn tn tn 7. Kadar serat kasar ** ** tn Keterangan: P= proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan; T= jenis tepung tempe; PxT= interaksi proporsi tepung komposit talas: tempe: ikan dan jenis tepung tempe; tn= tidak berpengaruh nyata; ** = berpengaruh sangat nyata. 1. Kadar protein terlarut Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P), jenis tepung tempe (T) serta interaksinya (PXT) memberikan pengaruh sangat nyata terhadap kadar protein terlarut breakfast talas. Nilai rata-rata kadar protein terlarut breakfast talas dengan proporsi tepung talas-tempe- ikan sebesar 70%: 30%: 0% (P1); 70%: 20%: 10% (P2) dan 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 0,62% bk, 1,01% bk dan
70%: 0,90% bk.
Hasil uji DMRT 1% menunjukkan bahwa antar perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda sangat nyata. Nilai rata-rata kadar protein terlarut breakfast talas pada berbagai
kadar protein terlarut ((%bk)
persentase proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dapat dilihat pada
1,2
1,01a 0,9b
1 0,8
Gambar 1.
0,62c
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
0,6 0,4 0,2 0 P1
P2
P3
proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan
Gambar 1. Pengaruh proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan terhadap kadar protein terlarut breakfast talas
28
Kadar protein terlarut breakfast talas paling tinggi dihasilkan dari perlakuan proporsi tepung tempe sebesar 20% dan tepung ikan sebesar 10% (P2).
Hal
ini disebabkan tepung tempe merupakan sumber protein nabati yang cukup tinggi sehingga proporsi hingga 20% dapat meningkatkan kadar protein terlarut breakfast talas. Menurut Atmojo (2007), kandungan protein pada tepung tempe sebesar 46,1% bk. Penambahan tepung ikan juga meningkatkan kadar protein terlarut breakfast talas. Hal ini disebabkan tepung ikan larut dalam garam pada formulasi breakfast talas. De Man (1989) menambahkan bahwa protein ikan terdiri dari aktin dan miosin yang bersifat larut dalam garam. Proporsi tepung tempe hingga 30% (P1) menghasilkan breakfast talas dengan kadar protein terlarut paling rendah. Hal ini disebabkan tidak adanya tepung ikan pada formulasi ini. Tepung ikan juga menyumbang nilai gizi protein pada breakfast talas. Berdasarkan analisis bahan dasar, kandungan protein tepung ikan kembung sebesar 64,11% bk. Proporsi tepung ikan hingga 20% (P3) menghasilkan kadar protein terlarut breakfast talas lebih rendah daripada breakfast talas dengan proporsi tepung ikan 10% (P2). Hal ini disebabkan protein dalam breakfast talas berikatan dengan mineral yang banyak terkandung dalam tepung ikan sehingga kelarutan protein menurun. Menurut Almatsier (2001), protein dapat berikatan dengan mineral besi, tembaga dan seng. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis tepung tempe berpengaruh sangat nyata terhadap kadar protein terlarut breakfast talas. Nilai rata-rata kadar protein terlarut breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) berturut-turut adalah 1,04% bk; 0,97% bk dan 0,52% bk. Hasil uji DMRT 1% menunjukkan bahwa antar perlakuan
29
1,2
T0, T1 dan T2 berbeda sangat nyata. Nilai rata-rata kadar protein terlarut breakfast talas pada berbagai jenis tepung tempe dapat dilihat pada Gambar 2.
Keterangan: Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
jenis tepung tempe
Gambar 2. Pengaruh jenis tepung tempe terhadap kadar protein terlarut breakfast talas
Kadar protein terlarut paling tinggi terdapat pada breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0). Hal ini disebabkan tempe pasaran mengalami proses fermentasi yang lebih lama daripada tempe kedelai dan tempe gude yang dibuat pada penelitian ini. Menurut Rahman (1992), fermentasi tempe kedelai yang dibuat secara rumah tangga berlangsung selama 38-40 jam sedangkan fermentasi tempe kedelai dan tempe gude yang dibuat pada penelitian ini berlangsung selama 30 jam dan 35 jam. Proses fermentasi yang lebih lama mengakibatkan perombakan protein menjadi asam amino lebih banyak. Menurut Shurtleef dan Aoyagi (1979), selama fermentasi terjadi peningkatan kadar protein terlarut dari 0,5% bk menjadi 20% bk. Breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe kedelai (T1) memiliki kadar protein terlarut lebih tinggi daripada breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe gude (T2). Hal ini disebabkan kadar protein tempe kedelai lebih tinggi daripada kadar protein tempe gude. Menurut Damardjati dan Widowati (1985), kadar protein tempe kedelai sebesar 21,7% bk sedangkan kadar protein tempe gude sebesar 11,8% bk.
30
Kadar protein terlarut terendah dihasilkan dari interaksi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% dengan jenis tepung tempe gude (P1T2) yaitu 0,30% bk sedangkan kadar protein terlarut tertinggi dihasilkan dari interaksi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan=
70%: 20%:
10% dengan jenis tepung tempe pasaran (P2T0) sebesar 1,16% bk dan interaksi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 10%: 20% dengan jenis tepung tempe pasaran (P3T0) sebesar 1,20% bk. Nilai rata-rata kadar protein terlarut breakfast talas pada berbagai interaksi perlakuan proporsi tepung komposit talastempe-ikan (P) dengan jenis tepung tempe (T) dapat dilihat pada Gambar 3.
kadar protein terlarut (%bk)
1,4 1,08bc
1,02c
1 0,8
1,2a
1,16ab
1,2 0,77d
0,84d
0,8d
0,6 0,4
0,41e 0,3f
0,2
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
0 P1T0 P1T1 P1T2 P2T0 P2T1 P2T2 P3T0 P3T1 P3T2 Interaks i perlakuan pro porsi tepung k ompos it talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe (PXT)
Gambar 3. Pengaruh interaksi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dengan jenis tepung tempe terhadap kadar protein terlarut breakfast talas
Kadar protein terlarut tertinggi diperoleh pada breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talas: tempe: ikan= 70%: 20%: 10% dengan jenis tempe pasaran (P2T0) dan perlakuan proporsi tepung komposit talas: tempe: ikan= 70%: 10%: 20% dengan jenis tempe pasaran (P3T0). Peningkatan proporsi tepung ikan hingga 20% dengan jenis tepung tempe pasaran dan tepung tempe kedelai mengakibatkan kadar protein terlarut meningkat. Menurut Huda et al., (1998) protein miofibril ikan yang terdiri dari aktin dan miosin bersifat larut dalam larutan garam. Penambahan garam pada formulasi breakfast talas melarutkan protein ikan. 31
Proporsi tepung ikan hingga 20% pada perlakuan tepung tempe gude menurunkan kadar protein terlarut breakfast talas. Hal ini disebabkan adanya interaksi protein dalam breakfast talas dengan mineral yang banyak terkandung dalam tepung ikan kembung. Menurut Almatsier (2001), protein dapat berikatan dengan mineral besi, tembaga dan seng. Kadar protein terlarut paling rendah terdapat pada breakfast talas dengan proporsi tepung tempe gude 30% (P1T2). Hal ini disebabkan tidak adanya tepung ikan dalam formulasi breakfast talas sehingga kadar protein terlarut yang terukur hanya berasal dari tepung tempe. Tempe gude mengandung protein yang lebih rendah daripada tempe kedelai. Kadar protein tempe gude sebesar 11,8% bk sedangkan kadar protein tempe kedelai sebesar 21,7% bk (Damardjati dan Widowati, 1985). 2. Koefisien rehidrasi Koefisien rehidrasi produk kering merupakan banyaknya penyerapan air kembali oleh produk kering pada suhu kamar dalam waktu tertentu.
Koefisien
rehidrasi tinggi menunjukkan bahwa produk memiliki kecepatan hidrasi yang tinggi (Sari, 2004). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) berpengaruh sangat nyata terhadap koefisien rehidrasi breakfast talas, sedangkan jenis tepung tempe (T) dan interaksi keduanya (PXT) tidak berpengaruh nyata terhadap koefisien rehidrasi breakfast talas. Nilai rata-rata koefisien rehidrasi breakfast talas untuk proporsi tepung talastempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1), 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 1,79; 1,95 dan 2,12. Hasil uji DMRT 1% menunjukkan bahwa antar perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda sangat nyata.
32
Nilai rata-rata
koefisien rehidrasi
breakfast talas
pada berbagai persentase proporsi tepung
komposit talas-tempe-ikan dapat dilihat pada Gambar 4. 2,5
koefisien rehidrasi
2
1,79c
1,95b
2,12a
1,5
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
1 0,5 0 P1
P2
P3
proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan
Gambar 4.
Pengaruh proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan terhadap koefisien rehidrasi breakfast talas
Koefisien rehidrasi paling tinggi terdapat pada breakfast talas dengan proporsi tepung tempe sebesar 10% dan tepung ikan 20% (P3). Hal ini disebabkan tepung ikan mengandung protein yang tinggi yaitu 64,11% bk. Protein bersifat hidrofilik sehingga mampu mengikat air dalam jumlah besar. Koefisien rehidrasi breakfast talas paling rendah dihasilkan dari proporsi tepung tempe 30% (P1). Hal ini disebabkan kandungan protein dalam formulasi breakfast talas yang rendah. Hasil pengukuran kadar protein terlarut menunjukkan bahwa breakfast talas dengan proporsi tepung tempe 30% (P1) mengandung kadar protein terlarut paling rendah yaitu 0,62% bk. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis tepung tempe tidak berpengaruh nyata terhadap koefisien rehidrasi breakfast talas. Nilai rata-rata koefisien rehidrasi breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) berturut-turut adalah 1,94; 1,93 dan 2,00. 3. Kadar air 33
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air breakfast talas, sedangkan perlakuan jenis tepung tempe (T) serta interaksinya (PXT) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air breakfast talas. Nilai rata-rata kadar air breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1), 70%: 20%: 10% (P2) dan 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 7,22% bb, 5,66% bb dan
70%:
4,36% bb.
Hasil uji DMRT 1% menunjukkan bahwa antar perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda sangat nyata. Nilai rata-rata kadar air breakfast talas
pada berbagai persentase
kadar air (%bb)
proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dapat dilihat pada Gambar 5.
8 7 6 5 4 3 2 1 0
7,22a 5,66b
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
4,36c
proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan
P2 tepung komposit P3 Gambar 5. P1 Pengaruh proporsi talas-tempe-ikan terhadap kadar air breakfast talas
Kadar air paling tinggi terdapat pada breakfast talas dengan proporsi tepung tempe sebesar 30% (P1). Hal ini disebabkan tepung tempe mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 10,1% bk (Atmojo, 2007). Karbohidrat yang mengandung pati mampu mengikat air sehingga meningkatkan jumlah molekul air yang tertahan selama pemanggangan.
34
Proporsi tepung ikan mengakibatkan kadar air breakfast talas lebih rendah meskipun kadar protein tepung ikan lebih tinggi daripada tepung tempe. Kadar protein tepung ikan sebesar 64,11% bk sedangkan kadar protein tepung tempe hanya sebesar 46,1% bk. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya proporsi karbohidrat dalam formulasi breakfast talas. Kadar karbohidrat tepung ikan lebih kecil daripada tepung tempe sehingga molekul air yang tertahan selama pemanggangan sedikit. Kadar karbohidrat tepung ikan hanya sebesar 1,26% bk. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis tepung tempe tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air breakfast talas. Nilai rata-rata kadar air breakfast talas dengan perlakuan jenis tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T3) berturut-turut adalah 5,80% bb;
5,63% bb
dan 5,82% bb. Kadar air tempe kedelai dan tempe gude tidak berbeda jauh. Menurut Damardjati dan Widowati (1985), kadar air tempe kedelai sebesar 62,4% bk dan kadar air tempe gude sebesar 55,6% bk. 4. Kadar lemak Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P), jenis tepung tempe (T) dan interaksi keduanya (PXT) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar lemak breakfast talas. Nilai rata-rata kadar lemak breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1), 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 7,24% bk, 8,01% bk dan 8,26% bk. Nilai rata-rata kadar lemak breakfast talas dengan perlakuan jenis tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) secara berturut-turut adalah 7,52% bk, 8,42% bk dan 7,56% bk.
35
Kadar lemak pada breakfast talas dengan proporsi tepung ikan sebesar 20% (P3) cenderung paling tinggi. Hal ini disebabkan tepung ikan mengandung lemak yang cukup tinggi. Berdasarkan analisis bahan dasar kadar lemak tepung ikan kembung sebesar 31,07% bk sedangkan kadar lemak tepung tempe kedelai
22,7% bk
(Atmojo, 2007). 4. Kadar asam lemak bebas Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) serta perlakuan jenis tepung tempe (T) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar asam lemak bebas breakfast talas, sedangkan interaksi (PXT) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar asam lemak bebas breakfast talas. Nilai rata-rata kadar asam lemak bebas breakfast talas dengan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1), 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 0,85% bk, 1,08% bk dan 0,94% bk. Hasil uji DMRT 1% menunjukkan bahwa antar perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda sangat nyata. Nilai rata-rata kadar asam lemak bebas breakfast talas pada berbagai persentase proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dapat dilihat pada Gambar 6.
kadar asam lemak bebas (%bk)
1,2 1
1,08a 0,94b 0,85c
0,8 Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
0,6 0,4 0,2 0 P1
P2
P3
proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan
Gambar 6. Pengaruh proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan terhadap kadar asam lemak bebas breakfast talas
36
Kadar asam lemak bebas paling tinggi terdapat pada breakfast talas dengan proporsi tepung tempe 20% dan tepung ikan 10% (P2). Hal ini disebabkan tepung tempe
telah
mengalami
proses
fermentasi
yang
mengakibatkan
hidrolisis
triasilgliserol menjadi asam lemak bebas. Menurut Atmojo (2007), kadar lemak tempe sebesar 22,7% bk. Proporsi tepung tempe hingga 30% (P1) menghasilkan breakfast talas dengan kadar asam lemak bebas paling rendah. Hal ini disebabkan kadar asam lemak bebas yang terukur hanya berasal dari asam lemak bebas tepung tempe. Breakfast talas dengan proporsi tepung ikan hingga 20% (P3) menghasilkan kadar asam lemak bebas yang lebih rendah daripada proporsi tepung ikan 10% (P2). Hal ini disebabkan tepung ikan mengandung lemak yang cukup tinggi dan mudah terhidrolisis. Hidrolisis lemak tepung ikan menghasilkan asam lemak bebas. Tepung ikan juga mengandung zat besi yang mempercepat oksidasi asam lemak bebas sehingga kadar asam lemak bebas menurun. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis tepung tempe berpengaruh sangat nyata terhadap kadar asam lemak bebas breakfast talas. Nilai rata-rata kadar asam lemak bebas breakfast talas dengan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) berturut-turut adalah 1,00% bk; 0,99% bk dan 0,88 %bk. Hasil uji DMRT 1% menunjukkan bahwa T0 dan T1 tidak berbeda nyata, tetapi keduanya berbeda sangat nyata dengan T2. Nilai rata-rata kadar asam lemak bebas breakfast talas dengan berbagai jenis tepung tempe dapat dilihat pada
kadar asam lemak bebas(%bk)
Gambar 7. 1,2 1a 1
0,99a 0,88b
0,8 0,6 0,4 0,2
37
Keterangan: Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
jenis tepung tempe
Gambar 7. Pengaruh jenis tepung tempe terhadap kadar asam lemak bebas breakfast talas
Kadar asam lemak bebas paling tinggi terdapat pada breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0) dan tepung tempe kedelai (T1). Hal ini disebabkan kandungan lemak kacang kedelai yang lebih tinggi daripada kacang gude. Kandungan lemak kacang kedelai sebesar 18,1% bk sedangkan kacang gude hanya sebesar 1,4% bk (Syam, 1985). 5. Kadar abu Kadar abu atau zat anorganik menunjukkan total unsur mineral suatu bahan yang tidak terbakar dalam proses pembakaran (Winarno, 1997). Unsur mineral di dalam tubuh berfungsi untuk mengatur proses-proses dalam tubuh, pertumbuhan dan penggantian jaringan (Gaman dan Sherrington, 1992 ). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) beserta perlakuan jenis tepung tempe (T) dan interaksi keduanya (PXT) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu breakfast talas. Nilai rata-rata kadar abu breakfast talas dengan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1), 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 3,20% bk, 3,36% bk dan 3,67% bk. Kadar abu pada breakfast talas dengan suplementasi tepung ikan sebesar 20% (P3) cenderung paling tinggi. Hal ini disebabkan tepung ikan mengandung kadar abu yang cukup tinggi yaitu 6 sampai 18% bk sedangkan kadar tepung tempe hanya sebesar 2,3% bk (Mardiyah, 1992). 38
Nilai rata-rata kadar abu breakfast talas dengan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) secara berturut-turut adalah 3,30% bk, 3,47% bk dan 3,46% bk. Breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe kedelai memiliki kadar abu cenderung lebih tinggi dari tepung tempe pasaran dan tepung tempe gude. Hal ini disebabkan kadar abu tempe kedelai lebih tinggi daripada kadar abu tempe pasaran dan tempe gude. Kadar abu tempe kedelai pasaran, tempe kedelai dan tempe gude secara berturut-turut adalah 0,9% bk (Cahyadi, 2007), 1,6% bk dan 0,6% bk (Damardjati dan Widowati,1985). 6. Kadar serat kasar Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) serta perlakuan jenis tepung tempe (T) berpengaruh sangat nyata terhadap kadar serat kasar breakfast talas sedangkan interaksi keduanya (PXT) tidak berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar breakfast talas. Nilai rata-rata kadar serat kasar breakfast talas untuk proporsi tepung talastempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1), 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 17,05% bk, 18,45% bk dan 15,70% bk. Hasil uji DMRT 1% menunjukkan bahwa antar perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda sangat nyata. Nilai rata-rata kadar serat kasar breakfast talas pada berbagai persentase proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dapat dilihat pada Gambar 8.
kadar serat kasar (%bk)
20
17,04b
18,45a 15,7c
15 Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
10 5 0 P1
P2
P3 39
proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan
Gambar 8. Pengaruh proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan terhadap kadar serat kasar breakfast talas
Kadar serat kasar paling tinggi terdapat pada breakfast talas dengan proporsi tepung tempe 20% dan tepung ikan 10% (P2). Hal ini disebabkan mineral tepung ikan berikatan dengan serat tepung tempe sehingga serat tidak larut dan tidak mudah terhidrolisis oleh asam kuat. Proses tersebut menyebabkan jumlah serat kasar yang terukur menjadi tinggi. Menurut Kusharto (2006), serat makanan dapat mengikat zat besi, seng dan zat organik lainnya. Breakfast talas dengan proporsi tepung tempe 30% (P1) memiliki kadar serat kasar yang lebih rendah daripada proporsi tepung tempe 20% dan tepung ikan 10% (P2). Hal ini disebabkan tidak adanya tepung ikan dalam formulasi ini. Tepung ikan mengandung mineral yang dapat berikatan dengan serat tempe sehingga kadar serat kasar meningkat. Kadar serat kasar paling rendah terdapat pada breakfast talas dengan proporsi tepung tempe 10% dan tepung ikan 20% (P3). Hal ini disebabkan tepung ikan tidak mengandung serat pangan seperti selulosa dan lignin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan jenis tepung tempe berpengaruh sangat nyata terhadap kadar serat kasar breakfast talas. Nilai rata-rata kadar serat kasar breakfast talas dengan jenis tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) berturut-turut adalah 17,98% bk; 17,25% bk dan 15,98% bk. Hasil uji DMRT 1% menunjukkan bahwa T1 dan T2 tidak berbeda nyata, tetapi keduanya berbeda sangat nyata dengan T2. Nilai rata-rata kadar serat kasar breakfast talas pada berbagai jenis tepung tempe dapat dilihat pada Gambar 9. 40
18,5
17,98a
kadar serat kasar (%bk)
18 17,24a
17,5 17 16,5
15,98b
Keterangan: Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 99%
16 15,5 15 14,5 T0
T1
T2
jenis tepung tempe
Gambar 9.
Pengaruh jenis tepung tempe terhadap kadar serat kasar breakfast talas
Kadar serat kasar paling tinggi terdapat pada breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0) dan tepung tempe kedelai (T1). Hal ini disebabkan kadar serat kasar tempe kedelai lebih tinggi daripada tempe gude. Menurut Damardjati dan Widowati (1985), kadar serat kasar tempe kedelai sebesar 2,0% bk sedangkan kadar serat kasar tempe gude sebesar 1,2% bk. Kadar serat kasar tepung tempe pasaran (T0) lebih tinggi daripada tepung tempe kedelai (T1). Hal ini disebabkan pembuatan tempe pasaran menambahkan kulit kedelai sebagai bahan baku. Kulit kedelai mengandung serat yang tinggi.
B. Variabel Sensorik
Hasil uji Friedman pengaruh kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe terhadap variabel sensorik breakfast talas
41
disajikan pada Tabel 10, sedangkan nilai rata-rata untuk kombinasi perlakuan terhadap variabel sensorik breakfast talas disajikan pada Lampiran 14. Tabel 10. Hasil uji Friedman pengaruh kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe terhadap variabel sensorik breakfast talas yang diamati Kombinasi perlakuan No. Variabel PT 1. Tekstur ** 2. Flavor * 3. Bau amis ** 4. Warna ** 5. Kesukaan ** Keterangan: PT= kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe; *= berpengaruh nyata; **= berpengaruh sangat nyata. 1. Tekstur Tekstur merupakan hasil kombinasi sifat-sifat fisik yang dapat dirasakan melalui sensasi sentuhan atau kinestetik, mouthfeel, penglihatan dan pendengaran. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi proporsi tepung komposit talastempe-ikan (P) dan jenis tepung tempe (T) berpengaruh sangat nyata terhadap tekstur breakfast talas yang dihasilkan. Nilai rata-rata tekstur breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1); 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20 % (P3) berturut-turut adalah 2,7 (agak renyahrenyah); 3,0 (renyah) dan 2,8 (agak renyah-renyah).
Nilai rata-rata tekstur
breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) secara berturut-turut adalah 2,6 (agak renyahrenyah); 3,1 (renyah) dan 2,8 (agak renyah-renyah). Nilai rata-rata tekstur breakfast talas pada berbagai kombinasi perlakuan tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe dapat dilihat pada Gambar 10.
42
3,3a
3,5 3abc
3,1ab
3a bc
2,9a bc
2,8a bc
3
2,7abc 2,5bc
Nil ai rat a-ra ta t ekstu r
2,5
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada alpha 5%
2,3c
2 1,5 1 0,5 0 P1T0
P1T1
P1T2
P2T0
P2T 1
P2T2
P3T0
P3T1
P3T2
Kombi nasi pe rl aku an proporsi tepung komposi t t alas-te mpe-ikan dan jenis t epung t empe (PXT)
Gambar 10. Pengaruh kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe terhadap tekstur breakfast talas
Gambar 10 menunjukkan bahwa breakfast talas dengan proporsi tepung tempe pasaran 30% (P1T0) berbeda nyata dengan breakfast talas berproporsi tepung tempe kedelai 20% dan tepung ikan 10% (P2T1) serta breakfast talas berproporsi tepung tempe kedelai 10% dan tepung ikan 20% (P3T1). Breakfast talas berproporsi tepung tempe kedelai 20% dan tepung ikan 10% (P2T1) juga berbeda nyata dengan breakfast talas berproporsi tepung tempe pasaran 10% dan tepung ikan 20% (P3T0). Proporsi tepung ikan sebesar 10% (P2) meningkatkan nilai rata-rata tekstur breakfast talas. Hal ini disebabkan lemak tepung ikan dapat meningkatkan gelembung udara terperangkap dalam adonan. Udara tersebut akan keluar saat pemanggangan sehingga membentuk rongga-rongga kecil yang lebih banyak dan memberikan tekstur renyah. Proporsi tepung ikan hingga 20% (P3) menurunkan kerenyahan breakfast talas. Hal ini disebabkan lemak yang berlebih membentuk kompleks dengan pati sehingga proses penyerapan air terganggu dan gelatinisasi pati tidak berjalan sempurna. Breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe kedelai (T1) memiliki nilai tekstur yang lebih tinggi daripada tepung tempe pasaran (T0) dan tepung tempe gude
43
(T2). Hal ini disebabkan karena kedelai mengandung emulsifier yang dapat membantu kesempurnaan dispersi lemak pada adonan. Menurut Wolf dan Cowan (1975) dalam Pangestuti (2001), lemak kedelai mengandung fosfolipid berupa sephalin, lipositol dan lesitin. 2. Flavor Flavor merupakan hasil interaksi antara aroma, rasa dan mouthfeel sedangkan mouthfeel itu sendiri dipengaruhi oleh tekstur. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) dan jenis tepung tempe (T) berpengaruh nyata terhadap flavor breakfast talas yang dihasilkan. Nilai rata-rata flavor breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talastempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1); 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 2,0 (agak enak); 1,9 (mendekati agak enak) dan 2,0 (agak enak). Nilai rata-rata flavor breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) secara berturut-turut adalah 1,7 (mendekati agak enak); 2,1 (agak enak) dan 2,1 (agak enak). Nilai ratarata flavor breakfast talas pada berbagai kombinasi perlakuan tepung komposit talastempe-ikan dan jenis tepung tempe dapat dilihat pada Gambar 11.
2,5
2,3a 2,0ab
2
Nilai rata-rata flavor
1,7ab
2,3ab 2,1ab 1,9ab 1,9ab
1,8ab 1,6b
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada alpha 10%
1,5
1
0,5
0 P1T 0 P1T 1 P1T 2 P2T 0 P2T 1 P2T 2 P3T 0 P3T 1 P3T 2 Kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe (PXT)
44
Gambar 11. Pengaruh kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe terhadap flavor breakfast talas
Gambar 11 menunjukkan bahwa antar kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit
talas-tempe-ikan
dan
jenis
tepung
tempe
tidak
berbeda
nyata
pada alpha 10%. Peningkatan proporsi tepung tempe menghasilkan breakfast talas dengan nilai rata-rata flavor yang tinggi. Hal ini disebabkan tempe mengandung karbohidrat dan protein yang dapat menghasilkan senyawa volatil melalui reaksi Maillard pada proses pemanggangan dengan suhu tinggi (lebih dari 120°C). Pemanggangan menghasilkan senyawa golongan thiazole dan pyrazine yang mempunyai karakter aroma seperti roast, fried dan over cooked. Komponen flavor yang dihasilkan akan terikat pada jaringan pati yang tergelatinisasi (Kumara, 2006). 3. Bau amis Uji skoring pada
bau amis breakfast talas dilakukan untuk mengetahui
intensitas bau amis yang berasal dari tepung ikan yang ditambahkan. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) dan jenis tepung tempe (T) berpengaruh sangat nyata terhadap bau amis breakfast talas yang dihasilkan. Nilai rata-rata bau amis breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1); 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 1,2 (tidak amis); 1,9 (mendekati bau agak amis) dan 2,6 (mendekati bau amis). Nilai rata-rata bau amis breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) secara berturut-turut adalah 1,9 (mendekati bau agak amis); 2,1 (agak amis) dan 1,7 (mendekati bau agak amis). Nilai rata-rata bau amis breakfast talas pada
45 3
2,8a 2,6a 2,4a
2,5 2,1ab 2
1,9ab
1,8b
kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe dapat dilihat pada Gambar 12.
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada alpha 5%
Gambar 12.
Pengaruh kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe terhadap bau amis breakfast talas
Gambar 12 menunjukkan bahwa breakfast talas berproporsi tepung tempe 30% dengan jenis tepung tempe pasaran (P1T0), tepung tempe kedelai (P1T1), tepung tempe gude (P1T2) serta breakfast talas berproporsi tepung tempe gude 20% dan tepung ikan 10% (P2T2) berbeda nyata dengan breakfast talas berproporsi tepung tempe 10% dan tepung ikan 20% dengan jenis tepung tempe pasaran (P3T0), tepung tempe kedelai (P3T1) dan tepung tempe gude (P3T2). Proporsi tepung ikan hingga 20% (P3) meningkatkan nilai rata-rata bau amis breakfast talas. Hal ini disebabkan tepung ikan mengandung senyawa trimetilamin yang dapat menimbulkan bau amis (Hadiwiyoto, 1993). Breakfast talas dengan proporsi tepung tempe gude cenderung memiliki nilai rata-rata bau amis yang rendah. Hal ini disebabkan karbohidrat tempe gude lebih tinggi dari tempe kedelai. Karbohidrat terutama pati membentuk komplek inklusi dengan senyawa trimetilamin sehingga bau amis breakfast talas berkurang. Menurut Asgar dan Musaddad (2006), pati dapat membentuk komplek inklusi dengan alkohol 46
dan keton alifatik, asam-asam lemak, aldehid aromatik, hidrokarbon, iodium dan pewarna. 4. Warna Hasil analisis uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) dan jenis tepung tempe (T) berpengaruh sangat nyata terhadap warna breakfast talas yang dihasilkan. Nilai rata-rata warna breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1); 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 2,5 (mendekati coklat gelap); 2,8 (mendekati coklat gelap) dan 3,2 (coklat gelap). Nilai rata-rata warna breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) secara berturut-turut adalah 2,7 (mendekati coklat gelap); 3,1 (coklat gelap) dan 2,7 (mendekati coklat gelap).Nilai rata-rata warna breakfast talas dari berbagai kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe dapat dilihat pada Gambar 13. 3,3a
3,5
3,3a
3,3a 3,1a
2,8ab 2,8ab 2,8ab
3 2,5 Nilai rata-rata warna
2,0c
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada alpha 5%
2,1bc
2 1,5 1 0,5 0 P1T 0 P1T 1 P1T 2 P2T 0 P2T 1 P2T 2 P3T 0 P3T 1 P3T 2 Kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe (PXT)
Gambar 13.
Pengaruh kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe terhadap warna breakfast talas
Gambar 13 menunjukkan bahwa breakfast talas berproporsi tepung tempe kedelai 30% (P1T1) serta breakfast talas berproporsi tepung tempe 10% dan tepung 47
ikan 20% dengan jenis tepung tempe pasaran (P3T0), tepung tempe kedelai (P3T1) dan tepung tempe gude (P3T2) berbeda nyata dengan breakfast talas berproporsi tepung tempe 30% dengan jenis tepung tempe pasaran (P1T0) dan tepung tempe gude (P1T2). Proporsi tepung ikan hingga 20% (P3) menghasilkan breakfast talas dengan warna coklat gelap. Hal ini disebabkan tepung ikan mengandung protein yang cukup tinggi sehingga laju reaksi Maillard meningkat. Kadar protein tepung ikan kembung adalah 64,11% bk. Breakfast talas dengan proporsi tepung tempe kedelai 30% (P1T0) juga memiliki nilai warna coklat gelap. Hal ini disebabkan kandungan karbohidrat tempe kedelai yang lebih tinggi daripada tempe pasaran dan tempe gude. Karbohidrat mengandung gula pereduksi yang dapat bereaksi dengan gugus amina primer menghasilkan melanoidin (Gaman dan Sherington, 1992). Menurut Cahyadi (2007), kadar karbohidrat tempe pasaran adalah 9,1% bk, kadar karbohidrat tempe kedelai sebesar 34,8% bk dan tempe gude sebesar 30,6% bk (Damardjati dan Widowati, 1985). 5. Kesukaan Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan (P) dan jenis tepung tempe (T) berpengaruh sangat nyata terhadap kesukaan breakfast talas yang dihasilkan. Nilai rata-rata kesukaan breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan= 70%: 30%: 0% (P1); 70%: 20%: 10% (P2) dan 70%: 10%: 20% (P3) secara berturut-turut adalah 2,6 (mendekati suka); 1,6 (mendekati agak suka) dan 2,2 (agak suka). Nilai rata-rata kesukaan breakfast talas dengan perlakuan tepung tempe pasaran (T0), tepung tempe kedelai (T1) dan tepung tempe gude (T2) secara berturut-turut adalah 2,1 (agak 48
suka); 2,3 (agak suka) dan 2,0 (agak suka). Nilai rata-rata kesukaan breakfast talas dari berbagai kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe dapat dilihat pada Gambar 14.
3 2,5
2,7a
2,7a
2,3ab
2,3ab 2,3ab 2,1abc 1,9abc
Nilai rata-rata kesukaan
2
Keterangan: Proporsi tepung talas: tempe: ikan (P) = P1 = 70%: 30%: 0% P2 = 70%: 20%: 10% P3 = 70%: 10%: 20% Jenis tepung tempe (T) = T0 = tepung tempe pasaran T1 = tepung tempe kedelai T2 = tepung tempe gude Angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada alpha 5%
1,6bc 1,5
1,3c
1 0,5 0 P1T 0 P1T 1 P1T 2 P2T 0 P2T 1 P2T 2 P3T 0 P3T 1 P3T 2 Kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe (PXT)
Gambar 14.
Pengaruh kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe terhadap kesukaan breakfast talas
Gambar 14 menunjukkan bahwa breakfast talas berproporsi tepung tempe 30% dengan jenis tepung tempe kedelai (P1T1) dan tepung tempe gude (P1T2) berbeda nyata dengan breakfast talas berproporsi tepung tempe 10% dan tepung ikan 20% dengan jenis tepung tempe pasaran (P2T0) dan tepung tempe gude (P2T2). Breakfast talas berproporsi tepung tempe gude 10% dan tepung ikan 20% (P2T2) juga berbeda nyata dengan breakfast talas berproporsi tepung tempe pasaran (P1T0) serta breakfast talas berproporsi tepung tempe 10% dan tepung ikan 20% dengan jenis tepung tempe pasaran (P3T0) dan tepung tempe kedelai (P3T1).
49
Nilai kesukaan dipengaruhi oleh tekstur, bau, flavor dan warna yang dihasilkan oleh produk breakfast talas. Proporsi tepung tempe hingga 30% menghasilkan nilai rata-rata kesukaan yang relatif tinggi. Hal ini disebabkan tidak adanya bau amis pada produk tersebut. Flavor yang dihasilkannya juga agak enak. Proporsi tepung ikan dapat meningkatkan kerenyahan breakfast talas. Namun Proporsi tepung ikan hingga 20% menyebabkan breakfast talas berbau amis dan berwarna coklat gelap yang tidak disukai panelis.
C. Pembahasan Umum
Breakfast adalah salah satu produk ekstrusi yang merupakan pangan pengganti sarapan pagi dan berfungsi sebagai sumber energi, sumber zat gizi penting seperti protein, vitamin, mineral, serat serta memiliki tekstur yang renyah (Bouvier et al., 2001). Tepung talas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan breakfast karena mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu 91,7 % (Therik et al., 2001). Pemenuhan standar kualitas breakfast talas dapat dilakukan dengan penambahan bahan pangan lain yang mengandung protein, vitamin dan mineral yang cukup tinggi yaitu tepung tempe dan tepung ikan. Pengolahan kacang-kacangan menjadi tempe dapat meningkatkan kadar bahan padat terlarut, kadar asam amino bebas, kadar selulosa serta mengurangi kadar lemak dan beberapa senyawa antigizi (Kasmidjo, 1989). Penggunaan jenis kacang-kacangan yang berbeda sebagai bahan baku tempe diharapkan mampu meningkatkan manfaat kacang-kacangan tersebut. Penambahan tepung ikan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan asam amino metionin dan sistin yang merupakan asam amino pembatas pada produk kacangkacangan serta meningkatkan vitamin dan mineral breakfast. 50
Ikan kembung
merupakan salah satu sumber protein tinggi dan mengandung lemak yang rendah. Menurut Hadiwiyoto (1993), ikan kembung mengandung 16,6-21,4% protein dan 0,54,1% lemak. Namun penambahan tepung tempe dan tepung ikan yang kurang tepat pada breakfast talas dapat menimbulkan bitter taste dan bau amis yang tidak dikehendaki konsumen. Oleh sebab itu proporsi yang tepat antara tepung tempe dan tepung ikan dalam formulasi tepung komposit talas-tempe-ikan yang tepat dalam pembuatan breakfast food akan menghasilkan produk dengan nilai nutrisional tinggi, tekstur renyah dan flavor enak. Perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein terlarut, koefisien rehidrasi, kadar air, kadar serat kasar dan kadar asam lemak bebas. Perlakuan jenis tepung tempe memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein terlarut, kadar serat kasar dan kadar asam lemak bebas pada produk breakfast talas. Interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar protein terlarut. Kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas-tempe-ikan dan jenis tepung tempe memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tekstur, bau amis, warna dan kesukaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi terbaik dari kedua perlakuan berdasarkan sifat fisikokimia dan sensorik adalah breakfast talas dengan proporsi tepung komposit talas: tempe: ikan= 70%: 20%: 10% dan jenis tepung tempe kedelai (P2T1) dengan nilai protein terlarut 1,16% bk; koefisien rehidrasi 1,95; kadar air 5,85% bb; kadar lemak 7,75% bk; kadar asam lemak bebas 1,14% bk; kadar abu 3,07% bk; kadar serat kasar 19,12% bk; kadar karbohidrat by difference 81,12% bk. Hasil kombinasi terbaik memiliki karakteristik sensorik meliputi tekstur renyah (3,3);
51
flavor agak enak (1,9); bau agak amis (2,1); warna coklat gelap (2,8) dan nilai kesukaan agak suka (1,9). Komposisi terbaik yang dihasilkan dari kombinasi perlakuan proporsi tepung komposit talas: tempe: ikan= 70%: 20%: 10% dengan jenis tepung tempe kedelai (P2T1) telah memenuhi standar RDA (Recomended Dietary Allowance). Standar RDA untuk breakfast cereal harus menyumbang 10% energi dan 22% protein untuk anak-anak berusia 7 sampai 9 tahun. Kebutuhan energi anak-anak berusia 7 sampai 9 tahun adalah 1800 kkal dan protein 45 g/ hari (Ensmenger dan Robson, 1994). Hasil kombinasi perlakuan terbaik menyumbangkan energi sebesar 308,25 kkal atau 17,12% kebutuhan energi dan protein sebesar 17,58% bk atau 41,86% bk kebutuhan protein anak-anak berusia 7 sampai 9 tahun. Perbandingan nilai gizi hasil kombinasi perlakuan terbaik (P2T1) dengan RDA anak-anak berusia 7 sampai 9 tahun dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Perbandingan nilai gizi breakfast talas hasil kombinasi perlakuan terbaik dengan nilai RDA breakfast cereal anak-anak berusia 7 sampai 9 tahun Parameter RDA breakfast cereal Breakfast talas/100 gb Energi (Kkal) 1800 308,25 Protein (g) 45 17,58 Sumber : a= Ensminger dan Robson (1994) b= breakfast talas hasil kombinasi perlakuan terbaik pada penelitian ini Standar mutu breakfast cereal atau makanan sarapan berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) nomor 01-0222-1995 diantaranya kadar air maksimal 3,0% bb, kadar abu maksimal 4,0% bb, kadar protein minimal 5% bb, lemak minimal 7,0% bb, karbohidrat minimal 60,0% bb dan serat kasar maksimal 0,7% bb. Kadar abu (2,89% bb), kadar protein (16,55% bb), kadar lemak (7,30% bb) dan kadar karbohidrat (76,37% bb) hasil kombinasi perlakuan terbaik penelitian ini telah memenuhi standar SNI. Namun kadar air (5,85% bb) dan kadar serat kasar (18,00% bb) hasil kombinasi perlakuan terbaik tidak sesuai dengan standar SNI. Hal ini dapat diatasi dengan 52
pengemasan breakfast talas yang tepat serta penggunaan ayakan tepung talas dan tepung tempe dengan mesh yang lebih tinggi. Perbandingan nilai gizi hasil kombinasi terbaik (P2T1) dengan SNI dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Perbandingan nilai gizi breakfast talas hasil kombinasi perlakuan terbaik dengan SNI nomor 01-0222-1995 No Komponen Standar Nasional Indonesiaa Breakfast talasb 1. Keadaan (bau dan rasa) Normal 2. Air Maksimal 3,0% bb 5,85% bb 3. Abu Maksimal 4,0% bb 2,89% bb 4. Protein Minimal 5,0% bb 16,55% bb 5. Lemak Minimal 7,0% bb 7,30% bb 6. Karbohidrat Minimal 6,0% bb 76,37% bb 7. Serat kasar Maksimal 0,7% bb 18,00% bb 8. Bahan tambahan makanan a.Pemanis buatan Tidak boleh ada Tidak ada (sakarin dan siklamat) b. Pewarna tambahan Sesuai SNI 01-0222-1995 Tidak ada 9. Cemaran logam a. Timbal (Pb) Maksimal 2,0 mg/ kg Tidak dianalisis b. Tembaga (Cu) Maksimal 30,0 mg/ kg Tidak dianalisis c. Seng (Zn) Maksimal 40,0 mg/ kg Tidak dianalisis d. Timah (Sn) Maksimal 0,16 mg/ kg Tidak dianalisis e. Raksa (Hg) Maksimal 0,03 mg/ kg Tidak dianalisis 10. Cemaran arsen Maksimal 1,0 mg/ kg Tidak dianalisis 11. Cemaran mikrobia a. Angka lempeng total Maksimal 5.105 Tidak dianalisis 2 b. Coliform Maksimal 10 APM/g Tidak dianalisis c. Escherichia coli Maksimal < 3 APM/g Tidak dianalisis d. Salmonella/ 25 g Negatif Tidak dianalisis e. Staphylococcus aureus/ g Negatif Tidak dianalisis f. Kapang Maksimal 102 koloni/g Tidak dianalisis Sumber : a= Badan Standarisasi Nasional (1996) b= breakfast talas hasil kombinasi perlakuan terbaik pada penelitian ini
V.
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
53
1. Proporsi tepung komposit talas: tempe: ikan= 70%: 20%: 10% mampu menghasilkan breakfast talas dengan kandungan protein terlarut tinggi yaitu 1,01% bk, tekstur renyah (3,0), bau agak amis (1,9) dan flavor agak enak (1,9). 2. Penggunaan jenis tepung tempe kedelai menghasilkan breakfast talas dengan kandungan protein terlarut tinggi yaitu 0,97% bk, tekstur renyah (3,1) dan flavor agak enak. 3. Hasil kombinasi perlakuan terbaik didapatkan pada breakfast talas dengan perlakuan proporsi tepung komposit talas: tempe: ikan= 70%: 20%: 10% dan jenis tepung tempe kedelai (P2T1). Hasil kombinasi perlakuan terbaik memiliki nilai protein terlarut 1,16% bk; protein total 17,58% bk, koefisien rehidrasi 1,95; kadar air 5,85% bb; kadar lemak 7,75% bk; kadar asam lemak bebas 1,14% bk; kadar abu 3,07% bk; kadar serat kasar 19,12% bk; kadar karbohidrat by difference 81,12% bk; energi sebesar 308,2544 kkal/100 g; tekstur renyah (3,3); flavor agak enak (1,9); bau agak amis (2,1); warna coklat gelap (2,8) dan nilai kesukaan agak suka (1,9).
B. Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut tentang metode penurunan kadar air dan kadar serat kasar pada breakfast talas. 2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang penggunaan bahan sumber protein nabati lain seperti kacang kedelai hitam serta penggunaan bahan sumber protein hewani lain 54
seperti ikan lele dan mujair yang dapat meminimalkan bau amis pada produk breakfast talas.
DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. 154 hal. Agustia, F. C. 2006. Pengaruh Suplementasi Tepung Germinasi Kedelai dan Lama Blanching terhadap Kualitas Breakfast Talas. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 66 hal. (Tidak dipublikasikan). Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 333 hal. 55
Aprianita, A., U. Wulandari, B. Watson and T. Vasiljevic. 2009. Physico-chemical of flours and starches from selected commercial tubers available in Australia. International Food Research Journal 16: 507-520. Asgar, A dan Musaddad. 2006. Optimalisasi cara, suhu dan lama blansing sebelum pengeringan pada wortel. Jurnal Hortikultura 16 (3): 245-252. Astuti, M., A. Meliala, F. Dalais, and Wahlqvist. 2000. Tempe, a nutritious and healthy food from Indonesia. Asia Pasific J Clin Nutr 9 (4): 322-325. Atmojo, L.D. 2007. Pengaruh Subtitusi Tepung Tempe dan Penggunaan Minyak Goreng terhadap Kualitas Organoleptik dan Nilai Gizi Bolu Kukus. Skripsi. Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang, Semarang. 99 hal. (Tidak dipublikasikan). Badan Standarisasi Nasional. 1996. Standar National Indonesia untuk breakfast cereal (SNI 01-0222-1995). BSN, Jakarta. Bouvier, J.M., Clextral and Firminy. 2001. Extrusion Cooking: Breakfast Cereal. Woodhead Publishing Limited and CRC Press LLC, Cambridge England. 235 pp. Briawan, D., Y.C. Sulistyaningsih dan Dorly. 2004. Pengembangan Diversifikasi Pangan Pokok dalam Rangka Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Makalah Falsafah Sains. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Burhanuddin, S. Martosewojo, M. Adrim dan M. Hutomo. 1984. Sumber Daya Ikan Kembung. Lembaga Oseanologi Nasional, Jakarta. 43 hal. Cahyadi, W. 2007. Kedelai: Khasiat dan Teknologi. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. 58 hal. Damardjati, D. S dan Widowati. 1985. Prospek pengembangan kacang gude di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 4 (3): 53-59. De Man, J. M. 1997. Kimia Makanan. Institut Teknologi Bandung, Bandung. hal.
550
Desrosier, N. W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Terjemahan Muljoharjo. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 614 hal. Ensmenger dan Robson. 1994. Food and Nutritions Encyclopedia. Second Edition. CRC Press Boca Raton AnnArbon, London. 4523 pp. Fellows, P.J. 1990. Food Processing Technology Principle and Practise. Ellis Howard Limited, London. 493 hal. Fennema, O.R. 1976. Principle of Food Science Part I Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York. 1067 pp. 56
Gaman, P. M. dan K. B. Sherington. 1992. Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Terjemahan Murdjijati. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 64 hal. Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty, Yogyakarta. hal.
275
Hartati, N.S dan T.K. Prana. 2003. Analisis kadar pati dan serat kasar tepung beberapa kultivar talas (Colocasia esculenta L. Schott). Jurnal Natur Indonesia 6 (1): 2933. Haryadi. 1993. Dasar-dasar pemanfaatan ilmu dan teknologi pati. 13 (3): 37-42.
Agritech
Huda, N., F.R. Zakaria, D. Muchtadi dan Suparno. 1998. Sifat fungsional bubuk ikan selar kuning (Selaroides leptoleptis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia 4 (2): 49-57. Idris,
F. 2008. Program Pemberdayaan IKM Tahu Tempe. (On-line). http://www.indonesia.go.id/id/index.php?option=com=content&task=view&id= 6703&itemid=695 diakses tanggal 12 Maret 2010.
Kasmidjo, R. B. 1989. Tempe: Kursus Singkat Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 147 hal. Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedele. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 130 hal. Kumara, B. 2006. Meat flavor imitation berbasis reaksi Maillard. Food Review: 4249, Jakarta. Kusharto, C. 2006. Serat makanan dan peranannya bagi kesehatan. Gizi dan Pangan 1(2): 45-54.
Jurnal
Kusmiyati, D.K. 2004. Makan Pagi Bermanfaat bagi Tubuh. (On-line). http://www.kompas.com/kesehatan/news/0204/10/159158.htm. diakses tanggal 12 Maret 2010. Lestari, P. 2004. Kajian Pembuatan MP ASI Pati Talas dengan Variasi dan Proporsi Penambahan Tepung Sumber Karoten. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 52 hal. (Tidak dipublikasikan). Lingga, P. 1990. Bertanam Ubi-Ubian. PT Penebar Swadaya, Jakarta. 235 hal. Ma’rifah, A. 2009. Breakfast Ubi Kayu: Pengaruh Suplementasi Produk Olahan Kedelai dan Lama Blanching Terhadap Kualitas Produk. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 56 hal. (Tidak dipublikasikan). 57
Mardiyah. 1994. Mempelajari Sifat Fungsional dan Nilai Gizi Tepung Tempe Serta Pengembangan Produk Olahannya Sebagai Makanan Tambahan Bagi Anak. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. 63 hal. (Tidak dipublikasikan). Nip, W.K. 1997. Taro, Processing Vegetable: Science and Technology. Technomic Publishing Company, Inc., Hawaii. 417 pp. Onwueme, I. C. 1978. The Tropical Tuber Crops, Yam, Cassava, Sweet Potato and Cocoyam. John Wiley and Chisester, New York. Pangestuti, P. 2001. Pembuatan Breakfast Cereal dari Tepung Sorghum dengan Substitusi Berbagai Jenis Tepung Kacang-kacangan dan Penambahan Sodium Tripolifosfat: Kajian terhadap Kualitas Produk. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 46 hal. (Tidak dipublikasikan). Potter, N.N., and J.H. Hotchkiss. 1996. Food Science. CBS Publisher and Distributors Daryaganj, New Delhi. 608 pp. Primahati, I. 2005. Preferensi Ibu dan Bayi terhadap Makanan Pendamping Air Susu Ibu ( MP-ASI) Pati Talas Bersuplemen Tepung Ikan dan Tepung Wortel. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 49 hal. (Tidak dipublikasikan). Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi. Penerbit Arcan, Jakarta. 125 hal. Rahmawati, S. 2004. Kajian Pembuatan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI) Pati Talas dengan Proporsi Penambahan Tepung Ikan dan Variasi Sumber Karoten. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 43 hal. (Tidak dipublikasikan). Rakhmawati, I. 2008. Breakfast Tepung Ubi Jalar: Pengaruh Proporsi Tepung Germinasi Kedelai dan Lama Blanching terhadap Kualitas Produk. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 52 hal. (Tidak dipublikasikan). Rauf, A.W dan M.S. Lestari. 2009. Pemanfaatan komoditas pangan lokal sebagai sumber pangan alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian 28 (2): 54-62. Rukmini, H.S., R. Setyowati, Sujiman dan V. Prihananto. 1992. Pemanfaatan Kacang Gude dalam Berbagai Produk Pangan: Pengaruhnya terhadap Kadar Asam Fitat. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Sari, K.D. 2004. Breakfast Cereal Jali: Pengaruh Konsentrasi Bahan Perendam dan Lama Blanching terhadap Kualitas Produk. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 46 hal. (Tidak dipublikasikan).
58
Setyowati, M., I. Hanarida dan Sutoro. 2007. Karakteristik umbi plasma nutfah tanaman talas (Colocasia esculenta). Buletin Plasma Nutfah 13 (2): 49-56. Shurtleff, W and Aoyagi. 1979. The Book of Tempeh: A Super Food from Indonesia. Herpert and Row Puls, New York. Singh, B., S.P. Panesar and V. Nanda. 2007. Rehydration kinetics of un-osmosed and pre-osmosed carrot cubes. World Journal of Dairy and Science 2(1): 10-17. Sitompul, S. 2004. Analisis asam amino dalam tepung ikan dan bungkil kedelai. Buletin Teknik Pertanian 9 (1): 33-37. Soedarmadji., S., B. Haryono dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta. 201 hal. Soekarto. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bathara Karya Aksara, Jakarta. 121 hal. Syam, M. 1985. Kacang gude (kacang hiris) prospeknya cukup baik untuk dikembangkan. Warta Pertanian dan Pengembangan Pertanian 7 (2): 3. Syamsir, E. 2008. Produk Sereal Sarapan (On-Line). http://www.kompas.com. Diakses tanggal 12 Maret 2010. Therik, F., S. A. Marliyati, dan L. N. Yulianti. 2001. Pemanfaatan tepung talas sebagai bahan subtitusi tepung terigu dalam pembuatan cookies. Jurnal Media Gizi dan Kelurga 24 (1):45-52. Whistler, R. L and J. N Be Miller. 1994. Carbohydrate Chemistry for Food Scientist. Eagen Press. Minnesota, USA. 241 hal. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 251 hal. Wolf, W.J. dan J.C. Cowan. 1975. Soybean a Food Source. CRC. Press. Inc. Cleveland, Ohio.
59
Lampiran 1. Denah percobaan
I P1T0 P3T2 P2T0 P2T2 P3T0 P1T2 P3T1 P1T1 P2T1
Blok II P2T0 P1T1 P1T0 P2T2 P3T1 P3T0 P1T2 P3T2 P2T1
Keterangan: 1. Proporsi tepung talas : tepung tempe : tepung ikan (P) P1 = 70% : 30% : 0% P2 = 70% : 20% : 10% P3 = 70% : 10% : 20% 2. Jenis tepung tempe (T) T0 = Tepung tempe kedelai pasaran T1 = Tepung tempe kedelai T2 = Tepung tempe kacang gude
60
III P1T2 P3T0 P3T2 P2T1 P1T0 P1T0 P2T0 P2T2 P3T1
Lampiran 2. Kuisioner uji sensorik
Nama : NIM :
Tanggal : Tanda tangan :
Di hadapan Saudara disajikan sampel Breakfast Talas yang akan diuji secara sensori terhadap warna, tekstur, bau amis, flavor dan kesukaan. Saudara diminta memberikan penilaian terhadap sampel yang tersedia dengan memberikan tanda silang (X) pada kolom yang tersedia sesuai kesan Saudara. 1. WARNA Deskripsi Coklat sangat gelap Coklat gelap Coklat agak gelap Coklat terang
Skala 4 3 2 1
636
438
118
452
167
413
889
577
789
Skala 4 3 2 1
636
438
118
452
167
413
889
577
789
Skala 4 3 2 1
636
438
118
452
167
413
889
577
789
2. TEKSTUR Deskripsi Sangat renyah Renyah Agak renyah Tidak renyah 3. BAU AMIS Deskripsi Sangat amis Amis Agak amis Tidak amis
61
62
4. FLAVOR Deskripsi Sangat enak Enak Agak enak Tidak enak
Skala 4 3 2 1
636
438
118
452
167
413
889
577
789
Skala 4 3 2 1
636
438
118
452
167
413
889
577
789
5. KESUKAAN Deskripsi Sangat suka Suka Agak suka Tidak suka
Lampiran 3. Proses pembuatan breakfast talas (Agustia, 2006).
63
Tepung Talas (b/b) 80%
:
Tapioka (b/b) 20 %
Tepung tempe (b/b) : Tepung komposit (b/b) :Tepung ikan kembung (b/b) 30; 20; 10% 70% 0; 10; 20%
Ditambah air 150% b/b, ovalet 4% b/b, margarin 3,5% b/b,gula halus 25% b/b, garam 2% b/b, soda kue 0,7% b/b, vanili 0,5% b/b, dan STPP 0,1% b/b
Dicampur rata dan diuleni
Adonan
Dimasak (Steam blanching 45 menit) Dimasukkan ekstruder
Dicetak bentuk kotak tebal 3 mm
Dipanggang (Oven 1450 C selama 90 menit)
Breakfast talas Lampiran 4. Proses pembuatan tepung talas (Agustia, 2006). Umbi talas
Dikupas 64
Disawut
Dicuci
Direndam dalam larutan garam 6 %
Dikeringkan pada suhu 600 C selama 6 jam
Digiling
Diayak 80 mesh
Tepung talas
65
Lampiran 5. Proses pembuatan tepung tempe (Mardiyah, 1994). Tempe Steam blanching (7 menit)
Diiris kecil - kecil
Dikeringkan pada suhu 600 C selama 8 jam
Digiling
Diayak (80 mesh) Tepung tempe
66
Lampiran 6. Proses pembuatan tepung ikan kembung (Rahmawati, 2004). Ikan kembung segar Penyiangan
Kotoran, sisik, kepala
Pencucian diikuti penirisan
Pengecilan ukuran
Perendaman dengan air jeruk (30 menit)
Steam blanching ( 15 menit)
Pengeringan pada suhu 600 C, 6 jam
Penggilingan dengan blender
Pengayakan (60 mesh)
Tepung ikan kembung
67