BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada suatu masyarakat budaya karya seni menjadi unsur yang sangat penting yang menunjang terbentuknya suatu peradaban. Perkembangan budaya berjalan seiring dengan perkembangan seni. Menurut Teeuw, seni (termasuk didalamnya seni sastra) hanya dapat meniru dan membayangkan hal -hal yang ada dalam kenyataan yang tampak, jadi berdiri dibawah kenyataan itu sendiri (Teeuw, 2013:220). Sebuah karya seni diyakini dapat menjadi media yang sangat efektif untuk memberikan informasi dan pengajaran tentang nilai-nilai kehidupan karena di dalam sebuah karya seni terdapat ajaran-ajaran moral dan budaya yang kuat. Karya seni (termasuk di dalamnya karya sastra) selain mempunyai nilai estetika yang tinggi juga harus bisa membawa pesan kepada masyarakat khususnya para pembacanya. Karya sastra, seni dan budaya, baik sebagai hasil aktivitas secara individu maupun masyarakat adalah sama sebab pengarang, seniman, dan budayawan adalah anggota masyarakat. Secara teoritis seorang individu mewakili diri sendiri tetapi sebagai anggota masyarakat jelas mewakili kelompok, organisasi social dan suku serta bangsa.Sulit membedakan yang mana yang memiliki nilai lebih tinggi sebab kualitas karya sastra semata-mata diukur atas dasar penggunaan bahasa dan seberapa jauh keberhasilan pengarang untuk masuk ke dalam pemasalahan yang diangkat (Ratna, 2014: 218). Dengan kata lain, penulis atau pengarang harus bisa merepresentasikan keadaan pada jamannya
1
2
sehinggah dengan begitu akan sangat memudahkan pembaca atau penikmat karya sastra lebih mudah dalam memahami dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Wellek dan Warren dalam Faruk (2012) mengatakan bahwa sastra adalah sebagai karya yang bersifat inovatif, imajinatif dan fiktif. Menurut keduanya, karya sastra bukalah dunia nyata, melainkan dunia fiksi imajinasi. Karya sastra dipahami sebagai hasil karya kreatif, hasil ciptaan pengarang. Sebagai bahasa, karya sastra sebenarnya dapat dibawa ke dalam keterkaitan dengan dunia sosial tertentu yang nyata, yaitu lingkungan sosial, tempat dan waktu ketika bahasa yang digunakan oleh karya sastra itu hidup dan berlaku (Faruk, 2012:46) Sejarah Eropa pada abad 18 dan 19 dikuasai oleh revolusi Prancis dengan ide-idenya yang tersimpul dalam kata-kata : Kebebasan, Kesamaan, Persaudaraan. Titik pangkal ideal- ideal ini ialah keyakinan martabat individu serta hak-haknya (Samekto, 1998:65). Selain itu, menurut Samekto ciri-ciri penting lainya pada era ini antara lain adalah peningkatan kesadaran dan timbulnya rasa persaudaraan antar manusia.Manusia dituntun dan di jaga oleh naluri dan perasaannya, maka manusia harus dibebaskan dan diberi kemungkinan untuk membangun dunia yang lebih baik sesuai dengan sifatnya yang memang baik (Samekto, 1998:65). Periode awal tahun 1800 adalah periode romantisme dengan monarki Georgian sebagai penguasa di Inggris.Tekanan pada perasaan dan spontanitas periode romantisme ini adalah terutama adalah penciptaan puisi (Samekto, 1998:66). Romantisme yang dimaksudkan di sini adalah manifestasi dari ide-ide dari semangat revolusi Prancis yang mana karya-karya sastra yang dihasilkan
3
pada masa itu terutama puisi menyajikan gambaran hidup sebagaimana adanya. Akan tetapi juga mengetengahkan bingkai kehidupan yang semestinya dan tidak semestinya terjadi di tengah-tengah masyarakat. Suatu karya sastra haruslah merupakan sebuah reaksi spontan serta tidak dibuat-buat dalam alam maupun manusia. Segala sesuatunya haruslah bebas sesuai dengan apa yang di inginkan dan dilakukan dengan caranya sendiri. Karakteristik yang ditampilkan oleh karya romantis lebih berkeyakinan pada hal-hal biasa yang berharga untuk ditulis dan disampaikan pikiran dalam cara yang tidak biasa. Romantis percaya bahwa melalui perhatian yang serius pada apa yang terjadi disekitarnya terutama pada peristiwa yang terjadi setiap hari yang melibatkan emosi dan perasaan menjadi sebuah pengalaman yang biasa yang bisa diangkat menjadi sesuatu yang luar biasa. Karakteristik lain dari romantis, adalah keyakinan bahwa emosi sangat penting bagi seorang pengarang dalam hubungan dengan proses penciptaan sebuah karya sastra. Emosi dan perasaan yang ada dalam imajinasi seorang pengarang berfungsi sebagai roda penggerak untuk lebih bisa mengidupkan keseluruhan pemikiran dari pengarang tersebut. Rahasia besar manusia adalah cinta dan identifikasi diri kita yang ada dalam pikiran, tindakan banyak orang dan itu bukanlah milik kita sendiri. Romantisme lebih terfokus pada emosi yang mana nantinya akan bermuara pada sebuah ekspresi kreatif, dan kemungkinan akan melampaui pengalaman biasa dari sebuah pencarian akan pengalaman yang intens. Sebuah pencarian untuk mendapatkan koneksi, sebuah pencarian untuk transendensi, dan pencarian untuk mengetahui diri sendiri. Romantisme itu sendiri dicapai serta didapat
4
melalui pengamatan yang konstan dan ketelitian serta fokus dan perhatian terhadap hal-hal yang detail dan paling rumit yang tampaknya tidak penting dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat memiliki kemungkinan transmutasi dirinya menjadi sesuatu yang lebih besar dimana romantisme dapat memulihkan kebangkitan kehidupan mereka pada insting mereka sendiri daripada kepercayaan pada mesin, industri, dan kemajuan berbasis ilmiah. Romantisme mendorong orang-orang untuk percaya diri dan percaya akan intuisi mereka sendiri. Romantisme juga menuntun diri sendiri dan orang lain serta perhatian kepada alam, di mana semua proses organik dapat diamati, dirayakan, dan dari proses itu semua pelajaran bisa diambil. Melalui pergeseran ini dalam fokus yang lebih besar kaum Romantik berpendapat bahwa itu akan menjadi mungkin bagi orang untuk mengetahui diri mereka dan dunia yang lebih baik dan lebih lengkap. Romantis menentang gagasan bahwa logika dan ilmiah serta prosesnya akan mengarah pada pengetahuan yang sukses dan masyarakat yang lebih baik. Pada masa romantik, perubahan pada karya sastra sudah mulai nampak dimana fokus terhadap seorang sastrawan sebagai pencipta karya sastra sangatlah dominan. Selden (dalam Siswanto, 2013:1) menyatakan bahwa karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan mengungkapkan pribadi pengarang. Dari sini bisa dilihat bahwa posisi pengarang menjadi sangat sentral dalam memberikan gambaran terhadap fenomena yang ada dan terjadi di masyarakat sekitarnya. Novel Emma karya Jane Austen merupakan salah satu karya yang terkenal
5
dimana Jane Austen menampilkan subyek Emma sebagai sentral. Dalam hal ini Jane Austen menggambarkan dari sudut feminisme, subyek Emma dilukiskan sebagai perempuan yang kuat yang tidak selalu berada sebagai pihak yang lemah. Subyek Emma dideskripsikan sebagai perempuan yang sangat kuat karaktemya dibandingkan dengan perempuan pada jamannya. Subyek Emma ini digambarkan dengan perilaku dan pemikiran yang berbeda dengan kaum perempuan pada awal abad ke-19 di Inggris. Novel ini adalah karya sastra yang mengekspresikan kehidupan sosial yang lebih lengkap dan lebih mendalam tentang keadaan masyarakat pada masa itu khususnya peristiwa kehidupan sehari-hari masyarakat golongan menengah dalam komunitas masyarakat kota kecil pada masa Georgian. Keunikan novel-novel Jane Austen pada umumnya terletak pada cerita tentang subyek perempuan yang ditampilkannya. Gambaran subyek yang ditampilkannya adalah orang biasa saja, tetapi watak-watak mereka dilukiskan dengan begitu jelas, cermat, dan mendetail, sehinggah mereka masing-masing terasa benar benar memiliki individualitas sepanjang cerita (Samekto 1998:75). Jane Austen adalah seorang penulis yang sangat terkenal pada era Georgian. Jane Austen lahir pada tanggal 16 Desember 1775 di Steventon, Hampshire, Inggris. Jane Austen adalah anak ketujuh dan putri kedua pasangan suami istri Cassandradan George Austen. Orang tua Jane adalah anggota masyarakat yang dihormati. Ayahnya menjabat sebagai Rektor lulusan Oxford untuk paroki Anglikan ditempat di kota tempat mereka tinggal. Jane dan saudarasaudarinya tumbuh dalam lingkungan yang menekankan untuk belajar dan berpikir kreatif. Ketika Jane masih muda, Ia dan kedua adiknya didorong untuk
6
membaca dan menghabiskan waktu di perpustakaan milik ayah mereka. Pada usia kanak-kanak, Jane dan saudaranya sudah diperkenalkan dengan karya sastra melalui buku-buku yang mereka baca di perpustakaan. Pada usia itu juga Jane dan saudaranya sudah diberi latihan untuk bisa mengarang dan bermain peran drama. Jane adalah pribadi yang perhatian dan penyayang. Ia menjadi sangat dekat dengan ayahnya dan kakak perempuannya, Cassandra. Dalam rangka untuk memperoleh pendidikan yang lebih formal, Jane dan Cassandra dikirim ke asrama. Selama mengikuti pendidikan dan tinggal di asrama siswa, Jane dan adiknya sakit. Mereka berdua terkena penyakit tifus. Jane dan kakaknya hampir menyerah terhadap penyakit itu. Setelah waktu singkat pendidikan formal dan kendala masalah keuangan, mereka akhirnya kembali ke rumah. Jane menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di rumah. Dia membantu menjalankan pekerjaan-pekerjaan rumah keluarganya. Jane juga sangat gemar bermain piano, menghadiri kebaktian di gereja, dan bersosialisasi dengan tetangga. Setiap malam dan akhir pekan sering terlibat acara cotillions, dan sebagai hasilnya, ia menjadi seorang penari ulung. Pada malam hari Jane dan keluarga mempunyai kebiasan yang unik. Dia memilih sebuah novel dari rak dan membacanya keras-keras untuk keluarganya. Selain itu Jane juga sering menulis. Pada awal dia menulis, Jane terlihat sangat ambisius dalam mengembangkan gayanya dalam karyanya.
Samekto (1998:75) menjelaskan dalam bukunya Ikthisar sejarah kesusatraan Inggris bahwa latar belakang Jane Austen sangatlah berpengaruh
7
langsung terhadap karya sastra atau novel-novel yang dihasilkannya. Novel novel Jane Austen sangat mengasyikan untuk dinikmati karena kepandaian seorang Jane Austen dalam melukiskan watak tokoh - tokoh wanitanya. Gambaran Tokoh-tokoh wanita pada novel-novelnya adalah wanita-wanita sederhana tetapi merupakan pribadi dan individu yang sangat indah, jernih, lancar dan sangat mendetail. Bahasa yang dipakai Jane dalam novel-novelnya sangat sederhana namun jernih dan lancar. Jane Juga senang menambahkan unsur-unsur humoris dan satiris yang halus dalam ceritanya. Novel pertama Jane Austen adalah Sense and Sensibility yang terbitkan pada tahun 1811 kemudian novel Pride and Prejudice tahun 1813. Tahun 1814 Jane menerbitkan Novel Manfield Park. Novel Emma adalah novel keempat Jane yang ditulis pada tahun 1815. Jane Austen juga menulis dua novel tambahan, Abbey Northanger dan Persuasion diterbitkan pada tahun 1818. Untuk Karya sastra yang berjenis novel dan bergenre romantis, Jane Austen dikenal sebagai pelopor yang mempopulerkannya. Novel Emma yang ditulis pada tahun 1815 adalah salah satu novel romantik yang muncul pada era romantik di Inggris. Pada Novel Sense and Sensebility Austen menampilkan subyek perempuan yakni Marianne dan Elianor Dashwood. Kedua subyek perempuan ini digambarkan Jane memiliki karakter yang berbeda satu sama lainya. Marianne digambarkan sebagai seorang perempuan yang manis dengan kualitas yang menarik mempunyai kecerdasan dan bakat dalam musik. Subyek ini juga memiliki sifat yang sangat terbuka dalam pergaulan dan mempunyai kapasitas untuk mencintai secara mendalam. Sedangkan subyek Elianor digambarkan sebagai subyek perempuan
8
yang sangat serius dan sangat memperhatikan urusan rumah tangga, selalu memikirkan keluarga dan memiliki sifat yang sangat perasa tetapi sangat bertanggung jawab dan rela berkorban. Sifat ini sangat berbeda dengan sifat adiknya Marianne yang terkesan sangat egois. Dalam dua novel ini Austen sengaja menampilkan nilai superior baik rasa atau sensibilitas dua karakter tokoh perempuan yang berbeda. Tujuannya bukan untuk melihat yang mana yang paling berpengaruh satu sama lainnya namun Jane Austen menampilkan itu untuk menunjukkan bahwa keduanya sama-sama penting, tetapi harus diterapkan dalam keseimbangan dan tidak boleh satu menjadi lebih superior dari lainya. Novel berikutnya dari Jane Austen yang terkenal yakni Pride and Prejudice adalah novel yang menceritakan tentang moral dan sopan santun. Novel yang diterbitkan tahun 1813 juga menceritakan tentang subyek perempuan Elizabeth Bennet. Dalam Novel ini Jane Austen mengangkat isu-isu tata krama, pengasuhan dan moralitas, pendidikan serta pernikahan di masyarakat bangsawan di daratan Inggris. Novel ini menjelaskan tentang subyek Elizabeth yang adalah anak kedua dari lima anak perempuan. Novel ini menceritakan tentang dinamika yang terjadi pada subyek perempuan yang ditampilkan oleh Jane Austen dengan Elizabeth sebagai tokoh utamanya. Mansfield Park adalah novel ketiga oleh Jane Austen yang ditulis di Chawton Cottage antara Februari 1811 dan 1813. Buku ini diterbitkan Mei 1814 oleh Thomas Egerton, yang menerbitkan dua novel sebelumnya Jane Austen, Sense and Sensibility dan Pride and Prejudice. Mansfield Park adalah epik moralitas yang terjadi di daerah Mansfield Park. Pada novel ini Jane Austen juga
9
menampilkan subyek perempuan dalam novelnya ini yakni Fanny Price yang merupakan anak tertua kedua dari Sembilan anak yang dikirim untuk tinggal bersama saudara ibunya di Mansfield Park pada usia 10 tahun. Fanny digambarkan Jane sebagai seorang perempuan yang sensitif, pemalu, cerdas dan berbudi luhur serta memiliki moral yang baik. Novel ini juga menceritakan tentang percintaan yang terjadi antara subyek Fanny dan sepupunya Edmud. Novel ini juga menampilkan dinamika kehidupan masyarakat di Mansfield Park. Novel Emma ini adalah novel keempat dan menjadi salah satu novel yang sangat terkenal dari sekian banyak novel yang ditulis oleh Jane Austen pada masa itu. Kekhasan dari novel ini sangat terlihat dari rangkaian cerita baik dari sisi bahasa, subyek yang diceritakan, alur ceritanya serta isu yang diangkat dalam novel ini ada gambaran yang sangat nyata tentang kehidupan masyarakat Inggris pedalaman dengan berbagai fenomena masalah dan problematika yang ada di dalamnya. Gambaran tentang bagaimana masyarakat bersosialisasi yang terlukis melalui subyek-subyek perempuan dengan subyek sentral Emma dan bagaimana masyarakat berinteraksi yang nampak dari sosialisasi dan interaksi yang terjadi dalam masyarakatnya. Dalam novel tersebut sangat terlihat jelas bahwa melalui karya-karya yang dihasilkan oleh para pengarang prosa pada waktu itu khususnya novel, karya Jane Austen Emma ini adalah salah satu novel yang sangat kompleks dalam cerita, karakter, tema maupun isu -isu yang ditampilkan. Novel ini secara eksplisit adalah sebuah realita yang ditampilkan secara sistematis oleh penulisnya. Dinamika subyek perempuan dalam novel tersebut diberikan porsi yang lebih untuk bisa
10
lebih mengembangkan diri. Dalam novel ini juga diangkat tentang nilai-nilai sosial dan budaya yang sengaja ditampilkan oleh seorang Jane Austen secara eksplisit. Novel ini menjadi sebuah gambaran yang sangat nyata tentang keadaan masyarakat menjelang dan sesudah revolusi Prancis dengan semua ideologinya tentang kebebasan, kebersamaan dan persaudaraan. Perkembangan ini sangatlah signifikant sehinggah sangat membawa dampak yang besar pada semua aspek kehidupan masyarakat pada masa itu. Masyarakat kehilangan sensibilitas terhadap apa yang ada di sekeliling mereka. Novel ini tidak mempunyai kecenderungankecenderungan romantik seperti novel-novel Jane Austen lainnya ataupun karyakarya sastra yang dihasilkan pada masa itu. Novel ini sangatlah detail menggambarkan kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Jane Austen pada novel Emma ini menyertakan komentar-komentar sosialnya yang merupakan ciri khas utama dalam novel novelnya. Gambaran tokoh Emma yang sangat kompleks dalam kehidupannya menjadi sangat menarik untuk dikaji. Sedikitnya kesan romantik dari subyek Emma dan interaksinya dalam masyarakat sosialnya menjadikan subyek ini menjadi sangat sentral dalam novel ini. Subyek Emma ini terlihat sangat rileks dan tidak kaku dalam berpikir dan terlihat sangat aktif dalam kehidupan sosial seperti kebanyakan perempuan pada zamannya. Cinta menjadi merupakan salah satu isu sentral pada setiap novel-novel era romantik.
Dalam novel pada era Georgian ini pada umumnya mempunyai
tendensi romantik yang sangat kuat. Ini juga nampak dalam karya Jane Austen yang mana dalam beberapa karyanya juga mengkaji secara lebih detail tentang
11
posisi perempuan sebagai seorang yang di cintai tanpa mempunyai pilihan lain dalam wacana cinta dan keintiman, menjaga agar apa yang dianggap sebagai hak prerogatif laki laki tidak terusik. Perempuan dalam konteks masyarakat Inggris pada masa awal abad kesembilan belas memang menjadi pihak yang bisa memilih, tetapi memilih dalam keterbatasan yang telah dikonstruksi oleh wacana dominan. Bagaimana perempuan dalam novel tersebut memaknai relasi cinta dan keintiman dengan lawan jenis. Novel Jane Austen Emma ini dipilih sebagai korpus dengan asumsi bahwa novel ini merupakan salah satu dari sekian banyak novel yang melukiskan perkembangan subyek perempuan Inggris di suatu kota kecil yang didik dirumah seperti lazirnnya anak anak perempuan golongan menengah keatas pada masa itu. Novel Emma ini juga membicarakan tema cinta didalamnya dengan berbagai permasalahan didalamnya. Novel ini juga diasumsikan menawarkan konstruksi tentang subyektivitas perempuan yang cenderung berbeda dari konstruksi peran dalam sebuah lingakaran patriaki yang sangat kental. Dalam novel Emma ini menunjukan kesenjangan yang terjadi dalam hubungan dan interaksi perempuan dalam lingkungan sosial dimana ia berada. Subyek perempuan dilukiskan dalam cerita dalam novel Emma ini memiliki kompleksitas yang berbeda namun dibangun dalam sebuah konstruksi sebuah relasi sosial yang sangat di dominasi oleh peran laki-laki yang nota bene menjadi kaum dominan dalam tatanan hirarki yang partialis. Dalam tatanan sosial setiap invidu mempunyai suatu hak yang sama dalam melakukan interaksi maupun sosialisasi. Giddens dalam pendapatnya menyatakan
12
bahwa: “Di mana daerah yang luas dari kehidupan seseorang tidak lagi ditentukan oleh pola dan kebiasaan yang sudah ada, individu terus diwajibkan untuk menegosiasikan pilihan gaya hidup .Selain itu -dan ini sangat penting -seperti pilihan tidak hanya aspek „ekstemal‟ atau marjinal dari sikap individu, tetapi menentukan siapa individu „adalah'. Dengan kata lain, pilihan gaya hidup yang konstitutif narasi refleksif diri.” (Giddens, 1992, hal. 75) Dalam novel Emma ini subyek Perempuan dilukiskan menjadi invidu yang merdeka dan sudah selayaknya menentukan apa yang akan memjadi tujuan dalam hidupnya nanti dan perempuan sudah semestinya tidak ditekan oleh apa yang ada di sekelilingnya. Seperti apa yang di sampaikan Giddens bahwa seorang berhak mempunnyai pilihan dan bisa bernegosiasi dengan konstruksi yang sudah ada yang selalu menempatkan posisi peremuan sebagai seorang individu yang hanya bisa memilih. Perempuan sudah semestinya menjadi the loving subject yang otonom dan memiliki kekuatan untuk membangun relasi cinta dan keintiman yang diinginkannya. Novel Emma di assumsikan adalah landasan awal pemikiran yang mewacanakan tentang perempuan sebagai subyek yang mencintai yang yang mana menjadi invidu yang bebas dan tidak terikat dengan pola atau aturan yang sudah ada.
1.2 Rumusan Masalah Pada era romantik posisi perempuan sangatlah menjadi sorotan dalam pernikahan yang mana perempuan masih sangat tergantung pada pernikahan untuk mengamankan status sosial dan ekonomi. Perempuan menjadi subjek yang dicintai yang mana perempuan digambarkan sebagai seorang yang sangat patuh
13
dan penurut terhadap apa yang di kehendaki oleh orang tua. Dalam posisi apapun perempuan pada masa awal romantik menjadi subjek yang kaku dan lebih statatis dalam perannya. Namun dalam perkembangannya ada sedikit pergeseran peran seperti yang di lakukan Emma dalam Novel Jane Austine. Emma digambarkan sebagai subyek yang menolak sebagai objek yang di cintai. Subyek ini digambarkan Jane Austen sebagai subjek yang mencintai yang sangat dinamis dalam setiap interaksinya dalam lingkungan sosial dimana dia berada. Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka dapat dielaborasikan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimana Jane Austen sebagai pengarang menggambarkan perempuan sebagai subyek yang mencintai dalam novelnya tersebut?
2.
Mengapa perempuan sebagai subyek yang mencintai tersebut diperjuangkan oleh Jane Austen?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka muncul dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu (1) untuk mengetahui bagaimana gambaran perempuan sebagai subyek yang mencintai dalam novel Emma karya Jane Austen (2) untuk mengungkapkan mengapa Jane Austen sebagai pengarang memperjuangkan perempuan sebagai subyek yang mencintai dimana subyek Emma digambarkan sebagai subyek perempuan mencintai yang memiliki kebebasan dan perannya yang berbeda dengan perempuan pada umumnya pada masa itu.
14
1.4
Manfaat penelitian
Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah menerapkan teori sosiologi yang berlatar belakang feminis yang mana dalam penelitian ini memfokuskan pada teori keintiman Anthony Giddens yang meneliti perempuan itu hadir bukan hanya sebagai objek tetapi juga sebagai subyek yang mempunyai hak yang sama dalam sebuah konstruksi patriarki. Membahas tentang feminisme dalam kacamata sosiologi tidak hanya tentang perempuan yang tersubordinasi dan menjadi objek dalam hal apapun namun dapat dilihat perempuan sebagai subjek yang mendominasi dan mempunyai pilihan. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk memperkenalkan perempuan sebagai subyek yang bebas yang tidak lagi di gambarkan sebagai seorang yang terus menerus tersubordinasi dan menjadi objek tetapi perempuan bisa menjadi seorang yang mendominasi dan menjadi subyek yang merdeka.
1.5
Tinjauan Pustaka
Novel Emma sebagai objek material penelitian ini sudah pernah dijadikan sebagai objek material dalam peneitian – penelitian sebelumnya. Penelitian dengan novel Emma pernah dilakukan oleh Afriana (2008) dalam skripsinya yang berjudul Jane Austen’s description feminism in "Emma": Woman as Writer. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan mendeskripsikan serta menganalisa tokoh wanita yang ada dalam novel Emma. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa karakter wanita pada tokoh Emma Woodhouse memiliki karakter yang sangat menonjol dan sangat dominan. Hasil penelitian ini
15
menjelaskan bahwa Jane Austen membentuk karakter wanita dalam novel ini sebagai tokoh utama wanita yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan karakter wanita lainnya pada masa itu. Dalarn penelitian ini Jane Austen digambarkan memposisikan wanita agar bisa sarna dengan laki -laki, karena feminist sangat menjunjung tinggi persamaan posisi antara kaum wanita dan kaum laki -laki dalam semua aspek kehidupan. Kemudian penelitian novel Emma ini juga pernah dilakukan Yeni tahun 2004. Penelitian ini berjudul The Study compliment responses produced by some characters
in
Emma
movie.
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
sosiolinguistik. Penelitian ini difokuskan pada respon pujian dalarn karakterkarakter yang bermain dalam film tersebut. Dalam penelitian ini, juga dipaparkan tentang teknik komunikasi antara karakter pria terhadap karakter wanita begitu sebaliknya. Hasil dari peneltian ini menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikant dalarn komunikasi khususnya tentang respon terhadap pujian. Peneliti selanjutnya yang mengambil novel Emma sebagai obyek material kajiannya adalah Agus Handoyo tahun 2006. Penelitian ini dalam bentuk skripsi yang berjudul A Study on the reasons of Emma's problems for having love relationship in Jane Austen's Emma. Penelitian ini difokuskan pada tokoh Emma yang menjadi karakter utama dalam novel ini yang mana digambarkan sebagai karakter yang sangat dinamis. Dalam penelitian ini kompleksitas tokoh Emma dihadirkan. Problem percintaan tokoh Emma menjadi sentral dalam penelitian ini. Peneliti menggunakan analisis karakter melalui karakterisasi dan konflik yang terjadi pada tokoh Emma terutama yang berkaitan dengan masalah hubungan
16
percintaanya. Dari analisis yang didapat peneliti di temukan dua faktor utama penyebab tokoh Emma digambarkan memiliki masalah dalam hubungan percintaan yakni faktor internal yakni tokoh Emma sendiri dalam hal ini kepribadian dan prinsip hidupnya dan faktor eksternal yakni latar belakang keluarganya. Penelitian lainnya adalah skripsi Vinnarty tahun 2006 yang berjudul The Influence of women's social class toward their lives in Jane Austen 'Emma. Penelitian ini membahas tentang kedudukan kelas sosial perempuan dalam masyarakat pada abad ke-18 di Inggris. Fokus penelitian ini lebih ditekanan pada pengaruh kelas sosial masyarakat yang ada pada periode itu terhahap perempuan. Penelitian ini menyoroti kondisi perempuan dalam masyarakat abad ke-18 di mana ada pembagian kelas yang diciptakan untuk membedakan dan memberikan batasan bagi perempuan yang berasal dari masyarakat kelas bawah dan perempuan yang berasal dari kelas atas. Yang dimiliki perempuan kelas bawah meliputi pendidikan terbatas yang mengakibatkan kesempatan terbatas untuk perempuan untuk mendapatkan pekerjaan. Wanita di era ini, terutama mereka yang berasal dari masyarakat kelas bawah, cenderung kesulitan dalam masalah finansial. Mereka tidak dapat merencanakan masa depan mereka dikarenakan keterbatasan- keterbatasn itu. Wanita yang berasal dari masyarakat kelas bawah dituntut mencari keuangan dan masa depan yang aman dipicu oleh kondisi yang tidak memungkinkan mereka untuk memiliki pendidikan yang lebih baik. Selain itu, para wanita di era ini juga tidak mendapatkan warisan. Dalam penelitian ini, penulis membahas menggunakan kajian analisis karakter dimana
17
karakter khas Emma Woodhouse digambarkan sebagai seorang wanita dalam masyarakat abad ke-18 yang bertindak sangat kontradiktif terhadap peran perempuan dalam era itu. Ketika wanita lain berusaha untuk mencari pekerjaaan dan masa depan, Emma mengambil peran lain yang sangat berlawanan. Hal ini menunjukkan bahwa Emma tidak terpengaruh oleh nilai masyarakat diera itu. Sebaliknya, Ia memutuskan hidupnya sendiri dengan menolak peran umum bagi perempuan dari masyarakat abad ke-18 yang mana perempuan masa masa itu cenderung menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Penelitian saya ini berjudul Perempuan sebagai subyek yang mencintai dalam novel Emma karya Jane Austen. Penelitian ini menggunakan teori Intimacy dari Antoni Giddens yang mana dalam penelitian ini akan mengkaji tentang subyek perempuan yang mencintai dalam hal ini Emma sebagai subyek sentral yang sangat dinamis dalam novel ini yang tidak hanya menjadi obyek yang mencintai tetapi menjadi subyek yang mencintai. Dengan teori yang dipakai ini akan mengkaji bagaimana Jane Austen sebagai pengarang menggambarkan subyek perempuan Emma sebagai subyek yang mencintai dalam novelnya tersebut serta mengapa perempuan sebagai subyek yang mencintai tersebut diperjuangkan oleh Jane Austen. Teori Giddens tentang keintiman ini akan berfokus pada relasi keintiman yang dialami oleh subyek Emma dalam interaksi dan sosialisasinya dengan lingkungan sosialnya. Penelitian ini juga ingin melihat posisi perempuan sebagai sebuah individu yang bebas termasuk dalam hal mencintai. Dalam penelitian ini akan menjelaskan perilaku subyek perempuan dalam hal ini Emma, di mana subyek ini bukan hanya sebagai obyek tetapi juga
18
sebagai subyek yang mencintai yang secara sadar mempunyai hak yang sama dalam konstruksi masyarakat patriarki. Dengan menggunakan langkah – langkah ilmiah yang dijelaskan secara detail pada metode penelitian, penulis akan mengkaji data-data yang diambil dari Novel Emma karya Jane Austen berupa kutipan - kutipan percakapan, pernyataan- pernyataan yang sangat relevan dengan objek kajian seperti yang terumus dalam pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mana penelitian ini difokuskan untuk mengetahui bagaimana seorang Jane Austen menggambarkan subyek yang mencintai dalam hal ini Emma dalam novel ini kemudian selanjutnya ingin mengetahui alasan atau dasar utama mengapa perempuan sebagai subyek yang mencintai itu diperjuangkan oleh Jane Austen dalam novelnya.
1.6
Landasan Teori
Masa awal abad kesembilan belas merupakan masa awal pemikiran modern di Eropa dimana ditandai dengan adanya revolusi Prancis yang merupakan titik tolak dari cara berpikir masyarakat eropa yang menjadi lebih humanis dengan menitik beratkan pola pemikiran mereka pada keyakinan akan martabat individu dan hak haknya, yang mana setiap indiviu hendaknya harus dibebaskan untuk memilih serta membangun relasi yang baik dengan individu-individu lainya. Pemikiran ini juga mengindikasikan bahwa tidak adanya perbedaan ataupun pemisahanpemisahan yang terjadi dalam masyarakat sosial tetapi yang ada hanyalah perasaan dan naluri yang sama untuk mencapai sebuah tujuan hidup. Perjodohan dan pernikahan adalah isu-isu utama yang muncul pada masa itu. Pernikahan yang
19
pada dasarnya adalah sebuah lembaga yang disakralkan perlahan bergeser fungsi dan maknanya menjadi sebuah institusi yang memperhatikan dari aspek ekonomi atau finansial. Pada awal abad XVII, isu – isu pernikahan sering kali menekankan informasi detail mengenai pertimbangan finansial (Canon, 2003:73) Gambaran ideal di atas merupakan gambaran umum yang secara implisit dapat kita temui pada karya-karya sastra yang dihasilkan pada masa revolusi Prancis dan masa revolusi industri di Inggris. Dengan tercetusnya revolusi Prancis yang merupakan klimaks pertumbuhan perpaduan kondisi-kondisi objektif dan aliran-aliran gagasan yang ada di Eropa waktu itu maka ideal ideal tadi menjadi eksplisit dalam kesusastraan Inggris sehingga mendorong bangkitnya gerakan romantik yang sadar dan mantap (Samekto, 1998:67). Pada konteks masyarakat Eropa abad ke 18, Posisi perempuan sebagai individu tetap mendapatkan peran tetapi tanpa adanya kebebasan yang dimiliki oleh individu perempuan itu sendiri. Kapasitas perempuan sebagai subyek, tidak hanya sebagai subyek yang bisa mengontrol hasratnya dan menarik perhatian lawan jenis, tetapi juga sebagai subyek yang memiliki kapasitas untuk memilih maupun menolak. Posisi perempuan sebagai subyek bebas dalam lingkaran masyarakat patrialis terlihat sangat tidak bebas. Menurut Cornell dalam Kimmel (2005:30) menyatakan bahwa laki – laki dapat melakukan kontrol terhadap perempuan melalui posisi dan kekuasaanya.lebih lanjut Kimmel menjelaskan bahwa “A Man in a power, a man with power and a man of power”. Hal ini menegaskan bahwa posisi laki- laki dalam konstruksi maskulitas sangat terlihat kuat dan tidak tergeserkan oleh kekuatan feminis atau perempuan.
20
Penelitian ini menitik beratkan pada aspek keintiman dari subyek perempuan Emma dengan gambaran relasi keintimannya dalam lingkungan sosialnya dan juga memfokuskan pada posisi perempuan sebagai seorang individu yang bebas dan mempunyai hak yang tidak terbatas pada wilayah domestik tetapi lebih dari itu mempunyai kekuatan untuk bisa menentukan ataupun memilih sesuatu yang menjadi pilihanya. Ratna dalam bukunya Teori, Metode dan penelitian Sastra (2008) menjelaskan bahwa teori bukan merupakan tujuan utama tetapi adalah jalan. Dalam kaitannya sastra sebagai bagian integral dari suatu budaya maka sangatlah penting sebuah teori dipakai dalam penelitian tersebut karena karya sastra dianggap sebagai sebuah produk sosial, sebuah fakta sosial yang dengan sendirinya dipecahkan atas kenyataan sesungguhnya. Untuk itu dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teori Intimacy dari Anthony Gidden, yang mana dalam pandangannya dalam konteks intimacy, Anthony Giddens (1992) melihat bahwa perubahan status perempuan dalam kehidupan sosial modern telah mempengaruhi bentuk dan karakter relasi keintimannya
dalam
masyarakat.
Dalam
bukunya
yang
berjudul
The
Transformation of Intimacy, Anthony Giddens berpendapat bahwa munculnya masyarakat global dan demokrasi modern fundamental mengubah bentuk dari semua interaksi manusia, dari seks, suka dan persahabatan murni. Dalam prespektif lain Giddens mengemukakan bahwa gerakan feminisme menjadi faktor penyebab terjadinya pergeseran bentuk relasi keintiman, dari yang awalnya sangat terikat oleh aturan, norma dan moralitas menjadi relasi yang
21
sangat cair. Wacana tentang kesetaraan gender yang digaungkan oleh kaum feminis turut mendorong munculnya bentuk keintiman baru yang oleh Giddens disebut sebagai pure relationship (1992:6). Lebih lanjut Noviani (2013:3) menjelaskan dalam pure relationship pihak-pihak yang terlibat dalam relasi memiliki posisi yang aktif dan setara untuk mengontrol dan menentukan arah relasi intimnya. Lebih lanjut Giddens menjelaskan bahwa otonomi dan kebebasan yang lebih besar yang dimiliki oleh perempuan akan ikut berperan dalam membangun pure relationship itu. Teori Giddens berfokus pada apa yang dianggap sebuah proses perkembangan demokratisasi dan kehidupan sosial dan seksual modem. Minatnya dalam seksualitas berasal dari kenyataan bahwa beberapa wacana pada subjek menginterogasi hubungannya dengan cinta dan gender. Kemajuan Masyarakat dalam berpikir mengarahkan pada kesetaraan antara pria dan wanita, meskipun posisi dan perannya yang berbeda namun telah menciptakan apa yang Giddens sebuah gerakan revolusi seksual dan emansipasi. Secara seksual perempuan adalah individu yang sangat terikat dan hampir tidak mempunyai pilihan. Dalam relasi invidu perempuan tidaklah diakomodir segala haknya sebagai seorang invidu yang bebas. Mengenai kebebasan individu ini Giddens berpendapat: “Where large areas of a person's life are no longer set by pre-existing patterns and habits, the individual is continually obliged to negotiate life-style options. Moreover -and this is crucialsuch choices are not just 'external' or marginal aspects of the individual's attitudes, but define who the individual 'is'. In other words, life-style choices are constitutive of the reflexive narrative of self.”(Giddens, 1992, p. 75) Dengan kata lain tiap invidu mempunyai hak yang sama untuk bisa bersosialisasi dengan invidu lainnya dan tidak terikat oleh jenis kelamin atau gender tertentu
22
dalam segala hal termasuk cinta dan perjodohan untuk mencari pasangan hidup. Praktik perjodohan secara tradisional yang terjadi dalam masyarakat Inggris pada abad kedelapan belas sampai abad kesembilan belas lebih mengarahkan perempuan sebagai individu atau obyek yang dipilih, tetapi pendapat Giddens mengajak memberikan kesempatan pada setiap invidu termasuk perempuan untuk lebih bebas dan tidak terikat oleh keadaan sosial dan aturan-aturan tertentu. Giddens berpendapat (1991:75) The self is seen as a reflexive project, for which the individual is responsible ... We are, not what we are, but what we make of ourselves....The self-fonns a trajectory of development from the past to the anticipated future. The individual appropriates his past by siftings through it in the light of what is anticipated for an (organized) future. Dari pandangan diatas dapat dikatakan bahwa diri ini dipandang sebagai proyek refleksif, dimana setiap Individu bertanggung jawab secara individual. Noviani dalam tulisannya Perempuan, Cinta dan Keintiman: Konstruksi Loving Subyek dalam film Rektoverso Tahun 2013 menyatakan bahwa setiap individu akan selalu menjaga, memperbaiki dan mengubah narasi dan biografi dirinya. Kebanggaan dan self-esteem sangat tergantung pada konfidensi seseorang akan koherensi dan integritas narasi dirinya itu.
1.6.1 Cinta Romantis, Cinta Konfluen dan Konstruksi Relasi Murni Cinta adalah adalah sebuah fenomena yang universal. Cinta menjadi bagian dari kehidupan sehari – hari yang mana cinta melibatkan emosi dan perasaan terhadap sesuatu atau seseorang. Dalam pandangan umum sering dikatakan bahwa cinta
23
romantis adalah suatu settingan atau sesuatu yang direkayasa oleh laki-laki terhadap wanita, untuk mengisi pikiran mereka dengan mimpi yang indah dan sesuatu tidak mungkin. Cinta Romantis menurut Anthony Giddens adalah sebuah relasi yang sangat asimetris yang berbasis gender. Giddens (1992:61) memaparkan bahwa pada sebuah kerangka relasi yang heteroseksual terjadi ketertarikan dan keterlibatan secara emosional yang bersifat intrinsik antara dua sisi yang berlainan. Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa sesungguhnya bahwa esensi dari apa yang disebut dengan cinta romantis itu tidak hanya sekedar saling suka atau saling tertarik satu sama lainya tetapi juga terjadi suatu hubungan yang lebih intens dan mendalam bahwa kedua pihak yang terkait akan saling melengkapi satu sarna lainnya. Dari pemaparan ini akan jelas terlihat bahwa apa yang dibangun dalam konsep relasi pada sebuah cinta romantik akan menjadi dasar pada sebuah relasi yang lain yang lebih khusus yang mana menjadi basis dari sebuah konstruksi cinta yang bersifat monogamy yang di sebut True Love atau cinta sejati. Ide romantis pada awal kemunculannya pada abad kesembilan belas, sangat memberikan kontribusi terhadap perubahan sekuler yang sangat signifikant serta mampu mempengaruhi kehidupan sosial secara keseluruhan pada masa itu. Gidden berpendapat (1992:43) Romantic Love was essentially feminized love. Ideas about romantic love were plainly allied to women's subordination in the home, and her relative separation from the outside world.But the development of such ideas was also an expression of woman's power, a contradictory assertion of autonomy in the face of deprivation.
24
Walaupun cinta romantis secara mendasar dianggap sebagai cinta yang bersifat feminis namun dalam prakteknya banyak terjadi pergeseran. Cinta pada tatanan ini digambarkan sebagai suatu usaha kaum laki laki memposisikan kaum perempuan sebagai pihak yang memiliki keterbatasan dalam kerangka pemikiran tentang kebebasan dan otonomi. Ruang yang diberikan kepada kaum perempuan sudah dibatasi dan cenderung tidak bebas. Hal ini diyakini sebagai upaya melegitimasi subordinasi perempuan dalam ranah domestiknya serta memperlebar jarak kaum perempuan dengan dunia luar. Kaum perempuan hanya memiliki akses yang sangat terbatas dan tidak memiliki posisi dan otonomi yang sarna dan setara. Pada perkembangannya kemudian seiring dengan perubahan yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat yang dimulai dari abad ke 18, 19 dan masyarakat modem abad 20 banyak terjadi pergeseran dan perubahan-perubahan yang signifikan. Anthony Giddens mengemukakan bahwa seiring dengan perkembangan yang terjadi pada masyarakat modern terjadi pergeseran pemahaman wacana romantic love menjadi confluent love. Confluent love is active, contingent love… the more confluent love becomes consolidated as a real possibility, the more the finding of 'a special person' recedes and the more it is the 'special relationship' that counts.... Confluent love presumes equality in emotional give and take,the more so the more any particulary love tie approximates closely to the prototype of the pure relationship (Gidden, 1992 : 62). Dari kutipan diatas dapat dilihat perbedaan signifikan yang secara esensi dan konsep sangat berbeda antara cinta romantik dan cinta konfluent. Kesetaraan gender yang diperjuangakan pada awalnya adalah salah satu faktor lahirnya wacana confluent love ini. confluent love adalah sebuah konstruksi relasi yang
25
lebih cair dalam kerangka yang heteroseksual ataupun yang homoseksual. Dalam konteks ini Giddens menyampaikan bahwa dalarn confluent love akan menampakan kesetaraan dan persamaan dalam posisi, peran dan otonomi. Pada confluent love tidak menampilkan relasi yang monogami seperti yang terlihat pada cinta romantik yang sangat terikat. Confluent love juga secara spesifik tidak berkaitkan langsung dengan relasi heteroseksual. Menurut Giddens konsep confluent love akan terkait dengan sebuah proses transforrnasi menuju ke sebuah relasi yang disebut sebagai pure relationship atau sebagai sebuah konsep relasi yang mumi. Giddens berpendapat (1992:58). It (Pure Relationship) refers to a situasion where a social relation is entered into for its own sake,for what can be derived by each person from a sustained association with another; and which is continued only in so far it is thougt by both parties to delivered enough satisfaction for each individual to stay with in.
Dalam konsep ini jelas mengatakan bahwa transformasi relasi keintiman dan perkembangan sebuah relasi yang pure yang berakar pada kesetaraan dan penghargaan pada masing-masing pihak akhirnya dapat mengarah pada terwujudnya demokratisasi pada ruang individu yang bersifat pribadi. Dengan demikian tidak ada lagi pihak yang dirugikan dalam hal ini kaum perempuan tidak akan lagi merasa tertekan dan menjadi subyek yang tersubordinasi yang selalu dikontrol dalam relasi keintiman yang dibangunnya. Pada sebuah relasi yang pure akan nampak bentuk dan karakter keintimannya. Dalam hal ini keduanya akan mengalami perubahan. Noviani (2013:12) mengatakan bahwa keintiman dalam relasi murni mensyaratkan adanya
26
keterbukaan dan kesetaraan baik secara emosional, ekonomi maupun politis antara pihak yang terlibat didalamnya. Keintiman yang berbasis relasi murni tidak lagi dipengaruhi atau dikendalikan serta dikontrol oleh faktor eksternal. Lebih lanjut Noviani menjelaskan pada konteks pernikahan misalnya dalam pernikahan lebih merupakan kesepakatan yang berasal dari kedua belah pihak yang terikat dalam relasi itu. Tidak seperti pada masyarakat tradisional pemikahan berbasis relasi murni tidak lagi dipengaruhi oleh faktor ekstenal seperti kewajiban moral, sosial maupun agama. Giddens dalam konsep pure relationship ini meyakini akan terjadi mutual self-disclosure dari masing-masing pihak yang terlibat dalam relasi tersebut dimana trust atau kepercayaan akan terbangun didalamnya sehinggah bermuara pada terciptannya suatu apresiasi dan saling menghargai akan kualitas dan keunikan yang dimiliki satu sarna lainnya.
1.6.2 Perempuan Sebagai Subyek yang mencintai (The Loving Subject ) Gambaran subyek yang mencintai dalam sebuah relasi yang normal sangat jelas nampak pada sebuah hubungan yang disebut cinta, dimana subyek dalam hal ini perempuan menempatkan diri menjadi pihak yang aktif untuk mencari dan memilih agar bisa memgalami relasi-relasi keintiman yang romantik dengan obyek yang dicintainya dalam hal ini kekasihnya. Dalam proses ini perempuan sebagai subyek yang mencintai berada dalam sebuah kerangka pengaktualisasian diri. Setiap individu dalam hal perempuan akan berusaha mendapatkan pengakuan atau legitimasi dari pihak lain dalam hal ini kekasihnya. Fenomena seperti ini
27
akan terjadi dinamis dimana subyektifitas seseorang dalam konteks ini perempuan yang mana disebut sebagai the loving subject akan terus bergerak sehinggah mengalami transformasi yang secara kontinyu terus berubah-ubah. Dalam hal ini Giddens berpendapat bahwa seseorang akan menampakan narasi tentang dirinya yang mana itu akan menjadi sebuah proyek refleksif yang dinamis di mana setiap individu akan selalu memjaga, memperbaiki dan mengubah narasi dan biografi akan dirinya sendiri. Kepercayaan diri seseorang akan muncul dan berkoherensi serta berintegrasi dengan narasi akan dirinya. Menurut Giddens individu akan terlihat otonom dari pilihannya. Begitupun dengan perempuan sebagai the loving subject yang secara independen bisa menerima dan menolak atau meneruskan sebuah relasi yang terjadi pada dirinya. Disinilah apa yang disebut Giddens sebagai self-esteem dan kebanggaan. Pada kondisi ini perempuan akan menjadi pihak yang aktif dengan memberi ruang dan membangun relasi yang lebih comfortable dengan leluasa mengatur dan mengendalikan relasi hubungannya. Dengan demikian keintiman ideal yang didambakan perempuan dalam posisinya sebagai subyek yang mencintai akan bisa tercapai. Keintiman yang dibangun itu haruslah berbasis pada relasi murni seperti apa yang di sampaikan Giddens (1992) pada konsep pure relationship itu.
1.7
Metode Penelitian
Sebagai langkah awal penelitian ini dimulai dengan ditentukannya Novel Emma karya Jane Austen sebagai obyek material penelitian. Dari pembacaan yang
28
intensif dan menyeluruh ditemukan hal-hal yang spesifik yang kemudian dijadikan bahan penelitian dengan terlebih dahulu membuat pertanyaan penelitian yang mana pertanyaan itu menjadi obyek formal yang menjadi acuan analisis dengan menggunakan kajian pustaka. Keseluruhan proses penelitian ini terjabarkan dalam langkah – langkah berikut ini:
1
Proses Penggumpulan Data
Pada tahap ini data-data dalam bentuk kata, kalimat, symbol maupun gambar yang relevan dengan objek fonnal yang akan dikaji dikumpulkan. Dalam hal ini semua aspek – aspek narasi yang ada dalam obyek material ini baik itu percakapan atau dialog dalam bentuk kalimat atau pemyataan yang relevan isu yang dibahas yakni tentang keintiman dan relasinya serta perempuan sebagai subyek yang mencintai. Kedua isu ini sangat penting untuk mengetahui bagaimana persoalan yang menjadi obyek fonnal ini bisa terjawab. Dalam proses ini juga melihat bagaimana semua korpus data itu bisa menunjukan keterkaitan satu sarna lainnya. 2
Klasifikasi Data
Pada tahap ini korpus data yang sudah terkumpul sebelumnya diklasifikasikan lagi. Pengklasifikasian ini meliputi apa saja yang dalam subyek yang mencintai dalam novel tersebut dan apa saja yang dijelaskan pengarang berkaitan dengan hal – hal apa saja yang mengkondisikan emma sebagai subyek yang mencintai. 3
Seleksi Data
29
Pada tahap ini data yang sudah dikumpulkan dan diklasifikasikan diseleksi kembali untuk ditentukan yang sangat relevan dan akan digunakan. Penyeleksian ini bertujuan untuk lebih memfokuskan penelitian. 4
Analisis
Dalam tahap ini memfokuskan pada aspek-aspek narasi yang ada dalam novel Emma karya Jane Austen yang melingkupi percakapan atau dialog dalam narasi dalam bentuk kalimat – kalimat atau pernyataan yang relevan dengan isu – isu yang dibahas yakni tentang keintiman dan relasinya dan subyek yang mencintai. Kedua aspek ini sangatlah penting dalam mengetahuai bagaimana persoalan yang muncul dalam penelitan ini bisa terjawab. Peneliti terfokus pada bagaimana narasi didalam teks sastra tersebut yang memiliki koneksi – koneksi antara aspek – aspek tersebut. Bagaimana hubungan yang terjalin didalam narasi dan dinamika yang terjadi pada subyek yang mencintai menjadi pertimbangan utama.
1.8
Sistematika Penyajian
Penelitian ini terdiri dari tiga bagian. Latar belakang, Pembahasan dan Kesimpulan. Ketiga bagian tersebut di paparkan secara berurutan dalam empat Bab. Bab I yang merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian yang memuat tentang alasan alasan penulis mengambil kajian sosio-feminis tentang relasi keintiman dalam novel Emma karya Jane Austen, rumusan masalah berupa pertanyaan penelitian, yang penulis akan bahas, manfaat serta tujuan yang ingin dicapai dari peneltian ini, tinjauan pustaka yang berisi penelitian - penelitian
30
yang relevan yang sudah pernah dilakukan berkaitan dengan novel Emma yang akan dijadikan referensi penulis, landasan teori dari Anthoni Giddens tentang keintiman, metode penelitian yang berisi langkah - langkah yang akan dilakukan dalam menganalisis kajian ini. Bab II merupakan pembahasan masalah dari rumusan masalah yang ada pada Bab I. Dalam rumusan masalah terdapat dua masalah sehingga untuk bagian ini pembahasan masalah juga ada dua Bab yaitu Bab II dan Bab III. Bab II membahas masalah pertama yaitu bagaimana Jane Austen sebagai pengarang menggambarkan perempuan sebagai subyek yang mencintai dalam novelnya tersebut. Sedangkan Bab III membahas tentang alasan mengapa perempuan sebagai subyek yang mencintai itu diperjuangkan oleh Jane Austen. Bab IV berisi tentang kesimpulan dan saran dari pembahasan masalah yang diangkat.