1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Malnutrisi yaitu gizi buruk atau Kurang Energi Protein (KEP) dan defisiensi mikronutrien merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus terutama di negara-negara berkembang, yang merupakan faktor risiko penting terjadinya kesakitan dan kematian pada ibu hamil dan balita (Krisnansari, Diah, 2010). Malnutrisi akut adalah kekurangan nutrisi dalam jangka waktu lama sehingga menyebabkan kegagalan perrtumbuhan secara linear. Pada malnutrisi kronik, anak terlihat pendek, sedangkan tipe yang ketiga adalah malnutrisi akut dan kronik sehingga anak terlihat kurus dan pendek (London School of Hygiene and Tropical Medicine, 2009) Malnutrisi merupakan salah satu faktor penyebab utama kematian pada anak balita (Purdhon et al., 2006). Malnutrisi akut yang parah didefinisikan dengan indeks BB/TB yang sangat rendah atau oleh adanya edema (Myatt et al., 2006). Pada anak usia 6-59 bulan, lingkar lengan atas kurang dari 115 mm juga menunjukkan keadaan malnutrisi akut. Secara nasional prevalensi gizi buruk pada tahun 2010 adalah 17,9 persen yang terdiri dari 4,9 persen gizi buruk dan 13,0 gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4 persen) sudah terlihat ada penurunan. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen tahun 2007 menjadi 4,9 persen pada tahun 2010 atau turun sebesar 0,5 persen, sedangkan prevalensi gizi kurang masih tetap
1
2
sebesar 13,0 persen. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDGs tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi gizi buruk secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4 persen dalam periode 2011 sampai 2015 (RISKESDAS, 2010). Prevalensi malnutrisi di Indonesia pada tahun 2007 anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek adalah 18,4% sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90% kontribusi maslah gizi dunia. Pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi 17,9%. Prevalensi kurus dan sangat kurus berdasarkan BB/TB pada anak balita tidak turun bermakna selama 3 tahun terakhir. Menurut data Riskesdas 2010, sebanyak 13,3 persen anak balita masih di temukan kurus dan sangat kurus (BAPPENAS, 2011). Termasuk di Daerah Istimewa Yogyakarta. Prevalensi status gizi balita berdasarkan berat badan per tinggi badan (BB/TB) di Daerah Istimewa Yogyakarta menunjukkan Prevalensi Status Gizi balita sangat kurus 2,6% dan kurus 6,5% (kemenkes, 2012). Pada tahun 2010 angka kejadian balita gizi buruk berturut-turut di kabupaten di DIY adalah Kulonprogo 0,88%, Bantul 0,58%, Gunung Kidul 0,70%, Sleman 0,66 dan Kota Yogyakarta 1,10% dari 17.676 balita yang ditimbang (Profil DINKES, 2010). Malnutrisi diperkirakan berkontribusi lebih dari sepertiga dari seluruh kematian anak, meskipun masih kurang terdaftar sebagai penyebab langsung. Kurangnya akses terhadap makanan bergizi tinggi, terutama dalam hal ini harga pangan, merupakan penyebab umum dari kekurangan gizi. Pemberian
3
makanan yang buruk, seperti ASI tidak memadai, memberikan makanan yang salah, dan tidak memastikan bahwa anak mendapat cukup makanan bergizi, berkontribusi terhadap kekurangan gizi. Infeksi, terutama diare yang sering atau terus-menerus, pneumonia, campak dan malaria dapat merusak status gizi anak (WHO, 2012) Faktor yang menyebabkan terjadinya kejadian malnutrisi menurut data dari United Nations Children's Fund (UNICEF) terdapat dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk, yaitu kurangnya asupan gizi dari makanan dan akibat terjadinya penyakit yang menyebabkan infeksi. Kurangnya asupan gizi bisa disebabkan oleh terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan. Sedangkan, malnutrisi yang terjadi akibat penyakit disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik (Handono, Priyo,2010). Faktor ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat menjadi unsur penting dalam pemenuhan asupan gizi yang sesuai di samping perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan anak. Penyebab tidak langsung seperti pengelolaan lingkungan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai juga menjadi penyebab turunnya tingkat kesehatan yang memungkinkan timbulnya beragam penyakit (Siswono, 2009 cit Handono, Priyo, 2010). Penelitian yang dilakukan Huriah tahun 2006 penyebab tidak langsung gizi buruk dipengaruhi oleh beberapa
4
faktor yaitu, pola asuh, ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, faktor sosial ekonomi,serta budaya dan politik. International
Conference
on
Nutrition
(1992)
mendefinisikan
pengasuhan sebagai suatu kesepakatan dalam rumah tangga dalam hal pengalokasian waktu, perhatian dan dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental dan sosial dalam tumbuh kembang anak dan anggota keluarga lainnya (Engel et al. 1997). Secara khusus Engel (1997) sebagaimana dikutip Latham (1997) mendefinisikan pola pengasuhan anak balita sebagai perilaku pengasuhan yang meliputi pemberian ASI, diagnosa penyakit,
pemberian
makanan tambahan, stimulasi bahasa dan kemampuan kognitif lainnya serta pemberian dukungan emosional pada anak (Masithah, et al. 2005). Penatalaksanaan gizi buruk yang disebabkan oleh kekurangan gizi tingkat berat, yang nantinya bila tidak ditangani secara cepat, tepat dan komprehensif dapat mengakibatkan kematian pada balita. Perawatan gizi buruk dilaksanakan dengan 3 cara pendekatan tatalaksana anak gizi buruk rawat inap di Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat Pemulihan Gizi (Therapeutic Feeding Center) sedangkan gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan di Puskesmas, Poskesdes dan Pos pemulihan gizi berbasis masyarakat (Community Feeding Centre /CFC) (Minarto, 2011) Pada penelitian ini untuk mengatasi masalah balita malnutrisi salah satu institusi yang terlibat dalam melakukan program home care adalah puskesmas. Puskesmas sebagai ujung tombak yang dapat memberikan pelayanan kesehatan ke masyarakat yang masih aktif dalam penanganan
5
masalah gizi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Therry, (2005) membahas hasil tentang peningkatan nutrisi di rumah, menunjukan bahwa perawatan di rumah lebih efektif dan memberikan keuntungan seperti ibu bisa menjalankan fungsi dan perannya dalam mengasuh balita. Program home care dapat dilakukan oleh perawat puskesmas, karena perawat merupakan tenaga kesehatan terbesar di Indonesia. Dilihat dari data kementrian kesehatan tahun 2011 menunjukan jumlah perawat sebanyak 78.215 orang dari seluruh puskesmas di Indonesia, sehingga bisa dikatakan jumlah perawat di setiap puskesmas yaitu 8-9 orang. Sedangkan di provinsi DIY jumlah perawat 5.124 orang pada tahun 20011, dijabarkan jumlah perawat puskesmas 863 orang, perbandingan perawat dengan puskesmas yaitu 7,13 orang, di Kota Yogyakarta berjumlah perawatnya yaitu 77 orang (Kemenkes, 2012; Dinkes provinsi DIY, 2008; Dinkes Kota Yogyakarta, 2011). Program home care dilakukan untuk memberikan asuhan keperawatan mandiri yang dapat dilakukan keluarga sehingga lebih optimal dalam merawat anggota keluarganya sesuai dengan ketentuan tindakan keperawatan. Layanan yang diberikan dalam home care meliputi layanan medis, keperawatan, rehabilitasi, sosial, rumah sehat dan layanan lain yang dibutuhkan dan diterapkan di lingkungan keluarga (DEPKES, 2004). Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan secara profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan atau pemberi kontribusi dalam memberikan tindakan kesehatan. Keperawatan merupakan
6
suatu ilmu dan seni yang berkaitan dengan pasien seutuhnya atau secara komprenhensif yang meliputi: kesehatan fisik, mental dan spiritual. Dalam memberikan tindakan kesehatan, perawat akan merawat atau berbagai individu yang unik. Perawat diharapkan mampu menganalisis secara teoritis faktor yang ada dalam setiap situasi dan mengambil keputusan yang tepat. Pelaksanaannya berdasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spritual yang komprehensif (Mubarak & Chayatin, 2006). Keberhasilan dari program home care ditentukan oleh beberapa factor diantaranya adalah tingkat partisipasi keluarga dan kepatuhan perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan di rumah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Regina et al,. 2002 menyatakan bahwa kepatuhuan perawat dalam menerapkan standar asuhan keperawatan masih rendah yang dapat mempengaruhi faktor pelatihan standar asuhan dan pengetahuan perawat untuk memberikan pelayanan kesehatan di rumah. Penurunan
pelayanan
keperawatan
akan
mempengaruhi
mutu
pelayanan kesehatan. Studi yang dilakukan oleh Direktorat Keperawatan dan Keteknisian Medik Depkes RI bekerjasama dengan WHO tahun 2000 di 4 provinsi di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Sumatra utara, Sulawesi utara, dan Kalimantan timur, menemukan 47,4% perawat belum memiliki uraian tugas secara tertulis, 70,9% perawat tidak pernah mengikuti pelatihan dalam 3 tahun terakhir, 39,8% perawat masih melaksanakan tugas non keperawatan, serta belum dikembangkan system monitoring dan evaluasi kinerja perawat (Elly, 2011 cit Hasanbasri, 2007). Berdasarkan latar belakang masalah diatas,
7
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kepatuhan perawat dalam melakukan home care dengan peningkatan pola asuh keluarga pada balita malnutrisi di Kota Yogyakarta. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat di rumuskan masalah sebagai berikut : “ apakah ada hubungan kepatuhan perawat dalam melakukan home care dengan peningkatan pola asuh keluarga pada balita malnutrisi?” C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan kepatuhan perawat dalam melakukan home care dengan peningkatan pola asuh keluarga pada balita malnutrisi. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui kepatuhan perawat dalam melakukan program home care pada balita malnutrisi. b. Mengetahui peningkatan pola asuh orang tua sebelum dan setelah dilakukan home care pada balita malnutrisi.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian diharapkan bisa berguna bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan untuk dunia kesehatan pada khususnya dan bisa bermanfaat bagi keluarga dalam meningkatkan pola asuh pada balita malnutrisi.
8
2. Bagi Perawat Kesehatan Penelitin ini diharapkan bisa berguna bagi perawat kesehatan dalam menghadapi balita malnutrisi melalui program home care, sesuai dengan pola asuh keluarga yang diterapkan pada balita malnutirisi. 3. Bagi Keluarga Bagi orang tua balita ibu khususnya, hendaknya dapat memberikan gizi yang baik dan benar supaya status gizi anak balita menjadi lebih baik.
E. Penelitian Terkait 1. Aprian Elly, (2011) melakukan penelitian dengan judul gambaran kepatuhan perawat dalam menerapkan asuhan keperawatan di zaal penyakit dalam Rumah Sakit Umum Daerah Lahat. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kepatuhan perawat dalam melakukan tahapan pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dengan baik dan lebih banyak di bandingkan perawat yang melakukan tahapan pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi dengan baik dan cukup yang masih sedikit melakukannya. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada unutuk mengetahui apakah ada hubungan kepatuhan perawat dalam melakukan home care pada balita malnutrisi. 2. Daryanti Heny Kris, (2008) melakukan penelitian dengan judul faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan perawat dalam penerapan protap perawatan luka post operasi di ruang cendana RSUD Dr. Moewardi
9
Surakarta. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuahn perawat dalam melakukan protap post operasi sedangkan jenis penelitian ini adalah menggunakan rancangan
cross
sectional, dengan metode deskriptif analitik, datanya kuantitatif non eksperimen. Perbedaan dengan penelitian ini adalah kepatuhan perawat melakukan home care dengan mengobservasi perawat puskesmas yang melakukan intervensi. 3. Ayu, S (2008). Pengaruh Program Pendampingan Gizi Terhadap Pola Asuh, Kejadian Infeksi dan Status Gizi Balita Kurang Energi Protein. Jenis penelitian Ayu adalah kuasi eksprimen dengan desain penelitian Non Randomized Pre and Post Test Group, sampel yang di gunakan 102 balita (KEP) di
Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar Sulawesi
Selatan. Kesimpulan dari penelitian menyatakan bahwa Program Pendampingan Gizi meningkatkan pengetahuan
gizi ibu, pola
pengasuhan, dan status gizi balita KEP pada 3 bulan setelah pendampingan dimulai. Pendampingan gizi dilakukan oleh kader dan responden adalah balita gizi kurang. Kejadian penyakit infeksi menurun dari 72,5% menjadi 38,2% (p=0,001). Perbedaan dengan penelitian ini adalah homecare akan dilakukan oleh perawat puskesmas dan responden penelitian adalah balita malnutrisi. 4. Supadi, J. (2002) melakukan penelitian dengan judul analisis faktor-faktor pola asuh gizi ibu dengan status gizi anak umur 0-36 bulan di puskesmas Wonosalam II Kabupaten Demak. Penelitian ini bersifat eksplanatory,
10
dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Sampel terdiri dari 123 orang ibu yang mempunyai anak 0-36 bulan. Sampel dipilih secara gugus. Alat pengumpul data digunakan kouisoner. Formulir recall dan timbangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengetahuan ibu termasuk sedang, sebagian ibu bersikap positif terhadap pola asuh, pendikan ibu termasuk rendah dan sebagian ibu termasuk tidak bekerja. Pendapatan ibu temasuk bercukupan, keadaan kesehatan lingkungan sedang, sebagian ibu dalam mengasuh anak dengan menggunakan pola asuh demokratis. Konsumsi energi anak termasuk kurang konsumsi protein cukup dan masih terdapat anak yang mengalami gizi buruk atau kurang. Perbedaan penelitian ini pada variabelnya yaitu variebel bebas dan terikatnya. Penelitian ini variebel bebasnya pola asuh sedangkan peneliti menggunakan pola asuh sebagai variabel terikat.