BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pengertian Lingkungan Hidup menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan mempunyai andil yang besar untuk makhluk hidup, karena tanpa lingkungan yang baik dan bersih maka makhluk hidup tidak dapat berkembang biak dan hidup dengan baik. Cagar budaya merupakan salah satu bidang lingkungan hidup, karena dari pengertian lingkungan hidup itu sendiri dapat diketahui bahwa lingkungan hidup bersifat komprehensif dan holistik. Lingkungan hidup mencakup tiga segi lingkungan yaitu segi fisik (abiotik), lingkungan biologis (hayati) dan lingkungan sosial budaya. Unsur fisik disini adalah segala sesuatu yang ada disekitar kita, yang berwujud benda mati, dan merupakan bentukan dari alam, contohnya air, tanah, udara, dan gunung. Unsur biologis (hayati) adalah segala sesuatu yang ada disekitar kita yang merupakan makhluk hidup (organisme) contohnya manusia, hewan, tumbuhan, dan jasa organik. Unsur sosial budaya adalah segala sesuatu yang ada disekitar kita yang merupakan buatan manusia atau segala sesuatu yang berasal dari hasil pikiran dan akal budi ciptaan manusia, contonya gedung, jembatan, kesenian,
teknologi dan ilmu pengetahuan.1 Cagar budaya termasuk didalam unsur lingkungan sosial budaya, dimana cagar budaya merupakan buatan manusia yang berasa dari hasil pikiran dan akal budi. Oleh karena itu cagar budaya harus diatur dalam Undang-Undang, hal tersebut disebutkan dalam Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolahan Lingkungan Hidup (UUPLH) pada Pasal 9 ayat (3) “Pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim”. Dalam Pasal tersebut dapat diketahui bahwa perlindungan cagar budaya termasuk di dalam pengelolaan terpadu untuk mendapatkan lingkungan yang baik. Namun UUPLH tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 3 Oktober 2009 dan telah digantikan dengan UUPPLH. Pergantian Undang-Undang tersebut menurut Ilyas Asaad sebagaimana dikutip oleh Anis Kurniawan, adalah ketidak mampuan UU lama dalam menjawab berbagai problem Lingkungan Hidup di Indonesia karena setelah dua belas tahun diberlakukan, kerusakan lingkungan masih dominan, begitu pula dengan kasus-kasus lingkungan yang tidak pernah bisa diselesaikan dengan baik.2 Warisan Budaya sendiri dibedakan menjadi 2 menurut bentuknya yaitu cagar budaya bendawi (tangible) dan warisan budaya takbenda (intangible). Cagar
1 Febrianto Putra, “Pengertian dan Unsur unsur lingkungan hidup”, www.febrian.web.id/2014/04/pengertian-dan-unsir-unsur-lingkungan.html, diakses 21 April 2016 2 Anis Kurniawan, “UU PPLH No 32 Tahun 2009: Tonggak Baru Keberlanjutan LH”, http://kompasiana.com/aniskurniawan/uu-pplh-32-tahun-2009-tonggak-baru-keberlanjutanlh_550014c6a33311377250fa27.html , diakses 6 Januari 2016
Budaya menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UUCB) pada Pasal 1 butir 1 adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan, Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan, sedangkan Warisan Budaya Takbenda hanya sedikit disinggung di dalam penjelasan umum UUCB. Pengertian Warisan Budaya Takbenda sendiri terdapat di dalam Pasal 1 butir 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan Budaya Takbenda yaitu seluruh hasil perbuatan dan pemikiran yang terwujud dalam identitas, ideologi, mitologi, ungkapan-ungkapan konkrit dalam bentuk suara, gerak, maupun gagasan yang termuat dalam benda, sistem perilaku, sistem kepercayaan, dan adat istiadat di Indonesia. Saat ini dimana perkembangan teknologi membawa dampak yang cukup besar di segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang kebudayaan yang akan memberi dampak baik dan buruk untuk perkembangan kebudayaan Indonesia. Dampak buruk yang dapat ditimbulkan yaitu dengan teknologi yang maju membuat penyebaran kebudayaan sangat cepat, ditakutkan kebudayaan asli Indonesia tercampur dengan kebudayaan negara lain dan tidak dapat diketahui identitasnya lagi, kemungkinan paling buruk adalah kebudayaan Indonesia diklaim oleh negara lain.
Seperti yang diketahui bahwa Indonesia merupakan negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan setiap pulaunya memiliki berbagai macam kekayaan tradisional serta keragaman budaya dari berbagai macam etnis, ras dan suku bangsa. Keragaman budaya dan tradisi sudah lama hidup dan berkembang menjadi saksi sejarah hidup Indonesia dan menjadi aset yang tak ternilai harganya. Pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional merupakan kekayaan Indonesia yang tidak ternilai sebagai sebuah identitas bangsa. Sebanding dengan karya internasional sebagai aset negara yang tidak ada duanya 3. Oleh karena itu diperlukan perlindungan hukum terhadap kebudayaan Indonesia agar tidak diakui oleh negara lain, karena selain sebagai identitas diri bangsa, kebudayaan juga dapat digunakan sebagai pengetahuan sejarah untuk masa sekarang serta masa yang akan datang. Telah dijelaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa salah satu tujuan pembentukan NKRI adalah untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, dengan tujuan tersebut maka negara wajib untuk melindungi dan mengupayakan kesejahteraan umum. Pada dasarnya perlindungan hukum terhadap Warisan Budaya Takbenda di Indonesia sudah ada, namun hanya berupa peraturan pelaksana yaitu Permen Nomor 106 Tahun 2013, yang mana masih dinilai masih lemah dalam penegakannya sehingga perlu peraturan yang lebih kuat seperti Undang-Undang. Walaupun perlindungan hukum untuk Warisan Budaya Takbenda
3
Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, “Perlindungan Hukum Kebudayaan Daerah”, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, hlm v
belum cukup kuat, tetapi setiap daerah di Indonesia melakukan berbagai cara untuk tetap mempertahankan kebudayaannya masing-masing semenjak terjadinya pengklaiman oleh negara lain terhadap kebudayaan Indonesia. Sebut saja Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti yang diketahui semua orang bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta adalah Provinsi yang terkenal dengan kekentalan tradisi dan budayanya. Dengan identitasnya sebagai daerah tradisi, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) melakukan berbagai cara untuk tetap melindungi tradisinya yaitu dengan perayaan festival budaya rutin, seminar dan lain sebagainya. Dengan dasar otonomi daerah dan Undang-Undang KeIstimewaannya, Pemerintah Daerah DIY mengeluarkan beberapa Peraturan Gubernur tentang kebudayaan dengan tujuan tidak lain adalah melindungi kebudayaan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2012
tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Provinsi DIY memiliki wewenang istimewa dalam mengatur bidang kebudayaan Provinsi DIY. Menurut Undang-Undang
Keistimewaan
tersebut,
dijelaskan
bahwa
kewenangan
kebudayaan diselenggarakan untuk memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY. Dengan dasar Undang-Undang Keistimewaan tersebut pemerintah DIY melakukan perlindungan terhadap kebudayaannya dengan program desa budaya dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Desa/Kelurahan Budaya. Adapun yang dimaksud dengan desa budaya menurut Peraturan Gubernur Nomor 36 Tahun 2014 tentang Desa/Kelurahan Budaya pada Pasal 1 butir 2 adalah desa atau kelurahan yang mengaktualisasikan, mengembangkan, dan mengkonservasi kekayaan potensi budaya yang dlimilikinya yang tampak pada adat dan tradisi, kesenian, permainan tradisional, bahasa, sastra, aksara, kerajinan, kuliner, pengobatan tradisional, penataan ruang, dan warisan budaya. Definisi dari budaya sendiri disebutkan dalam Pergub Desa Budaya padal Pasal 1 butir 11 yaitu aktivitas manusia baik secara lahiriah maupun batiniah dan hasil-hasilnya, diantaranya dalam wujud adat dan tradisi, kesenian, permainan tradisional, bahasa, sastra, aksara, kerajinan, kuliner, pengobatan tradisional, penataan ruang, dan warisan budaya. Desa budaya ini dibentuk karena masyarakat dan Pemerintah Daerah sadar bahwa kebudayaan wajib dilindungi karena merupakan identitas bangsa dan berguna untuk pengetahuan sejarah serta kesejahteraan bangsa. Namun dalam Peraturan Gubernur tentang Desa Budaya tersebut tidak mengatur spesifik mengenai tata cara perlindungan kebudayaan yang merupakan Warisan Budaya Takbenda itu sendiri, hanya diatur mengenai desa budaya dan pengelolahannya, sehingga diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai perlindungan hukum Warisan Budaya Takbenda berupa kebudayaan yang dilakukan oleh desa budaya. Dengan tidak diaturnya secara spesifik perlindungan hukum terhadap Warisan Budaya Takbenda di dalam desa budaya tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum Warisan Budaya Takbenda oleh desa budaya di lapangan.
Pada saat pertama kali dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah DIY, Desa Budaya hanya berjumlah 32 (tiga puluh dua) desa, namun dengan seiring berkembangnya kesadaran akan pentingnya perlindungan kebudayaan, saat ini Desa Budaya berjumlah 43 (empat puluh tiga) desa. Salah satu bentuk pengawasan dan pemantauan perkembangan desa budaya adalah dengan diadakannya penilaian dan pengklasifikasian Desa Budaya pada tahun 2007 lalu. Dengan penilaian tersebut, Desa Budaya dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Desa Budaya embrio, berkembang, dan maju. Salah satu Desa Budaya yang terkenal atas prestasinya adalah Desa Brosot yang berada pada Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo. Penelitian ini dilakukan di Desa Brosot dengan alasan berdasarkan hasil penilaian tim akreditasi pada tahun 2007, Desa Brosot merupakan Desa yang mendapatkan nilai rata-rata tidak tinggi dan tidak rendah yaitu 270 dari nilai ratarata 500 dan termasuk dalam klasifikasi Desa Budaya Berkembang, sehingga mempermudah penulis dalam melihat perkembangan Desa Budaya didalam klasifikasi Berkembang. Desa Brosot adalah sebuah desa yang terletak di bagian tenggara Kabupaten Kulon Progo yang mempunyai 10 Pendukuhan yang terdiri atas 44 RT dan 20 RW. Desa Brosot ditetapkan sebagai Desa Budaya karena memiliki berbagai potensi terpendam mulai dari potensi tatanan sosial, adat istiadat dan tradisi (yang sampai sekarang masih tetap hidup dalam lingkungan masyarakat). Desa Brosot ditetapkan oleh Gubernur sebagai Desa Budaya melalui SK Gubernur Nomor 325/KPTS/1995.4 Selain dari alasan tersebut, penulis
Anonim, “Profil Desa Budaya Desa Brosot Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo (Rekontruksi 2012)”, http://desabudaya-brosot.blogspot.co.id/2012/11/rofildesa-budayadesabrosot-kecamatan.html , diakses 6 Januari 2016 4
melakukan studi kasus di Desa Brosot dengan saran dan rekomendasi dari Dinas Kebudayaan Provinsi DIY karena data perkembangan Desa Brosot termasuk data bagus dan didukung dengan penduduk yang ramah dan dapat diajak bekerja sama dalam penelitian ini. Kehilangan budaya dan tradisi sama halnya dengan kehilangan identitas bangsa dan akan sangat merugikan bagi masa yang akan datang.Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai sejarah masa lalunya. Jadi perlindungan Warisan Budaya Takbenda baik dari segi hukum maupun dari segi usaha masyarakat sangat diperlukan, agar jati diri Bangsa Indonesia tidak hilang, dan cagar budaya tetap dapat berbicara serta bercerita bagaimana sejarah dan jati diri Bangsa Indonesia pada masa yang akan datang.
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang menjadi fokus dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum Warisan Budaya Takbenda melalui program Desa Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta? 2. Bagaimana implementasi perlindungan hukum terhadap Warisan Budaya Takbenda pada desa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya Desa Budaya Brosot?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan subyektif, untuk memperoleh data dan bahan-bahan yang berguna dalam penyusunan penulisan hukum sebagai prasyarat memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2. Tujuan obyektif, yaitu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam rumusan masalah sebagai berikut: a.
Mengetahui pengaturan perlindungan hukum Warisan Budaya Takbenda melalui program Desa Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta.
b.
Mengetahui implementasi perlindungan hukum terhadap Warisan Budaya Takbenda pada desa budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya Desa Budaya Brosot.
D. Manfaat Penelitian Penulis berkeyakinan bahwa akan banyak manfaat dan kegunaan yang dapat diperoleh melalui penelitian ini. Adapun kegunaan yang dapat diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Penulis Penelitian ini akan sangat bermanfaat dalam menambah pengetahuan terhadap perlindungan hukum Warisan Budaya Takbenda di Indonesia terutama di Yogyakarta, serta meningkatkan sikap kritis penulis atas segala sesuatu yang terjadi di masyarakat. 2. Bagi Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pemerintah dan/atau pembentuk peraturan Perundang-Undangan agar semakin memberi perhatian khusus kepada perlindungan Warisan Budaya Takbenda di Indonesia. 3. Bagi Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai Warisan Budaya Takbenda dan peraturannya, serta untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pelestarian budaya dan tradisi yang merupakan Warisan Budaya Takbenda. 4. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini akan semakin memperkaya informasi dan wawasan pemikiran khususnya dalam mempelajari perlindungan hukum cagar budaya yang termasuk dalam lingkup Ilmu Hukum Lingkungan. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan baik yang terdapat dalam perpustakaan FH UGM, perpustakaan pusat UGM, dan pada dunia maya yang dilakukan oleh peneliti, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa penelitian terkait dengan perlindungan hukum terhadap cagar budaya dan Warisan Budaya Takbenda, yaitu antara lain : 1. Penulisan hukum yang disusun oleh Julia Dara, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2010 yang rinciannya sebagai berikut : a. Judul
“Perlindungan Hukum Terhadap Bangunan Tradisional Sebagai Benda Cagar Budaya Berdasarkan Asas Kearifan Lokal (Studi Kasus Penjualan Rumah-Rumah Joglo di Kotagede, DIY)” b. Rumusan Masalah 1) Bagaimana
status
serta
perlindungan
hukum
yang
sebenarnya dimiliki oleh rumah Joglo berdasarkan UUBCB beserta peraturan pelaksanaannya? 2) Apa bentuk kearifan lokal dari masyarakat Kotagededalam melindungi rumah Joglo di Kotagede? c. Perbedaan dengan penelitian peneliti Bedasarkan pengamatan penulis terhadap penulisan hukum tersebut, terdapat perbedaan dengan penulisan hukum yang akan dibuat oleh peneliti, baik dari segi perumusan masalah, tujuan penelitian, maupun cakupan pembahasannya. Penelitian tersebut berfokus kepada perlindungan hukum rumah tradisional Joglo yang mana merupakan cagar budaya bendawi, dan mengulas tentang teori dan aturan yang terkait dengan cagar budaya bendawi yang kemudian dibandingkan dengan kearifan lokal masyarakat setempat, sementara yang penulis teliti adalah mengenai perlindungan hukum terhadap Warisan Budaya Takbenda melalui Desa Budaya di Yogyakarta.
2. Penulisan hukum yang disusun oleh Reyner, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada tahun 2012 yang rinciannya sebagai berikut : a. Judul “Upaya Perlindungan Cagar Budaya di Indonesia (Studi Kasus Pembongkaran Eks Pabrik Es Saripetojo di Kota Surakarta, Jawa Tengah)” b. Rumusan Masalah 1) Apakah poin krusial dalam kontroversi pembongkaraan Eks Pabrik Es Saripetojo sebagai Cagar Budaya? 2) Bagaimana upaya yang dilakukan mauapun kendala yang ditanggapi dalam perlindungan cagar budaya khususnya pada Eks Pabrik Saripetojo c. Perbedaan dengan Penelitian peneliti Bedasarkan pengamatan penulis terhadap penulisan hukum tersebut, bahwa terdapat perbedaan penulisan hukum yang akan dibuat oleh penulis dengan penulisan hukum tersebut, baik dari segi perumusan masalah, tujuan penelitian, maupun cakupan pembahasannya. Penelitian tersebut berfokus terhadap upaya perlindungan hukum dari cagar budaya bendawi yaitu Eks Pabrik Saripetojo yang dibongkar yang bertempat di Surkarta Jawa Tengah, sedangkan yang penulis teliti adalah mengenai
perlindungan hukum terhadap Warisan Budaya Takbenda melalui Desa Budaya di Yogyakarta. 3. Penelitian Dosen yang disusun oleh Fajar Winarni, S.H., M.Hum dan Dinarjati Eka Puspitasari, S.H., M.Hum, Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan rincian sebagai berikut a. Judul “Urgensi Perlindungan Cagar Budaya Tidak Berwujud” b. Rumusan Masalah 1) Bagaimanakah pengaturan perlindungan cagar budaya tidak berwujud di Indonesia? 2) Bagaimanakah upaya pemerintah Indonesia menghadapi klaim budaya Indonesia oleh Malaysia? c. Perbedaan dengan Penelitian peneliti Bedasarkan pengamatan penulis terhadap penelitian dosen tersebut, bahwa terdapat perbedaan penulisan hukum yang akan dibuat oleh penulis dengan penelitian dosen tersebut, baik dari segi perumusan masalah, tujuan penelitian, maupun cakupan pembahasannya. Penelitian tersebut menititik beratkan terhadap pengatiran cagar budaya tidak berwujud yang ada di Indonesia dengan mengulas tentang klaim-klaim yang pernah dilakukan Malaysia terhadap kebudayaan Indonesia. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan penulis berfokus terhadap perlindungan
Warisan Budaya Takbenda melalui Desa Budaya yang berdasarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berdasarkan jurnal dan penulisan hukum yang telah ditelusuri tersebut, dapat disimpulkanm bahwa penulisan hukum yang dibuat oleh penulis dengan judul “Implementasi Perlindungan Hukum Terhadap Warisan Budaya Takbenda di Daerah Istimewa Yogyakarta Melalui Desa Budaya (Studi Kasus Di Desa Budaya Brosot Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo)” belum pernah diteliti ataupun dipublikasikan sebelumnya.