BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Komunikasi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Komunikasi menjadi tali penghubung dalam hubungan antar manusia. Dalam berkomunikasi, dibutuhkan suatu elemen dasar dalam penerapannya, yaitu bahasa. Komunikasi ditujukan untuk menyampaikan suatu informasi dari informan kepada penerima dan bahasa menjadi media dalam penyampaian informasi tersebut. Secara garis besar elemen bahasa terdiri dari dua macam, yakni elemen bentuk dan elemen makna, atau untuk ringkasnya disebut makna. Bentuk adalah elemen fisik tuturan. Bentuk dari tataran terendah sampai dengan tertinggi diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana (Kridalaksana, 1993: 321). Bentuk-bentuk kebahasaan yang berwujud bunyi, suku kata, morfem (pada umumnya), kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana adalah unsur-unsur kebahasaan yang dapat dipisah-pisahkan atau disegmentasikan, sehingga disebut juga dengan unsur segmental. Selain unsur segmental, terdapat pula bentukbentuk kebahasaan yang perwujudannya diiringi dengan unsur-unsur yang tidak dapat dibagi-bagi. Unsur tersebut disebut dengan unsur suprasegmental. Unsurunsur suprasegmental ini terdiri atas keras lemahnya suara (tekanan), tinggi rendahnya suara (nada), panjang pendeknya ucapan (durasi), dan jarak waktu pengucapan (jeda). Variasi unsur suprasegmental di dalam tuturan seseorang 1
2
disebut intonasi. Di dalam bahasa tulis, unsur-unsur suprasegmental digambarkan dengan tanda baca, seperti koma (,), titik (.), tanda tanya (?), tanda seru (!), titik koma (;), dan sebagainya (Wijana 2011: 2). Selain elemen bentuk, ada pula elemen makna. Ada tiga hal yang dicoba jelaskan oleh para filsuf dan linguis sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata makna diartikan: (i) arti: ia memperhatikan makna setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu, (ii) maksud pembicara atau penulis, (iii) pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan. (Depdikbud, via Pateda, 2001: 82). Dalam era globalisasi ini, bukan tidak mungkin kita mempelajari maupun mengerti bahasa lain secara luas. Bukan tidak mungkin pula membaca atau menikmati hasil karya sastra seperti novel, buku, maupun seri ensiklopedia dari bahasa lain. Akan tetapi, tidak semua orang mampu mengerti bahasa asing secara mendalam. Oleh karena itu lah penerjemahan memiliki posisi penting dalam hal ini. Pada dasarnya terjemahan adalah perubahan bentuk. Ketika kita berbicara tentang bentuk bahasa, kita mengacu pada kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf yang diucapkan atau dituliskan. Dalam proses penerjemahan bentuk dari bahasa sumber digantikan oleh bentuk bahasa sasaran (Larson, 1984: 3). Dalam hal ini, penerjemah mungkin saja melakukan teknik pengubahan bentuk, baik penambahan ataupun pengurangan bentuk teks asli ke bahasa teks sasaran agar maksud dan makna dari teks asli dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca.
3
Oleh karena itu proses penerjemahan akan sangat berkaitan erat dengan bentuk dan makna dari suatu bahasa. Menerjemahkan merupakan kegiatan mengalihkan makna yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, kemudian mewujudkannya kembali ke dalam bahasa sasaran dengan bentuk sewajar mungkin menurut aturan yang berlaku pada bahasa sasaran (Cahyono Aji, 2004: 9). Perbandingan teks-teks dalam bahasa yang berbeda pasti melibatkan teori kesepadanan. Kesepadanan dikatakan sebagai tujuan utama dalam terjemahan. Catford (via Cahyono Aji, 2004: 2) mengemukakan bahwa masalah utama dalam penerjemahan adalah bagaimana menentukan padanan terjemahan di dalam bahasa sasaran. Demikian pula Barnstone (via Nababan,1993: 93) yang bependapat bahwa masalah kesepadanan merupakan bagian inti dari teori penerjemahan karena praktik penerjemahan selalu melibatkan pencarian padanan. Sedikitnya jumlah penelitian-penelitian mengenai terjemahan yang kemudian mendorong untuk melakukan penelitian terjemahan berdasarkan teoriteori terjemahan yang sudah ada. Tentu saja kemampuan penguasaan bahasa sumber maupun bahasa sasaran digunakan sebagai modal awal dalam melakukan proses penerjemahan. Penelitian ini mengarah kepada penelitian antarbahasa, yaitu proses penerjemahan dari teks bahasa Korea sebagai Bahasa Sumber (bSu) ke bahasa Indonesia sebagai Bahasa Sasaran (bSa). Dengan melihat proses tersebut, akan diketahui proses pemadanan leksikal maupun gramatikal. Komik seri ensiklopedia bergambar berjudul Why? Uju “Why? The Universe Alam
4
Semesta” yang ditulis oleh Lee Kwang Woong, digunakan sebagai bahan penelitian dalam penelitian ini. Permasalahan yang muncul pada penerjemahan teks komik ensiklopedia Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta” ini adalah upaya pemadanan leksikal, seperti contoh pada kalimat berikut ini : 1) 미확인 비행 물체 (UFO) (Mihwak-in bihaeng mulchae)
미확인
비행
Tak dikenal pesawat
물체 benda
Pada contoh di atas terdapat leksem 비행 (bihaeng) yang bermakna ‘pesawat’, jika diartikan akan menjadi ‘pesawat terbang tak dikenal’, tetapi akhirnya digunakan kata ‘piring terbang’ untuk merefleksikan arti dari ‘pesawat terbang tak dikenal’. Budaya bahasa dan kebiasaan penyebutan dalam bahasa sasaran digunakan dalam proses penerjemahan ini. Permasalahan lain yang timbul akan lebih beragam jika dalam teks terdapat bentuk penerjemahan frasa, kalimat bentuk jamak dan lain-lain. Pada tahun 2009, komik Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Yuliawati Dwi Widyaningrum dan diterbitkan oleh PT. Elex Media Komputindo. Tidak semua kata dalam bahasa Korea dapat diterjemahkan secara literal ke dalam bahasa Indonesia, sehingga
5
penerjemah perlu mencari padanan kata yang tepat sehingga informasi yang sampai ke pembaca sesuai dengan teks pada edisi bahasa Korea. Dipilihnya teks komik Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta” ini dikarenakan teks tersebut memiliki kalimat-kalimat sederhana yang sesuai dengan kemampuan penerjemahan dalam upaya penentuan kesepadanan leksikal. Selain itu, belum ada penelitian yang dilakukan terhadap komik berbentuk ensiklopedia pengetahuan anak. Di Indonesia sendiri masih sedikit bentuk buku ensiklopedia pengetahuan bagi anak dengan bentuk dan gambar yang menarik seperti komik Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta” ini. 1.2 Rumusan Masalah •
Apa faktor penentu kesepadanan leksikal pada teks yang terdapat pada komik Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta”?
•
Bagaimana cara menentukan kesepadanan leksikal pada teks yang terdapat pada komik Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta”?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan faktor-faktor yang dapat menentukan kesepadanan leksikal dalam komik Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta”, selain itu terdapat manfaat teoritis dan praktis dalam penelitian ini. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam bidang ilmu linguistik khususnya semantik, serta menambah pembahasan tentang studi kesepadanan khususnya kesepadanan leksikal. Secara praktis, penelitian ini
6
diharapkan dapat menambah pengetahuan khalayak umum mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesepadanan kata, terutama kata sifat.
1.4 Ruang Lingkup Penelitian Analisis yang akan dibahas hanya akan dibatasi pada kesepadanan leksikal khususnya kata sifat dalam chapter atau bab mengenai planet-planet. Planet tersebut adalah Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Adanya pembatasan ini dikarenakan jika terlalu banyak sumber yang akan diteliti ditakutkan menyebabkan penyimpangan-penyimpangan penelitian.
Selanjutnya
kesalahan-kesalahan
yang
terjadi
pada
proses
penerjemahan juga tidak akan menjadi fokus penelitian dalam analisis ini. 1.5 Kajian Pustaka dan Kajian Studi Penelitian yang telah dilakukan dan sejenis dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan Faizah dalam skripsinya yang berjudul Ekivalensi Leksikal dan Gramatikal Teks Bilingual Bambi’s Game. Fokus penelitiannya adalah mengkaji hasil terjemahan dengan membandingkan antara teks sumber dengan teks sasaran, sehingga diketahui faktor penentu kesepadanan leksikal maupun gramatikal. Faizah juga menjelaskan proses penerjemahan dalam teks tersebut yang terdiri dari terjemahan dengan teknik penambahan, pengurangan, adaptasi leksikal, peresiduan, dan penyesuaian gramatikal. Dwi Cahyono Aji pun melakukan penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini. Penelitiannya yang berjudul Penerjemahan Teks Cerita Dean’s
7
Story Analisis Ekivalensi Leksikal dan Gramatikal berisi tentang penentuan ekivalensi leksikal, ekivalensi gramatikal, strategi penerjemahan dan pergeseran dalam penerjemahan, baik pergeseran bentuk maupun makna sehingga diketahui faktor kesepadanan, dilihat dari koteks, konteks, makna figuratif,
pergeseran
makna dalam teks, dan masih banyak lagi. Novahana Sumaryono dalam penelitiannya yang berjudul Bentuk Ekuivalensi Leksikal dalam Komik Seuwiteu Resipi “Swewt Recipe” meneliti mengenai masalah kesepadanan leksikal. Dalam penelitian tersebut faktor-faktor yang mempengaruhi kesepadanan leksikal adalah adanya koteks, konteks, semantik leksikal, kolokasi dan hubungan makna pada unit-unit leksikal. J.C Catford dalam bukunya yang berjudul A Linguistic Theory of Translation menegaskan bahwa kesepadanan merupakan tujuan pokok dari suatu penerjemahan. Catford juga menjelaskan bahwa kesepadanan menjadi akhir dari tujuan suatu penerjemahan dan pengabaian kesepadanan dapat mengakibatkan adanya pergeseran makna atau bahkan penyimpangan makna. M.A.K Halliday & Ruqaiya Hasan dalam bukunya yang terbit pada tahun 1976 dengan judul Cohesion in English, menjelaskan tentang kohesi baik pada tataran leksikal maupun gramatikal. Kohesi leksikal terdiri atas sinonimi, repetisi dan kolokasi, sedangkan Halliday & Hasan membagi kohesi gramatikal menjadi 4 jenis, yaitu referensi, ellipsis, konjungsi dan substitusi. Dalam bukunya yang berjudul Semantik Leksikal, Mansoer Pateda menjelaskan makna-makna dalam kata dan jenis makna. Makna amat erat
8
kaitannya dengan kesepadanan karena pencarian kesepadanan baik kata maupun struktur gramatikal berhubungan dengan maksud atau makna yang akan disampaikan. Mildred L. Larson, dalam bukunya yang berjudul Meaning-based Translation: A Guide to Cross-language Equivalence, menjelaskan bahwa terjemahan terbaik adalah yang menggunakan bentuk bahasa normal dari bahasa sasaran, memiliki makna yang sama, yang dipahami oleh pembicara (penulis) dari bahasa sumber, dan mempertahankan dinamika teks bahasa sumber asli. I Dewa Putu Sujana dan Muhammad Rohmadi. dalam bukunya yang berjudul Semantik: Teori dan Analisis, menjelaskan berbagai elemen kebahasaan dan bentuk bahasa yang terdiri dari unsur-unsur yang membangunnya. Dalam buku terbitan Yuma Pustaka pada tahun 2008 tersebut diuraikan pula jenis-jenis makna yang dilihat dari sudut pandang berbeda-beda dan perubahannya, seperti perubahan makna yang meluas, menyempit, membaik, serta memburuk. George Yule, dalam bukunya yang berjudul Pragmatik, menjelaskan mengenai makna-makna yang diucapkan oleh penutur dan ditafsirkan oleh para pendengar. Dalam buku terbitan tahun 2006 tersebut dijelaskan pula tipe studi tentang maksud penutur dengan melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan oleh orang di dalam suatu konteks khusus dan bagaimana konteks itu berpengaruh terhadap apa yang diucapkan. Roger T. Bell menjelaskan bahwa makna kata dapat dibedakan pada kehadiran masing-masing penjelasnya, yaitu koteks dan konteks. Dalam bukunya
9
yang berjudul Translation and Translating: Theory and Practice, Bell menjelaskan tanpa adanya koteks dan konteks, interpretasi yang dimaksudkan penulis/penutur dapat ditangkap berbeda oleh pembaca/pendengar karena adanya perbedaan pengalaman yang dirasakan masing-masing pihak. M. Rudolf Nababan menjelaskan pentingnya teori kesepadanan pada suatu penerjemahan dalam bukunya yang berjudul Teori Menerjemah Bahasa Inggris. Berbeda dengan Catford, Nababan membedakan sendiri tipe kesepadanan menurut tataran katanya. Oleh karena itu, penggunaan informasi dalam buku ini hanya dibatasi pada teori yang dikemukakan. 1.6 Landasan Teori Catford merupakan seorang tokoh penting dalam studi terjemahan. Menurut pendapatnya, ekivalensi atau kesepadanan merupakan konsep kunci dan masalah inti penerjemahan. Catford (via Cahyono Aji, 2004: 10) mengemukakan bahwa istilah kunci dan inti permasalahan dalam terjemahan adalah kesepadanan. Lebih jauh, Catford membagi dua macam kesepadanan menjadi dua, yaitu kesepadanan leksikal dan kesepadanan gramatikal. Penelitian ini menekankan pada ekivalensi leksikal, oleh karena itu pembahasan mengenai ekivalensi atau kesepadanan gramatikal tidak akan dijelaskan lebih lanjut. Ekivalensi (kesepadanan) leksikal adalah proses kesepadanan dengan mengikuti proses infleksi atau derivasi bSu ke bSa. Dalam suatu pencarian kesepadanan makna, seringkali ditemukan kesulitan sebagai akibat seringnya ditemukan sebuah kata yang memiliki makna beragam atau lebih dari satu. Oleh
10
karena itu, ada 2 hal yang tidak dapat dipisahkan dari pencarian suatu padanan, yaitu koteks dan konteks.
Koteks merupakan suatu bagian linguistik dengan
menggunakan ungkapan yang dipakai sebagai acuannya. Koteks merujuk pada hubungan antar satuan kata atau bahasa, satuan kata atau bahasa tersebut dapat mengikuti maupun mendahului satuan yang lain. Satuan bahasa yang mendahului teks disebut prakoteks, sedangkan satuan kebahasaan yang mengikuti suatu teks disebut pascakoteks. Koteks merupakan suatu unsur internal teks dan menghubungkan semua unsur antarsatuan teks. Selain koteks, terdapat pula konteks, atau lingkungan fisik. Konteks lebih mudah dikenali karena memiliki pengaruh kuat tentang bagaimana ungkapan pengacuan tersebut seharusnya diinterpretasikan (Yule, 1996:36). Konteks bersifat nonlinguistik dan berada di luar teks. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti dalam partisipan bahasa, situasi teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan dan lain sebagainya. Bell menjelaskan bahwa teks tanpa konteks akan memberi bahaya pada penjelasan yang tidak alamiah pada teks tersebut (1991: 83). Koteks dan konteks inilah yang perlu diperhatikan dalam menentukan makna yang sepadan (Cahyono Aji, 2004: 20). Catford berpendapat bahwa “Equivalence probability are, in fact, constantly affected by contextual and co-textual factor” , ‘ekivalensi secara konstan dipengaruhi oleh faktor kontekstual dan kotekstual’ (1965: 31). Berikut sebagai contoh : 2) Table (..?..) table manner (etika makan), rounded table (meja bundar), table of contents (daftar isi)
11
Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa table memilliki padanan leksikal yang berbeda-beda, perbedaan tersebut dikarenakan adanya faktor prakoteks dan pascakoteks. Satuan kebahasaan yang mendahului teks disebut prakoteks dan satuan kebahasaan yang mengikuti suatu teks disebut dengan pascakoteks. Dalam kata table manner, penerjemahan kata table yang seharusnya dapat diartikan menjadi ‘meja’ berubah menjadi kata ‘makan’. Hal ini disebabkan adanya pascakoteks manner yang bermakna ‘etika’. Kata ‘etika’ akan menjadi tidak sepadan apabila digabungkan dengan kata ‘meja’ dan menjadi ‘etika meja’. Begitu pula halnya dengan penerjemahan kata table dalam table of contents. Table of contents merupakan penerjemahan dari ‘daftar isi’, hal ini disebabkan oleh adanya pascakoteks (of) contents. Dikarenakan adanya pascakoteks tersebut, kata table dalam table of contents tidak dapat diartikan menjadi ‘meja’. Lain halnya dalam rounded table, pengaruh prakoteks rounded atau ‘bundar’ dapat menjelaskan kata table sebagai sebuah ‘meja’. Koteks merupakan suatu unsur internal teks dan menghubungkan semua unsur antar satuan teks. Seperti yang dituliskan di atas, penyepadanan makna tidak hanya dipengaruhi oleh koteks, tetapi juga oleh konteks kalimat. Makna kontekstual memiliki makna situasional (situasional meaning) yang muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks (Pateda, 2001 : 117). Pateda membagi konteks tersebut seperti di bawah ini :
12
a. Konteks orangan, memaksa pembicara untuk mencari kata-kata yang maknanya dipahami oleh kawan bicara sesuai dengan jenis kelamin,
latar
belakang
sosial
ekonomi,
latar
belakang
pendidikan. b. Konteks situasi, memaksa pembicara mencari kata yang maknanya berkaitan dengan situasi yang sedang terjadi. c. Konteks tempat, misalnya di pasar, di sekolah, semuanya akan mempengaruhi kata yang digunakan atau turut mempengaruhi makna kata yang digunakan, misalnya makna yang berhubungan dengan informasi. d. Konteks formal/tidaknya pembicaraan, memaksa orang harus mencari kata yang bermakna sesuai dengan keformalan/tidaknya pembicaraan. e. Konteks suasana hati pembicara/pendengar, suasana hati pembicara/pendengar akan mempengaruhi kata yang berakibat pula pada makna. Contoh yang dapat diketahui adalah semisal suasana hati pembicara sedang jengkel, maka dimungkinkan munculnya kata kasar dalam percakapan tersebut. f. Konteks waktu, konteks ini dapat muncul semisal waktu akan tidur, atau waktu saat-saat orang akan bersantap. Jika seseorang bertamu pada waktu seseorang akan beristirahat, maka orang diajak bicara akan merasa kesal.
13
g. Konteks tujuan, memaksa orang untuk mencari kata yang sesuai dengan tujuan diucapkannya kata tersebut, seperti contoh apabila memiliki tujuan meminta, maka orang akan mencari kata-kata yang maknanya meminta. h. Konteks objek, yang mengacu kepada fokus pembicaraan akan turut mempengaruhi makna kata yang digunakan. i. Konteks kelengkapan alat bicara/dengar, kelengakapan alat bicara/dengar
akan turut mempengaruhi makna kata yang
digunakan. j. Konteks kebahasaan, maksudnya hal-hal yang berhubungan dengan
kaidah
bahasa
yang
bersangkutan
akan
turut
mempengaruhi makna.
1.7 Metode Penelitian Secara umum Sudaryanto (via Aji 2004: 14) menunjukkan jalan dan rambu-rambu ke arah pemecahan masalah dalam penelitian linguistik, yaitu tahap penyediaan data, tahap penganalisisan data, dan tahap penyajian hasil analisis. Pada tahapan pertama, pengumpulan data dilakukan dengan metode menyimak dan kemudian mencatat kata-kata sifat yang terdapat dalam buku komik seri ensiklopedia bergambar berjudul Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta”. Proses selanjutnya adalah membandingkan kata-kata sifat yang telah diperoleh dengan hasil terjemahan dalam komik terjemahan Bahasa Indonesia.
14
Pembahasan yang dilakukan hanya pada bab yang membahas tentang planetplanet, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Pembatasan penelitian dilakukan agar penelitian ini dapat terfokus pada jenis kata sifat dalam bab planet-planet tersebut. Berdasarkan metode yang digunakan, penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan data kualitatif dengan pemaparan secara deskriptif. Metode ini yang dipilih karena penelitian ini merupakan riset dengan pemaparan analisa secara deskriptif. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta pada teks terjemahan yang diteliti. Selain itu landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian. Dalam hal ini analisis teks terjemahan dalam komik Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta” dengan teori ekivalensi leksikal yang menjadi indikator utama untuk mengetahui faktorfaktor penentuan masing-masing ekivalen itu sendiri. Pada tahap yang terakhir, hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode panyajian informal, yaitu dengan kata-kata biasa (a natural language) walaupun dengan istilah (terminology) yang bersifat teknis saja. Selain itu digunakan pula metode penyajian informal, yaitu perumusan dengan beberapa tanda dan lambing (an artificial language) (Sudaryanto, via Aji, 2004: 17).
15
1.8 Sistematika Penyajian Sistematika dalam penyusunan penelitian ini di bagi menjadi empat bab. Bab I merupakan pendahuluan, yang berisikan latar belakang masalah berisi alasan penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, kajian pustaka dan kajian studi, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II membahas analisis penerjemahan dengan metode kesepadanan leksikal dan faktor-faktor yang menentukan padanan leksikal pada komik seri ensiklopedia Why? Uju “Why? The Universe Alam Semesta”. Bab III berisi kesimpulan.