1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penerapan sistem kerja berbasis tim pada organisasi dewasa ini seolah sedang berada ‘di atas awan’. Sebagai contoh, seperti tim riset dan pengembangan di universitas, tim penjaminan mutu di pusat-pusat pelayanan kesehatan, dan juga tim investigasi dan pencari fakta di ranah hukum dan persidangan. Beragam aplikasi berbasis tim ini merupakan jawaban atas tuntutan dinamika lingkungan dan tantangan kompleksitas pekerjaan demi pencapaian tujuan organisasi yang optimal. Banyak jenis pekerjaan yang bisa dilakukan dengan tim, namun tidak demikian manakala hanya dikerjakan secara individu. Dengan bekerja tim memungkinkan anggotanya untuk bekerja bersama-sama dengan beragam sumberdaya dan keterampilan yang dimiliki untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu. Kinerja tim didefinisikan sejauh mana keluaran yang produktif sebuah tim dapat memenuhi atau melampaui standar kinerja dari pihak yang menyelia tim atau pihak yang menerima hasil kinerja tersebut (Hackman, 1987). Dalam pekerjaan berbasis tim, terdapat dua keterampilan utama yang perlu dimiliki oleh setiap anggota untuk mencapai kinerja tim yang diharapkan, yaitu keterampilan tugas dan keterampilan interpersonal (Bradley, White, & Mennecke, 2003). Keterampilan tugas berkaitan dengan penguasaan tugas yang melekat pada pekerjaan tim, seperti pengetahuan tentang tugas yang dihadapi
2
dan strategi untuk menyelesaikan tugas tersebut. Keterampilan interpersonal mengacu pada keterampilan yang dibutuhkan oleh anggota tim untuk dapat bekerja bersama secara efektif meliputi keterampilan proses sosial, kerjasama tim, peran, dan keterampilan interpersonal lunak (Bradley et al., 2003; Girling & McManus, 1998). Dengan modal keterampilan interpersonal dapat diaplikasikan pada berbagai aktivitas dan dinamika tim, seperti pembuatan keputusan, manajemen konflik, pengembangan kepemimpinan, klarifikasi peran, hubungan interpersonal antar anggota, penyelesaian masalah, dan pengaturan tujuan dalam tim (Devine, Clayton, Philips, Dunford, & Melner, 1999). Isu menarik mengenai keterampilan tugas dan interpersonal adalah hasil penelitian Girling dan McManus (1998). Kedua peneliti ini menyebutkan bahwa dari 20 orang yang diwawancarai, hanya 7 orang yang dipilih untuk bekerja tim. Menariknya, sebanyak 70% dari yang diwawancarai sebenarnya memiliki keterampilan teknikal tugas yang baik. Namun, lebih dari setengahnya jatuh/gagal pada keterampilan interpersonal lunak. Hasil penelitian ini memberi pemahaman keterampilan tugas yang baik belum menjamin keterampilan interpersonal yang baik pula. Girling dan McManus (1998) menekankan pentingnya keterampilan interpersonal sebagai salah satu faktor penentu untuk kinerja tim. Dalam perkembangannya, para peneliti di bidang kinerja tim justru lebih memfokuskan keterampilan tugas sebagai anteseden kinerja daripada keterampilan interpersonal. Penelitian Stewart dan Barrick (2000) mengkaji
3
pengaruh struktur tim pada kinerja tim, kemudian Marks dan Panzer (2004) mengembangkan anteseden kinerja tim dengan variabel pemantauan tim. Lebih lanjut, anteseden kinerja tim melebar lagi dengan adanya perencanaan tim dan orientasi tujuan (Mehta, Field, Armenakis, & Mehta, 2009; Van Woerkom & Croon, 2009). Penelitian Lee, Gillespie, Mann, dan Wearing (2010) mulai memasukkan konstruk keterampilan interpersonal, yaitu kepercayaan akan tetapi hanya sebagai pemoderasi pengaruh berbagi pengetahuan pada kinerja tim. Dalam suasana sebuah tim, mengatasi kompleksitas (selain kompleksitas pekerjaan) yang berasal dari beragam personalitas dan kemampuan individu dalam tim memang membutuhkan perhatian tersendiri. Menurut Bradley et al. (2003), bagaimanapun juga kekompakan tim harus tercipta agar kinerja tim yang diharapkan menjadi nyata, sehingga kebutuhan akan keterampilan interpersonal semakin krusial. Nantinya, keterampilan interpersonal ini dapat digunakan untuk menjalin komunikasi dan berkoordinasi, seperti ketika berdiskusi, mengklarifikasi peran, dan penyelesaian konflik (Bradley et al., 2003; Devine et al., 1999). Hubungan interpersonal yang baik membuat iklim tim menjadi lebih harmonis dengan saling memahami dan melengkapi antar rekan kerja dalam tim. Variabel keterampilan interpersonal yang seringkali diabaikan dalam penelitian kinerja tim adalah kepercayaan (trust) (Kiffin-Petersen, 2004). Sedikitnya konstruk kepercayaan dalam memprediksi kinerja tim ditunjukkan pada bagian lampiran penelitian Bradley et al. (2003). Dalam kurun waktu 34
4
tahun dari tahun 1966 sampai 2000, hanya ada satu konstruk kepercayaan yang digunakan untuk memprediksi kinerja tim, di antara sekian banyak variabel keterampilan interpersonal selain kepercayaan (Bradley et al., 2003; Porter & Lilly, 1996). Kontribusi penelitian kepercayaan intratim (intrateam trust) pada kinerja tim yang masih langka memungkinkan peluang riset yang masih luas. Menurut Dirks dan Skarlicki (2004), kepercayaan interpersonal dipahami sebagai pernyataan psikologis individu yang melibatkan ekspektasi positif mengenai tindakan individu yang lain. Ekspektasi positif ini mengacu pada keyakinan mengenai manfaat yang timbul dari tindakan orang lain atau setidaknya tindakan itu tidak merugikan, sekalipun tetap ada kemungkinan rasa kecewa dari hasil tindakan orang lain tersebut (Gambetta, 2000; Luhmann, 2000). Konseptualisasi kepercayaan di level tim mengacu pada ekspektasi positif yang dihasilkan seluruh anggota tim. Persepsi kepercayaan tetap berada pada individu, akan tetapi pengertian kepercayaan di level tim berasal dari kualitas persepsi kepercayaan individu-individu dalam tim (Langfred, 2004; Simons & Peterson, 2000). Peneliti mengharapkan kinerja sebuah tim dapat dipengaruhi secara positif oleh kepercayaan intratim. Dugaan ini dilandasi argumentasi konsep kepercayaan yang memungkinkan anggota tim untuk saling berinteraksi seakan-akan rasa ketidakpastian dalam tim menjadi hilang (De Jong & Elfring, 2010). Anggota tim yang saling percaya cenderung akan terlibat dalam interaksi produktif dan proses dalam tim yang akan meningkatkan kinerja tim (Jones & George, 1998; Spreitzer, Noble, Mishra, & Cooke, 1999). Sebaliknya,
5
tanpa fondasi kepercayaan, anggota tim cenderung akan menghindari interaksi dan proses yang melindunginya dari rasa ketidakpastian atas tindakan rekan tim (Dirks, 1999; Mayer & Gavin, 2005). Pada aspek tipe kerja tim, ada tipe tim tertentu yang mana pengaruh kepercayaan pada kinerja menjadi semakin jelas. Tipe tim terdiri dari tim ongoing dan tim jangka pendek (short-term) (Devine et al., 1999). Pengertian tim ongoing berbeda dengan tim jangka pendek dilihat dari durasi tim dan durasi tugas dari kedua tipe tim tersebut (Bradley et al., 2003). Menurut De Jong dan Elfring (2010), apabila pada tim jangka pendek diduga tim akan bubar setelah bekerjasama dalam waktu yang singkat, pada tim ongoing merupakan tim yang memiliki tugas dengan siklus kerja lebih lama dan diharapkan tim dapat bergabung lagi di masa mendatang. Peneliti berusaha fokus pada tim ongoing ini dengan argumentasi bahwa masih kurangnya penjelasan pengaruh kepercayaan pada kinerja tim di konteks tim ongoing (Kiffin-Petersen, 2004). Selain itu, penelitian Saunders dan Ahuja (2006) menyebutkan bahwa pengaruh kepercayaan akan cenderung lebih tegas pada tim ongoing daripada tim jangka pendek karena tim ongoing lebih fokus pada hubungan antar individu dalam tim sehingga meningkatkan pengaruh dinamika kepercayaan pada interaksi anggota tim. Meskipun demikian, bukan berarti tim jangka pendek tidak berimplikasi pada hubungan kepercayaan dan kinerja. Dalam studi terhadap tim proyek virtual yang serupa dengan tim jangka pendek, Rico, Alcover, Sanchez-Manzanares, dan Gil (2009) menemukan bahwa di antara
6
komunikasi berorientasi tugas dan sosial, komunikasi berorientasi tugas memiliki pengaruh positif pada kepercayaan ketika awal berlangsungnya tim proyek. Hasil penelitian Rico et al. (2009) menegaskan bahwa walaupun di konteks tim proyek virtual dan dipicu oleh orientasi terhadap tugas, kepercayaan masih memungkinkan untuk muncul guna menjelaskan aspek kinerja organisasional. Berdasarkan tinjauan Dirks dan Ferrin (2001) terhadap 43 studi empiris menunjukkan bahwa kepercayaan memiliki banyak manfaat bagi individu maupun organisasi. Manfaat tersebut meliputi komunikasi yang efektif, perilaku kewargaan organisasional yang lebih baik, perilaku yang cenderung tidak kompetitif dalam negosiasi, kinerja tim yang lebih tinggi, berkurangnya konflik, dan kepuasan kerja yang lebih tinggi. Oleh karena itu, banyak peneliti dan praktisi yang kemudian mengasumsikan konstruk kepercayaan sebagai prediktor yang baik bagi aspek perilaku dan kinerja organisasional. Di sisi lain, beberapa peneliti berusaha mengkritisi kebaikan konstruk kepercayaan dalam memprediksi aspek kinerja. Salah satunya adalah Goel, Bell, dan Pierce (2005), yang menyatakan banyak peneliti dan praktisi telah terbuai dengan manfaat kepercayaan sehingga mengabaikan sisi gelap dari konstruk kepercayaan ini. Sisi gelap yang dimaksud adalah kurangnya perhatian mengenai persoalan over-kepercayaan (over-trust) (Goel et al., 2005; Goel & Karri, 2006; Gundlach & Cannon, 2010). Menurut Goel et al. (2005), isu over-kepercayaan muncul dari asumsi konsep kepercayaan sendiri, yakni kepercayaan melibatkan pengambilan risiko dari kondisi yang tidak pasti atas
7
tindakan orang yang diberi kepercayaan. Pengertian over-kepercayaan sebenarnya memiliki dua makna, yaitu orang yang salah menempatkan kepercayaan pada individu atau organisasi yang tidak dapat dipercaya dan kepercayaan seseorang yang melebihi kadar yang dibenarkan dalam kondisi tertentu (Goel & Karri, 2006). Fokus penelitian ini membatasi pengertian overkepercayaan pada makna kedua karena minimnya dukungan empiris overkepercayaan dan efek kurvalinier kepercayaan intratim pada aspek kinerja (McEvily, Perrone, & Zaheer, 2003; Thorgren & Wincent, 2011). Seseorang yang terlalu mempercayai pihak lain dimungkinkan justru akan merugikan pelaku dan berefek negatif pula pada pihak yang dipercaya, di antaranya (1) percaya buta (blind trust) dan mengabaikan penilaian objektif, (2) terlalu toleran dalam menilai pihak yang dipercaya, (3) potensi perilaku oportunistis dan eksploitasi yang makin besar dari pihak yang dipercaya, dan (4) meningkatkan risiko pelaku atas hubungannya dengan orang yang dipercaya (Goel et al., 2005; Goel & Karri, 2006; Gundlach & Cannon, 2010). Apabila over-kepercayaan ini dibiarkan saja dalam cakupan organisasional tertentu,
maka
berpotensi
mengganggu
perilaku
positif
dan kinerja
organisasional yang bersangkutan (Zaheer, McEvily, & Perrone, 1998). Penelitian Atkinson dan Butcher (2003) menyebutkan bahwa hubungan manajerial yang dicirikan sarat dengan politik, agenda terselubung, dan kepentingan pribadi mengakibatkan level kepercayaan yang tinggi menjadi tidak tepat untuk kondisi ideal bagi keefektifan manajerial.
8
Kemudian, timbul pertanyaan kritis, apakah level kepercayaan intratim yang tinggi akan senantiasa berdampak positif pada kinerja tim ongoing? Penelitian Langfred (2004) menyebutkan bahwa kepercayaan intratim yang tinggi tidak selalu berdampak positif pada kinerja. Bahkan Langfred (2004) juga menegaskan level kepercayaan intratim yang tinggi bisa berdampak buruk pada kinerja tim tergantung pada tinggi-rendahnya otonomi tugas individu dalam tim. Ketika otonomi individu tinggi dan pengawasan dalam tim rendah, kepercayaan intratim yang tinggi justru membahayakan kinerja tim tersebut (Langfred, 2004). Dalam riset dimensi hubungan jaringan, Lechner, Frankenberger, dan Floyd (2010) mampu menunjukkan pengaruh kurvalinier antara dimensi relasional, yakni kekuatan ikatan dan kinerja inisiatif strategis. Pada level kekuatan ikatan yang tinggi, konsekuensi negatifnya dapat mengimbangi efek positif kekuatan ikatan di level menengah sehingga membuat rasio kerugianmanfaat dari meningkatnya level kekuatan ikatan menjadi semakin negatif (Lechner et al., 2010). Hasil penelitian Langfred (2004) dan Lechner et al. (2010) cukup untuk menunjukkan dugaan bahwa pengaruh kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing tidak berbentuk linier melainkan kurvalinier atau berbentuk huruf U terbalik (curvilinear/inverted U-shape). Level kepercayaan intratim yang semakin meningkat awalnya memang berefek positif pada kinerja, akan tetapi pada titik tertentu level kepercayaan intratim yang tinggi justru akan berkonsekuensi negatif bagi kinerja tim ongoing. Dengan demikian, isu over-kepercayaan diharapkan dapat membantu
9
pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pengaruh kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing daripada sekadar pengaruh linier yang telah banyak dilazimi oleh penelitian sebelumnya. Selain itu, kaitannya dengan konsistensi hasil penelitian, menurut Dirks dan Ferrin (2001), pengaruh kepercayaan pada aspek perilaku dan kinerja masih lebih lemah dan kurang konsisten dibandingkan pada aspek sikap dan persepsi. Hasil yang masih lemah dan kurang konsisten pada aspek perilaku dan kinerja dimungkinkan karena sebagian studi menunjukkan hasil signifikan, sedangkan studi yang lain tidak demikian (Dirks & Ferrin, 2001). Terlebih, kurangnya perhatian konstruk kepercayaan dan kinerja terlihat jelas pada konteks tim dan grup (Langfred, 2004). Penelitian Dirks (1999) tidak dapat menunjukkan pengaruh signifikan kepercayaan intratim pada kinerja tim. Hasil penelitian Dirks (1999) dan Simons dan Peterson (2000) justru menunjukkan efek pemoderasi atau interaksi yang signifikan dari kepercayaan pada variabel kinerja tim. Namun, Costa (2003) dan Rispens, Greer, dan Jehn (2007) menyebutkan hasil yang positif dari pengaruh kepercayaan pada kinerja tim. Dengan demikian, melihat beberapa hasil penelitian yang tidak konsisten di antara kepercayaan dan kinerja
tim,
maka
diperlukan
faktor
kondisional/situasional
yang
memungkinkan untuk memoderasi pengaruh kurvalinier kepercayaan intratim pada kinerja tim. Menurut Kiffin-Petersen (2004), pada model hubungan kepercayaan dan keefektifan tim, terdapat beberapa konstruk yang menjadi penentu/determinan
10
keefektifan tim sekaligus komponen masukan dalam sebuah tim. Determinan keefektifan tim tersebut di antaranya, desain kerja, interdependen, komposisi tim, dan konteks tim. Faktor determinan ini berfungsi sebagai penjelas/penguat pengaruh faktor emergent state pada proses tim dan atau pada keefektifan tim (Kiffin-Petersen, 2004). Dalam penelitian ini, interdependen tugas (sebagai variabel spesifik dari komponen determinan interdependen) digunakan sebagai pemoderasi pengaruh non-linier kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing (Hackman, 1987; Kiffin-Petersen, 2004; Wageman, 1995). Interdependen tugas dipilih karena suatu pekerjaan dapat diorganisasi secara mandiri ataupun saling tergantung satu sama lain (Wageman, 1995). Dari sinilah kepercayaan memainkan perannya terhadap keefektifan tim tergantung pada kondisi pekerjaan yang dialami anggota tim. Interdependen tugas (task interdependence) dipahami sebagai sejauh mana anggota tim bergantung pada sesama rekan tim pada upaya, informasi, dan sumberdaya yang dimiliki untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu (Wageman & Baker, 1997). Ketika interdependen tugas berada pada level tinggi, interaksi interpersonal dari anggota tim meningkat dan secara otomatis tingkat kompleksitas koordinasi antar anggota tim juga semakin besar (LePine, Piccolo, Jackson, Mathieu, & Saul, 2008). Sedangkan ketika level interdependen tugas menjadi rendah, pekerjaan anggota tim menjadi semakin independen, kebutuhan akan interaksi interpersonal menjadi terbatas, dan kontribusi anggota tim menjadi cenderung terkotak-kotak ketimbang terintegrasi (Lepine et al., 2008). Dengan kata lain, tim dengan interdependen
11
tugas yang tinggi akan menunjukkan kualitas proses sosial yang lebih tinggi. Proses sosial yang dimaksud bisa meliputi kerjasama, perilaku membantu anggota tim, dan terjadi proses saling belajar satu sama lain. Namun, menurut Kidwell dan Bennett (1993), tingginya level interdependen juga berpotensi pada konflik kepentingan dan perilaku oportunistis di antara anggota tim. Oleh karena itu, level interdependen tugas yang tinggi diharapkan akan memperkuat pengaruh kurvalinier kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing. Dari pemaparan latar belakang dan uraian yang telah dijelaskan di muka, maka peneliti tertarik untuk menginvestigasi pengaruh kurvalinier kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing. Penelitian ini juga akan memasukkan variabel interdependen tugas berperan sebagai pemoderasi.
B. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Pada bagian ini akan dijelaskan pokok-pokok permasalahan penelitian yang
menjadi
dasar
pentingnya
penelitian
ini
dilakukan
sekaligus
mengidentifikasi gap penelitian yang ada. Pertama, menurut Girling dan MacManus (1998), baiknya keterampilan tugas belum menjamin kecakapan interpersonal yang baik sehingga perlu perhatian khusus terhadap kecakapan interpersonal dalam tim. Namun, dalam perkembangannya, para peneliti justru lebih fokus pada keterampilan tugas ketimbang interpersonal. Fenomena inilah yang mendorong peneliti untuk menggali lebih dalam faktor yang memprediksi kinerja tim dari aspek keterampilan interpersonal.
12
Kedua, secara spesifik, variabel keterampilan interpersonal yang menjadi fokus penelitian ini adalah kepercayaan. Beberapa penelitian menegaskan bahwa walaupun konstruk kepercayaan diyakini memiliki banyak manfaat bagi prospek organisasional, tetapi sangat sedikit penelitian empiris yang teridentifikasi. Lebih lanjut, pada konteks kerja tim, peneliti fokus hanya pada tipe tim ongoing karena kepercayaan dianggap akan memiliki pengaruh lebih tegas pada kinerja dengan tipe tim ongoing (Saunders & Ahuja, 2006). Ketiga, selain jumlah penelitian empiris yang terbatas, ternyata beberapa penelitian terkait kepercayaan dan kinerja tim juga menunjukkan hasil yang masih lemah dan kurang konsisten. Hasil yang kurang robust ini dimungkinkan karena sebagian studi menunjukkan hasil signifikan, sementara sebagian lain menunjukkan
hasil
non-signifikan.
Dengan
demikian,
urgensi
faktor
situasional/kondisional diharapkan dapat membantu memahami pengaruh kepercayaan pada kinerja tim secara komprehensif. Keempat, berdasarkan model keefektifan tim Kiffin-Petersen (2004) dan isu over-kepercayaan oleh Goel et al. (2005), Goel dan Karri (2006), dan Gundlach dan Cannon (2010), variabel interdependen tugas dipilih sebagai pemoderasi pengaruh kurvalinier kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing. Isu kurvalinier juga diakomodasi dalam penelitian ini guna menguji pengaruh non-linier kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing yang sebelumnya banyak diasumsikan linier oleh penelitian-penelitian terdahulu. Berdasarkan uraian singkat masalah penelitian di atas, maka pertanyaan penelitian yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
13
1. Apakah pengaruh kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing bersifat kurvalinier? 2. Apakah interdependen tugas memoderasi pengaruh kurvalinier kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini dilakukan bertujuan untuk: 1. Menguji pengaruh kurvalinier kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing. 2. Menguji pengaruh pemoderasian interdependen tugas pada hubungan kurvalinier antara kepercayaan intratim dan kinerja tim ongoing.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini membantu memberikan pemahaman mengenai faktor penting emergent state yang dapat mengoptimalkan kinerja tim ongoing. Pemahaman mengenai faktor situasional/kondisional juga tidak kalah penting terkait keadaaan seperti apa yang memoderasi pengaruh kepercayaan pada kinerja tim ongoing sehingga diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Dengan isu over-kepercayaan, diharapkan dapat berkontribusi pada pemahaman konsep kepercayaan bahwa konstruk kepercayaan tidak selalu menjadi variabel ‘baik’. Dengan demikian, perlu
14
dipertimbangkan bahwa pada level tertentu konstruk kepercayaan juga memiliki sisi gelap yang membahayakan kinerja organisasional. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi semacam panduan bagi pengambil keputusan organisasional dalam mengoptimalkan kinerja timnya. Secara khusus, pentingnya penciptaan kepercayaan pada tingkatan tertentu dalam kerja tim dan faktor situasional –berkaitan dengan karakter tugas- yang membatasi pengaruh dinamika kepercayaan intratim pada kinerja tim ongoing.