1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sebagai wahana untuk memanusiakan manusia terikaat oleh dua misi penting, yaitu hominisasi dan humanisasi. Sebagai proses hominisasi, manusia diarahkan untuk mampu memenuhi kebutuhan biologisnya, seperti makan, pekerjaan, tempat tinggal. Maka pendidikan dituntut untuk mampu mengarahkan manusia pada cara-cara pemilihan nilai sesuai dengan kodratnya. Sedangan proses humanisasi mengarahkan manusia untuk hidup sesuai dengan kaidah moral, karena manusia hakikatnya adalah mankhluk yang bermoral.1 Karena pendidikan tidak hanya dimaknai dan berfungsi sebagai transfer of knowledge, melainkan berfungsi sebagai transfer of values.2 Pendidikan sesungguhnya juga selalu bersangkut-paut dengan masa depan, sebab seperti sudah dirumuskan dalam Pasal 1 UUPN, No. 2 1989, pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan datang.3 Tujuan utama pendidikan adalah menghasilkan kepribadian manusia yang matang secara intelektual, emosional dan spiritual. Karena itu, komponen esensial kepribadian manusia adalah nilai (value) dan kebajikan (virtues). Nilai
1
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai (Bandung: CV Alfabeta, 2004), 103. Ruslan Ibrahim, Pendidikan Nilai Dalam Era Pluralitas (Jurrnal INSANIA: P3M STAIN Purwokerto, 2007), 5. 3 Universitas Sanata Dharma, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga (Yogyakarta: KANISIUS, 2000), 3. 2
1
2
dan kebajikan ini harus menjadi dasar pengembangan kehidupan manusia yang memiliki peradaban kebaikan, dan kebahagiaan secara individual
maupun
sosial.4 Nilai adalah konsep, sikap dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang dipandang berharga olehnya.5 Menurut Louis E. Raths, Merrill Harmin dan Sidney B. Simon dalam bukunya Kamrani Buseri, sifat-sifat negatif akan timbul dalam diri seseorang jika ia tidak memiliki sistem nilai yang terintegrasi dalam kehidupannya.6 Nilai berperan sebagai jantung semua pengalaman ikhtiar pendidikan (as the heart of all educational experiences). Semua usaha pendidikan pada dasarnya bertujuan, sebagaimana semua tindakan manusia memiliki arah dan tujuan. Jadi, nilai merupakan penggerak tindakan-tindakan pendidikan. Nilai dapat dikembangkan melalui aktivitas belajar yang melibatkan berbagai komponen pendidikan.7 Nilai-nilai yang akan ditransformasikan dalam pendidikan di antaranya adalah nilai religi (agama), nilai kebudayaan, nilai sains dan teknologi, nilai keterampilan, nilai seni, nilai moral, nilai etika sosial.8 Nilainilai ini akan efektif apabila melalui contoh-contoh dan dalam lingkungan yang sesuai dengan nilai yang diajarkan.9
4 5
Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 106. Kamrani Buseri, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta,
2004), 15 6
Ibid., xiv. Mulyana, Mengartikulasi Pendidikan Nilai, 106. 8 Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003), 57. 9 Buseri, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar, xiii. 7
3
Terkait dengan era sekarang ini, yaitu era globalisasi, tantangan pendidikan masa depan adalah bagaimana mengupayakan pendidikan yang membentuk pribadi yang mampu belajar seumur hidup (long life education). Hal ini dikatakan penting karena kehidupan masa depan akan semakin komplek dan ditandai oleh perubahan sosial yang semakin cepat. Lingkungan alam dan sosial seseorang begitu cepat dan sering berubah sehingga apa yang selama ini telah dipelajari dan menjadi kebiasaan tidak lagi bisa berfungsi. Pengalamana masa lalu memang bukannya tanpa guna sama sekali, tetapi karena lingkungan hidup sering dan terus berubah, pengalaman masa lalu dirasa tidak lagi memadai untuk lagi menjawab masalah-masalah baru yang dihadapi, sehingga orang perlu mampu belajar terus-menerus.10 Maka dari itu, era globalisasi harus mampu mencetak manusia masa depan yang tangguh baik intelektual, emosional ataupun spiritualnya. Kalau kita mau membangun masa depan kita dengan fondasi yang lebih kokoh, melalui pendidikan, kita perlu membekali generasi muda bukan hanya dengan pengetahuan dan keterampilan untuk hidup dalam percaturan global, tetapi juga dengan integritas moral dan iman. Maka etika dan agama perlu dipelajari luar dan dalam.11 Pribadi yang bermoral adalah yang memiliki kemampuan untuk mengolah hidupnya sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan.12 Begitu juga dengan orang tua dan para pendidik untuk memberi pendidikan keimanan pada anak sejak dini yaitu dengan cara menumbuhkan 10
Universitas Sanata Dharma, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, 6. Ibid., 15. 12 Ibid., 35. 11
4
anak atas dasar pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam. Dasar-dasar iman adalah segala sesuatu yang ditetapkan dengan jalan khabar secara benar, berupa hakikat keimanan dan masalah ghaib, seperti iman kepada Allah Swt., beriman kepada para malaikat dll.13 Karena iman yang tertanam di dada memberikan inspirasi positif kepada seseorang untuk berlaku dan beramal shalih. Iman yang benar membawa pribadi ke arah perubahan jiwa
dan cara berpikir positif.
Perubahan jiwa tersebut merupakan suatu revolusi dan pembaharuan tentang tujuan hidup, pandangan hidup, cita-cita, keinginan dan kebiasaan.14 Berangkat dari uraian di atas, penulis akan mencoba mengkaji tentang keterikatan nilai pendidikan yang ada dalam keimanan kepada malaikat
dengan
pendidikan
era
globalisasi.
Dengan
judul
besar
RELEVANSI NILAI-NILAI PENDIDIKAN YANG TERKANDUNG DALAM IMAN KEPADA MALAIKAT-MALAIKAT ALLAH SWT DALAM
MENGHADAPI
ERA
GLOBALISASI
PEMIKIRAN ‘ABD AL-RAHMAN AL-NAHLĀWĪ
(TELAAH
ATAS
DALAM KITAB
USHŪL AL-TARBIYYAH AL-ISLĀMIYYAH WA ASĀLIBUHĀ).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
13
‘Abd ‘I-lah Nashih ‘Ulwan, Tarbiyah al-Awlād fi al-Islām Juz I, terj. Saifullah Kamali & Hery Noer Ali (Kairo: Dar al-Salam li al-Tibā’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1981), 151. 14 Muhammad Chirzin, Konsep & Hikmah Akidah Islam (Yogya: Pustaka Pelajar, 2004), 1.
5
1. Bagaimana posisi nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam iman kepada malaikat-malaikat Allah Swt. menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī dalam kitab Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā dilihat dari nilai pendidikan secara umum ? 2. Bagaimana relevansi nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam iman kepada malaikat menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī dalam kitab Ushūl al-Tarbiyyah
al-Islāmiyyah
wa
Asālibuhā
dalam
menghadapi
era
globalisasi?
C. Tujuan Kajian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan posisi nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam iman kepada malaikat-malaikat Allah Swt. menurut ‘Abd al-Rahman Al-Nahlāwī dalam kitab Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā dilihat dari nilai pendidikan secara umum.
2.
Untuk mendeskripsikan dan menjelaskan relevansi nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam iman kepada malaikat menurut ‘Abd al-Rahman AlNahlāwī dalam kitab Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā dalam menghadapi era globalisasi.
D. Manfaat Kajian Adapun manfaat dari penelitian ini meliputi dua hal, yaitu kegunaan ilmiah dan kegunaan praksis, sebagai berikut:
6
1)
Skripsi ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya terhadap pengembangan materi PAI.
2)
Sebagai salah satu sumbangan pemikiran, khususnya kepada para pendidik dan orang tua dalam melaksanakan pendidikan Islam.
E. Landasan Teori dan/atau Telaah Pustaka 1.
Landasan Teori Nilai juga merupakan kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.15 Ada pula yang mengartikan nilai sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dan bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.16 Jadi nilai adalah sesuatu yang berguna bagi manusia yang dijadikan landasan dalam bersikap dan berperilaku dalam hidupnya. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.17
15
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung : PT Trigenda Karya, 1993), 110. 16 Darji Damodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 1995). 17 UU No 20 Tahun 2003 SISDIKNAS (Bandung: Citra Umbara, 2003), 3.
7
Dari kedua keterangan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai pendidikan adalah segala sesuatu yang dianggap bermanfaat dalam rangka proses pendidikan. Pendidikan bukanlah proses yang hanya transfer of knowledge, akan tetapi juga transfer of value. Maka dari itu, nilai (value) yang hendak ditransformasikan di antaranya adalah nilai religi (agama), nilai estetika (seni), nilai budaya, nilai moral, nilai sosial, nilai kebenaran / ilmu, nilai sains dan teknologi dan nilai keterampilan.18 Menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī dalam kitab Ushūl alTarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā, nilai pendidikan yang terdapat dalam keimanan kepada malaikat Allah Swt. diantaranya adalah kedisiplinan, loyal dan tanggung jawab, serta kontrol diri dari perilaku negatif.19 Tantangan pendidikan dalam era globalisasi yang berkaitan dengan pendidikan nilai adalah bagaimana mewujudkan pendidikan yang menyadari pentingnya dan mengupayakan terlaksananya pendidikan nilai.20 Pendidikan globalisasi perlu menekankan penting dan terlaksananya pendidikan nilai. Dengan harapan, dampak negatif dari kemajuan sains dan teknologi akan dapat dihindarkan. Karena segala sesuatu yang akan terjadi bergantung pada manusia, sebagai pencipta dan pengguna segala kemajuan iptek tersebut. 21
18
Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, 57. ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī, Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā, fi al-Bayt, wa al-Madrasah, wa al-Mujtama’ terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 98. 20 Dharma, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, 4-8. 21 Ibid. 19
8
2.
Telaah Pustaka Sejauh pengetahuan penulis, belum ada karya tulis yang membahas secara
khusus
tentang
Relevansi
Nilai-Nilai
Pendidikan
Yang
Terkandung dalam Iman Kepada Malaikat-Malaikat Allah Swt. dalam Menghadapi Era Globalisasi (Telaah Atas Pemikiran ‘Abd al-Rahman dalam Kitab Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa
al-Nahlāwī Asālibuhā).
Di antara karya tulis yang hampir senada dengan kajian ini adalah karya ilmiah dari : a.
Ratna Fadlila (NIM 243 052 076) Dengan judul AKTUALISASI NILAI EDUKATIF MELALUI KEGIATAN SHALAT BERJAMA’AH DI PONDOK PESANTREN TAHFIDZ AL-QUR’AN (PPTQ Putri Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo). Pokok bahasan yang diangkat adalah cara mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Putri AlHasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo adalah dengan mau’idhah, keteladanan, hukuman dan pembiasaan. Sedangkan wujud aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah tersebut adalah nilai moral (control diri, kedisiplinan & kejujuran), nilai etika sosial (sikap saling mengenal, solidaritas sosial, persamaan & persaudaraan), nilai kebenaran / ilmu (adanya semangat,
9
kesabaran, ketentraman hati, serta rasa senang dalam diri santri, pengakuan akan hikmah) besar terkandung dalam shalat berjama’ah. Dalam mengaktualisasikan nilai edukatif tersebut juga memiliki beberapa faktor pendukung dan penghambat. Di antaranya Faktor pendukung aktualisasi nilai edukatif melaui kegiatan shalat berjama’ah dalam hal ini berkaitan dengan kekuatan dan peluang yang dimiliki oleh pondok. Sedangkan untuk faktor penghambatnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan kelemahan dan ancaman yang ada, terutama yang berkaitan dengan kegiatan shalat berjama’ah. Dan faktor-faktor tersebut, berkaitan erat dengan faktor-faktor pendidikan. b.
Maulina Zakiya (NIM 243 052 049) Dengan judul besar AKTUALISASI NILAI-NILAI EDUKATIF DALAM KEGIATAN PUASA SENIN KAMIS (Studi Kasus di Pesantren Putri Al-Mawaddah Putri Coper, Jetis, Ponorogo). Tulisan ini memuat 2 pembahasan inti. Yang pertama, menjabarkan tentang pelaksanaan puasa senin kamis di Pesantren Putri Al-Mawaddah adalah sebagai hasil pembelajaran, semua itu merupakan pelaksanaan dari tujuan pesantren dan kurikulum yang ingin dicapai pesantren dengan tujuan untuk menciptakan suasana yang bersifat edukatif. Yang kedua, nilai edukatif yang muncul dalam kegiatan puasa senin kamis tersebut di antaranya adalah kedisiplinan, solidaritas, mempunyi moral yang tinggi, bersifat keteladanan dan tawadlu’,
10
bertanggung jawab, sabar.
Kegiatan ini juga tidak terlepas dari
dorongan pihak-pihak terkait, seperti guru, teman dan Lingkungan serta orang tua. c.
Pujiati (243 052 074) Dengan judul NILAI EDUKATIF DALAM KEGIATAN TAKRAR
MEMBACA
AL-QUR’AN
DI
PPTQ
AL-HASAN
PATIHAN WETAN BABADAN PONOROGO. Karya ilmiah ini mendeskripsikan 2 pokok bahasan. Yang pertama, wujud nilai edukatif dalam kegiatan takrar membaca al-Qur’an adalah adanya kemauan santri untuk memahami makharijul huruf, tajwid yang bisa dikandung isi al-Qur’an, adanya kemauan santri untuk membaca al-Qur’an dengan baik, bertutur kata yang baik, jiwa yang tenang, tenteram dan sabar dalam menghadapi masalah-masalah, menumbuhkan sikap tolong menolong dan membuat pikiran jernih. Yang kedua, menjelaskan tentang faktor pendukung dan penghambat kegiatan takrar membaca al-Qur’an tersebut. Di antara faktor pendukung adanya motivasi dari orang lain (ekstrinsik) yang selalu memberikan dorongan, keteladanan, penghargaan, dll. adalah khususnya motivasi diri sendiri (instrinsik), yaitu berupa rasa malas, capek dan hukumnya kesadaran akan petingnya tukar. d.
Afifuddin Harisah Mengangkat judul KEBERIMANAN KEPADA MALAIKAT DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM. Karya ini termuat
11
dalam jurnal kependidikan Islam yang diterbitkan oleh fakultas Tarbiyah petugas Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. Dalam karya ini, Afifuddin menjelaskan bahwa keimanan kepada malaikat membawa implikasi dan efek ruhaniah yang dapat mempengaruhi moral dan perilaku manusia. Dengan kata lain, keimanan kepada malaikat memiliki acuan dasar dan proses pendidikan Islam. Di antara nilai edukatif tersebut adalah motivasi dan teladan dalam kedisiplinan dan ketaatan, nilai control diri dari perbuatan negatif dan nilai responsibilitas (tanggung jawab).
F. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research). Artinya, sebuah studi dengan mengkaji buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini yang diambil dari perpustakaan. Sumber datanya adalah literatur-literatur yang memiliki relevansi, langsung/tidak langsung, dengan materi pembahasan. Selain itu juga, dari literatur yang memuat teori-teori nilai pendidikan secara umum, konsep keimanan kepada malaikat Allah Swt. dan teori-teori tentang globalisasi serta penjelasannya.
2.
Sumber Data a. Sumber Data Primer
12
Sumber data primer dari skripsi ini, yakni berupa kitab atau buku-buku yang berisi tentang informasi yang secara khusus membahas nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam iman kepada malaikat yaitu: 1) ‘Abd al-Rahman Al-Nahlāwī, Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā, fi al-Bayt, wa al-Madrasah, wa al-Mujtama’. Beirut: Dar al-Fikr, 1983. b. Sumber Data Sekunder 1) ‘Abd al-Rahman Al-Nahlāwī, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. 2) Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: PT Trigenda Karya, 1993) 3) Rohmat Mulyana, Mengartikuasikan Pendidikan Nilai (Bandung: CV Alfabeta, 2004) 4) HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996) 5) Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: AlMa'arif, 1989) 6) Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1988) 7) Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004) 8) Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003)
13
9) Universitas Sanata Dharma, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga (Yogyakarta: Kanisius, 2000) 10) H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional (Magelang: Tera Indonesia, 1998) 3.
Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:22 a.
Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang terkumpul terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna, keselarasan satu dengan yang lainnya, masing-masing dalam kelompok data.
b.
Organizing, yaitu menyusun data dan sekaligus mensistematis data-data yang diperoleh dalam kerangka paparan yang sudah ada dan direncanakan sebelumnya sesuai dengan permasalahannya.
c.
Penemuan hasil data, melakukan analisa lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan kaidah dan dalil-dalil, sehingga diperoleh kesimpulan sebagai pemecahan dari rumusan yang ada.
4.
Analisa data Guna memperoleh kesimpulan yang valid, dalam menganalisa data penyusun menggunakan metode deduksi dan induksi dengan menjelaskan sebagai berikut: a.
Metode induksi, yaitu suatu metode yang dipakai untuk menganalisa data yang bersifat khusus dan memiliki unsur kesamaan sehingga dapat
22
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 24.
14
digeneralisasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum.23 Dalam penelitian ini metode tersebut digunakan untuk menganalisa nilai-nilai pendidikan secara umum, termasuk bagaimana pendapat ‘Abd alRahman al-Nahlāwī tentang nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam iman kepada malaikat. b.
Metode deduksi, yaitu suatu metode penelitian dengan pola pikir yang berangkat dari penalaran yang bersifat umum kemudian ditarik pada kesimpulan yang bersifat khusus.24
G. Sistematika Pembahasan Skripsi ini disusun dalam 5 bab dan beberapa sub bab yang saling berkaitan, secara garis besar dapat penulis gambarkan sebagai berikut : Bab satu berisi dasar global mengenai keseluruhan isi skripsi yang akan disajikan dalam bab-bab berikutnya, meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan kajian, manfaat kajian, metode kajian dan sistematika pembahasan. Bab kedua berisi tentang pengetian nilai pendidikan secara umum, peran nilai dalam proses pendidikan serta tantangan globalisasi dan pendidikan nilai. Bab ketiga berisi tentang penyajian data penelitian ‘Abd al-Rahman alNahlāwī tentang nilai-nilai pendidikan dalam iman kepada malaikat-malaikat Allah Swt.
23 24
Julia Grannen, MetodePenelitian (Pustaka Pelajar Samarinda, 1996), 70. Moh Nazir, Metode Penelitian (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1999), 63-64.
15
Bab keempat berisi tentang analisis pemikiran ‘Abd al-Rahman alNahlāwī tentang nilai-nilai pendidikan dalam iman kepada malaikat Allah Swt. Terdiri dari dua sub bahasan, yaitu posisi nilai pendidikan iman kepada malaikat dalam nilai pendidikan secara umum dan relevansi nilai pendidikan kepada malaikat dalam menghadapi era globalisasi. Bab kelima merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
16
BAB II
NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM MENGHADAPI ERA GLOBALISASI
A. Pengertian Nilai Pendidikan 1.
Pengertian Nilai Nilai artinya sesuatu yang dianggap berharga dan menjadi tujuan yang hendak dicapai.25 Nilai juga merupakan kumpulan sikap dan perasaan yang diwujudkan melalui perilaku. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat.26 Adapula yang mengartikan nilai sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Dan bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.27 Sedangkan menurut Rohmat Mulyana, nilai adalah makna yang ada di belakang fenomena kehidupan manusia.28 Sedangkan menurut Chabib Thoha, nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subyek yang memberi arti
25
M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum (Surabaya: Usaha Nasional, 1978),
339. 26
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung: PT Trigenda Karya, 1993), 110. 27 Darji Damodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1995). 28 Rohmat Mulyana, Mengartikuasikan Pendidikan Nilai (Bandung: CV Alfabeta, 2004), 99.
17
(manusia yang meyakini).29 Jadi nilai adalah sesuatu yang berguna bagi manusia yang dijadikan landasan dalam bersikap dan berperilaku dalam hidupnya. 2.
Pengertian Pendidikan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.30 Adapun
menurut
Ahmad
D.
Marimba,
pendidikan
adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani yang dididik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.31 Sedangkan menurut Soegarda Poerbakawatja, pendidikan ialah semua perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya,
pengalamannya,
kecakapannya
dan
keterampilannya
kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani.32 Jadi pendidikan ialah proses yang berlangsung secara sadar, antara pendidik dan yang dididik dalam rangka menghasilkan perubahan, baik akal,
29
HM. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
61. 30
UU No 20 Tahun 2003 SISDIKNAS (Bandung: Citra Umbara, 2003), 3. Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Al-Ma'arif, 1989), 19. 32 Soegarda Poerbakawatja, et. Al., Ensiklopedi Pendidikan (Jakarta: Gunung Agung, 1981), 31
257.
18
akhlak maupun keterampilannya, yang selanjutnya berguna untuk kehidupan individu maupun sosialnya. Dari beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai pendidikan adalah segala sesuatu yang dianggap bermanfaat dalam rangka proses pendidikan. Proses dan pelaksanaan pendidikan tidak mungkin berjalan tanpa adanya arah yang hendak dicapai sebagai garis besar kebijaksanaan, sebagai program, dan sebagai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan baik isinya maupun rumusannya tidak mungkin ditetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai.33 Secara umum, hubungan antara nilai dengan pendidikan dapat dilihat dari tujuan pendidikan itu sendiri. Seperti yang terdapat dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu pengembangan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga yang demokratis dan bertanggung jawab mengandung nilai penting bagi pembangunan karakter bangsa. Dari tujuan pendidikan nasional itu tampak bahwa sebagian besar nilai yang hendak dikembangkan lebih didominasi oleh nilai-nilai moral daripada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan nilai keindahan.34
33
Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 140. 34 Mulyana, Mengartikulasikan, 104.
19
Menurut al-Syaibany tujuan pendidikan adalah proses menuju perubahan-perubahan yang diinginkan, perubahan tersebut terletak pada 3 bidang, antara lain :35 a.
Tujuan-tujuan individual yang berkaitan dengan individu, pelajaran yang menyangkut pribadinya, di antaranya: pada tingkah laku, aktivitas dan pencapaiannya, dan persiapan untuk kehidupan dunia dan akhiratnya.
b.
Tujuan
sosial
berkaitan
dengan
kehidupan
masyarakat
secara
keseluruhan, tingkah laku masyarakat umumnya dan kekayaan pengalaman c.
Tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi, dan sebagai aktivitas di tengah masyarakat. Tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau
pandangan hidup manusia, baik secara perseorangan maupun kelompok. Membicarakan tujuan pendidikan akan menyangkut sistem nilai dan normanorma dalam suatu konteks kebudayaan, baik dalam mitos, kepercayan dari religi, filsafat, ideologi dan sebagainya. Dalam tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang diperhatikan, antara lain :36 a.
Autonomy yaitu memberikan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok, untuk hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
35 36
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004), 161. Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: CV Alfabeta, 2003), 58.
20
b.
Equity (keadilan) berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan ekonomi, dengan memberinya pendidikan dasar yang sama.
c.
Survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Berdasar ketiga nilai di atas, pendidikan mengemban tugas untuk
menghasilkan generasi yang berkebudayaan dan berkepribadian lebih baik. Nilai-nilai di atas menggambarkan pendidikan dalam suatu konteks yang sangat luas menyangkut kehidupan seluruh umat digambarkan bahwa tujuan pendidikan adalah tercapainya kedewasaan, yaitu tercapainya titik optimal dari perkembangan semua potensi manusia , baik fisikal maupun spiritual.37 Jadi pada intinya, di dalam tujuan pendidikan itu tersimpul semua nilai pendidikan yang hendak diwujudkan di dalam pribadi anak didik. Setelah kita mengetahui beberapa pendapat yang mengemukakan tentang tujuan pendidikan, maka fungsi tujuan pendidikan di antaranya: 38 a.
Mengakhiri tujuan Proses pendidikan tanpa adanya target pencapaian yang jelas, maka tidak akan ada akhirnya. Maka tujuan berfungsi untuk mengakhiri tujuan.
b.
Mengarahkan tujuan Sebagai petunjuk dalam mencapai tujuan.
37 38
1998), 61.
Syam, Filsafat Pendidikan, 22. Hamdani Ihsan & A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: CV Pustaka Setia,
21
c.
Suatu tujuan dapat pula merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuantujuan lain, baik tujuan baru maupun tujuan lanjutan
d.
Memberi nilai (sifat) pada usaha-usaha itu Kalau tujuan pendidikan yang hendak dicapai sudah terpenuhi, maka dapat dinilai (disifati) apakah tujuan pendidikan yang telah dicapai sudah sesuai harapan atau belum. Kemudian menurut John S. Brubacher dalam setiap usaha
pencapaian tujuan pendidikan, ada 3 fungsi penting yang bersifat normatif, yaitu: 39 a.
Tujuan pendidikan memberikan arah pada proses yang bersifat edukatif
b.
Tujuan pendidikan tidak selalu memberi arah pada pendidikan, tetapi harus mendorong atau memberikan motivasi yang baik.
c.
Tujuan pendidikan mempunyai fungsi untuk memberikan pedoman atau menyediakan kriteria-kriteria dalam mengevaluasi proses pendidikan. Dari uraian di atas jelaslah bahwa inti tujuan pendidikan adalah
tercapainya kedewasaan yang mencakup fungsi-fungsi individualitas, sosialitas dan moralitas sehingga tercapainya kebulatan pribadi manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Untuk dapat menjabarkan potensi moralitas dalam kehidupan sehari-hari diperlukan tentang nilai yang merupakan acuan tolok ukur dari sikap seseorang. Sistem nilai merupakan unsur dinamis dari proses terjadinya integritas pribadi.40
39 40
Ibid., 62. Syam, Filsafat Pendidikan, 22.
22
Dalam dunia pendidikan, nilai pendidikan ditanamkan melalui praktek-praktek hidup dan individu itu sendiri, karena manusia akan memahami suatu nilai ketika ia mewujudkannya dalam perbuatan.
B. Peran Nilai dalam Proses Pendidikan 1.
Dimensi-Dimensi Nilai Pendidikan Dari perbuatan mendidik dan para pendidik, dapat diketahui bahwa nilai-nilai kependidikan terjelma secara langsung ataupun tidak langsung dalam setiap keputusan yang diambil oleh pendidik. Nilai-nilai tersebut berhubungan dengan proses dan tujuan pendidikan dari banyak sudut, seperti dengan isi kurikulum, tujuan pengajaran berbagai mata pelajaran, dasardasar seleksi dan pengelompokan siswa, motivasi pengajaran, dan dimensidimensi proses pendidikan lainnya. Hubungan yang erat antara nilai dan perbuatan mendidik tampak lebih jelas ketika nilai itu dilihat dari sudut tujuan pendidikan. Ketika pendidik membatasi tujuan pendidikan, itu berarti ia tengah membatasi nilai pendidikan. Melalui pembatasan itulah dapat dilihat apa yang akan diperbuat oleh pendidik atau sekolah. 41 Guru -begitu pula siswa- akan menghargai dan mencintai pekerjaannya apabila ia mempunyai perhatian terhadap pekerjaan itu. Itu berarti ia telah melakukan semacam pe-nilai-an yang berhubungan dengan pembatasan tujuan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai tertentu. Setiap nilai kadang-kadang dijadikan pertimbangan tertentu oleh guru dan siswa. 41
Hery Noer Aly & Munzier, Watak Pendidikan Islam (Jakarta Utara: Friska Agung Insani, 2000), 134.
23
Namun, perbuatan persekolahan sebagai keseluruhan tidak mengikuti semacam penghargaan formal tersebut. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh nilai terhadap proses pendidikan, seseorang cukup mengingat apa yang dilakukan guru ketika memilih metode ganjaran atau hukuman atau salah satu metode mengajar. Ketika itu ia memilihnya berdasarkan nilai tertentu dan norma-norma kependidikan yang berhubungan dengan nilai tersebut. Cara tersebut dapat dianalogikan pada sejumlah ketetapan dan aplikasi kependidikan lainnya.42 Kebanyakan pendidik merumuskan nilai-nilai yang diikutinya dengan metode ilmiah eksperimental (Amerika) dari apa yang ia alami selama melaksanakan perbuatan mendidik. Namun, sebagian lain —dan ini sedikit—kadang-kadang mengadopsi teori nilai tertentu, lalu menjadikannya sebagai landasan pelaksanaan pendidikan. Perbedaan pendekatan ini mendorong lahirnya diskusi tentang persoalan penting, yaitu subjektivitas dan objektivitas nilai-nilai serta pengaruh masing-masing terhadap proses pendidikan.
2.
Subjektivitas dan Objektivitas Nilai-Nilai Pendidikan Persoalan yang muncul dari perdebatan sekitar nilai kependidikan ialah: apakah nilai itu ada secara bebas (independent) dari sumber yang membatasinya (the valuer)? Dengan kata-kata lain, apakah nilai itu ada sesuai dengan prasangka individu yang membatasinya ataukah ada secara orisinal dalam organisme penilai (a valuing organism) yang berdiri sendiri? 42
Ibid.
24
Persoalan ini memunculkan problem berbagai relasi dalam proses pendidikan: apakah internal ataukah eksternal?43 Persoalan tersebut telah melahirkan berbagai pandangan yang berbeda. Pandangan pertama menyatakan bahwa nilai kependidikan adalah subjektif dan merefleksikan apa yang ada di dalam diri individu atas anggapan bahwa nilai itu bersifat biologis dan psikologis. Dalam pandangan ini,
aplikasi-aplikasi
kependidikan
seperti
kurikulum,
buku
teks,
laboratorium, dan kegiatan olah raga mempunyai nilai kependidikan hanya karena relasinya dengan pemenuhan kebutuhan, kecenderungan, dan keinginan yang menilainya. Siswa atau guru, ketika mendefinisikan suatu nilai kependidikan pada kenyataannya tengah mengekspresikan emosi, perasaan, dan perhatiannya.44 Pandangan kedua menyatakan bahwa nilai kependidikan digali dari sumber-sumber objektif dan tidak mengekspresikan putusan-putusan subjektif dalam keadaan apa pun. Mereka menolak gagasan yang menyatakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang individual dan khas. Mereka menguatkan adanya "teori ilmiah tentang nilai" yang merupakan landasan keberadaan dan bangunan nilai persis seperti metode kerja "hukumhukum kealaman". Pandangan ketiga menyatakan bahwa nilai kependidikan bukan sekedar persoalan subjektivitas dan objektivitas, melainkan sesuatu yang dihasilkan melalui hubungan antara aspek subjektif dan aspek objektif persis 43 44
Ibid., 135. Ibid.
25
seperti percampuran antara hidrogen dan oksigen yang menghasilkan air. Berdasarkan analogi tersebut, interaksi antara organisms dan lingkungan sekitar individu (environment) menghasilkan nilai (value). Tabiat interaksi ini dapat diungkapkan dengan satu kata denotatif, yaitu perhatian (interest); suatu unsur environmental yang membawa makna nilai sesuatu antara dua kutub, seperti siswa dan kurikulum.45 Dalam
aplikasi
pandangan-pandangan
di
atas,
pengembang
kurikulum yang mengambil pandangan subjektif akan menghadapi persoalan kecenderungan dan minat. Mereka akan menemui kesulitan untuk memasukkan bahasa Latin, umpamanya, ke dalam kurikulum apabila faktafakta membuktikan bahwa siswa tidak menaruh perhatian terhadap mata pelajaran tersebut serta para orang tua dan kebanyakan guru tidak yakin bahwa mata pelajaran tersebut dibutuhkan. Sementara itu, pengembang kurikulum yang mengambil pandangan objektif mungkin yakin akan adanya nilai pengajaran bahasa Latin meskipun para siswa tidak menampakkan perhatian terhadapnya dan para orang tua memandangnya tidak bermanfaat. Apa yang berlaku pada bahasa Latin dapat dianalogikan pada aljabar dan mata pelajaran lain.46 Yang jelas, setiap pendapat di atas memiliki kekurangan dan kelebihannya. Apabila pendidik mempedulikan kecenderungan dan perhatian serta pendapat para orang tua, maka urutan logis (sequence) kurikulum akan kehilangan dasarnya. Dengan demikian, persoalannya sudah tentu menjadi 45 46
Ibid., 136. Ibid.
26
subjektif. Sementara itu, apabila pendidik mengabaikan kecenderungan, motivasi, dan perhatian, maka akan menambah beban bagi para siswa dan membuat proses pendidikan tidak berjalan lurus. Dengan demikian, ia tidak meletakkan kecenderungan dan motivasi secara proporsional, yaitu dalam hubungan antara siswa dan kurikulum; alih-alih hubungan itu akan terbatas antara kurikulum dan orang-orang dewasa yang menangani urusan pengajaran, dan pada gilirannya menimbulkan banyak aspek negatif dalam proses pendidikan.
3.
Bentuk-Bentuk Nilai Pendidikan Ada dua pembagian besar tentang bentuk-bentuk nilai. Pertama, nilai dipandang sebagai konsep, dalam arti memberi nilai atau timbangan (to value). Kedua, nilai dipandang sebagai proses penetapan hukum atau penilaian (to evaluate).47 Bentuk-bentuk
nilai
pendidikan
yaitu
nilai
instrumental
(instrumental value) dan nilai intrinsik (intrinsic value). Nilai instrumental adalah nilai yang dianggap baik karena bernilai untuk sesuatu yang lain. Nilai ini ada ketika seseorang mengutamakannya karena kebaikan yang ada padanya. Dengan kata lain, sesuatu itu bernilai karena berguna bagi hal tertentu atau bermanfaat untuk tujuan tertentu. Umpamanya, seseorang menetapkan isi program latihan atau kurikulum sekolah bagi sekelompok
47
Ibid., 137.
27
guru karena ia memandangnya berguna untuk mencapai tujuan langsung yang mereka dipersiapkan untuk itu.48 Sedangkan nilai intrinsik ialah nilai yang dianggap baik, tidak untuk sesuatu yang lain, melainkan nilai di dalam dan dari dirinya sendiri. Dengan kata lain, nilai baik sesuatu itu tidak tergantung pada selainnya, tetapi lahir dari karakteristik asli yang ada di dalam dirinya. Ambillah contoh bangku dan laci siswa di dalam kelas. Nilai laci itu lahir dari fungsi aslinya bagi siswa, yang tidak dapat digantikan oleh sesuatu yang lain. Dengan kata lain, nilai laci itu, berada pada taraf objektif, bukan penghargaan subjektif.
4.
Jenis-Jenis Nilai Pendidikan Seperti yang telah dikemukakan di atas, pendidikan pada hakikatnya akan mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Kegiatan tersebut kita laksanakan sebagai suatu usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai. Maka, dalam pelaksanaannya, ketiga kegiatan tersebut harus berjalan secara terpadu dan berkelanjutan serta serasi dengan perkembangan peserta didik dan lingkungan hidupnya. Nilai-nilai yang akan ditransformasikan tersebut diantaranya: 1.
Nilai Agama Konsep mengenai penghargaan yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan beragama yang bersifat suci sehingga menjadi pedoman bagi
48
Ibid.
28
tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkutan. 49 Secara hakiki, sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibanding dengan nilai-nilai lainnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Cakupan nilainyapun lebih luas. Struktur mental manusia dan kebenaran mistik-transendental merupakan dua sisi unggul yang dimiliki nilai agama. Karena itu nilai tertinggi yang harus dicapai adalah kesatuan (unity). Kesatuan berarti adanya keselarasan semua unsure kehidupan; antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan, atau antara i’tiqad dengan perbuatan. Kaitannya dengan peserta didik, mereka dipengaruhi oleh dimensi-dimensi transcendental yang tingkat pemaknaannya bergantung pada pengalaman dan kesadaran pribadi masing-masing pada usia tertentu. Mereka mampu menjangkau kesadaran supra logis yang membuat dirinya lebih dari sekedar “manusia” (man more than man). Perwujudan dimensi spiritual adalah keimanan, sedangkan semangat keimanan itu disebut spiritualitas.50 Karena nilai bersifat ideal dan tersembunyi dalam setiap kalbu insan, pelaksanaan nilai tersebut harus disertai niat. Niat merupakan I'tikad seseorang yang mengerjakan sesuatu dengan penuh kesadaran. Dengan niat itu, seseorang dikenai nilai, karena niatlah yang mendasari apakah aktivitas yang dilakukan subyek itu baik atau buruk.
49 50
Muhaimin dan Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, 110. Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 108.
29
Dalam agama Islam, masalah pokok dalam kehidupan keagamaan itu meliputi 3 hal, yaitu aqidah (keimanan), syari'ah (ibadah) dan akhlak. Jadi ketiga hal tersebut harus dapat dijadikan pedoman bagi terwujudnya tujuan pendidikan.
2. Nilai Estetika Nilai estetika (nilai keindahan) menempatkan nilai tertinggi nya pada bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari sisi subyek yang memilikinya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah. Nilai ini lebih mengandalkan pada hasil penilaian pribadi seseorang yang bersifat subyektif.51 Nilai estetika mutlak dibutuhkan manusia, karena merupakan bagian hidup manusia yang tak terpisahkan, yang dapat membangkitkan semangat baru, gairah berjuang. Nilai estetika tidak hanya berlaku pada satu institusi, tetapi berlaku dimana saja, pada agama, pendidikan, sosial, politik, hukum, ekonomi, ideologi, dsb. Nilai estetika ini merupakan fenomena sosial yang lahir dari rangsangan cipta dalam rohani seseorang. Rangsangan tersebut untuk memberikan ekspresi dalam bentuk cipta dari suatu emosi yang dalam atau pemikiran yang agung, karya estetika akan melahirkan rasa yang disebut dengan "indah".52 Nilai seni menyangkut nilai bentuk-bentuk yang menyenangkan
51 52
Ibid., 34. Muhaimin dan Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam, 119.
30
secara estetik (kesenian). Kesenian pada dasarnya, menurut Aristoteles adalah untuk mendidik perasaan manusia agar menjadi halus dan peka menghadapi berbagai rangsangan dan tantangan.
3.
Nilai Budaya Konsep abstrak mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia.53 Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkup masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, motto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok motto suatu lingkungan atau organisasi. Ada 3 hal yang terkait dengan nilainilai budaya yaitu : 54 a.
Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas)
b.
Sikap, tingkah laku, gerak-gerik yang muncul akibat slogan, motto tersebut
c.
53 54
Kepercayaan yang tertanam (belief system) yang mengakar dan
Ibid., 110. http://www.warnadunia.com/nilai-budaya diakses pada tanggal 13 Mei 2009.
31
menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat) Sedangkan asas utama untuk menguatkan nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat adalah melalui pendidikan. Sebab melalui pendidikan pola pikir atau cara pandang seseorang dapat dibentuk.
4.
Nilai Moral Kebanyakan orang mengartikan sama antara moral dan etika. Sama-sama berarti adat kebiasaan. Akan tetapi, sebenarnya etika dan moral memiliki arti yang berbeda. Etika bersifat teori sedangkan moral bersifat praktik. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia itu. Definisi moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia berupa kemampuan membedakan antara berbuatan (benar salah) menurut situasi tertentu. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam tingkah laku manusia.55 Nilai-nilai moral yang perlu disosialisasikan dan ditanamkan pada peserta didik umumnya mencakup :56 1) Kebebasan dan otoritas : kebebasan memiliki makna majemuk dalam proses pendidikan baik formal, non formal, dan informal. Selama hayat dikandung badan, tak seorang pun memiliki
55
Sunarto & Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002),
56
http://23veranita.blogspot.com/2008/nilai-nilai-pendidikan.html diakses pada tanggal 10
168. Juni 2009.
32
kebebasan mutlak. Manusia perlu berani untuk hidup dan tampil berbeda dari yang lain tanpa melupakan prinsip hidup dalam kebersamaan, yaitu kebebasan yang bertanggung jawab. 2) Kedisiplinan. Merupakan salah satu masalah besar dalam segala aspek kehidupan, khususnya pendidikan. Maka perlu perhatian yang khusus, baik oleh pendidik, peserta didik, keluarga maupun masyarakat. 3) Nurani yang benar, baik jujur berperan penting dalam proses sosialisasi nilai moral dalam proses pendidikan. Jelaslah, bahwa penanaman nilai-nilai moral dalam dunia pendidikan tidak hanya tugas sekolahan dan tenaga pendidik. Akan tetapi, keluarga dan masyarakat juga harus benar-benar mendukung proses penanaman dan penerapan nilai-nilai moral.
5.
Nilai Sosial Nilai tertinggi yang terdapat dalam nilai ini adalah kasih sayang antar manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang antara kehidupan individu dan sosial. Sikap tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, perasaan simpati dan empati, perasaan saling memahami terhadap sesama merupakan perilaku yang menjadi kunci keberhasilan dalam meraih nilai sosial.57 Contoh saja ketika seseorang merasa berkewajiban itu berarti bahwa ia telah dan sedang memberi hak kepada orang lain. Di sini harus seimbang antara
57
Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 108.
33
hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai anggota masyarakat, yang akan menghasilkan keteraturan sosial. Dalam kehidupannya, peserta didik tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial. Ia melakukan interaksi secara individual maupun kelompok. Karena itu, penanaman rasa keadilan dan kedamaian merupakan hal penting dalam menumbuhkan aspirasi peserta didik terhadap kehidupan sosialnya.
6.
Nilai Kebenaran/Ilmu Ada 2 sumber ilmu dalam Islam, yaitu: 1) Naqal (berpangkal pada Tuhan melalui agama), sebagai petunjuk ke arah jalan kebenaran yang tidak dapat diperoleh dengan upaya manusia sendiri (yaitu, al-Qur’an). 2) 'Aqal (berpangkal pada manusia melalui akal). Intelektualitas manusia yang selalu kontak dengan alam semesta dengan observasi, renungan, eksperimen dan aplikasinya. Dalam hal ini manusia bebas, asalkan tetap dalam konteks al-Qur’an dan al-Hadis. Secara hukum, jenis ilmu yang pertama merupakan fardlu ‘ain dan yang kedua fardlu kifayah. Namun manusia ideal adalah yang menguasai
kedua
jenis
ilmu/kebenaran
itu,
meskipun
derajat
kemampuannya sangat tergantung dari potensi yang dimilikinya, lingkungan dan kematangan diri serta masyarakatnya. Kebenaran berimplikasi pada upaya memperoleh pengetahuan secara terus-menerus dalam segala hal. Peserta didik tidak cukup
34
menemukan kebenaran hanya sampai pada penemuan data dan mengetahui fakta. Mereka harus mampu mengembangkan berpikir kritis dan kreatif agar mampu menghadapi tantangan dunia modern di masyarakat mendatang. 7.
Nilai Sains dan Teknologi Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu bukti bahwa manusia mampu mengembangkan intelektualnya sampai pada batas-batas maksimal. Kemajuan ini terjadi tidak saja berlangsung
dalam
perubahan
yang
berbeda
dari
pengalaman
sebelumnya, akan tetapi terkadang melampaui kemampuan manusia saat ini. Berbagai kemudahan manusia diperoleh berkat kemajuan iptek, namun di lain pihak kemajuan iptek membawa dampak moral yang cukup berat apabila pengembangan iptek tidak dilandasi rasa tanggung jawab. Penguasaan iptek tidak cukup hanya dengan potensi kepintaran. Di satu pihak, iptek semakin menampakkan keunggulannya dalam memberikan fasilitas kemudahan untuk kehidupan manusia, namun di lain pihak tengah terjadi benturan nilai-nilai kehidupan yang tidak terelakkan bahkan menyeret manusia kepada krisis multidimensi. Krisis semacam ini membuat manusia semakin sulit memposisikan dirinya apabila tidak memiliki ketahanan diri sekaligus fleksibilitas diri dalam menghadapi dampak-dampak bawaan akibat kemajuan iptek di
35
luar dirinya.58 Secara praktis, untuk mengatasi kemungkinan terjadinya krisiskrisis tersebut, terpulang pada persoalan pendidikan. Pendidikan memiliki peran strategis dalam mendayagunakan potensi manusia agar menjadi lebih baik dan matang. Adapun hal-hal yang harus disiapkan dalam mengatasi dampak buruk tersebut adalah :59 a.
Learning to know (belajar untuk mengetahui)
b.
Learning to do (belajar untuk berbuat)
c.
Learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri)
d.
Learning to live together (belajar untuk hidup bersama) Dengan demikian, peran pendidikan dalam menanamkan nilai
ilmu pengetahuan (sains) adalah bagaimana memposisikan hasil pendidikan berupa ilmu itu agar memiliki sinergitas dengan iman dan akhlak (moral) dan menjadi pola tingkah laku yang baik dan biasa di masyarakat. Sedangkan dalam penanaman nilai teknologi diharapkan mampu menyikapi secara cerdas akan dampak-dampak buruk kemajuan teknologi dan memanfaatkannya untuk hidup di masa kini dan menghadapi masa yang akan datang dengan menjadi manusia yang berwawasan luas, memiliki keterampilan tepat guna, berkepribadian mandiri dan bertanggung jawab.
8.
58 59
Nilai Keterampilan
Ibid., 111-112. Ibid., 113.
36
Keterampilan atau biasa disebut dengan istilah skill adalah suatu kemampuan yang harus dimiliki seseorang sebagai bekal menghadapi segala sesuatu dalam hidupnya. Tujuan keterampilan ditanamkan dalam proses pendidikan adalah memfungsikan pendidikan sesuai dengan fitrahnya yaitu mengembangkan potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya di masa datang. Ada beberapa keterampilan yang harus dikuasai seseorang dalam hidupnya. Diantaranya : 1.
General Life Skill (Keterampilan hidup yang bersifat umum) Keterampilan hidup yang bersifat umum meliputi : personal skill dan sosial skill a. Personal Skill (Keterampilan Individu) Keterampilan Individu di antaranya : 1) Basic Skill (Keterampilan Dasar) Keterampilan
dasar
yang
harus
dimiliki
seseorang.
Meliputi: membaca, menulis, berhitung, mendengarkan dan berbicara. 2) Self Awareness Skill (Keterampilan Mengenali Diri) Keterampilan mengenali diri adalah kesadaran sebagai makhluk Tuhan, kesadaran akan eksistensi diri, kesadaran akan potensi diri, kesadaran sebagai anggota masyarakat, kesadaran
akan
kekurangan
dan
kelebihan
dengan
37
senantiasa mensyukurinya. Ini sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. 3) Thinking Skill (Keterampilan Berpikir Rasional) Keterampilan berpikir rasional meliputi keterampilan menggali,
menemukan
keterampilan
dan
mengambil
mengolah
keputusan,
informasi, keterampilan
memecahkan masalah. b. Social Skill (Keterampilan Sosial) Keterampilan sosial adalah keterampilan yang harus dimiliki seseorang
dalam
hidup
bermasyarakat,
di
antaranya
keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, keterampilan bekerja sama dengan
orang lain,
keterampilan
mendengar dan
menyampaikan dengan empati. 2.
Specific Life Skill (Keterampilan Hidup yang Bersifat Khusus) Keterampilan Hidup yang Bersifat Khusus di antaranya : a. Academic Skill (Keterampilan Intelektual) Keterampilan Intelektual, yaitu kemampuan berpikir ilmiah dan pada dasarnya merupakan pengembangan dari thinking skill meliputi keterampilan mengidentifikasi dan menghubungkan variabel, merumuskan hipotesis, dan keterampilan melakukan penelitian. b. Vocational Skill
38
Vocational Skill, yaitu keterampilan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang ada dalam masyarakat. Keterampilan-keterampilan hendaknya
dikuasai
oleh
di
atas,
peserta
sedikit didik
demi
dalam
sedikit rangka
mengaktualisasikan potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problem yang dihadapinya agar menjadi pribadi yang mandiri.
9.
Nilai Efisiensi Ekonomi Nilai ini perlu diajarkan agar peserta didik mau bekerja keras serta mampu memanfaatkan sumber daya alam secara kreatif dan imajinatif. Nilai yang menekankan bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan agar peserta didik mampu berkreasi menghasilkan barang yang berharga dan bermanfaat bagi kehidupannya. Karena itu, elemen pendidikan dalam menanamkan nilai efisiensi ekonomi adalah upaya menciptakan semangat untuk berusaha.60
10. Nilai Nasionalisme Nilai ini berarti cinta pada Negara dan bangsa. Rasa mencintai negara dan bangsa diwujudkan oleh setiap warga Negara dari setiap unsur politik yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan, yaitu membangun harga diri dan citra bangsa. Nilai nasionalisme ini membentuk suatu komitmen kolektif untuk melakukan suatu upaya
60
Ibid., 109.
39
rekonsiliasi dan rekonstruksi bangsa. Pada gilirannya, komitmen kolektif berimplikasi pada perlunya pendidikan untuk menanamkan kesadaran bernegara (civic consciousness), sehingga menumbuhkan kepedulian peserta didik atas hak dan kewajibannya.61
C. Tantangan Globalisasi dan Pendidikan Nilai 1.
Tantangan Globalisasi a. Pengertian Globalisasi Kata globalisasi diambil dari kata global. Yang maknanya ialah universal. Sedangkan menurut istilah, globalisasi adalah proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lainnya, mewujudkan satu tantangan kehidupan baru dengan menyingkirkan
batas-batas
geografis,
ekonomi
dan
budaya
masyarakat.62 Menurut Richard Crawford, era globalisasi (era of human capital) adalah suatu masa yang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi telekomunikasi berkembang sangat pesan, itu menyebabkan semakin derasnya arus informasi dan terbukanya pasar internasional yang berdampak pada kehidupan manusia.63
61
Ibid. http://www.wikipedia.org/wiki/globalisasi diakses tanggal 31 Agustus 2009. 63 Suwendi, Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 184. 62
40
Pada masa ini, cenderung ditandai oleh ledakan pengetahuan dan informasi. Arus informasi yang akan kita hadapi sangat besar dan pengetahuan baru yang diciptakan oleh para ilmuwan juga akan besar jumlahnya.64 Kondisi tersebut menuntut sumber daya manusia unggul dan
memadai
yang
mampu
mensiasati
dan
mengantisipasi
kemungkinan-kemungkinan yang sedang dan akan terjadi. Dan ini berlaku di segala bidang ekonomi, politik, sosial budaya, hankan, bahkan pendidikan. b. Sejarah Globalisasi Orang yang pertama kali menggunakan istilah globalisasi adalah Theodore Levitte pada tahun 1985. Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antar bangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat maupun jalur laut untuk berdagang. 65 Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, 64 65
Ibid., 185. http://id.wikipedia.org/wiki/globalisasi diakses pada tanggal 31 Agustus 2009.
41
Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.66 Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besarbesaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar bangsa di dunia. Berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.67 Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah
jalan
terbaik
dalam
mewujudkan
kesejahteraan
dunia.
Implikasinya, negara-negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antar negarapun mulai kabur.
66 67
Ibid. Ibid.
42
c. Ciri-Ciri Globalisasi Berikut
ini
beberapa
ciri
yang
menandakan
semakin
berkembangnya fenomena globalisasi di dunia. Hilir mudiknya kapalkapal pengangkut barang antar negara menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia. Ciri-cirinya antara lain:68 1) Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. 2) Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO) 3) Peningkatan interaksi cultural melalui perkembangan media massa. 4) Meningkatnya
masalah
bersama,
misalnya
dalam
bidang
lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lainlain. d. Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan Pendidikan merupakan bidang yang akan menerima dampak yang terus-menerus dari era globalisasi, karena pendidikanlah yang mampu membentuk pola pikir dan kepribadian manusia. Itu merupakan aset utama dalam membentuk masyarakat global. Jika dilihat dari perspektif dunia pendidikan dalam era globalisasi, terdapat dampak, baik negatif maupun positif. Diantaranya:
68
http://www.g-excess.com/id/pages/globalisasi.html diakses pada tanggal 31 Agustus 2009.
43
Dampak Positif 1) Adanya semangat bersaing. Peningkatan mutu pendidikan antar bangsa yang selanjutnya membina persaingan yang sehat 2) Sumber belajar semakin luas. Ini menyebabkan semakin mudahnya proses pembelajaran 3) Komunikasi lintas budaya menuntut pelajar untuk menguasai bahasa internasional 4) Kesadaran tentang pentingnya pendidikan dalam dunia global akan menyebabkan pendidik dan pelajar berkonsentrasi menghasilkan produk pendidikan yang sesuai permintaan global 5) Saling memahami nilai antar bangsa akan semakin memupuk perdamaian69 Dampak negatifnya antara lain : 1) Negara-negara maju cenderung memanfaatkan negara-negara yang berkembang untuk merampas peluang demi memajukan sistem pendidikan mereka sendiri 2) Perubahan sistem pendidikan karena permintaan pasaran global. Dipandang seolah-olah pendidikan hanya dilihat sebagai komoditi dan bukan lagi sebagai kebutuhan hidup yang sebenarnya. Pendidikan menjadi kurang merdeka karena cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan global
69
Ibid.
44
3) Keterbatasan kemampuan SDM dalam mengikuti perkembangan global.70 e. Tantangan Dunia Pendidikan di Era Globalisasi 1) Pendidikan yang tanggap terhadap situasi persaingan dan kerja sama global. Di era globalisasi ini dimaksudkan zaman ketika tidak ada satupun masyarakat modern di dunia ini yang dapat mengisolasi diri dari masyarakat modern lain. Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang tanggap terhadap tantangan persaingan dan kerja sama global. Yaitu mempersiapkan generasi yang nantinya mampu di satu pihak mampu bersaing secara fair, dan di pihak lain mampu bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain. Untuk bisa bersaing secara fair, peserta didik kita perlu dibekali dengan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta sistem nilai yang memang dibutuhkan untuk masa depan. Sedangkan dalam menjalin kerja sama global, selain kemampuan komunikasi juga diperlukan pengenalan dan pengindahan aturan main (tata krama) pergaulan internasional.71 Dari itu, maka tugas pendidikan adalah membentuk manusia-manusia global. Seperti yang dikatakan oleh Sujarwo, manusia global adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (bermoral), mampu bersaing, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki jati diri yang baik.72 Sedangkan menurut H.A.R Tilaar, manusia masa depan adalah manusia yang menguasai ilmu dan teknologi, yang berwatak tahan banting, tetapi juga yang tangguh dalam menghadapi erosi nilai-nilai agama. Manusia Indonesia masa depan adalah manusia yang “berimtaq”. Tanpa imtaq maka manusia mudah jatuh di dalam keangkuhan intelektualnya. Dan menurut sementara ahli akan merupakan ancaman terhadap eksistensi umat manusia itu sendiri.73 Ini berarti bahwa, dalam proses membentuk manusia global, pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Kondisi tersebut tidak dapat dielakkan bahwa dalam proses pendidikan tidak hanya pengetahuan dan pemahaman peserta didik yang perlu dibentuk, 70
Ibid. Universitas Sanata Dharma, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 4. 72 http://pakguruonline.pendidikan.net diakses pada tanggal 20 Agustus 2009. 73 H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional (Magelang: Tera Indonesia, 1998), 85. 71
45
namun sikap, perilaku dan kepribadiannya perlu mendapatkan perhatian yang serius, mengingat perkembangan iptek tidak selalu membawa pengaruh positif bagi mereka. 2) Pendidikan yang membentuk pribadi mampu belajar seumur hidup Globalisasi membawa kita pada sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Dunia yang terbuka. Ini berarti dunia yang kompetitif. Yang setiap manusia mempunyai kesempatan yang sama berbuat suatu yang produktif dan bermutu. Dunia yang semakin terbuka disertai dengan kemajuan iptek yang pesat, akan membawa manusia pada dilema karena keterbatasan kemampuan otaknya. Namun dengan bantuan iptek ini akan membantu mengatasi keterbatasan kemampuan otak manusia agar bisa bertahan hidup di era ini.74 Kehidupan masa depan juga akan semakin komplek dan ditandai oleh perubahan sosial yang semakin cepat. Dan untuk menghadapi tantangan tersebut, pendidikan perlu melatih pelajar untuk mampu mandiri serta dapat memanfaatkan sumber informasi yang diperlukan untuk dapat menjawab persoalan yang dihadapinya. Lingkungan alam dan sosial mendatang juga cepat berubah. Oleh karena sains dan teknologi yang menunjangnya berubah. Hal ini menuntut kita untuk selalu pandai beradaptasi dan terus belajar. Karena selalu menghadapi hal-hal yang berbeda. Maka benarlah jika komisi UNESCO berpendapat bahwa, 4 prinsip utama yang harus dipersiapkan dalam pendidikan era global sekarang adalah : 1) learning to think, 2) learning to do, 3) learning to be, 4) learning to live together. 3) Pendidikan yang menyadari pentingnya dan mengupayakan terlaksananya pendidikan nilai Tantangan masa depan yang terkait erat dengan perubahan sosial yang semakin cepat adalah tantangan yang menyangkut pergeseran nilainilai dalam masyarakat, yang kadang-kadang juga membawa krisis nilai. Oleh sebab itu, tantangan ketiga dalam pendidikan era globalisasi adalah bagaimana melakukan pendidikan yang menyadari pentingnya pendidikan nilai.75 Pendidikan nilai merupakan bagian integral kegiatan pendidikan. Karena pendidikan pada dasarnya melibatkan pembentukan sikap, watak, dan kepribadian peserta didik. Pendidikan tidak hanya menghasilkan generasi yang cerdas dan terampil, tetapi juga pribadi yang berbudi pekerti luhur. Tanpa disertai dengan integrasi pribadi, kecerdasan dan keterampilan cenderung disalah gunakan.76 74
Universitas Sanata Dharma, Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, 6. Ibid., 7. 76 Ibid., 8. 75
46
Sebagai contoh, semakin dominannya nilai ekonomis dan merajalelanya komersialisasi di berbagai bidang kehidupan termasuk pendidikan. Maka nilai-nilai kemanusiaan (yaitu kesetiaan, keadilan, kejujuran, penguasaan diri, saling menghormati) semakin terancam. Ini adalah akibat dari erosi nilai moral dan spiritual.77 Oleh karena itu, pendidikan globalisasi perlu menekankan penting dan terlaksananya pendidikan nilai. Dengan harapan, dampak negatif dari kemajuan sains dan teknologi akan dapat dihindarkan. Karena segala sesuatu yang akan terjadi bergantung pada manusia, sebagai pencipta dan pengguna segala kemajuan iptek tersebut. f. Tantangan Pendidikan Nilai Dalam dunia pendidikan kita sekarang ini yang terjadi adalah kurangnya penyadaran nilai secara bermakna. Beberapa tantangan pendidikan nilai adalah: 78 a.
Pergeseran Substansi Pendidikan Makna pendidikan yang syarat dengan muatan nilai-nilai moral bergeser pada pemaknaan pengajaran yang cenderung transfer pengetahuan saja. Perubahan substansi pendidikan ke pengajaran berdampak langsung terhadap pembentukan kepribadian peserta didik. Selain itu, terabaikannya sistem nilai yang semestinya menyertai proses pembelajaran dapat mengakibatkan ketimpangan intelektual dengan emosional yang pada gilirannya hanya akan melahirkan sosok spesialis yang kurang peduli terhadap lingkungan. Karenanya, pendidikan yang berdimensi nilai, moral, dan norma sangat penting bagi masyarakat yagn cepat berubah. Beberapa penyebab pergeseran tersebut adalah :
77 78
Ibid. Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 146.
47
1) Masih kukuhnya pengaruh paham behaviorisme dalam sistem pendidikan
sekarang.
Misalnya,
proses
dan
evaluasi
keberhasilan pendidikan terpaku pada pengukuran-pengukuran tingkah laku yang dapat diangkakan. 2) Kapasitas mayoritas pendidik kita dalam menyusun bahan ajar masih relatif rendah. 3) Tuntutan jaman yang makin pragmatis. 4) Terdapat sikap dan pendirian yang kurang menguntungkan bagi tegaknya demokratisasi pendidikan. Elemen-elemen pendidikan tidak lagi terjalin dalam suasana kebersamaan, kebebasan, dan keberdayaan pendidik dan peserta didik. Sikap dan pendirian demikian hanya akan melahirkan sosok pendidik dan peserta didik yang tidak mempunyai ikatan emosional, acuh tak acuh. b.
Keretakan Tri Pusat Pendidikan Istilah tri pusat pendidikan terdiri dari lingkungan pendidikan keluarga, sekolah dan masyarakat. Dewasa ini, hubungan antar ketiga lingkungan pendidikan tadi tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam membangun pendidikan nilai. Keretakan hubungan tidak terlepas dari derasnya terpaan globalisasi informasi dan modernisasi. Contoh saja, guru yang dulu sering dianggap sebagai "kamus berjalan", kini dikalahkan oleh melimpahnya media informasi cetak maupun elektronik. Peran pendidikan nilai perlu
48
digalakkan lagi, tentunya dengan pendekatan dan metode yang sesuai. c.
Benturan dan Pergeseran Nilai Benturan dan pergeseran nilai sebagai akibat dari kemajuan iptek dan perluasan pergaulan manusia. Benturan nilai terjadi pada wilayah nilai secara konseptual, ini terjadi karena ilmu berkembang dari dua karakter berpikir yang berbeda. Ada yang mengutamakan akal dan kebenaran ilmiah, ada yang menggunakan keyakinan agama. Sedangkan pergeseran nilai terjadi pada perilaku kehidupan sehari-hari. Banyak fenomena anak muda yang makin hari makin tidak peduli terhadap tatanan nilai moral dan etika yang berlaku. Karena itu, pergeseran dan benturan nilai merupakan tantangan pendidikan nilai.
2.
Pendidikan Nilai a.
Nilai-Nilai yang Ditanamkan Pada Proses Pendidikan di Era Globalisasi Pendidikan sebagai sarana transformasi nilai, di era globalisasi ini berlangsung sangat cepat. Pendidikan menjadi satu-satunya institusi yang mempunyai peluang banyak untuk meluruskan nilai-nilai transformasi itu. Nilai-nilai yang perlu ditanamkan dalam proses pendidikan pada masa ini sebenarnya bisa disamakan dengan masa sebelumnya. Yaitu berupa nilai agama, moral, budaya, kebenaran/ilmu, sosial, iptek, keterampilan, efisiensi ekonomi, nasionalisme dan ditambah satu lagi yang tak kalah penting adalah solidaritas global. Akan tetapi, ada beberapa nilai yang mengalami pergeseran, sehingga penekanannya berbeda. Nilai-nilai moral contohnya, orang akan semakin bangga dan merasa lebih dari yang lain jika mempunyai barang-barang secara ekslusif. Artinya, etos kerja dan pola pikir yang didorong oleh motif persaingan
49
dan cenderung unggul-unggulan. Nilai kehidupan yang menekankan kesederhanaan, kelembutan, pemurah, tenggang rasa, secara pelan-pelan akan hilang. Dalam dunia pendidikan, nilai moral yang perlu diterapkan dalam globalisasi adalah perlunya mengedepankan semangat dan etos kerja sama antar suku, ras, kelompok tanpa syarat apapun. Apapun cuaca politik di tanah air, nilai ini perlu terus-menerus dipupuk, ditumbuhkembangkan dan disosialisasikan.79 Adapun dalam hal nilai sosial, paradigma pendidikan yang menekankan ajaran learning to know, to do, to be dan to life together. Dari keempat unsur tersebut, dalam era globalisasi ini lebih ditekankan pada learning to life together. Contohnya adalah nilai keadilan sosial, cinta kasih terhadap sesama, peduli terhadap orang lain, tenggang rasa dan solidaritas sosial.80 Dengan harapan dapat mewujudkan perdamaian antar umat manusia. Karena perdamaian merupakan salah satu kunci utama dalam menjalani kehidupan di masa ini. Nilai yang mendukung terwujudnya perdamaian ini perlu ditanamkan sejak dini, sejak dari rumah, TK dan SD. Ini bisa dilaksanakan dengan cara peserta didik dibantu menumbuhkan kemampuan untuk menyatukan berbagai watak dan perilaku teman-temannya yang jelas berbeda-beda, tanpa meninggalkan rasa yang menyakitkan (melukai perasaan). Untuk itu, peserta didik perlu dilatih mendekati dan memahami seseorang melalui cara dan pendekatan yang berbeda-beda.81 Sikap mental atau attitude yang ingin dikembangkan adalah perasaan dan kebutuhan timbal balik. Dalam arti, apabila tidak mau disakiti orang lain, maka jangan meyakiti orang lain. Dengan kata lain, melatih kemampuan peserta didik dalam hal kreatifitas dalam membangun hubungan yang luwes dan bermanfaat dengan orang lain. Beralih pada nilai budaya, di era globalisasi ini budaya lokal versus budaya global. Pertentangan tersebut berimplikasi terjadinya goncangan budaya (cultural shock) akibat dari perubahan struktural tatanan nilai yang sudah hidup di masyarakat sebelumnya. Cultural shock ini akan menghambat pembangunan, nilai-nilai tradisional akan terus tergeser oleh nilai-nilai modern. Maka dari itu, cara agar nilai tradisonal (nilai indigenous) tetap bertahan dan dapat dimodifikasi dengan nilai modern,
79
M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Multikultural-Multireligius (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), 117. 80 Ruslan Ibrahim, Pendidikan Nilai Dalam Era Pluralitas (Jurnal INSANIA: P3M STAIN Purwokerto, 2007), vol. 12. 81 Ibid., 119.
50
b.
salah satunya dengan memperkuat identitas suatu masyarakat atau suatu bangsa. Contohnya : dengan mencintai produk dalam negeri.82 Terkait dengan life long education, bisa melalui pranata-pranata sosial yang tersedia. Misalnya forum majelis taklim, pengajian, arisan RT dan RW, organisasi sosial kemasyarakatan, peringatan hari-hari besar keagamaan perlu menyentuh dalam menanamkan prinsip kerukunan. Sedangkan kaitannya dengan nilai agama di era globalisasi ini, sifat eksklusif umat beragama amat sangat mencolok. Ini tercermin dalam pendirian bangunan tempat-tempat ibadah. Secara fisik, bangunan gereja, wihara, masjid, dan lain-lain terlihat megah. Namun hubungan antar umatnya masih terasa tegang. Maka dari itu, semangat perdamaian dan saling menghormati antar umat beragama perlu disosialisasikan sejak dini, tentunya melalui pendidikan dengan metode penyampaian yang sesuai dan menarik. Yang tak kalah penting adalah penanaman nilai solidaritas global. Nilai ini dapat dimiliki apabila peserta didik memiliki pemahaman yang cukup tentang dunia internasional. Dengan nilai ini, generasi yang memiliki wawasan luas tentang kehidupan global dapat disiapkan melalui pendidikan. Nilai solidaritas global ini penting mengingat tatanan kehidupan tidak lagi ditentukan oleh keadaan suatu bangsa. Kehidupan dewasa ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor kepentingan lintas Negara dan kesadaran antar bangsa. Dengan demikian, generasi di masa mendatang diharapkan mampu melakukan kerja sama untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan.83 Meskipun beberapa nilai pendidikan di atas mengalami pergeseran, namun pada dasarnya, tugas pendidikan tetaplah membentuk manusia yang cerdas intelektual, terampil menguasai teknologi, serta cerdas bermasyarakat. Artinya, memiliki kemampuan kreatifitas dalam membangun hubungan yang luwes dan bermanfaat. Khususnya dalam menjalani era globalisasi ini, yang cenderung membentuk manusia yang individualis. Maka tugas pendidikanlah untuk meluruskan nilai-nilai yang seharusnya tertanam pada peserta didik. Baik pendidikan keluarga, sekolah, ataupun dalam masyarakat. Agar ia mampu menjalani kehidupannya di masa yang akan datang dengan tangguh dan mandiri. Beriman di Era Globalisasi Menurut pendapat ahli tafsir, kata beriman ditafsirkan sebagai bentuk kepercayaan dan keyakinan yang teguh disertai kepatuhan, ketundukan, dan penyerahan ruh, jiwa (nafs), hati (qalb), akal, indra serta fisik dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah Swt. Hal tersebut harus dilaksanakan secara integrated antara teori, aplikasi, dan empiris.84 Terkait dengan aspek keimanan, iman terdiri dari 6 unsur : iman kepada Allah Swt, malaikat, kitab, rasul, qadha’ dan qodar serta hari kiamat.
82
Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional, 72. Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, 109. 84 Rachmat Ramadhana al-Banjari, Biografi Malaikat (Yogyakarta: DIVA Press, 2007), 18. 83
51
Iman kepada malaikat adalah salah satu dari arkanul iman yang tidak boleh sedikitpun bercampur dengan keraguan.85 Meskipun, segala sesuatu tentang malaikat bersifat ghaib, artinya sesuatu yang tidak dapat dideteksi dan diidentifikasi oleh indra lahir, namun wajib bagi kita mengimaninya karena ada dalil (petunjuk) yang menunjukkan eksistensinya. Sebagaimana firman Allah Swt :
«!$$Î/ ztΒ#u <≅ä. 4 tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ ϵÎn/§‘ ÏΒ Ïµø‹s9Î) tΑÌ“Ρé& !$yϑÎ/ ãΑθß™§9$# ztΒ#u .... 4 Ï&Î#ß™•‘ ÏiΒ 7‰ymr& š÷t/ ä−Ìhx çΡ Ÿω Ï&Î#ß™â‘uρ ϵÎ7çFä.uρ ϵÏFs3Í×‾≈n=tΒuρ Artinya : “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikatmalaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya…." (Q.S. Al-Baqarah : 285)86 Iman kepada malaikat termasuk dalam aspek keimanan kepada alam ghaib, ini mempunyai pengaruh yang amat besar sekali, sehingga terpantul dalam tingkah laku seseorang dan juga dalam jalan hidupnya. Ia merupakan motivator yang sangat kuat untuk melahirkan amal kebajikan dan memberantas kejahatan.87 Menurut al-Qur’an dan Hadits, makhluk yang disebut malaikat itu mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan alam hadir ini. Hanya saja, karena kehidupan manusia modern yang terlalu kental dan pekat dengan sesuatu yang bersifat serba materialistis dan menyingkirkan fenomena-fenomena non empiris dalam sebagian besar aspek kehidupannya, maka hubungan manusia dengan alam malaikat itu seakan-akan terputus. Padahal, menurut al-Qur’an, para malaikat itu masih tetap eksis menjalankan hubungannya dengan manusia.88 Rasyid Ridha’ berpendapat, sudah menjadi sunnatullah pada makhlukNya bahwa akidah yang sudah tertanam di dalam hati sangat mempengaruhi dan mendominasi perilaku seseorang.89 Jadi, penanaman keimanan kepada anak haruslah dimulai sejak dini. Karena konsep keimanan, khususnya pada alam ghaib memberikan dampak atau pengaruh penting dalam proses pembinaan manusia seutuhnya (insan kamil). Di awal abad 20, tantangan umat beriman adalah merebaknya praktikpraktik bid’ah, takhayyul dan khurafat. Saat itu, kehidupan masyarakat 85
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI, 2006), 92. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit Jumānatul 'Alī-Art, 2005), 2:285. 87 Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid 2 (Jakarta: Darul Haq, 2007), 38. 88 Al-Banjari, Biografi Malaikat, 39. 89 A. Athaillah, Rasyid Ridha’ Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar (Jakarta: Erlangga, 2006) 372. 86
52
masih kental diwarnai oleh sisa-sisa keyakinan terhadap animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan supranatural membuat banyak orang Islam ketika itu melakukan kegiatan berbau syirik. Misalnya menyalakan kemenyan di hari-hari tertentu, menyepi ke tempat-tempat keramat, memelihara jimat, dan lain-lain. Agak berbeda dengan hal di atas, tantangan beriman di abad 21 lebih kompleks. Era globalisasi yang dialami manusia modern menciptakan Tuhan-Tuhan modern yang lebih canggih dan menggoda. Di satu sisi, dampak globalisasi memunculkan efek-efek pisitif. Komunikasi yang lebih cepat, hemat, dan efektif merupakan salah satu manfaatnya. Namun di sisi lain, globalisasi juga menawarkan tantangantantangan yang justru dapat menjungkir-balikkan nilai-nilai tauhid dan religiusitas kaum beriman. Salah satu diantara tantangan globalisasi adalah materialisme.90 Maka, nilai-nilai materialisme selalu jadi bahan utama. Di dunia pendidikan misalnya, siswa energinya diforsir siang malam hanya untuk sebuah ‘angka’. Kerja keras para guru dan orang tua dalam bentuk lesles tambahan di luar sekolah menjadi indikasi materialisme dalam sistem pendidikan kita. Dan tanpa kita sadari, ini semua merupakan sebuah bentuk pengkerdilan potensi kemanusiaan. Tidak hanya itu, pemahaman keagamaan kita sekarang juga cenderung pada dataran formal saja. Tidak ada implikasi keagamaan dalam masyarakat kita. Rapuhnya struktur sosial bangsa kita saat ini merupakan buah dari materialisme. Kesopanan, etika hilang, kekerasan merajalela di mana-mana. Rasa hormat kepada guru dan orang tuapun mulai berkurang drastis. Di sisi lain, sekularisme menjadi fenomena yang tak terbantahkan. Banyak manusia modern yang tanpa sadar memisahkan antara urusan agama dan dunia. Ibadah ditegakkan, namun kejahatan kemanusiaan juga dilestarikan. Orientasi materialisme-sekularisme inilah yang kemudian tanpa sadar mengantarkan banyak manusia modern kepada penghambaan terhadap nafsu-nafsu duniawi. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt :
ϵÏèøÿxœ 4’n?tã tΛsyzuρ 5Οù=Ïæ 4’n?tã ª!$# ã&©#|Êr&uρ çµ1uθyδ …çµyγ≈s9Î) x‹sƒªB$# ÇtΒ |M÷ƒutsùr& Ÿξsùr& 4 «!$# ω÷èt/ .ÏΒ ÏµƒÏ‰öκu‰ yϑsù Zοuθ≈t±Ïî ÍνÎ|Çt/ 4’n?tã Ÿ≅yèy_uρ ϵÎ7ù=s%uρ ∩⊄⊂∪ tβρã©.x‹s? Artinya : “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas 90
http://www.luqm.multiply.com/journal/item/75 diakses pada tanggal 31 Agustus 2009.
53
penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Q.S. AlJatsiyah : 23)91 Dari fenomena-fenomena di atas menunjukkan secara nyata, merupakan bentuk mengikisnya iman, juga hancurnya daya tarik sosial. Khususnya, menipisnya keimanan kepada alam ghaib, yaitu pada malaikat-malaikat Allah Swt. Banyak orang saat ini merasa awam dan asing akan kehadiran malaikatmalaikat-Nya itu, padahal mereka senantiasa hadir dan ada bersama kita di waktu pagi, siang, sore dan malam hari, selama 24 jam penuh. Mereka mendampingi, mengevaluasi, dan merekan dengan baik dan jujur serta penuh ketelitian akan seluruh aktivitas manusia, baik yang bersifat lahir maupun batin, yang haq maupun yang batil, yang baik maupun yang buruk, yang disengaja maupun yang sungguh-sungguh, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, dari urusan duniawi maupun urusan akhirat.92 Kondisi ini menyebabkan mereka lepas kontrol, berbuat seenaknya tanpa ada rasa bersalah, kalaupun ada kontrol, itu hanya sebatas pada nilai-nilai yang mereka buat sendiri dan bersifat relatif. Firman Allah Swt :
∩⊆∪ ÔáÏù%tn $pκön=tæ $®R°Q <§ø tΡ ‘≅ä. βÎ) Artinya : “Tidak ada suatu jiwapun (diri) melainkan ada penjaganya.” (Q.S. Ath-Thariq: 4)93 Jika hanya mengandalkan hukum dan kontrol manusia, tindakan perzinaan, pencurian, manipulasi, korupsi dan sebagainya nyaris tidak dapat diantisipasi secara optimal. Karena hukum dan pengawasan manusia pada dasarnya belum mampu membina moral dan mengontrol perilaku manusia. Tanpa kesadaran diri dan keimanan yang mendalam kepada adanya pengawasan dari malaikat niscaya manusia akan dengan mudahnya menginjak-injak dan mempermainkan hukum yang telah disepakati.94 Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemurnian tauhid dan keberimanan kepada alam ghaib (malaikat) di tengah arus globalisasi menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh manusia modern. Paling tidak ada 2 poin kesimpulan, peran beriman kepada malaikat dalam menghadapi era globalisasi adalah :
91
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, 45:23. Al-Banjari, Biografi Malaikat, 25. 93 Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, 86:4. 94 Afifuddin Harisah, Keberimanan Kepada Malaikat Perspektif Pendidikan Islam (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004), 81. 92
54
a.
Berkaca pada sifat-sifat teladan yang melekat pada malaikat (konsistensi, loyalitas, tanggung jawab dan profesionalitasnya di hadapan Allah Swt.) hendaknya menumbuhkan motivasi dalam diri kita untuk senantiasa meneladani sifat-sifat tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Dengan senantiasa meyakini peran malaikat-malaikat pencatat setiap detil amal perbuatan kita, malaikat penjaga neraka yang konon tidak kenal belas kasih mendorong kita untuk senantiasa mengontrol diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela, yang tidak diridhai oleh Allah Swt yang otomatis mengandung murka malaikat-malaikat utusan Allah Swt.
Oleh karenanya, sekarang kita hidup di era globalisasi, era terbuka, era kebebasan, maka diharapkan kedua peran di atas paling tidak dapat dijadikan pegangan hidup. Karena kebebasan yang ada di depan kita sesungguhnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Agar kita bisa menjadi manusia global yang seutuhnya. Yang tetap beriman dan bertakwa, mampu bersaing, tahan banting, menguasai iptek dan utamanya tangguh dalam menghadapi erosi nilai-nilai moral dan agama. Dengan demikian, menjadi modal utama untuk bisa survive menjalani kehidupan hingga mencapai kebahagiaan baik dunia maupun akhirat.
55
BAB III PEMIKIRAN 'ABD AL-RAHMAN AL-NAHLĀWĪ TENTANG NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM IMAN KEPADA MALAIKAT ALLAH SWT (Dalam Kitab Ushūl al-Tarbiyyah alIslāmiyyah wa Asālibuhā)
A. Biografi dan Karya 'Abd al-Rahman al-Nahlāwī Tidak banyak keterangan yang memuat tentang biografi ataupun latar belakang kehidupan tokoh ini, yaitu ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī. Sejauh ini penulis hanya menemukan beberapa data tentang dia. ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī adalah Sayyid ‘Abd al-Rahmān bin Sa’id al-Nahlawī. Lahir pada tahun 1346 H/1927 M dan wafat pada tahun 1422 H/2002 M. Dia adalah salah satu ulama Damaskus yang pernah belajar di sekolah tijāriyah, dan belajar dari ulama-ulama besar. di antaranya adalah Syaikh Mahmūd al-‘Aqād dan Syaikh ‘Abd al-Qādir alAskandarāni. Dia menyelesaikan pendidikannya dan lulus dari fakultas filsafat. Kemudian mendapat gelar diploma pendidikan. Dia bekerja sampai akhir hayatnya sebagai salah satu ustadz di fakultas Tarbiyyah di Universitas Islam al-Imam Muhammad bin Sa’ud di Riyadh Saudi Arabia sampai tahun 1987 M. 95
95
http://www.ansabcom.com/vb/t16236html diakses pada tanggal 26 Oktober 2009.
56
Dia adalah guru tetap dan guru asisten di Universitas Muhammad bin Su’ud pada kuliah ilmiah di Riyadh dan pernah bekerja sebagai kepala yayasan Sa’id Muhammad bin Ladin al-Tijāriyah (orang terkaya di Saudi Arab ketika itu), dia juga guru di beberapa institute ilmiah di Damaskus. Merupakan peneliti, penasehat, auditor penelitian di kantor pendidikan negara bagian teluk Arab. Juga merupakan aktifis ilmiah di beberapa diskusi, desertasi magister dan doktor. 96 Di antara karya-karya ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī adalah: 97 1. Kitab Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā, fi al-Bayt, wa al-Madrasah, wa al-Mujtama’ (Beirut: Dar al-Fikr) kitab ini dicetak sampai tiga kali, yaitu pada tahun 1979, 1983 dan 1986. Diterjemahkan oleh Shihabuddin dengan judul Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 2. A'lām al-Tarbiyyah fi Tārikh al-Islām, Yūsuf ibn ‘Abd al-Bari alQurthubī (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) 3. A'lām al-Tarbiyyah fi Tārikh al-Islām, al-Imām al-Dzahabi, Dirāsah Mawdū'iyah Tahlīliyah Tarbiyyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1988) 4. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam, terjemahan Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro, 1989) 5. A'lām al-Tarbiyyah fi Tārikh al-Islām: Ibnu Qayyim al-Jauziyat (Beirut: Dar al-Fikr al-Mu'ashir, 1991)
96
http://www.fikr.com/?Prog=book&Page=authorinfo&aid=1382 diakses tanggal 23 Oktorber 2009. 97 http://unisys.uii.ac.id/uii-perpus/koleksiutama.asp?ddc=2x9.87&offset=0&count=25 diakses pada tanggal 19 Oktober 2009.
57
6. A'lām al-Tarbiyyah fi Tārikh al-Islām: Ibnu Taymiyah (Beirut: Dar alFikr, 1986). 98 7. Al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa al-Musykalāt al-Ma’āshirah (Beirut Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1985). Selain kitab-kitab di atas, masih ada beberapa kitab terbitan tahuntahun terakhir ini. Di antaranya: 99 8. Asālib al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah: Al-Tarbiyyah bi al-Dharbi alAmtsāl (Beirut: Dar al-Fikr, 1998). 9. Asālib al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah: Al-Tarbiyyah bi al-‘Ibrah (Beirut Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1997) 10. Asālib al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah: Al-Tarbiyyah bi al-Hiwār (Beirut Damaskus: Al-Maktab al-Islami, 2000) 11. Asālib al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah: Al-Tarbiyyah bi al-āyat (Beirut Damaskus: Al-Maktab al-Islami) 12. Asālib al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah: Al-Tarbiyyah bi al-Qishāh (Beirut Damaskus: Al-Maktab al-Islami) 13. Maw’idhah al-Qulūb (Beirut Damaskus: Al-Maktab al-Islami)
B. Profil Kitab Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā Kitab karya dari 'Abd al-Rahman al-Nahlāwī. Diterbitkan oleh Dar al Fikr al Mu'āsir pada tahun 1983 M di Lebanon-Beirut. Dengan tebal 304
98
http://www.shatharat.net/vb/archive/index.php/t-9585.html diakses pada tanggal 26 Oktober 2009. 99 http://catalog.library.ksu.edu.sa/digital/ara353.html diakses pada tanggal 23 Oktober 2009.
58
halaman. Judul lengkapnya adalah Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā: fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama'.100
Adapun isi dari kitab ini secara umum adalah:101 BAB I
KONSEPSI ISLAM TENTANG PENDIDIKAN A. Pendidikan Islam Merupakan Solusi 1.
Pengertian Tarbiyah
2.
Pengertian ad-Dien
3.
Pengertian Islam
B. Hubungan Antara Islam dan Pendidikan
BAB II
1.
Pendidikan Islam: Kewajiban Umat Islam
2.
Pendidikan Islam: Tuntutan Duniawi dan Ukhrawi
SUMBER-SUMBER PENDIDIKAN ISLAM A. Al-Qur’an: Sumber Pendidikan Rasul dan Sahabat B. Al-Qur’an: Sumber yang Edukatif C. As-Sunnah: Teladan Pendidikan Islam
BAB III DASAR-DASAR PENDIDIKAN ISLAM A. Pendahuluan B. Konsepsi Islam tentang Manusia, Semesta, dan Kehidupan C. Manusia Menurut Pandangan Islam D. Alam Semesta Menurut Pandangan Islam
100
‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, terj. Shihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). 101 ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī, Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā: fi al-Bayt wa al-Madrasah wa al-Mujtama' (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), 296-304.
59
E. Kehidupan Menurut Pandangan Islam F. Dasar-Dasar Kepribadian G. Landasan Syari’at H. Masalah-Masalah Pendidikan I.
Peranan Akidah dalam Pendidikan Awal
BAB IV SASARAN DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A. Sasaran Pendidikan Islam B. Tujuan Pendidikan Islam C. Islam dan Tujuan Pendidikan Barat D. Keutamaan Pendidikan Islam E. Pengetahuan Agama: Bekal Mewujudkan Pendidikan Islam BAB V
MEDIA PENDIDIKAN ISLAM A. Masjid dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan B. Rumah dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan C. Sekolah dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan D. Pendidikan yang Islami E. Tanggung Jawab Masyarakat dalam Pendidikan F. Dampak Edukatif Kegiatan Tambahan (Ekstra-Kurikuler) G. Karakteristik Kurikulum Pendidikan Islam
BAB VI METODE PENDIDIKAN ISLAM A. Mendidik Melalui Dialog Qur’ani dan Nabawi B. Mendidik Melalui Kisah Qur’ani dan Nabawi C. Mendidik Melalui Perumpamaan
60
D. Mendidik Melalui Keteladanan E. Mendidik Melalui Praktik dan Perbuatan F. Pendidikan Melalui ’Ibrah dan Mau’izhah G. Mendidik Melalui Targhib dan Tarhib C. Keimanan Sebagai Landasan Pendidikan Akidah adalah konsep-konsep yang diimani manusia sehingga seluruh perbuatan dan perilakunya bersumber pada konsepsi tersebut. Akidah
Islam dijabarkan melalui rukun-rukun iman dan berbagai
cabangnya. Seperti tauhid uluhiyah atau penjauhan diri dari perbuatan syirik. Akidah Islampun dikaitkan pada keimanan atas yang ghaib, rasul, kitab-kitab, malaikat, dan hari akhir. Dengan demikian, keimanan merupakan landasan akidah, bahkan dijadikan sebagai soko guru utama untuk bangunan pendidikan Islam. Memahami keimanan dan urgensinya dalam konsep pendidikan Islam, ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī memaparkan sebagai berikut: 1. Keimanan seseorang kepada suatu hal dibuktikan dengan pengakuan bahwa sesuatu itu merupakan kebenaran dan keyakinan. Karenanya, ia tidak lagi mengkhawatirkan adanya perkara lain yang akan mengotori hatinya. 2. Jika keimanan seseorang telah kuat, segala tindak tanduk orang itu akan didasarkan pada pikiran-pikiran yang telah dibenarkannya dan hatinya pun akan merasa tenteram. 3. Keimanan yang di dalamnya terdapat pembenaran dan keyakinan, terkadang mengalami penyimpangan. Karena itu, seorang mukmin memerlukan daya kontrol yang dapat memelihara pikiran dan hatinya dari pengaruh kepercayaan yang menyimpang.
61
4. Melalui ketundukan perilaku, jalan hidup, dan hubungan antar individu yang didasarkan pada keimanan, kehidupan individu dan masyarakat akan teratur dan terarah. 102 Beberapa pendapat al-Nahlāwī tersebut menyiratkan keyakinan bahwa pendidikan Islam dilaksanakan dengan berlandaskan nilai-nilai. Konsepsi nilai-nilai tersebut menjadi pedoman hidup manusia dalam segala bidang termasuk pendidikan. Dan nilai Islam yang paling utama dalam kaitannya dengan proses pendidikan dan pembentukan kepribadian muslim adalah nilai keimanan. al-Nahlāwī juga menguatkan pendapatnya dengan ungkapan, ”... Keimanan yang benar merupakan landasan yang kokoh bagi konsep pendidikan yang mantap dan hasilnya berkualitas tinggi. Dengan bekal keimanan, insan mukmin akan memiliki perilaku istimewa karena hidupnya dilengkapi sistem, hukum, tatanan, dan keharmonisan. Artinya, sistem pendidikan yang berpijak pada dasar-dasar keimanan akan mendatangkan hasil yang lebih berkualitas, lahir maupun batin yang bisa dijadikan pegangan pikiran dan keyakinan.” 103 Lebih dari pada itu, terkait dengan kontribusi keimanan dalam hal proses pendidikan, tidak hanya berhubungan dengan hidup individu, akan tetapi juga dengan kehidupan sosialnya. Al-Nahlāwī juga menjelaskan, ”...Melalui pemikiran yang memiliki satu tujuan dan benar, terutama dalam hal spiritual dan ketuhanan, maka seseorang individu akan menjadi unsur umat yang homogen. Begitupun dalam hal pendidikan sosial yang berpusat pada keimanan akan melahirkan masyarakat yang kuat, berperadaban, stabil, terhindar dari segala penyimpangan.” 104
102
Ibid., 84. Ibid. 104 Ibid., 86. 103
62
Dengan demikian, keimanan sebagai landasan utama pendidikan Islam, sasaran yang akan dicapai tidak jauh dari implementasi nilai-nilai keimanan pada diri pribadi dan sosial peserta didik. Keimanan sebagai pondasi pendidikan mempunyai makna bahwa pendidikan Islam pada intinya bertujuan menjadikan keimanan sebagai nilai dasar pembentukan watak dan mental anak didik, serta menjadikan aspek tersebut sebagai daya tolak dan daya kontrol dalam kehidupannya.
D. Nilai-Nilai Edukatif yang Terkandung Dalam Iman Kepada Malaikat Allah Swt. Malaikat adalah hamba Allah Swt yang sangat dekat dan didekatkan kepada-Nya (muqarrabīn). Diciptakan Allah Swt dari unsur ketuhanan, yaitu nur Allah Swt. Malaikat diciptakan untuk mengemban tugas-tugas tertentu. Di antara tugas itu ada yang bersinggungan langsung dengan aktivitas manusia. Malaikat merupakan makhluk ghaib yang keberadaannya tidak tercapai dengan potensi panca indera. Disucikan dari hawa nafsu, dijauhkan dari perbuatan-perbuatan dosa dan selalu patuh dan tunduk pada perintah Allah Swt. Sebagaimana Firman Allah Swt yang berbunyi :
ÏiΒ 7‰ y mr& š÷t / ä− Ìhx ç Ρ Ÿω Ï&Î #ß™ â ‘uρ ϵ Î7 çF ä.u ρ ϵ Ï Fs3Í×‾ ≈n= tΒu ρ «! $$Î/ z tΒ#u <≅ ä. 4 ..... ∩⊄∇∈∪ çÅÁ yϑø 9$# š ø‹s9Î )u ρ $oΨ−/ u‘ y7t Ρ#t ø ä î ( $oΨ÷è sÛr& uρ $uΖ ÷èÏ ϑy™ (#θä9$s% uρ 4 Ï&Î #ß™ •‘ Artinya : ".....Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan
63
yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan Kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Q.S. Al-Baqarah : 285) 105 Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa salah satu rukun iman adalah beriman kepada Malaikat-Nya. Begitu pentingnya malaikat bagi eksistensi diri manusia, sehingga Allah menjadikan beriman kepada para malaikat itu sesudah beriman kepada-Nya. Beriman kepada malaikat merupakan penunjang yang amat penting guna mengiring takwa. Seseorang dapat merasakan keberadaan malaikat jika pikiran dan hatinya suci sehingga nantinya berupaya mengadaptasikan keteladanan malaikat dalam perilakunya sehari-hari yang berhubungan dengan nilai-nilai moral. Nilai-nilai edukatif yang terkandung dalam beriman kepada malaikat Allah Swt. Menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī adalah: ”...dapat mendidik diri untuk hidup teratur, taat dan menata segala persoalan hidup...” 106 Dari situ dapat diartikan, beriman kepada malaikat melatih untuk senantiasa disiplin. Pemberian tugas-tugas tertentu kepada para malaikat ini merupakan nilai motivasi yang dapat mempengaruhi sisi psikologi peserta didik dalam proses pendidikannya. Dengan keberadaan malaikat dan penetapan tugas-tugas tertentu kepada mereka serta ketaatan dalam menjalankan tugas, seorang peserta didik dapat dipahamkan tentang pentingnya keteraturan, kedisiplinan, dengan cerminan keteraturan sistem 105
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Bandung: CV Penerbit Jumānatul 'Alī-Art, 2005), 2:285. 106 Al-Nahlāwī, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, 98.
64
manajemen Allah Swt dalam mengatur kehidupan ini. Sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi :
ãΝä .y‰ tnr& u!%y` #sŒÎ ) #¨Lym ºπ sàx ym öΝä3 ø‹n= t æ ã≅ Å™ öムuρ ( Íν ÏŠ$t 6Ïã s− öθsù ãÏδ$s) ø9$ # uθèδu ρ ∩∉⊇∪ tβθèÛ Ìhx ムŸω öΝèδu ρ $uΖ è=ß ™â‘ çµ ÷F©ù uθs ? ÝV öθy ϑø9 $# Artinya : "Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga, sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya." (Q.S. al-An'am : 61) 107 Peserta
didik
diajarkan
kepada
pentingnya
disiplin
dalam
menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya. Sebagaimana kedisiplinan malaikat dalam menjalankan tugas dari Allah Swt. Lebih dari itu, keimanan kepada malaikat Allah Swt. Juga melatih diri untuk senantiasa bersikap loyal dan bertanggung jawab. Sebagaimana dicontohkan oleh al-Nahlāwī, ”...Bertasbihnya para malaikat dan pengagungan mereka terhadap Allah Swt. merupakan teladan bagi manusia....” 108 Loyal adalah kesetiaan pada prinsip yang dianut. Para malaikat adalah makhluk yang memiliki kesetiaan yang tiada tara, bekerja tanpa kenal lelah, tidak memiliki kepentingan lain selain menyelesaikan pekerjaan yang diberikan oleh Allah Swt. tersebut hingga tuntas. Contoh loyalitas yang ditunjukkan para malaikat adalah tidak pernah berhenti
107 108
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, 6:61. Al-Nahlāwī, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, 98.
65
bertasbih dan mengagungkan terhadap Allah Swt. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Swt :
ϵ Î/ tβθã ΖÏΒ÷ σムu ρ öΝÍκ Íh5 u‘ ω ôϑ pt ¿2 tβθßsÎm7 |¡ç „ …çµ s9öθym ô tΒu ρ z¸ öyèø 9$# tβθè= Ïϑ øt s† tÏ% ©!$ # öÏ øî$$ sù $Vϑù=Ï ãu ρ Zπ yϑ ôm§‘ &óx « ¨≅ à2 |M÷èÅ™ uρ $uΖ− /u‘ (#θã Ζt Β#u tÏ% ©#Ï 9 tβρã Ï ø ót Gó¡o „u ρ ∩∠∪ ËΛÅs pg ø:$# z>#x‹ tã öΝÎγÏ %u ρ y7n =‹Î6y ™ (#θãèt7 ¨?$ #u ρ (#θç/$s? tÏ% ©# Ï9 Artinya : "(malaikat-malaikat) yang memikul 'Arsy dan Malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orangorang yang beriman (seraya mengucapkan): "Ya Tuhan Kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, Maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala". (Q.S. Al-Mu'min: 7) 109 Sedangkan contoh teladan yang ditunjukkan para malaikat Allah Swt. Yang berupa tanggung jawab adalah dalam hal mengerjakan tugas masing-masing yang diperintahkan oleh Allah Swt. dengan tanpa telat sedikitpun. Sebagaimana dijelaskan dalam (Q.S. 66:6). 110 Bercermin dari sifat loyalitas malaikat, peserta didik dapat diberi motivasi untuk membiasakan diri untuk mengerjakan apa yang menjadi tugasnya dengan sungguh-sungguh dan tidak memiliki kepentingan lain (menyelewengkan) kecuali menyelesaikan tugas tersebut hingga tuntas. Dan berani bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya.
109 110
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, 40:7. Artinya : “…dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
66
Selanjutnya, nilai edukatif beriman kepada malaikat adalah kontrol diri dari perilaku negatif. Sebagaimana dicontohkan al-Nahlāwī melalui firman Allah Swt. Dalam surah Ar-Ra’d ayat 10-11 yang berbunyi: 111
È ≅ øŠ©9$$ Î/ ¥#÷‚ tGó ¡ãΒ uθèδ ô tΒu ρ ϵ Î/ ty γy_ tΒuρ tΑö θs) ø9$ # §|r& ô ¨Β Οä3ΖÏiΒ Ö!#u θy™ …çµ tΡθÝ àx ø ts † ϵ Ï ù =yz ô ÏΒuρ ϵ ÷ƒy ‰tƒ È÷t/ . ÏiΒ ×M≈t7 É e)yè ãΒ …çµ s9 ∩⊇⊃∪ Í‘$pκ ¨]9$$Î/ 7>Í‘$y™u ρ !#sŒ Î)u ρ 3 öΝÍκ Ŧ à Ρr'Î / $tΒ (#ρç Éitó ム4®Ly m BΘöθ s)Î / $tΒ çÉi tóムŸω ©! $# āχ Î) 3 «! $# ÌøΒr& ô ÏΒ ∩⊇⊇∪ @Α#uρ ÏΒ Ïµ Ï Ρρß Š ÏiΒ Οßγs9 $tΒuρ 4 …çµ s9 ¨Št tΒ Ÿξsù #[þθß™ 5Θöθs )Î/ ª! $# yŠ#u ‘r& Artinya: “Sama saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus-terang dengan Ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. Al-Ra’d: 10-11) 112 Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kita tidak pernah luput dari perhatian malaikat. Baik dalam ucapan, perbuatan ataupun prasangka. Semuanya ada malaikat pencatat amal kita. Dengan itu hendaknya melatih diri kita untuk senantiasa mengontrol diri dari perbuatan negatif. Krisis moral yang paling utama melanda diri manusia secara umum sebenarnya adalah menipisnya keimanan kepada alam ghaib.
111 112
Al-Nahlāwī, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, 97. Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, 13:10-11.
67
Kondisi ini menyebabkan mereka lepas kontrol dan berbuat seenaknya tanpa rasa bersalah. Karena yang menjadi ukuran mereka adalah selama tidak ada manusia lain yang tahu, mereka anggap segala perbuatannya aman. Entah itu perbuatan baik ataupun buruk. Mereka hanya mempertimbangkan adanya pujian atau celaan dari orang sekitar. Kerena itulah, agama mengajarkan kepercayaan akan adanya malaikat-malaikat yang bertugas mengawasi dan mencatat segala perbuatan manusia baik yang bersifat positif ataupun negatif. Dengan kepercayaan tersebut, manusia dapat dididik untuk berbuat ikhlas, dan secara internal mengontrol diri dari perbuatan buruk, baik dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. E. Metode Pendidikan Islam Menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī Menurut al-Nahlāwī, metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka untuk menerima petunjuk ilahi. 113 Metode yang dianggap paling penting dan menonjol diantaranya adalah: 1. Dialog Qur'ani dan Nabawi Berupa penyajian ayat al-Qur’an ataupun hadits yang berisi tentang dialog kedua belah pihak, yang membahas tentang suatu topik. Topik inilah yang akan dibahas oleh seorang pendidik. 2. Qishah Qur'ani dan Nabawi
113
Al-Nahlāwī, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, 204.
68
Pada dasarnya, kisah-kisah qur'ani dan nabawi membiaskan dampak psikologis dan edukatif yang baik, konstan dan cenderung medalam sampai kapanpun. Pendidikan melalui metode ini dapat menggiring anak didik pada kehangatan perasaan, kehidupan dan kedinamisan jiwa yang mendorong manusia untuk mengubah perilaku dan memperbaharui tekadnya selaras dengan tuntutan, penyimpulan, dan pelajaran yang dapat diambil dari kisah tersebut. 114 Dampak pendidikan melalui pengisahan diantaranya: a.
Dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran tentang makna yang terkandung di dalamnya
b. Mengarahkan perhatian c.
Membina perasaan ketuhanan
3. Perumpamaan Berupa menyerupakan suatu perkara yang hendak dijelaskan kebaikan dan keburukannya dengan perkara lain yang sudah wajar atau diketahui tentang kebaikan dan keburukannya. 115 4. Keteladanan Berupa pemberian contoh oleh seorang pendidik melalui perilaku dan metode pendidikan yang diperlihatkan kepada anak didiknya. 116 5. Praktik dan Perbuatan Metode
yang
berupa
mempraktekkan
materi
yang
akan
disampaikan. Dengan tujuan agar pembelajaran lebih berkesan pada 114
Ibid., 239. Ibid., 253. 116 Ibid., 260. 115
69
diri anak didik sehingga kekokohan ilmu pengetahuan dalam jiwa siswa semakin terjamin.117 Contohnya dalam menyampaikan materi sholat, menghapal alQur’an atau hadits. Guru harus betul-betul memberi contoh dahulu kemudian menyuruh siswa untuk mempraktekkannya di depannya. Supaya apabila ada kesalahan bisa langsung diluruskan. 6. 'Ibrah dan Mau'izhah a. ’Ibrah Berarti pengambilan hikmah. Metode ini bisa mengantarkan penyimak pada kepuasan berpieir mengenai persoalan akidah. Kepuasan tersebut bisa menggerakkan kalbu, mengembangkan perasaan
ketuhanan,
serta
menanamkan,
mengokohkan,
dan
mengembangkan akidah tauhid, ketundukan pada syariat Allah Swt. ataupun ketundukan pada berbagai perintah-Nya. 118 b. Mau’izhah Berarti pemberian nasehat. Bisa mengenai anjuran untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan, ataupun mengenai peringatan berbuat kesalahan. 119 7. Targhib dan Tarhib Targhib berarti bujukan atau rayuan untuk tidak melakukan hal yang dilarang Allah Swt dan janji kenikmatan yang akan diperolehnya
117
Ibid., 270. Ibid., 279. 119 Ibid., 289. 118
70
kelak. Sedangkan tarhib berarti ancaman melalui hukuman bila melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang Allah Swt. 120
BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN 'ABD AL-RAHMAN AL-NAHLĀWĪ TENTANG NILAI-NILAI EDUKATIF DALAM IMAN KEPADA MALAIKAT ALLAH SWT
A. Posisi Nilai Edukatif Iman Kepada Malaikat Menurut ‘Abd al-Rahman alNahlāwī Dalam Nilai Pendidikan Secara Umum Nilai adalah sesuatu yang berguna bagi manusia. Nilai sebagai hal yang abstrak, berada di belakang fakta, melahirkan tindakan melekat dalam moral seseorang, muncul sebagai proses psikologis dan berkembang ke arah yang lebih kompleks. Nilai juga memiliki kaitan dengan istilah lain, salah satunya adalah pendidikan. Segala sesuatu yang dapat bermanfaat bagi seseorang dalam rangka proses pendidikan, itulah yang disebut nilai edukatif. Yang mana nilai-nilai tersebut dapat membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan batin, biasanya berupa pikiran dan budi yang baik. Pikiran dan budi yang baik tersebut selanjutnya menjadi prinsip yang mendasari kehidupan manusia, sehingga manusia bisa bersikap dewasa dan luhur.
120
Ibid., 296.
71
Nilai edukatif sendiri ada banyak jenisnya diantaranya adalah nilai agama, nilai estetika, nilai budaya, nilai moral, nilai social, nilai kebenaran, nilai sains dan teknologi, nilai keterampilan, nilai efisiensi ekonomi, nilai nasionalisme dan nilai solidaritas global. Pendidikan sebagai proses transformasi nilai mempunyai beberapa sasaran, diantaranya adalah mentransformasikan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Dalam hal ini, sebagaimana telah diuraikan pada bab III, ‘Abd alRahman al-Nahlāwī mempunyai beberapa gagasan terkait dengan nilai edukatif dari keimanan seseorang, khususnya keimanan terhadap malaikat-malaikat Allah Swt. Berbicara tentang posisi nilai pendidikan beriman kepada malaikatmalaikat Allah Swt. Dalam nilai pendidikan secara umum, maka hendaknya kita bahas satu persatu. Berawal dari nilai keimanan termasuk dalam nilai agama. Dimana, keimanan merupakan hal pokok yang harus ada dalam beragama, karena ini sebagai wujud pengakuan terhadap nilai-nilai ilahiyah, sebagaimana kita ketahui, sumber dari nilai agama adalah Allah Swt. Sedangkan menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī, nilai edukatif yang terkandung dalam iman kepada malaikat-malaikat Allah Swt. diantaranya adalah; sifat disiplin, loyal dan bertanggung jawab, serta kontrol diri dari perilaku negatif.121 Disiplin termasuk dalam nilai moral. Merupakan suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang 121
‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī, Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā, fi al-Bayt, wa al-Madrasah, wa al-Mujtama’ terj. Shihabuddin, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 84.
72
menunjukkan nilai-nilai ketaatan dan keteraturan. Melakukan pekerjaan tertentu yang dirasakan menjadi tanggung jawabnya. Pemberian tugas-tugas tertentu kepada para malaikat serta ketaatan dalam menjalankan tugas, merupakan nilai motivasi yang dapat mempengaruhi sisi psikologis anak didik dalam proses pendidikannya. Anak didik dapat dipahamkan tentang keteraturan tersebut dalam menjalankan tugas yang dibebankan pada mereka dengan penuh ketaatan dan kesungguhan. Karena sesungguhnya anak membutuhkan disiplin sebagaimana ia membutuhkan kasih sayang. Dan sebagai orang tua atau pendidik, hendaknya menerapkan disiplin sejak dini. Yaitu mengajarkan anak agar membiasakan hidup teratur dan menghormati diri sendiri sekaligus menghormati sekitarnya. Pendidikan berlangsung tidak hanya di sekolah. Akan tetapi di rumah (keluarga), dan di masyarakat. Kedisiplinan dapat diterapkan sejak dini dalam keluarga. Berupa pembiasaan melaksanakan kegiatan sehari-hari di rumah sesuai dengan tugas masing-masing. Dengan keterbiasaan tersebut, maka seorang anak akan dengan mudah menerapkan kedisiplinan di lingkungan sekolah ataupun kehidupan bermasyarakatnya. Jika kedisiplinan benar-benar diterapkan oleh semua pihak. Maka implikasi disiplin secara umum adalah segala sesuatu akan berjalan dengan lancar,
karena
semuanya
menjalankan
kewajiban
dan
haknya
secara
proporsional. Di sekolah, proses pembelajaran akan berjalan lancar jika guru menjalankan tugasnya dengan baik dan tidak ada siswa yang terlambat, selalu mengerjakan tugas tepat pada waktunya dan mentaati segala peraturan yang
73
berlaku di sekolah tersebut. Begitu pula dengan kehidupan bermasyarakat, akan berjalan lancar jika setiap elemen masyarakat mengerti dan menjalankan kewajiban serta haknya sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Kontrol diri dari perilaku negatif (mengendalikan diri). Dalam Islam, istilah ini dikategorikan pada takwa. Takwa merupakan potensi internal pada seseorang yang memberinya pengetahuan dan hikmah, sehingga mampu menahan diri dari perbuatan tercela sesuai dengan syari’at agama. Sifat ini terjadi dan terkait secara pribadi atas dasar dorongan-dorongan yang lahir secara psikologis dalam diri seseorang. Sehingga mampu membedakan antara perbuatan benar atau salah menurut situasi tertentu kemudian dijadikan kendali dalam bertingkah laku atau berperilaku. Maka dari itu, sifat ini termasuk dalam nilai agama. Islam mengajarkan kepercayaan adanya alam ghaib, yaitu alam yang tidak tampak alam realita, tapi dapat mengetahui dan menyaksikan segala tingkah laku manusia. Dengan kepercayaan tersebut, manusia dapat terdidik untuk berbuat ikhlas dan secara internal mengendalikan diri dari perbuatan tercela. Baik dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Penanaman sifat ini dimulai dari pendidikan di keluarga, anak diberi pengertian mana sifat yang baik dilakukan, dan mana yang kurang atau bahkan tidak baik dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam bergaul dengan orang tua, sesama ataupun dengan alam sekitar. Dengan pemahaman sejak dini, maka seorang anak akan terbiasa menerapkannya dalam kehidupannya di sekolah
74
ataupun bermasyarakat. Mereka tidak akan melakukan perbuatan negatif baik ketika ada orang tuanya ataupun tidak. Baik ketika ada gurunya ataupun tidak. Karena mereka yakin akan penjagaan malaikat pencatat amalnya yang tidak pernah luput menjalankan tugasnya. Contohnya, berhati-hati dalam memilih teman. Karena pengendalian diri dari perilaku negatif tidaklah mudah dilakukan atas dorongan diri sendiri, akan tetapi situasi dan kondisi lingkungan juga sangat mempengaruhinya. Dari sini, siswa tidak mudah terbawa dalam pergaulan bebas dan terhindar dari hal-hal yang kurang bermanfaat bagi dirinya, yaitu perbuatan yang merugikan orang lain maupun dirinya sendiri. Sedangkah loyal dan tanggung jawab adalah termasuk dalam nilai sosial. Dengan alasan keduanya berorientasi pada orang lain dan lahir karena adanya kontak secara psikologis sosial dengan dunia luar yang disikapi dan dipersepsi. Berkaca dari kesetiaan para malaikat dalam menjalankan tugas dan kesadaran akan adanya tanggung jawab yang tertanam dalam hati nurani manusia memberikan pengaruh penting dalam pembinaan pribadi individu dan masyarakat. Konsep keimanan ini mengandung pesan moral bahwa setiap perbuatan dan ucapan manusia diketahui oleh Allah Swt. Dan mereka akan bertanggung jawab atas segala hal yang telah diperbuatnya. Hal ini dapat dijadikan dasar dalam proses pembelajaran, yaitu menanamkan kepada anak didik rasa tanggung jawab atas segala tindakan mereka, sekaligus memberikan indoktrinasasi bahwa
75
setiap perbuatan baik dan buruk pasti mendapat ganjaran. Dan balasan merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh setiap manusia. Dampak dari sifat ini adalah siswa/anak akan menjadi pribadi yang mandiri. Yang bisa menyikapi masalahnya sendiri secara bijak serta melakukan segala sesuatu dengan penuh pertimbangan. Tidak mudah menerima informasi yang belum jelas sumbernya. Dan tidak menjelek-jelekkan orang lain di depan orang lain. Dengan demikian, urgensi ketiga sifat di atas (sebagai bentuk keteladanan malaikat) dalam proses pembelajaran bertujuan membentuk manusia yang bermoral dan berakhlak malaikat (’adamiy malakiy) sehingga pencapaian tujuan pendidikan yaitu pembentukan manusia yang beriman dan bertakwa, bukanlah suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan.
B. Relevansi Nilai Edukatif Iman Kepada Malaikat Dalam Menghadapi Tantangan Globalisasi Tantangan globalisasi khususnya dalam dunia pendidikan adalah sejauh mana pendidikan mampu mencetak generasi yang mampu bersaing secara fair, mampu bekerja sama dengan orang lain, generasi yang selalu belajar dan mampu bertahan di tengah derasnya arus globalisasi. Salah satu bekal dalam membentuk manusia global adalah dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan. Tanpa imtaq, maka manusia mudah jatuh di dalam keangkuhan intelektualnya dan kecanggihan teknologi yang semakin berkembang.
76
Menurut ‘Abd al-Rahman al-Nahlāwī, nilai edukatif yang terkandung dalam iman kepada malaikat-malaikat Allah Swt. diantaranya adalah; sifat disiplin, kontrol diri dari perilaku negatif serta loyal dan bertanggung jawab.122 Globalisasi membawa pemahaman baru, bahwa dunia semakin terbuka, semakin kompetitif. Setiap manusia mempunyai kesempatan yang sama untuk berbuat sesuatu yang produktif dan bermutu. Dalam hal ini, kedisiplinan merupakan salah satu kunci utama untuk dapat bersaing secara fair. Tanpa kedisiplinan, seseorang akan dengan mudah disingkirkan atau tergantikan oleh orang lain. Karena pada masa ini, kebutuhan pasar tidak hanya bergantung pada pengetahuan dan keterampilan saja, akan tetapi sejauh mana seseorang dapat dipercaya dan mempunyai kepribadian yang mantap. Salah satu cirinya adalah dengan berdisiplin. Tidak hanya itu, perkembangan perekonomian juga memasuki era pasar bebas. Dimana produk-produk ekonomi tidak hanya bersaing dengan orang negara sendiri, akan tetapi dengan negara lain. Maka sejauh mana kita mampu menarik simpati pasar agar tetap memiliki ke-khas-an tersendiri dengan tidak mengurangi kualitas. Kita tidak boleh kalah cepat untuk tetap memperoleh posisi di negara sendiri. Disini, peran kedisiplinan juga penting dalam kaitannya dengan persaingan yang sehat. Tidak cukup hanya dengan kedisiplinan, manusia juga mempunyai keterbatasan akal, namun dengan bantuan iptek diharapkan akan membantu mengatasi keterbatasan tersebut.
122
Ibid., 84.
77
Globalisasi juga ditandai dengan perubahan sosial yang semakin cepat. Salah satu faktor dominan penyebabnya adalah kemajuan iptek, menjadikan jarak dan waktu tidak lagi menjadi kendala untuk mengenal atau mengetahui informasi yang terjadi di belahan dunia manapun. Contoh saja, orang tidak perlu lagi pergi ke suatu tempat untuk dapat mengenal dan berkomunikasi dengan daerah lain. Cukup dengan sarana media informasi yang tersedia, baik cetak ataupun elektronik. Dalam hal ini, pengendalian diri sangat dibutuhkan sebagai bekal menghadapi segala perbedaan. Kita dituntut untuk pandai beradaptasi di atas perbedaan. Kita tidak akan mudah merasa aneh bila suatu ketika menghadapi perbedaan. Mengingat, kita tidak hanya hidup dengan satu model masyarakat, akan tetapi dengan berbagai suku bangsa. Dimana keanekaragaman tersebut terletak pada perbedaan agama, budaya, sosial dll. Dengan pengendalian diri, kita senantiasa belajar memahami perbedaan sehingga mampu membina kerja sama antar ras, suku dan negara tanpa harus menjadi sama dengan mereka. Selain tentang multikulturalisme di atas, masalah yang melanda manusia sekarang adalah kriminalitas terjadi dimana-mana. Sebagai akibat dari menipisnya keimanan pada alam ghaib (malaikat). Kondisi ini menyebabkan mereka lepas kontrol, berbuat seenak tanpa ada rasa bersalah. Kalaupun ada kontrol, itu hanya sebatas pada nilai-nilai yang mereka buat sendiri dan bersifat relatif. Mereka hanya mempertimbangkan adanya pujian dan celaan dari manusia sekitarnya. Tanpa mempertimbangkan apakah perilakunya positif atau negatif.
78
Padahal jika hanya mengandalkan hukum dan kontrol manusia, tindakan pencurian, manipulasi, korupsi, pembunuhan dan sebagainya nyaris tidak dapat terantisipasi secara optimal. Pihak-pihak yang memiliki kekuasaan dan kepentingan dapat saja berbuat sesuatu agar terbebas dari tuduhan. Hal ini semakin memudahkan terjadinya tindakan-tindakan negatif yang sangat mengganggu stabilitas dan ketentraman masyarakat. Mereka seringkali lupa, bahwa hukum alam tetap berlaku. Yaitu apabila tidak mau disakiti, maka jangan menyakiti orang lain. Karena itulah, agama mengajarkan kepercayaan akan adanya alam ghaib, yaitu alam yang tidak tampak dalam realita, tetapi mengetahui segala tingkah laku manusia. Khususnya meyakini peran malaikat pencatat setiap amal perbuatan manusia. Dengan kepercayaan ini mendidik manusia agar dapat mengontrol diri dari perilaku tercela. Baik yang dilakukan secara terang-terangan ataupun sembunyi-sembunyi. Karena hukum dan pengawasan manusia pada dasarnya belumlah cukup. Tanpa kesadaran diri dan keimanan yang mendalam kepada adanya pengawasan malaikat, niscaya manusia akan dengan mudah mempermainkan norma yang telah disepakati. Selain masalah di atas, salah satu ciri era globalisasi adalah meningkatnya masalah bersama, diantaranya adalah masalah lingkungan. Kita ketahui bahwa manusia tidak hanya hidup dan berinteraksi dengan sesamanya, akan tetapi dengan makhluk hidup lain, yaitu alam dan hewan. Pengendalian diri juga diperlukan dalam berinteraksi dengan makhluk hidup lain di dunia ini. Selama kita mampu bersahabat dengan mereka, maka mereka juga akan bersikap baik kepada kita. Sekarang ini seringkali kita jumpai bencana alam misalnya, itu
79
sedikit banyak diakibatkan dari faktor manusia. Mereka sudah lupa bahwa alam sekitar tidak hanya untuk dinikmati tetapi juga untuk dilestarikan. Begitupun kalau kita pandai menjaga kebersihan lingkungan dengan tetap mematuhi peraturan yang ada, niscaya masalah lingkungan hidup akan berkurang sedikit demi sedikit. Selanjutnya yang perlu dikembangkan adalah sikap loyal dan tanggung jawab. Loyalitas adalah kesetiaan pada prinsip yang dianut. Ini menjadikan diri tidak mudah terbawa arus pergaulan dan gaya hidup sebagai dampak dari globalisasi. Selain itu, Islampun mendidik umatnya dengan menanamkan keyakinan bahwa setiap perbuatan dan ucapan manusia diketahui oleh Allah Swt. Dan mereka bertanggung jawab atas segala hal tersebut. Selain itu, akidah Islam menekankan adanya pembalasan atau ganjaran amal perbuatan di hari kemudian. Dalam konsep keimanan kepada malaikat, diyakini adanya malaikat yang mendatangi dan menanyai setiap manusia dalam kubur. Manusia akan dimintai pertanggung jawaban mereka atas segala yang mereka perbuat selama di dunia. Jika semua manusia senantiasa menerapkan sikap tanggung jawab, niscaya konflik antar sesama dapat diminimalisir. Menyikapi beberapa dampak negatif globalisasi, yang cenderung bersifat nafsu duniawi dan menafikan sisi spiritualitas, itu bias dicegah dan diatasi salah satunya melalui pendidikan. Bagaimana pendidikan mampu menginternalisasikan nilai-nilai keimanan khususnya keimanan kepada malaikat-malaikat Allah Swt. dalam rangka sebagai salah satu wujud penyadaran bahwa semua yang terjadi pastilah dimintai pertanggung jawabannya kelak. Karena manusia itu tidak hidup
80
dengan aturan yang dibuat manusia itu sendiri, akan tetapi juga dengan aturan Allah Swt. Dimana, Allah Swt. Mempercayakan sebagian besar bidang tata kehidupan manusia kepada malaikat-malaikat-Nya sebagai koordinator di bidang masing-masing. Dengan demikian, peran beriman kepada malaikat-malaikat Allah Swt. Dalam menghadapi globalisasi adalah: 1.
Berkaca pada sifat-sifat yang melekat pada malaikat (disiplin, loyalitas dan tanggung jawab di hadapan Allah Swt.) hendaknya menumbuhkan motivasi dalam diri kita untuk senantiasa meneladani sifat-sifat tersebut dalam kehidupan sehari-hari
2.
Dengan senantiasa meyakini peran malaikat pencatat setiap detil perbuatan kita, mendorong kita untuk senantiasa mengontrol diri dari perbuatanperbuatan yang tercela dan tidak diridhoi Allah Swt. Maka dari itu, sekarang kita hidup di era globalisasi, era terbuka, era
kebebasan, maka diharapkan kedua peran di atas paling tidak dapat dijadikan pegangan hidup. Karena kebebasan yagn ada di depan kita sesungguhnya adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Agar kita menjadi manusia global yang seutuhnya. Yang tetap beriman dan bertakwa, mampu bersaing, tahan banting, menguasai iptek dan utamanya tangguh dalam menghadapi erosi nilai-nilai moral dan agama. Dengan demikian menjadi modal utama untuk bisa bertahan menjalani kehidupan hingga mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemurnian tauhid dan keberimanan kepada malaikat-malaikat Allah Swt. Di tengah arus globalisasi
81
menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh manusia modern. Jadi jelaslah bahwa nilai edukatif beriman kepada malaikat-malaikat Allah Swt. adalah relevan dalam menghadapi globalisasi.
C. Metode yang Digunakan Dalam Pembelajaran Iman Kepada MalaikatMalaikat Allah Swt. Menurut Al-Nahlāwī Di Era Globalisasi Berbicara tentang pendidikan tidak terlepas dengan adanya metode. Metode yang cocok dalam pendidikan Islam menurut al-Nahlāwī ada tujuh. Sebagaimana telah dijelaskan di bab III. Di era globalisasi sekarang ini. Yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan terutama pada suatu sekolah. Dalam menyampaikan suatu materi pelajaran harus menggunakan metode yang sesuai dengan materi tersebut. Agar tujuan pembelajaran tercapai. Disini, dalam penyampaian materi keimanan kepada Malaikat-Malaikat Allah Swt. diantara ketujuh metode yang ditawarkan al-Nahlāwī, menurut hemat penulis ada empat metode yang sekiranya sesuai dengan materi keimanan kepada malaikat. Diantaranya adalah: 1. Metode Qishah Qur’ani dan Nabawi Dalam penyampaian materi keimanan kepada malaikat, seorang guru bisa menggunakan metode qishah. Agar siswa meyakini keberadaan malaikat, dengan menceritakan kisah nyata pada zaman Rasulullah Saw. khususnya proses interaksi Rasulullah dengan malaikat Jibril misalnya.
82
Melalui pengkisahan, siswa akan dengan mudah menyusun alur pemikirannya tentang materi keimanan kepada malaikat. 2. Metode ‘Ibrah dan Mau’izhah Mau’izhah (pemberian nasihat) sesuai digunakan untuk menyampaikan materi yang terkesan abstrak. Salah satunya mengenai akidah. Dalam hal materi keimanan kepada malaikat, mau’izhah bisa digunakan dengan hakikat keberadaan malaikat. Mulai dari siapakah malaikat itu sesungguhnya, jumlah dan tugas-tugasnya, sampai pada sifat-sifatnya. Dari situ, siswa bisa kita ajak untuk mengambil hikmah (‘ibrah) tentang sifat-sifat yang bisa diteladani dari malaikat untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3. Metode Tarhib dan Targhib Tarhib (ancaman) dan Targhib (rayuan) bisa juga digunakan untuk menyampaikan materi keimanan kepada malaikat. Metode ini biasanya disertai dengan dalil qur’an ataupun hadits yang sesuai dengan materi yang akan
disampaikan
serta
argumen
yang
logis.
Implikasinya
adalah
menanamkan keimanan dan akidah yang shahih dalam diri siswa sehingga mereka mudah memahami syarat masuk surga dan menghindari hal-hal yang dilarang Allah Swt. yang membuat masuk neraka. Disini dapat dicontohkan dengan keberadaan malaikat munkar nakir yang bertugas memberi pertanyaan di alam kubur serta menyiksa jenazah bila didapati melakukan dosa. Sikap malaikat tersebut juga tergantung amal
83
perbuatan si jenazah ketika di dunia. Apabila banyak melalukakan kebaikan, maka malaikat tersebut juga akan bersikap baik. Dan sebaliknya. Metode ini sesuai karena dalam menjelaskan masalah ghaib tergolong abstrak. Maka diperlukan sesuatu yang bersifat rayuan atau ancaman yang bisa menyentuh hati para peserta didik.
Demikian metode-metode pembelajaran keimanan kepada malaikatmalaikat Allah Swt. yang bisa digunakan dalam pendidikan. Era globalisasi secara tidak langsung melahirkan manusia yang berpikir realistis dan segalanya serba praktis. Maka dari itu, dengan metode-metode tersebut hendaknya pendidik bisa menyakinkan kepada peserta didik akan kebenaran adanya malaikat yang selalu mengawasi tingkah laku kita di dunia ini, diserta dengan dalil serta argumen-argumen yang realistis sehingga peserta didik bisa menerima materi pembelajaran ini dengan sepenuh hati dan pikiran serta keyakinannya. Dengan begitu, tujuan pendidikan bisa tercapai dengan baik.
84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat penulis kemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Posisi nilai edukatif yang terkandung dalam iman kepada malaikat Allah Swt. dalam nilai pendidikan secara umum adalah: a. Keimanan termasuk dalam nilai agama. Dimana, keimanan merupakan hal pokok yang harus ada dalam beragama, karena ini merupakan suatu wujud pengakuan nilai-nilai ilahiyah. b. Nilai edukatif dalam beriman kepada malaikat Allah SWT diantaranya adalah: Nilai moral, yaitu berupa disiplin. Nilai agama, yaitu berupa kontrol diri dari perilaku negatif (muraqabah). Dapat dikategorikan pada ketakwaan. Dan nilai sosial, yaitu sifat loyal & tanggung jawab, karena orientasinya pada orang lain.
85
2. Relevansi menghadapi
nilai era
edukatif
kepada
globalisasi
malaikat
adalah
Allah
keimanan
SWT
kepada
dalam
malaikat
mempunyai peran yang sangat penting sebagai bekal untuk hidup di masa sekarang ini. Nilai edukatifnya dijadikan sebagai motivator pembentuk pribadi yang tangguh, memiliki solidaritas sosial yang tinggi dan pengontrol diri dalam menyikapi berbagai perbedaan dan masalah hidup. Sehingga mampu mewujudkan perdamaian dalam kehidupan 3. Metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran keimanan kepada 94era globalisasi diantaranya adalah: malaikat menurut al-Nahlāwī di a) Metode qishah qur’ani dan nabawi b) Metode ‘ibrah dan mau’izhah c) Metode tarhib dan targhib
B. Saran Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, keimanan terhadap malaikat Allah Swt. bukanlah keimanan yang bersifat dogmatis dan dipaksakan tanpa melalui pembuktian dan pencarian kebenaran yang empiris. Akan tetapi, dengan kita mengenal betul malaikat Allah Swt. Dapat memotivasi diri agar senantiasa meneladani sifat-sifat yang melekat pada mereka (para malaikat), dan membuat kita selalu menyadari bahwa mereka selalu mengawasi kita. Sehingga dapat meningkatkan kontrol diri
86
dalam menyikapi persoalan hidup. Dengan kedua faktor tersebut, dapat kita jadikan modal utama untuk hidup di era globalisasi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Pendidikan Agama Multikultural-Multireligius. Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005. al-Banjari, Rachmat Ramadhana. Biografi Malaikat. Yogyakarta: DIVA Press, 2007. Al-Nahlawī, 'Abd al-Rahmān. Ushūl al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Asālibuhā, fi al-Bayt, wa al-Madrasah, wa al-Mujtama’. Beirut: Dar al-Fikr, 1983. Aly, Hery Noer & Munzier. Watak Pendidikan Islam. Jakarta Utara: Friska Agung Insani, 2000. Athaillah, A. Rasyid Ridha’ Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar. Jakarta: Erlangga, 2006. Buseri, Kamrani. Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2004. Chirzin, Muhammad. Konsep & Hikmah Akidah Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004. Damodiharjo, Darji & Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1995.
87
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya. Bandung: CV Penerbit Jumānatul 'Alī-Art, 2005. Grannen, Julia. MetodePenelitian. Pustaka Pelajar Samarinda, 1996. Harisah, Afifuddin. Keberimanan Kepada Malaikat Perspektif Pendidikan Islam. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga, 2004. Ibrahim, Ruslan. Pendidikan Nilai Dalam Era Pluralitas. Jurrnal INSANIA: P3M STAIN Purwokerto, 2007. Ihsan, Hamdani & A. Fuad Ihsan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka Setia, 1998. Ilyas, Yunahar. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta : LPPI, 2006. Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Al-Ma'arif, 1989. Muhaimin dan Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: PT Trigenda Karya, 1993. Mulyana, Rohmat. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: CV Alfabeta, 2004. Nazir, Moh. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia, 1999. Poerbakawatja, Soegarda et. Al., Ensiklopedi Pendidikan. Jakarta: Gunung Agung, 1981. Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004. Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Alfabeta, 2003. Sastrapradja, M. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha Nasional, 1978. Shihabuddin. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Sunarto & Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002. Suwendi. Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
88
Syam, Mohammad Noor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988. Thoha, Chabib. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Tilaar, H.A.R. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional. Magelang: Tera Indonesia, 1998. Tim Ahli Ilmu Tauhid, Kitab Tauhid 2. Jakarta : Darul Haq, 2007. ‘Ulwan, ‘Abdu ‘I-lah Nashih. Tarbiyatu al-Awlad fi al-Islam Juz 1, terj. Saifullah Kamali & Hery Noer Ali. Kairo : Dar al-Salam li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1981. Universitas Sanata Dharma. Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: KANISIUS, 2000. UU No 20 Tahun 2003 SISDIKNAS. Bandung: Citra Umbara, 2003. http://www.warnadunia.com/nilai-budaya diakses pada tanggal 13 Mei 2009. http://23veranita.blogspot.com/2008/nilai-nilai-pendidikan.html diakses pada tanggal 10 Juni 2009. http://www.g-excess.com/id/pages/globalisasi.html diakses pada tanggal 31 Agustus 2009. http://www.luqm.multiply.com/journal/item/75 2009.
diakses pada tanggal 31 Agustus
http://www.wikipedia.org/wiki/globalisasi diakses tanggal 31 Agustus 2009 http://pakguruonline.pendidikan.net diakses pada tanggal 20 Agustus 2009. http://www.ansabcom.com/vb/t16236html diakses pada tanggal 26 Oktober 2009. http://www.fikr.com/?Prog=book&Page=authorinfo&aid=1382 diakses tanggal 23 Oktorber 2009. http://unisys.uii.ac.id/uii-perpus/koleksiutama.asp?ddc=2x9.87&offset=0&count=25 diakses pada tanggal 19 Oktober 2009. http://www.shatharat.net/vb/archive/index.php/t-9585.html diakses pada tanggal 26 Oktober 2009.
89
http://catalog.library.ksu.edu.sa/digital/ara353.html diakses pada tanggal 23 Oktober 2009.