BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah upaya pengembangan potensi atau sumber daya insani. Tercapainya self realization (kesadaran diri) yang utuh merupakan tujuan umum pendidikan Islam yang proses pencapaiannya melalui berbagai lingkungan atau secara formal, informal maupun non formal. 1 Seiring dengan pencapaian masyarakat tujuan pendidikan yang utuh itu satu hal dari aspek pendidikan yang sedikit banyak menjadi problem masyarakat adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak diartikan sebagai sebuah proses pembentukan perilaku lahir dan batin manusia sehingga menjadi manusia seimbang dalam arti terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan sekitar. 2 Akhlak sendiri merupakan perilaku yang timbul dari hasil perpaduan antara hati nurani, perasaan, bawaan dan kebiasaan yang menyatu membentuk satu kesatuan tindakan yang dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Dan tujuan berakhlak ialah dapat memperoleh irsyad, hidayah dan taufiq sehingga dapat mengetahui batas baik dan buruk. 3 Di samping itu
1
Abu Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta : Aditya Media, 1992), 63. 2 Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak (Yogyakarta: Belukar, 2004), 38 3 Barmawie Umary. Materia Akhlak (Solo : CV. Ramadani, 1967), 2
1
2
pendidikan akhlak memiliki tujuan langsung yang dekat, yaitu harga diri dan tujuan yang jauh, yaitu ridha Allah SWT. 4 Akhlak yang dianjurkan dalam al-Qur’an tertumpu pada aspek fitrah yang bertumpu pada diri manusia. Maka pendidikan akhlak perlu dilakukan dengan berbagai cara di antaranya: -
Menumbuhkembangkan dorongan dari dalam yang bersumber pada iman dan taqwa.
-
Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak al-Qur’an lewat ilmu pengetahuan, pengalaman dan latihan
-
Latihan untuk melakukan yang baik serta mengajak orang lain melakukan yang baik dan
-
Pembiasan dan pengulangan melaksanakan hal yang baik. 5 Dalam masyarakat pendidikan akhlak sedikit banyak menjadi
problem. Masyarakat belum sepenuhnya peduli dengan pendidikan akhlak khususnya bagi putra-putrinya, apalagi dengan adanya era globalisasi ini, pendidikan akhlak sedikit demi sedikit mulai terkikis dari pribadi masyarakat. Perilaku masyarakat secara umum sudah banyak yang keluar dari norma baik norma agama maupun norma susila. Di sisi lain kita juga menyaksikan banyak tayangan televisi yang tidak senonoh menjadi tuntunan bagi masyarakat, sebaliknya tuntunan yang seharusnya menjadi panutan hanya menjadi tontonan. Problem tersebut perlu dicarikan solusinya, sebab kebahagiaan seseorang tidak akan dapat 4
Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994), 10 5 Ibid., 11
3
tercapai tanpa akhlak terpuji yang dapat mengantarkan manusia untuk mencapai kesenangan, keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat. Dengan demikian tidak berlebihan
jika orang yang berkata bahwa yang paling
menonjol dalam diri manusia, bahkan sifat- sifatnya yang paling mulia, adalah kekuatan akhlaknya. Selain itu kaitannya dengan ilmu pengetahuan, akhlak juga sangat penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan sains. Sains tidak bisa dibiarkan lepas dari etika, kalau tidak ingin senjata makan tuan, sehingga sains harus dilandasi akhlak. Sehubungan
dengan
pentingnya
pendidikan
akhlak
tersebut,
Muhammad ‘Atiyat al-Abrâsyi, salah seorang tokoh pendidikan yang merupakan sarjana yang lama berkecimpung di dunia pendidikan di Mesir6 mengungkapkan konsep pendidikan akhlak Lewat karyanya dalam kitab alTarbiyat al-Islâmiyah wa falâsifatuhâ, Dia memaparkan dengan detail tentang pendidikan akhlak dan upaya apa saja yang harus dilakukan pendidik khususnya orang tua dalam pembinaan akhlak, khususnya pembinaan akhlak pada masa kanak-kanak, dan metode atau cara yang digunakan dalam mendidik anak berakhlakul karimah. Lebih dari itu pemikiran pemikiran al-Abrâsyi di bidang pendidikan akhlak sering digunakan oleh para penulis buku pendidikan dan digunakan sebagai salah satu referensinya. Hal ini menambah ketertarikan penulis untuk menggali pemikirannya tentang pendidikan akhlak untuk mengetahui lebih dalam khazanah pemikirannya. 6
Mukarom, Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad 'Atiyah Al-Abrâsyi. http:// abunathan.com./2008.06.01.archive.html. di akses 30 juni 2008.
4
Pembahasan tentang pendidikan akhlak oleh Muhammad ‘Atiyat alAbrâsyi menurut penulis adalah sangat komprehensif karena pemikirannya tentang pendidikan akhlak sangat menyentuh aspek inti dalam kehidupan sehari-hari. Beliau memaparkan tentang pentingnya budi pekerti (akhlak) yang merupakan tujuan utama dari pendidikan. Pada bagian yang lain, dia juga membahas metode-metode yang digunakan dalam pendidikan akhlak dan juga dia memaparkan pentingnya pendidikan akhlak di usia dini. Selain itu, dia memberikan banyak pemaparan, contoh dan keutamaankeutamaan dari pendidikan akhlak di samping dia memaparkan pendapat para tokoh dalam menyampaikan pemikirannya. Pemikiran al-Abrâsyi tentang pendidikan akhlak penulis pilih karena pemikirannya memiliki perbedaan dengan pemikiran para tokoh yang lain, pemikirannya lebih menekankan kepada proses pembentukan akhlak pada anak didik. Untuk itulah penulis merasa perlu menelaah konsep pendidikan akhlak tokoh tersebut dalam penelitian ini dengan judul : TELAAH KONSEP ABRESYI
PENDIDIKAN DALAM
AKHLAK
KITAB
MUHAMMAD
AL-TARBIYAT
‘ATIYAT
AL-
AL-ISLĀMIYAH
WA
FALĀSIFATUHĀ.
B. Rumusan Masalah Dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis mengambil rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep tujuan pendidikan akhlak Muhammad ‘Atiyat alAbrâsyi dalam kitab al- Tarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ?
5
2. Bagaimana konsep metode pendidikan akhlak Muhammad Atiyat alAbrâsyi dalam Kitab Al-Tarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ ? 3. Bagaimana konsep pendidikan akhlak anak usia dini Muhammad ‘Atiyat al-Abrâsyi dalam Kitab Al-Tarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ ?
C. Tujuan Kajian Tujuan dari adanya pembahasan dalam skripsi ini adalah : 1. Untuk menjelaskan konsep tujuan pendidikan akhlak Muhammad ‘Atiyat
al-Abrâsyi
dalam
Kitab
Al-Tarbiyat
al-Islâmiyah
wa
Falâsifatuhâ. 2. Untuk menjelaskan konsep metode pendidikan akhlak Muhammad ‘Atiyat al-Abrâsyi
dalam Kitab Al- Tarbiyat al-Islâmiyah wa
Falâsifatuhâ. 3. Untuk
menjelaskan
konsep
pendidikan
akhlak
anak
usia
dini
Muhammad ‘Atiyat al-Abrâsyi dalam Kitab Al-Tarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ.
D. Manfaat Kajian Manfaat yang dapat diambil dari kajian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis Kajian ini dapat dijadikan salah satu khazanah ilmu pengetahuan yang ada hubungannya dengan pendidikan akhlak.
6
2. Manfaat Praktis a) Bagi penulis dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam hal penelitian. b) Bagi para pendidik khususnya orang tua dapat menambah wawasan dalam memberikan pembinaan akhlak terhadap peserta didik atau anaknya. c) Bagi lembaga STAIN Ponorogo, sebagai dokumen yang dapat dijadikan sumbangan pemikiran dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di STAIN Ponorogo.
E. Telaah Pustaka Di samping memanfaatkan berbagai teori yang relevan dengan bahasan ini penulis juga melakukan telaah hasil penelitian terdahulu yang ada relevansinya dengan penelitian ini. Adapun hasil temuan penelitian terdahulu adalah : a. Penelitian yang dilakukan oleh Edi Sobirin tahun 2006 dengan judul: Pemikiran Ibnu Maskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Dan Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Jiwa Anak. Dalam penelitiannya dia mengajukan dua rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana pemikiran Ibnu Maskawaih tentang pendidikan akhlak? 2. Bagaimana
pemikiran Ibnu Maskawaih tentang pengaruh
pendidikan akhlak terhadap perkembangan jiwa anak?
7
Adapun kesimpulan dari pembahasannya adalah: 1.
Pendidikan akhlak menurut Ibnu Maskawaih adalah suatu usaha atau upaya yang dilakukan pendidik atau peserta didik yang di dalamnya
mengandung unsur pendidikan
akhlak,
keutamaan
metode
pokok
akhlak
dan
yang
bersangkutan dengan hal itu. 2.
Pengaruh akhlak terhadap perkembangan jiwa anak adalah dapat terwujudnya perilaku yang baik pada anak dan hal itu didukung dengan adanya beberapa faktor diantaranya faktor adat, insting, dan keturunan.
Penelitian yang dilakukan oleh Edi Shobirin ini membahas tentang konsep akhlak dari tokoh Ibnu Maskawaih, dan pembahasannya tidak memaparkan tentang metode ataupun aspek pendidikan anak usia dini . b. Penelitian yang dilakukan oleh Uswatun Hasanah yang dilakukan tahun 2008 yang berjudul: Kajian Kritis Tentang Konsep Pendidikan Akhlak Al-Ghâzali ( Iĥyâ’ ‘Ulûm Al-Dĭn). Dia mengajukan tiga rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana konsep pendidikan akhlak dalam pendidikan Islam dewasa ini? 2. Bagaimana konsep pendidikan akhlak menurut imam al- Ghâzali? 3. Bagaimana kontribusi konsep pendidikan akhlak imam alGhâzali dalam pendidikan akhlak dalam pendidikan dewasa ini?
8
Adapun kesimpulan dari pembahasannya adalah: 1. Pendidikan akhlak di sekolah sekarang hanya berorientasi pada unsur sopan santun, belum difahami sebagai keseluruhan pribadi manusia yang beragama. Pendidikan akhlak hanya ditekankan pada aspek kognitif sehingga ajaran agama hanya sekedar pengetahuan, bukan untuk diamalkan dalam kehidupan. 2. Konsep pendidikan akhlak yang ditawarkan oleh imam al-Ghâzali sangat komprehensif dan mempunyai tujuan yang jelas, adapun penilaian negatif beberapa orang terhadap dirinya itu disebabkan oleh kurang lengkapnya orang tersebut dalam memahami beliau. 3. Imam al-Ghâzali memiliki kontribusi yang besar dalam rangka membangun konsep pendidikan akhlak dalam Islam. Sedangkan pemikiran akhlaknya cenderung menganut faham sufi. Secara operasional konsepnya dapat dijadikan alternative acuan dalam pendidikan akhlak seorang muslim dimasa sekarang. Penelitian ini secara umum membahas tentang pendidikan akhlak imam
al-Ghâzali
pendidikan
akhlak
terkait dalam
dengan kitabnya
pemikirannya Iĥyâ’
mengenai
‘Ulûm
al-Dĭn
relefansinya terhadap pendidikan dewasa ini. Dalam uraiannya tidak memaparkan tokoh yang lain seperti al- Abrâsyi. c. Penelitian yang dilakukan oleh Muh. trihan yang dilakukan tahun 2008, judul dari penelitiannya adalah: Relevansi Konsep Perbaikan Akhlak Perspektif Imam Al-Ghâzali Dalam Kitab Al- Arba’în Fî
9
Ushûl al-Dîn Di Era Pendidikan Global. Dalam penelitiannya dia mengajukan dua rumusan masalah yaitu: 1. Bagaimana konsep perbaikan akhlak menurut imam al-Ghâzali dalam kitab al- Arba’în fî Ushûl al-Dîn? 2. Bagaimana relevansi konsep perbaikan akhlak menurut imam alGhâzali dalam kitab al-Arba’în fî Ushûl al-Dîn di era pendidikan global? Adapun kesimpulan dari penelitiannya adalah: 1. Imam al-Ghâzali adalah seorang pemikir besar Islam yang karyakaryanya sedikit banyak telah memberikan khazanah keilmuan bagi umat islam. Setiap pemikiran beliau sangat dipengaruhu oleh situasi sosial yang terjadi saat itu. 2. Konsep perbaikan akhlak perspektif al-Ghâzali dalam kitab alArba’în fî Ushûl al-Dîn
meliputi dua konsep yaitu konsep
tazkîyah, dan konsep taĥliyah. 3.
Kerelevansian konsep perbaikan akhlak dalam kitab al- Arba’în fî Ushûl al-Dîn dengan kondisi masyarakat di era global adalah kesesuaian konsep yang didukung dengan masalah yang dihadapi yaitu untuk mengatasi dekadensi moral sehingga tujuan alSa’âdah fĭ al-Dunyâ wa al-Dîn dapat tercapai.
10
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan yang penulis ambil dalam penelitian ini adalah pendekatan filosofis yaitu berusaha mencari hikmah atau makna mendalam dari apa yang menjadi bahasan pada penelitian ini. Sedangkan jenis penelitian dalam kajian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku atau sumber kepustakaan lain. Maksudnya data-data dicari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari buku yang relevan dengan pembahasan. 7 2. Sumber Data Sumber data yang dijadikan bahan-bahan dalam kajian ini merupakan sumber data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang dikategorikan sebagai berikut : a. Sumber Data Primer, merupakan bahan utama atau rujukan utama dalam mengadakan suatu penelitian untuk mengungkapkan dan menganalisis penelitian tersebut. Adapun data primer yang penulis gunakan adalah :
-
Muhammad ‘Atiyyat al-Abrâsyi, Al-Tarbiyat al-Islamiyah wa Falasifatuhâ. Kairo: Dâr al-Ulum, tt.
7
1994), 23
Hadani Nawawi, Penelitian Terapan (Yogyakarta : Gadjah Mada University Pers,
11
-
Muhammad
‘Atiyah
al-
Abrâsyi,
Prinsip-
Prinsip
Dasar
Pendidikan Islam. Terj. Abdullah Zaky al-Kâf. Bandung: Pustaka Setia, 2003.
b. Sumber data sekunder, yaitu buku-buku yang ditulis oleh tokohtokoh lain yang berkaitan dengan kajian ini yaitu : a. Abuddin Nata. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000. b. Asri Budiningsih. Pembelajaran Akhlak, Jakarta: Rineka Cipta, 2004. c. Ali al-Jumbulati. Abdul Futuh at-Tuwanisi, Dirasatan AlMuqaranatan fi Al-Tabiyat Al-Islamiyah terj. M Arifin Jakarta: Rineka Cipta. 1994. d. Abidin Ibnu Rusn. Pemikiran al-Ghâzali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. e. Mansur. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. f. Rahman Ritonga. Akhlak (Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia) Surabaya: Pustaka Setia, 2005. g. Zahruddin Hasanuddin Sinaga, Pengantar Study Akhlak, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. h. Barmawie Umary. Materia Akhlak. Solo : CV. Ramadani, 1967.
12
i. Zakiyah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga Dan Sekolah. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994. j. Muhammad Nur Abdul Hafidz Suwaid. Manhaj al Tarbiyat Al Nabawiyah Li al-Tifl Terj Kuswandani. Bandung: Al- Bayan, 1997. k. Muhammad Nur Abdul Hafidz Suwaid. Mendidik Anak Bersama Nabi, Solo: Pustaka Arafah. 2003. l. Suwito, Filsafat Pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih, yogyakarta: Belukar, 2004 m. Ali Abdul Halim Mahmud, Al-Tarbiyat al-Khulkiyah, Jakarta: 1995. n. Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlak Anak Pra Sekolah, yogyakarta: Belukar, 2006. o. Mahmud
al-Khal’awi,
Mendidik
Anak
Dengan
Cerdas,
Sukoharjo: Insan Kamil, 2007.
3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer yaitu bahan-bahan pustaka yang kohern dengan objek pembahasan yang dimaksud. 8
8
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 24
13
Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara : a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data yang diperoleh terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna dan keselarasan makna antara satu dengan yang lain b. Organizing, yaitu mengorganisir data-data yang diperoleh dengan kerangka yang sudah diperlukan c. Penemuan hasil penelitian, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidahkaidah, teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah 4. Analisis Data Setelah pengumpulan data selesai, maka data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode content analisis, yaitu analisis tentang isi pesan atau komunikasi.9 Metode ini digunakan untuk menganalisis isi dan berusaha menjelaskan bangunan pemikiran tentang masalah yang dibahas dengan menggunakan proses berpikir induktif, deduktif dalam penarikan kesimpulan. Induktif, yaitu proses berpikir yang berangkat dari fakta-fakta khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkrit kemudian dari fakta-fakta
9
1987), 49
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Bayu Indra Grafika,
14
atau peristiwa khusus tersebut ditarik generalisasi yang bersifat umum. Sedangkan deduktif yaitu proses berpikir yang berangkat dari yang umum ditarik tolok dari pengetahuan itu hendak menilai suatu kajian yang khusus. 10 5. Sistematika Pembahasan Skripsi ini terdiri dari 5 bab yang saling berkaitan erat satu dengan yang lain yaitu : Bab satu adalah pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan gambaran global tentang isi penulisan skripsi ini yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan telaah pustaka, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan. Bab dua merupakan bahasan mengenai landasan teori dalam penelitian ini, bab ini terdiri atas : tujuan pendidikan akhlak, metode pendidikan akhlak dan pendidikan akhlak usia dini dalam pendidikan Islam Bab
Tiga
membahas
tentang
konsep
pendidikan
akhlak
Muhammad ‘Atiyat al- Abrâsyi dalam kitab al-Tarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ yang terdiri atas biografi Muhammad ‘Atiyat al-Abrâsyi, tujuan pendidikan akhlak menurut Muhammad ‘Atiyat al-Abrâsyi, metode
pendidikan
akhlak
Muhammad
‘Atiyat
al-Abrâsyi
dan
pendidikan akhlak anak usia dini menurut Muhammad ‘Atiyat alAbrâsyi. 10
Sugiono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabet, 2005), 90
15
Bab empat membahas tentang
analisis perspektif pendidikan
Islam terhadap konsep pendidikan akhlak Muhammad ‘Atiyyat alAbrâsyi dalam kitab al-Tarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ, yang terdiri dari analisis tujuan pendidikan akhlak Muhammad ‘Atiyyat alAbrâsyi
dalam
kitab
al-Tarbiyat
al-Islâmiyah
wa
Falâsifatuhâ
perspektif pendidikan Islam, analisis metode- metode pendidikan akhlak Muhammad ‘Atiyyat al-Abrâsyi dalam kitab al-Tarbiyat al- Islâmiyah wa Falâsifatuhâ perspektif pendidikan Islam, dan analisis pendidikan akhlak anak usia dini Muhammad ‘Atiyyat al-Abrâsyi dalam kitab alTarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ perspektif pendidikan Islam. Bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saransaran dari penulis.
16
BAB II KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Pendidikan Akhlak Dalam Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Akhlak John Dewey berpendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses
pembentukan
kemampuan
dasar
yang
fundamental,
baik
menyangkut daya pikir, maupun daya perasaan menuju ke arah tabiat manusia. Pendidikan juga diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. 11 Perkataan akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlâq bentuk jama’ dari kata khuluq, yang secara bahasa berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Akhlak diartikan juga sikap yang melahirkan perbuatan, mungkin baik dan mungkin juga buruk. Dalam percakapan sehari-hari, akhlak juga diartikan budi pekerti yang mana dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti perangai, tingkah laku dan akhlak. 12 Dalam keterangan lain Abdul Hamid Suwaid mengungkapkan kata khuluq dapat diartikan tabiat atau perangai. Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan kata khuluq dalam bahasa Arab artinya adab atau
11
37
12
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Maskawaih (Yogyakarta:Belukar, 2004),
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam ( Yogyakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 346
17
etika yang mengendalikan orang dalam bersikap dan bertindak. 13 Dalam keterangan yang lain Barmawie Umary14 mengatakan “akhlak adalah mufrad dari khilqun yang mengandung segi-segi persesuaian dengan khalqun serta erat hubungannya dengan khâliq dan makhlûq. Dari sinilah asal perumusan ilmu akhlak yang merupakan koleksi penting yang memungkinkan timbulnya hubungan yang baik antara makhûq dengan khâliq dan antara makhlûq dengan makhlûq. “ Secara terminologi kata akhlak memiliki banyak definisi. Para tokoh pendidikan dan ulama pun tidak ketinggalan memberikan pemaparannya di antaranya Ibnu Maskawaih mengatakan bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu.15 Menurut Abdullah Dirroj, akhlak adalah suatu kekuatan dalam kehendak yang
mantap,
kekuatan
dan
kehendak
berkombinasi
membawa
kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar (dalam akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam akhlak yang jahat). Menurutnya perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya apabila dipenuhi dua syarat. Pertama, perbuatan itu dilakukan berulang kali. kedua, perbuatan itu dilakukan karena
13
Muhammad Nur Abdul Hamid Suwaid. Manhaj al-Tarbiyah al- Nabawiyah Li al Tifl. terj Kuswandani, Pendidikan Ala Nabi Bagi Anak (Bandung: Al Bayan, 1997), 178 14 Umary, Materia, 1 . 15 Mansur, Pendidikan Anak, 221.
18
dorongan emosi jiwanya, bukan karena adanya paksaan dari luar atau orang lain. 16 Di samping istilah akhlak, ada beberapa istilah yang sering disamaartikan dengan akhlak yaitu moral, etika dan susila. 17 Moral l berasal dari bahasa Latin (mores) ialah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan seseorang dan baik buruknya perilaku itu diukur dengan norma yang berlaku. Sedang etika berasal dari bahasa Yunani (ethos) ialah perilaku yang sudah menjadi kebiasaan seseorang baik dan buruk diukur dengan logika yang sehat. Susila berasal dari bahasa Sansekerta (su = baik dan sila = prinsip), yaitu perilaku yang sudah menjadi kebiasaan seseorang. Dengan demikian perbuatan akhlak adalah tingkah laku yang muncul dari dorongan akhlak dalam jiwa. Jika tingkah laku itu baik dan sudah menjadi kebiasaannya disebut akhlaknya baik. Begitu pula sebaliknya dengan demikian perbuatan seseorang adalah cerminan dari akhlaknya bukan sebagai akhlaknya sendiri. 18 Berdasarkan uraian di atas, dapat difahami bahwa hakekat pendidikan akhlak adalah inti pendidikan semua jenis pendidikan karena akhlak mengarahkan kepada terciptanya perilaku lahir dan batin
16
Ibid., 223 Rahman Ritonga, Akhlaq (Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia) (Surabaya: Pustaka Ilmu, 2005), 8 18 Ibid., 8-9 17
19
manusia sehingga menjadi manusia yang seimbang baik untuk dirinya, ataupun orang lain.
19
2. Pandangan Pendidikan Islam terhadap Pendidikan Akhlak Akhlak sangatlah urgen bagi manusia, urgensi akhlak ini tidak saja dirasakan oleh manusia dalam kehidupan perseorangan tetapi juga dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akhlak adalah mustika hidup yang membedakan manusia dan hewan. Bahkan Rosulullah SAW diutus oleh Allah SWT di antara misinya dan tujuannya adalah misi moral, membawa umat manusia kepada akhlakul karimah Dalam sabdanya disebutkan :
ِِقOَQْSَTَUْرِمَ اOَYَZ َ[\]َ^ ُTُUِ ُ`ْa ِbُc Oَ]deِإ Artinya : Saya diutus (ke dunia) ialah untuk menyempurnakan budi pekerti yang mulia(H.R. Baihaqi)20 Selanjutnya para tokoh pendidikan Islam sangat memperhatikan segi akhlak dalam pendidikan yang menjadi fokus perhatian dari seluruh pemikiran
filsafat
pendidikan,
yaitu
mendidik
anak
dengan
menumbuhkan kemampuan beragam yang benar. Oleh karena itu, pendidikan agama memang merupakan landasan bagi pencapaian tujuan pendidikan akhlak. Dalam redaksi yang lain Ibnu Sina 21 selaku tokoh pendidikan Islam mengatakan bahwa pendidikan akhlak sangat penting 19
Suwito, Fisafat, 38. Amru Khalid, Akhlak Mulia ( Jakarta: Cakrawala, 2008),4 21 Ibnu Sina adalah seorang intelektual Muslim yang lahir pada tahun 370 H bertepatan dengan tahun 980 M di Ifshana suatu daerah di dekat Bukhara di kawasan Asia Tengah, dikenal sebagai seorang ulama yang produktif yang menguasai banyak cabang ilmu pengetahuan seperti kedokteran, filsafat, ilmu jiwa, fisika dan lain-lain. Lihat Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) hal, 59. 20
20
karena akhlak adalah sumber kebahagiaan
karena kebahagiaan
seseorang juga ditentukan pada akhlaknya. Dia juga menyatakan, “jika anak berada di kuttab bergaul dengan sesama anak yang berakhlak, maka akan terjadi interaksi edukatif satu sama lain saling meniru dan dengan demikian ia menjadi dasar budinya”. Dia juga menjadikan aktivitas berbicara di kalangan anak sebagai suatu metode batin untuk mendidik anak mengungkapkan isi hati mereka. 22 Para tokoh pendidikan Islam memiliki pandangan yang sama bahwa pembiasan berbuat (praktek), menekuni perbuatan mempunyai pengaruh besar bagi pembentukan kebaikan akhlak. Dengan demikian, pasti jika dikatakan “Akhlak baik tidak akan dapat terbentuk kecuali dengan membiasakan seseorang berbuat suatu pekerjaan yang sesuai dengan sifat akhlak itu”. 23 Lebih dari itu akhlak yang diajarkan dalam al-Qur’an bertumpu pada aspek fitrah yang ada dalam diri manusia dan aspek wahyu, kemudian kemauan dan tekad manusiawi. Maka pendidikan akhlak perlu dilakukan dengan cara : 1) Menumbuhkembangkan dorongan dari dalam yang bersumber dari iman dan taqwa 2) Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak al-Qur’an lewat ilmu pengetahuan pengalaman dan latihan
22
Ali al-Jumbulati dan Abdul Futuh al-Tuwaanisi, Dirosatun al-Muqaranatun Fi alTarbiyat al-Islamiyah. terj. M Arifin (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 121-122 23 Ibid., 158
21
3) Meningkatkan pendidikan kemauan yang menumbuhkan kepada manusia kebebasan memilih yang baik dan melakukannya 4) Latihan untuk melakukan yang baik serta mengajak orang lain melakukannya 5) Pembiasaan dan pengulangan melaksanakan yang baik. 24 Hal senada disampaikan al-Ghâzali bahwa pendidikan akhlak adalah membangkitkan sifat ketuhanan yang ada pada diri manusia agar manusia dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat. Dalam hubungan guru dan murid, ia memberikan perhatiannya yang penuh terhadap murid, mengasihi dan menyayangi murid-murid. Guru harus menjadi tauladan yang baik dan meniru sifat Nabi. Demikian juga orang tua jangan sampai memberikan fasilitas yang berlebihan kepada anak. Anak-anak dari kecil ditanamkan keimanan, bergaul dengan orangorang yang baik sehingga sifat-sifat yang baik bisa ditiru oleh anak. 25 Cara mengajarkan akhlak kepada anak dapat dilakukan dengan cara langsung melalui ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis tentang akhlak dari Nabi Muhammad SAW. dan juga dengan menggunakan cara tidak
langsung
seperti
halnya
menceritakan
kisah-kisah
yang
mengandung nilai-nilai akhlak yang banyak dikemukakan dalam ajaran Islam. Karena secara tidak langsung kisah-kisah memiliki peranan dan kedudukan yang besar dalam mempengaruhi kehidupan manusia.
24
Zakiyah, Pendidikan, 11 Nur Aini Ahmad, Pemikiran Pendidikan Akhlak al-Ghazâli. http://www. digilib.vi.ac.id/opac/themes1/libri2/detail.jsp?id=70680&lokasi=lokal .diakses 28 Maret 2009. 25
22
Pendidikan akhlak secara tidak langsung juga bisa dilakukan dengan melatih kebiasaan atau latihan-latihan peribadahan seperti shalat, puasa, zakat. Apabila latihan-latihan peribadatan ini betul-betul dikerjakan dan ditaati akan lahirlah akhlak Islam pada diri orang yang mengerjakannya sehingga orang itu menjadi orang Islam yang berbudi luhur. 26 B. Tujuan Pendidikan Akhlak Dalam Pendidikan Islam Tujuan adalah suatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai. Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan lingkungan tujuannya juga bertahap dan bertingkat.27 Demikian juga halnya dengan pendidikan akhlak yang merupakan aspek esensial di dalam pendidikan memiliki tujuan tersendiri yang pada dasarnya pendidikan akhlak berusaha untuk meluruskan naluri dan kecenderungan fitrahnya yang membahayakan masyarakat dan membentuk rasa kasih sayang mendalam, akan menjadikan seseorang merasa terikat selamanya dengan amal baik dan menjauhi perbuatan buruk.28 Di dalam redaksi yang lain Ibnu Maskawih merumuskan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara sepontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga
26
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 257 27 Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2008), 29. 28 Basuki, M. Miftahul Ulum, Pengantar Pendidikan Islam (Ponorogo, STAIN PO Press , 2007), 40.
23
memperoleh kesempurnaan dan kebahagiaan sejati.29 Berangkat dari uraian tersebut di atas, maka tujuan pendidikan yang ingin dicapai menurut Ibnu Maskawih adalah bersifat menyeluruh yakni mencakup kebahagiaan hidup manusia dalam arti yang seluas-luasnya. Tujuan utama dari pendidikan akhlak dalam Islam adalah agar manusia berada dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang telah digariskan Allah SWT inilah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlak mulia juga merupakan tujuan pokok dalam pendidikan akhlak Islam. Akhlak seseorang akan dianggap mulia jika perbuatannya mengandung nilai-nilai yang tidak terkandung dalam al-Qur'an. Pendidikan Akhlak dalam Islam berbeda dengan pendidikan moral lainnya karena pendidikan akhlak dalam Islam lebih menitik beratkan pada hari esok, yaitu hari kiamat beserta hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti perhitungan amal, pahala, dan dosa. Dari sini tampak bahwa pendidikan Akhlak dalam Islam menyandingkan dan menyeimbangkan antara dua sisi yaitu dunia dan akhirat.30 Disamping hal diatas, pendidikan akhlak juga memiliki tujuan-tujuan lain di antaranya : 1)
Mempersiapkan manusia yang beriman yang selalu beramal sholeh, tidak ada sesuatupun yang menyamai amal sholeh dalam mencerminkan akhlak mulia ini. Tidak ada pula yang menyamai akhlak mulia dalam
29
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), 11. 30 Ali Abdul Halim Mahmud. Al-Tarbiyat al-Khulkiyah, (Akhlaq Mulia).terj. Abdul Hayie al-Katani (Jakarta : Gema Insani, 2004), 159.
24
mencerminkan keimanan seseorang pada Allah dan konsistensinya kepada manhaj Islam. 2)
Mempersiapkan insan beriman dan sholeh yang menjalani kehidupannya sesuai dengan ajaran agama Islam. Melaksanakan apa yang diperintahkan agama dan meninggalkan apa yang diharamkan.
3)
Mempersiapkan insan beriman dan sholeh yang bisa berinteraksi secara baik dengan sesamanya, baik orang muslim maupun non muslim, mampu bergaul dengan orang-orang di sekelilingnya dengan mencari ridha Allah, yaitu dengan mengikuti ajaran dan petunjuk nabinya.
4)
Mempersiapkan insan beriman dan sholeh yang mampu dan mengajak orang lain ke jalan Allah, melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar dan berjuang mempertahankan dan meninggikan Islam.
5)
Mempersiapkan insan beriman dan sholeh, yang mau merasa bangga dengan persaudaraannya dengan sesama muslim dan selalu memberikan hak-hak persaudaraannya tersebut, mencintai dan membenci hanya karena Allah.
6)
Mempersiapkan insan beriman dan sholeh yang merasa bahwa dia adalah bagian dari seluruh umat Islam yang berasal dari berbagai daerah, suku, dan bahasa.
7)
Mempersiapkan insan beriman dan sholeh yang merasa bangga dengan loyalitasnya kepada agama Islam dan berusaha sekuat tenaga demi tegaknya panji-panji Islam di muka bumi.31
31
Ibid, 160.
25
Demikianlah, pemaparan secara ringkas tentang tujuan-tujuan pendidikan Akhlak dalam Islam. Peran Akhlak Islam ini sangatlah besar bagi manusia, karena akhlak sesuai dengan realitas kehidupan umat Islam yang dapat mengantarkan umat Islam menjadi umat yang mulia di sisi Allah. Secara garis besar, pendidikan akhlak Islam ingin mewujudkan masyarakat beriman yang senantiasa berjalan diatas kebenaran, kebaikan dan musyawarah. Disamping itu pendidikan Islam juga bertujuan merupakan masyarakat yang berwawasan, demi terciptanya kehidupan manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai humanisme yang mulia.32
C. Metode-Metode Pendidikan Akhlak Dalam Pendidikan Islam Kata Metode berasal dari dua perkataan yaitu Meta dan Hodos. Meta berarti Melalui dan Hodos berarti jalan atau cara dengan demikian metode adalah suatu jalan atau cara yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan tertentu.33 Di dalam pendidikan akhlak sangat tujuannya
adalah
perlu menggunakan beberapa metode yang
memudahkan
peserta
didik
memahami
dan
mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Metode pendidikan adalah salah satu komponen yang tidak kalah peranannya dari komponen yang lain dalam pendidikan Islam. Apapun macam dan jenisnya, semua metode pendidikan dapat digunakan dalam mendidik anak, tetapi perlu diingat bahwa tidak semua metode harus digunakan bila hanya untuk mencapai tujuan tertentu. Hanya ada beberapa metode yang dapat digunakan 32 33
Ibid, 161. Basuki dan Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu 157.
26
untuk mencapai tujuan tertentu. Metode pendidikan yang dipilih itupun harus berdasarkan pertimbangan dan pemilihan yang tepat. Sebab salah memilih metode pendidikan akan menjadi penghambat dalam mencapai tujuan. Dalam pemilihan dan penggunaan metode itupun tidak bisa sembarangan, karena ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya. Winarno Surakhmad mengemukakan lima macam faktor yang mempengaruhi pemilihan dan penggunaan metode, sebagai berikut : 1. Tujuan dan fungsinya 2. Karakteristik anak didik 3. Situasi dan keadaan 4. Fasilitas yang tersedia 5. Pribadi guru serta kemampuan profesionalnya.34 Mengenai metode pembentukan Akhlak al-Ghazâlî mengidentikkan antara guru dengan seorang dokter. Seorang dokter mengobati pasiennya sesuai penyakit yang diderita. Tidak mungkin seorang dokter mengobati macam-macam penyakit dengan menggunakan satu jenis obat, karena kalau demikian akan membunuh banyak pasien. Begitu pula seorang guru, ia tidak akan berhasil dalam menghadapi permasalahan akhlak dan pelaksanaan pendidikan secara umum dengan hanya menggunakan suatu metode saja. Seorang guru harus memilih metode pendidikan yang sesuai dengan tabi'at, usia, daya tangkap, daya tolak dan situasi kepribadian murid.35
34
Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komnikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga. (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), 99. 35 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), 100.
27
Dalam redaksi yang lain tokoh pendidik Islam Ibnu Sina berusaha mengembangkan kecendrungan fitrah anak dalam pergaulannya dengan anak lainnya dan menggunakannya sebagai alat pendidikan akhlak, kemudian aktifitas bicara di kalangan anak juga dijadikan sebagai salah satu metode paling baru untuk anak mengungkapkan isi hatinya mereka. Ibnu Sina juga menganggap penting syair-syair arab dikarenakan didalamnya mengandung nilai- nilai akhlak dan menjadi salah satu alat pendidikan Islam.36 John Dowey seorang tokoh pendidikan barat mengungkapkan bahwa akhlak (moralitas) tidak dapat diajarkan melalui cerita atau kisah-kisah yang diceritakan kepada mereka akan tetapi hanya dapat diajarkan melalui praktek uang manusiawi saja.37 Di sisi lain, Erwin Yudhi Prahara,38 di dalam artikelnya mengungkapkan bahwa sejalan dengan perhatiannya yang besar dalam masalah akhlak, al-Ghazâlî dalam kitabnya banyak menggambarkan ragam dan cara perbaikan akhlak. Cara yang dia deskripsikan menurutnya dapat di bagi menjadi tiga macam metode, di antaranya : 1. Metode taat syari'at : yakni membiasakan diri dalam kehidupan sehari-hari untuk berusaha melakukan kebaikan dan hal-hal yang bermanfaat sesuai dengan ketahuan syari'at, aturan masyarakat dan yang lain. Metode ini adalah yang paling sederhana dan alamiah dan bisa dilakukan siapa saja dalam masyarakat. Hasilnya akan berkembang sendiri tanpa disadari perilaku,
36
Ali al-Jumbulati, Abdul Futuh al-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam (Jakarta : Rineka Cipta, 1999), 120. 37 Ibid, 158. 38 Salah satu dosen tetap di STAIN Ponorogo.
28
sehingga seseorang dapat berlaku positif seperti ta'at pada agama dan norma masyarakat. 2. Metode pengembangan diri : Metode ini disadari oleh kesadaran diri atas keunggulan dan kelemahan pribadi yang kemudian memiliki keinginan untuk meningkatkan sifat-sifat baik dan mengurangi sifat-sifat buruk. Dalam pelaksanaannya dilakukan proses pembiasaan diri serta ditambah meneladani perbuatan baik dari yang dikagumi seperti Rasulullah SAW. Dalam melakukan pembiasaan ini harus konsisten sehingga tanpa terasa akan memancar dari diri seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Metode ini hampir sama dengan metode pertama, hanya saja dilakukan secara lebih sadar disiplin dan intensif. 3. Metode kesufian : Metode ini bersifat spiritual religius dan bertujuan meningkatkan kualitas pribadi mendekati citra insan ideal, pelatihan disiplin diri yaitu dilakukan melalui mujahadah dan riyadhah Mujahadah adalah usaha dengan sungguh-sungguh untuk menghilangkan segala hambatan pribadi semisal harta dan maksiat. Sedang riyadhah adalah latihan mendekatkan diri kepada Tuhan dengan intensif dan meningkatkan kualitas ibadah. Al-Ghazâlî sendiri menilai hidup kesufian merupakan jalan yang benar-benar terang. Cahaya kenabian dan dikehendaki Allah ta'ala.39
39
Erwin Yudi Prahara, ” Konsep Pendidikan Akhlaq Menurut Al-Ghazali ”, Cendikia 3 (Januari – Juni, 2005), 99.
29
Ibnu Maskawih40 sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam memaparkan beberapa metode untuk mencapai akhlak yang baik. Pertama, Adanya kemauan dan sungguh untuk berlatih terus menerus dan menahan diri untuk memperoleh keutamaan dan sopan santun yang sebenarnya dengan keutamaan jiwa. Metode semacam ini dinilai paling efektif untuk memperoleh keutamaan jiwa. Kedua, menjadikan pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya. Dengan cara ini seseorang tidak hanyut ke dalam perbuatan yang tidak baik karena bercermin dari ketidak baikan orang lain. Metode semacam ini sebetulnya dapat dijadikan sebagai salah satu langkah yang terdapat pada metode mawas diri yang akan dibahas setelah ini, karena itu, metode bercermin terhadap orang lain dapat berfungsi sebagai metode untuk mencapai akhlak yang baik dan juga sebagai metode memperbaiki akhlak yang buruk. Ketiga, instrospeksi atau mawas diri, metode ini mengandung pengertian kesadaran seseorang untuk berusaha mencari cacat atau aib pribadi secara sungguh-sungguh. Keempat, metode oposisi, setidaknya ada dua langkah yang dilakukan untuk metode ini, yaitu dengan mengetahui jenis penyakit dan sebabnya dan mengobati atau menghapus penyakit tersebut dengan menghadirkan lawan-lawannya.41 Dalam keterangan yang lain, mahjudin mengatakan Pembinaan akhlak kepada anak dapat memberikan hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi muslim
40
Nama lengkap beliau adalah Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya'qub Ibn Maskawih. Ia lahir pada tahun 320 H/932M, di Rayy dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 safar tahun 412 H/ 16 Pebruari 1030 M. Dia hidup pada masa dinasti Buwaihi yang sebagian besar pemukanya bermadzhab syi'ah. Dia merupakan seorang intelektual muslim pertama di bidang filsafat akhlaq Nata, Pemikiran, 37. 41 Suwito, Filsafat , 136-138.
30
yang berakhlak mulia taat kepada Allah dan Rasulnya. Hal ini menunjukkan pembinaan akhlak memang perlu diterapkan kepada anak. Adapun metode pembinaan akhlak terhadap anak utamanya kepada anak usia pra sekolah antara lain : a. Mengikut sertakan anak dalam acara-acara keagamaan b. Membiasakan anak perkataan yang baik dan selalu jujur c. Memperlihatkan sikap senang kepadanya bila perbuatannya baik. d. Tidak boleh bertengkar di depan anak, baik antara sesuai isteri maupun antar orang lain. e. Tidak
boleh
memerintahkan
anak
melakukan
sesuatu
yang
tidak
disanggupinya. f. Tidak boleh membohongi anak karena cara seperti ini menambah kebingungan anak.42 Cara atau metode mengajarkan akhlak dapat dilakukan dengan membawakan ajaran moral melalui jalan mengosongkan atau meninggalkan akhlak tercela, kemudian mengisi atau melaksanakan akhlak yang terpuji.43 Dalam membawakan ajaran moral itu dapat dilakukan dengan memberikan dan menjadikan iman sebagai pondasi dan sumbernya. Dapat di katakan bahwa metode atau cara yang ditempuh dalam membawakan ajaran-ajaran akhlak adalah sebagai berikut :44 1. Dengan cara langsung
42
Muhammad Azmi, Pembinaan Akhlaq Anak Pra Sekolah (Yogyakarta: Belukar, 2006), 124-126. 43 Mansur, Pendidikan, 257. 44 Ibid, 258.
31
Nabi Muhammad SAW merupakan seorang guru yang terbaik. Oleh karena itu, dalam menyampaikan materi ajaran-ajarannya di bidang akhlak beliau menggunakan cara langsung yaitu dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur'an dan hadis, contoh ayat mengenai pengajaran akhlak antara lain : "Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolokolok kaum yang lain (karena boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) jangan pula wanitawanita mengolok-olok wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita yang diolok-olok tadi lebih dari mereka yang mengolokolok, dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk, seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
iman, dan
barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim." (Q.S. al-Hujurat : 11). 2. Dengan cara tidak langsung Dalam menyampaikan ajaran akhlak juga dapat melalui jalan tidak langsung yaitu :45 a. Kisah-kisah yang mengandung nilai-nilai akhlak Anak suka mendengarkan cerita atau kisah-kisah yang diberikan oleh orang tuanya. Kisah-kisah yang mengandung nilai akhlak banyak diungkapkan dalam ajaran Islam antara lain kisah Nabi-Nabi dan umat mereka masing-masing dan lain sebagainya. Kisah atau cerita mempunyai kedudukan dan peranan yang besar dalam mempengaruhi kehidupan manusia.
45
Ibid. 263.
32
Sejak jaman dahulu tiap bangsa di muka bumi memiliki kisah yang mengandung nilai-nilai moral yang dipakai untuk mendidik anak cucu atau generasi mudanya. Karena sangat pentingnya kedudukan kisah atau cerita dalam kehidupan manusia, agama Islam memakai kisah-kisah untuk secara tidak langsung membawakan ajaran-ajarannya di bidang akhlak, keimanan dan lain-lain. b. Kebiasaan atau latihan-latihan peribadatan Peribadatan seperti sholat, puasa, zakat dan lain-lain perlu diadakan latihan dan pembiasaan. Apabila latihan-latihan peribadatan ini betul-betul dikerjakan dan ditaati akan lahirnya akhlak Islam pada diri orang yang mengerjakan sehingga orang tersebut menjadi orang Islam yang berbudi luhur. Dengan latihan dan pembiasaan ibadah inilah pribadi muslim terus terbina, sehingga menjadi manusia muslim yang tangguh tahan uji dan berakhlak mulia. Dengan demikian, dalam mengajarkan akhlak terutama kepada anak dapat dilakukan dengan memberi nasehat kepada anak agar menjauhi akhlak tercela, kemudian mengisi, dan melaksanakan akhlak terpuji. Jadi metode pembinaan akhlak yang dimulai sejak dini, dan pembinaan tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab ayah dan ibu atau orang tua terhadap anaknya.46
46
Ibid, 265.
33
Sebagai orang tua kita harus kreatif dalam menggunakan sarana dan metode dalam mendidik akhlak anak. Di antara metode-metode yang dapat digunakan dalam mendidik akhlak anak diantaranya.47 1.
Bermain, di antaranya permainan yang bermanfaat bagi anak adalah sepak bola. Sepak bola bisa mengajarkan kepada anak pentingnya arti tolong menolong dan kerjasama, sepak bola juga mengajarkan konsentrasi dan ketenangan saat melakukan hal yang penting.
2.
Hadiah dan hukuman, merupakan salah satu metode yang sangat diperlukan dalam proses pendidikan, terlebih jika para pendidik pandai menggunakannya dengan memperhatikan prinsip-prinsipnya dan waktu yang sesuai, ketika pendidik memberikan hukuman kepada anak saat berbohong. Hal tersebut merupakan suatu wasilah untuk mencegah anak agar tidak berbuat bohong lagi nantinya karena takut akan hukuman. Imbalan dan hukuman tidak digunakan lagi merupakan metode yang efektif dalam menanamkan akhlak terpuji pada anak.
3.
Pengulangan sebagai penguatan positif Dalam mendidik anak, jika kita sering mencela mereka sebagai anak pengecut misalnya, niscaya mereka akan menjadi anak pengecut, akan tetapi jika kita mengatakan kepada mereka "kamu anak yang pemberani" dan sering kita ulang pada lain kesempatan dan dengan kata-kata yang berbeda, hal tersebut sangat membantu mereka untuk tidak merasa takut kepada siapapun.
47
Mahmud Al-Khal'awi dan Muhammad Said Mursi, Mendidik Anak Dengan Cerdas terj. Arif Rahman Hakim. (Surabaya Insan Kamil 2007), 211.
34
Dengan demikian pengulangan adalah salah satu faktor yang memperkuat dalam proses penanaman akhlak. Hal ini wajib dilakukan oleh setiap pendidik dalam bentuk yang beraneka ragam sampai akhlak itu menjadi kebiasaan bagi si anak. 4.
Memanfaatkan hobi anak Setiap anak pasti mempunyai hobi yang disukainya untuk mengisi waktu luang. Dari macam-macam hobi anak seperti membaca, bermain bola, koleksi perangko dan lain-lain kita bisa memasukkan unsur pendidikan akhlak lewat bakat-bakat anak tersebut. Sehingga anak secara tidak langsung tanpa terasa dapat belajar sikap-sikap terpuji.
5.
Mencoba hal-hal baru Yang harus diperhatikan oleh kita disaat berinteraksi dengan anak adalah kita harus keluar dari kungkungan rutinitas, dan mencoba hal-hal baru yang membuat anak tertarik. Selanjutnya kita bisa memberikan asuhan tentang akhlak yang kita ingin tanamkan kepada mereka.
6.
Pembiasaan (habituasi) Kecenderungan pembiasaan pada masa anak-anak akan lebih besar bila dibandingkan dengan masa-masa yang lainnya, oleh karena itu, pendidik baik orang tua maupun guru harus serius dalam mengarahkan dan membiasakan anak melakukan kebaikan sejak dini. Nasihat Imam al-Ghazâlî adalah informasi yang paling pas dalam hal ini. Dia menyebutkan "Anak-anak itu merupakan amanat bagi kedua
35
orang tuanya, hatinya yang bersih adalah substansinya yang murni, maka jika dia dibiasakan dan tumbuh dalam kebaikan maka dia akan bahagia dunia dan akhirat. Pendidikan dengan cara pembiasaan dan kedisiplinan adalah di antaranya faktor penentu keberhasilan dalam pendidikan dan wasilah yang paling baik dalam menumbuhkan keimanan dan akhlak pada anak, karena pembiasaan berlandaskan pada memperhatikan, dan mengikuti juga berdasar pada pemotivasian dan peringatan. Tidak diragukan lagi
bahwa dengan memanfaatkan adanya
sifatnya suka meniru dan suka mengikuti yang ada pada anak. Itulah yang membuat pendidikan mencapai hasilnya yang maksimal. Sedang usaha yang dilakukan untuk pendisiplinan orang dewasa sangatlah sulit untuk mencapai hasilnya yang maksimal.48 Dengan demikian pemilihan metode dan pendekatan yang dilakukan pendidik atau guru semestinya dilandasi alasan yang kuat dan faktor-faktor pendukungnya seperti karakteristiknya, tujuan kegiatan dan karakteristik anak yang diajar. Untuk mengembangkan nilai dan sikap anak dapat digunakan metodemetode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang didasari oleh nilai-nilai agama dan moralitas agar anak dapat menjalani kehidupan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Metode-metode yang memungkinkan anak dapat melakukan hubungan atau sosialisasi dengan yang
48
Ibid, 215-230.
36
lain akan sesuai dengan kebutuhan dan minat anak. Dalam pelaksanaan penanaman nilai moral pada anak usia dini, banyak sekali metode dan pendekatan yang dapat dilakukan oleh guru dan pendidik. Namun, sebelum memilih dan menerapkan metode dan pendekatan, yang perlu diketahui bahwa guru atau pendidik harus memahami benar metode atau pendekatan yang akan dicapai, karena ini akan berpengaruh terhadap optimal tidaknya keberhasilan penanaman materi moral tersebut. Metode dalam penanaman nilai moral kepada anak usia dini sangatlah bervariasi, di antaranya bercerita,bernyanyi, bermain, bersajak dan karya wisata .49 Jadi, metode- metode yang digunakan dalam pendidikan islam pada dasarnya sangat baik dan ideal untuk digunakan dalam proses pembelajaran. Penggunaan metode yang tepat akan menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan proses pembelajaran.
D. Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Islam Rasululloh SAW telah memberikan contoh tentang pendidikan akhlak melalui hadis serta sunah. Beliau banyak berbicara tentang pentingnya akhlak. Rasul SAW sangat mementingkan pendidikan akhlak anak usia dini karena menjadi dasar pembentukan karakter muslim yang kuat tangguh dan berbudi luhur. Oleh karena itu, pendidikan Islam telah menyiapkan kurikulum sekaligus contoh yang sempurna dalam pendidikan akhlak ini. Setiap muslim harus memahami
49
dan memperaktekkan tuntunan-tuntunan agama dalam
http://bbawor.blogspot.com/2008/08/penanamanmoraluntukanak-anaksejak.html. diakses 6 April 2009.
37
mengasuhdan mendidik anak, sehingga generasi muslim yang akan datang dapat terselamatkan dari pengaruh akhlak tercela.50 Nabi Muhammad menunjukkan betapa besarnya pengaruh pendidikan akhlak usia dini oleh orang tua sebagaimana hadis beliau
ِlِeَاm\noَpُq ِْ اَوloِe\دَاtَuُq ُvَاtَcَToَw ٍَةmoْzِw َ{Qَ| ُ}Uَْtُq OdUِْدٍ إtُUْtَZ ْ~ِZ OَZ Ooَuِْw َْنtoُِ^ ْoَءَ هOَbْ]َ ًَ]ِْuَc َُ]ِْuَْUَُْ اpَ^ Oَ]َِ آlِeOَِOَ]ُq ْاَو {oِUdَةَ اِ اmoْzِw lp| َةُ ر اmْqَmُْ هtُcَْلُ أtَُq d[ُ َءOَ|ْ}َ ْ~ِZ q اOَuَْQَ| َسOdpUَ اmَzَw Artinya:
Tiada seorangpun yang dilahirkan kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fitrah ( suci) karena itu, kedua orang tuanya lah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaiman binatang yang sehat pasti binatang itu akan melahirkan anak yang sehat pula. Apakah kalian beranggapan bahwa binatang yang sehat akan melahirkan binatang yang cacat? Selanjutnya Abu Hurairah membaca firman Allah "Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (HR. 51 bukhari)
Al-Ghâzali juga menekankan pentingnya pendidikan anak usia dini. Dia mengatakan bahwa anak merupakan amanah Tuhan bagi orang tuanya, hatinya bersih bagai mutiara yang indah dan bersahaja bersih dari setiap lukisan dan gambar. Dia menerima setiap yang dilukiskan kepadanya. Jika dia dibiasakan belajar secara baik maka dia akan tumbuh menjadi baik, dan jika dia dibiasakan dengan melakukan keburukan maka dia akan celaka dan rusak.52 Demikianlah hakikat kesucian sang anak dalam Pendidikan Islam. Pada dasarnya seorang anak itu ditentukan oleh bagaiman cara
50
Bambang Trim, Menginstal Akhlak Mulia ( Bandung: MQS Publishing, 2005), 8 Hasan bin Ahmad, Mawâqif al-–Nabi ma'a al- Athfal. terj. Fathurrahman Abd. Hamid ( Bandung: Irsyad Baitu Salam, 2007), 31 52 Muhammad Muhyiddin, Menanam Tauhid, Akhlak Dan Logika Si Mungil (Yogjakarta: Diva Press, 2009), 90 51
38
orang tua membimbingnya. Sifat-sifat buruk yang timbul dari diri anak bukan berasal dari fitrah anak tersebut, melainkan karena kurangnya peringatan orang tua sejak dini. Semakin anak itu dewasa maka semakin sulit pula meninggalkan sifat buruk yang ada dalam diri anak tersebut. Oleh karena itu,
sejak usia dini, anak harus di didik dengan nilai-nilai
yang menyuburkan fitrahnya. Kita harus merawat fitrah anak tersebut dengan
memupuknya
dengan
nilai-nilai
akhlak,
kebaikan
dan
kejujuran. 53 Tujuan utama pendidikan usia dini adalah memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak dari awal yang meliputi aspek-aspek fisik, psikis dan sosial secara menyeluruh. Dengan begitu anak diharapkan lebih siap untuk belajar lebih lanjut, bukan hanya sekedar secara akademik di sekolah, melainkan juga sosial, emosional dan moral di semua lingkungan, secara operasional, praktik pendidikan usia dini sebaiknya berpusat pada kebutuhan anak, yaitu pendidikan yang berdasarkan pada minat, kebutuhan dan kemampuan sang anak.54 Perkembangan
moral
seseorang
sangat
erat
kaitannya
dengan
perkembangan sosial anak. Bagi seorang anak pengembangan moral itu dikembangkan melalui pemenuhan kebutuhan jasmaniah (dorongan nafsu fisiologi), untuk selanjutnya dipelakan melalui pengulaman dalam lingkungan keluarga sesuai dengan nilai yang diberlakukannya, perkembangan moral anak
53
Ratna Megawangi, Yang Terbaik Untuk Buah Hatiku ( Bandung: Khansa', 2005), 5 http://www.surya.co.id/web/opini/urgensi-pendidikan-usia-dini.html. diakses 5 April 2009. 54
39
yang disesuaikan dengan value/tata nilai yang ada dapat dijelaskan sebagai berikut. Usia 1- 4 tahun
= Ukuran baik dan buruk bagi seorang anak itu tergantung dari apa yang dikatakan oleh orang tua
Usia 4- 8 tahun
= Ukuran tata nilai bagi seorang anak adalah dari yang lahir (realitas), anak dapat menafsirkan hal-hal yang tersirat dari sebuah perbuatan.
Usia 8- 13 tahun
= Anak sudah dapat mengenal ukuran baik, buruk secara batin (tak nyata) meskipun masih terbatas, yaitu anak sudah dapat menghargai pendapat atau alasan dari perbuatan orang lain
Usia 13- 19 tahun = Seorang anak sudah mulai sadar betul tentang tata nilai kesusilaan (value). Anak akan patuh atau melanggar berdasarkan kefahamannya terhadap konsep tata nilai yang diterima.55 1. Pendidikan Akhlak usia dini dalam keluarga Sebagai peletak pertama pendidikan, orang tua memiliki tanggung jawab dalam pembentukan watak dan kepribadian anak, dalam arti bahwa watak dan kepribadian anak tergantung pada pendidikan awal orang tua terhadap anaknya. Tanggung jawab orang tua selaku pendidik dalam keluarga adalah pangkal ketentraman dan kedamaian hidup, bahkan dalam perspektif Islam, dampak pendidikan keluarga bukan hanya kepada persekutuan terkecil, 55
Abu Ahmadi, Munawar, Sholeh, Psikologi Perkembangan (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), 109-105.
40
melainkan sampai kepada lingkungan yang lebih besar dalam arti masyarakat luas.56 Salah satu tanggung jawab orang tua terhadap anak utamanya usia anak pra sekolah adalah tanggung jawab pembinaan akhlak. Pembinaan akhlak yang diberikan kepada anak usia pra sekolah (usia dini) dimulai pada masa estetik, yaitu antara mulai umur 3 sampai 6 tahun. Ketika anak berumur 2 sampai 3 tahun, anak sudah bisa dibiasakan berbuat baik, bertutur kata yang mengandung nilai-nilai agama, diikutkan beribadah dan sudah bisa dilarang bila melakukan kesalahan, namun cara kita melarangnya harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan jiwanya, ketika anak berumur 4 sampai 5 tahun, anak dilanda suatu transaksi yang disebut masa trotzalter pertama. Masa ini disebut masa kritis, masa pemberontakan dan masa genting. Pada masa ini anak dihadapkan dengan rasa keragu-raguan bercampur dengan rasa ego yang selalu ingin menolak bantuan orang tuanya, dan terkadang ingin ditolong, dalam hal ini anak mempunyai sikap yang tidak tetap.57 Hal yang harus diperhatikan dalam pendidikan akhlak usia dini dalam keluarga adalah kerukunan hubungan orang tua (bapak dan ibu), sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya, terutama anak-anak dibawah umur 6 tahun. Mereka belum bisa memahami kata-kata berarti hanya memberi pengertian-pengertian tentang mana yang baik dan mana yang dipandang hidup secara baik dan menjauhi mana yang dipandang salah oleh nilai-nilai moral, karena itu orang tua harus tahu cara 56 57
Azmi, Akhlaq Anak, 85. Ibid, 86.
41
mendidik, dan harus mengerti ciri khas dari setiap umur yang dilalui anaknya serta melaksanakan sendiri nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.58 Pada masa bermain peranan orang tua juga tidak dapat dipisahkan dari diri anak. Orang tua harus memahami kebutuhan anak yang sangat mendasar yaitu kasih sayang. Kebutuhan kasih sayang adalah kebutuhan pokok anak usia dini, anak merasakan kasih sayang ibunya ketika ia mendekapnya di dadanya. Anak bisa merasakan wajah ibunya yang kurang ceria ketika menghadapinya, anak akan merasa bingung melihat ibunya murung walaupun ibunya berusaha menyembunyikan kesedihannya dan rasa sakit yang menimpa. Asas kedua setelah kasih sayang dan cinta adalah mendidik moral jiwa anak agar mampu mengendalikan hawa nafsu dan menjaga kesucian jiwa, kemampuan ini berkembang dalam diri anak usia dini dengan apa yang disebut sifat disiplin dan kemampuan menguasai diri. Benih sifat ini telah ada dalam fitrah anak, orang tua tinggal mengembangkannya. Cinta dan kasih sayang dari satu sisi dan disiplin dan sisi lain adalah dua garis yang berdampingan dalam jiwa manusia yang harus dikembangkan bersama-sama. Cinta tanpa disadari adalah dorongan untuk mempertahankan hidup sedang sikap disiplin mendidik jiwa anak merupakan pengendali dorongan cinta pada yang semestinya. Rasa cinta dan disiplin keduanya merupakan inti fitrah manusia.59
58
Zakiah Darajat, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 1995), 69-70. 59 Khalid Ahmad Asy-Syantut, Rumah Pilar Utama Pendidikan Anak (Jakarta : Robbani Press, 1994), 56.
42
Anak yang dibesarkan dalam situasi dan kondisi yang kurang baik semasa kecilnya akan berpengaruh terhadap kecerdasan dan mentalitasnya. Pengekangan dan pengarahan menurut orang tua tidak baik untuk memompa kecerdasan dan kreatifitas anak. Bahkan, berakibat sebaliknya, yakni anakanak akan kehilangan dunianya sehingga daya kreativitas anak dipasang dan dipaksa masuk pada dunia orang tua. Keluarga yang selama ini masih cenderung kaku dalam mendidik anaknya pada masa kecil haruslah diubah pada pola yang lebih bebas. Dunia anak adalah dunia bermain dan imajinasi yang terus mengalir deras.60 Anak sudah memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan dunia orang dewasa. Hanya dengan kebebasan anak-anak akan bisa menfungsikan kreatifitasnya secara produktif. Dengan demikian membangun kepribadian anak akan sangat efektif bila dilakukan sejak dini. 2. Pendidik Akhlak Anak di Sekolah Lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah hendaknya menjadi lapangan yang baik bagi perkembangan mental dan moral anak, di samping menjadi
tempat
pemberian
pengetahuan,
pengembangan
bakat
dan
kecerdasan, untuk menjamin terlaksananya hal tersebut. Sekolah dan lembaga pendidikan pada umumnya harus dibersihkan dari tenaga pengajar yang kurang baik moralnya dan kurang memiliki keyakinan beragama, serta menutup segala kemungkinan penyelewengan, karena guru atau tenaga
60
http://www..mail.archive.com/
[email protected]/msg.04587.html. Di akses 28 Maret 2009.
43
pengajar merupakan tauladan bagi murid-muridnya yang mana segala tindaktanduknya akan ditiru oleh murid-muridnya di kelas.61 Sekolah harus dapat memberikan bimbingan dalam pengisian waktu luang anak-anak, dengan menggerakkan anak-anak kepada aktivitas yang menyenangkan, tetapi tidak merusak dan tidak berlawanan dengan ajaran agama. Demikian pula, sedapat mungkin di sekolah haruslah diadakan bimbingan penyuluhan yang berfungsi menolong para murid yang memiliki gejala-gejala yang membawa pada kemerosotan moral, dan jika perlu mengirimkan anak yang bersangkutan ke klinik jiwa, jika memang membutuhkan perawatan yang intensif. 3. Pendidikan Akhlak Anak di Masyarakat Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam akhlak dan moral, karena itu pendidikan agama harus dilaksanakan secara intensif di rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Kemerosotan moral dan akhlak yang terjadi dalam masyarakat adalah karena kebanyakan orang telah mulai enggan dan kurang mengindahkan ajaran agamanya. Apabila kemajuan-kemajuan dan perkembangan masyarakat disertai dengan keteguhan dan ketekunan menjelaskan agamanya, niscaya akan tercipta kebahagiaan umum. Karena itu jika kita ingin mencari kebahagiaan bagi diri kita masingmasing dan bagi masyarakat seluruhnya, maka kita memerlukan pengetahuan dan pengamalan ajaran-ajaran agama dengan sungguh-sungguh dan tekun. Dengan jiwa agama segala penyelewengan akan terhindar dengan sendirinya. 61
Darajat, Peranan, 71.
44
Permusuhan yang ditimbulkan oleh akhlak yang tercela akan tergantikan oleh sikap kasih sayang dan tolong menolong antar sesama, sehingga kerukunan hidup yang dilandasi oleh ajaran agama dan akhlak mulia akan terwujud.62 Jadi, rumah tangga, sekolah dan masyarakat merupakan tri pusat pendidikan islam, peranannya sangat penting sekali dalam pembentukan karakteristik peserta didik.
62
Ibid, 73.
45
BAB III KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MUHAMMAD 'ATIYAT AL-ABRĀSYI DALAM KITAB AL-TARBIYAT AL-ISLAMIYAH WA FALĀSI FATUHĀ
A. Biografi Muhammad 'Atiyat al-Abrāsyi Muhammad 'Atiyat al-Abrāsyi adalah seorang tokoh pendidikan yang hidup pada masa pemerintahan Abd al-Nasser yang memerintahkan Mesir pada tahun 1954-1970 M. Dia adalah seorang sarjana yang lama berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir yang merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam, sekaligus sebagai guru besar pada Darul 'Ulum Cairo University, Cairo. Sebagai guru besar, dia secara sistematis telah menguraikan pendidikan Islam dari ke jaman serta mengadakan komparasi di bidang pendidikan mengenai prinsip, metode, kurikulum dan sistim pendidikan modern. Sesuai dengan keahliannya, dia telah menjelaskan tentang posisi Islam mengenai Ilmu, pendidikan dan pengajaran al-Qur'an dan hadis, serta menjelaskan pula tentang fungsi masjid, institut, lembaga-lembaga, perpustakaan, seminar dan gedung-gedung pertemuan dalam dunia pendidikan Islam dari jaman keemasan Islam sampai pada kita sekarang ini. Di samping itu, di antara prinsip-prinsip pemikirannya yang dapat dijadikan pedoman bagi lembaga-lembaga pendidikan yaitu : -
Mengerjakan berpikir bebas dan mandiri dalam belajar
-
Mandiri dan demokratis dalam mengajar
46
-
Sistem belajar individual
-
Memperhatikan perbedaan bakat dan kemampuan anak didik dalam proses belajar mengajar
-
Memperhatikan potensi dasar dari setiap anak didik
-
Ujian test kecakapan anak didik
-
Berbicara (menyampaikan dan menjelaskan pelajaran) sesuai dengan kadar kemampuan daya tangkap akal pikiran anak didik.
-
Memperhatikan anak didik dengan baik dan penuh kasih sayang
-
Memperhatikan pendidikan akhlak
-
Latihan berpidato, berdebat, kelancaran dan kefasihan berbicara
-
Memperbanyak perpustakaan dan melengkapinya dengan buku-buku yang penting dan referensi
-
Mengadakan kajian, penelitian, pendidikan dan pengajaran (anjuran menuntut ilmu) sejak dari ayunan sampai ke liang lahat. Konsep tentang prinsip-prinsip pendidikan Islam tersebut dilatar belakangi
oleh kondisi sistem pendidikan khususnya tentang penulisan literatur-literatur pendidikan Islam yang menurutnya kurang mendapat perhatian baik dari kalangan sejarawan, sastrawan, ahli fiqih maupun filsuf-filsuf muslim pada Abad Pertengahan. Padahal mereka banyak menulis dengan
memberikan analisis
dengan sangat baik tentang peradaban Islam, peristiwa, kemenangan dalam peperangan, masalah-masalah kagamaan, politik dan sosial ekonomi menurut Islam. Kondisi yang demikian itu menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap pengadaan buku-buku leteratur pendidikan Islam. Dari buku-buku lama
47
yang tertulis dalam bahasa Arab mengenai kesustraan, sejarah dan politik, ternyata yang menyangkut masalah pendidikan secara langsung maupun tidak hanya sedikit sekali. Layak diketahui pula bahwa Muhammad 'Atiyat al-Abrāsyi adalah seorang ulama cendikiawan yang telah mendalami ajaran Islam dengan baik, menguasai beberapa bahasa asing, seorang psikolog dan paedagog, penulis produktif dan juga seorang guru besar. Latar belakang kehidupan dan pendidikan yang dilaluinya merupakan model daftar baginya untuk berkiprah sebagai salah seorang di antara para pembaharu di Mesir dan dunia Islam mengingat masyarakat yang dihadapinya sedang bangkit dan berkembang ke arah kemajuan. Adapun buku-buku yang dia karang adalah al- Tarbiyat al-Islā miyat wa Falâsifatuhâ, Rûh Tarbiyat al- Islamiyah dan Al-Tarbiyah fi al-Islam. Sebagai seorang cendikia, ulama, dan guru besar yang hidup pada abad XX, pemikiran beliau tentang pendidikan Islam banyak di pengaruhi oleh pemikiran Ibnu Sina, Imam al-Ghazâlî dan Ibnu Khaldum.63
B. Deskripsi Singkat Kitab Al-Tarbiyat al-Islā miyah wa Falâsifatuhâ Kitab Al- Tarbiyat al-Islā miyah wa Falâsifatuhâ merupakan salah satu kitab di antara kitab-kitab yang dikarang oleh al-Abrâsyi dan merupakan kitab yang di dalamnya memaparkan tentang pendidikan islam. Dalam kitab tersebut dipaparkan mengenai sendi-sendi pendidikan islam yang meliputi pelaku
63
Mukarom, Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad 'Atiyah http://abunathan.blogspot.com.2008.06.01.archive.html. Diakses 30 Juni 2008.
Al-Abrâsyi.
48
pendidikan dan perangkat-perangkat yang ada di dalam pendidikan Islam separti tujuan, sarana, metode dan lingkungan pendidikan. Adapun latar belakang penyusunan kitab tersebut berawal dari kegelisaha al-Abrâsyi terhadap keadaan pendidikan khususnya Pendidikan Islam pada waktu itu ( pertengahan abad 20). Pada saat itu di dunia Islam, khususnya Mesir, ditemukan kebanyakan ahli-ahli filsof, kebudayaan dan ahli-ahli fikih tidak menaruh perhatian terhadap Pendidikan Islam, padahal mereka banyak menulis tentang sejarah kemenangan Islam dalam peperangan, politik, keagamaan, ekonomi dan sosial. Dengan demikian sulit sekali apabila para penuntut ilmu dan peneliti ingin mencari referensi dan keterangan
mengenai pendidikan islam.
Adapun buku-buku kuno berbahasa Arab yang ditemukan hanya membahas kesusastraan, sejarah, dan politik. Dalam penyusunan kitab ini, latar belakang penulisannya juga didasari oleh tujuan pemimpin negara Mesir saat itu yang ingin merajut kembali zaman keemasan islam dengan meningkatkan kualitas pendidikan.64 Dalam pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan referensi primer yaitu kitab Muhammad "Atiyah al-Abrâsyi yang berjudul Al-Tarbiyat AlIslamiyah wa Falâsifatuhâ yang diterbitkan oleh Dâr al-ulûm di Kairo tanpa tahun terbit. Dalam kitab tersebut terdiri dari tiga ratus delapan halaman dan dua puluh bab, yang perinciannya sebagai berikut: bab satu isi pokoknya mengenai pendidikan sebelum islam di daerah arab, bab dua membahas mengenai tujuan 64
Muhammad 'Atiyah al-Abrâsyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam Abdullah zaky al-kâf (Bandung: Pustaka Setia, 2003), 7-8
terj.
49
pendidikan islam, bab tiga kandungan pokoknya mengenai pendidikan islam yang ideal, bab lima membahas mengenai pentingnya ilmu pendidikan dalam islam, bab lima kandungan isinya mengenai lingkungan pendidikan, bab enam menjelaskan tentang pengajaran dengan berkelompok, bab tujuh isi pokoknya mengenai pendidikan tingkat tinggi dalam islam, bab delapan memaparkan tentang pembelajaran di perpustakaan dalam islam, bab selanjutnya membahas tentang pendidikan di desa, bab sepuluh atau bab yang penulis bahas dalam skripsi ini memeparkan tentang konsep pendidikan akhlak dalam pendidikan islam, bab sebelas menjelaskan tentang pentingnya pendidikan wanita, bab dua belas isi pokoknya mengenai hubungan antara guru dan murid dalam islam, bab tiga belas kandungan pokoknya mengenai pentingnya hukuman dalam pendidikan islam, bab empat belas membahas mengenai prinsip pokok dalam pendidikan islam, bab lima belas memaparkan tentang prinsip pokok dalam pendidikan islam, bab enam belas membahas tentang dasar pokok dalam pendidikan islam, bab tujuh belas mengandung isi pokok mengenai metode umum dalam pendidikan islam, bab delapan belas memaparkan mengenai penanganan jiwa anak didik yang rusak, bab sembilan belas menjelaskan tentang pendapat al-Ghazâli dalam pendidikan islam dan bab terakhir memaparkan tentang pendapat Abdul Rahman Bin Muhammad tentang pendidikan islam, adapun bab yang penulis bahas adalah bab X dari kitab tersebut. C. Tujuan Pendidikan Akhlak Muhammad 'Atiyat Al-Abrāsyi dalam Kitab AlTarbiyat Al-Islâmiyah wa Falâsifatuhā
50
Dalam pemikiran Muhammad 'Atiyat al-Abrāsyi Tentang pendidikan Islam, dia menyampaikan bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam adalah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang baik, yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, baik pria maupun wanita. Memiliki jiwa yang bersih, berkemauan keras, memiliki cita-cita yang benar dan akhlak yang mulia. Di samping itu pendidikan Islam menurutnya bertujuan membimbing seseorang untuk mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak setiap manusia bisa membedakan hal yang baik dan buruk, memilih suatu keutamaan dan cinta pada keutamaan, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan di setiap pekerjaan yang dilakukan.65 Terkait dengan keutamaan akhlak Muhammad 'Atiyat al-Abrāsyi menulik ayat al-Qur'an yang mana di dalamnya Allah memuji keutamaan Nabi Muhammad SAW, dalam hal akhlaknya.
(4: [QU ْ ٍ[ )أ ِ| َ ٍ QُS ً {QَbUَ َ ed َوِإ Artinya: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (alQalam: 4)66
65
Muhammad 'Atiyat al-Abrāsyi, al-Tarbiyat al-Islâmiyah wa falâsifatuhâ ( kairo: dâr al ulûm, tt) 113 66 Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahanya (Jakarta: YPP, 1971), 960.
51
Dia juga memaparkan syair dari penyait besar yaitu Syauqi beyk sebagai berikut :
ْ`َ ِ c OَZ ق ُ َS ْ َ ُ[ اZَ َ ْ اOَ]ed ِإ ْاtُ [ْ َذ َهuُ ¡ُ َS ْ ْ َذ َه َ`ْ َاt]ْ نْ ُهOِwَ Artinya: "Suatu bangsa itu tetap hidup selama akhlaknya tetap baik, bila akhlak mereka sudah rusak maka sirnalah bangsa itu". 67 Dalan syair ini dapat diambil kesimpulan tentang betapa urgennya pendidikan akhlak bagi suatu bangsa sehingga hancur tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh akhlak yang dimiliki suatu bangsa tersebut. Dari pemaparan di atas al-Abrāsyi selanjutnya memaparkan bahwasannya tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam islam adalah membentuk manusia bermoral baik, memiliki kemauan keras, memiliki sikap sopan santun dalam berbicara, mulia dalam tingkah laku dan perangai, bersikap bijaksana, sempurna, iklas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak. Terkait dengan tujuan pendidikan akhlak al-Abrāsyi juga memaparkan bahwa ahli-ahli pendidikan Islam juga sepakat bahwa moral dan akhlak merupakan tujuan akhir dari pendidikan Islam. Kendati demikian bukan berarti mengurangi perhatian dalam pendidikan jasmani atau pendidikan akal, akan tetapi keduanya diperhatikan secara serius. Tujuan pendidikan akhlak Islam bukanlah sekedar memenuhi otak murid-murid dengan ilmu pengetahuan, tetapi yang lebih penting dari itu adalah mendidik akhlak dengan memperhatikan segi-segi
67
Al-Abrâsyi, al-Tarbiyat, 114
52
kesehatan, pendidikan fisik dan mental serta perasaan dan mempersiapkan anakanak menjadi anggota masyarakat.68 Pendidikan Islam mewajibkan kepada setiap guru untuk senantiasa mengingatkan bahwa kita tidaklah sekedar membutuhkan ilmu, tetapi kita juga membutuhkan akhlak yang baik dan mulia. Para pendidik harus senantiasa ingat bahwa pembentukan akhlak yang baik di kalangan pelajar dapat dilakukan dengan latihan-latihan berbuat baik, takwa, berkata jujur, menempati janji, iklas dalam bekerja, mengetahui kewajiban, membantu yang lemah, selalu bekerja keras dan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, mengutamakan keadilan dalam setiap pekerjaan lebih besar manfaatnya dari pada mengisi kefahaman mereka dengan ilmu teoritis, semata. Apabila dikatakan dalam ilmu kedokteran bahwa pemeliharaan kesehatan lebih baik dari pada mengobati. Demikian juga pemeliharaan akhlak lebih baik dan utama dari pada usaha memperbaikinya bila sudah rusak. Pendidikan Islam menghendaki setiap guru untuk mengikhitiarkan caracara yang bermanfaat dalam membentuk adat istiadat yang baik, mengutamakan pendidikan akhlak untuk kemurnian hatinya, mengarahkan anak didik melalui pembawaannya di waktu kecil ke jalan yang lurus dan membiasakannya berbuat amal baik dan menghindari setiap kejahatan.69
D. Metode-Metode Pendidikan Akhlak Menurut Muhammad 'Atiyat AlAbrāsyi dalam Kitab Al-Tarbiyat al-Islāmiyah wa Falāsifatuhā.
68 69
'ibid, 114. Ibid, 155.
53
Dalam
pembahasannya
tentang
pendidikan
akhlak,
al-Abrāsyi
menyampaikan bahwa dalam pendidikan moral dan akhlak dalam Islam, terdapat beberapa metode dan cara, antara lain disampaikannya sebagai berikut : 1.
Metode Pendidikan Akhlak Secara Langsung Yaitu
dengan
cara
mempergunakan
pentunjuk,
tuntunan
nasehat,
menyebutkan manfaat dan bahayanya sesuatu. Murid diberi penjelasan halhal yang bermanfaat dan hal-hal yang tidak bermanfaat, menuntunnya pada ama-amal baik, mendorong mereka berbudi pekerti yang tinggi dan menghindari hal-hal yang tercela. Untuk pendidikan moral dengan cara langsung ini sering digunakan sajak-sajak dan syair-syair karena keduanya memiliki gaya musik ibarat-ibarat yang indah, ritme yang berpengaruh dan kesan yang dalam yang ditimbulkannya ke dalam jiwa. Oleh karena itu, buku-buku Islam dalam bidang sastra, dan sejarah di dalamnya penuh dengan kata-kata hikmah, wasiat dan petunjuk-petunjuk berguna. Orangorang Barat (Amerika) juga mengikuti metode-metode ini dalam menyampaikan pembelajaran moral. Al-Abrāsyi juga memaparkan sebagian dari kata-kata hikmah dan wasiat-wasiat dalam mendidik akhlak anak di antaranya : - Sopan santun adalah warisan yang terbaik - Budi pekerti yang baik adalah teman yang sejati - Mencapai kata mufakat adalah pimpinan yang terbaik - Ijtihad adalah perdagangan yang menguntungkan - Akal adalah harta yang paling bermanfaat
54
- Tidak ada bencana yang lebih besar daripada kebodohan - Tidak ada kawan yang lebih terpercaya daripada musyawarah. Dan - Tidak ada kesunyian yang lebih buruk daripada sombong.70 Salah seorang wanita Arab berwasiat kepada anaknya sebelum anaknya pergi meninggalkan kampung. "Hai
anakku,
janganlah
kamu
memfitnah,
karena
fitnah
itu
menimbulkan kebencin di antara orang-orang yang bersahabat. Janganlah kamu melakukan hal tercela agar kamu tidak menjadi bahan ejekan, biasanya seseorang akan hancur karena banyaknya panah. Janganlah engkau mempermudah agamamu dan pelit dengan hartamu. Bila engkau menggerakkan hati orang gerakkanlah hati orang pemurah, tentu dia akan melayanimu. Janganlah kamu gerakkan hati yang orang yang bakhil karena ia ibarat batu besar yang tidak akan memancarkan air. Perbuatlah olehmu perbuatan yang baik yang engkau harapkan dari orang lain. Dan hindarilah olehmu apa yang tidak baik dilakukan oleh orang, manusia itu tidak melihat kesalahan dirinya sendiri. Berkhianat adalah perbuatan yang terkutuk yang dilakukan seseorang terhadap orang lain, dan barang siapa yang dapat menghimpun ilmu dengan sifat pemurah, ia telah menguatkan kedudukannya."71
2.
Metode Pendidikan Akhlak Secara Tidak Langsung Yaitu dengan jalan sugesti, seperti mendiktekan sajak-sajak yang mengandung hikmat kepada anak-anak, memberikan nasihat-nasihat dan berita-berita berharga, mencegah mereka dari membaca sajak-sajak kosong.
70 71
Ibid., 116 Ibid, 117
55
Termasuk menggugah soal cinta dan pelakon-pelakonnya. Hal ini tidaklah mengherankan karena ahli-ahli pendidikan dalam Islam meyakini akan pengaruh kata-kata yang mengandung hikmat, nasehat dan kisah-kisah nyata dalam pendidikan akhlak anak. Karena kata-kata mutiara tersebut dapat dianggap sebagai sugesti dari luar. Dalam psikologi dapat dibuktikan bahwa sajak-sajak itu sangat berpengaruh dalam pendidikan anak. Mereka akan membenarkan apa yang didengarnya dan mempercayai apa yang mereka baca dalam buku-buku pelajarannya. Sajak-sajak, kata-kata hikmah tentang budi pekerti sangat berpengaruh terhadap mereka, seseorang guru juga dapat mensugestikan kepada anak-anak beberapa contoh dari akhlak yang mulia, seperti berkata benar, jujur dalam pekerjaan, adil dalam menimbang, terus terang, berani dan ikhlas.72
3.
Mengambil Manfaat Dari Kecenderungan Dan Pembawaan Anak Sebagai contoh, anak-anak senang meniru ucapan-ucapan, perbuatanperbuatan dan gerak-gerik orang yang berhubungan dengan mereka. Oleh karena itu, filsuf-filsuf Islam mengharapkan agar setiap guru berhias dengan akhlak yang baik, mulia dan menghindari sikap yang tercela. Ibnu Sina pernah berwasiat, hendaklah anda jadikan anak-anak itu anak-anak yang baik, tingkah laku menyenangkan, kebiasaannya pun baik pula karena anak-anak itu terpengaruh oleh pergaulannya dengan kawan-kawannya dan senang dengan tingkah laku teman-temannya itu.
72
Ibid., 118.
56
Murid-murid pada dasarnya suka meniru tingkah laku guru dan teman-temannya, baik dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Tentang apa yang diucapkan dan apa yang diperbuat, mereka menyenangi apa yang disenangi guru dan turut merasakan apa yang dirasakan guru. Karena itu Ibnu Sina menganjurkan untuk memilih lingkungan hidup yang baik bagi anak-anak dan memilih pula teman-teman yang baik untuk teman bergaul anak sekolah. Al-Abrāsyi mengatakan bahwa Benarlah apa yang diucapkan oleh Ibnu Sina. Dalam ilmu jiwa diterangkan bahwa sudah menjadi tabi'at anak-anak untuk meniru apa yang dilihatnya dalam masyarakat sekitarnya baik ataupun buruk, anak-anak meniru segala sesuatu mengenai orang-orang yang ditiru itupun tidak menyadari pula. Oleh karena itu, orang yang ditiru hendaklah menjadi pemimpin yang baik dan contoh yang bagus, sehingga tidak meninggalkan kesan-kesan yang buruk bagi jiwa anak yang menirunya. Sifat meniru ini menurut al-Abrāsyi mempunyai pengaruh yang besar bukan saja dalam pengajaran, tetapi juga dalam pendidikan budi pekerti dan akal. Meniru merupakan suatu faktor penting dalam periode pertama proses pembentukan kebiasaan. Misalnya seorang anak melihat sesuatu yang terjadi di hadapannya, ia pasti akan meniru kemudian mengulangi perbuatan tersebut hingga menjadi kebiasaan baginya. Hal ini sudah merupakan fakta bahwa anak kecil banyak mencontoh perbuatan orang-orang besar. Anakanak itu lebih cepat dipengaruhi oleh kawan-kawannya, lebih cepat meniru dan lebih senang bergaul dengan sesama mereka. Selanjutnya al-Abrāsyi menyampaikan bahwa filsuf-filsuf telah menggunakan pembawaan anak-
57
anak yang suka bergaul dengan anak-anak lain dalam rangka pendidikan, dengan memberi kesempatan kepada anak-anak, seperti mengirimkannya ke pondok-pondok atau sekolah-sekolah. Di sana ada anak-anak lain yang akan sama-sama belajar, bercampur dan bergaul sehingga ia mendapat dorongan dari kemajuan-kemajuan anak yang lain. Disana pun mereka akan berlomba secara terhormat bersungguh-sungguh untuk mencapai apa yang dicapai teman-temannya dalam pelajaran. Kemudian anak-anak tersebut akan berbicara dengan anak-anak lain untuk membukukan pikiran, dan memberikan pengertian. Mereka akan berbicara mengenai hal yang terindah yang dilihatnya dan hal yang ganjil yang didengarkannya. Keterangan-keterangan yang ganjil ini menyebabkan anak-anak menjadi heran, dan keturunannya menyebabkan mereka menghafal dan mengulang-ulang cerita tersebut. Setelah itu mereka menjadi berteman atau bersaing untuk mendapatkan hak-haknya. Hal tersebut merupakan faktor-faktor timbulnya perlombaan, rasa bangga, prestasiprestasi dan keinginan untuk saling bercerita, ini merupakan suatu pendidikan moral dan akhlak, menggerakkan cita mereka dan latihan terhadap adat istiadat yang baik. Manusia tidak akan menjadi kuat kecuali dalam suatu lingkungan masyarakat tempat ia dapat berhubungan dengan teman-temannya, samasama bekerja, bermain, sama-sama suka, sama-sama bicara, dan sama-sama memecahkan problem yang mereka hadapi dari segi akhlak, fisik dan mental. Hal ini sangat berfaedah bagi mereka (anak-anak). Karena anak-anak
58
yang dalam tingkat umur berdekatan mereka merdeka dan bebas dalam ucapan dan perbuatan, mereka saling belajar dari teman saling berteman dan bersaing, bekerja sama & berlomba, saling berdebat atau mencatat kemenangan dan saling bercerita satu sama lain. Ini semua merupakan pendidikan akhlak, menggerakkan keinginan-keinginan mereka, latihan bagi adaptasi dan kebiasaan mereka. Al-Abrāsyi
juga mengatakan bahwa ahli-ahli pendidikan Islam
mengetahui bahwa anak-anak mempunyai pembawaan suka dipuji, suka menunjukkan diri mereka pada orang lain dengan demikian pendidik dapat memuji perbuatan-perbuatan mereka dan perkataan-perkataan mereka yang baik dan mendorong agar hal itu diteruskan, sehingga anak mempertahankan kedudukannya dan berusaha memperbaiki dirinya. Ahli didik Islam tidak boleh banyak mencela, mengejek, atau mencemooh seorang anak bersifat selfish (cinta dirinya sendiri) bila anak itu menginginkan makanan dan minuman atau pakaian yang indah-indah. Karena banyak mencela akan mematikan jiwa anak. Sekalipun cinta diri (egois) dan rakus makanan merupakan sifat-sifat yang tercela apabila melebihi batas dan akan menimbulkan sifat egoistis dalam jiwa anak, juru didik harus mengurangi celaan dan cemoohan. Sebaliknya, juru didik harus menggunakan kebijaksanaan dalam pengajaran terhadap anak-anak sepatah pujian, sanjungan, dorongan, sangkaan baik dapat menambah tingkah laku anak. Dengan demikian, mendidik anak menurut pembawaannya yang suka dipuji
59
dapat dilakukan dengan pujian, menghindari ucapan-ucapan yang bisa membunuh cita-citanya dan menghindari buruk sangka padanya.73
E. Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Muhammad 'Atiyah AlAbrāsyi dalam Kitab Al-Tarbiyat Al-Islāmiyah wa Falāsifatuhā Dalam
hal
Pendidikan
akhlak
Anak
Usia
Dini
al-Abrāsyi
mengungkapkan bahwa periode yang terpenting dalam pendidikan adalah masa anak-anak. Apabila anak-anak kurang mendapatkan perhatian pada permulaan hidupnya, sebagian besar mereka menjadi orang dewasa yangmemiliki akhlak yang rusak, suka berbohong, dengki, pencuri, pencela, pengejek dan senang campur tangan urusan orang lain.74 Para filsuf Islam merasakan betapa pentingnya periode anak-anak dalam pendidikan budi pekerti dan membiasakan anak dengan tingkah laku yang baik sejak kecilnya. Mereka berpendapat bahwa pendidikan akhlak anak sejak kecil harus mendapatkan perhatian penuh. Pepatah lama menyatakan pelajaran di waktu kecil ibarat lukisan di atas batu, pendidikan di waktu besar ibarat lukisan di atas air. Dengan demikian tidak mengherankan bila ahli pendidikan modern abad 20 berkata bahwa anak-anak meniru tabi'at orang yang mendampinginya 5 tahun pertama dari umurnya. Selanjutnya al-Abrāsyi menyadur pendapat tokoh Ibnu al-Jauzi dalam bukunya Pengobat Jiwa, pembentukan yang utama adalah di waktu kecil, apabila anak dibiarkan melakukan sesuatu (yang kurang baik) dan menjadi kebiasaannya
73 74
Ibid., 119-120. Ibid., 126.
60
maka sangat sukar untuk meluruskannya. Artinya, pendidikan budi pekerti yang mulia wajib dimulai di rumah, dalam keluarga, sejak kecil dan jangan membiarkan anak bebas tanpa bimbingan dan pendidikan. Bahkan sejak usia dini anak harus di didik sehingga tidak terbiasa dengan adat dan kebiasaan yang tidak baik, bila dibiarkan saja, tidak diperhatikan, dan diabaikan, anak akan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik sehingga sukar untuk mengembalikan dan memaksakannya untuk meninggalkan kebiasaan buruk tersebut. Ringkasnya, pemeliharaan lebih baik-baik daripada perawatan.75 Untuk menghindarkan anak dari perbuatan-perbuatan yang kurang baik, berilah pendidikan dan pengajaran yang baik dengan mengisi waktu kosongnya, menyuruhnya belajar al-Qur'an, mempelajari riwayat hidup orang-orang besar dan orang-orang sholeh agar menjadi pedoman bagi mereka dan mereka akan mengikuti langkah-langkah mereka dan dalam jiwa mereka bisa tertanam rasa cinta pada orang-orang yang takwa dan sholeh. Apabila anak memperlihatkan moral yang baik dan perbuatan yang terpuji, hargailah dengan jalan memberikan hadiah kepadanya, berikan pujianpujian kepada mereka di hadapan umum agar ia gembira dan rasa senang bisa masuk ke dalam jiwanya. Apabila satu kali ia bersalah, lupakan saja kesalahan itu kesampingkan dan jangan membuat mereka menjadi malu, jangan juga kita membuatnya sebagai bahan pembicaraan, khususnya bila anak itu sendiri menutupi dan berusaha menyembunyikannya. Apabila anak melakukan
75
Ibid., 116.
61
kesalahan yang ke sekian kalinya baiklah ditegur diam-diam dan diperingatkan agar tidak diulangi.76 Para filsuf pendidikan Islam telah menyuarakan apa yang disuarakan oleh ahli-ahli ilmu jiwa pendidikan di saat ini, yaitu pendidikan tingkah laku yang baik pada anak-anak dilakukan sejak kecil, seperti membiasakan ia tidur lebih cepat, membiasakan ia belajar dan melakukan gerakan-gerakan olah raga, membiasakan supaya tidak meludah di tempat-tempat umum, dan membiasakan anak-anak itu mentaati ibu bapak dan Gurunya. Itu semua adalah kebiasaan-kebiasaan yang sehat dalam masyarakat dan akhlak yang wajib ditanamkan pada jiwa anak sejak kecilnya. Artinya pada saat seluruh urat syaraf anak-anak itu masih elastis dan menerima pembentukan. Dikatakan bahwa:
lِ ْ Qَ| َ ب d Oَ£ َ ¤ ٍ ْ £ َ {Qَ| ¥ d £ َ ~ْZَ Artinya :"Siapa yang membiasakan sesuatu di waktu mudanya, waktu tua akan menjadi kebiasaannya juga."77 Bagaimana bentuk perilaku seorang anak ketika kecil , begitulah nanti bila dia besar. Adalah suatu keharusan bagi juru didik Islam untuk menggunakan pelajaran sebagai jalan pembentukan adat dan kebiasaan yang baik pada muridmuridnya, membentuk akhlak dan membiasakannya berbuat baik kemudian menghindari sesuatu yang tercela. Dengan pendidikan akhlak itu, kita tidak bermaksud untuk mendiktekan kepada putra putri kita apa yang dikatakan fadhilah dan kebaikan-kebaikan, 76 77
Ibid., 127. Ibid, 128
62
radhilah dan keburukan-keburukannya, tetapi kita ingin membina akhlak mereka di mana ada kesempatan dan di setiap tempat. Kita ingin meluruskan akhlak yang bengkok dengan contoh-contoh yang baik dan teladan-teladan yang sempurna, dapat saling mengerti dengan lemah lembut, dan dapat berbicara baik dengan setiap orang. Ibarat seorang dokter yang tidak akan memberikan obat atau resep kecuali pada orang yang sakit. Dan ibarat seorang ibu yang bijaksana yang tidak akan memberikan makanan kepada anaknya kecuali pada waktu dia merasa lapar.78 Selanjutnya Al-Abrāsyi mengutarakan tentang pentingnya pendidikan akhlak anak bagi orang tua, rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Dia menyampaikan bahwa seluruh bapak-ibu guru haruslah memperhatikan masalah pendidikan akhlak dan rohani setiap waktu, memikirkan pendidikan yang sempurna dan moral Islam sebelum yang lainnya. Problema kita bukanlah sekedar kebodohan, kemiskinan dan penyakit semata-mata, tetapi problem kita adalah moral dan pendidikan moral mulai dari anak yang baru lahir sampai orang dewasa, mulai dari anak di ayunan sampai mahasiswa di universitas. Tidaklah mungkin kita katakan bahwa hanya madrasah Islam saja yang dibebani mendidik moral anak dengan sempurna, tetapi ada pihak-pihak lain yang berpengaruh dalam pendidikan akhlak itu, seperti rumah tangga dan masyarakat. Agar kita sampai pada tujuan terakhir dalam rangka pendidikan akhlak putra-putri kita, rumah tangga haruslah menjalankan tugasnya dengan
78
Ibid., 129.
63
baik. Begitu pula dengan masyarakat, jangan sampai menghancurkan apa yang telah dibina di rumah tangga dan sekolah. Kita sangat menyesalkan dengan realita yang terjadi bahwa pendidikan Islam khususnya pendidikan akhlak kurang sekali mendapatkan perhatian baik di rumah-rumah, sekolah dan masyarakat, padahal kita ketahui bahwa kebahagiaan suatu bangsa tidak bergantung terhadap banyaknya penghasilan atau keindahan bangunannya, tetapi tergantung pada banyaknya putra-putrinya yang terpelajar. Apabila kesempurnaan moral dan akhlak itu ada, kebahagiaan, kekuatan dan kebangkitan suatu bangsa dapat dicapai. Dengan demikian tidak berlebihan bila dikatakan bahwa seorang muslim yang kamil adalah seorang yang terpelajar, menaati Allah dan RasulNya, mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya sendiri, tidak menyinggung perasaan orang lain, tahan dengan derita dan tidak peduli dengan kepahitan-kepahitan hidup dan rela mati. Oleh karena itu, sudah merupakan Qadar kita untuk beramal untuk dunia seakan kita akan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat seakan kita akan mati esok hari.
64
BAB IV ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN AKHLAK MUHAMAD’ATIYAT ALABRASYI DALAM KITAB AL-TARBIYAT AL-ISLĀMIYAH WA FALĀSIFATUHĀ
A. Analisis Konsep Tujuan Pendidikan Akhlak Muhammad ‘Artiyah AlAbrâsyi dalam Kitab Al-Tarbiyat Al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ Perspektif Pendidikan Islam Munculnya konsep pendidikan akhlak Muhammad ‘Atiyah al-Abrâsyi membawa angin segar bagi khazanah keilmuan khususnya pendidikan Islam. Pemikirannya tentang pendidikan akhlak tidak terlepas dari tujuan pendidikan Islam yang lahir dari pemikirannya yaitu pembentukan akhlak dan budi pekerti yang mulia. Konsep pendidikan akhlak yang dia sampaikan adalah sebagai manifestasi tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Konsep pendidikan akhlak yang dimunculkan dipengaruhi oleh rangkuman, pemikiran
dan
pemahaman
tokoh
pendidikan
Islam
sebelumnya.
Menurutnya, pendidikan akhlak merupakan ruh dari pendidikan Islam itu sendiri. Dari pemaparan tentang tujuan pendidikan akhlak yang disampaikan Muhammad ‘Atiyat al-Abrâsyi pada bab tiga jika kita potret dengan menggunakan teori-teori pendidikan Islam, setelah kita analisis tentang tujuan pendidikan akhlak yang disampaikan oleh al-Abrâsyi kita dapat melihat bahwa al-Abrâsyi tidak menekankan tentang bagaimana tujuan itu
65
secara panjang lebar, karena secara umum kita dapat mengetahui bahwa tujuannya tidak lain adalah untuk menjadikan insan al-Kamil, dia lebih memfokuskan tentang bagaimana mewujudkan tujuan tersebut dengan menggunakan proses pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik khususnya orang tua. Karena bagaimana pun tujuan pendidikan yang disampaikan jika tidak dipaparkan proses untuk menempuhnya maka tujuan tersebut hanya sebatas wacana tanpa ada cara untuk menempuhnya Di samping itu pemaparannya mengenai tujuan pendidikan akhlak tidak menyampaikan bagaimana implementasi dari tujuan pendidikan akhlaq tersebut terhadap kehidupan bermasyarakat kaitannya dengan interaksi dengan orang lain. Al-Abrâsyi belum menyinggung mengenai amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki akhlak mulai sebagai manifestasi dari budi pekerti luhur yang dimiliki. Tujuan pendidikan akhlak selain membentuk kepribadian yang mulai, juga harus menekankan pada pembentukan insan yang beriman dan beramal sholeh sebagai manifestasi dari akhlak yang ada dalam diri manusia tersebut. Manusia yang berakhlakul karimah haruslah menjadi Rahmatan Lil’âilamîn dengan berjuang fî Sabilillah untuk menegakkan panji-panji Allah di muka bumi ini. Kita mengetahui bahwa setiap manusia memiliki
watak, kebiasaan dan
tingkat pengalaman yang berbeda. Tujuan pendidikan akhlak akan tercapai jika beberapa aspek di atas terus diasah, dilatih dan diarahkan. Oleh karena itu menurut al-Abrâsyi peran pendidik dalam merealisasikan tujuan akhlak
66
sangat penting. Uraiannya mengenai tujuan pendidikan akhlak telah memenuhi tujuan individu dan tujuan masyarakat sebagaimana yang disampaikan dalam Pendidikan Islam dan sesuai dengan apa yang diajarkan nabi. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan al-Abrâsyi pada dasarnya adalah terciptanya manusia yang berperilaku
mulia, perilaku-perilaku yang sebagaimana di lakukan
oleh nabi SAW, sehingga secara tidak langsung manusia tersebut dapat menjadi manusia yang ideal dan menjadi kahalifah Allah dimuka bumi.
B. Analisa Konsep Metode-Metode Pendidikan Akhlaq Muhammad ‘Atiyat alAbrâsyi dalam Kitab Al-Tarbiyah Al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ Perspektif Pendidikan Islam Al-Abrâsyi
dalam
memaparkan
metode-metode
pendidikan
akhlak
sebagaimana yang telah disampaikan menawarkan tiga metode yang dapat di gunakan dalam pendidikan akhlak. Pertama, metode secara langsung, kedua, metode secara tidak langsung dan ketiga memanfaatkan pembawaan anak sebagai media pendidikan akhlak. Metode yang efektif dalam pendidikan dan pembentukan akhlak adalah metode yang menggunakan dua model sekaligus, yaitu: a. Metode perubahan atau pendidikan akhlak untuk memperbaiki akhlak yang telah rusak. Metode ini lebih ditekankan diri sendiri.
67
b. Metode pendidikan akhlak untuk membentuk akhlak orang lain. Dalam hal ini adalah anak atau peserta didik. Jika
kedua
metode
di
atas
sama-sama
digunakan
niscaya
proses
pembelajaran akan berjalan maksimal. Seorang pendidik di samping mendidik anak didiknya untuk berakhlak mulia dia juga hendaknya memperbaiki akhlaknya sendiri sehingga pendidik benar-benar menjadi suri tauladan yang baik bagi anak didiknya. Metode pendidikan
akhlak yang ditawarkan al-Abrâsyi
memang tidak
terlepas dari tujuan pendidikan Islam yang beliau sampaikan. Dia menekankan metode pendidikan akhlak yang disampaikannya kepada peserta didik khususnya anak-anak adalah dengan asumsi bahwa esensi dari pendidikan manurutnya adalah usia dini dan usia muda karena dia memahami betul bahwa jiwa manusia akan mudah dibentuk pada usia-usia awal, berbeda dengan usia tua, pembentukan akan sulit di ibaratkan menulis di air. Dia juga menilai bahwa metode yang paling efektif dalam membentuk dan mendidik akhlak adalah dengan memanfaatkan kecenderungan yang dimiliki
oleh
anak
didik.
Karena penyampaian
pembelajaran
maksimal dan mengena jika pembelajaran dipadukan dengan
akan
hobi yang
dimiliki anak karena tanpa terasa secara tidak sadar peserta didik dapat menerima pelajaran yang disampaikan pendidik dengan tanpa halangan berarti karena proses pembelajaran dimaksukkan dalam permainan atau kegiatan yang disukai anak didik.
68
Hukuman dan hadiah sebagai metode pendidikan akhlak, tidak menjadi perhatian utama yang disampaikan al-Abrâsyi sebagaimana pada teori pendidikan Islam. Dia cenderung beranggapan bahwa pujian-pujian lebih baik dari pada pemberian hadiah dan hukuman. Oleh karena itu dia lebih mengutamakan nasehat-nasehat dan pujian yang baik
dalam menyikapi
perilaku anak didik. Nampaknya, al-Abrâsyi dalam pemaparan metode-metode pendidikan akhlak yang di sampaikannya lebih menekankan tentang bagaimana cara membentuk akhlak, bukan diarahkan kepada
bagaimana memperbaiki
akhlak yang telah rusak. Oleh karena itu penekanan penerapan metode metodenya pun diarahkan terhadap anak didik, khususnya anak usia dini. Karena berangkat dari pemahaman bahwa usia -usia demikian sangat baik digunakan untuk membentuk akhlak dan jiwa anak didik. Al-Abrâsyi secara langsung tidak menyampaikan materi-materi yang disampaikan dalam pendidikan dan pembentukan akhlak, akan tetapi dia secara
tersirat
menyampaikan
bahwa
disampaikan kepada diri atau orang diperlukan untuk hubungan antara
sekiranya
materi
yang
perlu
lain adalah mencakup materi yang manusia dan materi yang diperlukan
oleh jiwa manusia itu sendiri. Dengan demikian, agaknya al-Abrâsyi memberi peluang yang sangat luas kepada pendidik untuk menyampaikan berbagai ilmu yang dipelajari. Hanya saja semua meteri atau pelajaran yang disampaikan hendaknya dikaitkan dengan pendidikan akhlak. Hal ini lah yang harus dilakukan pendidik dalam tugasnya mendidik anak didik.
69
Metode–metode pendidikan akhlak yang disampaikan al-Abrâsyi pada dasarnya tidak keluar dari kisi-kisi yang ada dalam Pendidikan Islam. Dengan adanya pemaparannya mengenai metode pendidikan akhlak yang disampaikannya, semakin menambah keyakinan kita bahwa sebuah metode yang bervariatif dan sesuai dengan tuntutan objek pendidikan memang sangat disarankan dalam sebuah proses pendidikan dan pembelajaran, khususnya pendidikan dan pembelajaran akhlak. Sebuah proses pendidikan tanpa memperhatikan penggunaan metode tidak akan berjalan maksimal sebagaimana yang diharapkan.
C. Analisa Konsep Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini Muhammad ‘Atiyat AlAbrâsyi dalam Kitab Al-Tarbiyat Al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ Perspektif Pendidikan Islam Selain menjelaskan tujuan pendidikan akhlak dan metode-metode dalam pendidikan akhlak, al-Abrâsyi juga menjelaskan tentang pentingnya pendidikan akhlak anak usia dini dalam menumbuhkan generasi-generasi yang memiliki moral dan akhlak mulia. Konsep pendidikan akhlak anak usia dini yang di paparkan oleh al abrâsyi memposisikan lingkungan pendidikan sebagai sarana dalam pembentukan dan pendidikan akhlak anak usia dini yaitu lingkungan keluarga sekolah dan masyarakat, karena peran keluarga, sekolah dan masyarakat tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari- hari anak, akan tetapi jika kita lihat lebih jauh maka keluargalah yang memiliki peran dominan karena kehidupan
70
anak berawal dari lingkungan keluarga. Ayah, ibu dan anggota keluarga yang lainnya dapat mempengaruhi pola tingkah laku anak secara langsung. Pada dasarnya dalam pendidikan Islam orang tua memang menjadi tonggak pertama dalam pendidikan akhlak anak di usia mereka yang masih dini. Kefitrahan seorang anak selanjutnya akan mengikuti kemana arah didikan orang tuanya. Demikian pula dengan apa yang disampaikan al-Abrâsyi, bahwa ayah dan ibu (orang tua) merupakan guru dan pendidik utama anak dan sebagai peletak dasar dalam pendidikan akhlak anak khususnya anak usia dini. Pendidikan akhlak anak usia dini memang seharusnya menjadi prioritas utama dalam pendidikan dari pada pendidikan yang lainnya. Al-Abrâsyi juga membenarkan hal ini.
Jika akhlak sudah tertanam pada jiwa anak,
maka pendidikan dan keterampilan anak yang lain akan terbentengi oleh akhlak yang dimiliki, sehingga sepintar dan sehebat apapun dia nanti, dia tidak akan keluar dari jalur-jalur yang telah ditentukan agama karena dia memiliki akhlak yang mulia. Dengan demikian dapat kita ambil kesimpulan bahwa konsep pendidikan akhlak anak usia dini
yang disampaikan al-Abrâsyi merupakan sebuah
kontribusi tersendiri dalam dunia pendidikan Islam. Sebagaimana yang disampaikan dalam Pendidikan Islam, pendidikan akhlak anak usia dini memang perlu ditekankan, dan al-Abrasyi juga menggaris bawahi hal ini sebagai hal terpenting yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan khususnya dalam Pendidikan Islam. Semua yang dia sampaikan dapat
71
menjadi penguat dan landasan dalam Pendidikan Islam karena yang dia sampaikan khususnya tentang pendidikan akhlak anak usia dini tidak keluar dari karakteristik Pendidikan Islam itu sendiri
72
aBAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pemaparan dan penjelasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan al-Abrâsyi pada dasarnya adalah terciptanya manusia yang berperilaku
mulia,
perilaku-perilaku yang sebagaimana di lakukan oleh nabi SAW, sehingga secara tidak langsung manusia tersebut dapat menjadi manusia yang ideal dan menjadi kahalifah Allah dimuka bumi. 2. Metode–metode pendidikan akhlak yang disampaikan al-Abrâsyi pada dasarnya tidak keluar dari kisi-kisi yang ada dalam Pendidikan Islam. Dengan adanya pemaparannya mengenai metode pendidikan akhlak yang disampaikannya, semakin menambah keyakinan kita bahwa sebuah metode yang bervariatif dan sesuai dengan tuntutan objek pendidikan memang sangat disarankan dalam sebuah proses pendidikan pembelajaran
dan
pembelajaran,
akhlak.
Sebuah
khususnya proses
pendidikan pendidikan
dan tanpa
memperhatikan penggunaan metode tidak akan berjalan maksimal sebagaimana yang diharapkan. 3. Konsep pendidikan akhlak anak usia dini
yang disampaikan al-
Abrâsyi merupakan sebuah kontribusi tersendiri dalam dunia pendidikan
Islam.
Sebagaimana
yang
disampaikan
dalam
Pendidikan Islam, pendidikan akhlak anak usia dini memang perlu
73
ditekankan, dan al-Abrasyi juga menggaris bawahi hal ini sebagai hal terpenting yang harus diperhatikan dalam proses pendidikan khususnya dalam Pendidikan Islam. Semua yang dia sampaikan dapat menjadi penguat dan landasan dalam Pendidikan Islam karena yang dia sampaikan khususnya tentang pendidikan akhlak anak usia dini tidak keluar dari karakteristik Pendidikan Islam itu sendiri
B. Saran 1.
Hendaknya konsep pendidikan akhlak yang dirumuskan al-Abrâsy menjadi suatu bahan tujuan dan pertimbangan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pendidikan akhlak seyogyanya menjadi prioritas utama dalam pembelajaran untuk membentengi para anak didik dari pengaruh dunia luar cenderung mengajak pada hal-hal yang negatif dan pengaruh dunia luar.
2.
Hendaknya setiap pendidik memahami betul arti penting dan manfaat dari pendidikan akhlak, dalam proses pembelajaran khususnya konsep al-Abrâsyi ini, kontribusinya dapat dipadukan dengan pelajaran-pelajaran lain, seperti akidah, Fiqih dan lain sebagainya. Konsep al-Abrâsy ini sangat ideal untuk digunakan dalam proses pembelajaran baik untuk pendidik dalam memahami anak didiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Munawar Sholeh, Psikologi Perkembangan Jakarta: Rineka Cipta. 2005.
74
Al-Abrâsyi, Muhammad 'Atiyah. Al-Tarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuha. Kairo: Dâr al-Ulum.tt. Al-Abrasyi, Muhammad 'Atiyah. Al-Tarbiyat al-Islâmiyah wa Falâsifatuhâ. Terj. Muhammad Zaky al-Kâf. Bandung: Pustaka Setia.2003. At-Tuwanisi, Abdul Futuh al-Jumbulati, Ali. Dirosatun Muqâranatun fî al-Tarbiyah al-Islamiyah. terj. M. Arifin. Jakarta: Rineka Cipta. 1994. Al-Khal'awy, Mahmud. Mendidik Anak Dengan Cerdas. Sukoharjo: Insan Kamil. 2007. Arikunto, Suharismi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 1990.
Asy-Syantut, Khalid Ahmad. Rumah Pilar Utama Pendidikan Anak. Jakarta : Robbani Press. 1994. Basuki dan Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007. Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Koumnikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. 2009. Budiningsih, Asri. Pembelajaran Akhlak. Jakarta: Rineka Cipta. 2004 Darajat, Zakiyah. Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. 1994. _____________.Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental. Jakarta; PT. Toko Gunung Agung, 1995 . Daradjat, Zakiyah. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 2008. Daud Ali, Muhammad. Grafindo Persada, 2004.
Pendidikan Agama Islam.
Yogyakarta: PT Raja
Hasan Hammam, Hasan Bin Ahmad. Mawâqif al –Nabi ma'a al- Athfal. Terj. Fathurrahman abd. Hamid. Bandung: Irsyad Baitu Salam 2007. 76 Ibnu Rusn, Abidin. Pemikiran Al-Ghazâli Tentang Pendidikan .Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998. Khalid, Amru. Akhlak Mulia. Jakarta: Cakrawala Publishing. 2008.
75
Mahmud, Ali Abdul Halim. Al-Tarbiyah al-Khulqiyah. terj. Abdul Hayie al-Katani dan Masturi. Jakarta: Gema Insani. 2004. Mansur. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005. Megawati, Ratna. Yang Terbaik Buat Buah Hatiku. Bandung: Khansa'.2005. Muhyidin, Muhammad. Menanam Tauhid, Akhlak Dan Logika Si Mungil. Yogyakarta: Diva Press. 2009. Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakata: Bayu Indra Grafika. 1987. Nata, Abudin. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Rineka Cipta. 2004. Nawawi, Hadani. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1994. Ritonga, Rahman. Akhlak ( Meraqkit Hubungan Dengan Sesama Manusia). Surabaya: Pustaka Setia. 2005. Suwito. Filsafat Pendidikan Islam Ibnu maskawaih. Yogyakarta: Belukar. 2004. Suwaid, Muhammad Nur Abdul Hafidz. Mendidik Anak Bersama Nabi. Solo: Pustaka Arafah. 2003. ________________________________. Manhaj al-Tarbiyah al-Nabawiyah.terj. Kuswandani. Bandung: al-Bayan. 1997. Trim, Bambang. Menginstal Akhlak Anak. Bandung: MQS Publishing. 2005. Umari, Barmawi. Materi Akhlak. Solo: CV Ramadani. 1967. Prahara, Erwin Yudi. Konsep Pendidikan Akhlaq Menurut al-Ghazali, Majalah Cendikia 3 (Januari – Juni, 2005 . Zahrudin, Sinaga Hasanudin. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2004.
76
Ahmad, Nuraini. Pendidikan Akhlak Menurut alGhazâli.http://www.digilib.vi.ac.id./opac/themes.1/libri2/detail.jsp?id=70680&lokasi =lokal. diakses 24 Maret 2009. Mukarom, Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad 'Atiyah Al-Abrâsyi. http:// abunathan.com./2008.06.01.archive.html. di akses 30 juni 2008. http://www..mail.archive.com/
[email protected]/msg.04587.html diakses 6 April 2009.. http://bbawor.blogspot.com/2008/08/penanaman anaksejak.html. diakses 6 April 2009.
moral
untuk
anak-