BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pembangunan dihubungkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang layak. Hasil yang diharapkan berupa peningkatan kuantitas dan kualitas di dalam modal manusia (tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan) maupun dalam modal fisik, seperti infrastruktur (transportasi, komunikasi). Di Indonesia, salah satu permasalahan utama yang menghambat pembangunan sosial dan ekonomi adalah kurangnya kuantitas dan kualitas sektor infrastruktur. Pada World Economic Forum, Global Competitiveness Index (GCI 20132014), Indonesia menduduki peringkat ke-61 dari 148 untuk kategori infrastruktur negara. Pengembangan infrastruktur di Indonesia belum cukup untuk menyamai perkembangan makroekonomi sejak pemulihan dari krisis keuangan Asia akhir 1990an, dan sebagai akibatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia belum dapat mencapai potensi maksimalnya. Diharapkan bahwa ketika Indonesia telah miliki infrastruktur yang memadai, produk domestik bruto (PDB) dapat tumbuh lebih tinggi dari 6 persen per tahun. Indonesia masih dinilai tertinggal dalam pengembangan dan penyediaan infrastruktur transportasi seperti rel kereta, jaringan jalan, pelabuhan, dan bandara. Kondisi tersebut terjadi hampir 20 tahun terakhir, atau semenjak krisis ekonomi 1997-1998, hingga saat ini. Infrastruktur di Indonesia sudah 20 tahun lebih
1
2
mengalami backlog (ketertinggalan). Kondisi tersebut terjadi karena persoalan alokasi belanja proyek yang rendah dan aktivitas pemeliharaan infrastruktur yang tidak memadai. Karena belanja yang rendah, pembangunan infrastruktur berjalan lamban. Alokasi pembangunan seringkali diubah menjadi biaya perawatan infrastruktur yang tidak perlu. Investasi yang seharusnya dapat direlokasi untuk Indonesia Timur menjadi terhambat karena adanya pemeliharaan jalan dan pemeliharaan berkala yang seharusnya dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun, namun prakteknya dalam 3 tahun sudah harus direhabilitasi. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan di wilayah Indonesia Timur menjadi tidak optimal. Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo memiliki proyek mengejar ketertinggalan infrastruktur transportasi di Indonesia dengan menaikkan belanja infrastruktur dan pembangunan infrastruktur yang merata di kawasan Indonesia. Tujuan utama menaikkan belanja infrastruktur Indonesia adalah untuk menyediakan infrastruktur yang memadai, yang akan menunjang perekonomian nasional dengan menciptakan biaya transaksi dan biaya transportasi akan lebih rendah (http://finance.detik.com). Data perekonomian Indonesia yang bersumber dari BPS pada umumnya terdiri atas sembilan sektor. Sektor yang memiliki indeks daya penyebaran (backward linkage effect) yang paling tinggi adalah sektor Listrik, Gas, dan Air Bersih (BPS), selanjutnya sektor Bangunan, dan urutan ketiga sektor Industri Pengolahan. Indeks Daya Penyebaran yang tinggi berarti sektor tersebut berpengaruh besar terhadap sektor lainnya. Berbeda halnya untuk indeks derajat kepekaan (forward linkage effect) suatu sektor tinggi, artinya sektor tersebut sangat
3
peka terhadap sektor lainnya. Sektor Industri Pengolahan memiliki Indeks Derajat Kepekaan yang paling tinggi di antara 9 sektor, di posisi kedua ada Sektor Keuangan, Real Estat, dan Jasa Perusahaan, dan di urutan ketiga ada sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, hal ini berarti sektor Industri Pengolahan paling peka terhadap sektor lainnya (BPS,2015). Grafik 1.1 3 Sektor Teratas menurut Pertumbuhan PDB
SEKTOR TERATAS PERTUMBUHAN PDB PENAWARAN Konstruksi
Transportasi, Pergudangan, Informasi, Komunikasi
2011
2012
9.1
2013
5.9
7.0
6.1
7.9
8.4
9.4
9.8 6.6
7.7
9.2
9.0
Jasa Keuangan, Real Estat, Jasa Perusahaan
2014
sumber: BPS (diolah), 2014
Menurut Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2014, didasarkan pada tabel Pertumbuhan PDB Penawaran dapat diketahui bahwa 3 sektor teratas dari tahun 2011–2014 secara rata-rata dari keempat tahun adalah yang pertama sektor Transportasi, Pergudangan, Informasi, dan Komunikasi, yang kedua dari sektor jasa keuangan, real estat, jasa perusahaan dan yang ketiga adalah sektor konstruksi. PDB Lapangan Usaha di tahun 2014 mengalami perlambatan dalam barang dan jasa. Pada lapangan usaha barang perlemahan yang paling terlihat adalah dari sektor Pertambangan.
Perlambatan
pertumbuhan
lapangan
usaha
pertambangan
4
disebabkan oleh permintaan akan ekspor batubara yang menurun, serta diterapkannya UU Minerba pada periode pertama tahun 2014. Untuk pertumbuhan lapangan usaha Industri Pengolahan di tahun 2014 tumbuh 0,1 persen lebih tinggi dari 2013, yakni 4,6 persen untuk tahun 2014 dan 4,5 persen untuk tahun sebelumnya. Perbaikan tersebut karena konsumsi rumah tangga yang meningkat pada semester I 2014 karena faktor pemilu, dan permintaan ekspor manufaktur yang membaik. Untuk perlambatan pertumbuhan lapangan usaha sektor jasa disebabkan oleh melambatnya permintaan domestik dan perdagangan ekspor yang melambat. Prospek PDB Lapangan Usaha untuk tahun 2015 dan 2016 menunjukkan seluruh sektor akan mengalami peningkatan, karena diprakirakan berlanjutnya pemulihan global. Seperti perkiraan sektor Industri Pengolahan yang akan tumbuh 4,7–5,1 di tahun 2015 karena adanya strategi pemerintah dalam akselerasi dan revitalisasi industri sebagai bentuk langkah persiapan pemerintah dalam Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA 2015). Lapangan usaha Perdagangan, Hotel, dan Restoran (PHR) diprakirakan relatif stabil mencapai 4,9–5,3 persen tahun 2015. Tumbuhnya lapangan usaha PHR didorong oleh tetap kuatnya daya beli masyarakat seiring dengan ekspektasi tingkat inflasi yang terjaga. Sejalan dengan perbaikan kinerja lapangan usaha PHR. Tidak kalah dengan lapangan usaha PHR, lapangan usaha Pengangkutan dan Komunikasi diperkirakan akan tetap melanjutkan tren positif dari tahun-tahun sebelumnya, yakni tumbuh sebesar 9,6–10,0 persen pada tahun 2015. Pertumbuhan lapangan usaha tersebut juga didorong oleh prakiraan realisasi proyek-proyek pembangunan infrastruktur di tahun 2015. Dapat dilihat dari Laporan Keuangan Indonesia tahun anggaran 2014, menunjukkan tabel anggaran
5
pemerintah dari tahun 2005–2014, terdapat empat anggaran utama yakni di bidang subsidi energi, anggaran pendidikan, anggaran infrastruktur, dan anggaran kesehatan. Saat ini pemerintah Indonesia sedang meningkatkan sektor infrastruktur, sebesar 290,3 triliun rupiah untuk infrastruktur. Peningkatan belanja infrastruktur diharapkan dapat menjadi mesin pertumbuhan bagi bergeraknya perekonomian dan penciptaan lapangan kerja. Ekonomi yang terus
tumbuh akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, sehingga angka kemiskinan dan angka pengangguran dapat ditekan. Di tahun 2015, pemerintah Indonesia menetapkan 10 proyek quickwins Infrastruktur, 1 enam diantaranya terletak di luar Pulau Jawa, untuk mendorong munculnya pusat–pusat pertumbuhan baru di luar Pulau Jawa. Proyek quickwins infrastruktur tersebut terdiri dari Pembangunan Kilang Minyak Bontang, Pengelolaan Air Minum Semarang Barat, Jalan Tol Balikpapan–Samarinda, Revitalisasi tiga Bandara berskala kecil dan menengah, Transmisi Listrik High Voltage Direct Current (HVDC) Interkoneksi Sumatera Jawa, delapan ruas Jalan Tol, pembangunan Proyek Listrik Tenaga Uap Jawa Tengah, kereta api ekspres Bandara Soekarno Hatta, moda kereta api Kalimantan Timur untuk pengangkutan barang, serta transmisi listrik di Sumatera. Selain kesepuluh proyek di atas, masih ada proyek–proyek lain yang berkaitan dengan transportasi laut, misalnya pembangunan pelabuhan di Makassar dan pembangunan pelabuhan di Kuala Tanjung. Proyek–proyek infrastruktur tersebut, diharapkan dapat mendorong
1
Quickwins ini diartikan proyek-proyek tersebut merupakan proyek prioritas yang hasil dan pemanfaatannya akan cepat, diestimasikan pembangunan 10 proyek tersebut dapat ditempuh dalam lima tahun.
6
penyerapan anggaran pemerintah yang ditargetkan hingga akhir tahun anggaran 2015. Indonesia memiliki banyak Direktorat, yang masing-masing memiliki tugas yang berbeda. Salah satunya adalah Direktorat Transportasi, berada di bawah Deputi Bidang Sarana dan Prasarana. Direktorat Transportasi memiliki tugas pokok dan fungsi yang diatur di dalam Permen PPN/Kepala Bappenas Nomor Per.005/M.PPN/10/2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian PPN/Bappenas di pasal 358–368. Dengan adanya Direktorat Transportasi, dapat disimpulkan bahwa Transportasi merupakan salah satu sektor pembangunan yang penting di Indonesia. Grafik 1.2 PDB atas dasar harga berlaku dalam Miliar Rupiah menurut lapangan usaha 700000
1. PERTANIAN, PETERNAKAN, KEHUTANAN, PERIKANAN 2. PERTAMBANGAN DAN PENGGALIAN 3. INDUSTRI PENGOLAHAN
600000
Miliar Rupiah
500000 400000
4. LISTRIK, GAS, DAN AIR BERSIH 5. B A N G U N A N
300000
200000 100000 0 2010
2011
2012 tahun
2013
2014
6. PERDAGANGAN, HOTEL DAN RESTORAN 7. PENGANGKUTAN DAN KOMUNIKASI 8. KEUANGAN, PERSEWAAN & JASA PERSH. 9. JASA - JASA
Sumber: BPS, diolah
Dari Grafik 1.2 kita dapat melihat pertumbuhan PDB 2010–2014. Dapat disimpulkan bahwa Industri Pengolahan merupakan industri dengan bagian terbesar
7
dari ke–8 sektor lainnya. Untuk sektor transportasi dan komunikasi menempati urutan ke–8. Menurut Kajian Kebijakan Pembangunan 2014, Indonesia: Menghindari Perangkap oleh Bank Dunia, terdapat grafik yang menunjukkan perbandingan produktivitas tenaga kerja di 6 sektor (pertanian, jasa tingkat rendah, industri manufaktur, transportasi dan komunikasi, jasa finansial, pertambangan dan penggalian). Terlihat bahwa produktivitas tenaga kerja selalu meningkat pada transportasi dan komunikasi, sedangkan lima sektor lainnya seperti pertanian yang angka produktivitasnya selalu tetap, pertambangan dan penggalian selalu menurun. Dapat disimpulkan, dengan meningkatnya pertumbuhan pada sektor transportasi dan komunikasi, dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja di Indonesia. Hal tersebut berarti mengurangi tingkat pengangguran, dan meningkatkan pendapatan per kapita Indonesia. Hal ini karena transportasi di Indonesia belum dibangun maksimal, sedangkan untuk pertambangan dan penggalian yang bergantung pada ketersediaan SDA semakin lama akan semakin berkurang jumlah ketersediaannya. Dengan mengejar pertumbuhan pada sektor transportasi, diharapkan akan menyerap banyak tenaga kerja, sehingga mengurangi angka pengangguran. Sektor transportasi menunjang pertumbuhan sektor-sektor lainnya, dengan transportasi yang memadai dan berkualitas baik, akan memudahkan sektor lain dalam hal pendistribusian barang dan jasa, sehingga dapat menekan biaya produksi sektor lain. Indonesia dalam hal transportasi masih memiliki kesenjangan yang tinggi, antar ke–6 subsektor yang tercakup di dalamnya. Seperti yang terlihat pada Grafik 1.3, dapat dilihat untuk subsektor angkutan rel rata-rata distribusi presentase Produk
8
Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku dari tahun 2000–2014 tidak pernah mencapai 0,1 persen. Sebaliknya untuk subsektor angkutan jalan raya, apabila dibandingkan dengan 5 subsektor lainnya, memiliki rata-rata distribusi terbesar, yakni 1,96 persen. Nomor kedua terbesar dari sektor Transportasi adalah subsektor jasa penunjang angkutan dengan rata-rata distribusi sebesar 0,66 persen. Untuk subsektor angkutan udara menempati peringkat ketiga, dengan rata-rata distribusinya sebesar 0,52 persen. Distribusi angkutan udara mulai terlihat tumbuh meningkat sejak 2008–2014, hal ini dipicu dari meningktanya aktivitas di bandar udara yang ada di Indonesia, baik domestik maupun internasional. Peningkatan jumlah pesawat juga memicu pertumbuhan dari distribusi subsektor angkutan udara sejak 2008–2014, hal ini karena dengan meningkatnya jumlah pesawat yang tersedia, makan semakin bertambahnya jumlah kursi yang tersedia, serta meningkatkan jumlah muatan yang dapat diangkut oleh pesawat terbang. Grafik 1.3 Distribusi Persentase PDB Atas Dasar Harga Berlaku 2000–2014 Sektor Transportasi
persentase (%)
3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 tahun 1) Angkutan Rel
2) Angkutan Jalan Raya
3) Angkutan Laut
4) Angk. Sungai, Danau & Penyebrangan
5) Angkutan Udara
6) Jasa Penunjang Angkutan
Sumber: BPS, diolah
9
Untuk menganalisis dan meramalkan kondisi perekonomian secara total, salah satu alat analisis yang dapat memberikan gambaran hubungan antar sektor yang ada di perekonomian Indonesia, output nasional, jumlah tenaga kerja, dan jumlah pendapatan adalah analisis Input Output. Analisis ini dapat digunakan untuk melihat keterkaitan antar sektor-sektor di dalam perekonomian di Indonesia dan dapat digunakan untuk mensimulasikan keadaan ekonomi nasional. Hasil analisis Input Output dapat dimanfaatkan sebagai opsi pengambilan kebijakan belanja pemerintah. Analisis Input Output ini menggunakan tabel yang digunakan sebagai metode dalam analisisnya, tabel tersebut merupakan tabel Input Output. Wassily W. Leontief, membuat alat analisis yang dimaksud di atas, yang disebut sebagai Analisis Input–Output, yang memberikannya Nobel di bidang Ekonomi pada tahun 1973. Tabel Input–Output merupakan sebuah model dari hubungan antar industri dalam perekonomian, menganalisis proses input dari suatu industri yang memproduksi output sebagai barang akhir dan output sebagai input dari industri lain maupun dari industri itu sendiri. Dapat disimpulkan bahwa industri-industri yang ada dalam suatu perekonomian saling terkait satu dengan lainnya. Analisis Input–Output digunakan sebagai kerangka kerja untuk koordinasi dan pemeriksaan konsistensi konsep serta statistik dari neraca dan untuk menyediakan detail utama untuk analisis industri, produk, dan hubungan ekonomi lainnya. Sejak kontribusi pertama oleh Leontief (1951) dan Isard (1951), Tabel Input–Output antar daerah telah menjadi alat utama untuk menganalisis hubungan dari industri-indusrti yang ada. Tabel Input–Output Internasional, perluasan dari
10
Tabel Input–Output antar daerah dalam konteks internasional, juga berkontribusi untuk menganalisis berbagai macam isu dalam perekonomian. Tabel Input–Output pertama adalah Tabel Kanada–AS 1949 yang dibuat oleh Wonnacott (1961). Institute of Developing Economies (IDE) juga telah memulai penelitian di awal tahun 1960an untuk membangun Tabel Input–Output Internasional yang menghubungkan negara maju dengan negara berkembang dengan tujuan untuk menyediakan alat analisis bagi berbagai macam isu perekonomian, seperti misalnya perdagangan wilayah utara–selatan. Di tahun 1965 IDE berhasil membangun Tabel Input–Output Internasional tahun 1958, yan terdiri dari enam negara (Eropa, Amerika Utara, Amerika Latin, Asia, Oseania, dan Jepang) dan tujuh industri (Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, Pertambangan, Tekstil, Bahan Kimia, Logam dan Produk Logam, Manufaktur lainnya, Jasa). Meskipun di tabel pertama ini terdiri dari sektor industri yang sangat umum, dan didasarkan pada asumsi-asumsi yang sangat ketat karena keterbatasan data, (perbedaan dari tahun acuan tabel yang digunakan suatu negara), namun upaya ini menjadi kontribusi yang dapat dikembangkan di masa depan untuk penyusunan tabel Input–Output Internasional di IDE pada tahun-tahun berikutnya. Sebagai tambahan, penyelidikan teoritis pada Tabel Input–Output Internasional yang dibangun IDE punya landasan lain, yakni proyek atas kumpulan dan evaluasi dari informasi statistik di negara–negara Asia diselenggarakan sebagian besar di tahun 1960an. Pada 1960an IDE menyalurkan kumpulan atau estimasi dari berbagai informasi statistik (perdagangan, produksi, konsumsi) negara–negara di Asia. Namun, proyek ini mengalami kesulitan karena kurangnya
11
informasi dan perbedaan besar dari data yang dikumpulkan atau diperkirakan. Dengan maksud untuk mengevaluasi dan memperbarui kualitas data–data statistik tersebut, IDE mencoba untuk mengkompilasi tabel neraca material dengan lembaga statistik atau penelitian lokal. Kumpulan tersebut menjadi pengalaman yang bernilai untuk membangun Tabel Input–Output Internasional sebagaimana tabel tersebut dikontribusikan untuk meningkatkan ketersediaan informasi statistik serta membangun hubungan kolaborasi dengan institusi lokal. Tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh IDE, Center for Economic and Social Studies in Asia (CESSA) juga membangun Tabel Global Input–Output (GIO) untuk masa 14 tahun sejak 1997 sampai 2010 dengan dua standar nilai acuan: 2000 dan 2005, dengan 35 industri, 27 negara endogen, dan 61 negara eksogen.2 Dalam makalahnya, CESSA membangun daftar baru untuk mengukur luas derajat kejutan transmisi dalam kaitan dengan Input Antara dan Nilai Tambah Muatan. Indonesia juga masuk ke dalam dua puluh tujuh negara endogen yang diteliti oleh CESSA. Pada salah satu tabel dalam makalah CESSA yakni tabel Simultaneous Shock Transmission Index (SSTI) untuk barang antara pada 2009. Ekspor semua manufaktur oleh Indonesia terhadap dunia tidak dipengaruhi oleh negara-negara lain, namun sangat dipengaruhi oleh negara Indonesia itu sendiri. Terbukti dengan 126.2, yakni angka yang menunjukkan besarnya ketergantungan suatu negara dalam pengadaan barang input antara, adalah angka untuk Indonesia dengan domestiknya sendiri. Semua negara di Asia dalam tabel, kecuali Indonesia dan
2
Negara Endogen berarti negara-negara yang dijelaskan dengan hubungan antara fungsi melalui modelnya. Negara Eksogen berarti negara-negara yang tidak dijelaskan dengan hubungan antara fungsi melalui modelnya.
12
India, terintegrasi erat dengan Jepang dan China sepanjang rantai produksi, dengan pengadaan barang input antara yang besar dari Jepang dan India (CESSA, 2012). Di Indonesia, tabel Input Ouput mulai dikenal pada akhir Pelita I. Lembaga yang pertama kali menyusun tabel Input Output Indonesia tahun 1969 adalah LIPI, namun karena keterbatasan data yang tersedia pada saat itu, metode yang digunakan berupa metode tak langsung (non survey method). Badan Pusat Statistik (BPS) kemudian bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Institute of Developing Economics (IDE) melakukan penyusunan tabel Input Output dengan metode langsung (survey method) untuk tabel Input Output Indonesia tahun 1971. BPS selanjutnya menyusun tabel Input Output Indonesia secara berkala, dan hingga saat ini telah disusun tabel Input Output untuk tahun 1971, 1980, 1985, 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2008 (BPS). Dari penjelasan tersebut di atas, pendekatan dengan analisis keterkaitan dan dampak sangat dibutuhkan pada perekonomian tidak hanya untuk suatu negara namun juga untuk perekonomian secara global. Dengan data pada tabel Input– Output Indonesia tahun 2008, dapat dilihat perekonomian Indonesia dengan analisis Input–Output. Dapat diketahui sektor apa yang bisa menjadi unggulan dalam perekonomian Indonesia, apakah investasi di bidang transportasi dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia, hal ini dapat terlihat dengan menggunakan analisis dan tabel Input–Output. Dengan demikian dapat digunakan sebagai pilihan dalam pengambilan kebijakan terkait dengan sektor-sektor yang ada di dalam perekonomian.
13
Penelitian ini fokus untuk mengetahui dampak belanja pemerintah Indonesia pada sektor transportasi bagi perekonomian nasional, agar dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan pemerintah.
1.2 Perumusan Masalah Dengan penjelasan proyek infrastruktur di atas, penelitian ini fokus untuk melihat secara lebih jelas mengenai transportasi di Indonesia. Pembangunan infrastruktur tahun anggaran 2015 memiliki anggaran terbesar sejak lima tahun terakhir dan diharapkan dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi untuk menekan kemiskinan, menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan output, serta meningkatkan pendapatan. Di sisi lain, kita tidak tahu secara pasti, seberapa besar dampak dari belanja pemerintah di sektor infrastruktur, khususnya pada subsektor transportasi bagi penciptaan output perekonomian nasional, pendapatan masyarakat, dan penciptaan lapangan pekerjaan. Dengan demikian perumusan masalah penelitian ini adalah belum diketahuinya dampak belanja pemerintah pada sektor transportasi bagi penciptaan output nasional, pendapatan masyarakat, serta penciptaan lapangan pekerjaan.
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Seberapa besar dampak belanja pemerintah di bidang transportasi bagi penciptaan output nasional? 2. Seberapa besar dampak belanja pemerintah di bidang transportasi bagi pendapatan masyarakat?
14
3. Seberapa besar dampak belanja pemerintah di bidang transportasi bagi penciptaan lapangan pekerjaan?
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak belanja oleh pemerintah di sektor transportasi pada: 1. penciptaan output nasional, 2. pendapatan masyarakat, 3. serta penciptaan lapangan pekerjaan.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan seberapa besar pengaruh dari investasi oleh pemerintah Indonesia pada sektor infrastruktur, khususnya bidang transportasi, dengan juga menunjukkan efek angka pengganda pada sektor-sektor yang terpengaruh apabila sektor transportasi berubah. Selanjutnya investasi pada transportasi dapat menggerakan roda perekonomian Indonesia menjadi lebih baik, mengurangi tingkat kemiskinan, dan menaikkan pendapatan. Dengan memberi manfaat seperti yang telah disebutkan, maka diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan kebijakan dan untuk perencanaan ekonomi nasional. Penelitian ini juga dapat dikembangkan dengan dijadikan sebagai bahan referensi bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
Manfaat lainnya juga untuk
memberikan pengetahuan baru mengenai Input–Output Indonesia dari kacamata global melalui data yang tersedia.
15
1.6 Sistematika Penelitian Penelitian ini ditulis dalam empat bab dengan rincian sebagai berikut. 1. Bab I: Pendahuluan Bab I terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. 2. Bab II: Tinjauan Pustaka dan Penelitian Terkait Bab II menjelaskan tentang tinjauan pustaka dan penelitian terkait yang merupakan landasan kerja dan teori dari penulisan ini. 3. Bab III: Metodologi Bab III menjelaskan data dan model yang digunakan dalam penelitian ini. 4. Bab IV: Analisis Bab IV memberikan analisis pengolahan data. 5. Bab V: Kesimpulan & Saran Bab V menyimpulkan penelitian ini dan merangkum implikasi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah, serta saran untuk penelitian-penelitian terkait selanjutnya.