BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pembiayaan suatu Negara sangatlah bergantung kepada besarnya
penerimaan pajak. Pajak merupakan fenomena umum sebagai sumber penerimaan negara yang berlaku di berbagai Negara. Penerimaan pajak adalah faktor penting dalam berjalannya roda pemerintahan dan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat. Adapun lembaga yang ditunjuk untuk mengelola perpajakan negara adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada dibawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia, yang mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Dengan mengetahui manfaat mekanisme perpajakan, diharapkan tingkat kepatuhan masyarakat dapat meningkat. Dan kemudian akan meningkatkan jumlah penerimaan pajak penghasilan Badan. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maka pajak merupakan sumber penerimaan utama bagi suatu negara dalam hal ini adalah pemerintah.
1
2
Kenaikan penerimaan sektor pajak dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa terdapat potensi besar di sektor perpajakan. Kenaikan penerimaan pajak ini tentu akan turut meningkatkan penerimaan kas negara yang dapat digunakan sebesar – besarnya untuk pembangunan nasional. Jika dibandingkan dengan jenis pajak lainnya, pajak penghasilan memiliki proporsi paling besar. Populasi masyarakat indonesia yang sangat banyak menjadikan potensi pajak yang sangat tinggi, namun kewajiban setiap warga negara dalam membayar pajak masih sangat rendah. Hal ini menjadi tugas pemerintah sebagai penyelenggara pajak untuk terus melakukan sosialisasi pajak, serta menemukan terobosan – terobosan yang dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Pada umumnya Wajib Pajak ada kecenderungan untuk melakukan penghindaran dalam pembayaran pajak. Kecenderungan melakukan penghindaran oleh Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya lebih banyak terjadi, karena di indonesia menggunakan sistem self assessment. Sejak tahun 1983 sistem pemungutan pajak di indonesia berubah dari official assessment system menjadi self assessment system. Sistem self assessment diterapkan atas dasar kepercayaan pihak otoritas pajak kepada Wajib Pajak. Dimana, masyarakat atau Wajib Pajak memiliki independensi terhadap perhitungan, pengisian, dan pelaporan perpajakannya. Wajib Pajak harus dapat memahami bahwa penerimaan pajak memiliki peranan penting dalam menunjang kinerja pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. Konsekuensi dari sistem ini adalah Direktorat Jenderal Pajak berkewajiban melakukan pelayanan, pembinaan, dan penerapan
3
sanksi pajak (Sari, 2010). Ada banyak upaya yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak agar sistem self assessment dapat berjalan dengan efektif. Salah satunya adalah dengan melakukan intensifikasi penerimaan pajak. Menurut SE06/PJ.09/2001, intensifikasi adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan dalam administrasi DJP, dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi Wajib Pajak. Hal ini dapat ditempuh dengan cara meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, dan pembinaan Wajib Pajak, pengawasan administratif, pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pasif dan aktif, serta penegakan hukum (Sari, 2010). Transparasi juga merupakan faktor penting agar sistem self assessment ini dapat berjalan ekfektif. Banyak jumlah Wajib Pajak yang terdaftar tentunya secara otomatis akan meningkatkan penerimaan pajak yang akan diperoleh. Walaupun, sebenarnya banyak jumlah Wajib Pajak Badan belum tentu mengindikasikan bahwa penerimaan pajak, khususnya penerimaan pajak penghasilan Badan dapat meningkat, terutama untuk periode – periode selanjutnya. Logikanya setiap meningkatnya jumlah Wajib Pajak Badan maka akan diiringi dengan meningkatnya jumlah penerimaan pajak penghasilan Badan yang signifikan. Jumlah Wajib Pajak Badan yang sepertinya ini lah yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak penghasilan Badan pada masa – masa berikutnya. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, jumlah Wajib Pajak yang terdaftar secara nasional adalah sebagai berikut:
4
Tabel 1.1 Jumlah Wajib Pajak Terdaftar Nasional Jumlah Orang Badan Bendahara Jumlah Wajib Pajak Pribadi 2009 13.949.750 1.580.287 434.355 15.964.392 2010 17.327.184 1.737.459 467.984 19.532.627 2011 19.913.904 1.942.811 507.844 22.364.559 2012 22.131.323 2.136.014 545.232 24.812.569 2013 23.082.822 2.218.573 555.995 25.857.390 Sumber: Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2009-2013 (Data Diolah Kembali). Berdasarkan berita dari media elektronik Metrotvnews.com, Jakarta: “...Presiden Joko Widodo menyoroti jumlah Wajib Pajak banyak yang tidak menyampaikan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak. Padahal, yang terdaftar menjadi WP ada sebanyak 25 juta lebih. “total Wajib Pajak ada 25 juta sedangkan yang menyampaikan SPT hanya 17 juta, dan hanya 10 juta atau 60 persen.” Tegas pria yang disapa Jokowi ini, di kantor Presiden, Jakarta, Kamis (30/10/2014). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), hingga 2013 total jumlah Wajib Pajak terdaftar 25.857.390. Dimana WP badan sebanyak 2.218.573, serta WP bendahara sebanyak 555.995. Adapun jumlah terbanyak ada di WP orang pribadi yang tercatat sebesar 23.082.822 yang masih didominasi karyawan. Peningkatan jumlah WP ini tidak signifikan dibandingkan dengan potensi warga berpenghasilan di atas PTKP sekitar 60 juta. Di sisi lain, Jokowi menyoroti para Wajib Pajak ini dalam rangka mengoptimalisasikan pendapatan negara melalui pajak. Dia menegaskan hal-hal yang berkaitan dengan perpajakan. Dari segi potensi masih mempunyai peluang besar. “Sehingga itulah yang harus kita kerjakan. Kalau dilihat dari rasio sepuluh tahun terakhir hanya naik 0,1 persen. Sejak 2005-2013. Penerimaan pajak tidak pernah tercapai. Kemudian juga tax coverage rasio hanya 53 persen.”jelas Jokowi.
Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana Wajib Pajak Badan merupakan penyumbang bagi sektor penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan. Badan adalah sekumpulah orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer,
5
perseroan lainnya, BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 2 UU No. 28 Tahun 2007). Untuk mencapai target pajak, perlu ditumbuhkan selalu kesadaran dan kepatuhan masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan pajak, maka perlu secara intensif dikaji tentang faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak, khususnya Wajib Pajak Badan. Seperti data pada Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), menunjukkan ketidakpatuhan Wajib Pajak terdaftar dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh yang akan berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan pajak. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 1.2 Rasio Kepatuhan Penyampaian SPT PPh Tahunan 2009-2013 WP Terdaftar
SPT Tahunan
Wajib SPT
PPh
2009
9.996.620
5.413.114
54,14%
2010
14.101.933
8.202.309
58,16%
2011
17.694.317
9.332.626
52,74%
Uraian
Rasio Kepatuhan
6
2012
14.011.210
8.002.210
57,11%
2013
19.813.914
9.921.066
50,07%
Jumlah
75.617.994
40.871.325
54,04%
Sumber : Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2009-2013 (Data Diolah Kembali)
Dapat diketahui dari Tabel 1.2 diatas rasio kepatuhan penyampaian SPT PPh mengalami penurunan setiap tahunnya menjadi 50,07% Tahun 2009-2013 mengalami perbedaan antara Wajib Pajak terdaftar Wajib Pajak SPT dan SPT Tahunan PPh yang diterima. Dalam laporan tersebut, terdapat kesenjangan antara Wajib Pajak terdaftar SPT dan kepatuhan dalam penyampaian SPT Tahunan PPh. Dengan kata lain menandakan bahwa masih rendahnya kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan SPT tahunan. Ketidakpatuhan wajib pajak timbul karena Pertama, Wajib Pajak tidak mempunyai pengetahuan perpajakan yang memadai, karena kurangnya sosialisasi dan pengawasan dari petugas kantor pajak untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak dalam mematuhi kewajiban perpajakannya, sehingga Wajib Pajak secara tidak sengaja tidak melakukan kewajiban perpajakannya (tidak mendaftarkan NPWP, tidak menyampaikan SPT, dan lain-lain). Kedua, melakukan kewajiban perpajakan tetapi tidak sepenuhnya benar (membayar dan melaporkan pajak tidak tepat waktu). Ketiga, kurangnya sanksi tegas dari petugas pajak, sehingga bagi Wajib Pajak ada celah untuk melakukan kecurangan. Dan Keempat, Wajib Pajak yang berusaha patuh namun karena kualitas pelayanan kantor pajak yang kurang
7
baik atau pelayanan yang lambat, sehingga banyak Wajib Pajak tidak ingin berurusan dengan birokrasi dan peraturan yang rumit. Berdasarkan data Ditjen Pajak, menunjukkan bahwa penerimaan perpajakan terhadap pendapatan negara setiap tahunnya berada diatas 65%, ini dapat diartikan bahwa peranan pajak sangat penting dalam pembiayaan penyelenggaraan
pemerintah dalam pembangunan suatu negara. Untuk tahun
2009 terdapat 73% penerimaan pajak terhadap pendapatan negara, meskipun mengalami peningkatan yang ditunjukkan pada tabel berikut: Tabel 1.3 Kontribusi Penerimaan Pajak Terhadap Pendapatan Negara (dalam triliun rupiah) Pendapatan
Penerimaan
Tahun
Presentase Negara
Perpajakan
2009
848,8
619,9
73%
2010
995,3
723,3
72,7%
2011
1.210,6
873,9
72,2%
2012
1.338,1
980,5
73,3%
2013
1.429,5
1.072,1
76,8%
Sumber : Nota Keuangan dan APBN-P Anggaran Tahun 2009-2013 (Data Diolah Kembali)
Penerimaan perpajakan setiap tahunya selalu mengalami perbedaan antara penerimaan perpajakan yang telah dianggarkan dengan realisasinya. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari Tabel 1.4 berikut yang memberikan gambaran
8
mengenai realisasi penerimaan pajak terhadap APBN-P pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2013. Tabel 1.4 APBN-P Dan Realisasi Penerimaan Perpajakan (dalam triliun rupiah) Tahun
APBN-P
Realisasi
Presentase
2009
651,7
619,9
95,51%
2010
743,3
723,3
97,30%
2011
878,7
873,9
99,45%
2012
794,5
885,6
111,46%
2013
1.148,4
1.071,1
93,26%
Sumber : Nota Keuangan dan APBN-P Tahun Anggaran 2009-2013 (Data Diolah Kembali)
Fenomena tersebut menunjukkan ketidakpatuhan Wajib Pajak Badan dalam melaporkan Surat Pemberitahuan yang akan berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan pajak. Penelitian yang dilakukan (Euphrasia Susy Suhendar, 2010) juga menyatakan bahwa peningkatan penerimaan pajak dipengaruhi oleh tingkat kepatuhan oleh tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan. Penelitian yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, telah terbukti menunjukkan bahwa ada pengaruh signifikan antara tingkat kepatuhan Wajib Pajak badan, pemeriksaan pajak, dan penghasilan badan. Penulis memandang perlu melakukan penelitian dengan tema serupa untuk mengetahui konsistensinya untuk periode pelaporan 2008 sampai dengan 2014.
9
Perlu ditumbuhkan terus menerus kesadaran dan kepatuhan masyarakat untuk mencapai target pajak. Dengan demikian jumlah Wajib Pajak dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak menjadi salah satu yang penting untuk menentukan seberapa besar pengaruh jumlah Wajib Pajak Badan dan tingkat kepatuhan berpengaruh terhadap peningkatan penerimaan yang merupakan sumber penghasilan negara. Dikutip dari Pikiran Rakyat Senin, 29 Juni 2015 : “Kantor Pajak Pratama (KPP) Soreang dan Majalaya menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 2,13 triliun atau naik drastis dari tahun lalu sejumlah Rp 1,4 triliun. Untuk itu, KPP Soreang dan Majalaya akan menyisir obyek pajak baik perorangan maupun perusahaan yang belum terdaftar sebagai Wajib Pajak”. "Secara nasional target penerimaan pajak meningkat drastis dari penerimaan pajak Rp 900 miliar menjadi Rp 1.300 triliun. Jadi 75 persen penerimaan negara di APBN berasal dari pajak," kata Kepala KPP Soreang, Yunus Pongsirante, saat pekan panutan penyampaian SPT di Bale Sawala Pemkab Bandung, Jumat (6/3/2015)”. Menurut Yunus, Kab. Bandung memiliki dua KPP yakni KPP Soreang dan KPP Majalaya dengan target KPP Soreang sebesar Rp 1,6 triliun lebih, sedangkan target KPP Majalaya lebih dari Rp 400 miliar. "Para pengamat merasa pesimistis dengan target penerimaan pajak yang naik drastis, namun kami optimistis bisa tercapai target itu," ucapnya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH JUMLAH WAJIB PAJAK BADAN DAN TINGKAT KEPATUHAN DALAM MENYAMPAIKAN SPT TERHADAP PENINGKATAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN DI KPP PRATAMA SOREANG”.
10
1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, penulis
mengidentifikasi masalah tersebut sebagai berikut: 1. Seberapa besar
pengaruh jumlah Wajib Pajak Badan terhadap
peningkatan penerimaan pajak penghasilan Badan di KPP Pratama Soreang. 2. Seberapa besar pengaruh tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan SPT terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan Badan di KPP Pratama Soreang. 3. Seberapa besar pengaruh jumlah Wajib Pajak Badan dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam menyampaikan SPT terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan di KPP Pratama Soreang.
1.3
Tujuan Penelitian Untuk mendapatkan bukti empiris mengenai : 1. Pengaruh jumlah Wajib Pajak Badan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan Badan di KPP Pratama Soreang. 2. Tingkat kepatuhan dalam menyampaikan SPT terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan Badan di KPP Pratama Soreang. 3. Pengaruh jumlah Wajib Pajak Badan dan tingkat kepatuhan dalam menyampaikan SPT terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan di KPP Pratama Soreang.
11
1.4
Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pengaruh jumlah Wajib Pajak Badan dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan di KPP Pratama Soreang. 2. Bagi pihak lainnya, sebagai acuan bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengetahui dan menambah wawasan tentang pengaruh jumlah Wajib Pajak Badan yang dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan di KPP Pratama Soreang. 3. Bagi Kantor Pelayanan Pajak Pratama, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak Badan dan kepatuhan Wajib Pajak Badan khususnya dan Wajib Pajak lainnya dalam memenuhi kewajiban perpajakan untuk meningkatkan penerimaan Negara dari sektor pajak.
1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama
Soreang yang berlokasi di Jl. Cimareme No 205, Kabupaten Bandung. Waktu penelitian dimulai sejak bulan Mei 2015 sampai dengan selesai.