BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini salah satu lembaga negara popular di Indonesia yang dikenal melalui sepak terjangnya memberantas korupsi ramai dibicarakan. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang memiliki tugas memberantas korupsi di Indonesia. KPK memiliki kewenangan yang hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi. KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, yang sebelumnya kewenangan tersebut juga dimiliki oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Sehingga dalam hal ini perlu adanya koordinasi lembaga negara baik itu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK untuk meminimalisasi terjadinya penyalahgunaan wewenang. Kewenangan yang dimiliki KPK hampir sama dengan Kepolisian dan Kejaksaan dalam perkara tindak pidana korupsi dapat menimbulkan sengketa kewenangan lembaga negara tersebut. Untuk itu apabila terjadi sengketa kewenangan lembaga negara maka lembaga negara yang merasa kewenangannya diambil alih oleh lembaga negara lain dapat mengajukan permohonan sengekata kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu sengketa kewenangan lembaga negara yang pernah terjadi dan menjadi perhatian di masyarakat adalah sengketa kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut POLRI) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang selanjutnya disebut KPK) mengenai kewenangan untuk menangani
1
2
kasus korupsi pengadaan simulator SIM. Sengketa ini disebabkan karena antara kedua lembaga negara tersebut merasa bahwa penanganan kasus korupsi pengadaan
simulator
SIM
merupakan
kewenangannya,
sehingga
telah
melaksanakan penyidikan terhadap kasus tersebut, bahkan telah menetapkan tersangka. Kasus ini semakin menjadi polemik karena melibatkan para perwira tinggi POLRI di dalamnya, bahkan KPK menetapkan beberapa perwira tinggi sebagai tersangka. Setelah polemik berkepanjangan dan atas desakan publik terusmenerus, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya mengeluarkan pernyataan untuk menengahi sengketa kewenangan antara POLRI dan KPK mengenai penanganan kasus korupsi simulator SIM tersebut. Presiden memerintahkan agar POLRI melimpahkan penanganan kasus korupsi simulator SIM pada KPK, dengan berpatokan pada ketentuan Pasal 50 ayat (3) UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Penanganan kasus yang berlarut-larut yang melibatkan KPK dan POLRI tersebut menimbulkan berbagai tanggapan oleh para ahli hukum di Indonesia, terkait dengan diselesaikannya sengketa kewenangan lembaga negara tersebut ke Mahkamah Konstitusi.1 Berkenaan dengan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi, Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (yang selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) menegaskan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus 1
Tempo, Tiga Pokok Masalah Polri vs KPK versi SBY, http://www.tempo.co/read/new, Diakses tanggal 10 Maret 2013. Lihat juga Merdeka, Perseteruan Panas Polri vs KPK di 2012, http://www.merdeka.com, Diakses tanggal 10 Maret 2013.
3
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Dalam rumusan pasal tersebut jelas tecantum bahwa salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi (MK) adalah memutus memutus sengketa kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Dalam hal ini perlu diperjelas tentang “lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD”. ”Sengketa kewenangan lembaga negara”, kata lembaga negara termuat dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD NRI Tahun 1945 belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD NRI Tahun 1945 merupakan penugasan kepada pembuat undang-undang untuk membentuk lembaga negara tersebut yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu undang-
4
undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari undang-undang. Secara definitif, lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Sedangkan secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara. 2 Proses perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah menyusun struktur ketatanegaraan baru, bahkan merubah paradigma pelaksanaan kekuasaan. Penegasan prinsip check and balance dalam pelaksanaan kekuasaan semakin membuka ruang bagi timbulnya sengketa. Oleh sebab itu, untuk lebih memperkuat prinsip konstitusionalisme, demokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, dibentuk beberapa lembaga negara baru baik melalui UUD NRI Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainya. Pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru tersebut sangat berpengaruh terhadap konsepsi lembaga negara dan hubungan lembaga negara. Dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai badan kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, yang salah satu kewenangannya menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, maka ada satu mekanisme penyelesaian sengketa lembaga negara melalui instrument pengadilan, yang diharapkan setiap sengketa dapat diselesaikan berdasarkan hukum dan 2
Firmansyah Arifin, dkk., 2005, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), Jakarta, h. 30-31.
5
peraturan perundang-undangan yang ada. Namun yang menjadi permasalahannya yaitu tentang ketentuan yuridis yang menjadi pedoman Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan kewenangannya, tidak terdapat kejelasan status lembaga negara dan lembaga-lembaga yang dapat bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Secara konseptual Negara merupakan organisasi kekuasaan. Menurut doktrin trias politica, kekuasaan negara dibagi ke dalam tiga bidang kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kekuasaan legislatif berfungsi membuat undang-undang; kekuasaan eksekutif melaksanakan undang-undang; dan kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang mengadili pelanggaran atas undang-undang.3 Ketiga bidang kekuasaan ini menurut Montesquieu harus dipisahkan satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun alat perlengkapan negara/lembaga negara yang menyelenggarakannya.4 Doktrin trias politica inilah yang juga diterapkan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, dimana kekuasaan negara dibagi ke dalam bidang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial. Masing-masing bidang kekuasaan tersebut dijalankan oleh lembagalembaga
negara
yang
ada
berdasarkan
kewenangannya
masing-masing.
Koordinasi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan kewenangannya diselenggarakan berdasarkan prinsip checks and balances, hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya monopoli kekuasaan. Meskipun setiap lembaga negara telah memiliki kewenangannya masing-masing, masih sering terjadi permasalahan mengenai sengketa kewenangan lembaga negara. Adanya permasalahan mengenai sengketa kewenangan lembaga negara di Indonesia juga ditunjukkan dengan 3
Miriam Budiardjo, 1993, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
4
Ibid.
hal. 152.
6
keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut MK), yang memiliki kewenangan konstitusional berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945. Sejarah pertama MK adalah
diadopsinya
ide
mahkamah
konstitusi
yang
diajukan
Majelis
Permusyaaratan Rakyat (MPR) sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945.5 Lembaga-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, sebagaimana yang termuat dalam UUD NRI Tahun 1945 yaitu meliputi: MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, BPK, MA, MK, Komisi Yudisial, Pemerintahan Daerah, Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Republik Indonesia. Selain itu, terdapat pula lembaga-lembaga yang bisa disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu (state auxiliary agencies) yang dibentuk berdasarkan undang-undang ataupun peraturan perundang-undangan lainya. Beberapa lembaga komisi yang telah terbentuk misalnya, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Nasional untuk Anak, dan Komisi Nasioanl Anti Kekerasan terhadap Perempuan , Komisi Ombudsman Nasional (KHN), Komisi Untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),
5
I.B. Radendra Suastama, 2011, Ideologi di Balik Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi yang Kontroversial, ESBE Buku, Denpasar, h. 22.
7
dan Komisi Kejaksaan.6 Namun di Indonesia, keberadaan lembaga-lembaga negara yang dibentuk dan diadakan itu masih belum diletakkan dalam konsepsi ketatanegaraan yang lebih jelas menjamin keberadaan dari lembaga-lembaga negara tersebut. Amandemen UUD NRI Tahun 1945, sekalipun telah merubah desain kelembagaan negara, namun hal tersebut juga tidak memberikan kejelasan terhadap keberadaan lembaga-lembaga negara tersebut. Padahal, beberapa lembaga dan komisi negara yang dibentuk di luar ketentuan UUD disebut sebagai lembaga negara. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, menyebutkan “Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenanganya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Selain itu KPK sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK dibentuk untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di seluruh Indonesia. Pembentukan KPK dikarenakan penegakan hukum dalam memberantas korupsi tidak berjalan dengan baik. Padahal korupsi di
6
Firmansyah Arifin, dkk, Op.Cit, h. 3.
8
Indonesia sudah merupakan kejahatan luar biasa karena telah meluas di seluruh Indonesia. Dampaknya jelas, negara dirugikan serta hak-hak sosial dan ekonomi masyarakatpun terabaikan. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi perlu dilakukan melalui KPK yang bersifat independen dan diberi kewenangan yang luas. Sehingga pemberantasan korupsi diharapkan dapat dilakukan secara sistematis, efektif dan maksimal, serta dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhada upaya pemberantasan korupsi. KPK merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan atributif yang diperoleh berdasarkan UndangUndang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Berkaitan dengan pihak yang boleh berperkara di MK terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara, maka hal tersebut dapat dilihat berdasarkan legal standing dari lembaga negara tersebut. Berbeda dengan perkara pengujian undang-undang, dalam sengketa kewenangan lembaga negara, legal standing pemohon haruslah didasarkan pada adanya kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD NRI Tahun 1945, legal standing diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi sebagai berikut: “Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Penentuan legal standing tersebut berkaitan dengan lembaga negara yang menjadi pihak yang boleh berperkara di MK. Menurut Jimly Asshiddiqie
9
perubahan konsep lembaga negara dikarenakan adanya perubahan UUD 1945 yang menimbulkan berbagai macam penafsiran. Beliau mengatakan bahwa lembaga yang memiliki kedudukan sama tinggi dan menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan yang bersifat primer yaitu Presiden, DPR, DPD, MPR, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan BPK. Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa selain lembaga utama yang telah disebutkan ada lembaga lain yang beragam dan secara eksplisit maupun implisit disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945, salah satunya yaitu Kejaksaan Agung yang perannya sama pentingnya dengan kepolisian yang disebutkan secara implisit dalam UUD NRI Tahun 1945. Karena alasan memiliki fungsi yang sama penting secara konstitusional, perlu dipertimbangkan pengertian yang lebih luas tentang lembaga negara yang diatur dalam konstitusi. Konstitusi dalam arti luas bukan hanya UUD secara tertulis, tetapi juga hal-hal di luar yang ditulis, dalam teks UUD, termasuk nilai-nilai, kesepakatan konvensional ketatanegaraan, yang semuanya termasuk dalam sumber Hukum Tata Negara.7 Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi dalam pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, jika dilihat kembali rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sehubungan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka 7
Manuarar Siahaan, 2011, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h. 81.
10
penggunaan istilah lembaga negara bisa mengundang berbagai penafsiran dalam melihat dan mengimplementasikan istilah lembaga negara tersebut. Hal tersebut disebabkan karena UUD NRI Tahun 1945 tidak menegaskan tentang pengertian lembaga negara dan lembaga-lembaga mana saja yang merupakan lembaga negara yang memiliki kedudukan hukum dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa kewenanan lembaga negara . Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksud dengan lembaga negara. Dengan demikian telah terjadi kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang tidak dijelaskan lebih lanjut baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka penulis mengangkat masalah ini dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis yang berjudul “Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi”. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memiliki legal standing sebagai Lembaga Negara yang bisa menjadi Pihak dalam Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945?
11
2. Apakah Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK terkait dengan legal standing KPK yang berperkara di Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan yang memuat gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara? 1.3.
Orisinalitas Penelitian Usulan penelitian tesis ini murni merupakan hasil dari pemikiran penulis. Dalam penyusunan usulan penelitian ini penulis bekerja berpedoman pada peraturan perundang-undangan terkait dengan buku-buku serta beberapa artikel yang terdapat dalam internet. Adapun tesis yang menurut penulis hampir sama dengan penelitian ini yaitu: a. Tesis dengan judul “Sinergi Antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Tesis ini ditulis oleh Hendar Rasyid Nasution mahasiswa Program Studi Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2010. Tesis ini secara garis besar membahas tentang Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan bagaimana sinergi tugas , fungsi dan wewenang KPK, Kejaksaan dan Kepolisian dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dalam kasus BLBI. Sedangkan tesis yang penulis susun lebih memfokuskan tentang kedudukan hukum yang dimiliki oleh KPK sebagai lembaga negara yang dapat berperkara di Mahkamah Konsitusi serta menelaah tentang penyatuan kewenangan penyidikan
12
dan penuntutan yang ada di tangan KPK agar tidak bertentangan dengan gagasan perlindungan hak-hak warga negara, mengingat di Indonesia terdapat pembagian kekuasaan menjadi eksekutif, legislatif dan yudisial. b. Selanjutnya terdapat juga kajian mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dikemukakan oleh I Nyoman Sujana dengan judul Wewenang Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK) Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar tahun 2007. Tesis ini menelaah tentang Penyidikan Tindak Pidana Korupsi dengan melihat bagaimanakah hubungan koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan penegak hukum lainnya dalam memberantas tindak pidana korupsi dan bagaimana bentuk pengawasan terhadap KPK. Sedangkan dalam penelitian ini penulis lebih membahas persoalan tentang legal standing atau kedudukan hukum KPK dalam sengketa kewenangan lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi dan juga menelaah tentang Penyatuan Kewenangan Penyidikan dan Penuntutan di tangan KPK sesuai dengan Gagasan Perlindungan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. c. Selain itu ada juga tesis dengan judul “Pluralisme dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Program Magister Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar tahun 2006. Tesis ini menelaah tentang Penyidikan Tindak
13
Pidana Korupsi dengan melihat bagaimana sinkronisasi dan koordinasi penyidikan dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang dilakukan Polisi, Jaksa, dan KPK di Indonesia dan cara penyelesaiannya, sedangkan dalam penelitian ini penulis juga mengangkat tentang hubungan antara kepolisian, kejaksaan dan KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia tetapi dalam penelitian ini penulis lebih menekankan kepada aspek ketatanegaraannya yaitu apakah KPK memiliki kedudukan hukum dalam berperkara di Mahkamah Konstitusi dalam sengketa kewenangan lembaga negara menurut UUD NIR Tahun 1945. 1.4.
Landasan Teoritis Dalam rangka pemecahan masalah yang diuraikan dalam rumusan masalah, akan dipergunakan beberapa teori dan pendapat-pendapat para ahli tentang hukum dan juga beberapa konsep yang terkait dalam penelitian ini. Uraian tentang konsep yang digunakan dalam penelitian ini diperlukan agar tidak timbul perbedaan pemahaman terhadap beberapa istilah atau terminologi yang digunakan dalam penelitian ini. Berikut akan diberikan teori-teori dan pengertian atau konsep dari istilah atau terminologi dalam penelitian ini yaitu: yaitu Teori Negara Hukum, Teori Hans Kelsen tentang Organ Negara (General Theory of Law & State), Teori Pemisahan Kekuasaan, dan Teori Kewenangan, Konsep Legal Standing, Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara.
14
1.4.1. Landasan Teori a. Teori Negara Hukum Pada jaman modern dikenal dua Konsep negara hukum yaitu konsep negara hukum
Eropa Kontinental
yang disebut
dengan
“rechtsstaat” dan konsep negara hukum anglo saxon yang disebut dengan “Rule of Law”. Teori negara hukum Anglo Saxon dikembangkan oleh A.V Dicey yang menguraikan tiga ciri penting dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah “The Rule Of Law” yaitu: 1. Supremacy of Law. 2. Equality before the law. 3. Due Process of Law8 Teori negara hukum Eropah Kontinental pada jaman modern ini dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sebagaimana saat awal dikembangkannya, pada Abad Ke19, Rechsstaat mengandung pengertian sebagai “suatu negara yang diatur menurut hukum nalar” (a state governed by the law of reason), suatu konsep yang menekankan kebebasan, persamaan, dan otonomi dari tiaptiap individu di dalam kerangka suatu tertib hukum yang ditentukan oleh undang-undang dan dijalankan oleh pengadilan yang independen. Dalam
8
Moh, Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media Pratama, Jakarta, h. 3
15
makna demikian, Rechsstaat juga sangat menekankan pentingnya kepastian hukum.9 Rule of Law (Rechtsstaat) mengandung pengertian yang jauh lebih mendalam yakni bahwa setiap orang terikat oleh hukum, termasuk pemerintah, bukan semata-mata karena hukum itu dibuat oleh mereka yang berwenang membuatnya dan telah diundangkan tetapi hukum itu sendiri harus baik dan adil.10 Jadi, paham Rechsstaat Jerman di Abad ke 19 itu dikatakan bersifat positivistic karena memandang undang-undang (statute law) sebagai hukum tertinggi (supreme law) sebab dinilai sebagai cerminan dari kehendak rakyat, sementara kehendak rakyat adalah basis utama gagasan Rechsstaat itu.11
Tujuan utama lahirnya konsep rechsstaat ialah bagaimana membatasi kekuasaan itu agar tidak menjadi sewenang-wenang. Untuk membatasi
kekuasaan
tersebut
muncullah
berbagai
pandangan
sebagaimana dikemukakan oleh J.J. Rosseau, Jhon Locke, maupun Montesquieu yaitu membagi atau memisahkan kekuasaan itu. Dengan membagi kekuasaan ke dalam tiga cabang kekuasaan, yakni kekuasaan legislatif atau kekuasaan membentuk undang-undang, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan yudisial atau kekuasaan kehakiman (mengadili), maka diharapkan penyelenggaraan pemerintahan itu bisa dijalankan sesuai dnegan tuntutan rakyat yang 9
I Dewa Gede Palguna, 2013, Pengaduan Konstitusional (Constitutional complaint) Upaya hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Sinar Grafika, Jakarta, h. 80. 10 Ibid, h. 24. 11 Ibid, h. 85.
16
bertumpu kepada adanya egalite (kesamaan), liberte (kebebasan), dan fraterrite (kemanusiaan).12 Menurut Jimlly Asshiddiqie ada 12 prinsip pokok yang menjadi pilar utama penyangga negara hukum:13 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Supremasi hukum (supremacy of law) Persamaan dalam hukum (equality before the law) Asas legalitas (due process of law) Pembatasan kekuasaan. Organ-organ pendukung yang independen. Peradilan bebas dan tidak memihak. Peradilan tata usaha negara. Peradilan tata negara (constitutional court). Perlindungan Hak Asasi Manusia. Bersifat demokratis (democratische rechsstaat). Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara ( welfare rechsstaat). l. Transparansi dan kontrol sosial. Dalam kenyataannya, isi aturan hukum tidak selalu berupa penuangan pikiran-pikiran ideal yang dikemukakan oleh ahli hukum, melainkan berupa apa yang ditetapkan sebagai aturan di dalam konstitusi atau
peraturan
perundang-undangan
lainnya.
Adakalanya
orang
menyalahkan suatu aturan hukum karena aturan itu tidak sesuai dengan pikiran ideal atau tak sesuai dengan teori. Padahal, apapun yang dituangkan di dalam bentuk dan dengan cara tertentu oleh pembentuk hukum itulah yang sebenarnya hukum yang berlaku, termasuk hukum tata Negara.14 Berdasarkan penjelasan umum angka 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menyatakan bahwa Negara 12
Aminudin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Kencana, Jakarta, h. 58. Ibid, h. 107-110. 14 Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, h. 134. 13
17
Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Hal ini juga diperjelas melalui amandemen ke 3 UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai Negara hukum maka Negara kita harus lebih mementingkan hukum diatas segalanya. Konsep Negara dengan supremasi hukum yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia mengedepankan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi yang harus dipakai sebagai rujukan semua peraturan perundang-undangan di bawahnya. Sehingga dalam tesis ini penulis lebih menggunakan teori negara hukum dengan konsep Rechsstaat yang menekankan kepada adanya pembatasaan kekuasaan atau bagaimana kekuasaan itu dibatasi sehingga tidak menjadi sewenang-wenang serta harus berlandaskan atas supremasi konstitusi. b. Teori Tentang Organ Negara Teori tentang organ negara dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law & State. Teori tentang organ Negara diperlukan dalam penelitian ini yaitu untuk membahas permasalahan yang penulis kemukakan dalam penelitian ini yaitu yang berkaitan dengan legal standing KPK sebagai lembaga negara yang menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi menurut UUD 1945. Dengan menggunakan teori tentang organ negara penulis dapat memaparkan organ Negara/lembaga Negara apasaja yang dapat berperkara di Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa
18
kewenangan lembaga negara. Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.15 Hans Kelsen dalam bukunya berjudul General Theory of Law & State, menjelaskan tentang organ negara sebagai berikut: Whoever fulfills a function determined by the legal order is an organ. The functions, be they of norm-creating or of a normapplying character, are all ultimately aimed at the execution of legal sanction. The parliament that enacts the penal code, and the citizens who elect the parliament, are organs of the State, as well as the judge who sentences the criminal and the individual who actually executes the punishment.16 Selanjutnya, Hans Kelsen juga memaparkan lebih lanjut bahwa: The organ of the state, in this narrower sense, are called officials. Not every individual who actually function as an organ of the State in wider sense holds the position of an official.17 Lebih Lanjut, Hans Kelsen juga menjelaskan tentang pembentukan negara yaitu: The State acts only through its organs. This often expressed and generally accepted truth means that the legal order can be created and applied only by designated by the order itself. An organ may be "created" by appointment, election or lot. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Hans Kelsen tentang organ negara, bahwa negara bertindak hanya melalui organ-organnya. Setiap organ-organ negara tersebut memiliki fungsi-fungsi sendiri dalam menjalankan pemerintahan. Organ negara sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen dalam arti sempit adalah pejabat, sehingga tidak setiap individu dapat dikatakan sebagai organ negara. Di Indonesia organ negara
15
Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 30. Hans Kelsen, 1949, General Theory of Law & State, (with a new introduction by A. Javier Trevino), Mass: Harvard University Press, Cambridge, Page. 192. 17 Ibid, h. 193. 16
19
dapat dibagi menjadi tiga kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudisial. Ketiga bidang kekuasaan tersebut merupakan bagian dari organ negara yang dalam hal ini dapat dikatakan sebagai pejabat negara. c. Teori Pemisahan Kekuasaan Teori pemisahan kekuasaan dikemukakan oleh Montesquieu. Teori pemisahan kekuasaan digunakan untuk memecahkan permasalahan yang penulis bahas dalam penulisan penelitian ini yaitu tentang penyatuan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki KPK agar tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara yang memuat gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Dengan menggunakan teori pemisahan kekuasaan penulis dapat memaparkan dengan jelas tentang pemisahan kekuasaan negara serta memaparkan tentang kewenangan KPK yang tidak bertentangan dengan gagasan perlindungan hakhak konstitusional warga negara. Dalam rangka penyelidikan tentang sumber kewenangan pejabat administrasi negara dalam bentu peraturan kebijakan, dengan sendirinya akan bersinggungan dengan teori-teori ketatanegaraan modern khususnya teori pendistribusian kekuasaan negara. Dalam teori ketatanegaraan
yang
modern,
ada
beberapa
macam
teori
tentang
pendistribusian kekuasaan. Salah satu diantaranya adalah teori Trias Politica yang sering disebut dengan Teori Pemisahan Kekuasaan. Mark Ryan dalam bukunya yang berjudul: Unlocking Constitutional & Administrative Law, menjelaskan bahwa Montesquieu mengemukakan terdapat
20
pemisahan kekuasaan negara yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudisial, sebagai berikut: “Montesquieu was concerned with avoiding a concentration of state power and ensuring that this power was limited. Although the principle of dividing the various functions and powers of the state predates Montesquieu, his description of the three branches of government, namely the legislature, executive and judiciary, has a modern resonance”.18 Selanjutnya Helen Fenwick dalam bukunya yang berjudul: Text, Caces & Materials on Public Law & Human Rights, juga membahas hal yang serupa tentang pemisahan kekuasaan yaitu: “Reduced to its bare essentials, the doctrine of the separation of powers identifies three main organs of government – the legislature, the executive and the judiciary – and demands first thet each should be separete and to an extent independent of each other, and secondly that each organ should be vested with only one main function of government”.19 Lebih lanjut Montesquieu sebagaimana dikutip oleh Hillaire Barnett dalam buku Constitutional & Anministrative Law mengemukakan bahwa: “When tha legislative and executive powers are unitedin the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty… Again, there is no liberty if the power of judging is nor separeted from the legislative and executive. If it were joined with the legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would than be the legislator. If it were joined to the executive power, the judge might behave with violence and oppression. There would be an end to everything, if the same man, or the same body, whether of the nobles or the people, were to exercise those threepowers, that of enacting laws, that of executing public affairs, and thet of trying crimes or individual causes”.20 Montesquieu mengemukakan bahwa pada dasarnya dalam setiap pemerintahan ada tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial.
18
Mark Ryan with contributioan from Stave foster, 2010, Unlocking Constitutional & Administrative Law, 2nd edition, Hodder Education an Hachette UK compay, London, Page 60-61. 19 Helen Fenwick, and Gavin Phillipson, 2006, Text, Caces & Materials on Public Law & Human Rights, second edision, Cavendish Publishing Limited, London, Page 103. 20 Hillaire Barnett, 2011, Constitutional & Anministrative Law, eighth edision, Routledge Taylor & Francis Group, London and New York, Page 81.
21
Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan untuk membentuk undnag-undang. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang. Kekuasaan yudisial merupakan kekuasaan yang bertugas menindak setiap perbuatan yang melanggar (perintah) undang-undang.21 Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial itu samasama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances ini maka kekuasaan Negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dnegan sebaikbaiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara Negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga Negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebik-baiknya. Di Indonesia, kekuasaan juga terbagi menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial. Hal tersebut tertuang dalam pembagian bab-bab dalam UUD 1945 yang menyebutkan: Bab III tentang kekuasaan pemerintahan negara (Eksekutif); Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif); dan Bab IX tentang kekuasaan kehakiman (Yudisial). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UUD NRI Tahun 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan dalam arti materiil (separation of power), melainkan menganut pemisahan kekuasaan dalam arti formal (division of power) yang lebih dikenal dengan pembagian kekuasaan negara. Dalam teori 21
Hotma P. Sibuea, 2010, Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan, dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Erlangga, Jakarta, h. 108-109.
22
pemisahan kekuasaan, masing-masing cabang kekuasaan Negara, yaitu legislatif, eksekutif dan yudisial berada ditangan lembaga yang berbeda. Hal tersebut memberikan kesan bahwa tidak ada pengawasan oleh suatu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan negara yang lain. Hak tersebut dikarenakan baik fungsi dan kelembagaan masing-masing ketiga kekuasaan negara tersebut terpisah. Namun dalam kenyataannya, di dalam praktek penyelenggaraan negara modern, kerja sama di antara lembaga-lembaga negara justru merupakan hal yang mutlak harus ada karena tanpa kerja sama, masing-masing lembaga negara akan berjalan sendiri-sendiri sehingga tidak mustahil Negara akan semakin jauh menyimpang dari tujuan negara yang hendak diwujudkan. Disamping itu akan terjadi pula kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang diakibatkan karena tidak adanya koordinasi dan kerjasama antara lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainya. d. Teori Kewenangan Teori kewenangan penulis gunakan untuk membahas permasalahan tentang penyatuan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki KPK agar tidak bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara yang memuat gagasan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Teori kewenangan penulis gunakan untuk memahami tentang kewenangan yang dimiliki KPK sebagai lembaga negara terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara.
23
Suatu negara yang berdasarkan atas hukum, maka tidak dapat dipungkiri bahwa asas legalitas menjadi dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahannya. Begitu pula di Indonesia yang dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Ketentuan pasal ini merupakan penegasan bahwa Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum dan menjunjung asas legalitas dalam setiap penyelenggaraan pemerintahannya. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 adalah kekuasaan negara yang berada pada alat kelengkapan negara harus dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang telah ditetapkan, atau dengan kata lain penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan legitimasi, yaitu wewenang yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. F.A.M. Stroink mengemukakan pembahasan kewenangan merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara (hukum publik). Dalam Hukum Tata Negara kewenangan dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum (teehtement) atau yang berkaitan dengan kekuasaan.22 Sedangkan menurut Robert Bierstedt, wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan).23 Bagir Manan berpendapat bahwa wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya mengambarkan hak 22
Agus Budi Susilo, 2007, Kontrol Yuridis PTUN dalam MenyelesaikanSengketa Tata UsahaNegara di Tingkat Daerah, dalam Jurnal Hukum No. 1 Vol. 14 Januari 2007, h. 71, yang dikutip dari Philipus M.Hadjon dalam tulisannya di Gema Peratur Tahun VI No.12 Agustus 2000, MARI Lingkungan Peratun, hal. 103. 23 Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, hal. 16.
24
untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban.24 Kewenangan adalah merupakan wujud nyata dari kekuasaan, dan kekuasan menurut Miriam Budiarjo adalah kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.25 Kekuasaan negara berdasarkan ajaran Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial. Kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function).26 Dari klasifikasi yang dibuat oleh Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan modern dalam 3 (tiga) fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).27 Tujuan dari teori trias politica, menurut Montequieu adalah untuk mewujudkan kemerdekaan individu dan kebebasan hak asasi manusia, karena hal itu akan dapat terwujud apabila ketiga kekuasaan negara tidak dipegang
24
Ridwan H.R., Ridwan H.R., 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Jakarta : Rajawali Pers, h. 99. 25 Firmansyah Arifin, dkk., Loc.Cit. 26 John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, 2006, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Studi, Analisis, Kritik, dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Pelangi Cendikia, Jakarta, hal. 29. 27 Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta, hal. 283.
25
oleh satu orang atau satu organ, tetapi dipegang oleh tiga orang atau tiga organ yang terpisah. Dengan begitu, menurut Montesquieu, maka ketiga kekuasaan tersebut harus dipisahkan supaya tidak terjadi monopoli penyalahgunaan kekuasaan jika dipegang oleh satu orang atau satu organ.28 Ajaran Trias Politica tersebut diterapkan pula di Indonesia, namun tidak sepenuhnya menganut pemisahan kekuasaan dan lebih cenderung mengarah pada pembagian kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, UndangUndang Dasar di Indonesia tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin Trias Politika dianut tetapi undang-undang dasar memiliki jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut Trias Politika dalam arti pembagian kekuasaan.29 Dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Pembagian kekuasaan di Indonesia juga ditunjukkan dengan adanya kewenangan yang dilakukan bersama antara dua bidang kekuasaaan, contohnya kewenangan dalam hal pembentukan suatu undang-undang, dimana pembentukan suatu undang-undang membutuhkan persetujuan bersama DPR dan Presiden meskipun DPR yang memegang kekuasaan membentuk undangundang. Mengenai atribusi, delegasi dan mandat, H.D. van Wijk en Wilem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut: a. attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgan; (atribusi adalah pemberian
28
John Pieris dan Aryanthi Baramuli Putri, Op. Cit, h. 31. Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 287. 29
26
wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan), b. delegatie: overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgan aan een ander; (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya), c. mandaat: een bestuursorgan laat zijn bevoegheid names hem uitoefenen door een ander; (mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).30 Menurut H.D. van Wijk, atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk
undang-undang.
Sedangkan
pembentuk
undang-undang
diwakilkan organ-organ pemerintah yang berhubungan dengan kekuasaan dilaksanakan secara bersama. Pendelegasian kekuasaan didasarkan pada amanat suatu konstitusi yang dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah, yang tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut. Dalam hal ini berbeda dengan atribusi, kewenangan terjadi karena pendelegasian diamanatkan oleh undangundang atau peraturan pemerintah dan didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk dilanjutkannya. Kewengan atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator) yang orsinil.31 Suwoto
Mulyosudarmo
mempunyai
mengenai kekuasaan. Menurut beliau,
pandangannya
sendiri
pada dasarnya pemberian
kekuasaan dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu perolehan secara atributif, dan perolehan secara derivatif (delegasi dan mandat). Perolehan kekuasaan secara 30
atributif, menyebabkan terjadinya pembentukan
H.D. van Wijk, en Wilem Konijnenbelt, 1988, Hoofdstukken van Administratief Recht, Uitgeverij Lemma B.V. Culemborg, Breda, Page 56. Lihat juga dalam Ridwan H.R., Op. Cit., h. 102. 31 Agussalim Andi Gadjong, 2007, Pemerintahan Daerah (Kajian Politik dan Hukum), Bogor : Ghalia Indonesia, h. 102.
27
kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif bersifat asli dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru. Sedangkan perolehan kekuasaan secara derivatif adalah pelimpahan kuasa, karena dari kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain. Mengenai delegasi dan mandat, Suwoto Mulyosudarmo menjelaskan lebih lanjut bahwa dengan
didelegasikannya
suatu
wewenang,
maka
tanggungjawab
sepenuhnya beralih kepada subyek hukum yang lain. Sebaliknya pada mandat, mandataris hanya bertindak untuk dan atas nama mandans. Tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans.32 1.4.2. Konseptual Berdasarkan uraian dalam kerangka teori, maka dapat diuraikan pengertian yang terkandung dalam konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini: a. Konsep Legal Standing Tidak semua orang boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Pihak yang dapat menjadi pemohon adalah pihak yang memiliki kepentingan hukum terkait dengan sengketa yang dipersengketakan. Pengertian tentang standing dalam “Black Law Dictionary”, menjelaskan bahwa standing dalam hukum yaitu : 32
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara, Jakarta : Gramedia, h. 16-20.
28
“A party’s right to make legal claim or seek judicial enforcement of a duty to right. To have standing in the federal court, a plaintiff mush show (1) that the challenged conduct has a caused the plantiff actual injury, and (2) thet the interest sought to be protected is whitin the zone of interest meant to be regulated by the statutory or constitutional guarantee in guestion”.33 Doktrin yang dikenal di Amerika tentang standing to sue diartikan bahwa pihak tersebut mempunyai kepentingan yang cukup dalam satu perselisihan yang dapat dituntut untuk mendapatkan keputusan pengadilan atas perselisihan tersebut. Standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah suatu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar memperoleh putusan akhir dari pengadilan.34 Konsep legal standing yang terdapat di Mahkamah Konstitusi berbeda dengan konsep legal standing yang terdapat dalam hukum lingkungan. Legal standing dalam hukum lingkungan dapat dibagi menjadi private standing dan public standing. Private standing dalam hukum lingkungan disebut pula dengan citizen suit yaitu hak warga atau perorangan untuk bertindak karena mengalami kerugian atas masalah hak kepentingan umum. Sedangkan public standing berkaitan dengan hak gugat kepada organisasi lingkungan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.35 Konsep legal standing dalam hukum lingkungan berkaitan dengan hak gugat, sedangkan dalam Mahkamah Konstitusi, 33
Bryan A. Garner, 2009, Black Law Dictionary, Ninth Edition, editor in Chief, West Publishing CO, United States of America, p. 1536. 34 Manuarar Siahaan, Op.Cit, h. 65. 35 N.H.T Siahaan,2004, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, edisi kedua, Erlangga, Jakarta, h. 337.
29
konsep legal standing yang dimaksud adalah tentang kedudukan hukum dari pihak pemohon maupun termohon sebagai pihak yang berperkara. Dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945, legal standing diatur dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi sebagai berikut: “Permohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan”. Aturan Pasal 61 ayat (1) tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Baik pemohon maupun termohon harus merupakan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. 2. Harus ada kewenangan konstitusional yang dipersengketakan oleh pemohon dan termohon, dimana kewenangan konstitusional pemohon diambil alih dan/atau terganggu oleh tindakan termohon. 3. Pemohon
harus mempunyai
kepentingan
langsung dengan
kewenangan konstutusional yang dipersengketakan.36 Legal standing yang dimaksud dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah kedudukan hukum dari pemohon dan termohon sebagai pihak yang bersengketa. Selanjutnya yang dimksud pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusinya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan dan/atau dirugikan oleh lembaga
36
Manuarar Siahaan, Op.Cit, h. 69.
30
negara yang lain. Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Sedangkan termohon adalah lembaga
negara
yang
dianggap
telah
mengambil,
mengurangi,
menghalangi, mengabaikan dan/atau merugikan pemohon.37 b. Konsep Lembaga Negara Sejak awal kemerdekaan, bangsa dan negara Indonesia telah beberapa kali memiliki Undang-Undang Dasar, namun yang paling lama diberlakukan adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sementara itu rumusan UUD NRI Tahun 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung dengan ketentuan konstitusi. Disisi lain terdapat pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multitafsir, dan hubungan antara lembaga negara dalam prakteknya tidak ada keseimbangan. Lembaga negara sering pula diistilahkan dengan organ negara, alat-alat perlengkapan negara, atau yang lainnya. Keberadaan lembaga negara tersebut menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dengan keberadaan negara, karena lembaga negara digunakan untuk mengisi dan menjalankan negara dan sebagai mekanisme keterwakilan rakyat dalam menyelenggarakan pemerintahan.38 Lembaga negara adalah institusiinstitusi yang dibentuk guna menjalankan fungsi-fungsi negara.39 Selain itu, tujuan diadakannya lembaga negara juga untuk menjalankan fungsi 37
Bambang Sutiyoso, 2009, Tata Cara Penyelesaian Sengketa di Lingkungan Mahkamah Konstitusi, UII Press, Yogyakarta, h. 46. 38 Firmasyah Arifin, Op. Cit., hal. 14. 39 Moh, Kusnardi dan Bintan Saragih, 2000, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal. 241.
31
pemerintahan secara aktual.40 Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara.41 Organ atau lembaga negara itu hanya terbatas pada pengertian lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD, UU, atau oleh peraturan yang lebih rendah. Lembaga negara yang dibentuk karena UUD yaitu Presiden, MPR, DPR, DPD, MK, MA, BPK, TNI, Polri, Bank Sentral, Komisi Penyelenggara Pemilu, dan Komisi Yudisial. Yang dibentuk karena undang-undang, misalnya adalah Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, dan sebagainya.42 Secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan
dalam
rangka
penyelenggaraan
fungsi
negara.43
Pembentukan lembaga negara akan selalu terkait dengan sistem penyelenggaraan negara, yang didalamnya termuat antara lain fungsi setiap organ yang dibentuk dan hubungan-hubungan yang dijalankan. Oleh karena itu dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa saja berbeda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut 40
Firmansyah Arifin, Op. Cit., hal. 31. Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 30. 42 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Setjen dan Kepanitraan MK RI, Jakarta, h. 40. 43 Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 31. 41
32
harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara sesuai dengan cita hukum bangsa Indonesia. c. Konsep Sengketa Kewenangan Lembaga Negara Hasil amandemen UUD 1945 telah membentuk dan memberikan kesatuan mekanisme penyelesaian sengketa lembaga negara, yaitu melalui MK. Salah satu kewenangan MK menurut UUD NRI Tahun 1945 adalah menyelesaikan
sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Kewenangan konstitusional lembaga negara adalah kewenangankewenangan yang ditentukan oleh atau dalam undang-undang dasar berrkenaan dengan subjek-subjek kelembagaan negara yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Apabila dipandang dari sudut kewenangan maupun fungsi-fungsi kekuasaan yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, akan tampak jelas bahwa organ-organ yang menyandang fungsi dan kewenangan
konstitusional
dimaksud
sangat
beragam.
Jika
kewenangannya bersumber dari undang-undang dasar, berarti lembaga negara tersebut mempunyai kewenangan konstitusional yang ditentukan dalam atau oleh undang-undang dasar.44 Lembaga negara dalam kategori yang kewenangannya diberikan oleh UUD inilah yang terkait dengan salah satu kewenangan MK untuk mengadilinya apabila dalam pelaksanaan
44
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Op.Cit, h 271-272.
33
kewenangan konstitusional lembaga negara yang bersangkutan timbul persengketaan dengan lembaga negara lainnya. Sebelum memahami lebih lanjut tentang sengketa kewenangan lembaga negara, terlebih dahulu perlu dipahami tentang kewenangan itu sendiri. Menurut H.D. van Wijk en Wilem Konijnenbelt, kewenangan dapat diperoleh melalui 3 (tiga) cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undangundang kepada organ pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya.45 Lebih lanjut sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan perubahannya yaitu UU No 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Yang dapat mengajukan permohonan ke MK dalam sengketa kewenangan lembaga negara adalah lembaga yang kewenangannya diberikan oleh UUD dan lembaga lembaga tersebut memilki
kepentingan
dipersengketakan.46
45 46
Ridwan H.R., Op. Cit., h. 102. Ibid, h. 124.
langsung
terhadap
kewenangan
yang
34
Sebuah kewenangan yang berbasis pada peraturan untuk melaksankanan kewenangan setidaknya memiliki empat karakteristik utama yaitu: 47 1. 2. 3. 4.
Hak untuk membuat keputusan-keputusan yang berkepastian hukum; Perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dan kewenangan; Aturan hierarkis yang jelas; Kewenangan yang terbagi. Keempat karakteristik utama tersebut dapat menimbulkan sengketa
kewenangan antarlembaga negara. Terlebih lagi terdapat jenis kewenangan yang dimiliki oleh lembaga negara yang terbagi dengan jenis kewenangan lembaga negara lainnya sehingga dapat memicu terjadinya sengketa kewenangan lembaga negara. Menurut jimly asshiddiqie, sebagai akibat dari pilihan untuk menganut pemisahan kekuasaan dengan mengadopsi prinsip check and balances,
perlu
dirumuskan
mekanisme
penyelsaian
sengketa
antarlemabaga Negara yang sederajat di dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya.48 1.5.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: Untuk menemukan kejelasan mengenai status kelembagaan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945. 2. Tujuan Khusus:
47 48
Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 115-116. Firmansyah Arifin, dkk., Op.Cit, h. 116.
35
a. Untuk mengetahui dasar pemikiran pembentukan KPK sebagai lembaga
negara
yang
diberi
kewenangan
khusus
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. b. Untuk mengetahui hakekat kekhususan dari kewenangan KPK dalam pemeberantasan tindak pidana korupsi. c. Untuk mengetahui hubungan antara KPK dan lembaga penegak hukum lainnya dalam hal ini, Kepolisian dan Kejaksaan khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. d. Untuk mengetahui cara penyelesaian dalam hal terjadi sengketa kewenangan lembaga negara antara KPK dengan lembaga negara lainnya. 1.6.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan teoritik mengenai status kelembagaan KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945. 2. Manfaat Praktis a. Secara praktis, diharapkan dalam praktek tidak lagi timbul keraguraguan
tentang
kekhususan
kewenangan
KPK
dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi. b. Secara praktis, diharapkan memberikan kejelasan tentang hakekat kekhususan dari kewenangan KPK dalam pemeberantasan tindak pidana korupsi.
36
c. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang hubungan antara KPK dan lembaga penegak hukum lainnya dalam hal ini, Kepolisian dan Kejaksaan khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. d. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan kejelasan tentang cara penyelesaian dalam hal terjadi sengketa kewenangan lembaga negara antara KPK dengan lembaga negara lainnya. 1.7.
Metode Penelitian 1.7.1.
Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, karena penelitian ini berusaha untuk membahas atau mengkaji norma hukum dalam hal ini norma perundang-undangan untuk mengetahui sinkronisasi baik secara vertikal maupun horizontal. Selain itu, karena dalam penelitian ini penulis menemukan adanya kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang tidak dijelaskan lebih lanjut baik dalam UUD NRI 1945 maupun UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi dalam kaitannya
dengan
sengketa
kewenangan
lembaga
negara
yang
kewenangannya diberikan oleh UUD. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian hukum normatif atau kepustakaan mencakup: 49 1. Penelitian terhadap asas-asas hukum 49
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. RajaGrafindo, Jakarta, h. 14.
37
2. Penelitian terhadap sistematik hukum 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal 4. Perbandingan hukum 5. Sejarah hukum. Dengan demikian, maka penelitian ini lebih menekankan pada penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal. Dalam penelitian ini, taraf sinkronisasi ditelaah dengan mengkaji perundangundangan yaitu UUD NRI Tahun 1945 dengan UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terkait dengan sengketa kewenangan lembaga negara. 1.7.2. Sumber Bahan Hukum Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan bahan-bahan hukum sebagai instrumen analisisnya. Bahanbahan hukum dalam penelitian ini meliputi: 1. Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan yang mengikat terdiri dari: a. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut Pembukaan UUD NRI Tahun 1945); b. Peraturan dasar: i. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ii. Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
38
c. Peraturan Perundang-Undangan: i. Undang-Undang dan Peraturan yang setaraf ii. Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang setaraf iii. Keputusan Presiden dan Peraturan yang setaraf iv. Keputusan Menteri dan Peraturan yang setaraf v. Peraturan Daerah d. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan e. Yurisprudensi f. Traktat g. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih berlaku seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).50 Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan yang mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terikat dengan objek penelitian51. Berdasarkan petunjuk bahan hukum primer tersebut maka bahan hukum primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini meliputi:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945);
Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2003 Tentang
50
Mahkamah
Konstitusi,
yang
selanjutnya
Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 51 Amirudin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 118.
39
mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK);
Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU KPK);
Undang-Undang
No.
31
Tahun
1999
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selanjutnya mengalami perubahan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor
31
Tahun
1999
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2002 Tentang Tata
Cara
Penyelenggaraan
Wewenang
Mahkamah
Konstitusi;
Selain itu putusan pengadilan dan putusan Mahkamah Konstitusi yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap juga menjadi bahan hukum primer.
2. Bahan Hukum Sekunder Bahan
Hukum
Sekunder
adalah
bahan
hukum
yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
40
rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan seterusnya.52 Disamping itu bahan hukum sekunder dapat berupa buku-buku dan tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian ini.53 3. Bahan Hukum Tertier Bahan Hukum Tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan seterusnya.54 1.7.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini adalah berupa bahanbahan
hukum
yang
didapat
melalui
studi
kepustakaan.
Teknik
pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan meneliti berbagai literatur yang ada kaitannya dengan materi yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini . Langkah yang dilakukan untuk mendapatkan sumber bahan hukum tersebut, yaitu diawali dengan dilakukan pengeloksian dan identifikasi bahan-bahan hukum kedalam suatu sistem informasi yang komprehensif sehingga memudahkan untuk melakukan penelusuran kembali bahanbahan hukum yang diperlukan atau dengan kata lain teknik pengumpulan bahan hukum ini dilakukan dengan menggunakan sistem sistematis yaitu
52
Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, Op. Cit, h. 13 Zainuddin Ali, M.A, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika Jakarta, h. 106. 54 Soerjono Seokanto, dan Sri Mamudji, Op. Cit, h. 13 dan Amirudin dan Zainal Asikin, Op.Cit. h. 119. 53
41
mencatat bahan hukum melalui catatan-catatan kecil dari penelitian terhadap buku atau literatur dan peraturan perundang-undangan yang ada dengan masalah yang dibahas. 1.7.4. Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang sesuai dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu jenis pendekatan perundang-undangan (The Statute Approach), jenis pendekatan kasus (Case Approach), pendekatan historis (Historical Approach), pendekatan perbandingan, dan pendekatan konsep (Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang mengatur sengketa kewenangan lembaga negara serta melihat sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan dalam sengketa kewenangan lembaga negara. Pendekatan kasus digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan Legal Standing Komisi Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
(KPK)
dalam
Sengketa
Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi. Pendekatan historis digunakan untuk memahami sejarah lembaga negara yang berkaitan
dengan
penelitian
ini
yaitu
pembentukan
komisi
pemberantasanan tindak pidana korupsi sebelum dan setelah terbentuknya KPK.
Pendekatan
perbandingan
digunakan
untuk
mengetahui
perbandingan kewenangan KPK yang ada di Indonesia dengan negara lain. Selanjutnya pendekatan yang terakhir digunakan yaitu pendekatan konsep
42
hukum yang akan digunakan penulis untuk menjawab permasalahan tentang Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) Yang Berperkara Di Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Kaitannya dengan Sengketa Kewenangan lembaga Negara sesuai dengan teori, asas, konsep dan doktrin-doktrin ilmu hukum. Pendekatan konseptual ini dilakukan agar terdapat kesamaan pemikiran mengenai beberapa konsep dalam penelitian ini yaitu legal standing, KPK, lembaga negara dan sengketa kewenangan lembaga negara. 1.7.5. Teknik Analisis Bahan hukum sekunder yang telah didapatkan dalam penelitian hukum normatif ini akan dianalisis secara deskriptif analitis. Deskriptif tersebut meliputi isi dan sruktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh penulis untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.55 Dalam penelitian ini akan dilakukan pemaparan serta penentuan terhadap makna dari aturan-aturan hukum terkait dengan Legal Standing Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dalam Perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara di Mahkamah Konstitusi. Secara umum interpretasi dapat dibedakan atas interpretasi gramatikal (tata bahasa), interpretasi autentik (resmi), interpretasi historis (sejarah), interpretasi nasional, intrepetasi sistematis, interpretasi teologis, interpretasi eklusif, interpretasi peringkasan (acontrario), dan interpretasi
55
Zainuddin Ali, M.A, Op.Cit, h. 107.
43
analogis (memberi tafsir).56 Dalam penelitian ini adapun interpretasi yang digunakan yaitu interpretasi gramatikal dan interpretasi analogis (memberi tafsir). Pemaparan tersebut dilakukan dengan teknik interpretasi: 1. Teknik interpretasi digunakan untuk melakukan penafsiran terhadap norma-norma yang kabur. Dalam penelitian ini terdapat kekaburan norma yang diakibatkan dari berbagai penafsiran mengenai penggunaan istilah lembaga negara yang tidak dijelaskan lebih lanjut baik dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 2. Argumentasi hukum, yaitu melakukan penalaran hukum berupa pemikiran dengan menggali konsep (pengertian), proposisi (pernyataan) dan melakukan penalaran (reasoning). Ketiganya merupakan satu kesatuan tidak terpisahkan. Tidak ada proposisi tanpa pengerian (konsep), dan tidak ada penalaran tanpa proposisi.
56
Sudarsono, Op.Cit, h. 122-123