1
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Pers merupakan institusi yang memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan opini publik dan efektif penyebarluasan informasi.1 Dibanding mekanisme penyebaran informasi lainnya, seperi seminar, lokakarya, penataran, rapat umum dan sebagainya. Pers memiliki potensi menjangkau audien jauh lebih banyak dan menyebarkan informasi ke lingkungan yang lebih jauh, lebih luas dalam waktu relatif yang singkat.
Sejak awal perkembangannya, surat
kabar sebagai media massa tertua sudah menjadi lawan nyata ketidak terbukaan informasi. Surat kabar dan media massa seringkali berada pada posisi lemah dan amat mudah ditundukkan oleh kekuasaan.2 Selama 60 tahun merdeka, Indonesia pernah mengalami beberapa kali kebebasan pers, yaitu pada awal kemerdekaan, selama Republik lndonesia menerapkan
sistem
pemerintahan
Kabinet
Parlementer,
pada
awal
Pemerintahan Orde Baru dan para era Reformasi saat ini. Pada waktu-waktu lainnya, kebebasan pers di Indonesia mengalami berbagai tekanan. Setidaktidaknya ada enam ketentuan hukum yang dapat dicatat yang membatasi kebebasan pers di Indonesia, yaitu: (1) Peperti Nomor 10 tahun 1960 tentang Surat Izin Terbit; (2) Peperti Nomor 2 Tahun 1961 tentang Pengawasan Dan Promosi Perusahaan Cetak Swasta; (3) Kepres Nomor 307 tahun 1962 tentang Pendirian LKBN Antara; (4) Dekrit Presiden Nomor 6 Tahun 1963 tentang Pengaturan Memajukan Pers; (6) Peraturan Menpen Tahun 1970 tentang Surat 1
Oemar Seno Adji, Mass Media Hukum, Erlangga, Jakarta, 1997,hal. 13. MacQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, suatu Pengantar (Terjemahan), Airlangga, Jakarta, 1989: hal10. 2
2
Izin Terbit, dan (6) Peraturan MenpenNomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP3. Dari berbagai peraturan perundangan tersebut, salah satu diantaranya yang mendapat sorotan selama pemerintahan Orde Baru adalah Peraturan Menpen Nomor 1 Tahun 1984 tentang SIUPP, karena ketentuan hukum ini memberikan kekuasaan yang amat luas kepada pemerintah dalam membatasi kebebasan pers melalui pembekuan perusahaan penerbitan pers sewaktu-waktu, yang sangat bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pasal 28. Pers sebagai media informasi merupakan pilar ke-empat demokrasi yang berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya kesimbangan dalam suatau negara. Berbicara mengenai pers maka tidak akan lepas berbicara mengenai kebebasan pers, karena kebebasan pers merupakan bagian penting atau ruh hidup matinya pers. Kebebasan pers yang bertanggung jawab merupakan prasyarat utama bagi sebuah negara dalam memperjuangkan kemajuan bangsa dan rakyatnya. Ini menjadi keniscayaan dalam masyarakat yang demokratis. Kebebasan pers seperti ini sangat perlu dan penting, bukan hanya bagi para pekerja pers, tetapi juga bagi seluruh rakyat dan bangsa. Tanpa kebebasan pers, mustahil jurnalis atau pers akan mampu menjalankan tugas/peran sosialnya dengan baik dan optimal. Menurut data jumlah media cetak dan elektronik di Indonesia tahun 2010 4: Media Cetak Harian Mingguan Bulanan Total
3 4
Jumlah 306 389 257 952
Media elektronik Radio Televise Total
Jumlah 378 118 496
Anwar, Rosihan dalam Jurnal Pers Indonesia, Nomor 5 Tahun XIX, Maret 1999 Dewan Pers , Data Pers Nasional 2010, Dewan Pers, Desember 2010 . hal 37.
3
Sekarang ini keberadaan jurnalisme warga seperti tidak terbatas dan terkontrol. Bermunculannya saluran media baru sejenis facebook, twitter, blog, atau youtube memberi tantangan baru bagi masyarakat dalam pengembangan informasi di luar media pers. Melalui saluran media baru tersebut diharapkan informasi yang berkembang di masyarakat tidak berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri
Berbeda dengan perusahaan pers. Perusahaan pers,
menurut UU No.40/1999 tentang Pers, harus berbadan hukum sehingga dapat diketahui keberadaan dan penanggungjawabnya. Untuk membangun jurnalisme warga yang baik, Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers diharapkan dapat dijadikan panduan. Perusahaan pers menurut pasal 1 angka 2 UU Pers adalah : “Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi”.
Perusahaan pers sebagai penyelenggara penerbitan dan sebagai penanggung jawab dalam hal penerbitan yang harus dilakukan secara preventif, edukasi dan represif. Preventif dalam hal ini penerbit (perusahaan pers) harus bertanggung jawab memberikan edukasi terhadap SDM (sumber daya manusia) / wartawan / redaktur tentang persaingan penerbitan pers saat ini. Dan juga melihat asset-aset perusahaan bila terjadi delik pers harus banyak memberikan kode etik- kode etik tentang pers / jurnalistik . Represif dalam hal ini adalah perusahaan pers meminta pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan sesasional / delik pers/ untuk menggunakan
hak jawab terlebih dahulu jika
dirasa tidak bisa maka baru melakukan mediasi dengan dewan pers. Dan apabila belum mendapatkan kesepakatan maka dapat melakukan gugatan.
4
Apabila perusahaan pers terjerat delik pers dan kemudian dihukum maka perusahaan tersebut bisa bangkrut atau gulung tikar atau tidak terbit lagi akibat persaingan tidak sehat, melainkan karena kewajiban membayar tuntutan ganti rugi. Demikian juga kalau pimpinan perusahaan terlalu sering dijatuhi hukuman karena delik pers oleh majelis hakim, akan mengancam eksistensi media bersangkutan akibat citranya di mata publik sudah hancur yang akan mempengaruhi kelangsungan perusahaan pers tersebut
2.
Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas timbul permasalahan hukum sebagai
berikut ; 1. Bagaimana pertanggung jawaban perusahaan pers terkait delik pers ? 2. Bagaimana eksistesi perusahaan pers berkaitan dengan adanya delik pers?
3.
Penjelasan Judul Judul skripsi yang ditulis adalah: “Eksistesi Perusahaan Pers Dalam
Persaingan Usaha Berkaitan Dengan Adanya Delik Pers”. Agar dapat diketahui dengan jelas maksud dari judul tersebut, akan dijelaskan kata demi kata terlebih dahulu baru kemudian dijelaskan secara keseluruhan. tentang pertanggung jawaban perusahaan pers sebagai subyek hukum pers terkait dengan tindak pidana pers atau delik pers dan eksistensi perusahaan pers dalam persaingan usaha antar perusahaan pers dengan adanya delik pers . Jadi yang dimaksud dari judul di atas adalah eksistensi perusahaan pers dalam persaingan usaha antar perusahaan pers dengan adanya delik pers.
5
4. Alasan Pemilihan Judul Sebagaimana judul skripsi “Eksistesi Perusahaan Pers Dengan Adanya Delik Pers” Alasan pemilihan judul tersebut adalah: Masih ada sebagian masyarakat yang belum mengetahui lebih banyak terhadap bagaimana eksistensi media dalam persaingan usaha di tengah kebebasan pers yang dapat mempertaruhkan citra perusahaan pers tersebut.
5. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui perusahaan pers sebagai subyek hukum pers dan sebagai PT atau badan hukum yang bertujuan untuk kepentingan komersial 2. Untuk mengetahui eksistensi perusahaan pers dalam persaingan usaha antar perusahaan pers dengan adanya delik pers.
6. Manfaat Penelitian Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka manfaat penelitian ini adalah: 1. Dari segi praktis, agar penulis dapat mengetahui lebih jelas dan diharapkan dapat dijadikan bahan masukan (input) dalam rangka sumbangan pemikiran (kontribusi) mengenai pertanggung jawaban perusahaan pers terkait delik pers 2. Dari segi teoritis, bagi akademis penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Hukum bisnis dan hukum pidana pers.
6
7. Metode Penelitian Metode penelitan ini memuat tentang tipe penelitian, pendekatan masalah dan langkah penelitian . a) .Tipe Penelitian ini penelitian Hukum Normatif karena merupakan perbandingan Hukum. b) .Penulisan skiripsi ini menggunakan metode antara lain pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua perundang-undangan dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang ada dalam penelitian, dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang di hadapi. c) Langkah penelitian Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data Data-data yang saya dapatkan terlebih dulu saya kumpulkan dan kemudian saya pisah-pisahkan untuk memilih data-data yang bisa saya pergunakan. Setelah itu daya susun secara sistematis sesuai dengan bab pembahasan dari masing-masing bab dan sub bab-sub babnya. Dengan mengkaji hal-hal yang khusus kemudian saya tarik suatu kesimpulan. Hasil dari analisa data yang saya lakukan kemudian saya cocokan dengan peraturan hukum positif yang ada. Adapun bahan hukum yang dipakai dibagai menjadi 2 (dua ) yaitu , a. Bahan-bahan Primer 1. Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP ) 2. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
7
3. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 4. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) b. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku para pakar makalah-makalah,hasil seminar dan berbagai tulisan-tulisan di media masa.
8.
Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini merupakan bab yang berisi latar belakang mengenai permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan judul yang dipilih, yaitu tentang eksistensi perusahaan pers dalam persaingan usaha antar perusahaan pers dengan adanya delik pers. BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN PERS TERAIT DELIK PERS Dalam bab ini membahsa mengenai pengertian Pers Dan Jurnalistik, Sejarah Hukum Pers Di Indonesia, Pertanggung Jawaban perusahaan pers terkait dengan tindak Pidana Pers . BAB III EKSISTENSI PERUSAHAAN PERS DENGAN ADANYA DELIK PERS Berisi
mengenai
perusahaan
pers
dengan
syarat
pendirian
beroprasinya, perijinan dalam perusahaan pers. BAB IV PENUTUP Merupakan penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.
dan
8
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PERUSAHAAN PERS TERKAIT DELIK PERS
2.1 Pengertian Pers Dan Jurnalistik
Istilah pers berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak dan secara maknawiah berarti penyiaran
secara
tercetak
atau
publikasisecara
dicetak
(printed
publication).Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luasdan pers dalam pengertian sempit.5 Dalam pengertian luas, pers mencakup semua mediakomunikasi massa, seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi memancarkan/ menyebarkaninformasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada oranglain. Maka dikenal adanya istilah jurnalistik radio, jurnalistik televisi, jurnalistik pers. Dalam pengertian sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan dansebagainya yang dikenal sebagai media cetak.Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan medium komunikasi yangtertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat, dan bukan merupakan unsur yang asing dan terpisahdaripadanya. Dan sebagai lembaga
5
Http://Syah13.Wordpress.Com/ Pengertian Pers Dan Jurnalistik.
9
masyarakat
ia
mempengaruhi
dan
dipengaruhi
oleh
lembaga-lembaga
masyarakat lainnya.
Di dalam undang-undang pers pasal 1 angka 1 mengartikan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Fungsi pers sebagaimana diatur dalam pasal 5 UU Pers No 40 Tahun 1999, mengatakan bahwa:
1. Pers Nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. 2. Pers wajib melayani Hak Jawab. 3. Pers wajib melayani Hak Koreksi.
2.2 Sejarah Hukum Pers Di Indonesia Negara demokrasi adalah negara yang mengikutsertakan partisipasi rakyat dalam pemerintahan serta menjamin terpenuhinya hak dasar rakyat dalam kehidupan berbangsa, dan
10
bernegara. Salah satu hak dasar rakyat yang harus dijamin adalah kemerdekaan menyampaikan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan. Pers adalah salah satu sarana bagi warga negara untuk mengeluarkan pikiran dan pendapat serta memiliki peranan penting dalam negara demokrasi. Pers yang bebas dan bertanggung jawab memegang peranan penting dalam masyarakat demokratis dan merupakan salah satu unsur bagi negara dan pemerintahan yang demokratis.
Hukum pers yang berkembang di Indonesia dari masa Hindia Belanda sampai masa reformasi adalah hukum pers media cetak. Sedikit sekali yang disinggung mengenai hukum pers penyiaran. Bahkan dalam kajian pers secara umum, yang bukan kajian hukum, baik dari sisi sejarah, politik dan komunikasi politik para penulis seakan mengabaikan dan member porsi yang sedikit kepada pers penyiaran. Namun dengan makin berkembangnya media penyiaran juga berkembang kajian media penyiaran dan media cetak.
Ada
beberapa
penyebab
mengapa
terjadi
ketimpangan
atau
ketertinggalan dunia penyiaran dibandingkan dengan dunia jurnalistik cetak yaitu :
1.
Pers cetak lahir lebih dahulu daripada pers penyiaran, karena lembaga pers cetak memang lebih dahulu lahir daripada lembaga penyiaran. Hal ini bukan merupakan Kasus Istimewa bagi Indonesia, karena perkembangan teknologi penyiaran memang baru ditemukan sekitar 4 abad setelah teknologi cetak.
2.
Sejak masa kemerdekaan, media penyiaran di Indonesia berpuluhpuluh tahun dikuasai oleh pemerintah. Sehingga pers penyiaran juga
11
merupakan pers pemerintah. Pers penyiaran yang berorientasi kepada pemerintah tidak menimbulkan persoalan hukum dan politik dengan pemerintah. Sebalikanya, pers cetak memiliki banyak persoalan dengan hukum dan politik dalam berhadapan dengan pemerintah.
Karena
itu,
pers
cetak
memerlukan
semacam
perlindungan Hukum yang lebih pasti.
Sejarah pers di Nusantara dimulai sejak abad ke-8 ketika Gubernur Jenderal Van Imhoff mendirikan Bataviasche Nouwells tahun 1744, tiga abad setelah mesin cetak ditemukan oleh Gutenberg. Bila sejarah pers Indonesia dimulai sejak berdirinya Koran pertama tahun 1744, maka sejarah hukum media di Indonesia dimulai sejak keluarnya peraturan hukum tentang media yang pertama di Indonesia, yaitu tatkala Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Reglement op de Drukwerken in Nederlandsch-Indie tahun 1856.6 Secara umum sejarah Pers Indonesia dimulai sejak berdirinya Koran pertama tahun 1744, maka sejarah hukum media di Indonesia dimulai sejak keluarnya peraturan hukum tentang media yang pertama di Indonesia, yaitu pada saat Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Reglement po de Drukwerken in Nederlandschindie tahun 1856.7
Secara umum, sejarah hukum media di Indonesia dalam kurun waktu sekitar 1,5 abad sejak zaman Hindia Belanda hingga era reformasi di abad ke-21 diwarnai dengan ketentuan hukum yang mengekang kebebasan media, khususnya kebebasan pers. Meskipun terdapat pasang surut, namun secara umum pengekangan lebih menonjol daripada kebebasannya. Sejarah jurnalistik 6 7
Wahidin, Samsul, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Banjarmasin,2005, hal .15 Ibid. hal 17
12
pers pada abad 20, ditandai dengan munculnya surat kabar pertama milik bangsa Indonesia, namanya Medan Prijaji, terbit di Bandung. Surat kabar ini diterbitkan dengan modal dari bangsa Indonesia untuk Indonesia. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisuryo alias Raden Mas Djikomono ini pada mulanya, 1907, terbentuk mingguan. Baru tiga minggu kemudian, 1910 berubah menjadi harian. 8
Setelah proklamasi kemerdekaan, 1945, Di Jakarat dan di berbagai kota, bermunculan surat kabar baru, pada masa ini, pers nasional bias disebut meujukan jatidirinya sebagai pers perjuangan. Orientasi meteka hanya bagaiaman mengamankan dan mengisi kekosongan kemerdekaan. Lain tidak. Bagi pers saat itu, tidak ada tugas yang mulia kecuali mengibarkan merah peutih setinggi-tingginya.
a. Tahun 1945 – 1950-an Pada masa ini, pers sering disebut sebagai pers perjuangan. Pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Beberapa hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, termasuk pers. Hal yang diperebutkan terutama adalah peralatan percetakan. Pada bulan September-Desember 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang ditandai oleh mulai beredarnya koran Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta),
8
ibid
13
b. Tahun 1950 – 1960-an Pers pada masa ini lebih banyak memerankan diri sebagai penyuara partai- partai politik besar. Era inilah yang disebut era pers partisan. Dalam era ini pers Indonesia terjebak dalam pole sekterian. Secara filosofis pers tidak lagi mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk pejabat partai. Sejak Dekrit Presiden 1 Juli 1959, pers nasional memasuki masa gelap gulita, setiap perusahaan penerbitan pers diwajibkan memiliki surat izin terbit (SIT). Setiap surat kabar diwajibkan menginduk (berafiliasi) pada organisasi
politik
atau
organisasi
massa.
Masa
ini
merupakan
masa
pemerintahan parlementer atau masa demokrasi liberal. Pada masa demokrasi liberal, banyak didirikan partai politik dalam rangka memperkuat sistem pemerintah parlementer. Pers, pada masa itu merupakan alat propaganda dari Partai Politik. Beberapa partai politik memiliki media/koran sebagai pada masa itu, pers dikenal sebagai pers partisipan.9
c. Tahun 1970-an Orde baru mulai berkuasa pada awal tahun 1970-an. Pada masa itu, pers mengalami depolitisasi dan komersialisasi pers. Pada tahun 1973, Pemerintah Orde Baru mengeluarkan peraturan yang memaksa penggabungan partai-partai politik menjadi tiga partai, yaitu Golkar, PDI, dan PPP. Peraturan tersebut menghentikan hubungan partai-partai politik dan organisasi massa terhadap pers sehingga pers tidak lagi mendapat dana dari partai politik.10
9
http://lpmprojustitia.blogspot.com/2010/05/pers-dan-jurnalistik.html http://www.persdanjurnalistik.com/sejarahpersdiindonesia.
10
14
d. Tahun 1980-an Pada tahun 1982, Departemen Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan No. 1 Tahun 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Dengan
adanya
SIUPP,
sebuah
penerbitan
pers
yang
izin
penerbitannya dicabut oleh Departemen Penerangan akan langsung ditutup oleh pemerintah. Oleh karena itu, pers sangat mudah ditutup dan dibekukan kegiatannya. Pers yang mengkritik pembangunan dianggap sebagai pers yang berani melawan pemerintah. Pers seperti ini dapat ditutup dengan cara dicabut SIUPP-nya.11
e. Tahun 1990-an Pada tahun 1990-an, pers di Indonesia mulai melakukan repolitisasi lagi. Maksudnya, pada tahun 1990-an sebelum gerakan reformasi dan jatuhnya Soeharto, pers di Indonesia mulai menentang pemerinah dengan memuat artikelartikel yang kritis terhadap tokoh dan kebijakan Orde Baru. Pada tahun 1994, ada tiga majalah mingguan yang ditutup, yaitu Tempo, DeTIK, dan Editor.
f. Masa Reformasi (1998/1999) – sekarang Seperti biasa, setiap kali suatu rezim tumbang, disitulah pers menikmati masa kejayaan. Kelahiran orde reformasi sejak pukul 12.00 siang, kamis 21 Mei 1998 setelah Suharto menyerahkan jabatan presiden kepada wakilnya B.J.
11
http://sejarahkita.blogspot.com/sejarah_pers .
15
Habibie, disambut dengan suka cita. Terjadilah euphoria di mana-mana. Kebebasan jurnalistik berubah secar drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik, dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan senantiasa diperjuangkan untuk diwujudkan. Pada masa ini terbentuk UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Era reformasi ditandai dengan terbukanya keran kebebasan informasi. Di dunia pers, kebebasan itu ditunjukkan dengan dipermudahnya pengurusan SIUPP Sebelum tahun 1998, proses untuk memperoleh SIUPP melibatkan 16 tahap, tetapi dengan instalasi Kabinet BJ. Habibie proses tersebut melibatkan 3 tahap saja. Semua komponen bangsa memilki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Hidup menurut kaidah manajamen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka menurut kaidah demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu saja supemasi hukum. Berdasarkan perkembangan pers tersebut, dapat diketahui bahwa pers di Indonesia senantiasa berkembang dan berubah sejalan dengan tuntutan perkembangan zaman. Pers di Indonesia Isi atau materi hukum media yang pernah berlaku di Indonesia bisa dibedakan dalam beberapa materi sebagai berikut :
1.
Hukum yang member kewenangan penguasa untuk melakukan sensor preventif.
Sensor preventif
adalah sensor yang
dilakukan sebelum sebuah media diterbitkan. 2.
Hukum media yang memberi kewenangan kepada penguasa untuk menutup dan membredel sebuah media.
3.
Hukum media yang member kewenangan kepada penguasa untuk mengeluarkan dan mencabut izin dan sebaliknya juga
16
mewajibkan
media
untuk
mendapatkan
izin
sebelum
menerbitakan medianya. 4.
Hukum media yang berisi jaminan kebebasan pers atau kebebasan media.
Dilihat dari sifat peraturannya, sejarah hukum media dapat dibagi dalam tiga periode.
1. Pertama, periode sensor preventif. Periode ini dimulai sejak keluar peraturan pertama tentang pers yang mengatur sensor preventif sampai dicabutnya peraturan itu (1856-1906) dan dilanjutkan pada zaman Jepang (19421945).
2. Kedua, periode perizinan/pemberedelan. Periode ini berlangsung sejak kedatangan Jepang (1940-1942) dan kemudian berlanjut ketika terjadi pemberedelan 13 penerbit pada masa akhir Demokrasi Liberal sampai berakhirnya Orde Baru (1957-1998).
3. Ketiga, periode kebebasan pers. Periode ini dimulai sejak Republik Indonesia diproklamasikan hingga menjelang berakhirnya Demokrasi Liberal (1945-1957) dan dilanjutkan dengan pada masa reformasi (1998-sekarang).
ketiga periode tersebut tidak dalam suatu pembatasan waktu yang ketat, karena pada masa yang disebut sebagai masa “kebebasan pers” terdapat upayaupaya untuk mengekang pers. Pada masa sensor preventif juga terdapat pemberedelan. Pembagian periode ini juga tidak dibatasi oleh periodisasi kekuasaan politik. Sebab pergantian penguasa politik baik masa penjajahan (Belanda/Jepang) maupun masa kemerdekaan (Orde Baru/Orde Lama) masing-
17
masng memiliki kesamaan dalam melihat kebebasan pers, perbedaannya terdapat pada gradasi bukan pada substansi.
Kebijakan pengendalian pers dari mulai yang lembut seperti kewajiban melaporkan modal minimal pendirian perusahaan hingga yang keras seperti pemberedelen tak bisa dilepaskan dari sejarah pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Puncaknya, kebijakan itu dituangkan secara monumental di tanah jajahan dengan diberlakukannya Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP) sejak 1918. Belakangan, kebijakan itu bahkan seperti sudah mendarah daging dan merasuk ke pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan era reformasi. Buktinya, selama ketiga rezim itu berkuasa, kebijakan warisan itu selalu memakan korban dari mulai pemberangusan pers hingga pemenjaraan wartawan.
Secara garis besar kebijakan pemerintah kolonial dalam membatasi ruang gerak pers terbagi ke dalam berbagai bentuk atau sarana. Pertama, sarana yuridis yang berupa sensor preventif, ketentuan pidana yang represif, dan kewajiban tutup mulut bagi pegawai pemerintah. Kedua, dalam bentuk perangkat administratif seperti sistem perizinan yang dipersulit, sistem agunan, dan lisensi atau rekomendasi. Ketiga, sarana-sarana ekonomi berupa pemungutan pajak atas kertas dan iklan, serta modal minimal pendirian sebuah perusahaan media. Keempat, sarana-sarana sosial. Biasanya berupa peringatan, propaganda, penerangan, dan sensor.
18
2.3 Pertanggung Jawaban perusahaan pers terkait dengan tindak Pidana Pers Pers adalah salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum dan terbitsecara teratur berupa buku-buku, majalah-majalah, surat kabar dan barangbarang cetakan yang lain bersifat sebagai sarana penyebarluasan informasi. Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengertian delik atau pertanggungjawaban pidana pers dalam skripsi ini adalah semua kejahatan yangdilakukan melalui sarana pers.Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak didapatkan suatu rumusan yang pasti tentang pers. Dengan demikian untuk mengetahui kriteria yangharus dipenuhi oleh suatu kejahatan melalui pers dapat dikatakan sebagai delik pers.Oemar Seno Adji dengan berpedoman kepada pendapat dari W.F.C. VanHattun memberikan tiga kriteria yang harus dipenuhi dalam suatu delik persantara lain :12
1. Harus dilakukan dengan barang cetakan 2. Perbuatan yang dipidana harus terdiri atas pernyataan pikiran dan perasaan 3. Perumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan suatu kejahatan, apabila kenyataan tersebut dilakukand engan tulisan-tulisan
Kriteria ketiga itulah yang khusus dapat mengangkat suatu delik menjadi delik pers. Tanpa dipenuhinya kriteria tersebut, suatu delik tidak akan memperoleh sebutan delik pers dalam arti yuridis.
12
Dewan Pers, 2003, Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, Jakarta. Hal 66.
19
Delik pers dalam KUHP bukanlah suatu delik yang diatur suatu bab tertentu,melainkan delik-delik yang tersebar dalam beberapa pasal dalam KUHP. Delik-delik tersebut adalah penyiaran kabar bohong (Pasal XIV dan XV UU No. 1 Tahun 1946);
1. pembocoran rahasia negara dan rahasia pertahanan keamanan negara (Pasal 112 dan113 KUHP); 2. penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, terhadap raja ataukepala negara sahabat, dan terhadap wakil negara asing (Pasal 134, 134 bis, 137, 142,143, dan 144 KUHP); 3. permusuhan,
kebencian
atau
penghinaan
terhadap
pemerintah,a ga ma , dan go lon gan (P as a l 15 4, 1 55 , 156 , 1 56a , d an 157 K U HP ) ; 4. p engh as uta n (Pasal 160 dan 161 KUHP); 5. penawaran delik (Pasal 162 dan 163 KUHP); (Pa sa l 20 7 d an 208 K U HP ) ; 6. p e lang ga ra n kesusilaan (Pasal 282 KUHP); 7. penyerangan/pencemaran kehormatan atau nama baik seseorang (Pasal 310, 311, 315, dan 316 KUHP); 8. pemberitahuan palsu (Pasal 310KUHP); 9. penghinaan atau pencemaran nama orang mati (Pasal 320 dan 321 KUHP); 10. pelanggaran ketertiban umum (Pasal 519 bis, 533, dan 535 KUHP).
Sementara pihak dianggap tidak mengandung ketidakseimbangan dalam pers, namundalam hal ini pers tidak dapat dipersalahkan, karena yang salah
20
adalah UU Pers yangtidak mengatur mengenai potensi-potensi masalah hukum yang rumit dan berat yangdapat timbul dalam pemberitaan pers. Pertanggungjawaban penerbit diatur dalam pasal 61 Kitab UndangundangHukum Pidana sebagai berikut:
a. Jika kejahatan dilakukan dengan memprgunakan percetakan, maka penerbit(uitgever) sebagai demikian tidak dituntut jika pada barang cetakan itu disebutkan nama dan tempat tinggalnya dan sipembuat itu sudah diketahui, atau pada waktu diberi peringatan yang pertama kali sesudah penuntutan muali berjalandiberitahukan oleh penerbit. b. Peraturan ini tidak berlaku, jika sipembuat kejahatan pada waktu barang cetakanitu diterbitkan tak dapat dituntut atau berdiam di luar negeri.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat kita lihat bahwa seorang penerbit tiidak akandapat dituntut apabila;
1. Pada barang cetakan telah dimuat nama dan tempat tinggal penerbit; 2. Penulis, penggambar atau pembuat berita tersebut sudah diketahui atau sesudah penuntutan sudah berjalan pada waktu itu diberi peringatan pertama kepada penerbit.
Pembuat termasuk pemotret, pelukis atau penggambar.P embuatnya dapat dituntut pada waktu diterbitkan tulisan, gambar atau potretoleh penerbit. Artinya sipenulis atau penggambar dari pemberitaan tersebut tidak dalam sakit
21
ingatan atau tidak meninggal dunia pada waktu pemberitaan itu diterbitkan. Disamping itu perlu diingat bahwa dalam perusahaan penerbitan pers seperti dimaksudkan oleh pasal 14 Undang-undang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 danUndang-undang Perubahan kedua Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, (UU NO. 21/ 1982) ditetapkan bahwa "Pimpinan suatu penerbit persterdiri atas Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan". Denganadanya ketentuan
tersebut
timbul
permasalahan
di
tangan
siapakah
letak
tanggung jawab jika terjadi suatu tindk pidana pers. Dalam hal ini kita harusmenghubungkannya dengan ketentua pasal 15 dari Undang-undang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 danUndang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Tentang Ketentuan-ketentuanPokok Pers sebagai berikut Pokok Pers, (UU NO. 21/ 1982) ditetapkan bahwa "Pimpinan suatu penerbit pers terdiri atas Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi dan Pimpinan Perusahaan". Dalam ketentuan pasal 15 dari Undang-undang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 danUndang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers sebagai berikut :
1. Pimpinan Umum bertanggungjawab atas keseluruhan penerbitan baik kedalam maupun keluar. 2. Pertanggungjawaban pimpinan umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada pimpinan redaksi mengenai isi penerbitan .
22
3. pimpinan
redaksi
bertanggungjawab
atas
pelaksanaan
redaksional dan wajib melayani hak jawab dan koreksi.
Melihat ketentuan Pasal 15 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomot 4 Tahun 1967 dan Undang undang Perubahan Kedua tentang ketentuan-ketentuan pokok pers, terutama dalam ayat (4) bahwa pertanggun jawaban pidana terhadap deli pers terletak pada pihak siapa pertanggung jawaban hukum dilimpahkan ketika berita itu diterbitkan. Bisa pada Pimpinan Umum, Pimpinan Redaksi, anggota redaksi atau bahkan pada penulisnya,tergantung pada ada atau tidaknya pemindahan pertanggung jawaban. Untuk memudahkan ada atau tidaknya pemindahan pertanggung jawaban hukum dalam penerbitan pers, di dalam undang-undang seharusnya sudah ditentukan bahwa pemindahan pertanggung jawaban hukum tersebut hanya bisa dilakukan secara tertulis. Karena disamping memudahkan dalam pembuktian, juga akan menjamin adanya kepastian hukum dalam pertanggungjawaban penerbitan pers.
Sebelum adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sistem pertanggung jawaban pidana atas sajian pers diatur dalam pasal 15 ayat (4) UU No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pers yang bunyinya sebagai berikut :
Pemimpin umum bertanggung jawab atas keseluruhan
penerbitan baik ke dalam maupun keluar; Pertanggungjawaban pemimpin umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada pemimpin redaksi mengenai isi penerbitan dan kepada pemimpin perusahaan mengenai soal-soal perusahaan; Pemimpin redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksionil dan wajib melayani hak jawab dan koreksi.
Pemimpin redaksi dapat memindahkan
23
pertanggungjawabannya terhadap hukum, mengenai suatu tulisan kepada anggota redaksi atau kepada penulisnya yang bersangkutan.
Pers adalah salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum dan terbitsecara teratur berupa buku-buku, majalah-majalah, surat kabar dan barangbarangcetakan yang lain bersifat sebagai sarana penyebarluasan informasi. Berkaitan dengan pengertian tersebut, maka yang dimaksud dengan pengertian delik atau pertanggungjawaban pidana pers dalam skripsi ini adalah semua kejahatan yangdilakukan melalui sarana pers.
Seperti dalam kasus Bambang Harymurti sebagai pemimpin Redaksi Majalah Tempo dijatuhi vonis 1 tahun penjara. Kemudian pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan pada tingakt kasasi, MA menyatakan bahwa Bambang Harymurti tidak terbukti secara sah atas dakwaan primair, Pasal 311 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat(1) KUHP dan Susidair, Pasal 310 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP, dan membebaskan Bambang Harymurti dari segala dakwaan.13
Berdasarkan putusan di atas, yang menjadi alasan pemimpin redaksi sebagai penanggung jawab terhadap berita yang dimuat didalam media adalah karena pemimpin redaksi adalah orang yang bertanggung jawab diseluruh bidang keredaksian dan mempunyai hak untuk menentukan diturunkan atau tidaknya suatu berita. Pemimpin redaksi sebagai orang yang bertanggung jawab dalam hal pemberitaan yang merugikan kehormatan dan nama baik orang lain, sesuai dengan sistem pertanggungjawaban pidana dianut uu pers yaitu 13
http://majalah.tempointeraktif.com/
24
pertanggungjawaban dengan sistem bertangga (Stair System) yang menyatakan bahwa pemimpin redaksi harus bertanggung jawab terhadap sajian didalam pers. Stair system biasa pula disebut fiktif pertanggung jawaban karena yang melakukan perbuatan (delik pers) bukan dia melainkan orang lain, tetapi dia harus bertanggung jawab.
Sebelum adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, sistem pertanggung jawaban pidana atas sajian pers diatur dalam pasal 15 ayat (4) UU No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pers yang bunyinya sebagai berikut :
Pemimpin umum bertanggung jawab atas keseluruhan
penerbitan baik ke dalam maupun keluar; Pertanggungjawaban pemimpin umum terhadap hukum dapat dipindahkan kepada pemimpin redaksi mengenai isi penerbitan dan kepada pemimpin perusahaan mengenai soal-soal perusahaan; Pemimpin redaksi bertanggungjawab atas pelaksanaan redaksionil dan wajib melayani hak jawab dan koreksi.
Pemimpin redaksi dapat memindahkan
pertanggungjawabannya terhadap hukum, mengenai suatu tulisan kepada anggota redaksi atau kepada penulisnya yang bersangkutan.
Dalam mempertanggungjawabkan terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak. Wartawan yang karena pekerjaanya mempunyai kewajiban menyimpan rahasia, dalam hal ini nama, jabatan, alamat, atau identitas lainnya dari orang yang menjadi sumber informasi, mempunyai hak tolak. Ketentuan-ketentuan hak tolak akan diatur oleh pemerintah, setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan dari
dewan
pers.
Ketentuan
ini
memperlihatkan
suatu
bentuk
pertanggungjawaban yang bisa dialihkan kepada anggota redaksi yang lain.
25
Dimana pemimpin redaksi dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang memang mungkin pelaku delik pers. Sistem pertanggungjawaban pidana ini disebut pertanggung jawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System).
Dalam mempertanggungjawabkan terhadap hukum, pemimpin umum, pemimpin redaksi, anggota redaksi atau penulisnya mempunyai hak tolak. Wartawan yang karena pekerjaanya mempunyai kewajiban menyimpan rahasia, dalam hal ini nama, jabatan, alamat, atau identitas lainnya dari orang yang menjadi sumber informasi, mempunyai hak tolak. Ketentuan-ketentuan hak tolak akan diatur oleh pemerintah, setelah mendengar pertimbangan-pertimbangan dari dewan pers.
Ketentuan ini memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban yang bisa dialihkan kepada anggota redaksi yang lain. Dimana pemimpin redaksi dapat mengalihkan tanggung jawab hukum kepada anggota redaksi yang lain atau kepada penulisnya yang memang mungkin pelaku delik pers. Sistem pertanggungjawaban pidana ini disebut pertanggung jawaban pidana dengan sistem air terjun (Waterfall System).
Berbeda dengan pertanggungjawaban pidana sistem air terjun (Waterfall System), pertanggungjawaban pidana sistem bertangga (Stair System) pemimpin redaksi harus bertanggungjawab terhadap tulisan (gambar) yang menyerang kehormatan dan nama baik orang lain.meskipun pemimpin redaksi tidak memenuhi
26
2(dua) hal pokok dalam penetapan ada atau tidaknya pertanggung jawaban pidana dari pemimpin redaksi.
27
BAB III Eksistensi Perusahaan Pers Berkaitan Dalam Delik Pers 3.1
Perusahaan Pers Pembicaraan tentang kebebasan pers dalam pengembangan demokrasi,
dapat dilakukan secara normatif, yaitu bertolak dari nilai-nilai yang diterima secara ideal, berkaitan dengan keberadaan institusi pers maupun demokrasi dalam masyarakat dan Negara. Tetapi menghadapkan dunia empirik dengan nilai normatif, tentulah akan membawa ke jalan tak jelas ujung. Penerbitan Pers atau Perusahaan Pers. Semula dipergunakan sebutan penerbitan pers, dan perhimpunannya disebut Serikat Penerbit Suratkabar. Sekarang, disebut perusahaan pers, dan perserikatannya disebut Serikat Perusahaan Pers atau SPS.
Dari segi pengertian hukum (rechtsbegrip),
perubahan ini memiliki arti penting dan merupakan perubahan mendasar (prinsipil). Dalam makna hukum, perusahaan adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan secara tetap, teratur, dan terbuka (terang-terangan) yang bertujuan (dengan maksud) mencari laba (keuntungan). Perusahaan dapat dijalankan secara perorangan (egnmaazaak) atau melalui suatu badan usaha yang berbadan hukum (perseroan terbatas dan koperasi), atau tidak berbadan hukum. Sampai sekarang, di Indonesia, Firma (Fa) dan Commanditair Vennootschap (CV) adalah badan usaha yang tidak berbadan hukum (KUHDagang Indonesia). Di Belanda, Fa dan CV berbadan hukum. Di masa Hindia Belanda sampai masa-masa awal kemerdekaan ada badan usaha yang dinamakan kongsi yang tidak berbadan hukum. Penggunaan sebutan perusahaan pers, ditinjau dari pengertian hukum bermakna usaha di bidang pers (media) dengan maksud atau bertujuan memperoleh laba
28
(keuntungan). Bahkan laba sebesar-besarnya. Berbeda dengan sebutan penerbitan pers yang tidak serta merta berkonotasi sebagai kegiatan ekonomi untuk mencari laba. Penerbitan pers dapat sebagai kegiatan ekonomi untuk mencari laba atau sebagai kegiatan altruistik (untuk tujuan sosial dan atau kemanusiaan). Pada saat ini banyak penerbitan yang mempunyai sifat sebagai pers (media) tetapi tidak bertujuan mencari laba (keuntungan) melainkan untuk tujuan altruistik, seperti penerbitan majalah keilmuan oleh lembaga-lembaga ilmiah atau majalah yang diterbitkan pers mahasiswa di kampus-kampus. Kalau semata-mata ditinjau dari sebutan perusahaan pers, apalagi Serikat Perusahaan Pers, penerbitan altruistik tidak termasuk pers. Salah satu konsekwensi penting terhadap penerbitan semacam ini, demikian pula para pelakunya, tidak berlaku hukum pers, cq Undang-Undang Pers (UU No. 40 Tahun 1999). Berdasarkan Undang-Undang Pers, perusahaan pers wajib dijalankan oleh badan usaha yang berbadan hukum. Pilihan yang lazim adalah perseroan terbatas (PT). Sampai sekarang, masih ada perusahaan pers yang dijalankan oleh Fa atau CV. Dalam menguraikan perkembangan budaya komunikasi di bidang pers di Tanah Air saat ini kita harus memperhatikan budaya komunikasi Indonesia yang masih tertutup seakan-akan dikonkretkan oleh UU Pers lewat beberapa ketentuannya. Yang paling tajam ialah masalah lembaga SIUPP. Lembaga hukum ini bisa lagi dikaitkan dengan UU lain di luar UU Pers.. Setelah munculnya UU No 1/1995 tentang Perseroan Terbatas dan UU Penyiaran yang telah disahkan oleh DPR itu, lembaga SIUPP khususnya Peraturan Pelaksanaannya (Permenpen 01/84) memperoleh penilaian baru. Pasal 117a UU No 1/1995 menentukan bahwa pengadilan dapat membubarkan sebuah Perseroan Terbatas atas usul Jaksa Agung jika merugikan masyarakat.
29
Terlepas dari jelas tidaknya apayang disebut "merugikan masyarakat", yang penting adalah tersentuhnya Permenpen 01/84 itu. Tetapi hanyalah pasal 33a hingga pasal 33g yang mengatur pengelolaan perusahaan pers (UNESCO - code of the enterprise). Bukan pasal 33h yang mengatur materi (isi) media massa cetak (UNESCO - code of publication). Juga pasal 117 UU No 1/1995 itu berlaku hanyalah jika perusahaan pers itu berbentuk PT, bukan yang berbentuk yayasan, koperasi atau BUMN (pasal 10 ayat 2 Permenpen 01/84). Sulitnya, karena pasal 10 ayat 2 Permenpen 01/84 itu juga mengatur perusahaan/penerbit pers yang berbentuk Perseroan Terbatas. Berarti terjadi "tabrakan dengan pasal 117 UU No 1/1995. Mestinya yang berlaku ialah UU No 1/1995 karena UU lebih tinggi kekuasaannya daripada Peraturan Menteri. Dalam mendirikan perusahaan pers badan hukum berbentuk persoran terbatas (PT). dengan modal dasar sesuai ketentuan undang-undang PT pasal 32 ayat 1 ,2 dan 3; (1) Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Undang-undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Perubahan besarnya modal dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan pemerintah
30
PT dapat melakukan semua kegiatan usaha sesuai dengan maksud dan tujuan sesuai jenis perseroan, seperti14; 1. PT
non
Fasilitas
Pembangunan
meliputi
kegiatan
(Kontraktor),
usaha:
Perindustrian,
Perdagangan, Pertambangan,
Pengangkutan Darat, Pertanian, Percetakan, Perbengkelan dan JasaPT Fasilitas PMA 2. PT Fasilitas PMDN 3. PT Persero BUMN 4. PT Perbankan 5. PT Lembaga keuangan non Perbankan 6. PT Usaha Khusus meliputi kegiatan usaha; Forwarding, Perusahaan Pers, Perfilman dan Perekaman Video, Radio Siaran Swasta, Pariwisata, Pengangkutan Udara Niaga, Perusahaan Bongkar Muat, Ekspedisi Muatan Kapal Laut, Ekspedisi Muatan Kapal Udara dan Pelayaran. Sebagai wahana komunikasi massa, pelaksana kegiatan jurnalistik, penyebar informasi dan pembentuk opini, pers harus dapat melaksanakan asas, fungsi, kewajiban, dan peranannya demi terwujudnya kemerdekaan pers yang profesional berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Untuk mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional maka disusunlah standar sebagai pedoman perusahaan pers agar pers mampu menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, serta sebagai lembaga ekonomi. Standart perusahaan pers antara lain;15 14
Http://Www.Lawindo.Biz/Perseroanterbatas.Htm
31
1. Yang dimaksud perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan,
menyiarkan atau
menyalurkan
informasi. 2. Perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas dan badan-badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. 3. Perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang. 4. Perusahaan pers memiliki komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 5. Perusahaan pers memiliki modal dasar sekurang-kurangnya sebesar Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) atau ditentukan oleh Peraturan Dewan Pers. 6. Perusahaan pers memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk menjalankan kegiatan perusahaan secara teratur sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan. 7. Penambahan modal asing pada perusahaan pers media cetak dilakukan melalui pasar modal dan tidak boleh mencapai mayoritas, untuk media penyiaran tidak boleh lebih dari 20% dari seluruh modal.
15
Standar Perusahaan Pers. (Standar Ini Disetujui Dan Ditandatangani Oleh Sejumlah Organisasi Pers, Pimpinan Perusahaan Pers, Tokoh Pers, Serta Dewan Pers Di Jakarta, 6 Desember 2007. Sebelum Disahkan, Draft Standar Perusahaan Pers Telah Dibahas Melalui Serangkaian Diskusi Yang Digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar Ini Merupakan Pelaksanaan Fungsi Dewan Pers Menurut Pasal 15 Ayat (F) Uu No.40/1999 Tentang Pers Yaitu "Memfasilitasi Organisasi-Organisasi Pers Dalam Menyusun Peraturan-Peraturan Di Bidang Pers Dan Meningkatkan Kualitas Profesi Wartawan") Jakarta, 6 Desember 2007.
32
8. Perusahaan
pers
wajib
memberi
upah
kepada
wartawan
dan
karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun. 9. Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya
seperti
peningkatan
gaji,
bonus,
asuransi,
bentuk
kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama. 10. Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan
dan
karyawannya
yang
sedang
menjalankan
tugas
perusahaan. 11. Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. 12. Perusahaan pers memberikan pendidikan dan atau pelatihan kepada wartawan dan karyawannya untuk meningkatkan profesionalisme. 13. Pemutusan hubungan kerja wartawan dan karyawan perusahaan pers tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers dan harus mengikuti Undang-Undang Ketenagakerjaan. 14. Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk media
cetak
ditambah
dengan
nama
dan
alamat
percetakan.
Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan.
33
15. Perusahaan pers yang sudah 6 (enam) bulan berturut-turut tidak melakukan kegiatan usaha pers secara teratur dinyatakan bukan perusahaan pers dan kartu pers yang dikeluarkannya tidak berlaku lagi. 16. Industri pornografi yang menggunakan format dan sarana media massa yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi bukan perusahaan pers. 17. Perusahaan pers media cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Dari standart perusahaan pers diatas dapat diketahui batasan-batasan perusahaan pers dalam menjalankan fungsinya sebagai perseroan terbatas. Dengan memperhatikan batasan-batasan dan aturan-aturan perusahaan pers dapat bersaing dengan perusahaan pers lain tanpa melakukan delik pers atau tindak pidana pers.
Perusahaan pers akan terus memberikan edukasi terhadap SDM/ wartawan /redaktur dgn kode etik, agar dalam melakukan tugas jurnalistiknya sesuai dgn kode etik jurnalistik dan sesuai kode etik-kode etik tetang pers / jurnalistik (KEWI, UU Pers, UU PT dan etika-etika jurnalistik). Yakni dengan tetap menjaga kaidah-kaidah
dalam melakukan peliputan agar terhindar dari delik
pers. Sebab perusahaan pers sebagai penyelenggara penerbitan dan sebagai penanggung jawab dalam hal penerbitan hrus melihat asset-aset perusahaan. Karena delik pers bisa merugikan pertumbuhan penerbitan. Maka itu diberikan edukasi. Hal ini guna membantu melakukan terobosan jurnalistik di era persaingan industri penerbitan pers saat ini.
34
3.2
Eksistensi Perusahaan Pers Berkaitan Dalam Delik Pers Sebagai suatu Perusahaan, pers telah berkembang sebagai sebuah
industri, bahkan ada yang mengatakan sebagai sebuah kepastian sebuah informasi. Dari sudut pandang ini, tidak berlebihan atau dapat dimengerti kalau disebut perusahaan pers sejak reformasi, motif pers sebagai perusahaan atau pers sebagai industri menjadi pendorong utama pertumbuhan pers di negara kita. Tentu masih ada pers yang diterbitkan, tidak secara langsung untuk memperoleh laba dalam makna ekonomi, tetapi laba kekuasaan yang diujungnya akan memberikan laba ekonomi. Didapati sejumlah perusahaan pers atau pers (terutama yang terbit di daerah) berkolaborasi dengan kekuasaan untuk memanfaatkan sumber daya dari kekuasaan dengan imbalan tertentu demi sebesar-besarnya laba perusahaan.
Perusahaan pers atau pers yang menempuh berbagai jalan lain demi sebesar-besarnya laba.
Pertama; ada perusahaan pers atau pers yang melakukan eksploitasi segala segi ketidakpuasan atau yang dapat
membangkitkan ketidakpuasan
masyarakat. Bahkan sadar atau tidak sadar menjalankan pendekatan konflik atau praktik pertentangan atas nama kebebasan pers. Sesuatu yang agak ganjil bahkan bertentangan dengan asas-asas demokrasi. Demokrasi (dan pers sebagai subsistem demokrasi), menolak segala bentuk pendekatan konflik sebagai cara memecahkan masalah. Ada pula perusahaan pers atau pers yang dengan sengaja memelihara cara berpikir awam yang irrasional dengan menyuguhkan hal-hal yang bertentangan dengan akal yang akan menghalangi kemajuan, seperti
35
manusia dapat berubah menjadi ular atau sebaliknya. Tidak kurang pula eksploitasi kegemaran sebagian masyarakat bergosip (gossip), seperti suguhan KDRT dalam makna keretakan dalam rumah tangga. Tingkah laku perusahaan pers atau pers semacam ini acap kali tidak dilakukan atas dasar prinsipil, tetapi sebagai cara memperoleh kesempatan yang lebih baik melalui hal-hal seperti meningkatkan rating dan lain-lain.
Kedua; ada perusahaan pers atau pers, demi keselamatan bisnis pers, menempuh terkesan
kebijakan
kehati-hatian
mengambang,
bahkan
yang
tinggi.
Kadang-kadang
membingungkan
masyarakat.
Perusahaan pers atau pers semacam ini sangat menyulitkan publik yang sedang dan sangat membutuhkan panduan menghadapi berbagai himpitan hidup (politik, sosial, dan ekonomi). Dua hal yang digambarkan di atas, sekedar gambaran pengaruh pers sebagai industri terhadap pers.
Sebagai wahana komunikasi massa, pelaksana kegiatan jurnalistik, penyebar informasi dan pembentuk opini, pers harus dapat melaksanakan asas, fungsi, kewajiban, dan peranannya demi terwujudnya kemerdekaan pers yang profesional berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Untuk mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional maka disusunlah standar sebagai pedoman perusahaan pers agar pers mampu menjalankan fungsi
36
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, serta sebagai lembaga ekonomi :16
1. Yang dimaksud perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan,
menyiarkan atau
menyalurkan
informasi. 2. Perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas dan badan-badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. 3. Perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang. 4. Perusahaan pers memiliki komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 5. Perusahaan pers memiliki modal dasar sekurang-kurangnya sebesar Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) atau ditentukan oleh Peraturan Dewan Pers. 6. Perusahaan pers memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk menjalankan kegiatan perusahaan secara teratur sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan. 7. Penambahan modal asing pada perusahaan pers media cetak dilakukan melalui pasar modal dan tidak boleh mencapai mayoritas, untuk media penyiaran tidak boleh lebih dari 20 persen dari seluruh modal. 8. Perusahaan
pers
wajib
memberi
upah
kepada
wartawan
dan
karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun. 9. Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya
16
seperti
peningkatan
gaji,
bonus,
asuransi,
bentuk
Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, serta Dewan Pers di Jakarta, 6 Desember 2007. Sebelum disahkan, draft Standar Perusahaan Pers telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu "memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan"
37
kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama. 10. Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan
dan
karyawannya
yang
sedang
menjalankan
tugas
perusahaan. 11. Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. 12. Perusahaan pers memberikan pendidikan dan atau pelatihan kepada wartawan dan karyawannya untuk meningkatkan profesionalisme. 13. Pemutusan hubungan kerja wartawan dan karyawan perusahaan pers tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers dan harus mengikuti Undang-Undang Ketenagakerjaan. 14. Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk media
cetak
ditambah
dengan
nama
dan
alamat
percetakan.
Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau disiarkan. 15. Perusahaan pers yang sudah 6 (enam) bulan berturut-turut tidak melakukan kegiatan usaha pers secara teratur dinyatakan bukan perusahaan pers dan kartu pers yang dikeluarkannya tidak berlaku lagi. 16. Industri pornografi yang menggunakan format dan sarana media massa yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi bukan perusahaan pers. 17. Perusahaan pers media cetak diverifikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverifikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia. Semua perusahaan Pers berkomitmen menerapkan standar kompetensi wartawan, dalam melakukan rekrutmen pekerja Pers untuk menghindari penyalahgunaan wartawan.
setiap
menyampaikan
profesi
dan
perusahaan
meningkatkan media
perlu
kualitas
dan
wartawan
profesionalitas
kompeten
untuk
38
informasi dengan benar, menghindari masalah terberat dari inkompetensi dan informasi yang disampaikan mendorong penjualan sirkulasi dan iklan dengan tujuan jangka panjang yaitu perusahaan berkembang.
39
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari penjelasan dan pembahasan rumusan masalah di bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan antaralain; Dalam ketentuan pasal 15 dari Undang-undang Nomor 11 Tahun1966 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 danUndang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers
Perusahaan Pers terus memberikan edukasi terhadap SDM/ wartawan /redaktur dgn kode etik, agar dalam melakukan tugas jurnalistiknya sesuai dgn kode etik jurnalistik dan sesuai kode etik-kode etik tetang pers / jurnalistik (KEWI, UU Pers, UU PT dan etika-etika jurnalistik). Yakni dengan tetap menjaga kaidahkaidah
dalam melakukan peliputan agar terhindar dari delik pers. Sebab
perusahaan pers sebagai penyelenggara penerbitan dan sebagai penanggung jawab dalam hal penerbitan hrus melihat asset-aset perusahaan. Karena delik pers bisa merugikan pertumbuhan penerbitan. Maka itu diberikan edukasi. Hal ini guna membantu melakukan terobosan jurnalistik di era persaingan industri penerbitan pers saat ini.
4.2 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka timbulah saran-saran guna menjadi masukan dalam permasalahan yang telah dikaji antara lain sebagai berikut :
40
Diperlukan adanya revisi terhadap Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan memasukkan delik pers terhadap undang-undang tersebut sehingga pengaturan tentang delik pers dapat diatur secara khusus. Perlunya ditingkatkan pengawasan publik terhadap kinerja Pers di Indonesia. Kebebasan pers yang bertanggungjawab harus diterapkan.
41
DAFTAR BACAAN
Buku Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Hukum Pidana , Badan Universitas Diponegoro, 2007,Semarang.
_ _ _ _ _ _ _. Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Pustaka Magister, 2007,Semarang. _ _ _ _ _. Perkembangan Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, PustakaMagister, 2007,Semarang. Artadi, Ibnu, Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas , Syariah Fakultas Hukum Unswagati 2006, Cirebon. Borjesson, Kristina, Mesin Penindas Pers , Terj. Yanto Musthofa, Q-Press, 2006,Bandung. Dewan Pers, Delik Pers Dalam Hukum Pidana, Dewan Pers dan Lembaga Informasi Nasional, 2003, Jakarta. _ _ _ _ _ _ _ _. Data Penerbitan Pers Indonesia. 2006, Dewan Pers Jakarta.
Girsang, Juniver, Penyelesaian Sengketa Pers , Gramedia Pustaka Utama, 2007,Jakarta.
Lubis, Todung Mulya, 2001. Soeharto VS Time Pencarian dan Penemuan Kebenaran ,Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Oemar Seno Adji, Mass Media Hukum, Erlangga, 1997,Jakarta. MacQuail, Denis, Teori Komunikasi Massa, suatu Pengantar (Terjemahan), Airlangga, Jakarta, 1989
42
Panjaitan, Hinca IP dan Siregar, Amir Effendi, 1001 Alasan UU Pers Lex Spesialis, Serikat Penerbit Surat kabar, 2004,Jakarta. Wahidin, Samsul, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Banjarmasin,2005,
Perundang-undangan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP ) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
Website Http://Angga.Org/KejahatanPersDalamPerspektifHukum Http://Majalah.Tempointeraktif.Com/ Http://Www.Lawindo.Biz/Perseroanterbatas.Htm Http://Lpmprojustitia.Blogspot.Com/2010/05/Pers-Dan-Jurnalistik.Html Http://Www.Persdanjurnalistik.Com/Sejarahpersdiindonesia. Http://Sejarahkita.Blogspot.Com/Sejarah_Pers