BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan telah memunculkan kota sebagai pusat-pusat kegiatan perekonomian dan sebagai pusat pembangunan infrastruktur untuk menunjang kegiatannya. Hal ini memicu terjadinya urbanisasi secara besar-besaran mendekati pusat perekonomian dan pusat pembangunan tersebut. Kecenderungan yang terjadi, model pembangunan yang diterapkan adalah model pembangunan yang tidak berkelanjutan yang hanya bertumpu pada pembangunan infrastruktur semata tanpa adanya perhatian terhadap ekses dari pembanguna itu sendiri. Ekses dari pembangunan tersebut belum banyak diperhatikan dan belum menjadi pertimbangan perencana pada masa terdahulu. Hasilnya, urbanisasi membawa eksternalitasnya tersendiri. Pembangunan yang pesat pada lahan yang statis ditambah lagi dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat menyebabkan terjadinya konflik kepentingan atas lahan dan kerusakan lingkungan yang tidak dapat terhindarkan di daerah perkotaan. Masyarakat pelaku urbanisasi tidak jarang mengubah ruang terbuka hijau, atau area yang tidak berpenghuni namun bukanlah daerah pemukiman (lahan-lahan informal), menjadi tempat tinggal mereka secara ilegal yang pada akhirnya menimbulkan daerah pemukiman yang liar dan tidak tertata dengan baik. Salah satu lahan informal yang menjadi pilihan kaum urban adalah lahan-lahan informal di sepanjang bantaran sungai di perkotaan.
1
Secara umum, sungai dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber air yang digunakan dalam berbagai bidang kehidupan: irigasi dan sanitasi. Namun, seiring dengan
dimanfaatkannya
bantaran
sungai
sebagai
daerah
pemukiman,
ketersediaan air secara berkelanjutan menjadi terancam dan dapat menimbulkan bencana. Area bantaran sungai telah beralih fungsi menjadi lahan permukiman baik legal maupun ilegal sedangkan sungai bukan lagi semata-mata sebagai sumber air.WALHI1 menyebutkan bahwa terdapat sebanyak 64 dari total 470 Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia saat ini dalam kondisi yang kritis dan 26 diantaranya terdapat di pulau Jawa. Hal tersebut berbanding lurus dengan kepadatan penduduk pulau Jawa apabila dibandingkan dengan kepadatan penduduk pulau lain di Indonesia. Kepadatan penduduk tersebut berdampak negatif terhadap eksistensi dan keberlanjuatan daerah aliran sungai dan kuaitas air yang mengalirinya. Lebih parah lagi, sungai tidak ubahnya menjadi tempat pembuangan sampah bagi masyarakat yang tinggal berdekatan dengan daerah aliran sungai. Masyarakat yang bermukim di sepanjang bantaran sungai memanfaatkan aliran sungai sebagai tempat pembuangan akhir sampah dan limbah rumah tangga serta limbah industri. Hal ini berkenaan dengan pola pikir masyarakat yang masih konvensional yang menganggap bahwa sungai adalah “halaman belakang” yang berfungsi sebagai tempat pembuangan. Bukan sebagai halaman depan rumah yang
1
“Pelayanan Air Minum Jakarta dan Pencemaran Air”. 2010. http://www.walhi.or.id/index.php/id/kampanye-dan-advokasi/tematik/air/66-pelayanan-air-min um-jakarta-dan-pencemaran-air-.html 2
harus dijaga penampilan dan kebersihannya. Hal ini juga berkaitan erat dengan adanya budaya instan dalam masyarakat; yaitu apabila sampah dibuang di aliran sungai maka pembuang sampah tersebut tidak akan lagi menjumpai atau melihat sampah yang telah dibuangnya tersebut tanpa menyadari bahwa sampah tersebut hanya berpindah tempat saja dan mencemari daerah aliran sungai di bawahnya. Alih fungsi lahan bantaran sungai terjadi secara pesat di kota-kota besar, tidak terkecuali di daerah Yogyakarta. Dibandingkan dengan wilayah lainnya, daerah Kota Yogyakarta mengalami alih fungsi lahan bantaran sungai lebih tinggi. Hal ini diakibatkan oleh tingginya dorongan urbanisasi dan mobilitas masyarakat ke daerah perkotaan Yogyakarta. Julukan sebagai kota pelajar rupanya mendorong mobilitas masyarakat ke daerah Kota Yogyakarta menjadi semakin tinggi. Ditambah lagi, Kota Yogyakarta merupakan pusat perokonomian sehingga tidak mengherankan apabila banyak pendatang yang bermukim di Kota Yogyakarta. Implikasianya, ketersediaan lahan yang cenderung statis berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah. Bantaran sungai menjadi solusi para pendatang tersebut untuk dapat tinggal dan melakukan aktivitasnya di Kota Yogyakarta. Bantaran sungai merupakan pilihan bagi mereka karena harga tanah yang relatif tidak mahal dan alasan proksimiti dan keterjangkauan akses terhadap sarana maupun pusat perekonomian, pendidikan, dan lain-lain. Tidak dapat dipungkiri, densitas penduduk tersebut khususnya di kawasan bantaran sungai telah membawa dampak yang buruk bagi kondisi sungai dan kondisi tempat tinggal masyarakat itu sendiri. Pencemaran air merupakan hal yang tidak terhindarkan, seperti yang tergambarkan dalam tabel 1 berikut ini. 3
Tabel 1. Status Mutu Air di Provonsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011
Sumber: Laporan SLDH Provinsi DIY Tahun 2011 Klasifikasi sungai di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ternyata telah masuk ke dalam klasifikasi cemar berat sehingga perlu adanya usaha untuk menanganinya. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah telah merumuskanprogram yang berkenaan dengan pengelolaan lingkungan hidup tersebut. Program Kali Bersih (PROKASIH) merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk mengembalikan kualitas air sungai di Indonesia. Pelaksanaan PROKASIH diatur dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 1995. Pasal 3 (1) dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup tersebut mencantumkan 3 (tiga) tujuan utama kebijakan PROKASIH, yaitu: 1) tercapainya kualitas air sungai yang baik, 2) terbentuknya sistem kelembagaan, dan 3) terwujudnya kesadaran dan tanggung jawab masyarakat. Rumusan kebijakan PROKASIH mensyaratkan adanya partisipasi aktif masyarakat untuk dapat mengintegrasikan kepedulian terhadap lingkungan sekitarnya dalam kehidupan sehari-hari dan agar dapat hidup 4
harmonis berdampingan dengan alam sekitarnya. Pembentukan kelembagaan masyarakat dimaksudkan untuk dapat mewadahi aspirasi rakyat dan untuk mengorganisasi masyarakat dalam menjaga lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan pula bahwa nafas kebijakan PROKASIH adalah kebijakan yang bottom-up karena telah mengapresiasi adanya pembentukan kelembagaan ditingkat paling dasar (masyarakat) dan adanya ekspektasi mengenai peran serta aktif masyarakat di dalamnya. Pelaksanaan PROKASIH di Kota Yogyakarta telah dimulai sejak tahun 2003 yang difokuskan untuk menangani permasalahan kualitas air sungai di tiga sungai besar di Kota Yogyakarta, yaitu sungai Code, sungai Gajah Wong dan sungai Winongo. Tabel 2 berikut ini menunjukkan tingkat kualitas air dari ketiga sungai tersebut. Tabel 2. Kualitas Air Sungai Sasaran PROKASIH
5
Pada tabel diatas dapat dijelaskan bahwa angka-angka yang tercetak tebal merupakan
hasil
olah
penelitian
terhadap
kualitas
air
berdasarkan
indikator-indikator yang ada yang telah melampaui ambang batas minimal. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketiga sungai tersebut telah mengalami pencemaran berdasarkan parameternya masing-masing. Secara umum, problematika yang hendak ditangani dan sedang dihadapi adalah adanya pemukiman ilegal, resiko bencana banjir, tanah longsor, lahar dingin, sampah, dan limbah industri 2 yang mengakibatkan menurunnya atau memburuknya kualitas air dan kualitas lingkungan hidup sepanjang bantaran sungai. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 32 Tahun 2011 tentang Program Kali Bersih 2012-2016, fokus utama program terpusat pada revitalisasi sungai Winongo yang mempunyai masalah utama berupa hunian liar, keramba, sampah dan limbah industri3. Implementasi PROKASIH ini sejalan dengan misi Peraturan Daerah Kota Yogyakarta nomor 1 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP) Kota Yogyakarta tahun 2005-2025 yaitu untuk mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan yang berkualitas, pariwisata berbasis budaya dan pusat pelayanan jasa yang berwawasan lingkungan. Serta, sesuai dengan salah satu kearifan lokal budaya Jawa yang tertuang dalam pepatah Jawa “memayu hayuning bawana” yang secara literal dapat diartikan sebagai semangat melestarikan keindahan dunia dan isinya yang dapat dipahami
2
http://intisari-online.com/read/upaya-menjaga-identitas-kota-yogyakarta
3
ibid 6
sebagai semboyan untuk selalu menjaga dan melestarikan alam semesta, atau dengan kata lain adanya harmonisasi kehidupan manusia dengan alam. Sungai Winongo merupakan satu dari tiga sungai besar yang membelah Kota Yogyakarta. Sungai ini melintasi tiga wilayah di Yogyakarta dari hulu sampai hilir; kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan kabupaten Bantul. Di kawasan Kota Yogyakarta, sungai Winongo melintas sepanjang 11 (sebelas) kilometer, melalui 6 (enam) kecamatan, 11 (sebelas) kelurahan dan 54 (lima puluh empat) RW dan merupakan bagian kehidupan dari 10.800 jiwa penduduk di sepanjang alirannya. Salah satu kawasan yang dilalui oleh sungai Winongo (kecamatan Tegalrejo) termasuk dalam empat kecamatan4 di Kota Yogyakarta yang tergolong dalam wilayah berpenduduk miskin terbanyak dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di kecamatan lainnya. Data BPS5 pada tahun 2011 menunjukan bahwa terdapat 12.827 jiwa dari total 31.903 jiwa warga miskin Kota Jogja yang tinggal dibantaran sungai Code, Winongo dan Gajah Wong. Jumlah tersebut dapat menggambarkan bahwa daerah-daerah bantaran sungai mayoritas dihuni oleh kaum urban yang miskin. Implikasinya, ketersediaan sarana sanitasi dan kesehatan lingkungan pun masih minim yang dapat berdampak pada kesehatan masyarakat itu sendiri. Selain itu, padatnya pemukiman penduduk dan kurang layaknya daerah pemukiman serta buruknya sistem sanitasi menyebabkan terjadinya pencemaran air tanah oleh bakteri E.Colli yang digambarkan dengan tabel 3 sebagai berikut.
4 5
Kecamatan Gedongtengen, Mergangsan, Tegalrejo dan Umbulharjo. http://gaul.solopos.com/bantaran-sungai-pusat-kemiskinan-di-jogja-377221.html 7
Tabel 3. Data Hasil Pemantauan Kualitas Air Sumur
Data diatas merupakan data hasil pengukuran kualitas air sumur yang berada di sepanjang bantaran sungai Winongo dari kecamatan Tegalrejo sampai ke kecamatan Kraton. Dapat dicermati, secara keseluruhan, bahwa bakteri E. Colli yang terserap dalam air tanah di daerah tersebut telah melampaui ambang batas maksimal yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat yang mengkonsumsi air tersebut untuk keperluan sehari-hari. Sedangkan, pengukuran terhadap kualitas air sungai Winongo6 pada tahun 2012 menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda.
6
Pemantauan di lakukan di Jembatan Kricak, Tegal Rejo, Yogyakarta 8
Tabel 4. Kualitas Air Sungai Winongo Tahun 2012
Sumber: Badan Lingkungan Hidup Provinsi DIY7 Sejak tahun 2009, masyarakat di sepanjang bantaran sungai Winongo telah membentuk suatu kelompok yang dinamakan Forum komunikasi Winongo Asri (FKWA). FKWA mewadahi delapan kelompok atau paguyuban di masing-masing daerah di sepanjang aliran sungai Winongo di Kota Yogyakarta.Kedelapan kelompok tersebut dinamakan sebagai titik-titik ungkit, yaitu: 1) Becak Maju, 2) Bendolole, 3) Tombro, 4) Greskap, 5) Pakalan, 6) Wiranata, 7) Pandu Wijayan,
7
Dapat diunduh melalui http://blh.jogjaprov.go.id/wp-content/uploads/Sungai-2012.rar 9
dan 8) Gedong Dukuh Julantoro). Pada kedelapan titik tersebut akan/telah dibangun sarana dan prasarana yang mendukung tujuan utama dibentuknya FKWA yaitu menjadikan kawasan Winongo yang asri dan ramah lingkungan dengan adanya ruang terbuka hijau dan ruang-ruang publik yang juga dapat dijadikan sebagai kawasan wisata untuk masyarakat lokal maupun masyarakat dari luar daerah titik ungkit tersebut sebagaimana master plan FKWA yang ingin dicapai pada 2030 mendatang. Dari kedelapan titik ungkit tersebut, dua titik diantaranya belum mengalami kemajuan yang berarti, yaitu di kawasan Kricak Selatan, Jetis dan Bener (titik Bendolole) dan kawasan Suryowijayan8. Urgensi partisipasi masyarakat dalam implementasi program kebijakan, terutama bidang lingkungan, terletak pada hubungan antara manusia dengan alam lingkungan tempat tinggalnya. Target utama program kebijakan lingkungan bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan alam yang secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut: kualitas lingkungan yang baik akan meningkatkan kualitias hidup masyarakatnya. Terdapat proses timbal balik dalam hal ini. Perilaku masyarakat juga mempunyai peranan yang signifikan terhadap perubahan kualitas lingkungan. Ekses kegiatan manusia dapat menyebabkan polusi dan kerusakan terhadap alam yang secara empiris telah dipaparkan sebelumnya. Sehingga kebijakan lingkungan hidup lebih cenderung sebagai upaya kuratif terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi. Oleh karena itu, kunci utama
8
http://jogja.tribunnews.com/2012/11/12/2013-penataan-das-di-yogya-berbasis-komunitas/ 10
keberhasilan program kebijakan lingkungan hidup terletak pada aspek sosialnya. Dalam hal ini, partisipasi masyarakat dapat dimakanai sebagai aksi nyata pertwujudan program kebijakan lingkungan hidup yang dapat menimbulkan perubahan terhadap perilaku manusia itu sendiri maupun terhadap peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya. Pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) melibatkan berbagai sektor dan melibatkan banyak instansi di dalamnya. Bukan hanya bertumpu pada infrastuktur, melainkan juga berkenaan dengan masyarakat yang bermukim di sepanjang DAS tersebut. Pada hakekatnya, manusia merupakan pihak yang terkena dampak langsung dari kebijakan yang dirumuskan untuk mengatur pengelolaan DAS. Selain itu, masyarakat merupakan aktor utama dalam pengelolaan DAS secara berkelanjutan. Pengelolaan daerah aliran sungai secara terpadu dan berkelanjutan hanya akan tercapai apabila masyarakat berperan aktif dalam menjalankan program yang telah diformulasikan dan berperan serta dalam proses perumusan kebijakan itu sendiri. Kunci keberhasilan partisipasi sendiri terletak pada adanya kaitan antara kepentingan kebijakan dan kepentingan masyarakat di dalamnya. Apabila kebijakan manajemen lingkungan tersebut tidak bersinggungan langsung atau membawa dampak yang nyata bagi masyarakat, niscaya masyarakat pun enggan berperan aktif dalam mengimplementasikan kebijakan yang telah dirancang sedemikian rupa oleh para perumus kebijakan. Beberapa
penelitian
telah
dilakukan
untuk
meneliti
mengenai
pemeliharaan lingkungan di Kota Yogyakarta, khususnya bantaran Sungai Winongo. Handono, dkk (2007) melalui penelitiannya yang berjudul “Perilaku 11
Masyarakat Bantaran Sungai Winongo dalam Menjaga Kebersihan dan Kerapian Lingkungan” menemukan bahwa faktor yang paling berpengaruh dalam perilaku menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan bantaran Sungai Winongo adalah persepsi kontrol masyarakat. Sendangkan sikap dan norma subjektif tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku menjaga kebersihan dan kerapian lingkungan. Penelitian lainnya dilakukan oleh Suminar, dkk (2011) dengan judul “Strategi Penyusunan Pola Tata Komunitas Berbasis Partisipasi Masyarakat Bantaran Sungai Winongo” menemukan pemimpin-pemimpin lokal (tokoh-tokoh lokal) memegang peranan penting dalam menumbuhkan partisisipasi masyarakat dalam program penataan komunitasnya, namun keterbatasan pendidikan dan akses menyebabkan tidak adanya inovasi dan menyebabkan kegiatan yang monoton. Penelitian ini juga menemukan bahwa forum stakeholders dapat menumbuhkan kesadaran inter dan antar warga komunitas serta dapat mengembangkan jejaring dan optimalisasi fungsi kelompok. Annawaty (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Sebagai Upaya menciptakan Pemukiman yang Sehat dan Nyaman Huni” menemukan bahwa terdapat tiga kendala dalam mewujudkan pemukiman yang sehat dan nyaman huni: kendala fisik lingkungan yang berkaitan dengan kepadatan pemukiman, kendala sosial ekonomi warga, dan kendala interaksi sosial dan kelompok masyarakat yang masih belum dapat melibatkan warga secara maksimal. Tokoh masyarakat mempunyai peran yang penting dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat, namun solusi yang dirumuskan warga masih bersifat sementara dan belum menyeluruh. 12
Berdasarkan argumentasi dan penelitian terdahulu yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian ini dipusatkan di kawasan Kricak dibawah Paguyuban Bendolole Asri dalam menjalankan Program Kali Bersih. Alasan pemilihan obyek penelitian tersebut adalah letak wilayah dan fungsi sungai wilayah tersebut, serta keunikan dari objek penelitian tersebut. Wilayah Bendolole berada di bawah wilayah Bener-Kricak (Becak Maju) yang merupakan titik ungkit pertama atau hulu sungai Winongo di Kota Yogyakarta dan telah dapat digolongkan sebagai wilayah yang maju dalam mengelola lingkungan sungainya dengan telah diresmikannya sarana ruang terbuka hijau bagi masyarakat. Sebagai titik ungkit kedua yang masih tergolong ke dalam wilayah hulu Sungai Winongo dalam lingkup Kota Yogyakarta, pengelolaan wilayah Bendolole Asri menjadi penting sebagai kebersinambungan antar titik ungkit yang berada di sepanjang sungai Winongo. Sedangkan dalam hal fungsi, wilayah Bendolole mempunyai satu-satunya bendung di sepanjang Sungai Winongo di kawasan Kota Yogyakarta yang berfungsi sebagai sumber utama penggelontoran saluran air kotor (Adirpadana dan Rijanta, 2012: 185) sehingga mempunyai permasalahan keberlanjutannya (sustainability) yang berbeda dengan wilayah lainnya. Di sisi lain, implementasi Prokasih telah lama dilakukan di kawasan Kota Yogyakarta namun belum membawa dampak yang signifikan. Hal ini dapat dilihat dari tabel hasil pengamatan terhadap kualitas baku mutu air sungai yang telah tersaji dalam pembahasan sebelumnya. Kualitas air sungai di kawasan Sungai Winongo tergolong dalam kondisi cemar berat. Oleh karena itu, warga bantaran Sungai Winongo kemudian membentuk Paguyuban Bendolole Asri pada Juli 2009. 13
Awal pembentukan Paguyuban Bendolole Asri di bawah bendera Forum Komunikasi Winongo Asri yang dimaksudkan sebagai jawaban atas kegelisahan warga mengenai permasalahan lingkungan yang semakin kompleks dan semakin urgen untuk ditangani. Namun pada kenyataannya, hal tersebut belum mampu membawa perubahan yang signifikan terhadap pola perilaku masyarakat bantaran sungai dan terhadap kualitas baku mutu sungai Winongo.
Gambar 1. Tumpukan Sampah di Bantaran Sungai Winongo Tepat di atas Bendung Bendolole Sumber: observasi lokasi penelitian pada 22 November 2013
Pola perilaku masyarakat yang masih membuang sampah di bantaran sungai merupakan bukti nyata masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan, khususnya bantaran sungai Winongo yang notabene merupakan lokasi pemukiman di mana mereka tinggal. 1.2. Rumusan Masalah Seperti
yang
diimplementasikan
di
telah
disebutkan
Indonesia
selama
sebelumnya,
PROKASIH
bertahun-tahun
namun
telah belum 14
menunjukkan dampak yang signifikan. Pelaksanaan PROKASIH tidaklah dapat berjalan sesuai dengan tujuan awal dirumuskannya program tersebut apabila tidak terdapat partisipasi masyarakat yang terdampak (affected society). Adanya 2 (dua) wilayah yang belum dapat menjalankan program secara optimal mengisyaratkan bahwa terdapat permasalahan yang muncul dalam pelaksanaan program tersebut. Oleh karena itu, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Mengapa partisipasi masyarakat kelurahan Kricak yang tergabung dalam Paguyuban Bendolole Asri dalam upaya pelestarian lingkungan melalui pelaksanaan PROKASIH masih lemah? 1.3. Tujuan Penelitan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan partisipasi masyarakat yang tergabung dalam Paguyuban Bendolole Asri di kelurahan Kricak dalam upaya pelestarian lingkungan melalui pelaksanaan PROKASIH. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah: penelitian ini dapat dijadikan sebagai gambaran mengenai apa yang sebenarnya terjadi di level paling bawah dari penerapan suatu program, sehingga dapat merancang penerapan program sesuai dengan tingkat permasalahan dan kompleksitas yang dihadapi masyarakat penerima dampak suatu kebijakan, 2. Bagi masyarakat: masyarakat dapat mengetahui posisinya dalam menjalankan sebuah program pemerintah sehingga dapat berperan aktif dalam merumuskan dan menjalankan program sesuai dengan kebutuhan daerahnya masing-masing, 15
3. Bagi akademisi: penelitian ini dapat dijadikan suatu rujukan awal dalam penelitian dengan tema yang sama.
16