BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan bagian dari pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diarahkan pada peningkatan harkat, martabat, kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, baik material maupun spriritual.1 Tidak mengherankan, jika hubungan industrial di Indonesia ini menganut pula hubungan industrial yang berlandaskan pengamalan nilai-nilai Pancasila, atau disebut dengan hubungan industrial Pancasila. Pendekatan Pancasila menjadi tolak ukur utama dalam hubungan industrial karena adanya proses musyawarah mufakat baik formal maupun informal yang bersandar pada peraturan positif dan kenyataan berdasarkan kepentingan nasional.2 Hubungan industrial Pancasila ini menghendaki adanya situasi yang kondusif serta harmonis antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Terbentuknya komunikasi yang baik antara pekerja dan pengusaha, serta adanya persamaan derajat antara semua elemen yang ada di perusahaan dalam hubungan kerja menjadi konsep dasar hubungan industrial Pancasila. Arahnya, adalah untuk menciptakan sistem dan kelembagaan yang ideal,
1
Adrian Sutedi, 2009, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 14. Craig Johnson, 2013, Pembangunan Tanpa Teori: Kuasa Pengetahuan dan Perubahan Sosial, Resist Book, Yogyakarta, hlm. 116.
2
2
sehingga, tercipta kondisi yang produktif, harmonis, dinamis dan berkeadilan.3 Dengan kata lain, hubungan industrial yang ideal menurut konsep hubungan industrial Pancasila merupakan hubungan industrial yang damai dan kondusif, atau singkatnya diterjemahkan sebagai hubungan industrial yang tanpa konflik. Kenyataannya, mewujudkan hubungan industrial sesuai dengan konsep hubungan industrial Pancasila tidak semudah yang dibayangkan. Seperti yang kita ketahui, dunia ketenagakerjaan di Indonesia merupakan dunia yang sarat akan konflik kepentingan. Perbedaan tujuan yang mendasar antara pekerja/buruh dengan pengusaha merupakan sumber konflik kepentingan tersebut. Di satu sisi pengusaha mengejar keuntungan sebesar-besarnya dengan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi, termasuk upah pekerja/buruh serendah-rendahnya dengan menuntut produktivitas mereka setinggi-tingginya, sementara di sisi lain pekerja/buruh tujuannya untuk mendapatkan penghasilan sebesar-besarnya, dengan harapan tenaga atau produktivitas yang dikeluarkan serendah-rendahnya. Kondisi hubungan industrial juga semakin parah dengan adanya ketidaksetaraan hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Ketidaksetaraan hubungan antara pekerja dan pengusaha menjadikan hubungan tersebut sebagai sebuah hubungan yang cenderung eksploitatif dan bersifat sepihak.4 Posisi pekerja/buruh yang lebih subordinat dibanding dengan pengusaha terutama disebabkan adanya ketimpangan ekonomi di antara keduanya, yang membuat posisi tawar pekerja/buruh menjadi lebih lemah. Dengan fakta seperti itu, konsep yang dibentuk dalam hubungan industrial Pancasila
3
Adrian Sutedi, Op.cit, hlm. 23. Ari Hernawan, 2013, Ketidakadilan dalam Norma dan Praktik Mogok Kerja di Indonesia, Udayana University Press, Denpasar, hlm. 1.
4
3
cenderung menjadi slogan belaka. Rumusan yang sangat baik yang dicita-citakan konsep hubungan indsutrial Pancasila menjadi tidak bermanfaat karena tidak sejalan dengan realitas yang ada. Istilah “pengusaha adalah mitra buruh” dan “buruh adalah mitra pengusaha” hanyalah samar-samar ditemui dalam pelaksanaannya.5 Ketidaksetaraan hubungan antara pengusaha dan pekerja/buruh kerap kali membuat pelaksanaan dalam hubungan industrial maupun hubungan kerja menjadi tidak
harmonis.
Ketidakharmonisan
hubungan
antara
pengusaha
dengan
pekerja/buruh salah satunya disebabkan adanya perbedaan pendapat terkait pemenuhan hak-hak normatif pekerja/buruh dalam hubungan kerja oleh pengusaha. Ketidakharmonisan tersebut tak jarang berubah menjadi konflik, bahkan meruncing hingga menjadi sebuah perselisihan hubungan industrial. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 22 serta Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Pasal 1 angka 1 mendefinisikan perselisihan hubungan industrial sebagai “perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha
atau
gabungan
pengusaha
dengan
pekerja/buruh
atau
serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”. Perselisihan hubungan industrial yang paling sering ditemui adalah perselisihan hak, yaitu ada kesepakatan dan hak normatif yang tidak dilaksanakan.6 Perselisihan hak tersebut terjadi antara pengusaha dengan pekerja/buruh, dan biasanya mengenai hak 5
Adrian Sutedi, Op.cit, hlm.32. Danang Dermawan, 2014, “Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 6.
6
4
normatif berupa upah. Paket Undang-Undang Ketenagakerjaan pasca reformasi, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebisa mungkin dilakukan dengan jalan damai, melalui perundingan. Forum penyelesaian secara bipartit merupakan tahapan yang wajib dilakukan oleh pengusaha dengan pekerja/buruh dalam upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Seringkali perundingan bipartit ini berujung dengan jalan buntu atau yang sering disebut dengan gagal runding akibat kedua belah pihak saling bertahan kepada tuntutannya masing-masing. Sebagai akibat dari meruncingnya perselisihan hubungan industrial akibat gagalnya perundingan, kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja/buruh oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dipersenjatai untuk mengusahakan hak mereka masing-masing, yakni pengusaha melalui jalan penutupan perusahaan atau lock out, sementara dari sisi pekerja/buruh diberikan jalan berupa mogok kerja atau strike. Jika dibandingkan dengan lock out, mogok kerja ini lebih sering terjadi.7 Melalui mogok kerja, pekerja/buruh dituntut kecakapannya untuk memperjuangkan pelaksanaan hak-hak mereka.8 Mogok kerja merupakan bentuk gerakan protes, yang juga bagian dari usaha merundingkan perbaikan hubungan indsutrial, namun dilakukan bila tidak terdapat alternatif lain untuk menuntut hak mereka.9
7
Ari Hernawan, Op.cit, hlm. 2. Adrian Sutedi, Op.cit, hlm. 18. 9 D. Koeshartono dan M.F. Shellyana Junaedi, 2005, Hubungan Industrial: Kajian Konsep dan Permasalahan, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm. 108. 8
5
Mogok kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 angka 23 diartikan sebagai “tindakan pekerja/buruh yang direncanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan”. Pada praktiknya, cara pekerja menyampaikan tuntutan dan aspirasinya dalam mogok kerja juga cenderung dilakukan dengan tindakan yang dapat menarik perhatian masyarakat, misalnya sebagian pekerja merusak perusahaan atau long march dari perusahaan ke kantor DPR, DPRD atau Komnas HAM sambil menggelar sejumlah poster berisi kecaman terhadap perusahaan atau pejabat pemerintahan berkaitan dengan kebijakan yang dikeluarkannya di bidang ketenagakerjaan.10 Menilik kenyataan pada praktik seperti itu, sudah sepantasnya mogok kerja diatur dalam rangka pembatasan hak mogok untuk meminimalisasi dampak negatifnya. Pembatasan mogok kerja merupakan satu hal yang dapat dilakukan, karena menurut International Labour Organization (ILO) tidak boleh ada larangan mogok kerja, yang diperbolehkan adalah pembatasan mogok kerja.11 Mogok kerja diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dari Pasal 137-145, selain itu termuat pula dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 232 Tahun 2003 Tentang Akibat Hukum Mogok Kerja yang Tidak Sah dan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 368.Kp.02.33.2003 Tentang Prosedur Mogok Kerja dan Penutupan Perusahaan (Lock Out). Mogok kerja merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/buruh, hal ini secara tegas dan eksplisit dimuat dalam Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13 10 11
Ari Hernawan, Op.cit, hlm. 3. Ibid, hlm. 4.
6
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Mogok kerja baru dapat dilakukan apabila terjadi gagal runding, yaitu apabila tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau melakukan perundingan atau perundingan mengalami jalan buntu. Sehingga tanpa adanya suatu perselisihan yang mengalami jalan buntu, mogok kerja tidak dapat dilakukan. Mogok kerja ini merupakan hal yang menarik, karena memberikan kesempatan bagi pekerja/buruh yang secara posisional sifatnya lebih subordinat dari pengusaha untuk melakukan protes dan memperjuangkan hak-hak mereka. Diharapkan dengan mogok kerja, yaitu memperlambat atau menghentikan pekerjaan, kegiatan produksi pengusaha menjadi terhambat, sehingga pengusaha menyadari peran pekerja/buruh dalam proses produksinya, yang kemudian memberikan kesempatan pekerja/buruh untuk menyampaikan pendapatnya. Mogok kerja ini merupakan tindakan yang bersifat kolektif yang dilakukan secara “bersama-sama”, sehingga tidak dapat dilakukan oleh hanya satu pekerja/buruh saja. Ini artinya, pemogokan harus melibatkan lebih dari satu pekerja, jika hanya seorang pekerja saja yang melakukan mogok kerja tidak akan memperoleh perlindungan hukum, karena hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mogok kerja.12 Mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh juga harus dilakukan secara sah atau yang disebut dengan mogok kerja sah, dalam arti pekerja/buruh dalam melakukan mogok kerja harus memenuhi ketentuan Pasal 140 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketengakerjaan. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain, sekurangkurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan wajib 12
Ari Hernawan, “Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pengusaha dalam Mogok Kerja”, Mimbar Hukum, Volume 32, Nomor 3, Oktober 2012, hlm. 422.
7
memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi ketenagakerjaan setempat yang memuat waktu dimulai dan diakhiri mogok kerja, tempat mogok kerja, alasan mogok kerja serta tanda tangan penanggung jawab mogok kerja. Aturan mengenai mogok kerja tidak berlaku universal untuk semua jenis perusahaan. Hal ini terbukti pada Pasal 139 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur berbeda mengenai ketentuan mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia. Pasal 139 tersebut berbunyi sebagai berikut “pelaksanaan mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga
tidak
mengganggu
kepentingan
umum
dan/atau
membahayakan
keselamatan orang lain”. Pasal 139 tersebut secara spesifik membedakan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan jiwa orang lain, dengan kata lain perusahaan tersebut tidak sama dengan perusahaan-perusahaan biasa lainnya, sehingga pengaturan mogok kerjanya pun harus diatur secara berbeda. Menariknya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sendiri tidak memberikan definisi yang jelas dan pasti mengenai perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa orang lain. Pada penjelasan Pasal 139 tersebut hanya menyebutkan bahwa “yang dimaksud dengan perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia adalah rumah sakit, dinas pemadam kebakaran, penjaga
8
pintu perlintasan kereta api, pengontrol pintu air, pengontrol arus lalu lintas udara dan pengontrol arus lalu lintas laut”. Pada kenyataannya, terdapat pekerja/buruh dari perusahaan yang masuk pada kategori di Penjelasan Pasal 139 tersebut yang melakukan mogok kerja. Contohnya di Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, pada hari Rabu tanggal 27 November 2013 silam, ratusan dokter dari berbagai rumah sakit dan berbagai spesialis menggelar aksi mogok kerja di RSUP Sardjito Yogyakarta mulai pukul 08.00-09.00 WIB.13 Dilihat dari alasan mogok kerja yang dilakukan dokter RSUP Sardjito Yogyakarta tersebut, menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak termasuk kategori mogok kerja, karena tidak didasari adanya perundingan yang gagal akibat perselisihan hubungan industrial, melainkan hanya aksi solidaritas rekan sejawat dalam kaitan kasus pidana terhadap dr. Ayu. Selain rumah sakit, untuk kategori pengontrol arus lalu lintas udara, di Yogyakarta, pekerja/buruh PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta juga pernah melakukan mogok kerja. Selama sehari penuh tanggal 9 Mei 2008, sekitar 200 pekerja/buruh anggota Serikat Pekerja PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto melakukan mogok kerja dalam kaitan tuntutan hak mereka kepada direksi yang berkaitan dengan peningkatan gaji pokok, tunjangan hari tua dan tunjangan kerja.14
13
Abdul Hamied Razak, “Dokter di RSUP Dr. Sardjito Gantung Jas”, http://www.harianjogja.com/baca/2013/11/27/kasus-dokter-ayu-dokter-di-rsup-dr-sardjitogantung-jas-469008, diakses tanggal 7 Oktober 2014. 14 Anonim, “Karyawan Bandara Adisutjipto Sepakat Mogok”, http://tekno.kompas.com/read/2008/05/07/11045434/karyawan.bandara.adisutjipto.sepakat.mogo k, diakses tanggal 7 Oktober 2014.
9
Pasal 139 juga mengatur bahwa mogok kerja yang dilakukan oleh pekerja/buruh pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia diatur sedemikan rupa sehingga
tidak
mengganggu
kepentingan
umum
dan/atau
membahayakan
keselamatan orang lain. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 139 tersebut mencantumkan bahwa pemogokan diatur sedemikian rupa adalah pemogokan yang dilakukan oleh para pekerja/buruh yang sedang tidak menjalankan tugas. Hal tersebut menjadi sangat menarik, karena seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 angka 23, definisi mogok kerja pada intinya merupakan tindakan yang bertujuan untuk “menghentikan atau memperlambat pekerjaan”. Jika mogok kerja pada perusahaan tersebut dilakukan oleh pekerja/buruh yang sedang tidak menjalankan tugas, maka mogok kerja tersebut seperti kehilangan esensinya, yaitu untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan yang menghasilkan tekanan kepada pengusaha dalam rangka upaya memperjuangkan hak-hak mereka yang dilanggar oleh pengusaha. Lebih rinci lagi, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 145 yang menentukan bahwa “dalam hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan
hak
normatif
yang
sungguh-sungguh
dilanggar
oleh
pengusaha,
pekerja/buruh berhak mendapatkan upah”, hal ini berarti secara eksplisit UndangUndang menentukan bahwa pekerja/buruh pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia yang melakukan mogok kerja secara sah berhak mendapatkan upah. Tetapi, ketentuan ini seakan bertabrakan dengan ketentuan Pasal 93 yang menentukan bahwa “upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak
10
melakukan pekerjaan” atau disebut dengan asas no work no pay. Pekerja/buruh yang mogok kerja berdasarkan Pasal 139 merupakan pekerja/buruh yang sedang tidak bertugas, yang otomatis pada hari ketika pekerja/buruh tersebut mogok kerja semestinya ia tidak mendapatkan upah, namun, ketentuan Pasal 145 menyebutkan apabila mogok kerja dilakukan secara sah, maka ia berhak mendapatkan upah. Lantas bagaimana perhitungan upah pekerja/buruh tersebut? Hal ini menjadi sangat menarik untuk diteliti implementasinya, terlebih ketentuan mengenai mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia hanya terdapat dalam satu pasal saja yakni Pasal 139 beserta penjelasannya, dan tidak diatur lebih lanjut pada peraturan perundang-undangan pelaksanaan lainnya. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut, yang hasilnya dituangkan dalam bentuk penulisan hukum dengan judul Implementasi Mogok Kerja Sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang Bekerja pada Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang Jenis Kegiatannya Membahayakan Keselamatan Jiwa Manusia (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta).
11
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, dapat diambil rumusan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah ketentuan mengenai mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia yang menghendaki bahwa “pelaksanaan mogok kerja diatur sedemikian rupa, yaitu pemogokan dilakukan oleh para pekerja/buruh yang tidak sedang menjalankan tugas” sudah sesuai dengan hakekat mogok kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta? 2. Bagaimana penyelesaian pemberian hak atas upah bagi pekerja/buruh yang mogok secara sah pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia, dikaitkan dengan asas “no work no pay” pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif a. Untuk mengetahui kesesuaian ketentuan mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya
12
membahayakan keselamatan jiwa manusia dengan hakekat mogok kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta. b. Untuk
mengetahui
penyelesaian
pemberian
hak
atas
upah
bagi
pekerja/buruh yang mogok secara sah pada perusahaan yang melayani kepentingan
umum
dan/atau
perusahaan
yang
jenis
kegiatannya
membahayakan keselamatan jiwa manusia jika dikaitkan dengan asas “no work no pay” pada kasus mogok kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto Yogyakarta. 2. Tujuan Subjektif Tujuan subjektif dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data guna menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk meraih derajat S-1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Keaslian Penelitian Sejauh penelusuran yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, penulisan hukum dengan judul “Implementasi Mogok Kerja Sebagai Hak Dasar Pekerja/Buruh dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh bagi Pekerja/Buruh yang Bekerja pada Perusahaan yang Melayani Kepentingan Umum dan/atau Perusahaan yang Jenis Kegiatannya Membahayakan Keselamatan Jiwa Manusia” (Studi Kasus Mogok Kerja di PT. Angkasa Pura I Bandara Adisutjipto
13
Yogyakarta), belum pernah dilakukan. Penulis menemukan beberapa penulisan hukum yang membahas mengenai mogok kerja, yaitu: 1. Ari Hernawan, Tahun 2011, dengan judul “Pengaturan dan Implementasi Mogok Kerja di Indonesia”. Penelitian ini menitikberatkan pada ketentuan mogok kerja dari segi teksnya dengan metode hermeneutika hukum untuk mencari kesesuaian filosofi Hubungan Industrial Pancasila dengan peraturan ketenagakerjaan yang berkenaan dengan mogok kerja dan perimbangan hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha dalam peraturan ketenagakerjaan yang berkenaan dengan mogok kerja.15 2. Andik Widianto, Tahun 2012, dengan judul penulisan hukum “Tinjauan Yuridis Mengenai Mogok Kerja Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta”. Penelitian ini menitikberatkan pada sebab terjadinya permasalahan mogok kerja yang dilakukan oleh Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PUK FSP NIBA KSPSI) PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta yang tidak sesuai dengan Undang-Undang.16 3. Danang Dermawan, Tahun 2014, dengan judul penulisan hukum “Pemenuhan Hak Pekerja Akibat Mogok Kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta”. 15
Ari Hernawan, 2011, “Pengaturan dan Implementasi Mogok Kerja di Indonesia”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 40. 16 Andik Widianto, 2012, “Tinjauan Yuridis Mengenai Mogok Kerja Pengurus Unit Kerja Federasi Serikat Pekerja Niaga, Bank, dan Asuransi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia PT. ALFA Retailindo, Tbk Yogyakarta”, Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 8.
14
Penelitian ini menitikberatkan pada faktor penyebab dan pemenuhan hak pekerja akibat mogok kerja di PT. Jogja Tugu Trans Yogyakarta.17 Ketiga judul hasil penelitian di atas, tidak identik dengan penelitian yang dilakukan penulis meskipun memiliki tema yang sama yakni mengangkat tema mogok kerja. Adapun penelitian yang dilakukan oleh penulis menitikberatkan pada tinjauan kesesuaian ketentuan mengenai mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia dengan hakekat mogok kerja yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, beserta penyelesaian pemenuhan hak atas upah bagi pekerja/buruh pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia yang melakukan mogok kerja secara sah terkait asas no work no pay. Penelitian ini memfokuskan pada pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia. Dengan demikian, penelitian ini dianggap memenuhi kaidah keaslian penelitian dan dapat dinyatakan bahwa penelitian ini merupakan karya orisinil, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis. Apabila ditemukan hasil penelitian yang sama atau hampir sama setelah penelitian ini selesai dilakukan, maka diharapkan penelitian tersebut dapat menyempurnakan penelitian yang dilakukan penulis.
17
Danang Dermawan, Op.cit, hlm. 12.
15
E. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Akademis a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, yaitu hukum ketenagakerjaan sebagai salah satu referensi tambahan yang membahas mengenai pelaksanaan mogok kerja pada perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatannya membahayakan keselamatan jiwa manusia. b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran serta menambah
wawasan
maupun
pengetahuan
di
bidang
hukum
ketenagakerjaan, khususnya mengenai konsep pengaturan mogok kerja. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana bagi penulis untuk menambah wawasan dan pengalaman dalam bidang penelitian hukum, yang merupakan bentuk pelatihan dan pembelajaran terhadap penerapan teori yang telah dipelajari.