BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Setelah melalui perjalanan panjang selama kurang lebih 7 tahun dalam pembahasan, akhirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan pada tanggal 15 Januari 2014. Kelahiran UU tentang Desa ini menggantikan peraturan tentang desa yang tertuang UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan perundangan tersebut merupakan political will dari pemerintah yang diharapkan akan
membawa
perubahan-perubahan
penting
yang
ditujukan
untuk
meningkatkan pelayanan masyarakat serta meningkatkan kesejahteraan dan keberdayaan masyarakat desa. Kehadirannya sudah sangat dinantikan oleh berbagai unsur masyarakat desa dan termasuk para kepala desa dan perangkatnya yang telah berjuang melalui demonstrasi dan upaya penyaluran aspirasi lain yang telah mereka lakukan. Kebijakan-kebijakan tata kelola desa yang dimuat dalam UU desa yang baru ini dianggap sebagai kebijakan yang membawa harapan baru dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Beberapa kebijakan tersebut, diantaranya adalah alokasi anggaran yang besar kepada desa yang dimaksudkan untuk meningkatkan anggaran desa dalam pembangunan, pelayanan, pembinaan dan pemberdayaan masyarakat desa. Kemudian adanya pemberian penghasilan tetap dan tunjangannya kepada kepala desa beserta perangkatnya yang diharapkan
1
dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa. Selain itu juga melalui UU desa ini peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) semakin diperbesar dengan adanya fungsi pengawasan sebagai kontrol pelaksanaan pemerintahan desa demi menjamin penyelenggaraan pemerintahan desa yang bersih, efektif dan efisien bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa. Desentralisasi fiskal ke desa ini akan memberikan anggaran yang lebih besar kepada desa dalam menggunakan anggaran yang dimiliki sesuai kebijakan yang diambil untuk memberikan pelayanan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat desa. Kebijakan baru ini dianggap sangat tepat mengingat peran desa yang sangat krusial dalam kehidupan bangsa dan negara. Hal itu disebabkan desa merupakan unit komunitas otonom terendah dimana pemerintahan desa sebagai garda terdepan yang langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga intervensi yang dilakukan desa akan dapat berdampak secara langsung dan lebih signifikan kepada masyarakat demi kemajuan bangsa dan negara. Hal yang membuat semakin pentingya peranan desa dalam upaya pembangunan dan pelayanan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah secara kuantitas jumlah desa lebih banyak dari kelurahan yakni mencapai 72.944 dibanding kelurahan sebanyak 8.309. Serta ditinjau dari persentase kemiskinan sampai dengan bulan Maret 2013 daerah perdesaan lebih besar yakni terdapat penduduk miskin sebanyak 14,32% dibanding di daerah perkotaan sebanyak 8,39% (BPS, 2013). Namun di sisi lain hal yang menimbulkan kekhawatiran bahwa desentralisasi fiskal ke desa ini juga menyimpan potensi negatif yang dapat
2
mengancam keberhasilan otonomi desa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bila desentralisasi tersebut tanpa disertai demoktratisasi yang memadai. Sebagaimana dari berbagai literatur menyebutkan bahwa desentralisasi tanpa disertai demokratisasi sama saja memindahkan sentralisasi dan korupsi dari pusat ke daerah/desa. Sebagaimana disampaikan Michael Pimbert bahwa desentralisasi akan mencapai hasil yang baik jika terdapat pelembagaan partisipasi masyarakat. Jika tidak maka akan berpotensi adanya kewenangan yang tidak terkontrol dari elit lokal yang mengakibatkan tindakatan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang demi memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok (Solekhan 2012:iii). Sehingga demokratisasi merupakan suatu keniscayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang memberikan keleluasaan daerah/desa untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (desentralisasi). Contoh yang bisa diambil yang terjadi pada otonomi daerah (kabupaten/kota) yang akhirnya malah melahirkan raja-raja kecil yang berlebihan dalam menggunakan kekuasaannya serta menjadi sarana transfer tindakan koruptif ke tingkat daerah. Hal itu terbukti semakin banyaknya elit daerah yang tersangkut permasalahan hukum pada era otonomi daerah yakni 295 kepala daerah yang tersangkut korupsi (Kompas, 4 Juni 2013). Demokrasi terkait erat dengan good governance yang diyakini sebagai praktek terbaik pemerintahan yang dapat mewujudkan negara dalam mencapai misinya. Konsep good governance selalu berkaitan dengan demokrasi, karena negara melalui institusi pemerintahannya dituntut bermitra dengan masyarakat, sehingga satu sama lain (masyarakat dan negara) bisa saling mengontrol
3
(Solekhan, 2012:2). Demokrasi memiliki dua dimensi yaitu dari pertama yang sering dikemukakan sebagi substansi demokrasi adalah dari dimensi masyarakat berupa partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan dimensi kedua, demokrasi dari dimensi negara/pemerintah yaitu meliputi transparansi,
responsivitas,
dan
akuntabilitas
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan. Keempat isu inilah yang menandai demokratisasi dalam suatu pemerintahan yang menenetukan keberhasilan dari desentralisasi. Namun ironisnya demokrasi yang sangat krusial bagi keberhasilan pemerintahan dengan kebijakan desentralisasi ini bisa dianggap masih belum berjalan seperti yang diharapkan. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan oleh Institute for Research and Empowerment (IRE) tahun 2001-2003 di lima desa di Jawa
Tengah
(Desa
Gadungan-Klaten,
Duwet-Klaten,
Wukirsari-Bantul,
Jenarwetan-Purworejo, dan Grogol-Sukoharjo) yang disampaikan dalam buku “Membangun Good Governance di Desa” menghasilkan beberapa temuan penting dilapangan
(Dwipayana,
2003:183-186).
Hasil
penelitian
menunjukkan
demokratisasi belum berjalan optimal dalam rana implementasi di lapangan. Pertama, peran lembaga desa dan masyarakat dalam pemerintahan desa masih rendah dan masih didominasi oleh kepala desa. Hal ini menandakan perubahan struktur ternyata belum diikuti perubahan kultur dan tradisi paternalistik yang memposisikan kepala desa sebagai orang kuat yang berpengaruh dan disegani. Kedua, peran BPD belum menggambarkan kinerja yang optimal sebagai lembaga perwakilan rakyat, tapi lebih banyak diwarnai artikulasi dan kepentingan personal dari anggota BPD. Sehingga kompetisi dan pluralisasi kontestan anggota
4
BPD yang semestinya berkorelasi positif bagi dinamika dan pergerakan progresif BPD, malah dalam beberapa hal melahirkan sengketa internal. Ketiga, kemauan dan kemampuan warga desa dalam mengorganisir diri untuk menjadi kekuatan civil society yang demokratis masih lemah. Komunitas-komunitas kewargaan seperti arisan, pengajian, kepemudaan dan lain sebagainya lahir dan tumbuh dengan baik tapi tanpa disertai kesadaran yang kuat untuk melakukan transformasi organisasi kewargaan untuk menjadi gerakan sosial yang menerapkan nilai-nilai partisipasi dan kontrol dalam struktur politik desa dan diatasnya. Keempat, fasilitasi pemerintah desa terhadap pelaku ekonomi desa masih sangat terbatas. Sehingga para aktor ekonomi desa menempuh cara-cara pragmatik agar dapat tetap bertahan, meskipun dengan resiko yang besar. Lebih rinci Sutoro Eko dalam tulisannya “Meletakan Desa dalam Desentralisasi dan Demokrasi” menjelaskan kelemahan pengaturan prinsip-prinsip pemerintahan yang demokratis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Pertama akuntabilitas, pemerintah dikatakan akuntabel bila kewenangan dan sumber daya yang dimiliki digunakan untuk mewujudkan kebijakan yang mengemban amanat, mandat, dan kepercayaan dari masyarakat desa. Prinsip akuntabilitas
dalam
pemerintah
desa
mengharuskan
pemerintah
desa
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan kepada masyarakat desa sebagai pemilik sebenarnya dari kekuasaan dan sumber daya yang dimiliki pemerintah desa. Dengan prinsip ini akan terjadi proses checks and balances yang dapat mengontrol jalannya pemerintahan agar terhindar dari tindakan koruptif dan tindak penyalahgunaan wewenang. Namun
5
dalam prakteknya kepala desa yang merupakan personifikasi dari pemerintah desa cenderung mengabaikan akuntabilitas dihadapan masyarakat. Pertangungjawaban yang diberikan lebih mengarah kepada pemerintah supra desa (akuntabilitas administratif) daripada kepada masyarakat yang memilihnya (akuntabilitas politik). Akibatnya pemerintah desa akan lebih lebih peka terhadap kepentingan dari pemerintah supra desa dari pada ke masyarakat, yang menyebabkan kurang terakomodirnya kebutuhan dan permasalahan warga desa ke dalam kebijakan desa. Kedua responsivitas, berkaitan dengan kemampuan aparat publik untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan masyarakat dan mewujudkannya dalam kebijakan publik. Dengan rendahnya ketanggapan pemerintah terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat desa, yang lebih peka terhadap kepentingan pemerintah supra desa, menyebabkan kebijakan desa yang dirumuskan akan menyimpang dari tujuan penyelenggaraan dan pembangunan desa yakni demi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang berkeadilan. Ketiga transparansi, bahwa lemahnya transparansi melengkapi lemahnya penyelenggaraan pemerintahan desa yang terjadi selama ini. Masyarakat desa yang menjadi tujuan dan penerima manfaat dari kebijakan desa, biasanya kurang mengetahui informasi kebijakan dari proses awal. Padahal transparansi memegang peranan yang sangat penting dalam penyelenggaran pemerintah desa yang demokratis. Prinsip ini menekankan adanya penyediaan informasi terkait kebijakan penyelanggaran pemerintahan desa yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat. Melalui transparansi yang baik, masyarakat akan memiliki
6
informasi yang akurat dan lengkap, yang akan sangat penting sebagai dasar untuk menilai dan mengontrol kinerja pemerintah desa dalam menjalankan roda pemerintahannya. Namun dalam prakteknnya pemerintah mengatakan sudah menjalankan prinsip transparansi ketika hanya melakukan sosialisasi kebijakan desa. Padahal sosialisasi merupakan bentuk transparansi yang paling rendah karena komunikasi berlangsung satu arah dari pemerintah desa untuk memberikan informasi. Dalam forum tersebut masyarakat tidak punya cukup ruang untuk memberikan umpan balik sehingga sosialisasi tersebut hanya sebagai formalitas dan meminta persetujuan atau justifikasi warga belaka. Keempat partisipasi masyarakat, bahwa lemahnya partisipasi masyarakat semakin menambah lemahnya praktek demokrasi di tingkat desa. Seringkali partisipasi dipahami hanya sebagai bentuk dukungan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan desa yakni berupa swadaya masyarakat dan semangat gotong-royong. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan tersebut bukan dalam kerangka solidaritas dan modal sosial, tapi digunakan oleh pihak penguasa untuk sarana mobilisasi masyarakat demi menambah anggaran pembangunan desa. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan yang dikatakan mulai dari bawah dalam prakteknya hanya sekedar pelaksanaan kegiatan belaka tanpa ada substansi penyerapan aspirasi terutama dari golongan masyarakat menengah ke bawah yang lebih membutuhkan untuk mendapatkan manfaat dari kebijakan pembangunan desa. Agenda pembangunan yang dirumuskan lebih banyak berdasarkan kalangan elit desa dan ada keharusan untuk mengacu pada perencanaan pembangunan tingkat kabupaten/kota.
7
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Diah Retnoningsih dalam tesisnya yang berjudul “Tata Kelola Desa: Isu-Isu Otonomi Desa, Demokrasi Desa dan Pemberdayaan Desa” yang melakukan kajian terhadap UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa melalui metode analisis isi kebijakan perundangan juga membuktikan masih lemahnya penerapan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Hasil kajiannya menunjukkan dalam pemilihan kepala desa langsung belum berjalan dalam ranah yang substanstif dengan mengedepankan akuntabilitas, transparansi, responsivitas, dan partisipasi. Akuntabilitas kepala desa berupa laporan pertanggungjawaban dilakukan sekedar laporan formalitas baik kepada kabupaten/kota, BPD dan masyarakat. Masyarakat dan BPD yang memiliki wewenang sesuai dengan sistem pemerintahan yang demokratis tidak memiliki peran kontrol atau pengawasan jalannya pemerintahan desa. Transparansi tidak diatur secara tegas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan yang dilakukan hanyalah sebatas pemberian informasi kepada masyarakat. Sedangkan responsivitas bukan dalam konteks memproses dan menyelesaikan keinginan masyarakat, namun lebih pada menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat lebih ditujukan pada partispasi lama yakni menyalurkan suara dalam Pilkades dan pemilihan angota BPD secara musyawarah mufakat, serta tidak ada partisipasi dalam kontrol penyelenggaraan pemerintahan desa. Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD) sebagai saluran partispasi masyarakat memiliki ketergantungan yang kuat kepada pemerintah sehingga mudah terintervensi.
8
Pentingnya prinsip-prinsip demokrasi yang dalam prakteknya masih lemah ini patut menjadi perhatian seiring dengan lahirnya pengaturan tata kelola desa yang baru dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Keberadaan UU Desa Tahun 2014 telah membawa angin perubahan yang dianggap akan berpengaruh pada pembangunan desa. Terutama dengan adanya kebijakan peningkatan anggaran desa yang diharapkan akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik demi kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Namun apakah desentralisasi fiskal ini sudah disertai dengan demokratisasi yang memadai dalam UU desa yang baru itu. Karena tanpa ada upaya ke arah good governance maka upaya peningkatan anggaran dan wewenang desa untuk mengelola pemerintahan dikhawatirkan hanya akan menghasilkan permasalahan yang baru di desa. Masalah lahirnya raja kecil di desa serta penyimpangan dan tindakan koruptif dapat subur terjadi jika tanpa disertai proses demokratisasi yang memberikan keleluasaan masyarakat untuk berpartisipasi dan melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Demokratisasi menjadi krusial karena bisa jadi otonomi yang luas yang dimiliki desa nantinya hanya dinikmati oleh kalangan elit lokal dalam hal ini pemerintah desa dan BPD. Rakyat hanya bisa menjadi penonton segala tindakan yang dilakukan oleh para elit desa tanpa ada kuasa untuk melakukan kontrol terhadap jalannya pemerintahan desa. Kondisi yang kurang kondusif pada era UU No. 32 Tahun 1999 bisa juga terulang bahwa BPD yang seharusnya sebagai mitra malah seringkali menjadi pesaing hingga mengakibatkan terjadinya konflik antar
9
lembaga desa tersebut dan tentu saja menyebabkan terganggunya proses pelayanan dan pembanguann desa. Sehingga menjadi menarik melakukan penelitian terhadap tata kelola desa yang termuat dalam kebijakan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, apakah peraturan perundangan tersebut secara substansial telah memberikan ruang yang cukup untuk partisipasi masyarakat baik suara (voice), akses, dan kontrol dalam perumusan, pelaksanaan ataupun pengawasan kebijakan. Apakah masyarakat memiliki akses yang memadai terhadap informasi yang terkait kebijakan publik. Apakah mekanisme pengambilan kebijakan yang diambil sudah berupaya mengakomodir kebutuhan dan aspriasi masyarakat. Apakah akuntabilitas pemerintah desa sudah lebih mengarah kepada masyarakat desa yang merupakan pemilik sebenarnya kekuasaan yang dipegang pemerintah desa. Sehingga pertanyaan besarnya adalah apakah proses demokratisasi yang terwujud dalam good governance sudah diatur sedemikian rupa sehingga selain dapat mendukung otonomi desa dan memperlancar penyelenggaraan pemerintahan desa, juga dapat mencegah terjadinya tindakan koruptif yang merugikan masyarakat. Oleh karena itu dipandang perlu dilakukan penelitian analisis isi tentang bagaimanakah demokratisasi yang mengarah terwujudnya good governance desa diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti melakukan perumusan masalah: bagaimana kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014
10
tentang Desa mengatur demokratisasi demi terwujudnya good governance dalam tata kelola desa? Sehubungan dengan pertanyaan besar tersebut, analisis isi yang dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat menjawab pertanyaan turunan sebagai berikut: 1.
Bagaimana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur prinsip transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?
2.
Bagaimana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur prinsip responsivitas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?
3.
Bagaimana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur prinsip akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?
4.
Bagaimana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur prinsip partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?
C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kebijakan yang tertuang Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengatur prinsip-prinsip transparansi, responsivitas, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Melalui pengaturan prinsip-prinsip good governance tersebut secara normatif akan menjamin keberhasilan negara dalam penyediaan layanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan desa yang optimal demi mewujudkan kemajuan bangsa dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga peneliti akan dapat memperoleh gambaran bagaimana kebijakan pemerintah secara substansial dapat
11
mewujudkan tata kelola desa yang mampu mendorong pemerintahan desa yang efektif dalam pembangunan dan upaya meningkatkan kemakmuran masyarakat.
D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian melalui analisis isi terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diharapkan akan dapat memberikan manfaat penelitian sebagai berikut: 1.
Manfaat akademis Dapat menjadi bahan masukan dalam pengembangan ilmu administrasi publik dalam tata kelola desa khususnya yang berkaitan dengan pengaturan tentang prinsip-prinsip responsivitas,
good
akuntabilitas,
governance dan
yang berupa
partisipasi
transparansi,
masyarakat
dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa. 2.
Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada pemerintah bagaimana undang-undang desa telah mengatur good village governance sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan turunannya ataupun perbaikan kebijakan tata kelola desa selanjutnya.
E. KEASLIAN PENELITIAN Penelitian tentang tata kelola desa dengan metode analisis isi kebijakan yang terkandung dalam perundangan sudah pernah dilakukan sebelumnya, yakni
12
yang dilakukan oleh Diah Retnoningsih dalam Tesisnya yang berjudul “Tata Kelola Desa: Isu-Isu Otonomi Desa, Demokrasi Desa, dan Pemberdayaan Desa”. Penelitian tersebut menjelaskan bagaimana ketiga isu (otonomi, demokrasi, dan pemberdayaan desa) tentang tata kelola desa tersebut diatas diatur dalam UndangUndang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Adapun penelitian ini dilakukan dengan metode yang sama, analisis isi, dan berkaitan dengan hal yang sama pula yakni tentang tata kelola desa, namun dengan unit analisis dan unit kajian yang berbeda. Seperti diketahui bahwa dalam pengaturan pemerintahan desa, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang baru melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yang dimaksudkan sebagai perbaikan dan pengganti peraturan perundangan sebelumnya. Oleh karena itu, dianggap menarik dan penting oleh peneliti untuk mengkaji undang-undang desa yang baru ini melalui analisis isi kebijakan perundangan dengan unit kajian yang berbeda demi memperkaya kasanah kajian ilmu administrasi publik.
13