1
BAB I PENDAHULUAN
Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi oleh terjadinya satu dilema yang sangat sering dihadapi dalam perencanaan keruangan di daerah pada saat ini, yaitu konversi kawasan lindung menjadi area terbangun. Mengambil studi kasus pemanfaatan lahan tebing di sepanjang Tukad Ayung, di Desa Kedewatan (LTTAK), Ubud, Gianyar, studi ini mengkaji sejauh mana pengalihan fungsi telah terjadi, serta bagaimana mekanisme perizinan yang terjadi sehingga kondisi ini dimungkinkan. Kajian ini bermuara pada usaha mempertanyakan pihak-pihak terkait jika posisi LTTAK sebagai kawasan lindung perlu ditinjau ke depannya. Hal ini dilakukan pada kerangka tujuan yang berorientasikan kepada penjagaan eksistensi keruangan strategis yang mengemban misi proteksi, baik terhadap keberlanjutan elemen-elemen spasial pendukung tatanan fisik-alamiah maupun sosial-budaya. 1.1. Latar Belakang Pemerintah melalui berbagai peraturan keruangan di daerah telah menetapkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) dikategorikan sebagai bagian dari kawasan yang dilindungi. Keputusan ini secara substantif didasari oleh pertimbangan DAS yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan unsur utama sumber daya alam tanah, air dan vegetasi serta manusia sebagai pelaku pemanfaatan sumber daya alam yang ada, keberadaannya harus dijaga untuk mendukung kestabilan area di sekitarnya (Bappenas, 2003:1). Landasan pikir 1
2
inilah yang menjadi dasar utama pengaturan sempadan sungai dan tebing sebagai bagian dari DAS yang bertujuan membebaskan dari aktivitas pembangunan. Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009, pasal 50 ayat 6 telah menetapkan bahwa pembangunan di sepanjang jurang di tepian sungai hanya diizinkan pada radius sekurang-kurangnya dua kali kedalaman jurang yang dihitung dari tepi jurang ke arah bidang datar. Pada kedalaman yang dangkal, maka radius minimal yang diizinkan adalah sepanjang 11 meter. Dalam struktur kemasyarakatan di Bali, tebing beserta sungainya memiliki peran strategis yang beragam. Dalam konteks kehidupan agraris masyarakat di Bali, sungai merupakan komponen penting penentu kelancaran alur irigasi yang merupakan tulang punggung keberhasilan cocok tanam padi yang dilakukan oleh para petani. Akan tetapi keberadaan sungai ini juga merupakan sebuah ancaman, khususnya pada saat musim hujan, tempat air sungai meluap membawa kerusakan terhadap daerah pertanian yang berada di sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, keberlangsungan keberadaan daerah tepian sungai menjadi penting untuk menjadi buffer yang melindungi lahan pertanian dari bencana banjir. Peran sungai dan tebing
yang disebutkan sebelumnya, serta beriringan
dengan praktik-praktik terkait kepercayaan yang berkembang di Bali, telah menyebabkan dibangun dan dikelolanya berbagai tempat suci di sekitar daerah aliran sungai. Hal ini kemudian memunculkan sungai beserta tepiannya dan tebing sebagai teritori yang memiliki makna simbolik. Munculnya persepsi bahwa tebing merupakan daerah yang angker dipenuhi ‘tonya’ (makhluk halus yang tidak kasat mata), kemungkinan karena keinginan masyarakat untuk menjaga makna simbolik
3
yang diasosiasikan dengan DAS, serta menjauhi area ini dari aktivitas-aktivitas yang merusak eksistensinya. Dalam konteks pembangunan di Bali, DAS khususnya daerah tebing telah berkembang menjadi daerah yang dilirik para pemilik modal sebagai lokasi yang menyediakan site potensial untuk pembangunan amenitas kepariwisataan. Ini sudah terbukti dengan dibangunnya beragam fasilitas kepariwisataan di atas lahan tebing di sepanjang Tukad Ayung di Kedewatan (LTTAK), Ubud. Lahan yang sebelumnya merupakan lahan hampir tidak tersentuh, saat ini berangsur-angsur berubah menjadi lahan dengan nilai ekonomi tinggi dibanding kawasan lain di Ubud. Pembangunan di LTTAK dipandang dapat merusak tatanan lingkungan alamiah maupun sosial oleh sebagian masyarakat, tetapi pada beberapa kondisi dapat berimplikasi sebaliknya. Pembangunan LTTAK justru memunculkan nilai tambah.
Pembangunan
tersebut
telah
mempercantik
tebing-tebing
yang
sebelumnya hanya ditumbuhi semak belukar. Secara ekonomi, kondisi ini telah menciptakan lapangan pekerjaan, baik bagi penduduk lokal maupun non-lokal. Secara sosial juga belum ada anggota masyarakat yang secara legal menyatakan keberatan akan pemanfaatan LTTAK. Pertanyaan muncul jika pemanfaatan lahan ini dikaitkan dengan posisi LTTAK sebagai kawasan lindung. Kawasan lindung di satu sisi mengandung pengertian sebagai kawasan yang tidak terbangun atau di sisi lain sebagai kawasan yang pemanfaatannya diatur secara ketat, karena perannya sebagai kawasan penyangga stabilitas baik lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial
4
dan budaya. Implementasi prinsip ini akan tetapi sering memunculkan konflik, khususnya jika kawasan lindung juga merupakan kawasan yang secara ekonomi memiliki potensi yang sangat tinggi dalam mendukung aktivitas pengakumulasian modal dari kelompok tertentu. Kondisi inilah yang sedang dialami oleh LTTAK, khususnya pascapesatnya pertumbuhan industri kepariwisataan di Kelurahan Ubud, Gianyar. Awal pemanfaatan lahan tebing di Desa Kedewatan untuk fasilitas pariwisata dimulai dengan pemanfaatan view Tukad Oos. Tukad Oos sendiri merupakan batas timur desa, sedangkan untuk bagian barat Desa Kedewatan yang berbatasan langsung dengan Tukad Ayung. Pemanfaatan tersebut berkembang pada tahun 1983, diawali dengan pembangunan hotel Cahaya Dewata. Setelah itu, semakin banyak dibangun akomodasi wisata yang menampilkan view Tukad Ayung dengan tambahan view “pinjaman” dari tebing yang dimiliki oleh Desa Bongkasa Kabupaten Badung. Berdasarkan data dari kantor Desa Kedewatan, jumlah akomodasi wisata berupa hotel, penginapan, resort di Desa Kedewatan berjumlah 29 buah. Restoran berjumlah lima buah. Jumlah tersebut bukan tidak mungkin akan terus bertambah seiring dengan pesatnya laju globalisasi dan pembangunan kepariwisataan. Selain fungsi pariwisata yang saat ini berkembang dengan pesatnya, LTTAK juga memiliki banyak fungsi dan peranan lainnya, seperti fungsi ekonomi, sosial maupun budaya. Fungsi-fungsi tersebut kini telah mengalami degradasi. Fungsi budaya dengan nilai-nilai sakral yang terkandung di dalamnya dapat dilihat dari adanya Pura Pesiraman yang oleh masyarakat dikatakan sebagai
5
pesiraman (tempat pemandian) para dewa ketika ada upacara-upacara Dewa Yadnya di Pura Kahyangan Tiga. Hal dilematis yang terjadi saat ini, kondisi LTTAK, dianggap memiliki nilai eksotis yang menarik wisatawan. Hal tersebut otomatis mengakibatkan timbulnya peng-komodifikasian LTTAK sebagai lahan untuk akomodasi wisata. LTTAK seperti telah dijelaskan sebelumnya, termasuk ke dalam kawasan lindung setempat, yang dalam pemanfaatannya telah diatur dalam berbagai peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Pemanfaatan LTTAK, harus melalui berbagai mekanisme yang telah ditetapkan, seperti kesesuaian dengan arahan tata guna lahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik propinsi maupun kabupaten,
maupun
dokumen-dokumen
lain
yang
mengatur
mengenai
pemanfaatan lahan serta proses perizinan berkaitan dengan lokasi, peruntukan lahan, konstruksi bangunan dan kualitas lingkungan. Selain daripada itu, mekanisme perizinan juga tidak terlepas dari peraturan lokal yang berlaku yaitu awig-awig desa. LTTAK sebagai kawasan lindung memiliki keterbatasan pemanfaatan. Dalam Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 dijelaskan bahwa terdapat larangan dalam melakukan penebangan, mengganggu serta merubah fungsi sampai ada radius atau jarak yang telah ditentukan. Dalam kenyataannya, sering kali terjadi pelanggaran pemanfaatan lahan. Belum jelas titik permasalahannya, apakah dalam proses perizinan, proses pelaksanaan atau proses kontrol yang tidak mampu mengendalikan pelanggaran yang terjadi. Pelanggaran tersebut pada
6
akhirnya akan menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap lingkungan sekitar serta industri pariwisata itu sendiri. Pemanfaatan LTTAK untuk akomodasi wisata berupa hotel, resort, penginapan, vila maupun restoran faktanya memberikan pendapatan yang tidak kepada Desa Kedewatan, dan masyarakatnya. Desa menjadi relatif lebih maju dengan adanya pembangunan berbagai jaringan infrastuktur, kelengkapan sarana dan prasarana untuk mendukung fungsi-fungsi terbangun yang ditata di dalamnya. Pembangunan fasilitas pariwisata secara otomatis akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat bukan hanya untuk masyarakat setempat tetapi bahkan untuk masyarakat di luar desa. Peluang tersebut juga dimanfaatkan oleh masyarakat dengan membuka rumah sewa atau rumah kos yang kini cukup banyak terdapat pada kawasan tersebut. Dampak positif secara ekonomi tetap menjadi suatu hal yang dilematis ketika secara bersamaan hal tersebut juga menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif yang dapat ditimbulkan adalah terjadinya fenomena alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Hal ini tentunya mengakibatkan potensi berkurangnya eksistensi kawasan sebagai suatu kawasan lindung. Hal yang ditakutkan adalah ketika terjadi alih fungsi lahan dan pembangunan yang tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan satuan wilayah sungai termasuk didalamnya berdampak terhadap bencana longsor. Faktanya, telah terjadi longsor pada beberapa kawasan tebing, dan juga menimbulkan potensi pencemaran lingkungan, dimana limbah hotel, vila atau resort banyak dialirkan langsung ke sungai.
7
Berdasarkan gambaran riil di lapangan dimana LTTAK saat ini telah banyak dimanfaatkan untuk fasilitas kepariwisataan, maka perlu dilakukan penelitian mengenai
bagaimana
relevansi
keberlanjutan
LTTAK
sebagai
kawasan
penyangga atau kawasan lindung di masa yang akan datang. Hal ini memiliki keterkaitan dengan mekanisme perizinan legal dari perencanaan spasial daerah yang pada kenyataannya “mengizinkan” terjadinya pembangunan di atas LTTAK. Pemanfaatan lahan tebing yang berlebihan, tanpa mengindahkan fungsi utamanya untuk
keberlangsungan
lingkungan
serta
fungsi-fungsi
awal
lainnya,
memunculkan kekhawatiran akan timbulnya konflik dan permasalahan yang akan terus berkelanjutan. Mekanisme perizinan yang berlaku, saat ini memungkinkan terjadinya pemanfaatan lahan di atas LTTAK. Mekanisme perizinan yang ada, berdasar kepada arahan kesesuaian pemanfaatan yang terjadi dengan fungsi yang ditentukan pada LTTAK. Mekanisme perizinan tidak hanya berdiri sendiri, akan tetapi memiliki keterkaitan antar alur proses perizinan yang ada. Alur proses inilah yang pada akhirnya akan menentukan keluar atau tidaknya izin yang dimohonkan untuk pemanfaatan lahan. Perubahan pemanfaatan yang terjadi dan diizinkan saat ini, tentunya sudah melalui berbagai tahapan tersebut. Perlu diteliti pada mekanisme yang mana eksisting pemanfaatan lahan saat ini telah dimungkinkan untuk mengetahui fungsi awal LTTAK sebagai kawasan lindung dapat diakomodasi oleh mekanisme perizinan yang berlaku. Regulasi yang jelas sebagai kontrol pembangunan sebenarnya sangat diperlukan dalam upaya untuk mengkonservasi keberadaan kawasan lindung
8
bersama dengan ruang-ruang budaya yang terdapat di dalamnya agar dapat tetap dipertahankan dan berjalan beiringan dengan fungsi baru yang ada saat ini yaitu fungsi pariwisata. Terkait dengan hal tersebut, selanjutnya dilakukan suatu studi untuk mengetahui apakah perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap tata aturan keruangan yang berlaku dalam pemanfaatan LTTAK saat ini. Kajian ini dilakukan untuk dapat mempertegas posisi kawasan LTTAK yang saat ini tumpang tindih antara fungsi sebagai kawasan lindung dengan pemanfaatannya sebagai kawasan budi daya.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan paparan
yang telah diuraikan
pada latar belakang
sebelumnya, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Seperti apa kecenderungan pemanfaatan lahan di sepanjang kawasan lindung Tebing Tukad Ayung Kedewatan?
2.
Bagaimana pola mekanisme perizinan terkait pemanfaatan lahan yang diterapkan di sepanjang kawasan lindung Tebing Tukad Ayung Kedewatan?
3.
Berdasarkan fenomena pemanfaatan LTTAK saat ini, apakah pengalokasian area tersebut sebagai kawasan non-budidaya perlu ditinjau kembali?
1.3.
Tujuan Penelitian Secara garis besar, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dapat
dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu sebagai berikut:
9
1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini dilakukan dengan tujuan umum untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan lahan tebing di Kedewatan, Ubud dilihat dari mekanisme perizinan yang terjadi dan berdasarkan hal tersebut dan berbagai pandangan oleh masyarakat, pemerintah serta pelaku ekonomi bagaimana posisi lahan sebagai sebuah kawasan lindung kedepannya. Selanjutnya hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam pembuatan rencana strategi pembangunan kawasan setempat oleh pihak pembuat kebijakan. 1.3.2. Tujuan Khusus Disamping tujuan umum seperti yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini juga memiliki tujuan yang lebih mengkhusus, yaitu : 1.
mengkaji kecenderungan pemanfaatan lahan di sepanjang Tebing Tukad Ayung Kedewatan (LTTAK) saat ini dan kesesuaiannya dengan fungsi utama sebagai sebuah kawasan lindung;
2.
mengkaji bagaimana kesesuaian mekanisme perizinan yang seharusnya dilakukan dengan yang terjadi saat ini pada LTTAK;
3.
mengkaji
bagaimana
posisi
LTTAK
kedepannya
berdasarkan
kecenderungan pemanfaatan lahan dan mekanisme perizinan yang terjadi dilihat dari pandangan pihak-pihak terkait.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat
akademis dan manfaat praktis.
10
1.4.1. Manfaat akademis Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi dan sumbangan pengetahuan bagi kalangan akademisi, serta menambah referensi pustaka bagi kegiatan penelitian selanjutnya. 1.4.2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan kepada pemerintah, masyarakat dan pelaku ekonomi (stakeholder) terkait dalam penyusunan kebijakan strategis pengelolaan lahan tebing untuk perkembangan pemanfaatan lahan selanjutnya.