BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pasca kebangkitan film Indonesia dari mati suri1 , banyak bermunculan film dengan tema dan genre yang beragam. Terutama sekali roman dan melodrama remaja yang banyak menghiasi wajah perfilman Indonesia. Film horor 2 dan film komedi juga juga mulai banyak bermunculan dan menjadi warna baru dalam dunia perfilman Indonesia, bahkan hingga kini juga film- film tersebut masih laris di pasaran. Selain genre film roman remaja , horror, dan komedi, film- film bergenre drama juga banyak bermunculan dan biasanya berkisah tentang perjuangan hidup, perncarian eksistensi diri, nilai- nilai moral, dan masalah sosial. Film bergenre drama ini juga didominasi oleh film- film yang mengangkat
masalah
keperempuanan.
Pasca
reformasi
menjadi
momentum kebangkitan perfilman nasional hingga membuka akses bagi siapa saja untuk berekspresi, termasuk perempuan.
1
Diawal dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an perfilman Indonesia mengalami mati suri ditandai dengan menurunnya jumlah produksi film nasional. Selain karena krisis yang melanda Indonesia pada tahun 90-an vakumnya film Indonesia juga disebabkan karena munculnya TV swasta di akhir era 80-an 2 Sukses film Petualangan Sherina(1999) dan Ada Apa Dengan Cinta (2001) menjadi pelopor kebangkitan film Indonesia dan memunculkan film-film dengan genre roman remaja yang menampilkan seputar percintaan remaja. Selain film roman remaja, genre horor juga mendominasi pasar melalui film-film horor remaja yang umumnya mengambil cerita mitos atau legenda dari sebuah tempat atau lokasi angker yang menampilkan makhluk-makhluk ghaib khas Indonesia, seperti kintilanak, pocong, genderuwo, suster ngesot, tuyul, dan sebagainya. Film horror di Indonesia banyak mendapat pengaruh dari horror jepang yang sering bahkan menjadi keharusan memasukkan unsur erotisme tubuh perempuan sebagai bumbu utama
1
Kebebasan bereskpresi telah memberikan akses kepada para sineas perempuan maupun laki- laki untuk menampilkan persoalan genderdan menjadikan film sebaga i medan kontestasi wacana yang terus bertarung dalam mendefinisikan nilai, makna dan pandangan hidup serta menjadi tempat
pertarungan
ideologis.
Sehingga
akses
tersebut
dapat
mengimbangi serta memberi output yang berbeda terhadap persoalan perempuan. Beberapa film modern yang populer yang mengangkat tema perempuan era 2000an, sebut saja diantaranya adalah film Pasir Berbisik (2000), Eliana Eliana (2002), Biola Tak Berdawai (2003), Berbagi Suami (2006), Perempuan Punya Cerita (2008), Perempuan Berkalung Surban (2009), 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (2010). Sedangkan dari para pembuat film non- mainstream muncul pula film- film alternatif. Beberapa diantaranya abstrak, kompleks, dan ceritanya sulit dipahami orang awam. Film perempuan yang kemudian masuk dalam jajaran film non komersil ini salah satunya adalah filmMereka Bilang Saya Monyet! (MBSM!) (2007). 3 Namun, akses perempuan ataupun partisipasi aktif perempuan dalam produksi media-dalam hal ini adalah film baik itu film dengan ide mainstream maupun non-mainstream-nyatanya tidak menjadi jalan 3
Film MBSM! dibuat dalam format digital dan hanya dapat dinikmati di jaringan bioskop Blitz Megaplex. Blitz Megaplex menyediakan fasilitas dukungan format digital, serta sebagai fasilitator bagi film-film kategori festival, arthouse, dan film dengan beragam genre. Bioskop Blitz Megaplex hanya ada di dua tempat di Indonesia, yaitu di Jakarta dan Bandung. Pada pemutaran perdana film banyak penonton yang memilih walk out pada saat film masih setengah jalan. Begitu pula pada saat film ini ikut dalam festival film di Singapura, hanya mendapatkan jumlah kursi sebanyak 200 kursi di bioskop tempat film ini diputar.
2
keluar untuk memperbaiki nasib perempuan dalam media. Film- film perempuan memiliki garapan yang sama baik genre kisah cinta maupun drama secara keseluruhan, ya itu mendefinisikan nasib dan watak perempuan. Unsur utama yang digambarkan dalam film- film feminis Indonesia adalah perempuan yang menjalankan fungsi sebagai ibu. Jika pun berbeda secara tema namun ide besarnya masih menampilkan persoalan perempuan yang berkisah antara keluarga dan pekerjaan. Persoalan perempuan dalam media lebih disebabkan oleh sulitnya menemukan penggambaran mengenai perempuan yang tampil dalam kedudukannya
sebagai
subjek
yang
berbicara
penuh
dalam
memanifestasikan potensi kemanusiaannya seperti yang dilakukan lakilaki. Para sineas di Indonesia nampaknya masih terjebak dalam penggambaran perempuan yang teraniaya, sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga dan sejenisnya, seperti yang muncul dalam film- film era 2000an. Selain itu film dengan berbagai genre pun masih kerap menempatkan perempuan sebagai objek yang hanya menampilkan erotisme tubuh belaka. Sehingga, yang nampak adalah bahwa perempuan dengan kelemahannya selalu menjadi objek penderitaan. Namun, era posmodern4 telah ikut membuat wajah perempuan dalam
media
mengalami
perubahan. Perbedaan tampilan tokoh
4
Intervensi posmodernisme dalam persoalan sinema feminis telah mempersoalkan mengenai representasi perempuan dalam sinema feminis . Kaplan menyebutkan mengenai sinema feminis modern, “Dia (perempuan) ditampilkan sebagaimana ia tampil untuk pria, tidak dalam pengertian apa yang benar-benar dia tandakan. Wacananya (maknanya, sebagaimana dia mungkin memproduksinya) ditindas dalam keberpihakan pada wacana yang dibentuk patriarki, yang di dalamnya penandaannya sesungguhnya telah digantikan oleh konotasi yang melayani kebutuhan-
3
perempuan dalam sinema feminis modern yang lebih banyak berkisah tentang perempuan-perempuan rumahan meskipun ada pula modifikasi yang menampilkan perempuan karier sekaligus perempuan rumah tangga, sedangkan film era posmodern yang selanjutnya disebut posfeminis ditandai dengan kehadiran perempuan-perempuan single, sukses, otonom seperti contoh yang film dengan wacana posfeminis yang paling populer adalah Ally McBeal dan Sex and The City. Postfeminis menekankan pada hasrat seksualitas dan menganggap bahwa dalam feminisme klasik seksualitas selalu berada di dalam relasi yang ambigu dengan alat kelamin. Seksualitas digambarkan bersifat bergantung, padahal seksualitas adalah penting bagi pembentukan subjek. Untuk
merepresentasikan
perempuan
dengan
persoalan
politik
seksualitas dalam era postfeminis melalui media populer tentu saja dibutuhkan transformasi representasi dari konsep feminisme kedalam konsep postfeminisme. Di Indonesia sendiri, transformasi wacana feminis tampak pada perubahan karakter perempuan pada beberapa film di era 2000-an. Konsep perempuan sebagai objek dalam banyak hal (seperti dalam film Perempuan Berkalung Surban, Biola Tak Berdawai, Berbagi Suami, 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita, Perempuan Punya Cerita) digantikan dengan kebutuhan patriarki”. Ann Brooks. 2011. Posfeminisme & Cultural Studies. Yogyakarta. Jalasutra. Lebih lanjut, Stern juga mempertanyakan wacana sinematik, dia menyebutkan bahwa “Wacana sinematik masih mengesankan ketidaksadaran patriarkal. Terdapat bahaya bahwa penegasan yang sedemikian rupa berhenti pada titik menunjukkan dualitas penindasan dan godaan dan menghalangi pertanyaan tentang hasrat perempuan: siapa yang mengatakannya, bagaimana hal tersebut dikatakan?” ibid. hlm 132
4
penggambaran
kemandirian
perempuan
sebagai
subjek
yang
memerdekakan tubuh dan seksual mereka (seperti film Mereka Bilang Saya Monyet!). Film MBSM! melalui narasi maupun tanda visual lainnya tampak seolah sedang mengekspresikan semboyan baru yaitu thedynamic forms of human desire. Persoalan yang ditekankan adalah mengenai tubuh dan hasrat perempuan, baik hasrat seksualitas ataupun hasrat akan sesuatu. Transformasi film yang terjadi dalam film MBSM! tersebut barangkali digunakan
untuk
menekankan
mengutuk
bahwa
pencapaia n
perjuangan
feminisme
perempuan
masih
klasik harus
dan terus
dilanjutkan, karena persoalan feminis baik dalam tataran teori maupun sinema belum berhasil menyentuh persoalan yang menjadi akar diskriminatif perempuan, yaitu persoalan hasrat seksual sebagai hasil dari pembentukan subjek melalui bahasa, dalam tataran imajiner dan simbolik. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa film MBSM!ini dibuat dalam wacana posfeminisme.Film ini mengungkapkan ideologi melalui eksplorasi femininitas dan seksualitas perempuan. Menjadi penting pada akhirnya untuk menjelaskan konsep postfeminisme.
Terdapat
tiga
penjelasan
yang
secara
umum
mendefinisikan postfeminisme. Pertama, posfeminisme adalah gerakan yang berasal dari Amerika Serikat. Tahun 1980-an dan 1990-an adalah era
postfeminisme.
Kedua,
posfeminisme
adalah
gerakan
yang
menentang asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi
5
feminisme gelombang kedua, di mana gelombang kedua menganggap bahwa
penindasan
patriarki
dan
imperialis
adalah
pengalaman
penindasan yang universal. Ketiga, postfeminis tidak beranggapan bahwa patriarki sudah teratasi, melainkan masih. Sehingga ciri postfeminisme adalah permainan media (simulasi) sebagai sebuah strategi untuk berbaur dengan yang populer dan memasukkan pemaknaan yang berbeda, sehingga secara perlahan dapat merubah pola pikir masyarakat. Mereka Bilang Saya Monyet! (MBSM!) rilis pada tahun 2007 dilanjutkan dengan beredarnya film dalam bentuk DVD pada tahun 2008. Film MBSM! merupakan film adaptasi yang mengambil cerita dari buku pertama Djenar Maesa Ayu, yang merupakan kumpulan cerita pendek di mana buku dan film memiliki judul yang sama. Film ini diangkat dari dua cerita pendek dalam buku MBSM!, yaitu Lintah dan Melukis Jendela. Di dalam genre film di Indonesia yang dominan, perempuan seringkali dimarjinalisasikan, di mana perempuan dan isu perempuan menempati ruang utama sebagai melodrama keluarga. Hanya sedikit yang menampilkan perempuan-perempuan single dengan karakter kuat, bicara mengenai tubuh dan seksualitas. Pada film MBSM! yang menjadi fokus film ini adalah pada tokoh utama, Adjeng, sebagai penulis perempuan, single, muda ,bebas, aktif secara seksual dan menyadari bahwa tuntutan biologis itu tidak dapat begitu saja diabaikan.
6
Penggambaran tokoh perempuan lebih mengarah kepada strong women.Sebuah penggambaran baru dalam sinema feminis Indonesia. Di dalam era postmodern, dengan begitu, film MBSM! merupakan sebuah film Indonesia dengan wacana postfeminis yang menitikberatkan persoalan perempuan pada seksualitas, subjektivitas dan identitas diri. Film dengan konsep yang secara jelas menunjukkan kemandirian perempuan yang memiliki karir, perempuan single (tidak menikah), penampilan yang menarik dan merayakan seksualitas ini tidak hanya menceritakan kehidupan Adjeng sebagai pemeran utama, namun juga menyinggung kehidupan dua orang teman perempuannya, Andien dan Venny. Unsur gaya bahasa dalam film MBSM! ini menunjukkan adanya ideologi dan kritik lainnya yang hendak disampaikan oleh Djenar, sebagai sutradara. Gaya bahasa seperti metafora atau yang lainnya memberi warna dan mempertajam maksud yang akan disampaikan sehingga memunculkan interpretasi banyak segi oleh penonton. Gaya bahasa ini juga merupakan terobosan, karena pada film- film genre dominan yang mengangkat persoalan perempuan, perempuan dan isu perempuan biasanya disajikan dalam gaya bahasa yang gamblang. Film MBSM! merupakan salah satu fenomena ditengah genre dominan yang biasanya disajikan dengan keseragaman konten meski dengan cara yang berbeda. Seperti persoalan perempuan selalu dikaitkan dengan persoalan di dalam rumah tangga, dengan isu kekerasan,
7
reproduksi, poligami dan lain sebagainya. Barangkali benar film MBSM! menawarkan tokoh ‘perempuan baru’ dalam sinema posfeminis di Indonesia. Akan tetapi film semacam ini pada akhirnya menimbulkan kontroversi dan membuat mayoritas para penonton yang selama ini telah terbiasa dengan penampilan perempuan ‘baik-baik’ yang teraniaya dalam ruang keluarga, menolak tokoh perempuan baru yang ‘dilahirkan’ Djenar karena dianggap film ini telah terinfeksi oleh genre Hollywood atau istilah masyarakat terlalu ‘kebarat-bratan’. Namun,
Cara
patriarkal
bawah
sadar
masyarakat
pada
kenyataannya telah menyusun bentuk film dan berdampak pada bagaimana film itu disajikan serta sangat membentuk narasi dalam sebuah
film.
Pada
titik
inilah
film
MBSM!
menjadi sangat
dipertanyakanmengenai label baru yang dilekatkan sebagai film yang mengusung nilai-nilai posfeminis, dimana film ini memiliki titik tekan yang berbeda dari film lain. Pergeseran karakter tokoh perempuan dalam film MBSM! yang ditampilkan sebagai bebas dalam hal seksualitas dan perlakuan terhadap tubuh serta bahasa, akhirnya memunculkan pertanyaan yang menarik ketika melihat film MBSM!, apakah film dengan tokoh utama yang liberal sekaligus tertekan ketika merayakan hasratnya, telah serta merta merepresentasikan
konsep
postfeminisme?.
Apakah
dengan
penggambaran kemandirian dan kebebasan tokoh perempuan seperti
8
yang ditampilkan dalam film MBSM! telah berhasil memindahkan posisi perempuan yang semula menjadi objek hasrat menjadi subjek hasrat? Seorang perempuan yang menyatakan mengenai apa yang diinginkannya,
dan
direpresentasikan
sebagai
yang
mengejar
keinginannya itu namun ditunjukkan dengan ketertekanan diri terhadap masa lalu yang dialami dan terus menghantuinya dalam mengejar apa yang diinginkan tersebut, menjadi semacam penggambaran subjek hasrat yang palsu. Oleh karena itu tesis ini menggunakan konsep postfeminisme sebagai latar untuk menjelaskan kedangkalan film MBSM! sebagai film Indonesia dengan wacana posfeminis. 1.1.1 Rumusan Masalah Bagaimana nilai-nilai posfeminis direpresentasikan dalam film Mereka Bilang Saya Monyet!? 1.1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menganalisis dan menjelaskan mengenai kedangkalan posfeminisme dalam film MBSM! di era posfemodern melalui analisis atas tanda baik visual maupun audio. 1.1.3 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk menjelaskan posisi film Indonesia yang mengangkat isu perempuan, terutama persoalan tubuh, hasrat seksualitas, dan bahasa dalam era postmodern sebagai usaha untuk memaknai kembali subjektivitas perempuan.
9
1.1.4 Objek Penelitian Penelitian ini menjadikan film Mereka Bilang Saya Monyet! (MBSM!) sebagai objek untuk diteliti. Pemilihan objek didasari pada kekhasan film ini yang muncul ditengah banyaknya film pada era 2000an yang menceritakan mengenai perempuan dengan isi yang beragam, namun cenderung seragam. Gaya bercerita yang diluar arus utama- lah yang menjadi dasar pertimbangan pemilihan objek penelitian ini, ditambah keunikan lainnya yaitu film ini adalah film yang berasal dari corong perempuan yang menerjemahkan realitas kedalam sebuah film, di mana Djenar Maesa Ayu secara langsung menggarap film yang diadaptasi dari novelnya sendiri, bukan hanya itu Djenar juga yang kemudian menjadi penulis skenario serta produser film MBSM!. Dengan kata lain, idealisme yang diimani oleh Djenar sebagai penulis novel dapat dikatakan terbebas dari cengkraman komersialisme di mana biasanya produser memiliki kuasa untuk mengontrol alur cerita. 1.1..5 Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan sebuah penelitian dengan pendekatan kualitatif menggunakan paradigma kritis yang sangat menaruh perhatian pada pembongkaran aspek-aspek yang tersembunyi dibalik sebuah kenyataan yang tampak, sehingga bisa melakukan kritik dan perubahan terhadap struktur sosial. Mengikuti cara berfikir paradigma kritis, penelitian ini akan berusaha mengungkap “the real structures” dibalik
10
realitas permukaan yang ditampilkan dalam film MBSM! dan berupaya melihat realitas yang ada dibalik kenyataan yang tampak. 1.2
Kerangka Pemikiran 1.2.1 Konsep Repre sentasi Media massa merupakan sarana manusia untuk memahami realitas sosial yang ada di masyarakat. Itulah mengapa media massa selalu dituntut untuk memiliki kesesuaian dengan realitas sosial yang ada dan yang benar-benar terjadi. Akan tetapi, meski media adalah cermin dari realitas sosial, tidak selamanya realitas yang ditampilkan adalah benar atau berimbang. 5 Hal ini karena media massa tidak pernah bersifat netral. Media massa selalu menjadi ruang bagi berbagai kepentingan dan ideologi beroperasi di dalamnya. Dengan kekuatannya sebagai salah satu frame of reference, media massa bisa mengarahkan daya kognitif manusia pada serangkaian pemahaman atas simbol dan tanda, untuk kemudian membentuk sikap dan mengarahkan khayalaknya pada perilaku tertentu. Satu-satunya cara untuk mampu memahami dunia adalah melalui apa yang direpresentasikan kepada kita melalui bahasa. Representasi biasanya di pahami sebagai gambaran suatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya sebatas to present, to image, atau to depict. Representasi merupakan cara kita memaknai apa yang di berikan
5
Dalam representasi, sangat mungkin terjadi misrepresentasi: ketidakbenaran penggambaran, kesalahan penggambaran. Seseorang, suatu kelompok, suatu pendapat, sebuah gagasan tidak ditampilkan sebagaimana adanya, tetapi digambarkan secara buruk. Tentu saja akibat lanjutannya adalah penggambaran yang buruk pihak lain. Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta. LKiS
11
pada objek yang digambarkan. Konsep Representasi ini lebih jauh lagi dijelaskan oleh Hall, dalam bukunya The Representation: Cultural Representation and Signifying Practice: “Representation is an essential part of the process by which meaning is produced and exchanged between member of a culture. It does involve the use of language, of signs and image which stand for or represent things. Representation means using language to say something meaningful about, or to represent, the world meaningfully, to other people” (Hall, 1997:15). Hall menjelaskan bahwa sebuah imaji yang dibuat mempunyai makna yang berbeda dan tidak dapat di pastikan imaji tersebut dapat berfungsi dan bekerja sebagaimana mereka diciptakan atau dikreasikan. Hall juga menyatakan bahwa representasidianggap sebagai suatu konstitutif, ini karena representasi tidak akan
terbentuk sebelum ada
kajadian yang menyertainya. Untuk itu dalam pandangan Hall ada dua sistem dalam representasi, yaitu Mental Representation and Language. Lebih jauh Hall menjelaskan: “..Mental Representation- all things which we carry around in our heads. Meaning depends on the system of concepts and images formed in our thought which can stand for or represent the world. Language- to represent or exchange meanings and concepts, we can only do that when we also have access to shared language. Language depends on constructing a set of correspondences between our conceptual map and a set of signs, arranged or organized into various languages which stand for or represent those concepts”. (Hall, 1997:17-18). Bagaimana realitas objek digambarkan adalah persoalan utama dalam representasi. Bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang ada dalam masyarakat (patriarki, materialisme, kapitalisme, dan
12
sebagainya). Teks dan praktik yang masuk dalam kerja representasi pada akhirnya bertujuan untuk menghadirkan makna ideologis tertentu sehingga masyarakat akan menerima beroperasinya wacana dalam relasi kuasa tertentu. Hall menyatakan bahwa wacana pada hakikatnya adalah sekumpulan pernyataan yang menyediakan sebuah bahasa untuk membicarakan sesuatu, merepresentasikan pengetahuan tentang topik partikular dalam momen historis partikular. Penjelasan Hall mengenai pendekatan representasi dan sistem representasi, sejalan dengan konsep semiotika, bahwa dalam sebuah representasi bisa dilihat adanya strukturasi wacana ideologis tertentu yang mewujud dalam penandaan melalui bahasa. Dalam semiotika ini kemudian dikenal dengan signifier dan signified. Pengertian representasi bukan semata tentang kehadiran sesuatu melalui medium tertentu. Representasi lebih dari itu, representasi merupakan sebuah kehadiran makna melalui tanda dalam beragam bentuk, di mana dari tanda tersebut seseorang bisa memberikan makna tentang sesuatu kepada orang lain yang berada dalam suatu kebudayaan. Seperti yang dicontohkan oleh Monaco: “An image of rose is not simply that when it appears in a film of Richard III. For example, because we aware of the connection of the white rose and the red as symbols of the houses of york and Lancaster. These are culturally determined connotations” (Monaco, 2000: 362) Namun, makna dalam kebudayaan manusia tidak berhenti pada pemahaman bersama, selalu terdapat kepentingan-kepentingan yang
13
bermain di dalam produksi makna tersebut. Hal ini disebabkan karena representasi selalu melibatkan proses aktif dari si pembuat yang tidak sekedar merefleksikan realitas tetapi juga memproduksi realitas yang sudah dirasuki oleh kepentingan-kepentingan. Media massa dapat menjadi cermin dari realitas yang ada disekitar masyarakat, namun juga harus disadari bahwa media dapat pula membentuk realitas sosial itu sendiri melalui sikap industri budaya, semisal film, yang selektif dan memilih hal-hal yang ingin diungkapkan dan yang ingin diabaikan. Namun, ruang-ruang kontemporer saat ini telah membuat batasan antara realitas dan fantasi runtuh, sehingga hubungan siapa mempengaruhi siapa menjadi kabur. 6 Sebagaimana diketahui bahwa dalam representasi akan selalu ada hal yang ditonjolkan dan dihilangkan. Itulah sebabnya Foucault tidak melihat wacana dalam kerja representasi sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks semata, tetapi wacana adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek) (Eriyanto, 2001:65).
6
Kini kita hidup di dalam dunia yang telah kehilangan batas. Tidak ada lagi batas antara realitas dan fantasi, antara asli dan tiruan, antara kenyataan dan simulacrum, antara seni dan kitsch, antara normalitas dan abnormalitas, antara feminine dan maskulin. Batas-batas itu kini telah didekonstruksi , yang meninggalkan dunia yang segala hal di dalamnya silang menyilang, tumpang tindih dan campur aduk..Sebuah objekdapat mewakili realitas melalui penandanya, yang mempunyai makna atau petanda tertentu. Dalam hal ini, realitas adalah referensi dari penanda. Namun, bisa juga terjadi bahwa sebuah objek sama seka li tidak mengacu pada satu referensi atau realitas tertentu, karena ia sendiri adalah fantasia tau halusinasi yang telah menjadi realitas. Yasraf Amir Piliang. 2010. Dunia Yang Dilipat. Bandung. Matahari.
14
1.2.2 Film dan Perempuan Film merupakan teks, di mana struktur linguistik yang kompleks dan kode-kode yang bersifat visual disusun untuk memproduksi maknamakna khusus. James Monaco dalam bukunya How To Read a Film, menjelaskan “The structure of cinema is defined by the codes in which it operates and the codes that operates within it..because film is a product of culture” (Monaco, 2000:392). Struktur tekstual inilah yang kemudian perlu untuk diteliti lebih jauh karena disinilah makna dihasilkan. Bagaimana tanda mengenai perempuan beroperasi dalam teks film tertentu, makna- makna apa yang disajikan, serta hasrat- hasrat dan fantasi apa yang dibawa dalam film, semua itu disusun dalam struktur linguistik dan kode visual. 7 Kekuatan yang paling besar yang dihasilkan oleh media hiburan seperti film ini adalah kemampuannya menjangkau banyak segmen sosial dan memiliki potensi untuk mempengaruhi khalayak luas. Dalam bukunya Ordinary People and the Media, Graeme Turner menuliskan “..even where information is provided, it is wrapped in the packaging of entertainment in order to attract significant audiences” (Turner, 2010:161). Inilah yang menyebabkan film menjadi media audio- visual yang dinilai sangat efektif dalam menyampaikan pesan kepada audiens7
Singkatnya film-film melahirkan ideologi. Ideologi bisa didefinisikan sebagai sistem representasi atau penggambaran. Sebuah cara pandang terhadap dunia yang terlihat ‘universal’ atau ‘natural’ tetapi sebenarnyamerupakan struktur kekuatan tertentu yang pada akhirnya membentuk masyarakat. Tanda mengenai perempuan mendapatkan maknanya dalam sebuah ideologi seksis atau patriarkal. Jadi, membandingkan stereotip perempuan dalam film dengan realitas kehidupan adalah hal yang tidak produktif, karena realitas sebenarnya dihidupi dalam struktur ideologis yang sama. Sarah Gamble. 2010. Feminisme & Posfeminisme. Yogyakarta. Jalasutra
15
nya. Film sebagai salah satu media massa dalam komunikasi massa, berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, menyajikan berita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum. Graeme Turner, menolak perspektif yang sebelumnya ada mengenai film, bahwa film dan masyarakat selalu dipahami secara linier. Untuk itu Turner menjelaskan, sebuah film dapat bertindak tidak hanya sebagai refleksi dari realitas masyarakat, namun juga bertindak sebagai representasi dari realitas masyarakat. Sebagai refleksi realitas film hanya sekedar menggambarkan atau memotret realitas kelayar kaca tanpa mengubah realitas tersebut. Sementara sebagai representasi realitas film membentuk dan menghadirkan kembali realitas berdasarkan kode-kode, konvensi-konvensi dan ideologi dari kebudayaan yang berlaku pada lingkungan tertentu (Sobur, 2003:128). Akan tetapi, film tidak bisa dilepaskan
dari
nilai- nilai
atau
kepentingan-kepentingan
yang
melingkupinya. Ketika opini yang dikembangkan melalui film sebagai salah satu bentuk media massa, hal itu dapat dengan mudah mempengaruhi persepsi masyarakat. Pada titik inilah kemudian media massa menjadi kelas pengatur terhadap lalu lintas informasi. Jika kita bicara tentang kualitas film. Tantangannya adalah untuk menjadikan film menjadi alat yang bicara pada penontonnya tentang kenyataan sebenarnya yang terdapat di lingkunganya. Supaya film dapat
16
dibina menjadi alat yang bisa mendorong peno nton mengadakan dialog dengan dirinya sendiri: supaya film dapat membantunya untuk memahami kenyataan dengan cara yang lebih baik, karena hanya dengan cara begitu kita dapat memberikan sumbangan pada pembangunan bangsa (Gaik dan Thomas, 2011:20). Selera publik terhadap film cenderung hanya mengikuti gelombang yang ada, sehingga tampak sebagai kalangan yang gelisah dalam mencari identitas diri atau idola dari balik budaya hiburan. Sangat disayangkan ketika para sineas justru memanjakan kegelisahan tersebut dengan mengadopsi konten yang kurang mencerdaskan bahkan menjerumuskan. Hal tersebut terbukti dengan film- film yang dipuji oleh para sineas atau film yang masuk dalam festival justru adalah film yang disambut biasa-biasa saja oleh sebagian besar publik. Masyarakat lebih mencari hiburan yang ceritanya gampang ketimbang film yang mengajak masyarakat untuk berpikir. Mengenai film yang merepresentasikan perempuan, perempuan acapkali direpresentasikan sebagai peran ibu sehingga terkait dengan fungsi reproduksinya dalam konteks melahirkan dan memelihara menjadikan perempuan sebagai pilar keluarga yang kehadirannya menjadi kemutlakan yang tidak bisa diganggu gugat. Ideologi patriarki8 telah menyebar dan terus bertransformasi dalam struktur dan 8
Mengenai patriarki, menurut Walby patriarki merupakan system dari struktur social dan dalam prakteknya laki-laki mendominasi, menekan, dan mengeksploitasi perempuan. Terdapat paling tidak 6 struktur patriarki yang secara bersama-sama membentuk sistem patriarki, yakin: 1. moda patriarkal produksi di mana perempuan dikendalikan oleh suaminya dalam pernikahan dan relasi
17
sistem sosial. Menjadi wajar kalau laki- laki sampai saat ini masih menjadi kelas kuasa di mana perempuan sebagai kelas subordinat, harus melakukan peran dan tindakan yang secara transformatifditempatkan dalam ranah domestik, baik rumah tangga maupun pekerjaan, karena ideologi patriarki sudah berhasil mewujud menjadi struktur yang mana perempuan
juga
harus
mereferensikan
tindakan
dan
perannya
berdasarkan struktur ideologis yang terus beroperasi. Kelas patriarkal sebenarnya tidak pernah memberi label nama bagi penyebaran nilai- nilai ideologisnya, namun terus menyebarkan wacananya melalui praktik-praktik sosio-kultural, ekonomi, politik, maupun representasi media yang terus berlangsung dalam masyarakat. Mereka terus menyebarkan makna dan wacana melalui praktik representasi di media yang dikonstruksi sedemikian rupa sehingga mampu menunjukkan laki- laki sebagai subjek yang sudah selayaknya mempunyai posisi dominan dalam masyarakat. Penyebaran ideologi semacam itu terus berlangsung dan sering terjadi dibawah sadar masyarakat, karena bekerja sangat halus atau yang oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni9 .
keluarga. 2. Relasi patriarkal dalam pekerjaan berupah, di mana sebagian besar perempuan kurang mendapatkan akses dibandingkan dengan laki-la ki. 3. Negara patriarkal. 4. Kekerasan laki-laki. 5. Relasi patriarkal dalam seksualitas dan 6. Budaya patriarkal. Lihat Sylvia Walby. “Theorizing Patriarchy, dalam jurnal sociology, vol 23. No 2 mei 1989. London; sage publication hlm 214, 220-227. 9 Hegemoni merupakan gagasan yang pertama kali datang dari Anthony Gramsci. Namun, Gramsci seperti yang dikatakan oleh Strinati, bahwa sebenarnya Gramsci tidak pernah memberikan definisi yang pas untuk istilah itu. Hal itu yang menyebabkan banyak sekali ketidak-konsistenan dalam literatur hegemoni. Akan tetapi, Gramsci seperti yang di katakan Strinati menjelaskan hegemoni sebagai “cultural and ideologicalmeans whereby the dominant groups in society, including fundamentally but not exclusively the ruling class, maintaintheir dominance by securing the
18
Persoalan penggambaran perempuan dalam media atau dalam hal ini adalah film, patriarki cenderung memilih cara yang tampak mengakomodasi kepentingan perempuan, dengan berusaha melakukan praktik inkorporasi dengan cara mengartikulasikan perempuan dan kepentingan mereka dalam media sehingga ketegangan ideologis bisa dihindari, tetapi karena mereka (laki- laki) tidak ingin kehilangan kuasa hegemoniknya maka di dalam representasi media perempuan lebih banyak ditandakan secara stereotip 10 . Praktik-praktik representasi juga masih cenderung mengaitkan perempuan dengan daya tarik seksual11 yang dimilikinya atau melekatkan stereotipisasi lainnya terkait dengan segala sifat keperempuanan. Kehadiran perempuan dalam produk-produk media lebih cenderung menjual kemolekan perempuan, seperti yang banyak terjadi dalam iklaniklan yang bahkan produk yang diiklankan tersebut tidak terkait dengan tubuh perempuan. ‘spontaneous consent’ ofsubordinate groups, including the working class”. Dominic Strinati. 2004. An Introduction to Theories of Popular Culture. London. Routledge. Dengan kata lain hegemoni adalah cara kelas penguasa (dominan) mengontrol kelas subordinat. 10 Hall mengelaborasi pemikiran mengenai stereotip kedalam 3 poin. Pertama, stereotipisasi mereduksi, mengesensialkan, menaturalisasi, dan memastikan perbedaan. Kedua, stereotipisasi menyebarkan strategi pemisahan. Artinya, stereotipisasi bisa membedakan sesuatu yang normal dan yang bisa diterima dari sesuatu yang tidak normal dan tidak bisa diterima. Ia mengekslusi segala hal yang tidak sesuai dengan kewajaran. Dengan kata lain stereotipisasi mampu membentuk tatanan batasan dimbolik antara yang normal dan yang menyimpang, serta antara kita dan liyan. Ketiga, stereotipisasi cenderung terjadi ketika terdapat ketidaksamaan kuasa yang mencolok. Dalam perbedaan itulah kemudian kelas kuasa berusaha memasukkan kelas subordinat dalam sirkuit kuasanya, tetapi dengan stereotipisasi yang mendapat legitimasi kultural sehingga konsen tetap bisa dimenangkan. Stuart hall. The spectacle of the other. 1997. Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London. Sage publication in association with the open university. 11 Seperti apa yang dikatakan Liesbet, sebagaimana di kutip oleh Ibrahim menyebutkan “Elemen utama budaya patriarkal adalah memamerkan perempuan sebagai tontonan untuk dilihat, ditujukan untuk tatapan khalayak (laki-laki)”. Idi Subandy Ibrahim. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra
19
Tubuh perempuan selalu dimaknai dengan nilai- nilai budaya seperti yang dibayangkan dan dimengerti oleh masyarakat. Tubuh menjadi tubuh yang sesuai dengan konstruksi sebuah budaya dan pemaknaan atas tubuh dapat berbeda tergantung dari budaya yang berbeda. Oleh sebab itu, tubuh tidak mungkin dapat terlepas dari makna dan nilai yang dikaitkan padanya oleh sebuah budaya tempat tubuh tersebut hadir. Tubuh dalam hal ini bukan hanya sekedar tubuh biologis tanpa nilai, melainkan tubuh sosial yang sarat makna yang dapat dikonstruksi oleh berbagai ideologi. Tubuh menjadi penyandang praktekpraktek budaya sehingga tubuh menjadi arena kontestasi berbagai ideologi.
Tubuh
selalu
termanifestasikan
dalam
ada
dalam
praktek-praktek
genggaman budaya
budaya dan
yang
kebiasaan-
kebiasaan hidup sehari- hari. Tubuh yang ada dalam genggaman budaya, sepenuhnya berpartisipasi di semua praktek-praktek budaya yang mengatur dan membatasi tubuh dengan serangkaian aturan yang memperbolehkan dan melarang. Karena itu, tubuh dapat dijadikan sebagai arena kontestasi berbagai ideologi untuk menjadi yang dominan. Kenyataannya, pendisiplinan tubuh perempuan terus berlangsung dengan berbagai cara. Hal itu menyebabkan perempuan hanya memiliki akses yang sangat terbatas untuk memahami tubuhnya sendiri yang kemudian berdampak pada terbatasnya ia memahami seksualitasnya sendiri.Dengan begitu, seksualitas perempuan dalam masyarakat hanya dipahami sebagai bersifat insidental atau bergantung dan bukan sifat
20
dasar atau kebutuhan. Dalam membicarakan seksualitas, wujud kuasa dalam seksualitas perempuan tampak sangat jelas. Terjadi pengekangan bagi perempuan untuk mengekspresikan hasrat yang datang dari dalam diri mereka sendiri. Sehingga menyebabkan perempuan kehilangan diri sebagai subjek, sementara seseorang untuk mendapat pengakuan dari dunia eksternal diluar dirinya, perlu mengenali dirinya sendiri, sebagai proses dialektika antara hasrat dan pemenuhannya. Hasrat itu juga termasuk hasrat seksua litas. Kebungkaman perempuan akan hasrat seksualitasnya terjadi melalui pembatasanpembatasan penggunaan bahasa. Kapan dan di mana orang boleh membicarakan seks ditentukan dengan ketat, melalui tabu-tabu yang ada. Oleh karena itu, setiap kebudayaan mengajarkan nilai-nilai perilaku seksual yang seharusnya, yang mereka percayai sebagai sebuah kebenaran. Mitos- mitos atau konsep identitas seksual pada kenyataannya memang ditanamkan untuk mengatur perilaku seksual masyarakat, atau yang lebih khusus ditujukan pada perempuan.Hal itu tampak pada politik bahasa yang represif. Perumpamaan-perumpamaan dipakai untuk menggantikan atau sebagai penghalusan ketika hendak membicarakan seks. Sama dengan sikap rezim yang mencoba memberangus kebebasan berpikir masyarakatnya sehingga melahirkan kebungkaman karena mengucapkan pikiran kritis adalah dilarang. Dengan begitu seksualitas dan kekuasaan jelas sekali begitu erat kaitannya, dan kekuasaan tersebut tentu saja berasal dari ideologi partiarkal.
21
Pada akhirnya pemahaman tentang tubuh akan berdampak pada bagaimana tubuh itu diperlakukan. Seperti yang dijelaskan oleh Synnott “Any construction on the body, however, is also a construction of the self as embodied, and, influences not only how the body is treated but also how life is lived” (Synnott, 2002:37). Konstruksi tubuh sosial tersebut juga berdampak pada cara membatasi tubuh secara fisik. Perempuan akhirnya membatasi definisinya terhadap apa yang terkait dengan tubuh di mana hasrat bersemayam di dalamnya. Definisi itulah yang terus dilangengkan dalam menampilkan perempuan melalui media, terutama film. Selama ini banyak sekali mitos-mitos yang selalu dibesarbesarkan terkait dengan tubuh perempuan ataupun dalam relasi perempuan dengan laki- laki. Dalam bukunya Synnott menjelaskan bahwa mitos mengenai penciptaan perempuan merupakan sebuah ideologi gender12 . Dari mitos penciptaan manusia pertama inilah kemudian citra perempuan sebagai penggoda dan perusak moral terus dibesar-besarkan. Anggapan itu terus berlanjut hingga membentuk pola berpikir bahwa perempuan dengan segala bentuk tubuh dan hasratnya perlu untuk terus
12
Synnott mengisahkan ulang mengenai mitos penciptaan manusia, di mana Adam adalah manusia pertama, dan Hawa adalah manusia berjenis kelamin perempuan yang diciptakan setelah Adam, dan dianggap sebagai manusia pendosa pertama sekaligus lambing dari ‘setan’ yang menyebabkan Adam dan Hawa di usir dari surge dan dilempar ke bumi. Mitos yang dibesar-besarkan ini pada akhirnya menyebabkan pembedaan laki-peremp uan dalam masyarakat, dan juga menyebabkan pembedaan tipe perempuan. Seperti yang dikatakan Synnott mengenai tubuh perempuan “not only are there two types of people, men and women, there are also only two types women, good and bad, the virgin and whore..the female body is impure, corrupt, the site of discharges, bleedings, dangerous to masculinity, as source of moral and physical contamination, the devil’s gateway”. Anthony Synnott. 2002. The Body Social. Symbolism, Self and Society. e-Library. Taylor & Francis Group.
22
didisiplinkan. Pendisiplinan tubuh dan hasrat perempuan tampak dalam stereotip yang terus dilekatkan pada perempuan, bahkan hingga saat ini. Pemahaman setiap individu terhadap tubuh mereka masingmasing dapat berbeda. Perbedaan itulah yang pada akhirnya juga tampak dari penggambaran perempuan dalam film. Cara patriarkal bawah sadar masyarakat pada kenyataannya telah menyusun bentuk film dan berdampak pada bagaimana film itu disajikan serta sangat membentuk narasi dalam sebuah film. Perempuan dibentuk oleh dan bagi budaya patriarkal, sehingga memungkinan laki- laki untuk menghidupkan fantasifantasi dan obsesinya terhadap perempuan. Dalam film seringkali perempuan diidentifikasi bukan atas dirinya sendiri, namun sebagai objek hasrat dan penderitaan, dan sebagai penonton, perempuan secara tidak sadar diminta untuk mengakrabi segala objektivikasi tersebut, serta penghinaan yang mengikutinya. Perempuan dalam layar bergerak, seringkali dilekatkan pada lakilaki, karena perempuan berguna sebagai yang memberi nilai bagi lakilaki. Lewat olok-olok ataupun kiasan-kiasan yang berdasar maupun yang tidak, laki- laki seringkali mempermainkan semua ambiguitas yang terdapat dalam relasi antara perempuan- laki- laki. Perempuan selalu kesulitan menghadirkan dirinya dan kesulitan mengajukan perkataannya. Sinema feminis di Indonesia lebih banyak mengeksplorasi persoalan tentang menentukan sifat perempuan dalam satu situasi di mana perempuan lebih ditampikan sebagai tidak memiliki suara, wacana,
23
tempat untuk bicara, dengan kata lain lebih mengedepankan kebisuan perempuan dan kesakitan perempuan dalam budaya patriarkal. Film- film klasik itu menjadi dominan menampilkan persoalan perempuan dalam frame dan kebutuhan patriarkal, tanpa menampilkan suara perempuan itu sendiri. Penggambaran mengenai perempuan yang terobjektivikasi dalam relasinya dengan laki- laki nyata menjadi ciri old fashioned dalam sejarah feminis. Dalam televisi pun, usaha pengembalian perempuan ke ranah privat terus digulirkan. Peremp uan-perempuan karir yang ditampilkan dilekatkan dengan tokoh yang antagonis, tidak peduli, kasar, sombong dan berakhir dengan petaka yang mengerikan, sementara penggambaran perempuan rumahan memiliki kehidupan yang baik, tenang, bahagia, dan cenderung happy ending. Hegemoni pada kenyataannya tidak pernah berada dalam situasi yang stabil dan mandeg. Hegemoni akan terus beroperasi dalam segala medan wacana di masyarakat dan ketika pada saat tertentu relasi yang menyertai hegemoni tersebut berlangsung terus menerus dan cenderung merujuk pada bentuk koersif, hal tersebut akan memunculkan resistensi yang dapat berfungsi untuk menciptakan peluang melahirkan wacana atau karya estetis dalam bentuk kontra- hegemoni. Inilah mengapa era posfeminis menjadi era di mana perempuan me nyadari bahwa resistensi perlu untuk terus dilakukan dengan menciptakan karya-karya estetis yang ‘bertarung’.
24
1.2.3 Nilai-nilaiPosfeminisme Posfeminisme berasal dari Amerika serikat. Tahun 1980-an dan 1990-an merupakan era posfeminis. Posfeminisme menantang paradigma feminisme klasik terutama feminisme gelombang kedua, yang pada waktu itu menukar cita-cita politik demi mobilitas karir dan perempuan muda yang secara ikhlas memburu tujuan karir 13 . Aliran ini lebih terfokus pada mikro politik serta mene ntang paradigma yang ada di gelombang kedua mengenai apa yang baik dan tidak untuk kaum perempuan. Pemikiran ini juga lahir dari pertentangan terhadap isu, semisal, dunia privat, dunia publik, atau keluarga dan karir, posfeminisme mencuatkan keyakinan di kalangan sejumlah perempuan untuk memadukan dua dunia ini dan arti penting peran laki- laki dalam kehidupan keluarga sebagai bapak rumah tangga bukan hanya perempuan sebagai ibu rumah tangga, dan karir perempuan tidak mesti menegasikan naluri perempuan untuk membangun keluarga. Posfeminisme sebenarnya tidak antifeminis. Posfeminisme hanya menentang asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi feminis gelombang kedua. Namun, istilah posfeminisme pun akhirnya harus jatuh ditangan media ketika membingkai pemahaman umum yang
13
Bahkan perempuan seringkali mendominasi dunia kerja, contoh model-model dalam industri digantikan oleh perempuan; seperti dalam Calvin Klein. Dan sejumlah besar perempuan yang menceraikan laki-laki (suami) hanya untuk bebas dalam berkarier. Laki-laki kemudian menjadi insecure dalam bidang ekonomi, sehingga persaingan karier dengan perempuan menjadi ancaman besar. Chapman dan Rutherford, 1996. Male Order: Unwrapping Masculinity. London. Lawrence and Wishart.
25
negatif dan populer, dan hal itu telah mengukuhkan penyamaan posfeminisme dengan reaksi buruk. Seperti yang dikemukakan Alice: “Mungkin pesan paling persuasif bagi posfeminisme bahwa feminisme telah mendorong perempun untuk menginginkan terlalu banyak. Posfeminisme ditawarkan sebagai pelarian dari beban untuk menjadi perempuan super dalam rangka memenuhi citra sukses kaum feminis” (Brooks, 2011:5) Pandangan bahwa perempuan selalu diopresi dan menjadi termarginalkan dari posisi laki- laki tidak lagi menjadi fokus dalam pemikiran posfeminisme. Kesetaraan dalam pandangan posfeminisme akan melemahkan berbagai hal mulai dari mengganggu keseimbangan spesies manusia dan hal- hal lainnya. Selain itu posfeminisme juga memandang bahwa perbedaan pengalaman yang ada memang harus diimbangi dengan pemahaman bahwa laki- laki dan perempuan juga berbeda 14 . Permainan dalam media menjadi strategi gerakan posfeminisme. 15 Wacana tersebut sebenarnya berasal dari satu pemikiran bahwa untuk melawan hegemoni patriarki dalam media, para perempuan tidak harus menghindari media mainstream, tetapi bagaimana sebisa mungkin 14
Luce Irigaray, salah satu tokoh posfeminis prancis, menyatakan bahwa perbedaan dipandang secara logis karena perjuangan perempuan itu bukan sekedar menuntut adanya kesetaraan antara dua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) karena kenetralan hanya akan memusnahkan regenerasi kehidupan manusia itu sendiri. selain itu, yang terpenting sesungguhnya adalah merumuskan nilai-nilai yang mengatur kedudukan pada satu gender yang berlakuuntuk setiap jenis kelamin. Artinya, dengan membangun suatu budaya perempuan dan laki-laki yang saling menghargai keduanya. Sehingga nantinya dapat terbentuk pasangan yang kreatif, bukan sekedar prokreatif dan hal tersebut terwujud bila tidak ada dominasi antara satu terhadap yang lainnya. Luce Irigaray. 2005. Aku Kamu Kita; Belajar Berbeda. Jakarta. KPG 15 Pemikiran Posfeminisme bukannya tidak membongkar situs dan praktik suboordinasi perempuan oleh laki-laki. Tetapi, lebih kepada mencoba membongkarnya dengan tetap memperhatikan konteks historis, kultural, dan eksistensi subjek perempuan plural dalam masyarakat partikular, sembari memberikan alternatif kontestasi yang bisa dilakukan perempuan dalam praktik resistensi dan subversif, melalui aspek-aspek keperempuanan (feminity) yang mereka miliki. Ann Brooks. 2004. Posfeminisme & Cultural Studies. Yogyakarta. Jalasutra
26
mengasosiasikan dan mengartikulasikan kepentingan mereka dalam representasi populer, baik melalui musik, iklan, acara televisi, maupun film. Seperti
yang
sudah
disinggung
di
atas
bahwa
dalam
penggambaran klasik mengenai perempuan, selalu berujung pada pengembalian perempuan pada ruang privat. Dimana dalam wacana feminisme ruang privat merupakan sebuah wilayah yang personal dan sangat pribadi. Perempuan dituntut untuk menjaga diri dan perilaku sebaik mungkin agar dapat diterima dalam dunianya. Di era posfeminis belum banyak yang mampu membuka wacana seksis dan femininitas perempuan dalam media populer. Dalam layar bergerak, serial Sex and The City dan Ally McBeal menjadi ikon entertainer dalam kemasan posfeminis. Persoalan yang dikupas dalam serial tersebut tampak secara gambla ng membicarakan tentang tubuh, seksualitas, dan mengupas segala sisi femininitas perempuan yang bukan berasal dari kategori perempuan rumah. Di Indonesia sejak era 2000an dimana kebebasan untuk berekspresi semakin terbuka, nyatanya belum banyakfilm ataupun serial yang benar-benar mengupas mengenai tubuh, seks dan femininitas perempuan yang keluar dari dominasi sinema feminis klasik. Di Indonesia persoalan seks masih sangat mengikat masyarakat, sehingga
27
siapa yang tidak mematuhi aturan kesucian16 tersebut akan kesulitan mendapatkan tempat. Sehingga hak perempuan untuk melampaui aturan tersebut, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam kerja representasi pada film, menjadi kurang didengar dan dianggap sebagai suara minor, dikecam dengan berbagai cara. Namun, dalam pandangan posfeminis, keinginan untuk mengubah hal semacam itu tidak berarti harus melakukannya dengan cara yang frontal atau militan. Mengenai ini walter menyebutkan “nineties, women don’t want to have their private lives “policed by feminism”. They want to enjoy sex with men, wear make-up, dress in short skirts and high heels without feeling that they’re betraying the struggle for equal rights”.
17
Proses untuk menghindar narasi klasik, bagaimanapun juga mengarahkan para sineas untuk memodifikasi usaha resistensi mereka dalam bentuk yang kreatif dan yang terpenting adalah dalam resistensi kreatif itu tetap mampu mengakomodasikan sudut pandang perempuan. Pada prinsipnya sinema feminis mengidealkan tidak hanya narasi yang diisi oleh tubuh perempuan dan cerita yang dikonstruksi untuk para penonton perempuan, tetapi juga memunculkan narasi tentang laki- laki
16
Kesucian dalam konteks ini dinilai dari keperawanan, dan berkaitan dengan persoalan seksualitas yang dikotakkan pada konsep haram dan halal. Dalam banyak kisah, tokoh perempuan ataupun pejuang perempuan hanya akan di akui ketika ia tetap mempertahankan keperawanannya. 17 Lihat Christine Thomas pada Monthly Journal of The Socialist Party diakses dari http://www.socialismtoday.org/38/feminism38.html
28
dan tubuhnya, lalu di dalamnya situs penindasan di bongkar dan digantikan dengan hegemoni baru yang diciptakannya.
18
Cara pandang posfeminis agar memanfaatkan media populer dimaksudkan untuk mengganggu hegemoni patriarki dengan cara yang juga ambigu, tetap memperlakukan femininitasnya dengan sebaikbaiknya namun juga dengan melakukan hal- hal yang selama ini hanya distereotipkan untuk maskulin. Sikap posfeminis ini menjadi tampak berseberangan dengan pemikiran feminisme klasik yang menganggap patriarki sebagai ‘virus’ yang harus dibumihanguskan, sementara dengan karakter yang demikian, posfeminis memahami bahwa ‘virus’ seperti itu tidak mudah dilenyapkan begitu saja 19 . Konsep kebebasan yang diusung oleh
posfeminis
adalah
membebaskan
perempuan
untuk
mengekspresikan dirinya sendiri dan mengkonstruksi diri seperti apa yang mereka inginkan. Seperti yang diungkapkan oleh Kim bahwa: “Postfeminism negotiates, restyles, and even apologizes for feminism and then offers up a new woman (but a different kind of new women from the 1980s or even 1920s) who is comfortable and confident in her sexuality and, more specifically, in sexual difference”(Kim, 2001:325). 18
Kaplan, seperti yang dikutip oleh Halprin menjelaskan “Kita membutuhkan film yang menunjukkan kepada kita, yang kita kenali sebagai wacana yang mapan yang menekan kita, bagaimana kita mengambil posisi berbeda di dalam relasinya terhadap wacana tersebut. Kita perlu tahu bagaimana untuk memanipulasi wacana yang mendominasi dan sudah kita kenali, sehingga bisa dimulai untuk membebaskan diri kita melalui ketimbang melampaui wacana tersebut. Lihat Sarah Halprin. 1984. Women and Film, Writing in the Margins. Dalam Jump Cut: A Review of Contemporary Media, no 29. Versi online diakses dari http://www.ejumpcut.org/archive/onlineassays/JC29folder/HalperOnKaplan.html, 5 Mei 2013 19 Brooks sebagaimana dikutip oleh Kim mengatakan mengenai konsep posfeminisme mengenai patriarki “Postfeminism does not mean that patriarchy has been overcome. Rather, postfeminism engages with the discourse of feminism’s fight against patriarchy while also challenging the hegemonic assumptions that oppression is universal among women, race, and class”. Lihat http://tvn.sagepub.com/content/2/4/319.extract 2 Mei 2013
29
Bahasa juga menjadi poin yang diperhatikan oleh para pemikir posfeminis. Perspektif ini menekankan pada bahasa karena internalisasi gender masuk melalui bahasa sementara bahasa yang digunakan masyarakat adalah bahasa si pembuat tatana n, yaitu laki- laki atau patriarkal, sehingga perempuan tidak memiliki tempat untuk berbagi pengalaman mereka di ruang-ruang privat. Oleh karena itu salah satu rekomendasi yang diajukan posfeminisme adalah agar perempuan lebih banyak mengekspresikan diri dengan menulis pengalaman mereka sendiri: “Menulis. Suatu kegiatan yang tidak akan hanya menyadari relasi tanpa sensor dari perempuan atas seksualitasnya, sampai keberadaannya sebagai perempuan, memberinya akses untuk kekuatan aslinya; akan memberinya kembali kesanggupan, kenikmatannya, organ-organnya, teritorinya yang sangat luas secara badaniah yang telah disimpan dalam segel..”(Brooks, 2011:121) 1.2.3.1 Film Modern dan Film Postmodern Posfeminisme adalah gerakan feminisme gelombang ketiga. Istilah ini muncul sebagai penolakan atas stereotip feminisme klasik yang cenderung membatasi gerak perempuan itu sendiri. Feminisme bagi sebagaian pemikir telah dimatikan sejak maknanya didefinisikan mutlak dan postfemimisme adalah kontra dari perjuangan definitif. Permainan media menjadi strategi gerakan posfeminis. Perspektif ini
mengusahakan
sebuah
permainan
yang
dibutuhkan
untuk
menuliskan mitos dan makna baru melalui media. Bila dalam
30
pemahaman feminisme media menjadi sasaran kritik, maka dalam perspektif posfeminis media menjadi rekan dalam menginternalisasikan pesan yang ingin perempuan sampaikan. 20 Dalam hal ini, perempuan tidak hanya harus memahami mengenai hasrat tubuhnya, ia pun harus mengenali pengalaman dan sejarah yang membentuk identitas dirinya. Melalui media, dalam hal ini adalah film, makna dan mitos dapat terus dikukuhkan. Oleh karena itu, tema dan isi cerita yang disampaikan oleh para sineas baik perempuan maupun laki- laki melalui film perlu juga untuk dicermati. Film- film perempuan yang dibuat era 2000-an, pada dasarnya selalu berusaha menyuguhkan alur cerita dengan beraga m setting, konflik, maupun resolusi masalah yang ditawarkan. Namun, kesan yang kemudian didapat pada kebanyakan film- film tersebut adalah keseragaman “isi”. Mereka (para sineas baik laki- laki maupun perempuan) tetap memasukkan tema-tema yang umum berkembang dalam masyarakat patriarkal Indonesia. Selain sebagai objek pandangan seksual,
film- film
tersebut
masih
cenderung
merepresentasikan
perempuan dalam stereotip-stereotip perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Perempuan pada film- film era modern sebagian 20
Posfeminisme menurut Kim lebih marak dalam kajian media dan budaya populer semenjak era 1990-an hingga saat ini, sebagai sebuah serangan balik (backlash). Hal itu ditandai dengan maraknya perempuan dan utamanya perempuan muda yang berperan pesat dalam kontestasi budaya populer, sembari mendeklarasikan perayaan mereka dan menganggap feminisme sudah tidak penting lagi karena perempuan saat ini sudah banyak mendapatkan kesamaan dengan lakilaki. Namun, Kim juga menyatakan bahwa era postfeminisme banyak tenggelam dalam penggambaran perempuan muda, pekerja dan single. L.S Kim. 2001. Sex and Single Girl in Postfeminism: The F Word in Television. London. Sage Publication. Versi online di akses dari http:///tvn.sagepub.com, 2 Mei 2013.
31
besar masih menampilkan perempuan dalam posisi menjadi “korban”, maupun makhluk- makhluk yang harus dikendalikan atau dikalahkan oleh tokoh laki- laki (tokoh antagonis). Tabel 1. Film Modern dan Film Posmodern Modern Tubuh
Seksualitas Perempuan
Posmodern
Mitos Konsep Ibuisme Negara. Kesabaran dan kepatuhan perempuan sebagai bentuk perjuangan.
Submitos 1. Kesabaran istri pertama terhadap poligami dibawah payung agama. Kesabaran istri pertama berbuah kemenangankemenangan. 2. Perempuan mata duitan memanfaatkan ketidakberdayaan laki-laki dan menjadi istri simpanan. 3. Ketidakberdaya -an perempuan yang terjebak dalam kehidupan yang tidak diinginkan. 4. Penyakit berbahaya sebagai efek dari perempuan yang melacur.
Mitos Perempuan yang otonom. Kebebasan memilih jalan hidup. Berdasarkan kehendak dari diri sendiri.
Submitos 1. Perempuan dengan karakter kuat dan tidak bergantung pada kehendak di luar konsep dirinya sendiri 2. Sikap datar dan tidak berlebihan dalam memandangua ng. 3. Melakukan sesuatu yang menjadi passion perempuan itu sendiri (Menari, menulis, sex, dll) 4. Energi dan kekuatan perempuan yang bebas menikmati seksualitasnya.
Seksualitas adalah gairah yang sublime sehingga membutuhkan bentuknya yang sakral yaitu pernikahan.
1. Persoalan seksualitas (hanya) dalam rumah tangga.
Kebebasan menikmati hasrat seksualitas dalam bentukbentuk yang diinginkan.
1. Seksualitas dalam hubungan bukan hanya pernikahan dan bukan hanya dalam bentuk heteroseksual.
Tatanan seksualitas yang dilengkapi dengan oposisi, lakilaki aktif dan perempuan pasif.
2. Superioritas seksual suami dan kepasifan istri
Bebas dan percaya diri menikmati sekualitas.
2. Kesenangan dan Kepuasan perempuan ketika
32
Bahasa
Keharusan memahami bahasa yang berlaku dalam masyarakat, yaitu bahasa patriarkal Hegemoni peran ibu dalam membentuk sejarah hidup perempuan.
1. Repetisi atas stereotip perempuan yang terus terjadi melalui penggambaran ibu yang cenderung lemah lembut, tidak banyak bicara, ibu rumah tangga yang bahagia, istri yang disayang suami karena keahliannya memasak, perempuan karir yang keras hati dan antagonis. 2. Anak perempuan yang digambarkan sangat terikat pada subjek keluarga, bayangan sang ibu yang membesarkannya dengan mitos perempuan harus suci dan bergantung pada identitas lakilaki, baik sebagai ayah ataupun suami.
1.3
Membongkar Pemaknaan baru untuk mengeluarkan hasrat tubuh dan pengalaman perempuan. Pembentukan sejarah perempuan oleh diri perempuan sendiri melalui sharing pengalaman di ruang privat.
melakukan aktivitas seksual. 1. Perempuan yang lebih speak up dan tegas terhadap laki-laki dan pilihan hidup yang hendak dijalaninya 2. Perempuan yang memilih bebas dari orang tua ataupun subjek keluarga lainnya untuk memiliki ‘ruang’ sendiri, yang kemudian berhasil menemukan bahasanya sendiri tanpa mengkhawatirk an asumsi stereotip yang akan berkembang.
Kerangka Konsep Penelitian Dari kerangka berpikir yang dijelaskan di atas, maka secara garis besar konsep penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut: Table 2
Representasi Konsep Language (penanda) Mental representation (petanda)
Indikator Teks, Dialog, Monolog, Gambar, Mimik, Gestur, Sudut Pengambilan Gambar, setting. Nilai, Makna Kultural, Konvensi, Kode yang Bersifat Emosional (Implisit) 33
1 .4
Metodologi Penelitian 1.4.1 Jenis Penilitian Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskripif kualitatif. Dalam pelaksanaanya penelitian ini meliputi data, analisis dan interpretasi tentang makna data yang diperoleh. Dalam penelitian ini akan dijabarkan secara konkrit mengenai objek penelitian yang dalam hal ini adalah film MBSM!. Di mana objek tersebut berupa shot dari setiap adegan yang relevan dengan pertanyaan penelitian. 1.4.2 Metode Penelitian Untuk membaca teks pada film secara lebih holistis maka diperlukan metode pembacaan yang lebih spesifik, karena film merupakan kerja representasi yangtidak pernah bebas nilai. Salah satunya adalah metode semiothic atau semiologi dalam istilah Barthes.Kajian semiotika pada film tentang perempuan telah banyak dilakukan. Akan tetapi, dalam penelitian ini film dikaji untuk membandingkan film yang muncul pada era-era modern dan film era postmodern di Indonesia, kemudian memetakan posisi film MBSM! sebagai film yang datang dengan ide yang dikesankan berada di luar mainstream, selain itu film ini adalah film adaptasi dari buku kumpulan cerpen di mana film ini langsung disutradarai langsung oleh penulis buku tersebut. tidak hanya bertindak sebagi sutradara, Djenar juga bertindak sebagai produser sekaligus penulis scenario film MBSM!, hal tersebut tentu menjadi
34
pembeda dari film- film adaptasi lainnya yang biasanya digarap oleh orang yang berbeda.Dengan mengetahui posisi film MBSM!, pada akhirnya dapat mengantar kita pada satu pemahaman menge nai hegmoni dan kontra-hegemoni. Bagi peneliti, akademisi sosial, tentu hal ini berharga untuk didiskusikan. Pada titik inilah, kajian ini menjadi penting. 1.4.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam analisis ini, kesibukan utama peneliti adalah mencari makna dari tanda-tanda yang dianggap signifikan dalam sebuah teks. Langkah metodis yang akan ditempuh penelitian ini adalah: observasi. observasi dilakukan dengan penguraian anatomi (sequence, scene, shot)21 film. Durasi keseluruhan film MBSM! ini adalah 93 menit. Film ini terbagi menjadi sekitar 18 sekuen. Sehingga rata-rata sekuen dimunculkan antara 4 sampai 5 menit. Ada sekitar 74 scene dengan jumlah shot berkisar 526 shot. Film ini memiliki pola naratologi yang berbeda dengan pola yang ada dalam film- film kebanyakan. Struktur dalam film ini berupa lompatan-lompatan dari masa sekarang ke masa lalu, dan pola tersebut terus berlangsung dalam film. Sehingga pesan pada film ini hadir hampir di setiap sekuen. Shot-shot dalam film juga beragam, dari long shot, medium shot, close-up, medium long shot, medium close up hingga 21
Monaco dalam bukunya How To Read A Film menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam film. Ketiga istilah sequence, scene dan shot adalah istilah yang menggambarkan bagian-bagian penting dalam film. Sequence atau sekuen adalah serangkaian adegan yang membentuk narasi. Sekuen tidak hanya terdapat dalam film, namun juga iklan. Umumnya dalam iklan terdapat 3 sekuen, sekuen pembuka (introduction), sekuen isi dan sekuen penutup (ending). Namun, dalam film sekuen bisa lebih dari 3 sekuen. Scene adalah kumpulan adegan atau serangkaian adegan yang diambil dalam satu lokasi atau satu aksi. Sedangkan shot adalah adegan tunggal dalam film dan diambil secara continue, sebuah film bisa terdiri dari ribuan shot atau bahkan satu shot saja. Lihat Cinematographical & Film Production Terms. http://www.tagg.org/teaching/mmi/filmtrms.html
35
extreme close-up, gerak lensa zoom in, zoom out, juga beberapa kali dipakai. Gerak shot yang dinamis ini mendekatkan jarak penonton dengan visual. 1.4.4 Teknik Pengolahan Data Pada tahap pengolahan data ini, data yang sudah dikumpulkan berupa adegan-adegan dalam film MBS diola h sesuai dengan tema pada rumusan masalah. Tentu saja tidak semua adegan dalam film dapat dijadikan data untuk kemudian dianalisis. Adegan tersebut diolah lagi dengan memperhatikan isi setiap scene dan shot yang ada dalam tiap sekuen. Dari 526 shot dan 74 scene yang ada, didapat 8 scene yang bagi peneliti relevan denga titik tekan penelitian yaitu, menyoal tubuh, seksualitas dan bahasa. 8scene tersebut terdiri dari beberapa shot. Tentu saja tidak semua shot akan disajikan, hanya shot yang terkait dengan narasi ataupun yang sesuai dengan poin yang akan dianalisis. 1.4.5 Penyajian Data Data yang kemudian didapat setelah melalui proses pengolahan data. Selanjutnya dianalisis menggunakan metode semiotika mitologi Barthes. Data ini kemudian disajikan dalam bentuk tabel dan cerita. Tabel akan diisi oleh gambar dan dialog pada setiap scene. Kemudian akan diikuti dengan penjelasan tanda visual ataupun teks, penjelasan tersebut dilakukan dalam bentuk cerita.
36
1.4.6 Teknik Analisis data Penelitian
ini
adalah
penelitian
mengenai
film
yang
merepresentasikan perempuan. Metode penelitian semiotika dipilih karena mampu menjangkau tidak hanya pada level teks (narasi, dialog, monolog dan teks lain yang bersifat verbal), namun juga pada level penandaan lain seperti simbol. Simbol dalam film berupa gambar, mimik, gestur dan semua tanda yang bersifat non- verbal. Dalam semiotika milik Barthes makna tidak hanya sekedar menemukan penanda yang mengungkapkan petanda, namun berhadapan dengan tiga terma yang berbeda, karena bagi Barthes tanda bukan sekedar satu terma sesudah yang lainnya, melainkan korelasi yang menghubungkan terma-terma itu: penanda, petanda, dan tanda. Berikut adalah peta tanda Barthes: Tabel 3. Pola Tiga 1. Penanda 3.Tanda I Penanda (makna dan bentuk)
2.Petanda II petanda ( konsep)
III Tanda (Mitos)
Untuk bisa membaca mitos seorang pengkaji tidak harus bersusah payah membedah penanda dan petanda pada leve l linguistik (penandaan pertama) dan cukup hanya mengetahui makna tanda denotatif secara global, karena dari tanda denotatif inilah mitos akan dibicarakan, dimana ia hanya menjadi sekedar penanda yang berasosiasi dengan petanda. Dalam pemahaman Barthes, mitos merupakan sistem komunikasi, sebuah 37
pesan. Ia merupakan moda penandaan, sebuah bentuk. Mitos tidak didefinisikan oleh objek pesannya, tetapi oleh cara yang di dalamnya objek menyampaikan pesan22 Dalam menganalisis data pada film MBSM! ini peneliti menggunakan perspektif posfeminisme. Untuk itu setiap shot yang berhasil dikumpulkan akan ditelaah melalui tiga poin besar dalam posfeminis, yaitu tubuh, seksualitas, dan bahasa.
22
Barthes menjelaskan mengenai cara kerja mitos yang melihat bahwa materi-materi dalam wicara mistis, hanya sebagai bahan mentah yang sama, kesatuan mereka adalah bahwa mereka semua turun pada status sekedar suatu bahasa. Apakah hal itu berhadapan dengan tulisan abjad atau pictorial (gambar), mitos hanya ingin melihat dalam materi itu sekumpulan tanda, suatu tanda global, terma final dari rantai semiologis pertama. Roland Barthes. 2010. Membedah Mitos-mitos Budaya Massa. Semiotika atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Yogyakarta. Jalasutra
38