BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia menempati urutan pertama di dunia sebagai negara dengan jumlah panti asuhan terbesar yaitu mencapai 5000 hingga 8000 panti terdaftar dan 15.000 panti tidak terdaftar yang mengasuh sampai setengah juta anak. Pemerintah Indonesia sendiri hanya memiliki dan menyelenggarakan sedikit dari panti asuhan tersebut, sekitar 99 persen panti asuhan diselenggarakan oleh masyarakat, terutama organisasi keagamaan. Penelitian ini memberikan potret mendalam tentang situasi anak-anak dan pengasuhan yang mereka dapatkan di panti asuhan. Jumlah anak terlantar di Indonesia saat ini mencapai 4,8 juta lebih dan berpotensi menjadi lebih besar dan semakin sulit ditangani bila tidak diselesaikan secara serius dan sistematis. Data BPS menginformasikan bahwa 60 juta anak Indonesia dengan usia kurang dari 5 tahun sebanyak 2,15 juta ditampung di panti asuhan. Padahal 72,5 persen dari anak-anak tersebut memiliki orang tua lengkap sedangkan 15,5 persen lainnya memiliki salah satu orang tua dan hanya 10 persen yang benar-benar yatim piatu (http://www.berkas.dpr.go.id diakss pada tanggal 23 Oktober 2015). Kebanyakan anak-anak yang ditempatkan di panti asuhan oleh keluarganya mengalami kesulitan ekonomi sehingga menghambat pemenuhan kebutuhan pendidikan anak. Dengan kata lain, kebanyakan panti asuhan tidak memberikan ''pengasuhan'' sama sekali, melainkan hanya wadah untuk memenuhi pendidikan dengan cara menjadi warga binaan di panti asuhan sampai mereka lulus SMA. Secara
eksplisit, hal ini tertera dalam pendekatan pengasuhan, pelayanan yang diberikan, dan sumberdaya yang diberikan oleh panti asuhan. Tingginya jumlah anak yang tinggal di panti asuhan dengan status masih memiliki orang tua, baik keduanya maupun hanya satu, mengindikasikan bahwa penyebab utama munculnya anak terlantar adalah masalah ekonomi keluarga. Panti asuhan seolah menjadi harapan bagi orang tua agar anak-anak mereka bisa hidup, makan dan bersekolah tanpa memikirkan dampak dari tinggal di panti asuhan terhadap anak. Penyediaan fasilitas pendidikan dan jaminan gizi masih menjadi fokus utama dari mayoritas panti asuhan di Indonesia. Sementara itu konsep pengasuhan anak masih cenderung terabaikan. Warga binaan di panti asuhan secara umum memiliki latar belakang permasalahan yang sama yaitu “dibuang dan ditelantarkan” oleh orang yang seharusnya memberikan perlindungan dan pengasuhan. Secara psikologis dan sosial mereka cenderung ditolak, terstigma, dan kemungkinan besar mengalami persoalan kejiwaan dan sosial di masa depan. Panti asuhan, khususnya yang diselenggarakan oleh masyarakat juga menghadapi permasalahan yaitu pendanaan. Beberapa kasus yang ditemukan di Inggris mengindikasikan bahwa, biaya pemenuhan hak anak di panti asuhan sepuluh kali lebih mahal dibandingkan pemenuhan hak di rumah tangga keluarga. Sedangkan di Afrika, biayanya sampai enam kali lebih tinggi dari anggaran rumah tangga biasa. Keadaan ini tentunya sangat memprioritaskan ketersediaan dana untuk memenuhi kebutuhan hidup anak asuh dan biaya operasional panti, apalagi bagi panti asuhan yang
sumber
pendanaannya
bergantung
kepada
sumbangan
masyarakat
(http://www.berkas.dpr.go.id diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 pukul 12.00 WIB).
Masalah lain yang juga sering ditemukan di panti asuhan adalah kurangnya tenaga profesional dalam memberikan penanganan yang menjadikan anak-anak harus mengurus dan mengasuh diri mereka sendiri. Hampir tidak ada asesmen tentang kebutuhan pengasuhan anak-anak baik sebelum, selama, maupun selepas mereka meninggalkan panti asuhan. Kriteria seleksi anak-anak dan praktek rekrutmen sangat mirip di hampir semua panti asuhan dan mereka lebih fokus kepada anak-anak usia sekolah, keluarga miskin, keluarga yang kurang beruntung dan orang tua yang terlalu tua ''untuk mengasuh sendiri''. Fokus lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan kolektif, khususnya kebutuhan materi sehari-hari sementara kebutuhan emosional dan pertumbuhan anak-anak tidak dipertimbangkan. Meskipun pemerintah menyediakan dana yang substansial untuk semua panti asuhan yang terdaftar, namun rendahnya standar minimum pengasuhan dan juga sistem lisensi panti asuhan menunjukkan bahwa dukungan ini tidak menghasilkan pengasuhan yang profesional dan berkualitas (http://www.kemsos.go.id diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 pukul 12.00 WIB). Anak-anak yang tinggal di panti asuhan tersebut kurang mendapatkan perhatian dari pengasuh profesional. Tidak jarang anak-anak terlantar tersebut dieksploitasi sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk menampung mereka. Padahal, perhatian merupakan kebutuhan yang tak kalah penting bagi anak di usia mereka sehingga banyak penyakit psikologi dan sosial yang dialami oleh anak-anak di panti asuhan. Kondisi ini diperparah lagi dengan sering terjadinya penyelewengan dana bantuan oleh pengurus panti untuk kepentingan pribadi. Sehingga banyak ditemukan panti asuhan dengan kondisi yang menyedihkan, dikelola secara tidak profesional, dan minim fasilitas. Kendala umum yang dialami oleh pengelola panti asuhan tersebut pada akhirnya mengalihkan fokus terhadap hak-hak anak asuh dalam
mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik secara ekonomi maupun
seksual,
penelantaran,
kekejaman,
kekerasan,
dan
penganiayaan,
ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya, seperti tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh pada anak. Salah satu bukti nyata tentang kualitas pengasuhan dan pelayanan panti asuhan di Indonesia terjadi di daerah Serpong, Tangerang Selatan. Tiga puluh tujuh anak asuh yang ditampung di panti asuhan Samuel diduga menjadi korban kekerasan dan dugaan penelantaran anak sakit yang dilakukan oleh pengelola panti. Dua balita di antaranya bahkan dibiarkan dalam keadaan demam tinggi. Informasi tersebut diketahui setelah tujuh anak yang berhasil melarikan diri ketika pengurus panti sedang pergi ke mall. Panti asuhan yang belum memiliki izin pendirian itu kini menjadi fokus penyelidikan. Komisi Nasional Perlindungan Anak menyayangkan lambannya penanganan kasus ini sehingga menimbulkan korban, karena pada tahun lalu buruknya pengelolaan panti sudah diketahui oleh publik (http://www.tempo.co di akses pada tanggal 23 Oktober 2015 Pukul 12.00 WIB). Kasus kekerasan terhadap anak pada tahun 2013 meningkat tajam dan parahnya lagi kekerasan dilakukan oleh orang dewasa terdekat. Menurut catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA), dalam kurun waktu Januari hingga Oktober terdapat 2.792 kasus pelanggaran hak anak dengan 1.442 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan terhadap anak. Kasus kekerasan sepanjang tahun 2013 paling banyak dilakukan oleh orang terdekat, berupa pemerkosaan, pembuangan atau penelantaran,
dan
penganiayaan
hingga
menyebabkan
kematian
(http://www.berkas.dpr.go.id diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 pukul 12.00 WIB).
Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Sosial pada tahun 2006 dan 2007 bekerjasama dengan UNICEF dan Save The Children menunjukkan perlunya solusi yang tepat dalam kerangka pola pengasuhan dengan sistem monitoring yang tersistematis untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak. Pentingnya perubahan kebijakan dalam penyelenggaraan pelayanan pengasuhan alternatif anak menjadi dasar untuk pelaksanaan pengasuhan dan perlindungan anak. Telah diakui bersama bahwa keluarga adalah lingkungan terbaik bagi anak untuk tumbuh. Pendekatan alternatif yang perlu dikembangkan untuk melindungi anak terlantar adalah dengan tidak serta-merta memasukkan mereka ke panti asuhan, tetapi mengembalikannya kepada orang tua atau sanak saudara yang terdekat. Di sinilah peran pemerintah dan pekerja sosial dibutuhkan (http://www.berkas.dpr.go.id diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 pukul 12.00 WIB). Menyadari akan pentingnya peningkatan mutu pelayanan dan pengasuhan dalam menentukan keberhasilan kinerja panti asuhan, pemerintah menetapkan standar dalam memberikan pelayanan dan pengasuhan yang dikenal dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan secara nasional. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Pasal 1 ayat (6) yang berbunyi “Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah suatu ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib bagi yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal”. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005, Standar Pelayanan Minimal (SPM) disusun sebagai alat pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin akses dan mutu pelayanan dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib. Dalam penyusunan SPM ditetapkan jenis
pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu pencapaian SPM. Penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Tim konsultasi terdiri dari unsur-unsur Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara terkait dengan penyesuaian kebutuhan. Pemerintah Daerah mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penerapan SPM kedalam sistem informasi daerah yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dari sekitar 32 bidang, ada 15 bidang yang wajib memiliki SPM agar masyarakat mendapatkan pelayanan publik yang berkualitas yaitu kesehatan, pendidikan, pekerjaan umum, lingkungan hidup, BKKBN, pangan, perumahan rakyat, pemberdayaan perempuan, urusan dalam negeri, komunikasi dan informatika, penanaman modal, perhubungan, tenaga kerja dan urusan sosial (Laporan SPM Kota Malang, 2013). Kementerian Sosial Republik Indonesia dengan menggunakan acuan perundang-undangan dan kebijakan lainnya yaitu Konvensi Hak Anak (Ratifikasi Pemerintah Indonesia tahun 1990), Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pengasuhan Anak, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 107/HUK/2009 tentang Akreditasi Lembaga Kesejahteraan Sosial dan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 108/HUK/2009 tentang Sertifikasi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial mengeluarkan kebijakan sebagai pedoman pengasuhan untuk memperbaiki manajemen panti asuhan yang tertuang didalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 30/HUK/2011 tentang Standar Nasional Pengasuhan Anak Untuk Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak. Cakupan standar ini
terdiri dari 5 bab yang secara garis besar mengatur tentang hak anak dalam memiliki keluarga dan pencegahan keterpisahan, pelayanan bagi anak, assesmen, sistem pengawasan, keterlibatan orang tua atau wali dalam merencanakan pengasuhan, peran tenaga profesional seperti pekerja sosial dalam memberikan penanganan, akreditasi dan perijinan lembaga serta evaluasi akhir pelayanan atau pengasuhan anak (http://www.bphn.go.id diakses pada tanggal 23 Oktober 2015 pada pukul 12.00 WIB) Berdasarkan wawancara dengan pengurus panti, diketahui bahwa Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan adalah salah satu lembaga kesejahteraan sosial anak yang didirikan oleh Organisasi Al Djami’yatul AlWashliyah pada tanggal 20 April 1969 melalui Badan Hukum Nomor 67 Tahun 1955 dan sudah menampung sebanyak 1.836 warga binaan dengan latar belakang permasalahan sosial yang berbeda-beda seperti yatim piatu, anak terlantar, fakir miskin, anak yang memiliki keluarga dengan kemampuan ekonomi rendah, korban bencana alam serta anak yang bertempat tinggal di daerah konflik. Hingga saat ini Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah belum mendapatkan status akreditasi lembaga asuhan. Sarana dan prasarana yang dimiliki Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan adalah masjid, kamar tidur dua lantai untuk laki-laki berukuran 7 x 8 meter berjumlah 4 kamar dan kamar tidur perempuan dengan ukuran yang sama sebanyak 2 kamar, masing-masing kamar ditempati oleh 20 warga binaan dan setiap kamar difasilitasi dengan kamar mandi berukuran 4 x 4 meter. Selain berfungsi sebagai panti asuhan, Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan juga mendirikan sarana pendidikan untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) hingga Sekolah Menegah Atas (SMA) berbasis Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang sudah terakreditasi dari dinas pendidikan.
Relasi antar warga binaan terbilang cukup baik, jarang ditemukan pertengkaran atau ketidakharmonisan di antara mereka. Hubungan warga binaan dengan masyarakat di sekitar panti juga sangat terbuka. Hal ini bertujuan agar warga binaan tidak menjadi anti sosial dikarenakan permasalahan sosial yang sedang mereka hadapi. Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan menerima segala bentuk bantuan berupa bahan pokok makanan, bahan bangunan untuk renovasi panti, pakaian, peralatan sekolah bahkan dana untuk biaya sekolah warga binaan dan masih di dalam ruang lingkup pengawasan dinas sosial. Pelayanan yang diberikan yayasan kepada warga binaan dalam meningkatkan kemampuan atau keterampilan di luar bidang akademis sangatlah kurang karena tidak ada tenaga profesional untuk memberikan pembinaan. Yayasan hanya berharap dari organisasi kepemudaan masyarakat atau ikatan remaja masjid untuk berperan aktif dalam memberikan program demi kelangsungan perkembangan minat dan bakat anak asuh. Kriteria pengasuh di panti asuhan ditetapkan oleh yayasan dan dipilih hanya untuk kalangan terdekat saja. Pengasuh berperan untuk mengawasi dan memberikan pendidikan akademis seperti keagamaan dan olahraga. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disajikan, penulis tertarik meneliti pelaksanaan standar pelayanan minimal (SPM) lembaga kesejahteraan sosial anak di Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan yang hasilnya dituangkan dalam skripsi berjudul “Evaluasi Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak di Yayasan Amal Sosial AlWashliyah Gedung Johor Medan”.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah disajikan, dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana pelaksanaan standar pelayanan minimal lembaga kesejahteraan sosial anak di Yayasan Amal Sosial Al-Washliyah Gedung Johor Medan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan standar pelayanan minimal lembaga kesejahteraan sosial anak di Yayasan Amal Sosial AlWashliyah Gedung Johor Medan.
1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam rangka pengembangan: 1. Model pelayanan sosial anak dengan penerapan standar pelayanan minimal (SPM). 2. Teori tentang standar pelayanan minimal untuk lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA).
1.4 Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I : PENDAHULUAN Bab ini berisikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, maanfaat penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan uraian dan konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional. Bab III: METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. Bab IV: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan tentang sejarah singkat serta gambaran umum lokasi penelitian dan data-data lain yang berhubungan dengan objek peneliti. Bab V : ANALISIS DATA Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian beserta dengan analisisnya. Bab VI: PENUTUP Bab ini berisikan tentang hal-hal pokok berupa kesimpulan dan saran dari hasil penelitian.