BAB I PENDAHULUAN
1.1
Judul “Pemenuhan Hak Atas Kesehatan bagi Anak Penyandang Disabilitas di Panti Asuhan Anak Cacat Ganda Al Rifdah, Kota Semarang.”
1.2
Alasan Pemilihan Judul 1.2.1 Aktualitas Kesehatan merupakan hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah menjadi
tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas kesehatan warga negaranya. Pemenuhan hak atas kesehatan bagi warga negaranya direalisasikan oleh negara dengan memberikan jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan diperlukan karena setiap orang memiliki risiko sakit, sehingga dengan jaminan kesehatan risiko biaya perawatan kesehatan yang ditanggung dapat diminimalisir. Di Indonesia, pemenuhan hak atas kesehatan bagi warga negaranya direalisasikan oleh pemerintah dengan menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional. Jaminan kesehatan nasional adalah jaminan sosial berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.1 Penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan Nasional berdasarkan pada prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. 2 Untuk itu, kepesertaan program 1 2
Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 Pasal 1 ayat (1). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Pasal 19 ayat (1).
1
jaminan kesehatan nasional bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia dan setiap peserta memiliki kesamaan dalam memperoleh manfaat sesuai kebutuhan medis yang tidak terkait dengan besarnya iuran yang telah dibayarkan. Namun realitasnya, program jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah belum mampu memberikan perawatan dan pelayanan kesehatan yang komprehensif kepada seluruh penduduk Indonesia, terutama anak penyandang disabilitas di Panti Asuhan Anak Cacat Ganda Al Rifdah, Kota Semarang. Anak penyandang disabilitas di panti tersebut masih kesulitan dalam mengakses fasilitas dan/atau pelayanan kesehatan yang tersedia. Selain itu, pelayanan kesehatan yang diterima pun juga tidak sesuai dengan yang seharusnya, sehingga pemenuhan hak atas kesehatan mereka tidak bisa sempurna. Dalam penelitian ini mengkaji tentang pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak penyandang disabilitas di Panti Asuhan Anak Cacat Ganda Al Rifdah, Kota Semarang. 1.2.2 Orisinalitas Isu mengenai hak atas kesehatan merupakan topik yang sangat menarik untuk diteliti. Hal tersebut karena hak atas kesehatan memiliki dimensi yang luas, tidak hanya mengenai kesehatan sebagai hak asasi manusia, namun juga mengenai upaya-upaya untuk memenuhi hak atas kesehatan itu sendiri. Penelitian-penelitian mengenai hak atas kesehatan yang sudah pernah dilakukan antara lain: 1. Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak (Balita) Atas Kesehatan terhadap Bahaya Asap Rokok. 3 Penelitian yang dilakukan oleh Yuliana Primawardani ini mengkaji tentang peranan pemerintah dalam 3
Primawardani, Yuliana. 2012. Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak (Balita) Atas Kesehatan terhadap Bahaya Asap Rokok. Jurnal HAM. Volume 3 Nomor 2, Desember 2012. Hal. 103-117.
2
memberikan perlindungan dan pemenuhan akan hak atas kesehatan bagi anak dari bahaya asap rokok, dan mengidentifikasi penyebab kurang efektifnya peraturan daerah mengenai larangan merokok ataupun kawasan tanpa rokok. Hasil analisisnya adalah bahwa asap rokok dapat menimbulkan berbagai penyakit yang akan diderita tidak hanya oleh orang dewasa, melainkan anak-anak bahkan janin dalam kandungan pun akan memperoleh dampak buruk dari asap rokok. Untuk itu perlu adanya upaya pemerintah yang dapat memberikan perlindungan akan hak atas kesehatan bagi anak melalui berbagai fasilitas ataupun pelayanan kesehatan yang memadai guna mengatasi dampak buruk dari asap rokok. Sedangkan kurang efektifnya peraturan daerah mengenai larangan merokok ataupun kawasan tanpa rokok disebabkan oleh kurangnya sosialisasi tentang isi Perda anti rokok di masyarakat dan maraknya promosi rokok melalui media massa. Sehingga perlu adanya tindakan tegas dari pemerintah agar berbagai peraturan yang ditetapkan dapat terlaksana dan dipatuhi oleh produsen rokok maupun masyarakat. 2. Perlindungan Hak Atas Kesehatan melalui Kebijakan Pengendalian Tembakau. 4 Fokus kajian penelitian yang dilakukan oleh Yeni Rosdianti ini sama dengan fokus kajian penelitian yang dilakukan oleh Yuliana Primawardani, yaitu perlindungan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan oleh rokok bagi anak bangsa. Untuk itu perlu adanya 4
Rosdianti, Yeni. 2012. Perlindungan Hak Atas Kesehatan melalui Kebijakan Pengendalian Tembakau. Jurnal HAM. Volume 8 Tahun 2012. Hal. 97-130.
3
ketegasan pemerintah untuk melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai pengendalian tembakau sebagai implementasi pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan bagi warga negara sekaligus sebagai bukti nyata atas pelaksanaan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan dari beberapa penelitian yang sudah di paparkan, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan fokus kajian pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak penyandang disabilitas melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional. Peneliti memilih fokus kajian tersebut karena penelitian yang mengkaji upaya pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak penyandang disabilitas masih jarang dilakukan. 1.2.3 Relevansi
dengan Departemen Pembangunan Sosial
dan
Kesejahteraan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan atau PSdK merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memfokuskan diri tidak hanya pada pembangunan sosial, tetapi juga pada fenomena-fenomena sosial beserta strategi-strategi untuk mencapai kesejahteraan sosial. Dalam Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) terdapat tiga konsentrasi, di mana setiap konsentrasi memiliki fokus kajian yang berbeda, yaitu:5 1. Kebijakan sosial (social policy), yang fokus pada kajian tentang upaya negara dalam memecahkan masalah-masalah sosial.
5
Panduan Akademik Prodi S1. Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Gadjah Mada. 2014. Hal. 5-6.
4
2. Pemberdayaan masyarakat (community empowerment), yang fokus pada elaborasi konsep dan pendekatan yang bertujuan untuk mengembangkan kapasitas masyarakat. Masyarakat diharapkan secara mandiri dan berkelanjutan dapat mengelola lembaga, sumber daya dan potensi lokal. 3. Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), yang berfokus pada tata kelola CSR yang mampu menjembatani kepentingan perusahaan dan masyarakat serta analisis berbasis ilmu dalam menjelaskan CSR untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kajian dalam penelitian ini termasuk di dalam konsentrasi kebijakan sosial (social policy), karena mengkaji tentang pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak penyandang disabilitas melalui penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional. Seperti yang diketahui, jaminan kesehatan nasional merupakan salah satu program pemerintah di bidang kesehatan untuk mencapai universal health coverage bagi seluruh penduduk Indonesia. Kajian penelitian lebih difokuskan pada pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak penyandang disabilitas di Panti Asuhan Anak Cacat Ganda Al Rifdah. 1.3
Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang telah diakui bangsa-bangsa di
dunia melalui Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Tahun 1948. Pasal 25 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan 5
berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkan kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”. Selain bangsa-bangsa di dunia, bangsa Indonesia juga mengakui bahwa kesehatan adalah hak asasi yang melekat dalam diri setiap manusia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28H ayat 1 menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Negara sebagai pemangku tanggung jawab (duty bearer) atas hak asasi manusia harus memenuhi kewajiban-kewajibannya dalam pelaksanaan hak asasi manusia, baik secara nasional maupun internasional. 6 Pemenuhan hak atas kesehatan direalisasikan oleh negara dengan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dan menjamin agar setiap individu dapat mengaksesnya sesuai kebutuhannya masing-masing. Fasilitas pelayanan kesehatan yang disediakan oleh negara harus aman, bermutu dan terjangkau. Untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau, negara telah mengembangkan universal health coverage. Berdasarkan sidang World Health Assembly (WHA) ke-58 di Jenewa, pelaksanaan universal health coverage dilakukan negara melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial. Sebagai perwujudan dari universal health coverage, pemerintah Indonesia telah menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional dilakukan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial 6
KOMNAS HAM. 2013. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan. http://www.komnasham.go.id/sites/default /files/dok-publikasi/PEMBANGUNAN%20BERBASIS%20HAM.pdf. didownload 24 Oktober 2015 pukul 17.35.
6
(BPJS) Kesehatan. Meskipun jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan merupakan perwujudan dari universal health coverage, namun realitasnya masih terdapat kelompok masyarakat tertentu yang hak atas kesehatannya belum terjamin secara utuh melalui program jaminan kesehatan nasional, seperti pemenuhan hak atas kesehatan bagi penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas selama ini masih disamaratakan dengan masyarakat pada umumnya. Meski penyandang disabilitas memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti masyarakat lainnya, namun mereka juga memiliki kebutuhan yang lebih tinggi daripada masyarakat lainnya. Kebutuhan tersebut meliputi kebutuhan mobilitas, aksesibilitas dan kerentanan terhadap penyakit sebagai bawaan dari kedisabilitasannya. 7 Penyandang disabilitas memiliki risiko lebih tinggi terkena penyakit dibandingkan dengan orang yang normal. Menurut Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas mencakup mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama dan ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektivitas mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. 8 Disabilitas dapat disebabkan oleh masalah kesehatan yang timbul sejak lahir, penyakit kronis maupun akut, dan cedera yang dapat diakibatkan oleh kecelakaan, perang, bencana dan lainnya. Disabilitas erat kaitannya dengan kesehatan fisik maupun mental.
7
Solider. 2013. Mengapa Aturan Jaminan Kesehatan Penyandang Disabilitas Perlu Direvisi? http://solider.or.id/2013/01/05/ mengapa-aturan-jaminan-kesehatan-penyandang-disabilitas-perlu-direvisi. diakses 8 Oktober 2015 pukul 11.57. 8 Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas Pasal 1.
7
Hasil Susenas tahun 2012 memperlihatkan sebanyak 2,45% penduduk Indonesia menyandang disabilitas, dan 39,97% penyandang disabilitas mengalami lebih dari satu jenis kedisabilitasan. Meskipun penyandang disabilitas tertinggi berada pada kelompok umur ≥ 60 tahun yaitu sebesar 14,86%, bukan berarti pada kelompok umur 0-17 tahun bebas dari kedisabilitasan.9 Kebanyakan kasus kedisabilitasan pada anak terjadi karena anak lahir prematur. Kelahiran anak prematur disebabkan oleh kurangnya asupan gizi pada ibu saat hamil, akibatnya pertumbuhan janin terganggu sehingga bayi berisiko lahir dengan berat di bawah 2.500 gram. Dengan demikian, bayi cenderung mengalami ketidakmatangan pada semua sistem organ tubuhnya. Sehingga hal tersebut membuat bayi prematur cenderung mengalami kelainan-kelainan dibandingkan bayi normal. Sedangkan Unicef memperkirakan, sedikitnya ada 150 juta anak penyandang disabilitas, sementara WHO dan Bank Dunia memperkirakan jumlah anak usia 0-14 tahun dengan tingkat disabilitas sedang atau berat mencapai 93 juta anak, di mana 13 juta anak diantaranya menyandang disabilitas berat. 10 WHO tahun 2003 memperkirakan jumlah anak penyandang disabilitas di Indonesia sekitar 7-10% dari total jumlah penduduk Indonesia. Data penyandang disabilitas di Indonesia dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui kegiatan sensus dan survei. Sejak tahun 2007, data penyandang disabilitas dikumpulkan melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data BPS tahun 2007 mencatat 8,3 juta jiwa anak dari total 82 juta jiwa anak Indonesia 9
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2012. ILO. 2011. Fakta tentang Penyandang Disabilitas dan Pekerja Anak. http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/--ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_165279.pdf. didownload 13 Oktober 2015 pukul 7.53. 10
8
menyandang disabilitas, dan 130.572 anak penyandang disabilitas berasal dari keluarga miskin.11 Berikut data kecacatan pada anak berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011. Tabel 1. Proporsi Kecacatan pada Anak, PPLS 2011 Jenis Kecacatan Jumlah Cacat fisik dan mental 19.438 anak Tunadaksa 32.990 anak Tunanetra 5.921 anak Tunarungu 3.861 anak Tunawicara 16.335 anak Tunarungu, tunawicara 7.632 anak Tunanetra, tunarungu, tunawicara 1.207 anak Tunarungu, tunawicara, tunadaksa 4.242 anak Tunarungu, tunawicara, tunanetra, tunadaksa 2.991 anak Retardasi mental 30.460 anak Pantan penderita gangguan jiwa 2.257 anak Sumber: Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS), 2011 Sebagai bagian dari masyarakat secara keseluruhan, anak penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti masyarakat lainnya dalam mengakses pelayanan kesehatan. Selain pelayanan kesehatan, negara sebagai pemangku tanggung jawab (duty bearer) berkewajiban memberikan perlindungan khusus kepada anak penyandang disabilitas. 12 Perlindungan khusus kepada anak penyandang disabilitas dilakukan oleh negara melalui: (1) penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya, (2) pendampingan psikososial saat pengobatan sampai pemulihan, (3) pemberian bantuan sosial bagi anak dari keluarga tidak mampu, dan (4) pemberian perlindungan dan
11 12
Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 59 ayat (1) dan (2).
9
pendampingan pada setiap proses peradilan. 13 Pemberian pelayanan khusus kepada anak penyandang disabilitas adalah amanat dari Konvensi tentang HakHak Penyandang Disabilitas. Meskipun pemerintah Indonesia sudah meratifikasi Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011, namun pemerintah belum bisa menjamin sepenuhnya hakhak penyandang disabilitas termasuk hak-hak anak penyandang disabilitas. Masalah
anak
penyandang
disabilitas
sangatlah
kompleks.
Anak
penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan hal ini menyebabkan mereka lebih rentan. 14 Anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin merupakan kelompok yang paling kecil kemungkinannya memperoleh manfaat dari pelayanan kesehatan. Kajian Kemensos tahun 2008 menunjukkan sebagian besar anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin sulit memperoleh hak dasarnya sebagai anak secara wajar dan memadai. Banyak situasi anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin tidak terpenuhi kebutuhan nutrisi, tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan khusus sesuai dengan kecacatan yang dialaminya. Akibat dari kemiskinanannya, anak penyandang disabilitas dari keluarga miskin semakin terkucilkan dari pelayanan publik yang tersedia. Pelayanan kesehatan yang diberikan kepada anak penyandang disabilitas biasanya hanya berupa pemeriksaan kesehatan dasar. Sedangkan pemeriksaan secara khusus terkait dengan kecacatan tubuh yang dialami oleh anak penyandang disabilitas, jarang dilakukan. Padahal untuk menjamin kesehatannya, anak penyandang disabilitas memerlukan pemeriksaan secara komprehensif termasuk 13
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 59A. UNICEF. Rangkuman Eksekutif: Keadaan Anak di Dunia 2013. http://www.unicef.org/indonesia/id/SOWC Bahasa. pdf. didownload 8 Oktober 2015 pukul 12.04. 14
10
pemeriksaan khusus terkait kedisabilitasannya. Anak penyandang disabilitas lebih rentan terkena penyakit, baik itu penyakit akibat virus atau bakteri, maupun akibat dari kedisabilitasannya sendiri. Selain pelayanan kesehatan, masalah lain yang dihadapi oleh penyandang disabilitas termasuk anak penyandang disabilitas dalam kaitannya dengan jaminan kesehatan adalah masalah kepesertaan. Kepesertaan jaminan kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan terdiri dari PBI Jaminan Kesehatan dan bukan PBI Jaminan Kesehatan. 15 Peserta PBI Jaminan Kesehatan meliputi fakir miskin, orang tidak mampu, dan orang yang mengalami cacat total tetap yang membuatnya tidak mampu bekerja.16 Penetapan penerima PBI Jaminan Kesehatan atas dasar status ekonomi, telah melanggar hak asasi manusia. Menurut Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas pasal 25, seharusnya semua penyandang disabilitas tergolong PBI Jaminan Kesehatan dengan alasan bahwa (1) disabilitas linear dengan kemiskinan dan oleh Kementerian Sosial penyandang disabilitas digolongkan ke dalam Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), (2) penyandang disabilitas sulit mendapatkan pekerjaan dan sering terdiskriminasi dalam proses seleksi maupun pengupahan, dan (3) kalaupun bekerja, penyandang disabilitas memiliki tingkat kebutuhan yang lebih tinggi daripada masyarakat lainnya. 17 Kondisi anak penyandang disabilitas dalam mengakses pelayanan kesehatan baik yang berada di panti asuhan/panti sosial maupun yang berada dalam pembinaan dan pengawasan orang tua/keluarga pada umumnya sama. Mereka 15
Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Pasal 2. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 Pasal 3 ayat (1). 17 Solider. 2013. Mengapa Aturan Jaminan Kesehatan Penyandang Disabilitas Perlu Direvisi? http://solider.or.id/2013/01/05/ mengapa-aturan-jaminan-kesehatan-penyandang-disabilitas-perlu-direvisi. diakses 8 Oktober 2015 pukul 11.57. 16
11
sama-sama belum memperoleh pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Seperti pada anak penyandang disabilitas di Panti Asuhan Anak Cacat Ganda Al Rifdah, Kota Semarang. Anak penyandang disabilitas di panti tersebut sebenarnya sudan memiliki Jamkesmas. Dengan jamkesmas, setiap sebulan sekali ada petugas puskesmas yang datang ke panti. Meskipun sudah ada petugas yang datang ke panti, namun petugas puskesmas tidak melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap anak-anak penyandang disabilitas di panti, sehingga kunjungan rutin petugas puskesmas ke panti asuhan anak cacat ganda Al Rifdah tidak sepenuhnya dapat menjamin kesehatan anak-anak penyandang disabilitas di panti tersebut. Sehingga untuk menjamin kesehatan anak-anak penyandang disabilitas di panti asuhan anak cacat ganda Al Rifdah, pihak panti biasanya langsung merujuk anakanak asuhnya ke faskes tingkat lanjutan atau rumah sakit. Untuk melakukan pemeriksaan kesehatan anak-anak asuhnya di faskes tingkat lanjutan, pastinya memerlukan biaya yang cukup besar. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari anak-anak asuhnya, panti asuhan anak cacat ganda Al Rifdah ini bisa dibilang kesulitan karena hanya mengandalkan santunan dari Dinas Sosial sebesar Rp 2.000 per anak per hari. Melihat besarnya santunan yang diberikan oleh Dinas Sosial kepada panti asuhan anak cacat ganda Al Rifdah, maka kecil kemungkinan anak-anak penyandang disabilitas di panti tersebut dapat memperoleh pemeriksaan kesehatan secara komprehensif di faskes tingkat lanjutan. Meskipun sebelumnya sudah memperoleh jamkesmas, namun hal itu tidak menjamin bahwa anak-anak penyandang disabilitas di panti tersebut juga tergolong sebagai penerima PBI Jaminan Kesehatan. Itu karena (1) belum adanya 12
aturan yang jelas terkait dengan status kepesertaan anak penyandang disabilitas yang berada di panti asuhan-panti asuhan dalam BPJS Kesehatan, (2) dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, yang tergolong sebagai peserta PBI Jaminan Kesehatan hanyalah fakir miskin, orang tidak mampu, dan orang yang mengalami cacat total tetap yang membuatnya tidak mampu bekerja saja, dan (3) sebelum Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) resmi diselenggarakan, pemerintah terutama Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial telah melakukan pembaharuan data terkait penerima PBI Jaminan Kesehatan. Jadi bisa saja, mereka yang dulu penerima jamkesmas, dalam era JKN ini mereka tidak lagi tergolong penerima PBI Jaminan Kesehatan. Selain tidak tergolong sebagai penerima PBI Jaminan Kesehatan, anak-anak penyandang disabilitas di panti asuhan anak cacat ganda Al Rifdah juga tidak tergolong sebagai peserta mandiri BPJS Kesehatan. Hal itu karena sebagian besar anak-anak penyandang disabilitas di panti tersebut merupakan anak terlantar yang tidak memiliki Kartu Keluarga (KK)--yang merupakan syarat utama untuk mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan--, sehingga mereka tidak bisa didaftarkan menjadi peserta mandiri BPJS Kesehatan. Oleh karena itu, untuk melakukan pemeriksaan di fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun di fasilitas kesehatan tingkat lanjutan, pengurus panti biasanya meminta bantuan kepada Dinas Sosial untuk mengeluarkan surat rekomendasi untuk anak-anak asuhnya dan tidak jarang pula pengurus panti harus mengeluarkan biaya sendiri (out of pocket). 13
1.4
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut: Bagaimana pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak penyandang disabilitas di Panti Asuhan Anak Cacat Ganda Al Rifdah, Kota Semarang? 1.5
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemenuhan hak
atas kesehatan bagi anak penyandang disabilitas di Panti Asuhan Anak Cacat Ganda Al Rifdah, Kota Semarang. 1.6
Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Akademis 1.
Dapat memberikan sumbangan informasi maupun pemikiran terkait isu hak asasi manusia, pemenuhan hak atas kesehatan, dan anak penyandang disabilitas kepada penelitian selanjutnya.
2.
Dapat memberikan gambaran terkait upaya pemenuhan hak atas kesehatan yang dilakukan oleh negara dalam menjamin terpenuhinya hak atas kesehatan anak penyandang disabilitas khusunya yang berada di panti asuhan/panti sosial.
1.6.2 Manfaat Praksis 1.
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi negara sebagai pemangku tanggung jawab (duty bearer) dalam merumuskan kebijakan terkait pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak penyandang disabilitas di panti asuhan/ panti sosial.
14
2.
Penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi negara dalam menyelenggarakan upaya pemenuhan hak atas kesehatan bagi anak penyandang di panti asuhan/panti sosial.
1.7
Tinjauan Pustaka 1.7.1 Pendekatan Berbasis Hak Asasi Manusia (Rights-Based Approach) Pendekatan berbasis hak asasi manusia (rights-based approach) berbeda
dengan pendekatan berbasis kebutuhan (needs-based approach). Dalam pendekatan berbasis kebutuhan, strategi, kebijakan dan program pembangunan lebih ditujukan pada memberi dan menyediakan pelayanan untuk kebutuhan dasar. Masyarakat ditempatkan sebagai penerima bantuan dan negara sebagai pemberi bantuan. Pendekatan berbasis kebutuhan merupakan skema belas kasih dari negara kepada warga negara. Negara dianggap sudah melaksanakan kewajibannya jika sudah melakukan sesuatu tanpa harus memaksimalkan sumber daya yang ada dan tanpa harus menjamin ternikmatinya hak asasi manusia. Hal itu karena kebutuhan merupakan aspirasi yang mungkin saja cukup untuk diakui, namun kebutuhan tidak memerlukan keterkaitan dengan kewajiban negara untuk memenuhinya. Partisipasi masyarakat dilihat sebagai sebuah syarat yang mencukupkan (sufficient condition), sekedar untuk meningkatkan pelayanan, bukan menjadi syarat yang menentukan (necessary condition). 18 Masyarakat akan ditempatkan sebagai obyek pembangunan bukan subyek pembangunan. Masyarakat hanya menerima pembangunan yang telah ditentukan oleh negara, meskipun seringkali 18 KOMNAS HAM. 2013. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan. http://www.komnasham.go.id/sites/default /files/dok-publikasi/PEMBANGUNAN%20BERBASIS%20HAM.pdf. didownload 24 Oktober 2015 pukul 17.35.
15
strategi pembangunan yang dijalankan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, pendekatan berbasis kebutuhan juga tidak menjelaskan secara detail peran pemangku tanggung jawab dan kewajiban negara yang berimplikasi pada tiadanya aturan hukum yang mengikat dalam pemenuhan hak asasi warga negara. Akibatnya, hak-hak asasi warga negara seringkali rentan untuk dilanggar oleh para pemangku tanggung jawab. Karena pendekatan berbasis kebutuhan kurang menyentuh keseluruhan aspek kehidupan masyarakat dalam proses pembangunan, maka munculah pendekatan berbasis hak asasi manusia sebagai anti-tesis dari pendekatan berbasis kebutuhan dalam proses pembangunan. Dengan pendekatan berbasis hak asasi manusia, proses pembangunan diarahkan untuk bergerak dari skema belas kasih negara menuju ke arah pemenuhan kewajiban negara. Pendekatan berbasis hak asasi manusia bertujuan untuk memberi pengaruh bagi adanya akuntabilitas dan keseimbangan dalam proses pembangunan, antara masyarakat sebagai pemangku hak dengan negara sebagai pemangku tanggung jawab yang berkewajiban untuk memenuhi hak-hak warga negaranya. 19 Pendekatan berbasis hak asasi manusia juga memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada masyarakat, terutama untuk turut berpartisipasi, berkontribusi dan menikmati hasil pembangunan dalam segala aspek yang mendukung terhadap pemenuhan nilai-nilai penghormatan dan pemajuan hak asasi manusia. Menurut Fukuda-Parr (2007), ada empat elemen kunci dalam kerangka pembangunan berbasis hak asasi manusia, yaitu (1) perhatian utama pada kebebasan dan martabat manusia, (2) realisasi HAM termasuk hak-hak sipil 19 KOMNAS HAM. 2013. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan. http://www.komnasham.go.id/sites/default /files/dok-publikasi/PEMBANGUNAN%20BERBASIS%20HAM.pdf. didownload 24 Oktober 2015 pukul 17.35. Hal.17.
16
dan politik, dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di mana semua individu merupakan tujuan utama dari proses pembangunan, (3) prinsip-prinsip HAM harus menjadi bagian dari proses pembangunan, dan (4) norma dan standar HAM harus diterapkan dalam proses pembangunan dan pemerintah bertanggung jawab atas kewajiban yang timbul dari komitmen mereka terhadap hukum internasional yang telah ditandatangani. 20 a. Perkembangan Hak Asasi Manusia Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia, bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. 21 Hal tersebut berarti bahwa meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Awal mula gagasan tentang hak asasi manusia bersumber dari teori hukum alamiah (natural laws theory) yang dicetuskan Thomas Aquinas dan dikembangkan oleh Grotius serta teori kontrak sosial yang dikembangkan oleh John Locke. 22 Pada abad 18, konsepsi hukum alamiah mempengaruhi perkembangan sosial di Amerika Serikat. Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776 mengekspresikan gagasan Locke bahwa setiap laki-laki diciptakan setara dan mereka memiliki hak yang tidak bisa dicabut, terkait dengan hidup, kebebasan dan kebahagiaan. Oleh karenanya, pemerintah dibentuk oleh laki-laki untuk 20 Fukuda-Parr. 2007 dalam KOMNAS HAM. 2014. Kajian MP3EI Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jakarta: KOMNAS HAM. Hal. 21. 21 Jack Donnely. 2003, dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 11. 22 Griffin, 2008; Asplund, 2008; Freeman, 2002; Brown, 2002, dalam Mulyana, Asep. Perkembangan Pemikiran HAM. Jakarta: ELSAM.
17
mengamankan hak-hak tersebut. Selain itu, di Amerika juga lahir The Virginia Declaration of Rights. Deklarasi ini mencantumkan bahwa kebebasan pers, kebebasan beragama dan hak-hak yang diturunkan dari proses hukum sebagai kebebasan khusus yang dilindungi dari intervensi pemerintah. Ada pula Bill of Rights 1791 yang memasukkan serangkaian hak, mulai dari hak atas kebebasan beragama, kebebasan pers, kebebasan ekspresi dan berkumpul, perlindungan dari penangkapan tidak sah hingga hak-hak hukum. 23 Di Eropa sendiri, perkembangan perlindungan manusia oleh negara berawal pada Perdamaian Westphalia (1648), yang menetapkan asas persamaan hak bagi agama Katolik Roma dan Protestan di Jerman. 24 Pada abad 19, ketika garis perbatasan negara di Eropa tidak jelas dan memungkinkan setiap orang hidup di wilayah yang bukan negaranya, lahirlah doktrin yang dikembangkan oleh Grotius tentang Intervensi Kemanusiaan dan perlindungan negara terhadap orang asing. Intervensi Kemanusiaan ini fokus pada kelompok minoritas yang hidup di wilayah negara lain. Doktrin ini memberikan hak yang sah untuk suatu intervensi militer dalam rangka melindungi penduduk yang berada di negara lain dari perlakuan yang tidak manusiawi.25 Selain itu, The Declaration of the Rights of Man and the Citizens yang merupakan hasil dari Revolusi Perancis 1789 menjadi hal yang penting bagi penyusunan dan pelembagaan HAM sebagai praktik sosial politik
23
Mulyana, Asep. Perkembangan Pemikiran HAM. Jakarta: ELSAM. Asplund, 2008 dalam Mulyana, Asep. Perkembangan Pemikiran HAM. Jakarta: ELSAM. referensi.elsam.or.id/wpcontent/uploads/2015/01/Perkembangan-Pemikiran-HAM.pdf. didownload 31 oktober 2015 pukul 10.12 25 Asplund 2008, Mun’im 2006, dalam Mulyana, Asep. Perkembangan Pemikiran HAM. Jakarta: ELSAM. . referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2015/01/Perkembangan-Pemikiran-HAM.pdf. didownload 31 oktober 2015 pukul 10.12 24
18
internasional.26 Deklarasi ini mencakup posisi yang setara di hadapan hukum, kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, praduga tak bersalah, kebebasan berekspresi, kebebasan agama, keamanan, kebebasan umum untuk melakukan segala sesuatu yang tidak menyakiti orang lain dan hak kepemilikan. 27 Revolusi Perancis kemudian menandai pergeseran dari sistem politik berbasis pada status dan keistimewaan (privilege) menuju sistem politik yang berbasis kebebasan dan kesetaraan. 28 Meskipun telah mengalami perkembangan, teori hukum alamiah banyak menuai kecaman dan penolakan. Kecaman dan penolakan tersebut berasal dari kaum utilitarian, positivis dan konservatif. Menurut kaum utilitarian, teori hak-hak alamiah itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Hak dan hukum merupakan hal yang sama dimana hak merupakan anak kandung hukum dan dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. 29 Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat, ia tidak datang dari alam atau moral. 30 Sedangkan kaum konservatif menganggap teori ini terlalu egaliter dan subversif. Namun demikian, kecaman dan penolakan tersebut tidak membuat teori hukum alamiah ini kehilangan pamornya. Malahan pasca Perang Dunia II, teori hukum alamiah eksis kembali yang terbukti dari pengesahan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia atau International Bill 26
Griffin, 2008 dalam Mulyana, Asep. Perkembangan Pemikiran HAM. Jakarta: ELSAM. . referensi.elsam.or.id/wpcontent/uploads/2015/01/Perkembangan-Pemikiran-HAM.pdf. didownload 31 oktober 2015 pukul 10.12 27 Freeman, 2002 dalam Mulyana, Asep. Perkembangan Pemikiran HAM. Jakarta: ELSAM. . referensi.elsam.or.id/wpcontent/uploads/2015/01/Perkembangan-Pemikiran-HAM.pdf. didownload 31 oktober 2015 pukul 10.12 28 Cowan, 2001 dalam Mulyana, Asep. Perkembangan Pemikiran HAM. Jakarta: ELSAM. . referensi.elsam.or.id/wpcontent/uploads/2015/01/Perkembangan-Pemikiran-HAM.pdf. didownload 31 oktober 2015 pukul 10.12 29 Bentham dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 13. 30 Austin, 199 dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 13.
19
of Human Rights. Pemikiran tentang HAM terus berkembang mengikuti dinamika konteks sosial dunia. Perkembangan ini secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam kategorisasi hak yang terkenal sebagai tiga generasi hak, yaitu: 1. Generasi Hak Pertama Hak-hak sipil dan politik disebut sebagai generasi hak pertama. Hakhak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu) Termasuk dalam generasi hak pertama adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil. Hak-hak generasi pertama ini disebut juga hak “negatif” karena mensyaratkan tidak adanya campur tangan negara di dalam perwujudan hak. Negara justru lebih rentan melakukan pelanggaran hak jika bertindak aktif terkait hak-hak ini. 31 2. Generasi Hak Kedua
31 Asplund, 2008 dan Brown, 2002. Mulyana, Asep. Perkembangan Pemikiran HAM. Jakarta: ELSAM. . referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2015/01/Perkembangan-Pemikiran-HAM.pdf. didownload 31 oktober 2015 pukul 10.12
20
Hak-hak generasi kedua diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari adanya tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini disebut sebagai hak-hak “positif” karena membutuhkan peran aktif negara untuk memenuhinya. Untuk memenuhi hak-hak generasi kedua ini negara diwajibkan menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Termasuk hak-hak dalam generasi kedua adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusastraan dan kesenian. 3. Generasi Hak Ketiga Hak-hak generasi ketiga diwakili oleh tuntutan atas hak solidaritas atau hak bersama. Hak-hak ini muncul dari tuntutan negara-negara berkembang atas tatanan internasional yang adil. Melalui tatanan atas hak solidaritas, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas sumber daya alam sendiri, hak atas lingkungan hidup yang baik dan hak atas warisan budaya sendiri. b. Prinsip-Prinsip Pokok Hak Asasi Manusia Prinsip-prinsip pokok hak asasi manusia merupakan rumusan dasar dan acuan standar dalam pelaksanaan hak asasi manusia. Prinsip-prinsip pokok hak 21
asasi manusia menyebutkan bahwa hak asasi manusia bersifat universal dan tidak dapat dicabut, tidak bisa dibagi, saling berkaitan dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Hak asasi pun menjamin setiap manusia untuk diperlakukan setara tanpa adanya diskriminasi, dan diberi hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan berpengaruh pada hidupnya. Hak asasi manusia harus ditegakkan dengan hukum dan dikuatkan dengan adanya jaminan penuntutan terhadap para pemangku tanggung jawab (negara) untuk mempertanggungjawabkannya dengan standar internasional. Prinsip-prinsip pokok hak asasi manusia tersebut meliputi: 1. Universal dan tidak dapat dicabut (universality and inalienability) Prinsip universal hak asasi manusia berarti bahwa setiap perempuan, laki-laki dan anak-anak berhak untuk menikmati hak-haknya karena derajat kemanusiaannya. Selain itu, hak asasi manusia juga tidak dapat dicabut, hal ini berarti bahwa hak-hak asasi yang melekat dalam setiap inidividu tidak dapat diambil dari seseorang atau diserahkan secara sukarela. 2. Tidak bisa dibagi (indivisibility) Hak asasi manusia termasuk hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya semuanya menyatu sebagai bagian dari harkat dan martabat manusia yang tidak terpisahkan. Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat, dan tidak bisa digolonggolongkan berdasarkan tingkatan hirarkis. 3. Saling
bergantung
dan
berkaitan
(interdependence
and
interrelatedness) 22
Hak sipil dan politik diperlakukan sama pentingnya dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara keseluruhan maupun sebagian, pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak-hak lainnya. 4. Kesetaraan dan non-diskriminasi (equality and non-discrimination) Setiap individu sederajat sebagai umat manusia dan berhak sepenuhnya atas hak-haknya tanpa ada pembedaan dengan alasan apapun, seperti yang didasarkan atas perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lainnya, kewarganegaraan dan latar belakang sosial, cacat dan kekurangan, tingkat kesejahteraan, kelahiran atau status lainnya. Selain itu, prinsip ini juga melarang adanya pemberian konsesi yang menyebabkan atau menimbulkan adanya hasil yang tidak setara dan diskrimintaif. 5. Partisipasi dan kontribusi (participation and contribution) Setiap orang dan seluruh masyarakat berhak untuk turut berperan aktif secara bebas dan berarti dalam partisipasi dan berkontribusi untuk menikmati kehidupan pembangunan, kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kegiatan partisipasi meliputi mengarahkan, memiliki, mengelola dan mengendalikan perencanaan, proses, hasil dan evaluasi atas program pembangunan yang bertujuan untuk memperkuat klaim masyarakat terhadap hak asasi manusia beserta
23
realisasinya. 32 Bagaimanapun juga, kepemilikan oleh negara tidak dapat diartikan sebagai kepemilikan oleh pemerintah saja, kepemilikan tersebut harus dimiliki oleh semua pihak-pihak yang berkepentingan di negara tersebut. 6. Tanggung jawab negara dan penegak hukum (state responsibility and rule of law) Negara bertanggung jawab untuk mentaati hak asasi. Negara harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia. c. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Sebagai pihak yang memangku tanggung jawab (duty bearer), negara dituntut harus melaksanakan dan memenuhi semua kewajiban yang dikenakan kepadanya. Jika kewajiban-kewajiban tersebut gagal dilaksanakan, maka negara akan dikatakan telah melakukan pelanggaran. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 Ayat 6 menyebutkan bahwa yang dimaksud pelanggaran hak asasi manusia adalah “…setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik sengaja ataupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.” Selain itu, pelanggaran terhadap hak asasi manusia juga didefinisikan sebagai suatu pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumen32
Diokno, 2008 dan Hamm, 2001, dalam KOMNAS HAM. 2014. Kajian MP3EI Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jakarta: KOMNAS HAM.
24
instrumen internasional hak asasi manusia. 33 Diskriminasi apa pun yang didasarkan oleh ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, usia, agama, kepemilikan, status kelahiran atau status lain dengan tujuan atau dampak meniadakan atau menghalangi kesetaraan dalam mengenyam atau melaksanakan baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, budaya tergolong sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia.34 Dalam rumusan yang lain, pelanggaran hak asasi manusia adalah35 “…tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana nasional tetapi merupakan norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional.” Pelanggaran negara terhadap kewajibannya dapat dilakukan baik oleh tindakan (by commission) maupun karena pembiaran (by ommission). Pelanggaran negara oleh tindakan terjadi karena negara justru melakukan tindakan langsung untuk turut campur dalam mengatur hak-hak warga negara yang semestinya dihormati. Sedangkan pelanggaran negara karena pembiaran terjadi ketika negara tidak melakukan suatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum. 36 Aktor-aktor non-negara dapat pula terlibat sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia, ketika pihak-pihak tersebut melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan tanggung jawab dan kewajiban untuk menghormati hak asasi manusia. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara
33
Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 69. Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. Hal 30. 35 C. de Rover, 1988 dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 69. 36 KOMNAS HAM. 2013. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan. http://www.komnasham.go.id/sites/default /files/dok-publikasi/PEMBANGUNAN%20BERBASIS%20HAM.pdf. didownload 24 Oktober 2015 pukul 17.35. Hal 30. 34
25
tidak dapat dipisahkan dengan negara yang yurisdiksinya mencakup wilayah di mana pelanggaran itu terjadi. Sebagai konsekuesinya, pelanggaran yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara itu akan tetap menjadi tanggung jawab negara. 37 d. Tanggung Jawab dan Kewajiban Negara terhadap HAM Setiap negara yang meratifikasi instrumen HAM merupakan pihak yang terikat secara hukum dalam pelaksanaan hak asasi manusia, dengan demikian, negara berkewajiban untuk mengakui, menghormati, melindungi, memenuhi dan menegakkan hak asasi manusia. Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan dan persamaan hak antar bangsa. Tanggung jawab negara timbul apabila ada pelanggaran atas suatu kewajiban internasional untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, baik yang berdasarkan suatu perjanjian internasional maupun hukum kebiasaan internasional. 38 Menurut Karl Zemanek, tanggung jawab negara memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara internasional, yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi negara pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru terhadap korban. 39 Sedangkan F. Sugeng Istanto mengartikan tanggung jawab negara sebagai 40 “kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkan.”
37
KOMNAS HAM. 2013. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan. http://www.komnasham.go.id/sites/default /files/dok-publikasi/PEMBANGUNAN%20BERBASIS%20HAM.pdf. didownload 24 Oktober 2015 pukul 17.35. Hal 31. 38 Brownlie, 1979 dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 71. 39 Zemanek, Karl, 1987 dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 71. 40 Istanto, F. Sugeng, 1998 dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 71.
26
Dalam Rancangan tentang Tanggung Jawab Negara atas Tindakan-Tindakan Salah Secara Internasional (Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts/Draft ILC) yang disusun oleh Komisi Hukum Internasional tahun 2001, dinyatakan bahwa tanggung jawab negara timbul manakala terjadi pelanggaran yang dikategorikan sebagai tindakan atau pengabaian atau kombinasi dari keduanya. 41 Adapun yang merupakan unsur-unsur tindakan salah adalah perbuatan atau pengabaian yang dapat diatribusikan kepada negara dan melanggar suatu kewajiban internasional. 42 Sedangkan Karl Zemanek menjelaskan yang mendasari munculnya tanggug jawab negara adalah pelanggaran terhadap hak subyektif negara lain, pelanggaran terhadap norma hukum internasional dan tindakan-tindakan yang berkualifikasi sebagai kejahatan internasional.43 Konsep tanggung jawab negara dalam hukum internasional biasanya dipahami sebagai tanggung jawab yang timbul sebagai akibat pelanggaran hukum internasional oleh negara. Tetapi dalam kaitannya dengan hukum hak asasi manusia internasional, pengertian tanggung jawab negara bergeser maknanya menjadi tanggung jawab yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap kewajiban untuk melindungi dan menghormati hak asasi manusia oleh negara. 44 Tanggung jawab negara ini bersifat melekat pada negara, artinya negara memiliki kewajiban untuk memberikan ganti rugi apabila negara tersebut melakukan pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia. Kewajiban negara untuk
41
Commentary dari Draft ILC dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 72. Pasal 2 Draft ILC dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 73. 43 Zemanek, Karl, 1987 dalam Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 75. 44 Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 69. 42
27
memberikan ganti rugi atas pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia menimbulkan tuntutan adanya kewajiban utama dari negara untuk: 45 1. Menghormati (obligation to respect) Merupakan kewajiban negara untuk tidak turut campur mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hak-haknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi warganya. 2. Melindungi (obligation to protect) Merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan
perlindungan
terhadap
hak
asasi
warganya.
Negara
berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ketiga. 3. Memenuhi (obligation to fulfill) Merupakan kewajiban dan tanggung jawab negara untuk bertindak secara aktif agar semua hak-hak warga negaranya bisa terpenuhi. Negara memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh hak asasi manusia. Selain tiga kewajiban utama, dalam pelaksanaan hak asasi manusia negara juga memiliki kewajiban untuk memastikan (to ensure) penerapan hak-hak asasi manusia di dalam yurisdiksinya. Kewajiban untuk memastikan ini sekaligus
45
KOMNAS HAM. 2013. Pembangunan Berbasis Hak Asasi Manusia: Sebuah Panduan. http://www.komnasham.go.id/sites/default /files/dok-publikasi/PEMBANGUNAN%20BERBASIS%20HAM.pdf. didownload 24 Oktober 2015 pukul 17.35. Hal 28-29.
28
mengisyaratkan secara eksplisit, bahwa negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran. 46 1.7.2 Hak Atas Kesehatan Kesehatan merupakan kondisi penting yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk mencapai kesejahteraan. Kesehatan yang baik menjadi prasyarat bagi seseorang untuk bisa hadir di sekolah sehingga dapat mengembangkan kapasitas
agar
mampu
meningkatkan
produktivitas. 47
Meskipun
negara
berkewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak warga negaranya termasuk hak atas kesehatan, namun negara tidak dapat menjamin suatu kondisi kesehatan tertentu. Hal tersebut karena kesehatan tidak dapat dilindungi semata-mata dengan pelayanan medis berupa pencegahan, pengobatan dan juga perbaikan status kesehatan, tetapi kondisi kesehatan lebih ditentukan oleh faktor-faktor di luar bidang kesehatan, dan bukan lebih oleh kesehatan masyarakat dan pengobatan klinis. 48 Adanya pengakuan internasional terhadap hak atas kesehatan, menyebabkan dijaminnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dalam instrumen internasional maupun nasional. Cakupan hak asasi manusia terhadap kesehatan digambarkan oleh WHO, sebagai berikut: 49 “Setiap manusia berhak mendapatkan suatu lingkungan yang berisiko minimal terhadap kesehatan, dan berhak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang dapat mencegah atau mengurangi penderitaan mereka, menyembuhkan penyakit, serta membantu 46
Asplund, dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII. Hal. 69. Todaro dan Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. Jakarta:Penerbit Erlangga. 48 Tomasevski, dalam Kasim, Ifdhal dan Johanes da Masenus Arus. 2001. Hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Jakarta: ELSAM. Hal. 263-266. 49 WHO. 1992.Woman’s Health: Across Age and Frontier dalam Kasim, Ifdhal dan Johanes da Masenus Arus. 2001. Hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Jakarta: ELSAM. Hal. 277. 47
29
mempertahankan dan memajukan kondisi kesehatan yang baik melalui kehidupan individu.” Definisi tentang kesehatan sebagai hak asasi manusia antara satu negara dengan negara lainnya ataupun antara satu organisasi dengan organisasi lainnya masih belum mencapai kebulatan suara. Banyak istilah berbeda yang digunakan untuk menjelaskan kesehatan sebagai hak asasi manusia, seperti hak atas kesehatan, hak atas perawatan kesehatan, hak atas perlindungan kesehatan dan hak kesehatan. Hak atas kesehatan merupakan istilah yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa terkait dengan kesehatan sebagai hak asasi manusia. Hak atas perawatan kesehatan merupakan istilah yang digunakan dalam pembahasan tingkat nasional di Amerika ataupun organisasi internasional di Eropa tentang akses ke layanan perawatan kesehatan dan penetapan prioritas dalam hal akses ke layanan perawatan kesehatan. Hak atas perlindungan kesehatan merupakan istilah yang terdapat di dalam pasal 11 Piagam Sosial Eropa, dan hak kesehatan merupakan istilah yang digunakan oleh Tomasevski dalam tulisannya yang berjudul Health Rights yang dimuat dalam buku teks dengan judul Economy, Social and Cultural Rights. 50 Hak atas kesehatan bukanlah berarti hak untuk menjadi sehat. 51 Hak atas kesehatan dipahami sebagai hak atas pemenuhan berbagai fasilitas, pelayanan dan kondisi-kondisi yang penting bagi terealisasinya standar kesehatan yang memadai dan terjangkau. 52 Hak atas kesehatan merupakan satu hak dalam sekumpulan hak asasi manusia yang kesemuanya penting bagi perlindungan kesehatan manusia. 50
Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. Hal. 184. 51 Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. Hal. 184. 52 Komentar Umum Nomor 14 tentang Hak Atas Standar Kesehatan Tertinggi yang dapat Dijangkau angka 9.
30
Hak atas kesehatan adalah bagian dari kelompok hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak atas kesehatan memiliki karakter ekonomi dan sosial karena hak ini berusaha sedapat mungkin menjaga agar individu tidak menderita ketidakadilan sosial dan ekonomi berkenaan dengan kesehatannya. Selain itu, hak atas kesehatan juga memiliki karakter budaya, sebab hak ini menjaga agar layanan kesehatan yang tersedia cukup dapat menyesuaikan dengan latar belakang budaya seseorang. 53 Sebagai bagian dari kelompok hak ekonomi, sosial dan budaya, maka hak atas kesehatan merupakan hak positif yang memerlukan peran aktif negara dalam pemenuhannya. Upaya pemenuhan kesehatan dilakukan dengan menyediakan layanan kesehatan yang mengacu baik kepada akses ke layanan perawatan kesehatan maupun akses ke layanan yang diperlukan bagi prasyarat-prasyarat dasar kesehatan seperti air bersih, sanitasi memadai, kecukupan nutrisi, informasi terkait kesehatan, kesehatan lingkungan dan kesehatan di tempat kerja. 54 a. Isi Pokok Hak Atas Kesehatan Isi pokok hak atas kesehatan terdiri atas sekumpulan unsur-unsur yang harus dijamin negara dalam keadaan apapun tanpa mempedulikan sumber daya yang tersedia. Isi pokok hak atas kesehatan berasal dari strategi-strategi WHO tentang Kesehatan Bagi Semua Orang dan Perawatan Kesehatan Utama. Strategi WHO di bidang Perawatan Kesehatan Utama merumuskan sejumlah layanan kesehatan dasar utama. Unsur-unsur yang merupakan hak atas kesehatan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu: satu kategori mengandung unsur-unsur yang
53
Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. 54 Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. Hal. 184.
31
berkaitan dengan perawatan kesehatan, kategori yang lain mencakup unsur-unsur yang berkaitan dengan sejumlah prasyarat dasar bagi kesehatan. Berikut penjabaran dari isi pokok hak atas kesehatan: 55 1. Mengenai perawatan kesehatan: a. Perawatan kehamilan dan kesehatan anak, termasuk keluarga berencana b. Imunisasi terhadap infeksi penyakit-penyakit utama c. Perawatan memadai untuk penyakit umum dan luka d. Persediaan obat-obatan penting 2. Mengenai prasyarat dasar bagi kesehatan: a. Pendidikan mengenai masalah kesehatan umum dan metode pencegahan dan pengawasan masalah kesehatan tersebut b. Peningkatan pasokan pangan dan nutrisi yang tepat c. Pasokan air bersih dan sanitasi dasar yang memadai Selain isi pokok hak atas kesehatan, ada juga prinsip-prinsip hak atas kesehatan. Prinsip-prinsip hak atas kesehatan tersebut menjadi pedoman yang harus ditaati oleh pihak negara dalam pemenuhan hak atas kesehatan. Prinsipprinsip hak atas kesehatan meliputi:56 1. Ketersediaan, diartikan sebagai ketersediaan sejumlah pelayanan kesehatan seperti sarana dan prasarana yang mencukupi untuk penduduk secara keseluruhan. Pelaksanaan fungsi kesehatan publik dan fasilitas
55
Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. Hal. 190-191. 56 Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. Hal. 191-192.
32
pelayanan kesehatan termasuk program-program kesehatan harus tersedia dengan kuantitas yang cukup disuatu negara. 57 2. Aksesibilitas, berarti kemudahan akses ke pelayanan kesehatan baik secara ekonomi, geografis atau budaya tanpa adanya diskriminasi. Aksesibilitas
ekonomi
mensyaratkan
pelayanan
kesehatan
yang
terjangkau dan ada pengaturan untuk pembayaran pelayanan kesehatan bagi mereka yang tidak mampu membayar perawatan yang diperlukan. Aksesibilitas geografis menetapkan persyaratan agar layanan kesehatan tersebut berada dalam jangkauan setiap orang, dan aksesibilitas budaya mengharuskan agar pelayanan kesehatan tersebut menghormati tradisi budaya manusia. 3. Kualitas, dimaksudkan agar pelayanan kesehatan yang tersedia harus sesuai standar yang layak dan menyertakan persyaratan agar pelayanan tersebut sesuai dalam konteks khusus. 4. Kesetaraan, mensyaratkan agar pelayanan kesehatan dapat diakses secara setara oleh setiap orang terutama oleh kelompok rentan. b. Tanggung Jawab Negara dalam Pemenuhan Hak Atas Kesehatam Setelah dilakukannya kodifikasi di dalam Konstitusi WHO, hak atas kesehatan diletakan pada sejumlah besar perjanjian hak asasi manusia di tingkat internasional maupun tingkat nasional. Berikut instrumen-instrumen di tingkat internasional yang menyatakan bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia: Pasal 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Pasal 12 Konvenan
57
Komentar Umum Nomor 14 tentang Hak Atas Standar Kesehatan Tertinggi Yang Dapat Dijangkau angka 12.
33
Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya tahun 1966, Pasal 12 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan tahun 1979, Pasal 24 Konvensi Hak Anak tahun 1989, Pasal 11 Piagam Sosial Eropa tahun 1961 dan Pasal 10 Protokol Tambahan pada Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika di Bidang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Protokol San Salvador, 1988). 58 Sedangkan instrumen-instrumen di tingkat nasional yang menjamin kesehatan sebagai hak asasi manusia adalah UUD 1945 pasal 28H ayat 1 dan pasal 34 ayat 3, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 9, dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 4. Ketentuan-ketentuan dalam instrumen-instrumen baik di tingkat internasional maupun tingkat nasional, mengungkapkan tanggung jawab pihak negara atas kesehatan dengan cara merumuskan kesehatan sebagai hak individu dan/atau dengan cara menetapkan kewajiban negara secara konkrit. 59 Berkenaan dengan tanggung jawab negara terhadap hak atas kesehatan, maka diusulkan sebagai berikut:60 1. Kewajiban untuk menghormati: a. Kewajiban untuk menghormati akses setara ke palayanan kesehatan yang tersedia dan tidak menghalangi individu atau kelompok dari akses mereka ke pelayanan yang tersedia.
58
Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. 59 Toebes, Brigit, dalam Eide, A, dkk (editor). 2001. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Buku Teks Revisi Edisi Kedua. Brill Academic Publisher. 60 Kontras. JKN, Hak Atas Kesehatan dan Kewajiban Negara. http://kontras.org/buletin/indo/bpjs.pdf. didownload 21 Oktober 2015 pukul 22.22.
34
b. Kewajiban untuk tidak melakukan tindakan yang mengganggu kesehatan,
seperti
kegiatan
yang
menimbulkan
polusi
lingkungan. 2. Kewajiban untuk melindungi a. Kewajiban untuk melakukan langkah-langkah di bidang perundang-undangan
dan
langkah-langkah
lain
untuk
menjamin bahwa warga memiliki akses (setara) ke palayanan kesehatan jika disediakan oleh pihak ketiga. b. Kewajiban untuk melakukan langkah-langkah di bidang perundang-undangan
dan
langkah-langkah
lain
untuk
melindungi manusia dari pelanggaran di bidang kesehatan oleh pihak katiga. 3. Kewajiban untuk memenuhi a. Kewajiban untuk mengadopsi kebijakan kesehatan nasional dan untuk menyediakan bagian secukupnya dari dana kesehatan yang tersedia. b. Kewajiban untuk menyediakan layanan kesehatan yang diperlukan atau menciptakan kondisi di bawah mana warga memiliki akses memadai dan mencukupi ke pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan perawatan kesehatan serta air bersih layak minum dan sanitasi memadai. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menjamin hak setiap individu di bidang kesehatan yang diwujudkan dalam pernyataan pasal 4 35
dalam undang-undang bahwa “Setiap orang berhak atas kesehatan,” pada akhirnya setiap individu dijamin haknya dalam memperoleh akses yang setara dan pelayanan yang layak dan terjangkau di bidang kesehatan. Setiap individu juga dijamin dalam mendapatkan lingkungan yang sehat demi tercapainya derajat kesehatan yang optimal. Selain itu, undang-undang ini juga memberikan batasan dana kesehatan minimal sebesar 5% dari APBN dan 10% dari APBD, dan dana ini diprioritaskan untuk kepentingan publik sekurang-kurangnta 2/3 dari anggaran tersebut.61 1.7.3 Anak Penyandang Disabilitas Definisi tentang kecacatan masih menjadi perdebatan di antara kalompokkelompok cacat dan para pemerhati kecacatan. Perbedaan tersebut terjadi karena masing-masing kelompok memiliki persepsi sendiri mengenai kecacatan. Ada yang lebih suka menyebut kecacatan dengan istilah difabel atau “different ability” yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, dan ada pula yang lebih suka menyebut kecacatan dengan istilah disabilitas. International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF) mendefinisikan disabilitas sebagai hasil dari interaksi antara seseorang yang memiliki kelainan dengan hambatan lingkungan dan sikap
yang ada
disekitarnya. 62 Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas pasal 1 ayat 1, mengartikan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami kelainan keterbatasan fisik, intelektual,
61
Kontras. JKN, Hak Atas Kesehatan dan Kewajiban Negara. http://kontras.org/buletin/indo/bpjs.pdf. didownload 21 Oktober 2015 pukul 22.22. 62 Disabled People International. DPI Position Paper on the Definition of Disability. http://v1.dpi.org/lang-en/ resources/detail.php ?page=74. Di akses 13 Oktober 2015 pukul 11.00.
36
mental dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Penyandang disabilitas meliputi: (a) penyandang disabilitas fisik, (b) penyandang disabilitas intelektual, (c) penyandang disabilitas mental, (c) penyandang disabilitas sensorik. 63 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefiniskan kecacatan dalam tiga kategori, yaitu impairment, disability dan handicap. Impairment adalah hilangnya atau ketidaknormalan struktur atau fungsi psikologis, fisik atau anatomi. Disability lebih mengacu pada keterbatasan kemampuan untuk melakukan aktivitas secara normal yang disebabkan oleh impairment. Sedangkan, handicap merupakan keadaan yang merugikan bagi seseorang yang diakibatkan oleh impairment dan disability yang mencegahnya dari pemenuhan peranan normal dalam konteks usia, jenis kelamin, sosial budaya maupun ekonomi. Istilah kecacatan (disability) sering dihubungkan dengan bentuk-bentuk kecacatan yang lebih tampak. Anak penyandang disabilitas juga disebut dengan anak berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus dipergunakan untuk mengacu pada anak cacat maupun anak dengan bakat atau kecerdasan istimewa yang membutuhkan layanan khusus untuk mencapai perkembangan belajar yang optimal. 64 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, memberi makna kepada anak penyandang disabilitas sebagai anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama 63
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Pasal 4. UNESCO. 2009. Embracing Diversity: Tooklit for Creating Inclusive, Learning-Friendly Environments Specialized Booklet3Teaching Children with Disabilities in Inclusive Settings. 64
37
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Namun bagaimanapun juga, anak penyandang disabilitas tetap merupakan anak yang memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti anak-anak normal lainnya. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa “setiap anak penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial”. Sedangkan dalam Pasal 7 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, menyebutkan bahwa: 1. Negara-negara Pihak wajib mengambil langkah yang diperlukan untuk menjamin pemenuhan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental secara utuh dari penyandang disabilitas anak-anak atas dasar persamaan dengan anak-anak lain; 2. Dalam semua tindakan yang menyangkut penyandang disabilitas anakanak, kepentingan terbaik bagi anak wajib menjadi pertimbangan utama; 3. Negara-negara Pihak wajib menjamin bahwa penyandang disabilitas anak-anak memiliki hak untuk mengemukakan pandangan mereka secara bebas pada semua hal yang mempengaruhi mereka, dengan catatan pandangan mereka diberikan bobot sesuai dengan usia dan kematangan mereka, atas dasar persamaan dengan anak-anak lain, serta untuk disediakan bantuan disabilitas yang sesuai dengan usia agar hak itu dapat terpenuhi. 38
Selain hak dan kewajiban penyandang disabilitas seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 7 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas, dalam hal kesehatan terutama untuk anak penyandang disabilitas memiliki hak, antara lain: 1. Anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan tahapan tumbuh kembang anak, seperti imunisasi, pemenuhan gizi seimbang dan pemantauan tumbuh kembang anak. 2. Anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pelayanan dokter spesialis atau psikologi sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan. 3. Anak penyandang disabilitas berhak memperoleh informasi kesehatan seperti kesehatan reproduksi dan kesehatan diri. 4. Anak penyandang disabilitas dari keluarga tidak mampu, pengemis atau terlantar berhak mendapat jaminan pemeliharaan kesehatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan di puskesmas atau rumah sakit.
39