BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya setiap manusia adalah makhluk religius. Percaya terhadap sesuatu yang bersifat supranatural adalah sifat naluri alamiah yang dimiliki setiap manusia. Sebagai homo religius, manusia meyakini bahwa melalui agama seorang individu dapat berhubungan dengan “Yang Sakral”.1 Maka agama merupakan salah satu kebutuhan mendasar bagi manusia. Sepanjang sejarah kehidupan manusia selalu dibayang-bayangi oleh keberadaan agama. Bagaimana pun majunya pengetahuan dan teknologi, kehidupan manusia tak luput dari persoalan agama. Agama telah ada sejak manusia ada. Agama telah menjadi sistem nilai yang dianut baik oleh individu maupun kelompok yang telah memberikan corak tersendiri dalam kehidupan manusia. Agama merupakan sarana manusia untuk membentengi diri dari segala kekacauan yang melanda dalam realitas kehidupannya. Karena melalui agama manusia bukan hanya dapat memperoleh ketenangan batin atau jiwa, memberikan jawaban terhadap segala kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat diperoleh melalui pengetahuan empirik, namun agama juga memberikan pedoman dalam berinterkasi dengan masyarakat sehari-hari, guna terciptanya ekuilibrium dalam masyarakat. Menurut persfektif sosiologis, agama merupakan kategori sosial dan tindakan empiris. Dalam konteks ini, agama dirumuskan dengan ditandai oleh 1
Hendro Puspito, Sosiologi Agama ( Yogyakarta: Kanisius, 1983 ), hal 41
1
2
corak pengungkapan universal: pengungkapan teoritis berwujud kepercayaan (belief system), pengungkapan praktis sebagai sistem persembahan (system of worship), dan pengungkapan sosiologis sebagai sistem hubungan masyarakat (system of social relation ).2 Modernisasi yang melanda kota-kota besar menggiurkan masyarakat rural menjadi tertarik untuk mengadu nasib ke kota demi mewujudkan segudang harapan untuk dapat memperbaiki taraf hidup. Sehingga, arus urbanisasi tak dapat dibendung dan terus meningkat. Namun, hampir semua diantara mereka tidak membekali diri dengan keterampilan dan keahlian dalam menghadapi persaingan hidup di kota. Maka kehadiran mereka hanya mempertinggi angka pengangguran di wilayah urban. Umumnya mereka hanya berprofesi sebagai manual work, dengan penghasilan minim dan berada dalam taraf hidup sebagai kategori miskin. Dengan kondisi perekonomian tersebut mereka memunculkan daerah kantongkantong kumuh di kawasan pingiran urban sebagi tempat pemukiman mereka. Gambaran sederhana tersebut adalah karakteristik masyarakat marginal. Masyarakat marginal adalah masyarakat yang identik sebagai masyarakat miskin kota, yang berprofesi sebagai pemulung, pengemis, gelandangan, atau pun buruh pekerja kasar. David Berry menyatakan bahwa marginal adalah suatu situasi dimana orang yang bercita-cita atau berkeinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi ditolak keduanya.3
2
Drs. H.Muhammad Sayuthi Ali ,Metode Penelitian Agama:Pendekatan Teori dan Praktek,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ),h.8 3 David Barry, Pikiran Pokok Dalam Sosiologi (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1995 ) hal. 14
3
Ketidakberdayaan kaum marginal yang telah terasingkan oleh kebudayaan dan kehidupan kota yang modern membuat mereka menerima nasib seperti yang dialaminya sekarang, sehingga cita-cita hanyalah sebuah impian yang tak akan terwujud selamanya. Kaum marginal termasuk kaum miskin yang bercirikan miskin dari segi pangan, ekonomi, pendidikan, dan tingkat kesehatan yang rendah. Menurut Pasurdi Suparlan, bahwa kaum marginal adalah mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap, pekerjaan yang tak layak seperti pemulung, pedagang asongan, pengemis dan lain sebagainya.4 Realitas sosial Indonesia memang telah terstruktur melalui proses panjang. Secara sistematis merasuk dalam sendi-sendi kehidupan dan mewujud dalam kultur. Realitas struktur sosial di Indonesia cerminan dari sebuah bentuk piramid, dimana bagian atas kategori masyarakat kaya, bagian tengah untuk kategori masyarakat menengah, dan bagian bawah untuk kategori masyarakat miskin. Namun mayoritas penduduk Indonesia berada di lapisan bawah, yang termasuk dalam kategori ini adalah masyarakat marginal. Masyarakat marginal dikatakan sebagai masyarakat miskin kota, mereka miskin karena adanya struktur ekonomi dan sosial dalam masyarakat. Kemiskinan dikalangan masyarakat Indonesia telah menjadi suatu realitas kultural yang berbentuk sikap menyerah pada keadaan. Mereka miskin bukan hanya karena keterbatasan lapangan pekerjaan, namun karena mereka tidak mempunyai potensi untuk mempergunakan kesempatan yang tersedia. Sehingga pengangguran dan profesi manual work yang mau tak mau jadi pilihan mereka. 4
Pasurdi Suparlan, Orang Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin dalam Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hal 179
4
Beragama adalah sifat naluriah tiap individu. Hampir setiap manusia di dunia ini pasti mempunyai agama, baik itu pejabat, orang kaya, selebrirtis, bahkan orang miskin sekalipun. Agama telah menjadi hal yang sangat fundamental bagi masyarakata apapun. Agama telah menjadi aspek universal yang berhasil menembus stuktur sosial dalam masyarakat. Namun, latar belakang sosial yang berbeda dalam masyarakat, menyebabkan setiap masyarakat memiliki sikap, perilaku, kebutuhan dan nilai yang berbeda pada agama.5 Karena latar belakang sosial dan ekonomi yang buruk, sering kali stigma dekatnya kekufuran melekat pada kaum miskin. Dalam penelitian N.J. Demearth mengenai agama dan pelapisan sosial di Amerika menunjukan bahwa kelas sosial yang paling bawah lebih bersikap apatis dan disposisi terhadap agama.6 Begitu pula halnya yang dijelaskan dalam karya Marx Weber, bahwa analisanya mengenai keberagamaan masyarakat yang kurang beruntung lebih mendisposisikan agama. Maksud dari masyarakat yang berstrata rendah dan kurang beruntung adalah mereka yang berprofesi sebagai pekerja kasar, berpenghasilan rendah atau mereka yang tergolong dalam kaum proletar. Dalam realitas kehidupan beragama sikap hipokrit para penganutnya telah memicu kesenjangan sosial antara penganut suatu agama, yang secara nyata telah memisahkan antara kelompok yang berutung dan kelompok yang kurang beruntung. Akhirnya tumbuhlah sikap fatalistik, rasa malu, dan rasa terasing di dalam diri mereka yang kurang beruntung. Karena dengan kondisi tersebut,
5
H. M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2002 ),hal 1 6 Roland Robertson, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis,(Jakrta: Rajawali Press) h. 410
5
seringkali membuat hati si miskin menjadi ragu akan kebijaksanaan Ilahi, terutama dalam hal pembagian rezeki. Sehingga membuat mereka enggan untuk menghadiri atau melaksanakan ajaran-ajaran agama.7 Secara ontologis umat manusia adalah Abd-Allah, hamba Tuhan. Sebagai kebenaran absolut, adalah kewajiban Tuhan untuk disembah dan ditaati oleh setiap manusia, dalam bentuk beribadah. Maka Tuhan mewahyukan berbagai macam agama di muka bumi ini sebagai sarana mediasi untuk menyalurkan ketaatan terhadap-Nya, melalui ritual dan amalan kebajikan yang dikategorikan sebagai ibadah. Bagaimanapun setiap agama yang ada mempunyai sistem peribadatan dan perayaan waktu-waktu yang disakralkan. Sebagai kategori agama samawi, Islam sendiri mempunyai sistem ibadah yang diwajibkan kepada pemeluknya. Melalui ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji adalah sarana bagi para pemeluknya untuk menyalurkan sikap taatnya terhadap ajaran-ajaran agamanya. Bagi setiap muslim, Ramadhan merupakan bulan eksklusif. Dikatakan eksklusif karena di dalamnya terdapat banyak keistimewaan-keistimewaan. Bulan yang di dalamnya mengandung keberkahan, kemulian, ampunan dan pahala dari Allah. Hampir seluruh umat Islam selalu mengharapkan dan merindukan kedatangan bulan Ramadhan. Namun dalam realitanya, adanya hukum kausalitas tetap berlaku. Rahmat, ampunan, dan berkah Tuhan bisa didapatkan bagi orang yang berusaha meraihnya. Untuk mendapatkan ampunan dan rahmat dapat dilakukan dengan 7
Eri Sudewo, Keresahan Pemulung Zakat, (Jakarta Kahirul Bayan-Sumber Pemikiran Islam, 2004),h 46
6
beribadah, sedangkan untuk mendapatkan keberkahan rezeki dapat dilakukan dengan tetap semangat dalam aktivitas kerja. Sejatinya predikat eksklusif yang disandang Ramadhan juga tidak terlepas dari ibadah dan amalan khas yang diperintahkan pada bulan tersebut, yakni puasa, taraweh, dan zakat fitrah. Dengan keistimewaan-keistimewaan tersebut, Ramadhan diyakini telah menstimulasi tiap jiwa sritual muslim untuk larut dalam kondisi shaleh. Maka dalam bulan ini ditemukan nuansa keberagamaan yang berbeda dalam masyarakat. Dimana pada bulan tersebut setiap individu belombalomba meningkatkan ibadah mahdlah dan ibadah sosialnya untuk sampai ada kondisi shaleh. Namun, ibadah-ibadah khas tersebut menuntut kondisi yang fasilitatif dan akomodatif dari masyarakat, maka seringkali kondisi kekurangan yang dialami masyrakat marginal dianggap sebagai penyebab mengapa mereka mengabaikan perintah agama dan moment-moment keagamaan. Misalnya seperti Ramadhan. Adalah pemulung sebagai salah satu kategori masyarakat marginal, dimana suatu profesi yang memusatkan kegiatannya berkeliling dari satu tempat pembuangan
sampah
ke
tempat
pembuangan
sampah
lainnya
untuk
mengumpulkan barang bekas dan sampah. Kemudian dijual kembali untuk memenuhi kebutuhan hidup. Faktor cuaca dan jam kerja tidak diperhitungkan mereka dalam mengais rezeki. Namun sekeras apapun mereka bekerja, mereka tetap hidup dalam kondisi yang kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Memasuki bulan Ramadahan, dapat dibayangkan betapa berat kondisi yang harus mereka lewati. Terlebih dengan tuntutan pelaksanaan kewajiban
7
ibadah puasa. Sangat berat bagi mereka untuk menjalankan ibadah puasa semenatara mereka harus melakukan aktivitas kerja yang menuntut energi ekstra. Yang persiapannya hanya ditopang dengan asupan kalori yang minim. Disamping itu, kondisi atau areal aktivitas kerja mereka yang tak layak, seperti bau sampah, dan panasnya matahari merupakan hal yang sangat menganggu sensitifitas atau kondisi yang tidak mendukung bagi sesorang yang berpuasa. Namun di sisi lain tak mungkin mereka meninggalkan aktivitas kerjanya. Terlebih dalam bulan Ramadhan, dimana jumlah kapasitas barang bekas dan sampah meningkat. Meninggalkan aktivitas kerja sama dengan menyia-nyiakan berkah rezeki dalam bulan tersebut. Maka kondisi tersebut menghantarkan mereka pada kondisi dilematis. Dimana mereka di hadapkan pada pilihan untuk beribadah atau bekerja. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, Penulis merasa tertarik untuk melakukan sebuah penelitian tentang fenomena tersebut dengan judul: “Ramadhan Di Mata Masyarakat Marginal”: Studi Kasus Komunitas Pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, Kedaung, Ciputat-Tanggerang, sebagai judul penelitian dalam skripsi ini.Yang lebih memfokuskan diri pada aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan. Kebaragamaan komunitas pemulung
dalam bulan
Ramadhan,
dan
pengaruh
Ramadhan
terhadap
keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan sesudahnya. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah kehidupan masyarakat marginal dalam menyikapi bulan Ramadhan, yang meliputi aktivitas kerja
8
masyarakat marginal dalam bulan Ramadhan, keberagamaan masyarakat marginal di bulan Ramadhan, meliputi dimensi keyakinan, dimensi praktek keagamaan, dimensi pengalaman, dimensi pengamalan, dan dimensi pengetahuan. Serta untuk mengetahui pengaruh bulan Ramadhan terhadap keberagamaan masyarakat marginal pada bulan setelahnya. Dan untuk memperdalam penelitian ini, secara geografis penelitian ini membatasi diri pada komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03 kelurahan Kedaung kecamatan Ciputat kabupaten Tangerang. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yang nanti akan terjawab dalam hasil penelitian skripsi ini, yaitu: “Bagaimana Ramadhan di mata masyarakat marginal?” Untuk mempermudah analisa dalam penelitian skripsi ini, maka dalam penelitian ini difokuskan beberapa pertanyaan yang sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan? 2. Apa makna Ramadhan bagi komunitas pemulung ? 3. Bagaimana keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan ? 4. Bagaimana keberagamaan komunitas pemulung di bulan sesudah Ramadhan? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian. Atas dasar uraian latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini secara spesifik adalah:
9
1. Untuk mengetahui aktivitas kerja komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan 2. Untuk mengetahui makna Ramadhan bagi komunitas pemulung 3. Untuk mengetahui bagaimana keberagamaan komunitas pemulung di bulan Ramadhan 4. Untuk
mengetahui
adakah
pengaruh
bulan
Ramadhan
terhadap
keberagamaan komunitas pemulung di bulan sesudahnya 2. Manfaat Penelitian. 1. Sebagai masukan (input) bagi kegiatan akademia, khususnya di bidang sosial-keagamaan 2. Sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjan di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan untuk mengubah dan mengembangkan literatur yang sudah ada sebelumnya
D. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian sosial yang dilakukan di lapangan ( field research), yaitu terjun langsung ke objek penelitian untuk memperoleh data primer. Yang menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analitik, yakni metode yang mengeksplorasi dan mengklarifikasi mengenai suatu fakta atau fenomena sosial, dengan cara mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang akan diteliti.
10
Jenis pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah pendekatan untuk mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasikan suatu kasus ( case ) dalam konteksnya secara natural tanpa adanya intervensi.8 Pendekatan ini dipilih agar diharapakan dapat menggambarkan atau menjelaskan suatu fenomena sosial secara lebih intens dan murni. 2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian lapangan ini adalah: a. Observation ( pengamatan ), yaitu pencatatan secara sistematik terhadap fenomena yang diselidiki.9 Observasi ini dilakukan dengan jalan pengamatan
secara
sistematis
terhadap
objek
penelitian
untuk
mendapatkan data yang berkaitan dengan masalah yang akan penulis teliti. Jenis observasi yang dilakukan dalam penelitian ini dalah observasi partisipatoris, yakni pengamat membaur atau melibatkan diri dalam aktivitas
keseharian
pemulung
tersebut,
dengan
membantu
mengklasifikasikan barang-barang bekas menurut jenisnya. Observasi jenis ini dilakukan agar terciptanya suasana yang lebih kondusif guna memudahkan penulis dalam mendapatkan informasi mendalam dari para Information supplyer.
8
Agus salim, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Pemikiran Norman dan Egon Guba (Yogyakarta: PT. Tirta Wacana Yogya, 2001 ), h. 93 9 Imam Suprayogo, Misi Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001),h. 13
11
b. Wawancara mendalam (Indepth Interview), yaitu peneliti melakukan “Interview” dengan informan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan kepada informan dikemukakan secara lisan, berdasarkan pedoman wawancara. c. Kepustakaan ( Libarary Research ), yaitu dengan membaca dan menelaah literatur dan buku-buku yang berkenaan dengan penulisan skripsi ini. 3. Instrumen Pengumpulan Data Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara, tape recorder, dan buku catatan. Pedoman wawancara digunakan agar lebih fokus menggali apa yang menjadi sasaran penelitian. Sedangkan tape recorder digunakan untuk merekam perkataan subjek penelitian, dan buku catatan untuk mencatat hal-hal yang tidak terekam atau yang terlewati atau yang tidak jelas. 4. Sumber Data Dalam penelitian ini data dikategorikan ke dalam dua jenis yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara, dan observasi. Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah yang didapatkan dari bahan tertulis atau kepustakaan, yakni buku-buku, jurnal ilmiah, artikel, dan terbitan ilmiah yang ada hubungannya dengan pembahasan. 5. Subjek Penelitian Istilah subjek penelitian merujuk kepada orang atau individu atau kelompok yang dijadikan unit atau satuan ( kasus ) yang diteliti. Subjek penelitian dalam skripsi ini adalah komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, Kedaung, Ciputat-Tangerang. Jumlah komunitas pemulung di wilayah ini adalah
12
84 orang. Adapun subjek dalam penelitian ini hanya memfokuskan diri pada 10 orang informan. Sepuluh orang informan ini merupakan perwakilan dari 84 orang komunitas pemulung di wilayah tersebut, yang berkategori usia remaja, dewasa muda, madya, akhiir, yaitu antara (16-55 tahun). 6. Teknis Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif yang bersifat korelasi, artinya penelitian yang bukan menggunakan angka atau statistik, tetapi dengan melakukan analisis terhadap data yang berkaitan dengan penjelasan-penjelasan dan pandangan-pandangan. Dalam penelitian kualitatif korelasi, setiap catatan-catatan lapangan ( fieldnotes ) yang dihasilkan dalam pengumpulan data, baik dari hasil wawancara maupun hasil observasi,
kemudian
peneliti
mereduksi
(merangkum,
menyeleksi,
mengikhtisarkan) aspek-aspek penting yang muncul dan mencoba membuat ringkasan pada tiap-tiap kasus, yanag kemudian dikorelasikan dengan kerangka teori yang digunakan.
E. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyusunnya ke dalam lima bab, yaitu: 1. Bab Pertama ( I ) membahas mengenai pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
13
2. Bab dua ( II ) membahas mengenai kajian teoritik yang berisi mengenai definisi agama, dimensi-dimensi keberagamaan persfektif sosiologis, Ramadhan persfektif teologis yang di dalamnya memuat mengenai wacana perdebatan hukum puasa menurut teologi kaum konservatif dan kaum liberal, Ramadhan persfektif sosiologis dan ekonomis, definisi masyarakat marginal, profil kehidupan masyarakat marginal, dan kemiskinan dalam masyarakat marginal. 3. Bab tiga ( III ) membahas mengenai deskripsi umum daerah penelitian yang berisi gambaran mengenai letak geografis dan demografis daerah penelitian, subjek penelitian yang berisi mengenai kehidupan seputar ekonomi, agama; pendidikan, serta latar belakang sosial dan budaya. Dan profil informan penelitian 4. Bab empat ( IV ) merupakan analisa dari hasil penelitian dalam skripsi ini, berisi analisa dan pembahasan mengenai aktivitas kerja komunitas pemulung di bulan Ramadhan, makna Ramadhan bagi komunitas pemulung, sikap dan praktek ritual keberagamaan komunitas pemulung di bulan Ramadhan. Dan keberagamaan komunitas pemulung dalam bulan sesudah Ramadhan. 5. Bab lima ( V ) membahas mengenai penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran
14
BAB II KAJIAN TEORI.
A. Agama Persfektif Sosiologis Tak dapat disangkal bahwa di dalam setiap individu terdapat benih kepercayaan terhadap sesuatu yang berporos pada yang sakral. Maka beragama hanya dimiliki oleh manusia. Karena manusia meyakini bahwa agama sanggup menghadirkan Yang Sakral atau Tuhan Yang Maha Suci. Pada tataran ini tak dapat dipungkiri bahwa agama telah menjadi bagian integral dalam kebutuhan manusia. Robert Nurtin mengatakan bahwa agama adalah salah satu kebutuhan manusia, individu yang beragama berarti telah memenuhi kebutuhannya, sehingga puas, tentram dan aman. Individu yang demikian adalah individu yang sehat.10 1. Agama Dalam Persfektif Sosiologis Bagi banyak sarjana sosiologi penjelasan yang bagaimanapun tentang agama yang ditersedia saat ini masih dirasakan belum memuaskan. Hingga kini hal tersebut masih menjadi agenda besar bagi para pemikir sosial-keagamaan Sebab penjelasan dan definisi yang tersedia dirasakan hanya bersifat dogmatis, belum memuat manusia sebagai penganut, pelaku, dan pendukung agama. Dalam konteks ini, perhatian yang berkenaan dengan kehidupan keberagamaan, baik secara individual maupun kelompok atau masyarakat tidak nampak tercakup di dalamnya Berdasarkan sudut pandang bahasa, “agama” berasal dari bahasa sansekerta, “a” yang berarti “tidak” dan “gama”yang berarti kacau. Hal ini mengacu pada sebuah pengertian bahwa agama adalah suatu peraturan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. 11 Kata Agama Dalam bahasa Inggris disamakan dengan kata religion, sedangkan dalam bahasa Belanda disamakan dengan kata religie. Keduanya berasal dari bahasa Latin religio, dari akar kata religure yang berarti mengikat.12 Menurut Pasurdi Suparlan, agama adalah seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan alam gaib ( khususnya dengan Tuhannya ), mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan alam lingkungannya.13 Sedangkan J. Milton Yinger melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dimana 10
Robert W. Crapps, Dialog Psikologi dan Agama, (Yogyakarta:Kanisius,1993), h.253 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, ( Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000 ). h.13 12 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h.13 13 Rolan Robrtson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, ( Jakarta: PT. Rajawali Press,1998), h.V 11
15
suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah dalam hidup.14 Adapun agama dalam pengertian sosiologi dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ini berkaitan dengan pengalaman manusia, sebagai individu maupun kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang dibesarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. 15 Agama menurut aliran fungsionalisme merupakan suatu bentuk tindakan manusia yang dilembagakan, yang pengaruhnya meresapi tingkah laku penganutnya baik lahiriah maupun batiniah. Dalam pandangan ini, agama dilihat sebagai satu institusi yang mengemban tugas agar masyarakat berfungsi dengan benar, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, nasional, dan mondial. Sehingga eksistensi dan fungsi agama diharapkan dapat mewujudkan keadilan, kedamaian, dan kondisi ekuilibrium dalam masyarakat. Dalam persfektif interksionisme simbolik, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan, sistem makna, yang muncul dan terwujud dalam tindakantindakan kehidupan sosial melalui interaksi-interaksi, yang responsif terhadap situasi-situasi yang dihadapi oleh para penganutnya. Sistem keyakinan tersebut menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai dalam masyarakat yang terwujud dalam simbol-simbol suci yang maknanya bersumber dari ajaranajaran agama yang menjadi kerangka dasar acuannya. Dalam keadaan demikian maka secara langsung atau tidak langsung dijadikan pedoman dari eksistensi dan aktivitas berbagai pranata yang ada dalam masyarakat.16 Agama dalam pendekatan evolusi dinyatakan bahwa suatu kondisi dimana meningkatnya diferensiasi atau kompleksifitas suatu agama. Dalam hal ini bukan manusia yang beragama, dan juga bukan struktur situasi keberagamaan akhir dari manusia yang berevolusi, melainkan agama sebagai sistem simbol yang berevolusi. Sehingga melahirkan suatu kondisi yang kompleks dan terdeferensiasi.17 Sedangkan, menurut teori konflik, agama dipandang sebagai pemecah belah. Karena agama sering mempunyai efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat dan individu-individu. Isu-su keagamaan menjadi salah satu masalah penyebab perang, keyakinan agama sering menimbulkan sikap anti toleran, loyalitas agama hanya menyatukan beberapa orang tertentu dan memisahkan lainnya.18 14
Robert W. Crpps, Dialog Psikologi Agama Sejak William James hingga Gordin. W. Allport, (Yogyakarta:1993 ), h. 17 15 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, h. 53 16 Roaland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, h.VII 17 Roaland Robertson, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiaologis, h. 305 18 Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengantar Awal, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995 ), h. 61
16
Bagi Elizabeth K. Nothingham, Agama merupakan unsur yang abstrak dan trasenden yang hanya bisa dirasakan oleh masyarakat pemeluknya. Namun, dapat dilihat dalam bentuk tingkah laku keagamaan atau pun berupa ritus-ritus yang dijalankan masyarakat sebagai pemeluknya. Adapun fungsi agama menurut Elisabeth K. Nothingham adalah sebagai berikut:19 a. Agama memelihara masyarakat dengan membantu menciptakan sistemsistem nilai sosial yang terpadu dan utuh serta memberikan kekuatan memaksa yang mendukung, serta memperkuat adat istiadat. b. Agama mengkoordinasikan banyak nilai yang bermacam-macam yang tampak tidak bertalian dan tidak berarti menjadi sistem-sistem yang terpadu. c. Sebagai sesuatu yang sakral, agama memiliki kekuatan memaksa (dalam mengatur) tingkah laku manusia serta kekuatan yang mengukuhkan nilainilai moral kelompok pemeluk. 2. Keberagamaan dan Dimensi-Dimensinya Kajian sosiologi agama berpusat pada bagaimana para pemeluknya memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai agama yang kemudian tergambar secara praktis dalam tingkah laku sehari-hari. Secara singkatnya, kajian ini memfokuskan diri mengenai pengaktualisasian sikap keagamaan dalam masyarakat agama, atau lebih dikenal dengan keberagamaan. Keberagamaan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah religiusitas. M. Djamaludin menganggap religiusitas sebagai manifestasi seberapa jauh penganut agama meyakini, memahami, dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan sehari-hari. Di semua aspek kehidupan.20 Sementara Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi berpendapat, keberagamaan yaitu lebih bersifat personal, melihat aspek-aspek yang berada di dalam hati nurani, kemudian diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.21 Aspek terpenting dari keberagamaan adalah pemahaman terhadap nilai-nilai agama. Pemahaman tersebut didapat melalui rangkaian proses belajar, dan diinternalisasikan dalam pikiran dan hati, yang puncaknya dimanifestasikan dalam bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai agama. Menurut Glock dan Stark, ada lima dimensi utama yang menjadi konsensus umum dalam sebuah agama dan lima dimensi tersebut adalah:22 1. Dimensi Keyakinan
19
Elizabeth K. Nothingham, Agama dan Masyarakat:Suatu PengantarSosiologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persad, 1994 ), h. 27-28 20 M. Djamaluddin, Religisitas dan Sters Kerja Pada Polisi, (Jogyakarta: UGM Press,1995 ), h.44 21 Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metodelogi Penelitian Survei (Jakarta:LP3ES, 1989), cet.Ke-1,h.27 22 Roland Robertson, “Agama Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis ,h. 295-297
17
Dimensi ini mencakup tentang pengharapan-pengharapan dimana seorang individu berpegang teguh pada teologis tertentu dan mengakui doktrin-doktrin tersebut. Dengan kata lain, dimensi ini berisikan tentang keyakinan pemeluk suatu agama kepada ajaran-ajaran agamanya, terutama ajaran-ajaran agama yang bersifat fundamental dan dogmatik. 2. Dimensi Praktek Agama (Ritualistik) Dimensi ini mencakup pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orangorang untuk menunjukan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek keagamaan ini terdiri dari dua bagian penting, yaitu: a) Ritual, mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan dan praktekpraktek suci. b) Ketaatan, seluruh agama mempunyai seperangkat persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal, dan khas pribadi 3. Dimensi Pengalaman Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama memandang pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir ( kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak langsung dengan Tuhan sebagai otoritas trasendental ) 4. Dimensi Pengetahuan Agama Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, dan tradisi-tradisi dalam agama yang dianutnya.
5. Dimensi Pengamalan Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan seseorang mengenai agamanya dari hari ke hari. Dimensi ini mengacu pada seberapa besar agama yang dipeluknya mempengaruhi dan terwujud dalam bentuk nyata, khususnya dalam hubungan dengan sesama manusia di muka bumi ini. B. Ramadhan 1. Ramadhan Persfektif Teologis a. Definisi dan Makna Bulan Ramadhan
18
Bulan Ramadhan artinya adalah bulan untuk mendapatkan ampunan dan keridhaan Allah. Ramadhan jamaknya Ramadlanat, armidla, maknanya sangat terik, atau yang panas karena terik. Orang-orang Arab dahulu ketika memberikan nama-nama bulan didasarkan atas masa yang dilaluinya. Pada saat itu ketika Ramadhan datang masa yang dilaluinya sangat terik. Maka bulan tersebut diberi nama Ramadhan yang artinya sangat terik.23 Bulan Ramadhan merupakan bulan istimewa, bulan kebaktian, bulan karunia, rahmat; berkah, di mana amalan ( ibadah ) di bulan ini memberi manfaat istimewa bagi para pelakunya, baik itu di dunia maupun di akhirat. b. Keistimewaan Bulan Ramadhan Adapun Keutamaan Bulan Ramadhan yang dijelaskan Rasulullah Dalam sabda-sabdanya antara lain: 1) .Datangnya bulan Ramadhan disambut dengan penutupan pintu neraka dan pembukaan pintu surga serta pembelengguan setan-setan. 2) Demi menyambut bulan Ramadhan, surga senantiasa berbenah diri dengan segala kemegahannya dan para bidadari pun menanti orang-orang yang berpuasa. 3) Di bulan ini untuk pertama kali Al-qur’an Al-Karim diturunkan, yaitu pada malam lailatul qadar. Selain itu, bulan ini merupakan bulan keberkahan tidak hanya Al-qur’an yang diturunkan, namun juga kitabkitab suci lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu riwayat : “Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama di bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari keenam bulan Ramadhan, dan injil di turunkan Pada hari Ketiga belas di bulan Ramadhan”. (HR. Ahmad).24 4) Ibadah bulan Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya merupakan penebus dosa yang terjadi diantara keduanya. 5) Puasa Ramadhan pemberi minum saat merasa haus di hari kiamat 23
H. Budiman Razi, Keutamaan Bulan Rajab, Sya’ban, Dan Ramadhan ,(Jakarta:AlMawardi, 2002 ),h.18 24 Dedi Junaedi, Pedoman Puaxa, h. 102
19
6) Ramadhan merupakan bulan karunia dan penuh rahmat dimana pahala amal kebaikan dilipat gandakan sampai 70 kali dari pada bulan lainnya. Bahkan ibadah sunat di bulan ini dibalas oleh Allah Swt dengan pahala ibadah fardu dan dilipatgandakan sampai 70 kali. 7) Ramadhan merupakan bulan rahmat, maghfirah, penyelamat dari api neraka. 8) Ramadhan merupakan anugerah yang besar bagi kaum Muslimin. Pada bulan ini umat Islam diberi lima hal yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW: tentang hal ini Rasulullah bersabda: “Umatku telah diberi Pada bulan Ramadhan lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku. Pertama, bahwa apabila awal Ramadhan, Allah Swt melihat mereka. Siapa yang di lihat Allah, ia tidak akan disiksa selama-lamanya. Kedua, bahwa para malaikat memintakan ampun untuk mereka setiap siang dan malam. Ketiga, bahwa Alllah Swt Menyuruh surga-Nya dengan firman-Nya:” Berhiaslah untuk hamba-Ku yang berpuasa, meraka akan beristirahat dari kecapekan dunia ke rumah-Ku dan karamahKu.” Keempat, bahwa bau mulut mereka yang berpuasa saat berjalan menjadi lebih baik atau harum daripada misik. Kelima, bahwa apabila di akhir malam Ramadhan, Allah Swt mengampuni mereka semua. Sesungguhnya para pekerja melakukan tugasnya, maka apabila telah selesai dari pekerjaannya, mereka pun dipenuhi balasan atau upahnya”. ( HR. Thabarani).25 c. Amalan-Amalan Kebajikan Di Bulan Ramadhan Pada dasarnya setiap amalan kebajikan pahalanya berlipat ganda lantaran bulan ini memiliki kelebihan dan keutamaan. Namun, ada beberapa amal kebajikan yang penting dan merupakan amaliah Ramadhan yang hendaknya dilakukan setiap muslim, yaitu: 1) Sedekah atau Infak 2). Qiyamu Ramadhan (Taraweh) 3). Tilawatil Quran (Tadarus) 25
Dedi Junaedi, Pedoman Puasa, h. 110
20
4). I’tikaf 5). Lailatul Qodar Lailatul Qadar adalah suatu malam di bulan Ramadhan yang memiliki arti dan nilai paling utama di antara malam-malam sepanjang tahun. Keutamaan ini disandang karena pada malam tersebut Al-qur’an untuk pertama kali diturunkan. Sebagaimana di sebutkan dalam firman Allah: .
. . ☺ . .
⌧
“Sesungguhnya kami telah menurunkan ( Al-Quran ) pada malam kemulian. Dan tahukah kamu apaka malam kemuliaan itu? Malam kemulian itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat jibril dengan izin Tuhanya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh kesejahteraan sampai terbit fajar ).”(QS. Al-Qadar: 1-5 ).26
Pada dasarnya tidak ada konsensus atau ketetapan tanggal yang pasti tentang malam lailatul qadar. Namun demikian, kita sebagai muslim sangat dianjurkan mencarinya pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. 6).Zakat Fitrah Setiap muslim yang mampu diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah di bulan Ramadhan. Zakat fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan atas diri setiap individu lelaki dan perempuan muslim yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Pada prinsipnya definisi di atas, mewajibkan setiap muslim mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya, keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun perempuan Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai dengan penafsiran hadist adalah sebesar satu sha’atau kira-kira 3.5 liter atau 2.7 kg 26
Maulana Muhammad Zakariya Al-Khandawi, Fadhail A’mal Edisi RevisiIndonesia, (Bandung: Pustaka Ramadhan, 2000),h. 487
21
makanan pokok ( tepung, kurma gandum, dan aqith ) atau yang biasa dikonsumsi di daerah yang bersangkutan. Zakat fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadhan, paling lambat sebelum orang-orang selesai menunaikan salat Ied. d. Puasa: Beda Pandang Antara Teologi Kaum Tradisional-Normatif dan Teologi Kaum Kiri-Liberal Ramadhan adalah salah satu nama bulan dalam tahun hijriyah, dimana pada bulan ini kaum muslimin di wajibkan berpuasa satu bulan penuh. Kewajiban puasa ini untuk pertama kalinya dikeluarkan pada bulan bulan Sya’ban tahun kedua hijriah. Menurut Fiqh, Puasa adalah menahan diri dari hal-hal yang ditetapkan sebagai mufthirat (makan, minum, dan aktivitas seks) sejak terbit fajar sampai terbenamnya matahari yang ditandai dengan hilangnya mega merah di sebelah timur, yang diawali dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt.27 Hukum Puasa Ramadhan adalah wajib bagi tiap-tiap muslim dan muslimat yang telah memenuhi syarat. Kewajiban puasa ini didasarkan pada Al-Quran, Sunnah, dan ijma. Karena itu, orang yang mengingkari kewajiban untuk berpuasa dianggap kafir dan tidak beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw. Adapun rincian landasan hukum kewajiban puasa Ramadhan ini adalah: a) Al-quran Al-Karim. Allah Swt berfirman “Hai orang-orang beriman telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertakwa ( QS. Al- Baqarah: 183 ).28 b) Sunnah Rasulullah SAW.Beliau bersabda “Islam itu di bina atas lima perkara: pengkuan ( syahadat ) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah serta Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Mendirikan salat, menunaikan zakat, melakukan haji ke Baitullah, dan puasa di bulan Ramadhan”. 29( HR. Muslim) c). Ijma Ulama Para ulama telah sepakat atas kewajiban puasa Ramadhan dan ia merupakan salah satu pilar Islam yang ketetapannya pasti, serta orang yang tidak mengakui kewajibannya dianggap kafir atau keluar dari Islam. Menurut Syekh Ahmad Al-Maraghi dalam kitab tafsirnya berkenaan dengan orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa ialah: orang-orang lansia, 27
Salman Nano, Maka Berpuasalah, ( Jakarta: Al-huda, 2006 ), h. 9 Dedi Junaedi, Pedoman Puasa, h. 100 29 Dedi Junaedi, “Pedoman Puasa”, h. 100 28
22
orang-orang yang lemah, orang yang berpenyakit menahun sehingga tak dapat diharapkan kesembuhannya, para buruh yang harus mengeluarkan tenaga berat untuk mencari penghidupannya, seperti buruh tambang dan orang-orang yang menjalani kerja paksa. Serta wanita hamil dan menyusui.30 Seiring dengan berkembangnya zaman dan perubahan, kondisi tersebut diperluas dengan pengertian bahwa orang-orang yang tidak sanggup atau berat berpuasa mencakup semua orang yang karena kesehatan, pekerjaan, atau usianya tidak memungkinkan untuk berpuasa. Misalnya seperti profesi pengemudi jasa angkutan darat yang dalam konteks kekinian termasuk orang yang diperbolehkan tidak berpuasa. Belakangan ini sering teradi gejolak dan “perang wacana “ mengenai konsep puasa, antara komunitas Islam yang berpandangan liberal dengan komunitas Islam yang berkarakter “normative-tradisionalis”.Gejolak ini semakin menjadi seiring dengan gencarnya pemikiran”kiri liberal”dalam Islam yang banyak diusung oleh kalangan “santri baru”. Oleh mereka, perintah puasa dalam Al-quran dikaji secara kritis, tanpa harus memandang perintah itu sebagai “instruksi paketan” dari Tuhan. Melainkan harus dipahami latar belakangnya lengkap dengan “ide moral“yang tersimpan di balik perintah tersebut. Pergeseran pandangan tersebut direpresentasikan oleh argumentasi yang kontradiktif dari seorang pemikir liberal asal Mesir bernama Mohammad Syahrur.31 Dalam bukunya yang bertajuk Islam Wa al-Iman ( 2001), beliau mencoba mengakomodasi nilai-nilai dasar manusiawi yang tersimpan dalam perasaan manusia, untuk dijadikan sebagai landasan pola keberagamaan seseorang. Menurutnya, praktek beragama tak harus dipaksakan atau bahkan memberatkan bagi para pelakunya. Beragama hendaknya dinikamati dan dijalankan sesuai dengan kadar kemampuan seseorang. Berdasarkan logika berfikir tersebut, Syahrur menilai, praktek ibadah puasa telah bertolak belakang dengan nilai dasar kemanusiaan. Sederhananya, jika manusia lapar hendaknya segera makan, sehingga menjadi tidak manusiawi bila harus menahan lapar dan haus. Sementara ada makanan dan minuman yang bisa dikonsumsi. Menurut Syahrur, praktek ibadah puasa dimasukan dalam kategori “memberatkan”. Syahrur menjustifikasi bahwa puasa “tidak wajib“ dilaksanakan. Puasa hanyalah kebutuhan, siapa yang berniat, maka tak menjadi masalah. Demikian interpretasi Syahrur terhadap Surat Al-Baqaarah:183.32 2. Ramadhan Persfektif Sosiologis dan Ekonomis 30
Muhammad Thalib, 160 Tanya-Jawab Amaliah Ramadhan, ( Bandung:Irsyad Baitus Salam,1998 ),h. 75-76 31 . Ahmad Khoirul Umam, “Beda Pandang tentang Puasa.” Artikel diakses tanggal 27 agustus 2007, dari Http:// www.media. Isnet.org/Islam/Etc/Syariah 32 Ahmad Khoirul Umam, “Beda Pandang Tentang Puasa”, artikel diakses tanggal 27 Agustus 2007, dari Http://www. media.Isnet.org/Islam/Etc/Syariah
23
Ramadhan adalah rumah teduh bagi siapa saja yang ingin mencari pahala. Tiap putaran detik Allah menjanjikan ganjaran pahala yang berlipat bagi tiap ibadah dan amalan soleh. Maka Aura Spirtual pun tergiur dan membuncah kuat di hati tiap muslim. Sehingga dalam pandangan masyarakat muslim bulan tersebut merupakan momentum yang tepat untuk bertindak shaleh secara total. Pada bulan ini hampir sebagian besar masyarakat menyibukan diri berburu hal-hal religi. Misalnya seperti pengetahuan religi. Maka kajian-kajian dan buku-buku religi, serta tayangan syiar agama banyak diminati masyarakat. Ramadhan dalam lingkup sosiologis dimaknai sebagai waktu yang tepat untuk berlomba-lomba meningkat ibadah dan beramal shaleh. Bukan hanya ibadah madlah sebagai wujud kesalehan ritual.Tetapi juga berlomba-lomba dalam meningkatkan derma terhadap kaum dhuafa sebagai wujud keshalehan sosial, seperti berinfak, bersedekah, dan berzakat. Disamping itu, Ramadhan dianggap sebagai mediator dalam meningkatkan hablum minannas. Bulan simpati atau berkasih sayang antar sesama manusia.33 Dimana tingkat keshalehan sosial meningkat, maka untaian hubungan harmoni menyatukan masyarakat, baik yang kaya maupun miskin. Dalam persfektif ekonomi, Ramadhan dimaknai sebagai media perangsang bagi lonjakan harga-harga kebutuhan pokok. Adanya kenaikan harga kebutuhan pokok atau kenaikan harga-harga barang lainnya menjelang puasa dan sampai nanti bulan Syawal memang setiap tahun terjadi, masyarakat juga sudah mafhum dan sadar setiap menjelang bulan puasa ada kenaikan harga. Bagi masyarakat, hal tersebut adalah masalah klasik, bahkan sudah menjadi tradisi tiap tahunnya. Namun, kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan tahun ini seolah-olah merupakan penyakit akut. Terhitung dari satu bulan menjelang Ramadhan tahun ini, harga kebutuhan pokok cenderung naik 10 hingga 40 persen. Dan kenaikan diperkirakan masih dapat terjadi menjelang hari raya Idul Fitri. Lonjakan kenaikan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadhan dan Lebaran bukan hanya disebabkan karena kuranganya stok dan tidak jelasnya sistem distribusi. Selain itu, ulah para pedagang akibat dimuluskannya mekanisme pasar membuat pemegang otoritas utama penentu harga adalah pedagang atau ritel di pasar. Para pedagang menyadari selama bulan Ramadhan dan menjelang hari raya kebutuhan masyarakat meningkat, meski ada kenaikan harga pada beberapa komoditi, permintaan akan tetap naik. Dan meskipun kebijakan dilakukannya operasi pasar untuk menekan harga dampaknya hanya bersifat sementara.34 C. Masyarakat Marginal
33
Maulana Muhamad Zakariyya Al Kandalawi Rah.a., Fadhail A’mal, Edisi revisi Indonesia, (Bandung: Pustaka Ramadhan 2000), h. 450 34 “Kinerja Lemah, Tim Ekonomi Perlu Dievalusi Berkala”, Suara Karya, 10 September 2007
24
Modernisasi yang tejadi di kota-kota besar telah merangsang tingginya tindak urbanisasi di kalangan masyarakat desa. Mereka berbondong-bondong menuju ke kota tanpa membekali diri dengan keterampilan dengan harapan agar dapat menciptakan taraf hidup yang layak. Maka kehadiran mereka hanya memperbanyak daftar masyarakat miskin kota. Yang dalam hal ini dapat dikategorikan sebagai masyarakat marginal. 1. Definisi Masyarakat Marginal Menuruta Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “marginal” diartikan sebagai hal yang berhubungan dengan batas ( tepi ). Sedang kata “marginalisasi” diartikan sebagai pembatas. Jadi, kata marginal dapat didefiniskan sebagai yang berkaitan dengan batas atau pembatasan.35 Sedangkan dalam Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Istilah “marginal” memiliki dua makna, yaitu, pertama, suatu kelompok yang terasimilasi tidak sempurna. Kedua, suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang memiliki kedudukan rendah.36 Menurut istilah, marginal berarti adalah mereka yang tidak dapat menyesuaikan dan melibatkan diri dalam proses pembangunan. Mereka masih berjuang melawan penderitaan, kelaparan, ketidakadilan, keterasingan dan diskriminasi.37 Pernyataan tersebut dengan kata lain dapat dirumuskan, yaitu mereka yang dikategorikan sebagai yang memiliki budaya pinggiran yang ditempatkan di luar sistem, apabila dikaitkan dan didasarkan pada persfektif pembangunan modern atau budaya modern. David Berry mengartikan marginal sebagai suatu situsi dimana orang bercitacita atau berkinginan pindah dari kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial yang lain, akan tetapi ditolak keduanya.38 Secara singkat, definisi ini menggambarkan permasalahan relasi sosial-budaya yang ditanggung oleh kaum marginal. Sedangkan, Menurut Wini Septriarti, pengertian marginalitas menunjukan kepada status seseorang atau sekelompok orang yang berbeda kebudayaan. 39 2. Profil Kehidupan Masyarakat Marginal Masyarakat marginal adalah masyarakat dalam kategori masyarakat miskin kota. Mereka miskin karena adanya hierarki atau struktur dalam masyarakat. Kemiskinan tersebut karena mereka berada di lapisan bawah struktur ekonomi. dan sosial. Ini sebagai konsekuensi logis dari sistem mata pencaharian mereka sebagai kategori unskilled labor, yang memiliki tingkat pendapatan rendah.
35
Depdikbud, Marginal, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 14 Kartasapoetra dan Hartini, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta: Bumi Aksara,1992),h. 244 37 Y. Argo Trikomo, Pemulung Jalanan Yogyakarta: Konstruksi Marginalitas dan Perjuangan Hidup dalam Budaya-Budaya Dominan (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999 ), h.7 38 David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1995 ), h. 14 39 S. Wisni septriarti, Masyarakat kelompok Marginal dan Pendidkannya, dalam Cakrawala Pendidikan ,(Mei,1994), h. 11-12) 36
25
Masyarakat yang tergolong dalam kategori ini adalah mereka yang berprofesi sebagai pemulung, pedagang asongan, pengemis, dan buruh pekerja kasar. Dalam Penelitian, ini karena peneliti tidak mungkin dapat meneliti semua bentuk masyarakat marginal, maka penelitian ini memfokuskan pada salah satu bentuk masyarakat marginal. Masyarakat marginal yang menjadi perhatian peneliti adalah komunitas pemulung Adapun definisi pemulung dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai orang yang memulung, memanfaatkan barang bekas ( seperti puntung rokok ) dengan menjualnya kepada pengusaha yang akan mengolahnya kembali menjadi barang komoditi. Selain itu memulung diartikan mengumpulkan barang-barang bekas (limbah) yang terbuang sebagai sampah umtuk dimanfaatkan sebagai bahan produksi dan sebagainya. 40 Sedangakan menurut Laurike dean Wempy, pemulung diartikan bahwa mereka sebagai pekerja pekerja sektor informal, datang secara individual atau berkelompok, yang berasal dari desa sebagai kaum migran. Yang bekerja sebagai pekerja sektor informal, mereka termarginalisasi secara ekonomi, politik, dan sosial.41 Profesi sebagai pemulung yang mengumpulkan barang-barang bekas merupakan salah satu mata pencaharian masyarakat marginal. Suatu komunitas yang dalam masyarakat diberi stereotif orang kotor, dan tak dapat dipercaya. Komunitas pemulung yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini adalah komunitas pemulung yang berada di Jl. Bulak Wangi II RT08, RW 03, Kedaung, Ciputat-Tangerang
a. Pemukiman Kemungkinan bagi komunitas marginal untuk mempunyai tempat tinggal yang layak tipis sekali. Kelompok masyarakat ini hidup dan tinggal di gubukgubuk. Diantara gubuk-gubuk itu terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu “gubuk setengah permanent” (gubuk yang permanen, tetapi dengan bahan bangunan yang kebanyakan tidak tahan lama), dan “gubuk setengah sementara” (gubuk yang dibangun secara sederhana untuk tempat tinggal
40
Depdikbud, “Pemulung”, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 797 Laurike Moeliono dan Wempy Anggal, Remaja Marginalitas di Kota Besar Korban Kemiskinan,dalam Atmanan Jaya, XII, Diterbitkan oleh Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, (Desember,2000) 41
26
sementara) .42Atau bagi mereka yang tidak mempunyai gubuk sama sekali dibagi dalam golongan mereka yang tidur dibawah atap langit. Namun, pada umumnya kelompok tersebut hidup dan tinggal di dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan rombeng. Yang memiliki tingkat kebersihan, kebutuhan akan air minum, dan sanitasi tidak memenuhi standar kehidupan. Mc Gee berpendapat, munculnya masalah sosial dan kantong-kantong orang miskin dikota sebagai akibat urbanisasi semua atau urbanisasi yang kebanyakannya terjadi di dunia ketiga dan tidak berkaitan dengan perkembangan ekonomi yang kemudian menimbulkan rakyat jelata ( Lumpen Proletariat) yang merupakan massa miskin kota. Ia juga menggambarkan lingkungan masyarakat marginal dengan kondisi-kondisi yang ada terdiri dari gubug-gubug lapuk tanpa fasilitas pokok yang mempermudah kehidupan seperti listrik, air, sanitasi dan jalan-jalan yang wajar. Perkampungan itu juga dicemari oleh kotoran-kotoran, sampah-sampah atau masalah lingkungan yang lainya. Kampung masyarakat marginal tumbuh secara tidak teratur, spontan dan tidak resmi. Di balik lingkungan tampak miskin infrastruktur yang masih kasar. Ketiadaan pelayanan kondisi kebersihan yang menyedihkan dan jalan-jalan serta gang-gang yang becek terdapat masyarakat kampung yang beragam dan heterogen. 43 Komunitas Pemulung ummunya hidup dan tinggal dalam kumpulan gubug kertas, plastik dan papan rombeng. Pemukiman tersebut dikenal dengan istilah lapak. Di lapak tersebut bertimbun berbagai tumpukan barang bekas yang sudah
42
Pasurdi Suparlan,Orang Gelandangan di Jakarta: Politik Pada Golongan Termiskin, Dalam Kemiskinan di Perkotaan, h. 183 43 Zsu Zsa Baros, Prospek Perubahan Bagi Golongan Miskin Kota (Jakarta: Sianar Aharapan,1984 ),h.94
27
tidak terpakai lagi, mulai dari logam, aneka jenis plastik, alumunium, pecahan kaca, potongan-potongan kayu, dan aneka macam kertas. b. Mata Pencaharian Bagi kelompok pemulung, tumpuan sektor mata pencaharian mereka adalah mengumpulkan barang-barng bekas. Dalam komunitas pemulung sendiri ada dua cara dalam mengumpulkan barang bekas, mereka yang sudah memepunyai leveransir atau sumber tempat tetap mencari barang-barang bekas, dan mereka yang mencari barang bekas di mana-mana dengan cara sendiri-sendiri. Barang-barang bekas yang mereka cari dikelompokan sesuai dengan jenisnya, kemudian dijual kepada seseorang yang bertindak sebagai agen dalam lingkungan tersebut.
c. Kehidupan Beragama Soelaiman menjelaskan bahwa karena latar belakang sosial yang berbeda di masyarakat agama, maka masyarakat agama akan memiliki sikap dan nilai yang berbeda pula. Kebutuhan dan pandangan terhadap prinsip keagamaan berbedabeda, kadangkala kepentingan terhadap agama dapat tercermin atau tidak sama sekali.44 Karena itu kebhinekaan dalam kelompok masyarakat akan mencerminkan perbedaan jenis kebutuhan agama. Masyarakat marginal sebagai masyarakat strata bawah memiliki tingkat pemahaman dan refleksi ajaran agama yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Pada masyarakat ini, agamanya belum difahami sebagai way 44
M. Munandar Soelaiman, Ilmu Sosial Dasar, (Teori dan Konsep Ilmu Sosial), (Bandung: Etersco, 1993), h, 51
28
of life (pedoman hidup) yang mengandung nilai-nilai yang sangat tinggi. Namun, sebagai tata cara praktis atau resep jitu, yang mereka gunakan untuk memecahkan problem kehidupan. Misalnya ayat Al-quran tertentu dianggap mempunyai daya magis
untuk
menyembuhkan
penyakit,
mendatangkan
rezeki,
menjaga
keselamatan, dan sebagainya. Pada umumnya ajaran agama dipahami secara sederhana dan praktis.45 Dalam praktik kehidupan, konsep halal dan haram, benar dan salah tidak mereka pahami sebagai adanya. Oleh karena itu, untuk memahami agama dalam kehidupan sosial, mereka ini perlu dikaitkan dengan konteks kehidupan sosial budaya, yaitu ajaran agama yang telah direduksi dan diseleksi oleh pemeluknya. Kemudian difungsikan dalam kehidupan sosial mereka sebagai instrumen dalam memecahkan berbagai persoalan hidup.46
3. Kemiskinan dalam masyarakat marginal Kemiskinan merupakan masalah yang selalu memotivasai setiap orang untuk berupaya mencari jalan pemecahnya baik melalui pemikiran atau tindakan nyata. Hingga kini permasalahan tersebut masih menjadi agenda besar dunia yang menuntut sebuah penyelesaian. Sebab, implikasi hal tersebut melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia, walaupun kehadirannya seringkali tidak disadari bagi manusia bersangkutan. Sar. A. levitan menjelaskan bahwa kemiskinan adalah kekurangan barangbarang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup layak. Karena standar hidup berbeda-beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang diterima secara universal.47 45
Surjanto, Keberagamaan Komunitas Pemulung di Lembah Sungai Gajah Wong Yogyakarta, dalm Jurnal Penelitian Agama, VIII, ( 21 Januari-April, 1999 ),h. 75 46 Surjanto, Keberagamaan Komunitas Pemulung di Lembah Sunagi Gajah Wong Yogyakarta, dalam Jurnal Penelitian Agama, VIII, ( 21 Januari-April, 1999 ),h. 75 47 Nabil Subhi al-Tahwil, Kemiskinan dan Keterbelakangan di Negara-negara Berkembang, (Bandung; Mizan, 1985), h. 36
29
Menurut Pasurdi Suparlan, kemiskinan adalah suatu standar hidup rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan rendah ini secara langsung nampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong miskin.48 Sedangkan Soerjono Soekanto, mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.49 Berdasarkan data sensus tahun 1998, meyatakaan bahwa semenjak krisis ekonomi yang menimpa bangsa Indonesia tahun 1997, jumlah penduduk miskin di Indonesia berjumlah 79, 4 juta jiwa ( 39, 1 % ) dari total penduduk indonesia. 50 Kondisi ekonomi nasional yang tidak membaik tiap tahunnya akan menyebabkan kemiskinan bertambah. Pada bulan Juli 2007 BPS memperkirakan angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat menjadi 42-48 juta dari 39,01 orang pada tahun lalu. Hal ini terlihat dari pendapatan yang terus menurun.51 Menurut Adi Sasono Kemiskinan rakayat Indonesia tidak disebabkan sejak semula mereka tidak mempunayai faktor-faktor kultural yang dinamis. Mereka terbelakang dan miskin karena kesempatan-kesempatan tidak diberikan kepada mereka atau mereka miskin oleh karena kesempatan-kesempatan telah dihancurkan dari mereka. Keterbelakangan dan kemiskinan bangsa Indonesia di sebabkan oleh oleh proses penghancuran kesempatan yang terjadi sebagai akibat dari proses eksploitasi. Sejak era kolonial hingga hari ini, eksploitasi merupakan penyebab utama kemiskinan di kepulauan Nusantara. Saat Ini, pintu investasi asing yang dibuka lebar yang semula bertujuan memperbaiki sistem perekonomian negara, justru lebih mempermulus proses eksploitasi dan memperkuat hegomoni asing dalam perekonomian dalam negeri. Sebagian sumber daya alam Indonesia justru dinikmati oleh perusahaan-perusahaan dan orang-orang asing, bukan mayoritas indonesia. Karena sistem ekonomi kapitalis yang berlebihan ini, kemiskinan terus laju meningkat tiap tahunnya. Selain buruknya sistem ekonomi, masih terdapat beberapa faktor lain yang semakin memelihara kemiskinan di Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain: tekanan internasional (melalui hutang luar negeri ), korupsi, serta 48
Pasurdi Suparlan, Kemiskinan di Perkotaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1984 ),
h.12 49
Soerjono Soekanto, sosiologi Suatu Pengantar, h. 406 Taufik Abdullah, Indonesia menapak abad 21 dalam Kajian Sosial dan Budaya, (Jakarta: Peradaban , 2001), h. 120 51 Aria Yudistira,”Kemiskinan Di Indonesia Diyakini Bertambah “, artikel diakses tanggal 5 Agustus 2007, dari http:// www.media_Indonesia.com 50
30
masyarakat yang telah lama terjerat dalam lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan. Kemiskinan dalam masyarakat marginal tidak cukup diterangkan sebagai konskuensi logis dari realitas ekonomi dan struktur. Akibat rentan waktu yang cukup panjang dalam lingkaran kebiasaan dan terabaikan. Kini ia sudah menjadi realitas budaya yang berbentuk sikap menyerah kepada keadaan. Kemiskinan yang telah mendarah daging dalam masyarakat marginal telah menjadikan mereka terbiasa dengan keadaan yang dijalaninnya. Sehingga kemiskinan dipandang sebagai kebudayaan yang umumnya terwariskan antara generasi. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan kaum marginal yang kebanyakan berprofesi sebagai pemulung, kemudian profesi mereka terwarisi kepada anak cucu sehingga menjadikan kehidupannya sukar untuk keluar dari garis kemiskinan.
31
BAB III PROFIL DAERAH PENELITIAN DAN SUBJEK PENELITIAN
A. Kondisi Geografis dan Demografis Daerah Penelitian
Kelurahan Kedaung merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Ciputat yang bernaung di bawah kesatuan kota Tangerang propinsi Banten. Wilayah Kedaung terletak pada jarak 3 km dari pusat pemerintahan kecamatan, 70 km dari kota kabupaten, 170 km dari ibu kota provinsi, dan 30 km dari ibu kota negara. Secara geografis kelurahan Kedaung mempunyai luas wilayah 287.67 hektar, yang terdiri dari 212,37 hektar tanah darat dan 65,30 hektar sawah tadah hujan. Wilayah ini berada pada 35 m di atas laut, dengan curah hujan 2000/2500 mil, dan mempunyai suhu rata-rata 29 derajat celcius. Berdasarkan kelembagaan desa, wilayah kelurahan ini terbagi dalam 15 buah rukun warga ( RW ) dan 55 buah rukun tetangga (RT). Berdasarkan data demografis, daerah yang mempunyai luas wilyah 287,67 hektar ini dihuni oleh 17.891 jiwa, yang terdiri 9.180 jiwa laki-laki dan 8.711 jiwa penduduk perempuan. Data demografi kelurahan Kedaung menujukan bahwa prosentase jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dari perempuan. Secara lebih rinci data kependudukan ini dapat dilihat dari tabel di bawah ini
32
Tabel 1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
No
Jenis kelamin
Frekunsi
%
1
Laki-laki
9.180
51,31 %
2.
Perempuan
8.711
48,69 %
Jumlah
17891
100 %
Sumber : Buku Monografi Kelurahan Kedaung 2005 Sedangkan, mengenai jumlah komposisi pendududuk menurut usia didominasi oleh penduduk berusia 0-4 tahun, kemudian 5-9 tahun, dan 20-24 tahun. Prosentase terendah ada pada penduduk berusia 60-64 tahun. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia No.
Usia
Frekuensi
%
1.
0-4 tahun
3.108
17,37 %
2.
5-9 tahun
1.732
9,7%
3.
10-14 tahun
1.602
8,95 %
4.
15-19 tahun
1.550
8,66 %
5.
20-24 tahun
1.716
9,59 %
6.
25-29 tahun
1.577
8,8 %
7.
30-34 tahun
1.408
7,87 %
8.
35-39 tahun
796
4,45 %
33
9.
40-44 tahun
706
3, 95 %
10.
45-49 tahun
644
3, 60 %
11.
50-54 tahun
905
5, 06 %
12.
55-59 tahun
653
3, 65 %
13.
60-64 tahun
553
3, 09 %
14.
65 tahun keatas
941
5, 26 %
17.891
100 %
Jumlah
Sumber : Buku Monogarfi Kelurahan Kedaung 2005 Sementara itu dalam bidang pendidikan, rata-rata pendidikan masyarakat Kedaung saat ini adalah tamatan SLTA dengan prosentase mencapai 35,32 %. Berbeda dengan belasan tahun sebelumnya, dimana sebagian besar masyarakatnya hanya dapat menamatkan pendidikan sampai jenjang sekolah dasar ( SD ). Saat ini sebagian besar masyarakatnya sudah sangat sadar akan pentingnya pendidikan. Selain itu, kini sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam bidang pendidikan di wilayah ini kian meningkat. Lembaga pendidikan dari jenjang TK hingga tingkat SLTA sudah tersedia dalam wilayah ini, menurut catatan daftar isian potensi kelurahan daerah ini mempunyai 8 buah TK, 15 buah SD, 8 buah SLTP, 6 buah SLTA, dan 3 buah Pondok Pesantren. Secara lebih terinci jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
34
Tabel 3 Komposisi Jumlah Penduduk berdasarkan Pendidikan No.
Pendidikan
Frekuensi
%
1.
Belum dan tidak sekolah
992
12,68 %
2.
Pernah Sekolah tapi tidak
115
1,47 %
tamat
SD
3.
SD
1306
16,69 %
4.
SLTP
2.452
31,35 %
5.
SLTA
2.762
35,32 %
6.
Diploma
109
1,39 %
7.
Strata I
85
1,1 %
Jumlah
7821
100 %
Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005 Pesatnya
pertumbuhan
dan
pembangunan
di
ibu
kota
Jakarta
melambungkan tingkat migrasi, yang membawa pengaruh cukup signifikan bagi wilayah Kedaung. Sebagai bagian dari daerah penyangga ibu kota, kelurahan Kedaung merupakan bagian wilayah dalam hitungan strategis dalam aspek ekonomi. Pembangunan yang kian meningkat di wilayah ini cukup mempunyai daya tarik bagi kaum urban untuk menetapkan daerah itu sebagai pilihan dalam melakukan mobilitas ekonomi. Walaupun tidak semua sarana, prasana dan lokasi perekonomian di daerah ini, yakni kebanyakan di wialayah sekitar Ciputat dan Pamulang, namun cukup memberi keuntungan bagi penduduknya, karena secara geografis masih berada dalam satu wilayah kecamatan.
35
Dalam aspek mata pencaharian, catatan isian potensi kelurahan menunjukan data yang cukup variatif dalam hal mata pencaharian penduduk kelurahan Kedaung. Karena secara geografis sebagian pasar Ciputat berada dalam naungan kelurahan Kedaung dan lokasinya berdekatan, maka kebanyakan penduduk kelurahan Kedaung memusatkan mata pencahariannya sebagai pedagang di pasar tersebut.
Prosentase terbesar kedua dalam aspek mata
pencaharian masyarakat kedaung adalah Pegawai Negeri Sipil ( PNS ). Karena wilayah tersebut memiliki dan berdekatan dengan asrama dan markas POLRI, maka profesi TNI/ POLRI menjadi prosenatase terbesar ketiga dalam aspek mata pencaharian masyarakat kelurahan Kedaung. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 Komposisi Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian No.
Mata Pencaharian
1.
Petani
2.
Karyawan
Frekuensi
%
92
1,246%
1.603
21,723 %
1.406
19,05 %
1.301
17,63%
a. Pedagang
1.994
27,022 %
b. Penjahit
162
2,195 %
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) b. TNI / POLRI c. Buruh 3.
Wiraswasta
36
4.
Peternak
103
1,395 %
5.
Jasa Angkutan a. Pengemudi Becak
93
1,26 %
b. Sopir
186
2,52 %
c. Ojek
122
1,65 %
6.
Pensiunan
146
1,98 %
7.
Lainnya
171
Jumlah
7.379
2,317 % 100 %
Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005 Berkenaan dengan aspek religi, mayoritas penduduk kelurahan Kedaung beragama Islam. Jumlah pemeluk agama Islam di daerah ini mencapai 12.595 orang dengan posisi berikutnya Katholik, Protestan, Hindu, Budha. Untuk sarana ibadah yang ada di wilayah ini terdapat 15 masjid, 28 mushalla, dan 1 gereja. Secara lebih rinci data mengenai kompisisi jumlah penduduk berdasarkan agama dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 5 Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama No.
Agama
Frekuensi
%
1.
Islam
12.595
70,4 %
2.
Katholik
2.337
13,06 %
3.
Protestan
2.062
11,53 %
4.
Hindu
560
3,13 %
5.
Budha
337
1,88 %
Jumlah
17.891
100 %
Sumber: Buku Monografi dan Daftar Isian Potensi Kelurahan Kedaung 2005
37
B. Gambaran Umum Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah komunitas pemulung yang berlokasi di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03, kelurahan Kedaung, kecamatan Ciputat, kabupaten Tangerang. Pemukiman mereka terletak di sebelah utara kantor pemerintahan kelurahan Ciputat, yakni berjarak 1,5 km. Untuk mencapai jalan raya atau pusat kota pemukiman mereka dihubungkan dengan jalan pendidikan. Sepanjang jalan tersebut terdapat kompleks lembaga pendidikan, dimana lembaga pendidikan dari jenjang TK, SD, SLTP hingga SLTA berjajar di jalan tersebut. Ojek menjadi sarana transportasi utama di jalan tersebut. Lokasi pemukiman pemulung ini terletak dalam perkampungan Betawi Agung di Jl. Bulak Wangi II. Wilayah perumahan di RT 08 RW 03 tersebut di huni oleh sekitar 124 kepala keluarga, yakni sekitar 645 orang. Penduduk di wilayah tersebut di dominasi oleh masyarakat Jawa urban dan Suku Betawi yang memang penduduk asli.52 Berdasarkan Informasi yang didapatkan penulis, areal pemukiman pemulung di daerah tersebut seluas 2150 m. Di areal tanah seluas 2150 m terdapat tiga lapak yang berasal dari daerah asal yang berbeda. Ada lapak yang berasal dari daerah Stanggal, Banyumas serta Brebes. Untuk setiap lapak ada yang menempati areal seluas 600 an samapai 700 an meter. Areal tanah seluas 2150 m tersebut dimilki oleh tiga orang, yakni Bapak Supandi seluas 785 m, Bapak Abdul Haris seluas 725 m, dan Ibu Nyai seluas 650 m. Masing-masing dari pemilik tanah tersebut menyewakan tanahnya pada komunitas pemulung. 52
Wawancara Pribadi dengan Bapak Udin Selaku Ketua RT 08/03 di Jl Bulak Wangi II, Tangerang, 30 September ,2007
38
Menurut beberapa sumber yang peneliti wawancarai, komunitas pemulung di wilayah ini sudah ada sejak 7 tahun yang lalu terhitung dari tahun 2000. Sedangkan, berkenaan dengan sejarah terbentuknya komunitas pemulung di daerah tersebut, berawal dari salah satu pemilik tanah yang menyewakan tanahnya untuk menghentikan pembuangan sampah yang dilakukan masyarakat sekitar di tanah miliknya. Hal ini dituturkan oleh Bapak Supandi sebagai salah satu pemilik tanah: “ …Semua bermula dari saya yang menyewakan tanah seluas 785 meter kepada bapak Edi dengan biaya sewa 1.500.000 / bulannya, yang ingin membagun kembali usaha mulungnya yang terkena gusur di daerah Pamulang. Sedangkan tujuan saya sendiri adalah untuk menghentikan pembuangan sampah yang dilakukan masyarakat perumahan sekitar. Lebih baik saya sewakan dengan harga murah kepada tukang pulung dari pada tanah milik saya dijadikan tempat pembuangan sampah. Meskipun demikian setidaknya tanah saya sedikit terawat, kemudian beberapa bulan berikutnya diikuti oleh pemilik tanah lainnya . …”53 Dalam Areal tanah seluas 2150 m ini berdiri puluhan bangunan sangat sederhana tempat bermukim bagi komunitas pemulung tersebut. Diantara bangunan-bangunan yang sangat sederhana tersebut terdapat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya, yakni gubuk setengah permanen dan gubuk setengah sementara. Bangunan atau gubuk setengah permanen didirikan dari bahan bangunan yang kebanyakan tidak tahan lama, seperti triplek bekas dan papan rombeng. Sedangkan gubuk setengah sementara didirikan dari kumpulan kardus dan plastik. Deretan hunian di wilayah ini tertata cukup rapi. Layaknya sebuah pemukiman, tiap bangunan dihubungkan oleh jalan-jalan kecil, yang dapat dilalui gerobak-gerobak pengangkut barang bekas yang mereka miliki. Setiap
53
Wawancara pribadi dengan Bapak supandi, Tangerang , 29 September 2007
39
sudut didepan bangunan tertumpuk onggokan barang bekas yang mereka kumpulkan. Gambaran lebih detail mengenai pemukiman komunitasa pemulung di wilayah ini, sama dengan apa yang telah dideskripsikan oleh Jacob Rebong. Ia mendeskripsikan bahwa kelompok yang satu ini, umumnya hidup dan bermukim dalam kumpulan gubuk kertas, plastik dan papan rombeng, namun memiliki kegiatan. Di sana, ada usaha mengumpulkan barang bekas.54 Jumlah pemulung di wilayah ini diperkirakan mencapai 87 orang, yang terdiri dari 58 jiwa laki-laki dan 29 jiwa perempuan, dengan jumlah 19 kepala keluarag ( KK ). Jumlah ini dalam tiap waktunya dapat berubah, karena umumnya mereka datang-pergi (bolak-balik) dan jarang yang tinggal menetap. Berkenaan dengan identitas kependudukan, dari 87 orang yang menghuni lapak-lapak di wilayah tersebut, 65 jiwa yang termasuk dalam kategori usia yang wajib memiliki kartu tanda penduduk. Sedangkan jumlah sisanya, yakni 22 jiwa yang termasuk dalam kategori usia anak-anak dan remaja awal, yang belum diwajibkan memiliki kartu tanda penduduk. Dari 52 jiwa tersebut, sebagian besar dari mereka dipastikan tidak atau belum memiliki kartu tanda penduduk setempat. Mereka hanya memiliki kartu tanda penduduk daerah asal dan kartu tanda penduduk musiman, bahkan ada diantara mereka yang tidak memiliki kartu tanda penduduk.
Hanya sebagaian kecil dari mereka yang memiliki kartu tanda
penduduk setempat. Ini dapat tergambarkan dari 34 orang informan yang diwawancarai, hanya 9 orang yang menyatakan memiliki kartu tanda penduduk 54
Jacob Rebong, dkk, “Ekonomi Gelandangan: Armada Murah Untuk Pabrik, dalam Kemiskinan di Perkotaan”, Pasurdi Suparlan, (ed), ( Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , 1995 ), h. 140
40
setempat. Minimnya kepemilikan kartu tanda penduduk setempat dikalangan pemulung di wilayah tersebut diungkapkan oleh Edi Sudewo, ajat dan Yanto selaku ketua lapak. Mereka sama-sama menyatakan bahwa para pemulung tersebut sebagian besar tidak mempunyai kartu tanda penduduk setempat dikarenakan tidak mampu mengeluarkan biaya pembuatan kartu tanda penduduk dan karena banyak dari mereka yang datang dan pergi atau tidak tinggal menetap di wilayah tersebut. Ini terlihat dari jumlah mereka yang selalu dapat berubah tiap waktunya. Sehingga sedikit sekali dari para pemulung yang memiliki kartu tanda penduduk setempat. Hanya para ketua lapak beserta keluarganya dan para pemulung yang sudah lama menetap di wilayah tersebut.55 Karena sebagian besar para pemulung di wilayah tersebut tidak memiliki kartu tanda penduduk setempat, maka dalam hal penyelenggaran pesta politik mereka tidak dapat berpartisipasi. Sedangkan, bagi mereka yang memiliki hak suara dalam pelaksanaan pesta politik, cenderung mengabaikan hak tersebut. Hal tersebut diungkapkan oleh Tasman:”…Saya punya KTP sini. Tapi, kalo’ ada pemilihan presiden atau lainnya saya ‘ngga ikut nyoblos. Males…, ‘ngga ada duitnya sih….”56 Setiap komunitas pemulung hidup bermukim sesuai dengan persamaan daerah asal mereka. Setiap pemulung yang berasal dari Banyumas hidup satu lapak dengan para pemulung dari daerah yang sama, begitupun dengan komunitas pemulung lainnya. Umumnya antar pemulung tersebut masih mempunyai satu ikatan kekerabatan atau mereka hidup bertetangga di daerah asal. 55
Wawancara Pribadi dengan Bapak EdiSudewo dan Bapak Yanto, Selaku Ketua Lapak Banyumas dan Tegal, Tangerang 28 September 56 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman, Tangerang,8 Oktober 2007
41
Inilah, sekelumit gambaran mengenai lokasi dan sejarah komunitas pemulung di wilayah Kedaung, peneliti berharap gambaran singkat tersebut dapat membantu dalam mengetahui kondisi keberadaan mereka (komunitas pemulung) di wilayah tersebut Sebagai uraian selanjutnya, di bawah ini penulis akan mendeskripsikan berbagai aspek kehidupan pada komunitas pemulung di wilayah tersebut.
1. Seputar Kehidupan Ekonomi Fenomena urbanisasi merupakan konsekuensi logis dari pesatnya pembangunan di Ibu Kota. Masyarakat rural berbondong-bondong melakukan migrasi ke Ibu Kota karena tergiur dengan kestrategisan wilayah tersebut yang menjanjikan perbaikan dalam bidang ekonomi. Namun, sebagian besar dari para kaum urban tersebut tidak membekali diri dengan pendidikan dan skill yang memadai, yang sesungguhnya sangat dibutuhkan sebagai modal utama hidup di ibu kota. Maka peran mereka di ibu kota hanya sebagai masyarakat marginal yang salah satu profesinya sebagai pemulung. Bagi komunitas pemulung, “mulung” atau mencari barang bekas adalah tumpuan sektor mata pencaharian mereka. Dari mata pencaharian ini para pemulung memenuhi kebutuhan nafkah jasmani keluarganya. Hal tersebut samasama dituturkan oleh informan Tasman dan Tamiri.57 “…Mulung sudah menjadi kegiatan pekerjaan utama kita dalam mencari rezeki sehari-hari. Hasil mulung kita gunakan untuk menafkahi anak dan istri. Kalau kita ‘ngga mulung sehari saja, berarti anak dan istri 57
Wawancara pribadi dengan Bapak Tasman dan Bapak Tamiri, Tangerang, 8 Oktober dan 28 September 2007
42
‘ngga makan hari itu. Hasil mulung cuma dari tangan ke mulut, maksudnya hasil hari ini juga akan habis untuk kebutuhan makan hari ini juga.” Sementara berkenaan dengan faktor yang melatarbelakangi mereka menjadi pemulung umumnya karena minimnya pendidikan dan skill yang mereka miliki. Sehingga mulung merupakan pekerjaan yang tepat bagi mereka, karena tidak memerlukan keterampilan khusus dan modal yang besar seperti pekerjaanpekerjaan lainnya yang ada di ibu kota ini. Seperti penuturan Solihin di bawah ini. “…Saya datang ke Jakarta untuk mencari nafkah, ketika sampai di sini saya bingung mau kerja apa. Sebab saya cuma punya izasah SD dan ‘ngga punya keahlian apa-apa, sementara kebanyakan pekerjaan di Jakarta memerlukan tamatan sekolah yang tinggi. Akhirnya, mau ‘ngga mau jadi pemulung, sebab mulung itu pekerjaan yang cuma memerlukan kerajinan dan bermodalkan karung dan ganco…”58
Selain faktor tersebut, diantara mereka ada yang menjadikan pekerjaan mulung ini sebagai pekerjaan sampingan atau sementara. Pekerjaan mulung dilakukan untuk mengisi kekosongan ketika pekerajaan utama tidak dapat dilakukan. Seperti penuturan Trisno sebagai salah komunitas pemulung dari Banyumas yang telah tinggal sekitar empat tahunan, ketika ditanya tentang apa mendorongnya jadi pemulung. Ia menuturkan, mulung baginya hanya pekerjaan sementara saja, yakni mengisi waktu menganggur, ketika tidak ada panggilan sebagai pekerja buruh bangunan.59 Hal yang tidak berbeda juga disampaikan oleh Timan. Namun, baginya pekerjaan mulung dilakukan saat musim paceklik di
58 59
Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang 27 September 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Trisno, Tangerang, 29 September 2007
43
kampung.60 Sedangkan, faktor yanga melatarbelakangi para kaum wanita menjadi pemulung karena ingin membantu para suami dalam mencari nafkah. Keuletan dan kerajinan merupakan hal yang sangat dibutuhkan dalam setiap pekerjaan. Komunitas pemulung di daerah ini pun menanamkan sikap demikian dalam melakoni pekerjaannya tersebut. Komunitas pemulung di daerah ini, rela untuk bangun lebih awal dan menyusuri jalan berkilo-kilo meter demi mencari barang-barang bekas sebagai tumpuan hidup dalam memenuhi nafkah. Berdasarkan wawancara mendalam, diantara mereka ada yang mulai berangkat bekerja antara jam empat dan jam lima pagi, dan ada juga yang mulai bekerja dari jam tujuh dan jam delapan pagi. Hal tersebut, tergantung dari tempat yang menjadi tujuan mereka dalam mencari barang bekas. Informan Tasman61 menuturkan, ia biasanya mulai bangun sekitar jam tiga pagi dan mulai berangkat kerja pukul empat pagi, ketika ingin mencari barang di daerah BSD ( Bumi Serpong Damai ) atau Pondok Labu. Namun, jika hanya berkeliling di daerah sekitar Ciputat dan Pamulang, ia berangkat kerja mulai jam tujuh pagi. Untuk kepulangannya dalam bekerja adalah tidak tentu tergantung penghasilan yang mereka peroleh saat itu. Berbeda dengan Wasem, ibu paruh baya ini menuturkan, ia bekerja mulai pukul delapan pagi setelah selesai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dan hanya berkeliling di daerah sekitar Kedaung dan pasar Ciputat. Kemudian pulang pukul dua siang untuk kembali mengerjakan tugas rumah tangga.62
60
Wawancara Pribadi dengan Bapak Timan, Tangerang, 27 September 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman , Tangerang, 8 Oktober 2007 62 Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem , Tangerang, 30 September 2007 61
44
Sebagian besar masyarakat memandang bahwa plastik, kertas, kardus, kaleng, dan paku karat merupakan barang tak memiliki nilai berharga. Namun, dalam persfektif komunitas pemulung barang-barang bekas tersebut merupakan perantara penting bagi penyelamat perut dari kondisi lapar. Maka aktivitas mengumpulkan barang bekas adalah urat hidupnya dalam sektor ekonomi. Barang-barang bekas yang mereka kumpulkan kemudian dijual kepada ketua lapak yang bertindak sebagai agen dalam komunitas pemulung tersebut. Untuk gelas atau kemasan plastik dihargai sebesar Rp. 4500/kg, Rp. 500/ kg untuk koran bekas, Rp.600/ kg untuk kardus, dan RP.50/kg-nya untuk beling, Rp. 1200/kg untuk paku, Rp. 60.000/kg untuk kabel; serta Rp. 3000/kg untuk besi. Namun, biasanya para pemulung wanita menjual barang bekas tersebut secara campur yang oleh agen dihargai Rp.1500/ kg. 63 Khusus untuk penghuni lapak Brebes, mereka tidak mencari barang bekas dengan cara memulung berkeliling tempat, tetapi mereka hanya bertindak sebagai agen penjualan barang bekas. Ketua lapak memberikan modal kepada para anak buahnya untuk membeli barang-barang bekas yang dijual oleh kantor-kantor atau toko-toko dengan cara memborongnya dalam jumlah besar. Umumnya barangbarang bekas yang banyak ditemui di lapak ini adalah aneka kertas, perabot rumah tangga, dan kabel. Berkenaan dengan penghasilan yang didapatkan dari mulung, para informan menuturkan, penghasilan mereka setiap hari tidak menentu tergantung dengan barang- barang bekas yang mereka dapatkan hari itu. Bagi para pemulung
63
. Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
45
laki-laki, penghasilan yang mereka dapatkan dalam tiap harinya berkisar antara Rp.10.000-Rp.30.000, sedangkan para pemulung perempuan mendapatkan penghasilan antara Rp. 5.000-Rp. 15.000 dalam tiap harinya. Deskripsi mengenai seputar kehidupan ekonomi pemulung di wilayah ini, hampir sama seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septiarti yang dikutip dari pendapat Rodger. Ia mendeskripsikan bahwa dalam sektor perbaikan ekonomi kelompok ini hanya mampu terlihat dan memperoleh mata pencaharian pada sektor-sektor informal, tidak lain tergolong sebagai unskilled labor. Akibatnya perolehan penghasilan mereka menjadi minim dan tidak tetap sama sekali serta tidak mempunyai jaminan sosial. 64 Itulah deskripsi mengenai seputar kehidupan perekonomian komunitas pemulung di wilayah tersebut, yang memang tergambar dalam realita keseharian hidup mereka. Kemudian, untuk kondisi pendidikan komunitas pemulung di wilayah ini akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
2. Pendidikan Era globalisasi menuntut tiap individu untuk tampil terampil, efektif dan efisien. Melalui pendidikan tiap individu dapat membangun, mengembangkan dan mengefisiensikan potensi sumber daya yang ada pada dirinya. Maka, kini pendidikan menjadi hal yang sangat urgen bagi masyarakat di belahan dunia manapun. Meskipun sebagian besar masyarakat telah memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, tetap saja secara praktis aspek tersebut masih terabaikan 64
S. Wisni Septriarti, “Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan Pendidikannya”, dalam Cakrawala Pendidkan”, H. 11-12
46
dalam kehidupan, terutama masyarakat yang secara struktur berada di lapisan bawah atau masyrakat marginal. Adalah faktor ekonomi yang menjadi hambatan dan rintangan terbesar bagi masyarakat lapisan bawah untuk mengefisiensikan potensi sumberdayanya. Sehingga, aspek penting tersebut terkesan diacuhkan dalam kehidupan mereka. Seperti yang telah dideskripsikan oleh Wisni Septriarti yang dikutip dari pendapat Roger, untuk kelompok masyarakat marginal, dibidang sosial ada pada strata terendah dalam masyarakat, dengan tingkat pendidikan rendah atau sama sekali belum pernah menikmati bangku pendidikan; jauh dari jangkauan fasilitas umum.65 Berkenaan dengan pendidikan komunitas pemulung di Kedaung, seperti yang telah digambarkan oleh Roger, umumnya pendidikan mereka terbilang rendah. Sangat jarang diantara mereka yang dapat menamatkan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) maupun sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Mayoritas dari mereka hanya mengenyam pendidikan di tingkat sekolah dasar (SD), namun ada juga diantara mereka yang tak menamatkannya, bahkan diantara mereka ada yang tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Rata-rata untuk pendidikan pemulung di wilayah ini adalah sekolah dasar (SD). Hal tersebut di ungkapkan oleh Bapak Edi Sudewo, selaku salah satu ketua lapak.66 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan Solihin:“…Faktor ekonomi menyebabkan pemulung di sini berpendidikan rendah, rata-rata pemulung di sini
65
S. Wisni Septriarti, “Masyarakat Kelompok Marginal dan Permasalahan Pendidikannya”, dalam Cakrawala Pendidikan, h 11-12. 66 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
47
hanya tamatan sekolah dasar ( SD ), karena itu hanya mulung yang kita bisa kerjakan untuk mencari rezeki”. 67 Meskipun kemiskinan lekat dalam kehidupan mereka, namun tak menghalangi mereka memiliki harapan untuk melakukan perbaikan dan mobilitas pendidikan pada generasi mereka. Kini, secara praktis mereka berusaha keras merealisasikan harapan tersebut. 3. Agama Secara kodrati manusia adalah makhluk yang memiliki naluri untuk menghambangkan diri pada sesuatu yang sakral. Manusia meyakini bahwa melalui agama ia dapat memenuhi kebutuhan nalurinya tersebut. Maka beragama adalah pengejawantahan dari kodrat tersebut. Agama telah menjadi hal yang sangat fundamen bagi masyakat apapun Sehingga, agama telah menjadi aspek universal yang berhasil menembus batas struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam bidang agama, mayoritas pemulung diwilayah ini beragama Islam. Hanya tiga orang diantara pemulung di wilayah tersebut yang bergama Kristen; tak ada seseorang pun dari mereka yang menjadi pemeluk agama Hindu dan Budha Berkenaan dengan fasilitas tempat ibadah, mereka tak mendirikan masjid atau mushalla tersendiri bagi komunitasnya. Dalam beribadah mereka membaurkan diri dengan masyarakat sekitar dalam satu jamaah di masjid wilayah tersebut. Di masjid tersebut juga tersedia sarana pendidikan agama, dimana
67
Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang,27 September 2007
48
sebagaian besar pemulung mempercayakan pendidikan agama putra-putri mereka di TPA tersebut. Mengenai kegiatan kerohanian, karena sifat hipokrit masyarakat setempat, umumnya para pemulung tersebut tidak terlibat dalam keanggotan kegiatan rohani di wilayah tersebut. Mereka juga tidak memiliki kegiatan kerohanian tersendiri. 4. Latar Belakang Sosial Fenomena urbanisasi berimplikasi pada teciptanya kondisi multikultural di wiliyah kota, yakni berkumpulnya masyarakat beragam kultur, namun dengan keseragaman tujuan dalam rangka melakukan mobilitas kehidupan, terutama ekonomi. Tak semua masyarakat urban dapat merasakan jalan kemudahan dalam melakukan perubahan hidup ke arah progress. Bagi kaum yang kurang beruntung dan tak berketrampilan, mereka tak enggan melakukan pekerjaan kasar demi survive hidup di kota. Kondisi kurang beruntung yang dialami masyarakat urban telah menstimulasi terciptanya tenaga, usaha serta lahan pekerjaan kasar dan tak layak. Mulai dari profesi buruh bangunan, pedagang asongan, pemulung sampai pengemis merupakan anak kandung dari fenomena masyakat urban yang kurang beruntung dan terasingkan dari pekerjaan dan kehidupan yang layak di kota. Persamaan nasib yang dimiliki oleh sebagian masyarakat urban yang kurang beruntung, justru telah mengikat mereka dalam kesatuan profesi sebagai pekerja kasar, tanpa memperhitungkan perbedaan latar belakang sosial yang dimiliki. Situasi tersebut tergambar jelas dalam kehidupan komunitas pemulung di Kedaung. Latar belakang sosial yang berbeda tak menyurutkan mereka untuk hidup berdampingan dan mencari rezeki dalam kesatauan profesi sebagai
49
komunitas pemulung. Meskipun di wilayah tersebut terdapat tiga lapak yang tiap lapak umumnya dihuni oleh mayoritas pemulung yang berlatar belakang daerah dan budaya yang sama, namun mereka tak enggan menerima angota pemulung dari daerah dan budaya yang berlainan. Hal tersebut dituturkan oleh Edi Sudewo:68 “Karena saya sebagai ketua berasal dari Banyumas dan istri saya berasal dari Losari, para pemulung di sini umumnya juga berasal dari Banyumas dan Losari. Namun, kita semua di sini tidak menutup diri bagi para pemulung yang berlainan daerah yang mau bergabung dengan kita. Seperti Siti Fatimah yang berasal dari lampung dan Dadan dari Tangerang, kita terima dan kita tidak bedakan keberadaannya di sini. Dan sepertinya juga begitu dengan lapak di sebelah dan lapak dibelakang itu.”
Karena latar belakang daerah asal yang berbeda maka budaya yang dimiliki juga berbeda. Perbedaan latar belakang yang dimiliki oleh komunitas pemulung telah menimbulkan keragaman budaya yang dimiliki oleh masingmasing individu. Para pemulung yang berada di wilayah ini berasal dari berbagai suku bangsa seperti Jawa, Sunda, Madura, Lampung dan Medan. Keragaman tersebut juga memberikan pada perbedaan watak maupun sifat yang dimiliki oleh tiap
individu.
Namun
perbedaan
tersebut
tidak
menyebabkan
mereka
mengisolasikan diri dalam pergaulan sehari-hari. Meskipun telah hidup dalam kondisi multikultural, tetap saja setiap pemulung masih membawa cultural Baggage, yakni masih mengaplikasikan sebagian adat dan kebudayaannya yang sudah mendarah daging. Seperti tradisi mistik dan kebatinan yang masih kental bagi mereka yang berasal dari Jawa; sikap egaliter, rasional dan berwatak keras bagi mereka yang berasal dari Sumatra. 68
Wawancara pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang ,29 September 2007
50
Namun kondisi tersebut tidak menghalangi terciptanya kerukunan dalam kehidupan mereka. Rasa tersingkan dari megahnya kehidupan kota dan kesamaan profesi sebagai pemulung merupakan faktor pemersatu diantara mereka. Persamaan nasib dan keseragaman tujuan bukan hanya telah mengukuhkan ikatan primordial, namun telah berhasil melunturkan sifat-sifat etnosentris. Hal ini tampak dari keakraban yang terjalin, dan dapat dilihat sikap saling tolong-menolong diantara pemulung di wilayah ini. Jika ada pemulung yang mendapat musibah secara serentak mereka membantunya tanpa memperhitungkan dari mana pemulung itu berasal dan agama apa yang dipeluknya. Ketika ada yang sakit atau meninggal dunia, mereka saling membantu dengan tenaga dan iuran yang dikumpulkan dari sumbangan para pemulung. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Misti: “…Para pemulung di sini bukan cuma baik, tapi juga kompak. Mereka bukan cuma nolong orang yang sakit dan meninggal dunia saja. Waktu saya ketangkap polisi akibat mabuk, pemulungpemulung di sini termasuk pemulung di lapak sebelah beramai-ramai mengumpulkan uang untuk bantu biaya tebusan saya….”69 Dalam hal goncangan atau konflik sangat jarang terjadi. Jika terjadi konflik hanya sebatas pada goncangan relasi antar individu dalam keluarga, dan hal tersebut dapat segera diredam melalui peran ketua lapaknya sebagai mediator perdamaian bagi keduanya. Sedangkan untuk konflik lintas etnis ataupun komunitas hampir tidak pernah terjadi. Sebaliknya suasana kerukunan dan
69
Wawancara Pribadi dengan Misti, Tangerang, 30 September 2007
51
kebersamaan tergambar jelas dalam pergaulan sehari-hari. Berkenaan dengan hal ini juga dituturkan oleh Wasni70: “…Pergaulan pemulung-pemulung di sini sangat baik, tampak dari sikap tolong menolong seperti dalam pembuatan gerobak bagi pemulung baru. Untuk keributan antar kelompok, di sini tak pernah ada. Kalau pun ada keributan hanya terjadi pada suami-istri atau anak dan orang tua yang cekcok. Itupun tidak berlangsung lama. Kalau pihak keluarga tidak bisa mengatasi, turunlah pak Edi sebagi ketua lapak untuk mendamaikannya”. Dari keterangan di atas, dapat dikatakan bahawa solidaritas dalam komunitas pemulung tersebut terjalin sangat baik. Dengan bukti adanya hubungan yang harmonis lintas etnis dan agama, yang nampak nyata dalam rasa saling memahami, tolong-menolong, dan pengertian antar sesama anggota komunitas pemulung
C. PROFIL INFORMAN PENELITIAN Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memfokuskan penelitian pada sepuluh orang informan. Sepuluh informan ini diharapkan dapat mewakilkan keragamaan latar belakang dan usia yang tersedia dalam komunitas pemulung di wilayah tersebut. Guna terciptanya hasil penelitian yang lebih variatif. Secara rinci latar belakang para informan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
70
Wawancara Pribadi dengan mba Wasni, Tangerang, 3 Oktober 2007
52
Tabel 6 Usia dan Status No
Informan
Usia
Status
1
Tasman
43 tahun
Menikah
2
Tamiri
38 tahun
Menikah
3
Solihin
24 tahun
Belum menikah
4
Denty
16 tahun
Belum menikah
5
Wasni
20 tahun
Menikah
6
Wasem
45 tahun
Menikah
7
Lasmidi
29 tahun
Menikah
8
Sumarno
55 tahun
Menikah
9
Edi Sudewo
51 tahun
Menikah
10
Siti Fatimah
35 tahun
Menikah
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Para Informan Pada umumnya pemulung di wilayah ini didominasi oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, ada beberapa diantara mereka yang berasal dari Sumatra, seperti Siti Fatimah. Untuk lebih jelasnya latar belakang daerah informan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.
53
Tabel 7 Daerah Asal No
Informan
Daerah Asal
1
Tasman
Brebes
2
Tamiri
Madura
3
Solihin
Tasikmalaya
4
Denty
Losari
5
Wasni
Tegal
6
Wasem
Purwokerto
7
Lasmidi
Yogyakarta
8
Sumarno
Semarang
9
Edi Sudewo
Banyumas
10
Siti Fatimah
Lampung
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Para Informan Para Pemulung di wilayah ini umumnya berpendidikan rendah. Mayoritas dari mereka hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Dan hanya beberapa orang diantara mereka yang mengenyam pendidikan sampai pada tingkat sekolah lanjutan. Dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada sepuluh informan tersebut, karena memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda sangat memungkinkan terciptanya hasil penelitian yang lebih variatif. Sebab latar pendidikan berbeda yang dimiliki informan akan menghasilkan suatu pengetahuan dan pemahaman yang berbeda pula pada tiap-tiap informan.
54
Untuk lebih jelasnya latar belakang pendidikan informan dapat dilihat pada tabel berikut ibni. Tabel 8 Pendidikan No
Informan
Pendidikan
1
Tasman
SD
2
Tamiri
Tidak sekolah
3
Solihin
Tidak tamat SLTP
4
Denti
SLTP
5
Wasni
Tidak sekolah
6
Wasem
Tidak tamat SD
7
Lasmidi
Tidak tamat SLTP
8
Sumarno
SD
9
Edi Sudewo
SLTA
10
Siti Fatimah
SD
Sumber: Wawancara Pribadi dengan Para Informan
55
BAB IV RAMADHAN DI MATA MASYARAKAT MARGINAL
A. Aktivitas Kerja Masyarakat Marginal Di Bulan Ramadhan Bagi masyarakat kebanyakan, sampah adalah barang buangan. Selain menjadi sumber penyakit dan polusi lingkungan, sampah dianggap menjijikan. Tetapi tidak demikian dengan para pemulung. Mereka justru menganggap gunungan sampah adalah perantara penyelamat bagi perut dari kelaparan. Bahkan merupakan berkah tersendiri. Begitu pun yang dirasakan komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II, Kedaung, Ciputat. Makin banyak jenis sampah yang mereka temui, semakin senang lantaran penghasilannya kian meningkat. Dengan bermodalkan gerobak, atau karung dan “ganco”71, mereka mengais rezeki dengan berkeliling mengumpulkan sampah-sampah nonorganik. Waktu, tempat, serta cuaca bukanlah faktor penyurut kegairahan kerja mereka. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tamiri: ”…Dalam mencari rezeki saya tak membatasi waktu untuk bekerja, saya akan pulang ke rumah jika hasil barang yang saya cari sudah banyak menurut saya. Saya memulung bukan hanya di daerah sini saja, tapi juga ke Rempoa, Lebak Bulus, dan pondok Labu untuk cari paku karat. Hujan atau pun panas tak jadi halangan untuk saya malas mulung. Pokoknya selama badan ini sehat, saya ‘ngga pernah libur mulung. Sebab makan saya hari itu, ya hasil mulung saya di hari itu juga”.72
Bagi setiap Muslim, Ramadhan memiliki predikat bulan paling istimewa. Setiap jiwa spiritual membuncah untuk larut secara total dalam ibadah khas yang 71
Besi berukuran setengah meter yang ujungnya dibengkokan yang digunakan untuk mengais sampah dan barang bekas 72 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tamiri, Tangerang, 28 September 2007
56
dimiliki bulan tersebut. Maka sebagai konsekuensi logis dari kondisi tersebut, banyak lembaga formal seperti sekolah, lembaga pemerintahan, perusahaan milik negara maupun swasta mengurangi waktu beraktivitas di bulan tersebut. Namun, kondisi tersebut tidak relevan dalam kehidupan komunitas pemulung. Kewajiban ibadah khas yang dimiliki bulan tersebut bukan alasan yang tepat untuk mereka mengurangi aktivitas kerja, terlebih untuk bermalas-malasan. Justru Ramadhan menuntut mereka untuk lebih kian meningkatkan aktivitas kerja. Tuntutan kebutuhan yang hadir dalam bulan Ramadhan memaksa mereka untuk tetap mempertahankan kegairahan kerja, bahkan penambahan waktu kerja. Hal tersebut diungkapkan oleh Tamiri: ”…’Ngga ada pembedaan waktu kerja bagi saya, baik bulan biasa maupun Ramadhan. Apalagi lagi pengurangan waktu, dan bermalasmalasan. Justru harusnya saya menambah waktu mulung. Sebab kalo’ngga mulung sehari saja, saya susah makan. Apalagi ini bulan Ramadhan, kebutuhan makin banyak. Mau mudik, mau kasih kebutuhan anak-istri setahun sekali. Jadi saya mesti terus kerja keras.73
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lasmidi, dan Solihin, mereka menyatakan bahwa tak ada alasan untuk melakukan pengurangan waktu dalam bekerja, apalagi bermalas-malasan. Bahkan mereka menambahkan waktu bekerja pada malam hari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi : ”....Sama saja, saya tetap mulung di bulan biasa maupun bulan Ramadhan.’Ngga ada perbedaan waktu atau pengurangan jam kerja. Bahkan terkadang malam hari saya juga keliling cari barang-barang bekas di pasar, itu berarti saya malah menambahkan waktu mulung. Dalam bulan Ramadhan seperti ini justru saya harus lebih giat lagi bekerja. Kebutuhan makin banyak, hargaharga barang di bulan ini dan menjelang Idul Fitri semua naik. Selain itu, keluarga juga punya keinginan untuk mudik ke kampung halaman”.74
73 74
Wawancara Pribadi dengan BapakTamiri, Tangerang, 28 Setember2007 Wawancara Pribadi dengan, Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007
57
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Tasman:”…Bulan Ramadhan seperti ini ‘ngga mungkin saya melakukan pengurangan waktu kerja, sebagaimana orang-orang. Apalagi kalau bermalas-malasan, istri dan anak-anak saya tidak ada yang kasih THR pada lebaran nanti. Justru saya harus makin giat kerjanya”.75 Sedangkan Denti, Siti Fatimah, Sumarno, Wasem dan Wasni menyatakan bahwa aktivitas kerja mereka dalam bulan Ramadhan sama dengan bulan biasanya. Mereka tidak melakukan penambahan atau pengurangan waktu dalam bekerja. Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa Ramadhan tidak menyurutkan kegairahan atau semangat kerja mereka. Justru Ramadhan menuntut mereka untuk lebih meningkatkan aktivitas dalam bekerja, demi untuk memenuhi kebutuhan menjelang hari raya Idul fitri. Dari pernyataan-pernyataan tersebut telah tergambar pula mengenai faktor yang melatarbelakangi mengapa mereka lebih giat bekerja dalam bulan Ramadhan. Seluruh informan menyatakan bahwa kebutuhan-kebutuhan menjelang Idul Fitri dan keinginan mudik yang melatarbelakangi mereka untuk lebih giat lagi dalam bekerja. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:”… Saya tetap rajin kerja dalam bulan Ramadhan selain untuk makan juga untuk kasih kebutuhan anak istri setahun sekali buat lebaran…”76 Berkenaan dengan kendala yang dihadapi para pemulung dalam bekerja di bulan Ramadhan, seluruh informan menuturkan bahwa kendala terbesar yang 75 76
Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman, Tangerang, 8 Oktober 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmid, Tangerang, 1 Oktober 2007
58
mereka hadapi adalah rasa lapar yang disandingkan dengan cuaca sangat terik di siang hari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Denti: ”…Halangan terberat mulung di bulan Ramadhan ketika saya mulung dalam keadaan puasa ditambah dengan udara yang panas di siang hari. Mungkin kalo’ nahan rasa lapar itu saya sudah biasa, karena sehariharinya memang begitu. Tapi kalo’ nahan haus saya ‘ngga kuat. Apalagi bulan Ramadhan kali ini kalo’ siang hari itu udaranya panas banget, ya… kalo’ udaranya begitu bikin haus terus dan lemes. Jadi ada rasa males”.77 Dan lebih lengkap mengenai kendala kerja yang dihadapi mereka dalam bulan Ramadhan diungkapkan oleh Lasmidi: ”…Tantangan kerja di bulan Ramadhan itu sangat berat. Di bulan biasa juga ada resikonya, sering dituduh nyuri barang orang lain, tapi itu ‘ngga saya alami setiap hari. Tapi kalo’ di bulan Ramadhan tiap hari selama satu bulan saya harus mulung dalam keadaan puasa ditambah hawa yang panas. Bukannya saya ngeluh atas kewajiban puasa, nahan rasa lapar sudah. Tapi udara panasnya itu yang bikin saya kadang terasa berat nahan haus. Sedangkan saya wajib puasa”.78 Akibat dari kendala yang mereka hadapi, menyebabkan beberapa diantara mereka lebih memilih menangguhkan kewajiban ibadahnya dan mementingkan aktivitas kerjanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tasman dan Tamiri, mereka mengatakan bahwa puasa dan panasnya udara di siang hari merupakan kendala terbesar yang dihadapi selama bekerja pada bulan Ramadhan. Menahan rasa haus merupakan faktor terberat yang tak kuat mereka tanggung. Sementara mereka harus berjalan puluhan kilo meter tiap harinya untuk mengais rezeki. Terlebih dengan adanya tambahan kebutuhan di bulan itu yang menyebabkan mau tak mau mereka harus tetap bekerja di bulan tersebut. Sehingga mereka sering meninggalkan kewajiban ibadahnya demi untuk kenyamanan kerja. Bagi mereka ketidaksanggupan ibadah puasa itu bisa dibayar dengan pergantian waktu 77 78
Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang, 5 Oktober 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007
59
pelaksanaanya di bulan biasanya, namun kebutuhan sehari-hari, terutama menafkahi keluarga tak mungkin mereka tinggalkan. Berdasarkan wawancara mendalam, berkenaan dengan penghasilan yang didapatkan mereka di bulan Ramadhan, peneliliti mendapatkan hasil jawaban yang cukup variatif. Sebagian dari informan menyatakan bahwa penghasilanya di bulan Ramadhan lebih meningkat. Sedangkan sebagian dari informan lainnya menyatakan penghasilan mereka sama seperti bulan biasanya.Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi: ”…Penghasilan yang saya peroleh pada Ramadhan lebih banyak dibandingkan bulan biasanya. Pada bulan-bulan biasa, setiap harinya penghasilan saya hanya sekitar Rp10.000,00-Rp. 20.000,00. Tapi pada bulan Ramadhan, penghasilan saya meningkat dalam tiap harinya penghasilan saya sekitar Rp.25.000,00-Rp. 35.000,00. Karena pada bulan Ramadhan jumlah kemasan plastik, seperti gelas aqua dan botol-botol beling bekas sirup lebih banyak.”79. Dan penuturan yang lebih lengkap mengenai penghasilan di bulan Ramadhan diungkapkan oleh Solihin:”Alhamdulillah…., selama bulan Ramadhan penghasilan saya lebih banyak. Dalam hari-hari biasa penghasilan saya sekitar Rp.8.000,00-RP.20.000,00, sedangkan di bulan Ramadhan setiap harinya penghasilan saya kadang-kadang RP.25.000,00, Rp.30.000, bahkan Rp.40.000,00. Pokoknya selalu di atas Rp. 20.000,00. Ini semua karena malamnya setelah selesai taraweh saya mulung juga, biasanya di masjid-masjid sampah-sampah gelas plastik bekas buka puasa itu banyak. Dan jumlah botol-botol bekas sirup juga
79
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober2007
60
banyak saya temukan di sekitar pasar dan tempat pembuangan sampah. Semua ini merupakan berkah bagi saya”.80 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Edi sudewo, ia menuturkan bahwa ada perbedaan penghasilan antara bulan biasa dengan bulan Ramadhan. Dimana dalam bulan Ramadhan penghasilannya naik antara Rp.5000,00Rp.10.000,00/harinya.Yang disebabkan karena meningkatnya jumlah minuman kemasan plastik yang dikonsumsi masyarakat.”81 Lain halnya dengan Sumarno, Wasni, Wasem, dan Denti, mengenai penghasilan di bulan Ramadhan, mereka mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan dengan bulan biasanya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sumarno: ”…Selama Ramadhan tahun ini penghasilan saya sama saja dengan hari biasanya. Tetap dapatnya Rp.15.000,00 juga. ‘Ngga seperti tahun-tahun yang dulu, biasanya kalo’ Ramadhan penghasilan saya lumayan besar. Tapi kali ini sama saja. Sebab kali ini kayaknya tukang pulung makin banyak. Itu berarti banyak saingan. Jadi barang-barang yang saya dapatkan juga sedikit. Lagi pula saya juga tidak seperti yang lainnya yang juga mulung di malam hari, sebab sekarang usia saya sudah 55 tahun mudah sakit. Jadi kondisi saya sudah “ngga kuat untuk kerja di malam hari”.82 Hal senada juga diungkapkan oleh Wasni, ia menuturkan bahwa penghasilannya di bulan Ramadhan sama seperti bulan biasanya. Menurutnya bulan Ramadhan tahun ini jumlah pemulung wanita makin banyak. Inilah yang menyebabkan penghasilannya dibulan Ramadhan tahun ini menurun dibandingkan dengan Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan wawancara mendalam dan observasi partisipatoris, berkenaan dengan jumlah barang-barang bekas yang meningkat dalam bulan Ramadhan, 80
Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang, 27 September 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007 82 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumarno, Tangerang, 7 Oktober 2007 81
61
hampir seluruh informan mengungkapkan bahwa kemasan minuman plastik dan beling meningkat jumlahnya dalam bulan Ramadhan. Hal tersebut juga telah diungkap oleh beberapa informan di atas. Untuk lebih jelasnya, hal ini diungkapkan oleh Edi Sudewo, selaku salah satu agen dan ketua lapak di wilayah tersebut. “…Dalam bulan Ramadhan seperti ini biasanya jumlah barang yang banyak ditemui adalah kemasan plastik, seperti gelas dan botol minuman plastik, dan beling bekas pecahan botol sirup. Saya sendiri biasanya hanya bisa mendapatkan 1-3 kg gelas aqua perharinya, tapi di bualn Ramadhan saya bisa menadapatkan 3-6 kg dalam sehari. Dan beling bekas botol-botol sirup juga banyak ditemui tempat pembuangan sampah83.
Melihat pernyataan-pernyataan yang diungkapkan oleh para informan, dapat dipastikan bahwa mereka tak memberikan hak dispensasi bagi aktivitas kerja mereka di bulan Ramadhan. Justru Ramadhan telah mendorong mereka untuk semakin giat dalam bekerja, yakni dengan melakukan penambahan waktu kerja di malam hari. B. Makna Ramadhan Bagi Komunitas Pemulung Penghayatan agama seseorang sangat erat berkaitan dengan bagaimana ia memaknai setiap ajaran, ritual, perayaan hari agama yang dimiliki agama yang dipeluknya. Pemaknaan dan harga dari sebuah penghayatan keagamaan sifatnya berjenjang. Faktor usia, pendidikan, status ekonomi serta nasib akan mempengaruhi dalam memahami, menghayati, dan memaknai dari setiap ritual, amalan dan moment keagamaan yang diyakininya. Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa kedatangan bulan Ramadhan telah menjadi fenomena eksklusif dikalangan umat Islam. Dikatakan eksklusif
83
Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
62
karena Ramadhan merupakan moment keagamaan yang di dalamnya mengandung ibadah khas bagi umat muslim. Sejatinya, predikat eksklusif tersebut tidak terlepas dari interpretasi dan refleksi dari ajaran agama dan kesadaran; kegairahan beragama masyarakat. Ramadhan memiki predikat sebagai bulan suci yang di dalamnya mengandung rahmat, berkah dan maghfirah.
Kendati adanya kesepakatan
mengenai peredikat tersebut, namun jika ditelisik telah melahirkan pemaknaan yang cukup variatif dalam masyarakat. Dalam persfektif masyarakat kelas sosial yang berkecukupan, Ramadhan lebih dimaknai sebagai bulan untuk sejenak melepaskan egoisme duniawi. Mengendorkan organ tubuh yang biasa mengkonsumsi makanan untuk bisa memaknai penderitaan orang yang terpaksa puasa setiap harinya, seperti yang dialami kaum dhuafa. Selain itu, Ramadhan juga dimaknai sebagai bulan simpati (kasih sayang) terhadap sesama.
84
Yang ditujukan untuk meretas keshalehan
sosial dalam tindakan kepedulian sosial, yakni membagi keberkahan dalam bentuk peningkatan derma terhadap kaum fakir. Sedangkan bagi kaum marginal, makna tersebut tidak relevan karena belum tentu mereka mendapatkan makan dan minum yang cukup setiap harinya. Sehingga menahan diri dari makan dan minum bukan lagi sebagai latihan, tetapi tuntutan keadaan; suka atau tidak suka yang harus mereka terima. Adalah perbedaan status ekonomi yang menyebabkan makna tersebut tidak koheren bagi masyarkat marginal. Sehingga, adalah suatu kewajaran bila 84
Maulana Muhammad Zakariyya al Khandawali rah,a., Kitab Fadhail Amal, Edisi Revisi Bahasa Indonesia, ( Bandung: Pustaka Ramadhan, 2000 ), h. 455
63
kaum marginal memiliki persfektif tersendiri dalam memaknai bulan suci tersebut. Dalam hal ini pemakanaan tersebut menjadi salah satu bahasan dalam penelitian ini. Adalah suatu hal yang mafhum bila komunitas pemulung sebagai kategori masyarakat miskin memberikan makna yang berbeda pada bulan suci tersebut. Bagi mereka, umumnya Ramadhan lebih dimaknai sebagai bulan yang memberikan banyak keberkahan rezeki dan pangan. Pada bulan tersebut kerisauan akan kekurangan santapan pangan dapat tertutupi, dan pengahasilan mereka juga meningkat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi: “...Ramadhan bermakna sebagai bulan keberkahan. Hari-hari dalam bulan tersebut banyak memberikan kita berkah, terutama berkah untuk makan. Setidaknya rasa khawatir untuk ‘ngga bisa makan berkurang. Bahkan di bulan tersebut saya bisa makan makanan yang jarang saya makan. Dan rezeki juga lebih berkah. Karena banyak orang-orang yang kecukupan yang bukan cuma mengundang buka puasa bersama, tapi juga memberikan amplop santunan kepada kita disini.”85 Dan lebih lengkap pemaknaan bulan Ramadhan diungkap oleh Edi Sudewo: ”…Bagi kebanyakan orang Ramadhan dimaknai sebagai bulan untuk bisa merasakan hidup miskin lewat rasa lapar, terutama bagi mereka yang kaya. Tapi bagi tukang pulung seperti kami yang biasa dengan rasa lapar, beda lagi maknanya. Di bulan ini yang katanya penuh berkah memang terjadi dalam kehidupan kami. Dalam bulan ini setidaknya kami dapat merasakan makan enak yang jarang kami makan dari acara-acara buka puasa bersama yang mengundang kami. Selain itu juga adanya pembagian sedekah berupa santunan yang diberikan oleh para orang berkecukupan. Bagi kami ini adalah berkah yang diberikan Tuhan, yang diberikannya lewat kebaikan hati orang-orang berkecukupan. Dan juga penghasilan kita lumayan beda ‘ngga kaya biasnya, karena bulan puasa sampah dan barang bekas juga lebih banyak.”86
85 86
WawancaraPribdi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 5 Oktober 2007
64
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Solihin:”…Al-Quran menyebutkan bulan Ramadhan merupakan bulan magfhirah, rahmat dan berkah. Tapi yang lebih terasa dalam kehidupan saya adalah berkahnya. Jadi bagi saya makna yang tepat, ya Ramadhan bulan berkah. Dalam bulan ini banyak orang mampu yang membagi berkah rezekinya melalui acara buka puasa dan pembagian santunan kepada pemulung di sini. Pada bulan puasa kali ini saja sudah ada dua orang kaya yang mengadakan acara buka puasa bersama dan membagikan uang santunan. Selain itu penghasilan saya juga rasakan lebih banyak di bulan ini dibandingkan biasanya. Karena sampah lebih banyak. Bagi saya semua itu berkah..”87 Semua informan menyatakan demikian, hanya sebagian yang mampu memaparkan secara jelas dan baik apa makna bulan Ramadhan bagi mereka. Karena
minimnya
keterlibatan
mereka
dalam
lingkungan
pendidikan
menyebabkan mereka kurang mampu untuk memaparkannya. Sehingga untuk sebagian lainnya kurang mampu memaparkannya dengan baik secara verbal. B. Keberagamaan Masyarakat Marginal dalam Bulan Ramadhan Fluktuasi merupakan hal yang paling lekat dalam keberagamaan setiap manusia. Naik dan turunya intensitas keagamaan seseorang merupakan hal yang paling wajar dalam hidup. Namun, hampir dipastikan bahwa moment keagamaan seperti Ramadhan, diakui mampu melambungkan setiap jiwa spiritual untuk berkeinginan larut dalam keshalehan. Keistimewaan akan pahala yang dijanjikan
87
Wawancara Pribadi dengan Soliuhin, Tangerang, 27 September2007.
65
dalam bulan tersebut telah mampu menstimulasi setiap individu ingin bertindak shaleh. Dengan berpedoman pada daya stimulasi yang dimiliki bulan Ramadhan tersebut, maka pada uraian ini mendeskripsikan tentang hasil penelitian aktivitas keberagamaan komunitas pemulung di bulan Ramadhan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dimensi keyakinan; praktek agama; pengetahuan; pengalaman; dan dimensi konsekuensi sebagai pijakan untuk menganalisa keberagamaan komunitas pemulung di bulan Ramadhan. Sehingga dapat diketahui keyakinan dari mereka tentang agama yang mereka anut dan pemahaman berdasarkan pengetahuan yang dimiliki. Selain itu, berdasarkan dimensi praktek dapat diukur dari ritual dan ketaatan akan ritual agamanya.88 1. Keyakinan dan Pemahaman Terhadap Rukun Iman dan PredikatPredikat Istimewa yang Dimiliki Bulan Ramadhan Hal yang utama dalam menilai keberagamaan seseorang adalah mengetahui keyakinan dan pemahamannya terhadap ajaran dan unsur-unsur yang ada dalam agama tersebut, seperti rukun iman, yang merupakan sumber keyakinan umat Islam. Selain itu, dalam pembahasan ini juga akan diuraikan mengenai keyakinan dan pemahaman terhadap predikat rahmat, maghfirah, dan idgham minannar yang dimiliki bulan bulan Ramadhan. Pemahaman para informan terhadap rukun iman hanya terbatas pada pengetahuan dan pengamalan semata. Dalam konteks ini, mereka meyakini namun kurang mampu menjelaskan apa yang mereka pahami dan yakini itu dan hanya
88
Roland Robertson, ed., Agama: Dalam Analisa dan Interpertasi Sosiologis,h. 295-297
66
sebagian pula yang dapat menyebutkan isi dari rukun iman secara lengkap. Sedangkan tiga orang informan lainnya tidak mampu menyebutkan isinya secara lengkap. Seperti yang diungkapkan oleh Tasman, Tamiri, dan Wasni, mereka menyatakan bahwa tidak hapal isi rukun iman, dengan alasan tidak belajar. Berdasarkan hasil wawancara, seluruh informan sangat meyakini adanya Allah yang Maha Mengetahui. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin: ”…Iman kepada Allah artinya percaya kepada Allah, percaya kalo’ Ia itu ada, menciptakan segalanya, dan mengetahui segalanya. Tahu segala sesuatu yang dikerjakan hambanya. Misalnya berkaitan dengan sekarang, seperti puasa misalnya. Puasa itu ibadah yang ‘ngga kelihatan, kalo’ bohong pun pasti orang ‘ngga tahu. Yang tahu hanya orang yang melakukannya dan Allah yang mengawasinya langsung. Pokoknya begitu, susah diungkapkan, tapi saya yakin itu.”89 Begitu juga mengenai keyakinan akan malaikat, kitab-kitab, Rasul, hari kiamat dan terhadap qada’ dan qadar Allah. Mereka meyakini semua itu juga harus diyakini setelah meyakini Allah. Namun, hanya informan Lasmidi, Denti, Solihin, Siti Fatimah, Wasni dan Edi Sudewo yang mampu memberikan pemaparannya mengenai apa yang mereka yakini tersebut. Sebagaimana Edi Sudewo mengungkapkan mengenai iman kepada malaikat-malaikat Allah, ia mengatakan bahwa malaikat adalah ciptaan Allah, yang membantu Allah. Seperti Rakib dan Atid yang mengawasi segala sesuatu yang diperbuat manusia, misalnya seperti puasa ini. Sedangkan dalam hal qada’ dan qadar, semua informan memahaminya sebagai sesuatu yang di berikan dan sudah ditetapkan oleh Allah pada tiap-tiap makhluknya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi: ”…Kalo’ menurut
89
Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang, 27 September 2007
67
saya, segala sesuatu yang sudah ditetapkan, semacam kaya takdir. Seperti jodoh, maut dan termasuk pekerjaan saya ini, jadi pemulung.90 Berkenaan dengan keyakinan dan pemahaman para informan terhadap predikat rahmat, maghfirah, dan idgham minannar yang dimiliki bulan Ramadhan, hanya terbatas pada pengetahuan semata. Kurang mampu menjelaskan dan menginterpretasikan apa yang mereka yakini dan pahami. Dan hanya sebagian yang mengetahuinya secara lengakap. Seperti yang diungkapkan oleh Tasman, Tamiri, Sumarno, Wasni, dan Wasem. Mereka menyatakan tidak tahu secara lengkap mengenai predikat-predikat istimewa yang dimiliki bulan Ramadhan. Bagi mereka, Ramadhan lebih diyakini sebagai bulan berkah, karaena dalam bulan tersebut pengahsilan mereka meningkat. Selain itu, Ramadhan merupakan moment yang penuh perhatian bagi mereka, dimana dalam bulan tersebut sudah menjadi tradisi setiap tahunnya bagi mereka mendapatkan perhatian dan simpati dari kaum dermawan, dalam bentuk santunan. Berdasarkan hasil wawancara semua informan sangat meyakini bahwa Ramadhan adalah bulan penuh rahmat. Kondisi berkah yang mereka alami dalam bulan Ramadhan diinterpretasikan sebagai suatu bentuk rahmat atau kasih sayang Allah yang dijanjikan terjadi pada bulan Ramadhan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin: “…Yakin, Terutama berkah rezeki, penghasilan saya dalam bulan Ramadhan lebih banyak, karena pada bulan ini kayanya sampah dan barang bekas jumlahnya banyak. Selain itu juga kalo’ Ramadhan saya dapat THR
90
Wawancara Ptibadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober2007
68
dan santunan-santunan. Ya, Bagi saya, itu berkah. Dan berkah sama saja dengan rahmat dari Allah”.91 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Edi sudewo: “...Banyaknya sampah di bulan ini jadi berkah rezeki tersendiri bagi tukang pulung kaya kami. Bagi saya berkah ini sama saja rahmat di bulan Ramadhan dari Allah.”92 Sedangkan mengenai dengan Predikat Maghfirah yang dimiliki bulan Ramadhan, hanya sebagian informan yang mengetahuinya. Seperti Solihin, Edi Sedewo, Lasmidi, Denti, dan Siti Fatimah. Para informan tersebut meyakini dan memahami predikat maghfirah sebagai suatu bentuk pengampunan dosa yang dijanjikan bulan Ramadhan bagi setiap muslim yang taat dan meningkatkan jumlah ibadahnya dalam bulan tersebut. Selain itu, maghfirah yang dijanjikan bulan Ramadhan juga diyakini sebagai bentuk dispensasi hukum penyiksaan bagi manusia- manusia berdosa yang telah berada di akhirat. Dimana mereka meyakini bahwa dalam bulan Ramadhan manusia-manusia berdosa diistirahatkan hukum penyiksaannya sampai berakhirnya bulan Ramadhan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Siti Fatimah: “…Maghfirah itu sama saja ampunan dari Allah. Orang-orang yang rajin ibadahnya di bulan ini akan di hapus dan diampunkan dosanya. Bukan cuma itu, katanya selama bulan puasa orang-orang yang sudah meninggal yang banyak dosanya di liburkan dulu siksaannya, yang juga merupakan ampunan dari Allah. Karena ‘ngga di siksa selama bulan Ramadhan”.93
91
Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang, 27 September, 2007 Wawancara P ribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 Seetember 2007 93 Wawancara Pribadi dengan Ibu Siti Fatimah, Tangerang,2 Oktober 2007 92
69
Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Denti:”… Ampunan dari Allah untuk manusia yang banyak beribadah di bulan Ramadhan…”94 Begitu juga mengenai keyakinan akan predikat idgham minannar yang dimiliki bulan Ramadhan juga hanya di ketahui oleh sebagian informan. Para informan meyakini dan memahaminya bahwa setiap muslim yang shaleh dan taat beribadah dalam bulan Ramadhan tubuhnya akan diharamkan dari siksa api neraka. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin:”… Idgham minannar itu datangnya pada bagian ketiga dalam bulan Ramadhan. dan bagi orang-orang yang masih rajin dan banyak ibadah sampai sepuluh hari terakhir bulan puasa akan dapat idgham minannar itu. Bebas dari siksa api neraka…”95 Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat dikatakan terdapat perbedaan tingkat pengetahuan dan pemahaman yang cukup signifikan. Tingkat pemahaman dapat dianalisis penulis berdasarkan wawancara mendalam, dimana perbedaan tersebut disebabkan karena latar belakang pendidikan yang berbeda. 2. Dimensi Pengetahuan Berkenaan Dengan Bulan Ramadhan Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggali pengetahuan Para informan mengenai nilai-nilai dan ajaran-ajaran berkenaan dengan bulan Ramadhan. Seperti pengetahuan tentang Lailatul Qadar, pengetahuan tentang ibadah dan amalam-amalan khusus di bulan Ramadhan, nilai pahala ibadah dalam bulan tersebut, dan sebagainya Dalam hal pengetahuan mengenai ibadah dan amalan khusus di bulan Ramadhan, Seluruh informan memiliki pengetahuan tersebut. Namun hanya 94
Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang, 5 Oktober 2007 Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang, 27 September 2007
95
70
beberapa informan yang dapat menyebutkannya secara lengkap: Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:”… Dalam bulan Ramadhan biasanya ibadah yang dikerjakan banyak orang adalah puasa, taraweh dan tadarus Al-qur’an, zikir, infak dan zakat fitah …”96 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Solihin, Denti dan Edi Sudewo, Mereka mengeluarkan pernyataan yang sama mengenai amalan dan ibadah yang khusus
dikerjakan
dalam
bulan
Ramadhan.
Namun,
hanya
susunan
pengucapannya yang berebeda. Sedangkan para informan lainnya, hanya dapat menyebutkannya dua sampai tiga amalan ibadah yang mereka ketahui dikerjakan dalam bulan Ramadhan. Dalam hal pengetahuan tentang nilai pahala istimewa dalam bulan Ramadhan, yakni pelipatgandaan hingga tujuh puluh kali setiap ibadah yang dilakukan, hanya dua orang, dari sepuluh informan yang mengetahuinya. Sedangkan yang lainnya tidak mengetahui, dengan alasan tidak belajar. Solihin dan Edi Sudewo misalnya, mereka menyatakan bahwa mereka tahu tentang hal tersebut, maka mereka berusaha melakukan segala ibadah dengan lebih khusyu lagi dalam bulan tersebut. Sedangkan, hal yang berbeda diungkapkan oleh Tasman, Tamiri, Wasem, Wsani, Siti Fatimah, dan Denti, mereka menyatakan tidak tahu sama sekali. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tasman:”…Saya ‘ngga tau sama sekali soal
96
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007
71
itu, baru sekarang tahu dari omongan ‘mba. Kalo’ tau dari dulu, saya bakal rajin salat di bulan ini….”97 Dalam hal pengetahuan tentang malam Lailatul Qadar, tiga dari sepuluh informan menyatakan tidak tahu tentang malam lailatul qadar. Sedangkan informan lainnya menyatakan tahu dan mampu memaparkannya dengan cukup baik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Denti”…Lailatul qadar artinya malam paling mulia, nilainya lebih dari seribu bulan. Biasanya datang pada malammalam ganjil. Seperti malam ke dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh dan dua puluh sembilan. Ya,…diantara itu,..”98 Hal senada juga diungkapkan oleh Wasni, Solihin, Lasmisi, Sumarno, Edi Sudewo dan Siti Fatimah, mereka mengungkapkan makna pernyataan yang sama. Sedangkan Wasem, Tasman, dan Tamiri menyatakan hal berbeda. Mereka menyatakan tidak memiliki pengetahuan tentang malam Lailatul Qadar, karena tidak pernah belajar. Dalam hal Pengetahuan zakat fitrah, seluruh informan menyatakan tahu dengan lengkap seputar ibadah amaliah tersebut. Seluruh informan mampu memberikan definisi dan mampu memaparkan secara lengkap berkenaan dengan ketentuan jumlah yang dikeluarkan, waktu pelaksnaanya, dan orang-orang yang berhak menerimanya.
97 98
Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman, Tangerang, 8 Oktober 2007 Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang, 5 Oktober 2007
72
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wasni:”...Zakat wajib yang di bayarkan sebelun Lebaran. Yaitu, beras sebanyak tiga liter setengah. Yang di berikan pada orang miskin, seperti kita…”99 Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan dalam tingkat pengetahuan keagamaan yang dimiliki para informan. Selain itu juga ditemukan perbedaan tingkat kecerdasan yang cukup signifikan dari para informan. Di mana perbedaan tersebut disebabkan karena latar belakang pendidikan yang berbeda pada tiap-tiap informan.
3. Tradisi Ritual Dalam Menyambut Kedatangan Bulan Ramadhan Adalah sesuatu kekeliruan bila menganggap bahwa antara agama dan budaya terus menyimpan benih hubungan antagonistic. Agama dan budaya memanag terlahir sebagai dua sisi yang berbeda, namun dalam kehidupan praktis keduanya selalu dituntut untuk saling bernegasi dan berdialektik. Di belahan dunia manapun agama dan budaya selalau diusahakan mempunyai hubungan yang bersifat kohesif. Dalam konteks ini, ketika suatu agama telah dipilih untuk menjadi keyakinan yang hidup dalam suatu masayarakat, maka proses dialektik dan asimilasi akan berperan penting dalam menentukan proses adaptasi agama tersebut. Lebih jelasnya, agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam menyesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya dan unsurunsur dari kebudayaan yang ada. Akumalasi dari proses tersebut akan memberikan corak lokal terhadap agama tersebut.
99
Wawancara Pribadi dengan ‘Mba Wasni, Tangerang, 3 Oktober 2007
73
Maka adalah suatu hal yanag mafhum bila perbedaan tempat telah melahirkan tata cara ritual dan moment keagamaan yang bersifat khas pada setiap umat. Ini merupakan konsekuensi logis dari agama yang menjadi bercorak lokal. Di Indonesia sendiri, Islam merupakan agama yang telah berhasil berdialektika dengan kebudayaan setempat. Banyak moment-moment keagamaan yang disambut atau diperingati dengan tata cara khas kelokalan yang sebenarnya ajaran Islam sendiri tidak pernah menganjurkan untuk diaplikasikan, yakni mengikuti tata cara tradisi atau kebudayaan setempat. Misalnya tardisi sekaten dan upacara “tabut” di Sumatra untuk memperingati Mawlid nabi. Serta tradisi munggah, nyadran atau nyekar dalam menyambut bulan Ramadhan. Berdasarakan studi literatur, “munggah” diartikan dalam bahasa sederhana sebagai suatu bentuk untuk mengawali atau memulai100. Dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Sunda munggah dianggap suatu hari yang sangat penting bagi masyarakat Muslim dalam menyambut kedatangan Ramadhan. Saat itu mereka akan berkumpul dengan keluarga atau masyarakat sekitar sambil menyantap hidangan bersama. Menurut K.H. Drs. Aminuddin Saleh, adanya budaya munggah merupakan salah satu cara ulama-ulama terdahulu dalam menyebarkan Islam di tengah-tengah masyarakat yang masih kuat tradisinya. Yakni tradisi kumpul-kumpul dalam rangka memperat persaudaran.101
100
Drs. Aminuddin Saleh, “Munggah Kerinduan Spritual”, Artikel diakses tanggal 8 Setember, 2007, dari Http://www .Google.com 101 Drs. Aminuddiin Saleh ,”Munggah Kerinduan Spritual”, Artikel diakses tanggal 8 ASeptember 2007, dari Htt://www.google.com
74
Berkenaan dengan persiapan menyambut kedatangan Ramadhan, para pemulung tidak melakukan persiapan-persiapan seperti kebanyakan masyarakat lainnya. Misalnya merenovasi rumah atau mempersiapkan sejumlah kegiatan rohani. Sebagian informan hanya terlibat kegiatan tata cara tradisi keagamaan dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Seperti pulang ke kampung halaman untuk munggah, nyekar atau nyadran ke makam-makam keluarga, atau hanya sekedar keramas yang dilakukan satu hari sebelum Ramadhan, sebagai tanda pensucian diri. Sebagaimana yang diungkap oleh Edi Sudewo: ”…Biasanya orang-orang di sekitar sini menyambut datangnya Ramadahan dengan memperbaiki rumah mereka. Saya di sini tidak melakukan apa-apa dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Biasanya saya dan istri setiap seminggu sebelum bulan Ramadhan pulang kampung ke Banyumas. Sudah menjadi kebiasaan setiap tahunnya dalam menyambut Ramadhan seluruh keluarga besar berkumpul di rumah kerabat tertua. Untuk silaturahmi, bermaaf-maafan untuk melebur dosa nyambut bulan suci. Dan yang terpenting adalah melakukan nyadran ke makam-makam leluhur untuk mendoakanya memohon supaya diampunkan dosanya”.102 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Solihin, ia menyatakan bahwa jika ada rezeki ia menyambut kedatangan Ramadhan dengan acara munggahan bersama keluarga besarnya di kampung halaman. Sebagaimana yang diungkap olehnya: ”...Saya di sini ‘ngga ada persiapan apa-apa. Tapi, karena kemaren ada rezeki, lima hari sebelum bulan Ramadhan saya pulang kampung ke Tasikmalaya untuk munggahan nyambut Ramadhan. Biasanya orangorang di kampung saya nyambut Ramadhan dengan acara munggah bersama keluarga besar. Adik, kakak, paman dan keponakan saya yang tinggal di kota juga pulang ke kampung untuk munggahan bersama. Munggahan biasanya diadakan dua hari sebelum Ramadhan di rumah orang tertua. Untuk silaturahmi dan menikmati makan bersama. Setelah itu
102
Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang, 29 September 2007
75
biasanya kita semua pergi ke makam kelurga untuk nyekar, bebersih, dan mengirimkan doa”.103 Lain halnya dengan Wasni, ia menuturkan bahwa jika Ramadhan akan tiba ia hanya mempersiapkan kesucian dirinya. Dengan mandi besar pada satu hari sebelum kedatangan Ramadhan. Hal tersebut ia lakukan setiap tahunnya Sebagaimana yang diungkap olehnya:”…Biasanya saya cuma mandi besar, keramas di satu hari sebelum Ramadhan untuk pensucian diri menyambut Ramadhan. Saya selalu melakukanya tiap tahun, baik di kampung maupun di sini. Karena itu ajaran dari orang tua dan katanya adalah sudah jadi suatu keharusan”.104 Sementara informan lainnya tidak melakukan persiapan khusus dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan. Meskipun mengakui keistimewaan bulan tersebut, namun mereka tetap bertindak seperti dalam bulan-bulan biasanya. Melihat dari pernyataan Edi Sudewo, Solihin dan Wasni, dapat dikatakan bahwa mereka memiliki ketaatan yang kuat terhadap tradisi keagamaan. Dalam konteks ini, mereka berkeinginn kuat dan terus berupaya untuk dapat menjalani tradisi keagamaan, khususnya tradisi dalam menyambut kedatangan bulan Ramadhan 3. Ritual Ibadah dan Amalan Keagamaan Komunitas Pemulung di Bulan Ramadhan. Agama merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi, dan
103 104
Wawancara Pribadi dengan Bapak Solihin, Tangerang 27 September 2007 Wawancara Pribadi dengan’Mba Wasni, Tangerang,3 Oktoberr2007
76
diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadah) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan sosial yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat.105 Ritual ibadah merupakan media terbaik bagi pengejawantahan sikap keshalehan. Shaleh atau tidaknya seseorang dapat dilihat dari seberapa taatnya ia menjalankan ritual ibadah yang ada dalam agama tersebut. Standar evaluatif tersebut yang menentukan setiap orang berhak mendapat predikat shaleh atau tidak. Terlepas dari penilain tersebut, pembahasan ini akan menguraikan intensitas ibadah ritual komunitas masyarakat marginal. dalam bulan Ramadhan. . Dan agar lebih efisien dihantarkan model penulisan yang terlebih dahulu mendeskripsikan mengenai ibadah ritual yang dijalankan para informan dalam bulan Ramadhan. Kemudian, mendeskripsikan pengaruh Ramadhan terhadap intensitas ibadah para informan dalam bulan sesudahnya atau lainnya. Dalam setiap hati umat Muslim, Ramadhan menduduki peringat bulan teristimewa. Dikatakan istimewa karena, Ramadhan merupakan moment keagamaan yang di dalamnya mengandung ibadah khas bagi umat muslim. Seperti puasa dan taraweh yanag merupakan ibadah khas, yang diperintahkan dalam bulan tersebut. Status sosial bukanlah pilihaan manusia. Jika seandainya status sosial menjadi hak paten manusia, maka high status akan menjadi pilihan utama. Setiap manusia lebih suka menjadi orang berkecukupan supaya lebih akomodatif dan
105
Roland Robertson, ed, Agama Dalam Interpretasi sosiologis, h.VII
77
fasilitatif dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk memenuhi perintah agama. Dalam hal ini banyak perintah agama yang menuntut kondisi fasilitatif dan akomodatif seperti puasa, sedekah dan zakat. Bagi masyarakat marginal, problem ekonomi seringkali berimplikasi pada pengabaian perintah agama. Meskipun telah terbiasa dengan kondisi lapar, namun secara praktis hanya sebagian kecil yang melaksanakan ibadah puasa secara penuh dalam bulan Ramadhan. Berdasarkan wawancara dan observasi, hanya lima orang informan yang masih menjalankan ibadah puasa sampai saat penelitian ini berlangsung. Sedangkan para informan lainnya hanya berpuasa beberapa hari di awal bulan Ramadhan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Siti Fatimah:”…Alhamdulillah, sampai saat ini saya masih berpuasa dan belum bolong satu hari pun.106 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Edi sudewo, Sumarno, Denti, dan Solihin, mereka menyatakan bahwa dari awal Ramadhan sampai saat penelitian berlangsung mereka masih menjalankan ibadah puasa. Sedangkan, para informan lainnya mengungkapkan hal berbeda. Mereka hanya menjalankan ibadah puasa di hari-hari awal bulan Ramadhan. Kondisi yang tidak fasilitatif dan akomodatif serta tantangan kerja yanag berat menyebabakan mereka menangguhkan bahkan mengabaikan ibadah wajib, Misalnya seperti puasa ini, karena kurangnya asupan kalori yang di konsumsi serta jauhnya jarak yang mereka tempuh dalam bekerja menghantarkan mereka
106
Wawancara Pribadi dengan Siti Fatimah, Tangerang,2 Oktober 2007
78
pada kondisi dilematis, dimana mereka dihadakan pada pilihan ibadah atu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun sebagian besar dari mereka lebih memilih menanggalkan ibadah puasa demi kenyamanan bekerja. Sebagaimana yang diungkapkan Tamiri: ”…Sudah hampir delapan hari saya ‘ngga puasa. Tapi, hari-hari pertama saya puasa. Terus ke sininya ‘ngga lagi. Saya ‘ngga kuat. Gimana mau puasa, sahur aja cuma makan pake’ ikan asin, terus siangnya harus keliling cari barang-barang di daerah BSD atau ke Pondok Indah. Ya… kalo’ begitu saya ngga kuat.” 107 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Wasem, ia menyatakan sudah sepuluh hari tidak menjalankan ibadah puasa. Ia mengaku tidak kuat bila bekerja dalam keadaan menjalankan ibadah puasa. Maka ia lebih memilih menangguhkan ibadah puasanya, demi aktivitas kerjanya supaya dapat memenuhi kebutuhan dalam bulan tersebut.108 Selanjutnya yang juga merupakan ibadah jasmani, ruhaniah dan amaliah yang khas dalam dalam bulan Ramadhan dalah taraweh, tadarus Al-quran, infak dan zakat fitrah. Dalam pelaksanaan salat taraweh dan tadarus Al-qu’ran hanya tiga orang informan yang melakukannya secara rutin, sedangkan yang lainnya jarang melakukannya. Bahkan ada beberapa informan yang tidak melakukannya sama sekali. Solihin dan Edi Sudewo misalnya, mereka mengatakan meskipun taraweh dan tadarus adalah ibadah yang hukumnya sunat, tapi sedapat mungkin mereka berusaha melaksanakannya seperti ibadah wajib. 107 108
Wawancara pribdi dengan Bapak Tasman, Tangerang, 25 September 2007 Wawancara pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang, 30 September 2007
79
Hal senada juga diungkapkan oleh Siti Fatimah:“…Walaupun terasa cape’ banget setelah buka puasa, tapi tiap malamnya saya selalu usahakan buat ngerjain teraweh walaupun cuma 11 raka’at. Untuk tadarus Al-quran juga begitu, biasanya saya kerjain saat nunggu masuk waktu subuh.”109 Sedangkan Denti, Lasmidi dan Wasni mengungkapkan hal berbeda. Mereka menyatakan bahwa dalam hal pelaksanaan salat taraweh dan tadarus mereka melakukanya, namun intensitasnya relatif rendah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wasni:”…Biasanya kalo’ lagi ‘ngga cape’ banget, jarang-jarang saya masih juga melakukan salat teraweh. Itu juga harus tahan kuping, denger hinaan dari orang-orang sekitar sini. Kalo’kita ikut terweh sama-sama di masjid orang-orang sekitar sini ‘ngga mau dekat-dekat kita. Katanya bau sampah, kayanya jiji banget….”110 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Denti:”…Iya,…kadang-kadang saya salat taraweh, kalo’ lagi ‘ngga cape dan ‘ngga ada PR dari sekolah. Kalo’ tadarus Al-Qur’an setiap hari di sekolah setiap sebelum pelajaran pertama. Tapi kalo’ di rumah jarang.”111 Sementara, Wasem, Tasman , dan Tamiri mengungkapkan bahwa mereka tidak melakukan salat Taraweh dan Tadarus Al-quran sama sekali, karena mereka mengaku tidak dapat membaca Al-quran dan kurang hapal bacaan dalam salat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Tamiri:”…Bagaimana mau tadarus Alqur’an, lah wong…hafal huruf Arab juga’ngga, gimana mau bacanya. Begitu juga
109
Wawancara Pribadi dengan ibu Siti Fatimah, Tangerang, 2007 Wawancara Pibadi dengan ‘Mba Wasni, Tangerang,3 Oktober 2007 111 Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang, 5 Otober2007 110
80
teraweh, .bacaan salat juga saya ‘ngga hafal banget. Jadi juga sama’ngga saya kerjain…”112 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan Wasem:”…Kalo’ tahun kemaren jarang-jarang masih dikerjain. Tapi sekarang ‘ngga. Males…, habisnya orang-orang sini kalo’ shalat ‘ngga mau deket-deket kita. Jiji banget kayanya. Kalo’ baca qur’an ‘ngga, ibu ‘ngga bisa ngaji….” 113 Ibadah salat lima waktu merupakan perintah mutlak dari Tuhan. Dalam konteks ini, salat merupakan ibadah yang tidak dapat ditawar kewajiban hukumnya bagi siapa pun dan dalam kondisi apa pun. Maka, tiap Muslim dituntut untuk selalu taat dan tertib dalam pelaksnaanya. Ketersediaan akan adanya tata cara qadha, jamak, dan qasar merupakan implikasi dari betapa urgennya pelaksanaan ibadah kontemplasi tersebut. Solihin adalah pemulung yang berasal dari Tasikmalaya. Menurut Penulis berdasarkan wawancara mendalam dan observasi yang dilakukan terhadap Solihin. Ia adalah orang yang sangat taat melaksanakan salat lima waktu. Ini terlihat dari kebiasaannya yang selalu membawa baju koko dalam bekerja untuk dipakainya dalam melaksanakan salat wajib di siang hari. Hal tersebut yang membuat ia berbeda dibanding informan yang lain, disebabkan karena ia pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren, yang dalam lingkungannya selalu menerapkan tertib pada pelaksanaan salat lima waktu. Sebagaimana yang diungkapkannya: “…Kalo’ masalah salat lima waktu, Alhamdulillah ‘ngga pernah saya tinggalkan, baik di bulan Ramadhan dan bulan lainnya. Yang berbeda 112 113
Wawancara Pribadi dengan Bapak Tamiri, Tangerang, 28 September 2007 Wawanacra Pribadai dengan Ibu Wasem, Tangerang,30 September 2007
81
mungkin kekhusuyu’annya, dalam bulan Ramadhan sengaja saya lebih melamakan waktu salat saya dari biasanya, supaya lebih khusyu”.114 Hal tersebut juga diungkapkan oleh Edi Sudewo dan Siti Fatimah. Mereka menyatakan bahwa selalu melakukan salat lima waktu secara rutin baik dalam bulan Ramadhan maupun bulan lainnya Sedangkan Lasmidi, Denti, Sumarno dan Wasni dalam hal salat lima waktu mereka mengungkapkan untuk berusaha meningkatkan intensitas pelaksanaannya di bulan Ramadhan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sumarno:”…Setiap hari-harinya bapak salat, tapi bolong-bolong. Kalo’ dalam bulan Ramadhan sih, bapak ngerjainnya lima waktu. Soalnya bulan Ramadhan itu bulan ibadah, jadi bapak juga ‘ngga mau ketinggalan, walaupun cuma bisa ngerjain salat lima waktu….”115 Sementara Wasem, Tasman, dan Tamiri mengungkapkan hal yang berbeda. Dalam hal salat, mereka menyatakan sama dengan bulan biasanya. Mereka melakukan salat lima waktu, namun tidak melakukannya secara penuh. Hal tersebut diungkapkan oleh Tasman:”… Soal salat ‘ngga ada perbedaan, sama seperti hari-hari biasa. Tetap bolong-bolong, kadang salat kadang ‘ngga. Dalam bulan biasanya cuma ngerjain dua waktu, atau kadang ‘ngga sama sekali. Tapi dalam bulan Ramadhan saya ngerjain tiga sampai empat waktu…”116 Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan penulis, dapat dikatakan bahwa dalam bulan Ramadhan seluruh informan melakukan salat lima waktu, namun ada perbedaan intensitas pelaksnaannya dalam bulan Ramadhan. 114
Wawancara Pribadi dengan Bang Solihin, Tangerang,27 September 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumarno, Tangerang, 7 Oktober2007 116 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tasman, Tangerang, 8 Oktober 2007 115
82
Ramadhan telah membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi pelaksanaan salat lima waktu seluruh informan, dimana dalam bulan tersebut mereka melakukan peningkatan intensitas ibadah salat lima waktu. Ramadhan merupakan bulan penuh karunia dan rahamat, dimana pahala dan segala amal kebaikan dilipatgandakan sampai 70 kali lipat dari bulan lainnya. Bahkan ibadah sunat yang dikerjakan dalam bulan ini dibalas dengan pahala ibadah fardu dan dilipatgandakan sampai 70 kali lipat.117 Bagi komunitas pemulung ibadah sunat kurang memiliki tempat dalam kedudukan pelaksanaan ibadah ritual mereka. Maka dalam kehidupan sehari-hari pelaksanaannya cenderung diabaikan. Namun dalam bulan Ramadhan, ada beberapa informan yang melaksanakannya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin:”…Dalam bulan Ramadhan terkadang saya melakukan salat sunat tahajud, tapi ‘ngga setiap malam. Kalo’ lagi ‘ngga cape dan kebetulan terbangun tengah malam…” Hal senada juga diungkapkan oleh Edi Sudewo dan Siti Fatimah. Mereka menyatakan bahwa dalam bulan Ramadhan melaksanakan ibadah sunat, namun tidak dilakukun secara rutin. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Siti Fatimah:”…Kadang kalo’ waktu sahur masih panjang saya ngerjain tahajud sambil nuggu waktu subuh juga, tapi ‘ngga setiap malam. Pokoknya dalam bulan ini saya berusaha perbanyak ibadah….”118
117 118
Drs. Dedi Junaedi, Pedoman Puasa, h. 104 Wawanacara Pribadi dengan Ibu Siti Fatimah,Tangerang, 2 Oktober 2007
83
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Edi Sudewo:”… Dalam bulan Ramadhan salat ba’diyah dan qabliyah sering saya kerjakan, tahajud juga.Tapi kalo’ salat dhuha ‘ngga…”119 Sedangkan informan lainnya menyatakan tidak melakukan ibadah sunat, karena tidak ada waktu dan tidak tahu bacaan-bacaan salat sunat. Sebagaimana yang diungkapan oleh Lasmidi:”…’Ngga pernah, kalo’lagi waktunya dhuha saya keliling cari barang, ‘ngga sempat.Gimana mau ngerjain…”120 Hal yang sama juga diungkapkan oleh: Tamiri:”…Salat wajib aja kadang ngerjain kadang ‘ngga, bolong-bolong. Itu juga bacaannya kurang tau. Apa lagi salat sunat, ‘ngga pernah…”121 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Wasem:”…Kalo’ saya tahu pasti saya kerjain. Salat sunat macam-macamnya apa saja kurang tau, apalagi bacaan-bacaanya. Jadi ngga pernah saya kerjakan…”122 Selanjutnya yang merupakan ibadah khas bulan Ramadhan adalah zakat fitrah. Zakat fitrah merupakan ibadah amaliah yang wajib dikeluarkan oleh tiap muslim menjelang hari raya Idul Fitri. Meskipun
tergolong
sebagai
massa
miskin,
namun
dalam
hal
mengeluarkan zakat fitrah para informan tidak mengabaikan kewajiban ibadah amaliah tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:”…Biar pun saya susah, tapi kalo’ soal zakat fitrah sih saya ‘ngga pernah melewatinya setiap tahun.
119
Wwanacaar Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang,29 September 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007 121 Wawancara pribadi dengan Bapak Tamiri, Tangerang, 28 September 2007 122 Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang, 30 September2007 120
84
Zakat fitrah itu sedekah yang wajib di bulan Ramadhan. Jadi mesti diusahain bagaimana cara untuk bisa membayarnya…”123 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Wasni:”…Zakat fitrah itu ‘kan hukumnya wajib, bagi orang mampu ataupun ‘ngga. Jadi kalo’ zakat fitrah saya selalu membayarnya setiap tahun…”124 Sedangkan Sumarno, Wasem, Tasman, Denti, dan Tamiri menyatakin bahwa dalam hal mengeluarkan zakat fitrah mereka tidak rutin mengeluarkannya tiap tahun. Mereka mengeluarkannya jika ada rezeki yang cukup. Namun, jika tidak ada, maka mereka tidak menunaikan ibadah amaliah tersebut Selain zakat fitrah, sadadoh dan infak merupakan ibadah amaliah yang juga lazim di keluarkan masyarakat dalam bulan Ramadhan. Dalam hal tersebut, seluruh informan menyatakan bahwa mreka mengeluarkannya, walaupun tak besar nilainya. Sebagaimana yanag diungkapkan olehWasem:”…Soal bersedekah sih saya sering melakukannya. Bukan cuma di bulan Ramadhan, tapi juga di harihari biasa. Tapi, ya ..’ngga gede seperti orang lain…”125 Hal senada juga diungkapkan oleh Sumarno:”… Kata orang-orang bulan puasa itu harus banyak sedekah. Maka itu walaupun cuma sedikit, tapi bapak ngelaksanainnya. Ya, lima ratus perak mah bapak suka ngasih pengemis di jalan…”126
123
Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober2007 Wawancara pribadidengan ‘Mba Wasnii, Tangerang,3 Oktober, 2007 125 Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang,30 September 2007 126 Wawancara Pribadi dengan Bapak Sumarno, Tangerang, 7 Oktober 2007 124
85
Dari pernyatan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun kondisi kekurangan sangat lekat dengan kehidupan mereka, namun dalam pelaksanaan ibadah amaliah mereka tak mengabaikannya. 4. Pengalaman Keagamaan Berkenaan dengan Ramadhan Atau Yang Terjadi Saat Ramadhan Menguraikan aspek pengalaman keagamaan merupakan hal yang sangat pelik. Betapa tidak, karena aspek tersebut langsung berkaitan dengan Sang Maha Trasenden dan bersifat subjektif. Tetapi, rasanya kurang lengkap bila membahas mengenai komitmen keagamaan namun mengabaikannya. Karena baik secara langsung maupun tidak aspek tersebut memberikan sumbangsih bagi terciptanya komitmen keagamaan seseorang. Dimensi pengalaman keagamaan berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (Kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu keadaan kontak dengan perantara supernatural). Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dengan suatu esensi ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan terakhir dengan otoritas Trasendental.127
127
Roland Robertson, Agama Dalam Interpretasi Sosiologis, h. 296
86
Berpijak dari acuan teori tersebut, peneliti mencoba menguraikan pengalaman keagamaan para informan yang berkaitan ataupun yang terjadi saat Ramadhan. Namun, Dalam hal ini lebih mengutamakan pengalaman keagamaan yang berkenaan dengan Lailatul Qadar. Yang memang dijanjikan kepastian datangnya dan dianjurkan untuk mendapatkannya. Berdasarkan wawancara, seluruh informan menyatakan tidak pernah merasakan pengalaman mendapatkan Lailatul Qadar, namun ada beberapa informan yang menyatakan pernah mendapatkan pengalaman keagamaan yang terjadi dalam Ramadhan. Dan para informan tersebut menyatakan bahwa pengalaman keagamaan tersebut membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap keyakinan dan ketaatan terhadap agamnya. Siti Fatimah adalah pemulung wanita yang berasal dari Lampung. Ia datang ke Jakarta pada Februari 2005 dengan tujuan untuk memperbaiki hidup. Dan keprofesian pemulung baru ia jalani selama 8 bulan. Ketiaka ditanyakan tentang pengalaman keagamaan yang berkenaan dengan malam Lailatul Qadar, ia menyatakan tidak pernah mendapatkannya. Namun, ia pernah menyatakan pernah mendapatkan suatu pengalaman hidup dan pengalaman tersebut membawa pengaruh yang positif bagi keberagamaanya. Sebagaimana yang diungkapkannya: ”…Mendapatkan Lailatul Qadar sih ‘ngga pernah, tapi kalo’ pengalaman yang lainnya pernah. Ketika itu hidup saya masih kecukupan, punya usaha warung kelontong. Warung saya saat itu lagi maju-majunya, karena sibuk ngurusin warung, saya jarang ngerjaian salat lima waktu dan’ngga pernah ikut pengajian. Pada malam tiga hari sebelum lebaran rumah dan warung saya kebakaran, habis semua ‘ngga ada sisanya. Sejak kejadian itu, awalnya saya hampir mirip orang kurang waras. Tapi, setelah habis lebaran saya merasakan hal yang beda, hati saya kaya kebuka dan sadar.
87
Dan sejak saat itu saya kembali untuk rajin salat lagi, walaupun suka diulur-ulur waktunya”.128 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lasmidi dan Solihin. Mereka menyatakan pernah mendapatkan pengalaman religius dalam bulan Ramadhan dan mengakui bahwa pengalaman tersebut membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap ketaatan dan kekhusyuan dalam beribadah. Namun mereka kurang dapat memaparkannya dengan baik secara verbal. 5. Hubungan Sosial Komunitas Pemulung Dalam Bulan Ramadhan Ramadhan tak hanya mampu menstimulasi setiap individu untuk mempererat tali hubungannya dengan Sang Maha Trasenden, namun Ramadhan juga mampu menstimulasi setiap individu untuk memperbaharui, dan mempererat tali hubungan sosialnya. Ini merupakan sutu bentuk aktualisasi dari amalan kebajikan yang sangat dianjurkan bulan Ramadhan, yakni menebar kasih sayang (simpati) terhadap sesama. Maka dalam bulan tersebut tercipta suatu realitas hubungan sosial yang harmonis. Pada bulan tersebut setiap individu rela melepaskan kesibukannya sejenak untuk memberikan waktu mempererat interaksi sosialnya. Areal-areal pemukiman yang biasanya lengang dari kebersamaan penduduknya dan aktivitas sosial, spontan menjadi riuh dengan kebersamaan penduduknya yang larut dalam aktivitas sosial maupun keagamaan. Maka sudah menjadi tradisi setiap tahunnya bila banyak kegiatan yang melibatkan kebersamaan direncanakan hanya untuk memperat tali hubungan sosial antar komunitas, atau bahkan aktivitas sosial yang bertujuan untuk meningkatkan tali simpati terhadap kaum dhaufa. 128
Wawancara Pribadi dengan Ibu Siti Fatimah, Tangerang 2 Oktober,2007
88
Kondisi tersebut pun relevan dalam kehidupan komunitas pemulung. Ramadhan telah banyak menciptakan kondisi meningkatnya keakraban dan suasana kebersamaan dalam komunitas mereka. Seluruh informan menyatakan bahwa dalam bulan Ramadhan interaksi antar pemulung meningkat. Ini terlihat dari adanya perbedaan tingkat intensitas kebersamaan mereka dalam bulan Ramadhan dengan bulan lainnya. Dalam bulan Ramadhan secara spontan para pemulung banyak menyempatkan diri untuk berkumpul bersama, meskipun hanya untuk sekedar bersendau gurau menunggu tibanya adzan magrib, atau melepas lelah setelah berbuka puasa. Seperti yang diungkapkan oleh Wasem: ”...Ya, beda. Kalo’ bulan puasa itu justru lebih banyak waktu ngumpulngumpulnya sama orang-orang di sini. Siang hari biasanya ibu-ibu itu ngumpul-ngumpul sambil beresin barang-barang hasil mulung. Dan sore itu lebih rame lagi, dari bapak-bapak, ibu-ibu, sampai anak kecil pada ngombrol dan nugmpul bareng sambil waktu nunggu buka. Dan malamnya juga begitu lagi, bahkan sampe tengah malam. Dan begitu juga waktu habis sahur. Pokoknya beda ‘ngga seperti-seperti hari biasanya”.129
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Edi Sudewo:”…Kalo’bulan puasa, pemulung-pemulung di sini lebih banyak waktu ngobrol bareng-barengnya. Biasanya sore, sambil nunggu waktu berbuka. Dan malam sampe waktu sahur. Ya, karena sering ngumpul jadi rasanya kalo’ bulan puasa itu hubunganya lebih akrab. Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Denti:”…Beda banget. Bulan puasa itu lebih rame, apalagi kalo’ sore dan malam. Dari yang tua sampe anak-anak kecil pada ngumpul, bercanda, ngobrol. Pokoknya akrab banget. ‘Ngga kaya hari biasa yang kalo’ udah malem sepi banget…”130 129
Wawancara Pribadi dengan Ibu Wasem, Tangerang, 30 Septamber 2007 Wawancara Pribadi dengan Denti, Tangerang,5 Oktober 20007
130
89
Hal tersebut juga diungkapkan oleh Tasman, Tamiri, Wasni, Lasmidi, Solihin, dan Sumarno. Mereka menyatakan makna pernyataan yang sama mengenai hubungan dan interaksi sosial mereka dalam bulan Ramadhan. C. Keberagamaan Komunitas Pemulung Setelah Ramadhan Keistimewaan yang dimiliki Ramadhan telah mampu menstimulasi bangkitnya naluri keagamaan untuk bertindak taat. Tiap jiwa spritual membuncah berlomba untuk sampai pada kondisi larut dalam keshalehan. Setiap individu seolah-olah berlomba-lomba meningkatkan intensitas dan kekhusyuannya dalam ibadah wajib dan sunat. Itulah sekelumit gambaran mengenai kondisi keberagamaan masyarakat dalam bulan Ramadhan. Ramadhan seolah-olah mempunyai daya magis yang mampu menggerakan setiap nalauri ke arah untuk taat. Namun, apakah ketaatan yang telah diciptakan Ramadhan akan mampu bertahan dalam bulan lainnya, dalam konteks ini, apakah Ramadhan membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi keberagamaan masyarakat dalam bulan setelahnya. Dalam pembahasan ini akan menguraikan keberagamaan komunitas pemulung setelah bulan Ramdhan, khususnya pelaksanaan ritual ibadah wajib. Ritual salat merupakan salah satu jenis ibadah kontemplasi yang paling dihargai kedudukannaya. Maka, seringkali intensitas pelaksanaannya di jadikan stanadar evaluatif dalam mengukur ketaatan beragama seseorang. Untuk mengetahui keberagamaaan komunitas pemulung setelaah Ramadhan, peneliti menjadikan ritual shalat sebagai acauan dalam menguraikan pembahasan ini.
90
Berdasarkan wawancara mendalam, dalam hal ini peneliti menemukan jawaban yang cukup variatif. Untuk lebih jelasnya, peneliti akan memaparkan hasil wawancara tersebut dalam uraian di bawah ini: Edi Sudewo adalah pemulung yang berasal dari Banyumas. Ia tumbuh dan besar di Banyumas, hidup dalam lingkungan yang cukup agamis dan selama tiga tahun pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Dalam hal shalat merupakan ibadah yanag sudah rutin dijalaninya sejak dahulu. Ketika ditanyakan mengenai kondisi kebergamaannya setelah Ramadhan, ia menyatakan bahwa Ramadhan mempengaruhi semangat keberagamaannya di bulan lainnya, namun hanya bertahan dalam waktu yang relatif singkat. Dan setelah itu, ia kembali kepada kebisaannya. Sebagaimana yang diungkapkannya:”…Dalam Ramadhan biasanya saya berusaha memperbanyak ibadah, termasuk tadarus dan salat sunat. Biasanya kalo’ menjelang lebaran hati rasanya sedih dan dalam hati berniat setelah lebaran nanti mau tetap rajin ibadah kaya di bulan ini. Tapi niat itu cuma bisa dilaksanain selama masih dalam suasana Lebaran. Setelah itu kembali lagi kaya biasanya, ’kalo shalat cuma yang wajib. Ba’diyah , qobliyah, apalagi tahajud ‘ngga dikerjain lagi.”131 Hal tersebut juga diungkapkan oleh Solihin, dan Siti Fatimah. Mereka menyatakan bahwa Ramadhan membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap pelaksanaan ritual ibadah mereka. Namun, tidak bertahan lama. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Solihin:”…Ada, saat masih dalam keadaan lebaran. masih ngerjain salat sunat dan baca Al-qur’an. Seperti masih terbawa
131
Wawancara Pribadi dengan Bapak Edi Sudewo, Tangerang 29 September2007
91
suasana Ramadhan. Tapi, setelah itu kembali lagi seperti biasa. Kalo’ salat lima waktu ‘ngga ketinggalan, tapi salat sunat dan baca al-quran’ngga saya kerjain lagi…”132 Sedangakan, para informan lainnya menyatakan bahwa Ramadhan tidak membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi keberagamaan mereka di bulan sesudahnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Lasmidi:”… Dalam hati sih selalu ada niat untuk rajin salat ‘ngga cuma di bulan Ramadhan, tapi juga dalam hari-hari biasa. Tapi cuma niat dong, kalo’ sudah Ramadhan, saya kembali seperti biasanya, kembali bolong-bolong lagi salatnya…”133 Hal senada juga diungkapkan oleh Wasni:”…Waktu bulan puasa rajin ngelaksanain shalat, dan suka timbul niat mau berubah. Tapi kalo’setelah itu tetap aja males, ngerjain salat. Bahkan kadang-kadang ‘ngga sama dalam bulan puasa..”134 Hal yang tidak berbeda juga diungkapkan oleh Tamiri:”… Saya salat waktu Ramadhan aja. Setelah itu sih, jarang-jarang, bahkan ‘ngga sama sekali…”135 Dari pernyataan-pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa Ramadhan telah mampu membangkitkan sensitifitas keagamaan mereka, untuk bertindak taat dalam bulan tersebut. Namun, Ramadhan hanya membawa pengaruh yang cukup signifikan bagi naluri keberagamaan mereka, namun tidak pada sikap tertib dan taat pada pelakasanaan ibadah di bulan sesudahnya.
132
Wawancara Pribadi dengan Solihin, Tangerang 27 September 2007 Wawancara Pribadi dengan Bapak Lasmidi, Tangerang, 1 Oktober 2007 134 Wawancaar Pribadi dengan Wasni, Tangerang, 3Oktober 2007 135 Wawancara Pribadi dengan Bapak Tamiri, Tangerang, 28 September 2007 133
92
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah diuraikan secara mendalam dalam bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Ramadhan tidak mempunyai pengaruh yang cukup signifikan bagi aktivitas dan semangat kerja komunitas pemulung. Dalam konteks ini, Ramadhan tidak menyurutkan kegairahan aktivitas kerja mereka. Justru kehadiran Ramadhan dengan segala kebutuhan khususnya telah mendorong dan memaksa mereka untuk semakin giat bekerja. Maka sebagian informan menambahkan waktu bekerja mereka di malam hari, supaya dapat memenuhi kebutuhan di hari raya Idul Fitri. Dalam hal pembahasan mengenai makna Ramadhan bagi komunitas pemulung, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa pemaknaan terhadap Ramadhan yang diberikan komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW03 kelurahan Kedaung adalah pemaknaan yang bersifat kondisional. Dimana kondisi berkah rezeki dan pangan yang mereka alami dalam bulan tersebut dijadikan landasan dalam memberikan makna berkah terhadap bulan Ramadhan. Sedangkan, berdasarkan hasil penelitian mengenai pengetahuan dan pemahaman berkenaan dengan ibadah dan amalan khas, serta kistimewaan bulan Ramadhan, maka penulis menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat signifikan antar informan penelitian. Yang disebabkan karena adanya perbedaan latar belakang pendidikan pada tiap informan.
93
Berkenaan dengan hasil penelitian mengenai pelaksanaan ibadah ritual komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan, peneliti menemukan perbedaan yang cukup signifikan dalam pelaksanaan Ramadhan.
Dimana
komunitas
ritual ibadah salat wajib di bulan
pemulung
tersebut
berupaya
melakukan
peningkatan intensitas pelaksanaan ritual ibadahnya dalam bulan Ramadhan. Selain itu juga, ditemukan perbedaan ketaatan yang cukup signifikan dalam pelaksanaan ritual ibadah khas Ramadhan. Tak ada dari satu orang informan yang secara total meninggalkannya, mereka semua melaksnakannya. Namun hanya intensitas pelaksanaannya saja yang berbeda. Maka dari hasil penelitian tersebut dapat peneliti simpulkan bahwa komunitas pemulung di Jl. Bulak Wangi II RT 08 RW 03 kelurahan Kedaung memiliki responsi sikap keagamaan yang cukup baik dalam menyikapi pelakasanaan ritual ibadah di bulan Ramadhan. Terlepas dari penilaian layak atau tidaknaya komunitas pemulung di wilayah tersebut dimasukan dalam kategori masyarakat shaleh atau tidak, pada pembahasan selanjutnaya peneliti mencoba menguraikan hasil penelitian keberagamaan pemulung setelah bulan Ramadhan. Maka penulias dapat menyimpulkan bahwa adanya perbedaan yang cukup signifikan dalam hal keberagamaan pemulung dalam bulan Ramadhan dengan bulan sesudahnya. Ini terlihat dari adanya perbedaan intensitas pelaksanaan ibadah wajib yang dikerjakan komunitas pemulung dalam bulan Ramadhan dengan bulan sesudahnya. Tingkat intensitas pelakasanaan ibadah yang dilakukan dalam bulan sesudah Ramadhan relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pelaksanaanya selama Ramadhan. Bahkan banyak diantara mereka yang cenderung mengabaikan
94
pelaksanaan ibadah salat wajib dalam bulan biasanya. Dalam artian mereka hanya bertindak taat dalam melaksanakan ritual ibadah wajib dalam bulan Ramadhan saja. Berdasarkana hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan, bahwa Ramadhan telah mampu membangkitkan sensitifitas keagamaan komunitas pemulung, yang berpuncak pada sikap taat dan tertib ibadah dalam bulan tersebut. Namun, ketika Ramadahn berakhir, pengaruh signifikan tersebut hanya tinggal melekat pada naluri keberagamaan mereka, tetapi tidak pada sikap taat dan tertib pada pelaksanaan ibadah wajib di bulan sesudahnya.
B. Saran-saran Dalam akhir tulisan ini, ada beberapa hal yang penulis sampaikan kepada pihak-pihak tertentu, antara lain adalah sebagai berikut: 1. Kepada lembaga kewargaan setempat, yakni RT dan RW, ada baiknya untuk tidak melakukan pembedaan dalam hal sosial dan partisipasi politik Dan juga mengupayakan pembauran warga sekitar guna menghilangkan sikap hipokrit yang diterima komunitas pemulung di wilayah tersebut. 2. Kepada para ulama setempat, supaya mau memberikan pembelajaran keagamaan kepada komunitas pemulung di wilayah tersebut agar memudahkan pemulung untuk mendapatkan pengetahuan agama yang selama ini tidak pernah mereka ketahui.
95
3. Bagi
para
komunitas
pemulung,
supaya
rajin
belajar
menimba
pengetahuan agama agar dapat mengetahui serta memahami ajaran, dan perintah agama. Sehingga diharapkan dapat taat dalam menjalankan segala bentuk ajaran dan perintah agama .