BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi ini banyak budaya dari luar masuk ke Indonesia
dimana sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi di Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi mempengaruhi pula perkembangan kejahatan yang semakin bervariasi dan meningkat jenisnya, khususnya kejahatan narkotika. Di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika di definisikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU No. 35 Tahun 2009.1 Mengkonsumsi narkoba dapat menyebabkan kinerja otak tidak maksimal bagi para penggunanya. Sehingga dapat menimbulkan tindak kriminal. Melihat fenomena tersebut pemerintah melakukan banyak upaya preventif dan represif untuk menanggulangi kejahatan narkotika tersebut. Langkah preventif yang sering dilakukan oleh pemerintah ialah memberikan penyuluhan tentang bahaya dari narkotika dan sosialisasi pendidikan karakter, sedangkan langkah represif yang dilakukan oleh pemerintah ialah dengan memberikan sanksi atau merehabilitasi pegguna/pecandu narkoba.
1
Aziz Syamsudiin, 2011, Tindak Pidana Khusus, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, h.90
Penyalahgunaan narkoba di Indonesia semakin memprihatinkan dan merajalela khususnya di kota-kota besar di Indonesia yang mana merupakan pengangkat perekonomian di indonesia. Semakin berekembangnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi juga menyebabkan semakin banyaknya kejahatan narkotika yang dilakukan, dan berbagai macam bentuknya dan modus operani kejahatan yang digunakan oleh pelakunya. Proses penyelidikan dan penyidikan pun perlu dilakukan pengembangan dan meningkatan mutu sesuai perkembangan zaman dan makin bervariasinya kejahatan yang dilakukan oleh pelaku untuk menghindari jeratan hukum , disini peran ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern di perlukan untuk mengungkap kasus kejahatan narkotika yang semakin bervariasi dalam masyarakat. Salah satunya bentuklah Laboratorium Forensik sebagai aparat yang membantu proses pemeriksaan barang bukti baik di Tempat Kejadian Perkara atau secara laboratoris kriminalistik forensik. Hasil dari pemeriksaan laboratoris nantinya bisa digunakan sebagai alat bukti di pengadilan, terhadap suatu kejahatan narkotika. Menurut Abdussalam dan Adri Desasfuyanto pengertian Laboratorium Forensik adalah ilmu pembuktian secara ilmiah terhadap bukti-bukti yang ditemukan ditempat kejadian perkara (TKP) sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.2 Dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memuat ketentuanketentuan tentang bagaimana cara melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang disangka telah melakukan tindak pidana baik ditingkat penyidikan,
2.
Abdussalam dan Desasfuyanto Adri, 2014, Buku Pintar Forensik (Pembuktian Ilmiah), Penerbit PTIK Press, Jakarta, h.5
penuntutan, maupun pemeriksaan di pengadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro “hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian pengaturan-pengaturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintahan yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai suatu tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana”. 3 Tujuan hukum acara pidana yang berpedoman pada pelaksanaan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 yaitu: 1. Mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat. 2. Mencari siapa pelakunya yang dapat didakwakan melakukan pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 3. Setelah putusan pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan akhirnya putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap , maka hukum acara pidana mengatur pula pokok acara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut.4 Alat
bukti
yang
sah
untuk
membuktikan
kebenaran
materiil
tersangka/terdakwa bersalah atau tidaknya. Bagi aparat penegak hukum baik polisi, jaksa maupun hakim akan mudah membuktikan kebenaran materiil bila saksi dapat menunjukkan bukti kesalahan tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana dan tersangka/terdakwa mengakui bukti tersebut untuk melakukan perbuatan pidana. Hal ini akan sulit untuk dibuktikan kebenaran materiil, bila
3.
Wirjono Prodjodikoro, 1980, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Cetakan X, Sumur, Bandung, hal.20. 4.
Andi Sofyan dan Abd.Asis, 2014, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Penerbit Kencana Prenamedia Group, Jakarta, h.8
saksi tidak dapat menunjukkan bukti perbuatan tindak pidana yang dilakukan tersangka/terdakwa. Kasus tindak pidana yang tidak didukung dengan alat bukti sah minimal dua alat bukti sah untuk membuktikan bersalah atau tidak bersalah terdakwa/tersangka, maka aparat penegak hukum sulit membuktikan bersalah atau tidak bersalah tersangka/terdakwa. Perkembangan pembuktian bersalah atau tidak bersalahnya tersangka/terdakwa , para aparat penegak hukum lebih mengutamakan pada pengakuan tersangka/terdakwa. Mencari kebenaran materiil terhadap bersalah atau tidak bersalah tersangka/terdakwa tindak pidana narkotika dengan memberikan
keyakinan kepada hakim, dengan cara melakukan
pembuktian secara ilmiah berdasarkan keahlian dispilin ilmu yang dikenal dengan istilah Forensik. Pembuktian dengan menggunakan Forensik ini pada semua negara maju telah berkembang dan digunakan sebagai alat sah utama dalam memberikan keyakinan hakim , walaupun tersangka/terdakwa bersikap diam atau membisu atau tidak mengakui perbuatannya. 5 Laboratorium
Forensik
Polri adalah salah satu bantuan teknis
laboratorium kriminalistik dalam rangka tugas sebagai penyidik. Adapun salah satu tugasnya yaitu meliputi bantuan
pemeriksaan laboratoris, baik terhadap
barang bukti kejahatan maupun tempat kejadian perkara atau tempat kejadian perkara kejahatan, serta kegiatan-kegiatan lain terhadap unsur-unsur operasional kepolisian terutama reserse. Setiap tindakan kejahatan biasanya meninggalkan bukti-bukti atau bekas-bekas kejahatan itu sendiri yang dapat diungkap baik
5
Ibid, h.3
melalui barang bukti maupun keterangan saksi ahli atau keterangan tersangka atau masyarakat sekitar tempat kejadian atau dalam pemeriksaan barang bukti yang dilakukan di Laboratorium Forensik. Peranan Laboratorium Forensik besar manfaatnya dalam pengungkapan kasus kejahatan yang dilakukan oleh pelaku, khususnya dalam kejahatan narkotika yang semakin bervariasi dan beragam kandungan zat yang di pakai, dalam hal ini pihak laboratorium forensik meneliti jenis dari narkotika yang digunakan, karena
banyaknya jenis-jenis narkotika yang baru yang belum
diketahui oleh masyarakat pada umumnya, dalam pemeriksaan di laboratorium forensik agar nantinya dapat diketahui kandungan apa yang ada di dalam narkotika tersebut sehingga di pengadilan nantinya ketika hakim akan menjatuhkan hukuman dapat berpedoman pada alat bukti utama yaitu barang bukti dari hasil pemeriksaan di laboratorium forensik, dalam proses pembuktian materiil nantinya di sidang pengadilan bila terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Tidak semua kejahatan dapat diungkap melalui keterangan terdakwa, keterangan saksi atau keterangan korban, serta keterangan masyarakat. Khususnya pada tindak pidana narkotika ini perlunya proses pembuktian bahwa yang bersangkutan benar-benar telah memakai narkotika tersebut yang dilakukan melalui pembuktian laboratoris di laboratorium forensik. Berdasarkan dari latar belakang tersebut, menjadikan penulis tertarik untuk mengangkat judul “Peranan Laboratorium Forensik Polri dalam Proses Penyidikan Kasus Narkotika Di Denpasar”.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, terdapat
beberapa permasalahan yang penting untuk dibahas secara lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pentingnya peranan Labfor Polri Cabang Denpasar dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika di Denpasar? 2. Kendala dan upaya apakah yang dihadapi oleh Labfor Polri Cabang Denpasar dalam menemukan kebenaran materiil dalam kasus tindak pidana narkotika? 1.3.
Ruang Lingkup Masalah Ruang
lingkup
penilitian
merupakan
bingkaian penelitian,
yang
menggambarkan batas penelitian, mempersempit permasalahan , dan membatasi areal penelitian.6 Untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan, diberikan batasan-batasan mengenai ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Akan diuraikan tentang aspek-aspek yang melatar belakangi pemikiran akan pentingnya peranan kepolisian dalam kasus kejahatan narkotika khususnya peranan LabFor Polri cabang Denpasar dalam tahap penyidikan dan pemeriksaan
barang
bukti
secara
laboratoris
kriminalistik. 6.
Bambang Sugono, 2005, Metodelogi Penelitian Hukum, Cet.7, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.111
2.
Akan dibahas mengenai kendala-kendala yang dihadapi dan upaya yang dilakukan oleh LabFor Polri dalam proses pemeriksaan barang bukti narkotika di Denpasar.
1.4.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini
adalah: 1.4.1 Tujuan Umum Adapun tujuan umum penulisan skripsi ini adalah ; 1. Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Universitas Udayana. 2. Untuk melatih diri mengembangkan daya nalar dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis sebagai sumbangan pemikiran ilmiah bagi almamater serta turut mengembangkan ilmu hukum. 3. Sebagai karya nyata atas kemampuan akademik yang telah diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana. 4. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa. 5. Sebagai sarana bagi mahasiswa untuk berpikir kritis, rasional dan sistematis. 6. Sebagai
sumbangan
pikiran
bagi
mahasiswa
khususnya
yang
membutuhkan pengetahuan lebih dalam pada bidang Hukum Pidana. 1.4.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis peranan Labfor Polri dalam proses penyidikan kasus narkotika sebagai alat bukti di dalam pemeriksaan terdakwa di pengadilan. 2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala-kendala yang dihadapi oleh Labfor dalam membantu proses penyidikan kasus narkotika serta upaya yang dilakukan dalam mengatasi kendala tersebut. 1.5.
Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi atau
kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat, juga diharapkan dapat menjadi refrensi untuk penelitian-penelitian di bidang hukum pidana terkait peranan Laboratorium Forensik Polri dalam proses penyidikan kasus narkotika sebagai pemeriksa barang bukti secara laboratoris. b. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan sumbangan penelitian sebagai bahan acuan, pertimbangan, perbandingan dan penyempurnaan bagi penelitian selanjutnya dalam rangka
meningkatkan perhatian dan
pengetahuan masyarakat terhadap peranan Laboratorium Forensik Polri dalam proses penyidikan kasus narkotika sebagai pemeriksa barang bukti narkotika. 1.6.
Landasan Teori Perkembangan kejahatan dewasa ini sangat banyak dan semakin bervariasi
dari masa-kemasa semakin menambah jumlah jenis kejahatan khususnya dalam
penggunaan obat-obatan terlarang.
Maka peranan kepolisian khususnya
Laboratorium Forensik Polri sangat dibutuhkan kehadirannya khususnya dalam proses penyidikan kasus narkotika untuk menentukan proses pembuktian tindak pidana. Menurut M.Yahya Harahap yang dimaksud dengan pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarasian dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan
kepada terdakwa.7 Dalam buku himpunan Juklak dan Juknis, Skep kapolri No.Pol.: Skep/105/II/2002 tentang Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik menerangkan bahwa: 1. Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan Penyidikan. 2.
Laboratorium Forensik Polri yang disingkat Labfor Polri khususnya ditugaskan untuk mengadakan pemeriksaan secara ilmiah/secara laboratoris kriminalistik.
3.
Labfor Polri dalam menangani kasus harus mendatangi tempat kejadian perkara yang disingkat TKP yaitu dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi dimana tersangka dan atau korban serta barang bukti yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan.
7
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h.273
4.
Pemeriksaan Tekhnik Kriminalistis TKP adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pemeriksa Labfor Polri di TKP untuk mencari dan mengumpulkan serta membawa barang bukti yang berhubungan dengan tindak
pidana
yang
peralatan/metode/prosedur
terjadi tertentu
dengan yang
menggunakan
memanfaatkan
ilmu
pengetahuan dan tekhnologi. 5.
Analisa Laboratoris barang bukti adalah serangkaian tindakan yang dilakukan pemeriksaan di Labfor Polri untuk menganalisa barang bukti yang diperoleh dari TKP. Seperti yang dijelaskan diatas, Polri khususnya Labfor Polri berdasarkan
Undang-undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia juga berperan dalam proses penyidikan dan di berikan wewenang oleh undangundang. Secara teoritis kewenangan dapat diperoleh melalui tiga cara yaitu: a) Atribusi Bahwa pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan , bahwa artinya adanya wewenang baru yang dilahirkan atau diciptakan. b) Delegasi Bahwa pada delegasi terjadi pelimpahan wewenang yang telah ada (wewenang asli) oleh badan/atau jabatan pemerintahan yang telah memperoleh wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan/atau pejabat pemerintahan
lainnya, jadi suatu wewenang delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. c) Mandat Bahwa
mandat
terjadi
ketika
organ
pemerintahan
mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya, dengan kata lain suatu tindakan atau perbuatan yang mengatas namakan badan/atau jabatan pemerintahan yang diwakilinya (bertindak untuk dan atas nama badan/atau jabatan pemerintahan. 8 Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa teori kewenangan atribusi yang di pakai aparat kepolisian dalam proses penegakan hukum sebagai seorang penyidik karena berdasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan. Dimana dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf g, burbunyi “ Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundangundangan lainnya”. Oleh karena itu dalam menentukan proses penyidikan dan membuat terang suatu kasus tindak pidana serta sebagai dasar penuntutan maka Polri sebagai penyelidik dan penyidik mempunyai peranan menentukan barang bukti dan alat bukti serta modus operandinya untuk menentukan pelakunya. Dari uraian diatas maka untuk pembuktian suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang perlu adanya pembuktian secara ilmiah agar tidak salah dakwaan. Dimana dalam undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang kitab undang-
8
Aminuddin Ilmar, 2014, Hukum Tata Pemerintahan, Penerbit Prenadamedia Group, Jakarta, h.111-112
undang Hukum Acara Pidana, diatur dalam pasal 184 ayat (1) mengenai alat bukti yang sah yaitu : a) Keterangan saksi b) Keterangan ahli c) Surat d) Petunjuk e) Keterangan terdakwa Seperti yang diuraikan diatas maka dalam teori dikenal 4 (empat) sistem pembuktian yaitu : a) Conviction In Time
Ajaran pembuktian conviction in time adalah suatau ajaran pembuktian yang menyadarkan pada keyakinan hakim semata.
Hakim di dalam menjatuhkan keputusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada didalam persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dipersidangan.
Akibatnya dalam memutuskan perkara jadi subjektif sekali, hakim tidak perlu menyebutkan alasan-alasan yang menjadi dasar putusannya. Seseorang dapat dikatan bersalah dengan tanpa bukti yang mendukungnya. Demikian sebaliknya hakim juga dapat membebsakan terkdakwa dari tindak pidana yang dilakukan, meskipun bukti-bukti yang ada menunjukan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Sistem pembuktian conviction in time dipergunakan dalam sistem peradilan juri ( Juri Rechtspraak) misalnya di Inggris dan Amerika Serikat.
b) Conviction In Raisone
Ajaran pembuktian ini juga masih menyadarkan pula pada keyakinan hakim. Hakim tidak terikat pada alat-alat bukti yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang.
Meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang, tetapi hakim dapat mempergunakan alat-alat bukti diluar yang ditentukan oleh undang-undang.
Namun demikian di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seseorang terdakwa haruslah didasarkan alasan-alasan yang jelas.
Jadi hakim harus mendasarkan putusan-putusan terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan yang dapat diterima oleh akal (reasonable).
Keyakinan hakim haruslah didasari oleh alasan yang logis dan dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan kenyakinan yang tidak terbatas.
Sistem pembuktian ini sering disebut sistem pembuktian bebas.
c) Sistem Pembuktian Positif
Sistem pembuktian positif ( positief wetelijk) adalah sistem pembuktian yang menyadarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Seseorang terdakwa dapat dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana hanya didasarkan pada alat bukti yang sah.
Alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang adalah penting. Keyakinan hakim sama sekali diabaikan.
Pada
pokoknya
apabila
terdakwa
telah
memenuhi
cara-cara
pembuktian dan alat bukti yang sah yakni yang ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa tersebut dapat dikatakan bersalah dan haris dipidana.
Seorang hakim laksana robot yang melaksanakan undang-undang. Namun demikian ada kebaikan dalam sistem pembuktian ini, yaitu hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar objektif. Yaitu menurut cara-cara dan bukti-bukti yang ditentukan oleh undangundang.
Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini dipergunakan dalam hukum acara perdata.
d) Sistem Pembuktian Negatif
Sistem pembuktian negative (negatief wetelijk) sangat mirip dengan sistem pembuktian conviction in reasone.
Hakim di dalam mengambil keputusan tentang salah atau tidaknya seseorang terdakwa terikat pada alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) hakim sendiri.
Jadi didalam sistem negative ada dua hal yang merupakan syarat untuk mebuktikan kesalahan terdakwa, yakni: 1. Wettelijk : adanya alat bukti yang sah yang ditentukan oleh undang-undang 2. Negartief :
adanya keyakinan (nurani) dari hakim, yakni
berdasarkan bukti tersebut meyakini kesalah terdakwa.
Alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang tidak dapat ditambah dengan alat bukti yang lain, serta berdasarkan alat bukti yang diajukan dipersidangan seperti yang ditentukan oleh undang-undang belum bisa memaksa seorang hakim menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan. 9
Dari uraian sistem pembuktian diatas, dapatlah dicari sistem pembuktian apa yang dianut oleh KUHAP.
Dalam KUHAP sistem pembuktian diatur dalam pasal 183 yang menyatakan ; hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya.10
9.
Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003, Hukum Pembuktian Perkara Pidana, (penerbit CV Mandar Maju , Bandung), h.14.
Dari pasal tersebut diatas, putusan hakim harus didasari pada dua buah syarat yaitu : a. Minimum 2 (dua) alat bukti, b. Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana.
Jadi meskipun didalam persidangan telah diajukan dua atau lebih barang bukti namun apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa tersebut akan dibebaskan.
Dari yang diuraikan diatas jelas bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian negatief wettelijk.
Minimum pembuktian yakni 2 alat bukti yang dapat disimpangi dengan satu alat bukti untuk pemeriksaan perkara cepat (diatur dalam pasal 205 sampai pasal 216 KUHAP). Jadi jelasnya menurut pasal 184 KUHAP, pemeriksaan perkara cepat cukup dibuktikan dengan satu alat bukti dan keyakinan hakim.
1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini termasuk ke dalam penelitian hukum empiris artinya dalam penulisannya mengkonsepkan hukum sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan nyata. 11
10.
435.
Soenarto Soerodibroto, 2003, KUHP dan KUHAP, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
Dalam konteks ini sesuatu yang disebutkan sebagai hukum tidak semata-mata ditimbulkan dan didasarkan dari literatur-literatur hukum, namun sebagai suatu yang ditimbulkan dari keadaan masyarakat atau proses di dalam masyarakat berdasarkan suatu gejala yang akan menimbulkan berbagai efek dalam kehidupan social dengan merumuskan kesenjangan antara das sein dan das solen , yaitu kesenjangan antara teori dengan realita atau fakta hukum. 1.7.2 Sifat Penelitian Sifat penelitian dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya di dalam masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norama hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam litertur maupun jurnal, doktrin, serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai, sehingga dalam penelitian ini hipotesis boleh ada atau boleh juga tidak. 1.7.3 Data dan Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah berasal dari penelitian secara langsung ke masyarakat untuk mendapatkan data yang konkrit. Penelitian ini dilakukan secara langsung di Laboratorium Forensik Polri cabang Denpasar. Adapun data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah : 11
h.59
Nomense Sinamo, 2009, Metode Penelitian Hukum, PT. Bumi Intitama Sejahtera, Jakarta,
1. Data primer yaitu data yang diperoleh berdasarkan fakta-fakta sosial yang terkait dengan bekerjanya hukum yang nyata dihadapi oleh masyarakat. Data ini diperoleh dengan mengadakan penelitian secara langsung dilapangan. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan, dalam hal ini data dari hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Forensik Polri cabang Denpasar. 2. Data sekunder yaitu data yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu dalam bentuk bahan-bahan hukum. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan adalah: a. Bahan hukum primer berupa peraturan Perundang-undangan yaitu: 1)
Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
2)
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
3)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
5)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
b. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum dan hasil karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan peranan Laboratorium Forensik Polri dalam penyidikan kasus narkotika. c. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum Indonesia, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Inggris dan kamus bahasa Belanda. 1.7.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan melalui dua cara, yaitu : 1. Teknik wawancara yaitu cara yang dipergunakan kepada informan untuk nantinya memperoleh
informasi yang dapat dipergunakan untuk
menjawab permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada informan. (Data Primer) 2. Teknik studi dokumen yang dilakukan dengan menelaah dan mencatat bahan-bahan relevan dengan permasalahan yang dibahas. (Data Sekunder) 1.7.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Dalam kaitannya dengan penetuan sampel maka terdapat dua cara yaitu teknik Probability Sampling dan Teknik Non Probability Sampling. Dalam hal ini dipakai Teknik Non Probability Sampling yang berbentuk Purposive Sampling yang artinya penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu yaitu sampel
dipilih atau ditentukan sendiri oleh si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. 12 1.7.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Dalam mengolah dan menganalisis secara kualitatif yaitu dengan menghubungkan antara data yang berkaitan dengan pembahasan dan selanjutnya disajikan secara deskriptif analisis. Maksudnya data yang telah rampung tadi dipaparkan dengan disertai analisis sesuai dengan teori yang terdapat pada buku-buku literatur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, guna mendapatkan kesimpulan sebagai akhir dari pemulisan skripsi ini.
12
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Universitas Udayana, Denpasar.
Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum