18
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pada dewasa ini pariwisata memiliki nilai dan makna yang berbeda dibandingkan dengan beberapa puluh tahun yang lalu. Nilai dan makna pariwisata pada dekade-dekade lalu dianggap sekadar untuk pengisi liburan saja setelah beberapa hari seseorang bekerja keras di tempat kerja masing-masing. Dewasa ini pariwisata dimaknai pada posisi penting untuk memenuhi kebutuhan rohani. Hal ini bermakna terutama bagi penduduk di negara-negara maju, yang pada umumnya berpendapatan lebih baik
dan berdaya beli tinggi, sehingga
memungkinkannya membelanjakan uang lebih untuk memenuhi salah satu kebutuhan rohani berupa pariwisata. Nilai pariwisata mulai bergeser sejak dekade-dekade lalu. Sebelumnya tidak diperhitungkan sebagai pemasok devisa negara, sekarang industri pariwisata telah menjadi salah satu pemasok devisa negara yang menjanjikan. Sebagai contoh, Vietnam sebagai negara yang baru bangkit dari keterpurukan akibat perang, mulai memperhatikan industri pariwisata sebagai pemasok devisa pemacu pertumbuhan ekonomi negara. Menurut laporan Departemen Pariwisata setempat, kedatangan turis meningkat dari 440.000 wisatawan pada tahun 1990 menjadi 1,6 juta wisatawan pada tahun 1996. Angka pertumbuhan tersebut menunjukkan peningkatan yang tajam dan ke depan akan digarap lebih baik lagi. Dengan demikian Vietnam berani mencanangkan setidak-tidaknya 3,5 juta sampai 3,8 juta
19
wisatawan pada tahun 2000 akan berdatangan ke negara tersebut, dan sekitar 9 juta ditargetkan datang pada tahun 2010 (Smith, 1998). Malaysia yang merupakan negara bertetangga dengan Indonesia, sejak tahun 1995 mulai berbenah dan menumbuhkembangkan industri pariwisata. Total penerimaan devisa dari sektor pariwisata pada tahun 1995 tercatat sekitar 3,6 miliar US $ dari sebanyak 7.468.749 wisatawan, dengan waktu kunjung 4,8 hari. Tahun 2001/02 menurut Malaysia Economic Report memperlihatkan bahwa penerimaan devisa dari industri pariwisata tercatat sebesar 10% dari GDP. Angka ini merupakan yang tertinggi di negara-negara ASEAN. Sebagai perbandingan, penerimaan devisa dari industri pariwisata di Singapura sebesar 6%, Thailand 5,2%,
Indonesia
3,8%
dan
Philipina
2,4%.
Perkembangan
terakhir,
memperlihatkan bahwa sejak tahun 2003 pariwisata Malaysia telah tumbuh menjadi pemasok devisa kedua setelah bidang manufaktur. Tahun 2006 manufaktur memasok devisa sebesar 473.2, industri pariwisata 37.6, dan minyak kelapa sawit 21.6. miliar RM (Ministry Of Tourism Malaysia, 2008). Indonesia sebagai salah satu negara berkembang menangkap pergeseran nilai dan manfaat industri pariwisata. Secara institusional kesadaran pemerintah Indonesia akan pentingnya industri pariwisata tercermin dari adanya Dirjen Pariwisata di Departemen Perhubungan pada Pelita I. Apresiasi terhadap industri pariwisata meningkat dengan dibentuknya Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi pada tahun1983 masa Pelita III. Setelah dirasakan pemasukan devisa dari sektor pariwisata semakin besar, pada masa pasca reformasi politik di Indonesia, pemerintah membentuk Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya (Hakim, 2004: 12)
20
Belakangan ini wisatawan dari negara-negara maju Eropa dan Amerika mulai meninggalkan destinasi lokal yakni tujuan wisata Eropa dan Amerika. Mereka beralih ke destinasi wisata lainnya, terutama di negara-negara berkembang. Dengan demikian, kawasan Afrika, Asia Timur jauh, Asia Selatan dan Asia Tenggara menerima berkah wisata dengan beralihnya minat tujuan wisata. Negara-negara Asia dan Afrika pada umumnya memiliki objek wisata yang sangat menarik. Negara-negara di dua benua tersebut sangat kaya dengan atraksi wisata baik berupa wisata budaya maupun wisata alam. Seiring dengan pergeseran tujuan wisata dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang di benua Asia dan Afrika, terjadi pula pergeseran bentuk pariwisata. Sejak awal dekade tahun delapan puluhan, bentuk pariwisata telah berubah dari mass tourism menuju green tourism. Bentuk pariwisata green tourism lebih menjamin kualitas ekosistem dari seluruh aspek tujuan wisata dan menuju pada konservasi lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, kondisi alam akan tetap lestari dan masyarakat akan mendapatkan manfaat dalam bidang ekonomi (Fandeli, 2002: 103). Pascareformasi politik dan bidang-bidang lain telah memunculkan Undang–Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Secara garis besar otonomi daerah adalah penyerahan sebagian besar kewenangan pemerintah pusat Indonesia ke daerah (kabupaten atau kota). Munculnya otonomi daerah memaksa pemerintah daerah (pemda) kabupaten atau kota lebih kreatif mencari dan menggali potensi daerah masing-masing sehingga pendapatan daerah akan semakin besar dari waktu ke waktu. Sesuai dengan
21
perubahan yang terjadi di tingkat dunia, demikian halnya di tingkat pemerintahan daerah, termasuk Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan, mereka juga berantusias menangkap peluang sektor wisata untuk menaikkan pendapatan daerahnya. Kabupaten Sragen, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Boyolali merupakan sebagian kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ketiga kabupaten tersebut memiliki karakteristik produk wisata yang beragam dan memiliki potensi wisata yang dapat dijadikan komoditas unggulan untuk menjadi prime mover perekonomian daerah. Dalam konteks pembangunan, bidang pariwisata diharapkan mampu menjadi salah satu bidang unggulan untuk mengembangkan perekonomian daerah, merevitalisasi budaya lokal, dan melestarikan lingkungan hidup. Pembangunan pariwisata diharapkan juga dapat berdampak positif terhadap peluang kerja, dan peluang berusaha sehingga akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10.Tahun 2009 tentang kepariwisataan,. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan hal berikut ini: “Kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.”
Wisata alam Waduk Kedung Ombo (WKO) merupakan bendungan raksasa seluas 6.576 hektar, yang areanya mencakup sebagian wilayah di tiga kabupaten, yaitu
22
Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Waduk yang membendung lima sungai tersebut terdiri dari wilayah perairan seluas 2.830 hektar dan 3.746 hektar lahan yang tidak tergenang air. Lokasi objek wisata Waduk Kedung Ombo yang menjadi andalan Kabupaten Sragen terletak di Kecamatan Sumberlawang, sekitar 40 km dari pusat kota. Sesuai dengan perencanaaan pemerintah Kabupaten Sragen, WKO ke depan akan dikembangkan menjadi area wisata terpadu dengan berbagai potensi di sekitarnya. Pariwisata alam WKO menawarkan beragam atraksi wisata yang dapat dinikmati oleh wisatawan. Beberapa diantaranya adalah (a) bendungan (dam), yang memiliki bentangan 1.600 m berketinggian 60 m dengan luas 6.576 hektar; (b) rumah makan apung, yang menyediakan aneka macam masakan berbahan dasar ikan; (c) wisata tirta, yang meliputi seluruh genangan WKO, berupa arena pemancingan, karamba dan perahu wisata dan ; (d) hutan wisata, yang dilengkapi dengan tempat duduk, pusat informasi, sarana bermain, pemancingan, gardu pemandangan atau shelter, sarana air bersih, MCK (mandi, cuci, kakus), dan lokasi kemah (camping). Dengan fasilitas itu para wisatawan yang berkunjung ke lokasi wisata WKO dapat melakukan aktivitas sesuai dengan minat masing-masing. Animo wisatawan yang berkunjung ke Waduk Kedung Ombo dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Perkembangan jumlah wisatawan Waduk Kedung Ombo pada lima tahun terakhir terlihat pada gambar 1.
23
100000 90000 80000 70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 2006
2007
2008
2009
2010
(Sumber : Koperasi Karyawan Jratunseluna, 2011)
Gambar 1: Perkembangan Jumlah Wisatawan Waduk Kedung Ombo (WKO) Tugas utama pemerintah daerah sebagai organisasi sektor publik adalah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat merupakan konsep yang multikompleks yang secara sederhana dapat dibagi menjadi dua yaitu kesejahteraan fisik (material) dan nonfisik (immaterial). Demikian halnya, tujuan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpemor), sebagai ujung tombak pemda dalam pengelolaan pariwisata adalah memperoleh pemasukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat sekitar waduk. Untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah (wisatawan) ke objek wisata WKO diperlukan suatu organisasi yang sehat dan kuat.
24
Pemerintah daerah sebagai agen yang telah diberi mandat oleh masyarakat harus memiliki target-target tertentu dan terukur yang dibebankan pada
Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata, Pemuda dan Olahraga (Disbudparpemor). Target-target tersebut merupakan penjabaran dari visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. Untuk merealisasikannya
diperlukan kriteria-kriteria yang
transparan dan terukur, sehingga dapat digunakan dalam
pengukuran kinerja.
Pengukuran kinerja sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja ialah untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Pengukuran kinerja merupakan elemen pokok manajemen berbasis kinerja.
1.2 Permasalahan
Tujuan orang berwisata adalah refresing untuk mendapatkan hiburan dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Wisatawan yang sebagian besar berasal dari perkotaan berkeinginan melepaskan diri dari hiruk-pikuk rutinitas kehidupan kota. Lokasi yang tepat untuk mewujudkan hasrat tersebut adalah wisata alam, di daerah yang belum terkontaminasi oleh suara bising kendaraan, polusi dan produk-produk industri modern lainnya. Industri pariwisata, khususnya pariwisata alam, sebagai salah satu andalan tujuan wisata ibarat memiliki dua mata pisau yang berdampak kontradiktif apabila tidak diperhatikan dengan baik. Apabila dikelola dengan baik dapat menghasilkan devisa bagi pemerintah daerah, yang juga bermanfaat langsung pada masyarakat lokal. Sesuai dengan sistem pariwisata alam berkelanjutan salah satu faktor yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengelolaannya adalah pelibatan masyarakat
25
lokal dalam perencanaan dan pengelolaan obyek dan daya tarik wisata. Dengan partisipasi masyarakat lokal akan didapatkan nilai ekonomi lebih dari keberadaan pariwisata alam. Apabila tidak dikelola dengan benar pariwisata alam akan berdampak negatif yang merugikan masyarakat. Dampak negatif akan muncul beriringan dengan meningkatnya jumlah wisatawan. Meningkatnya jumlah wisatawan yang datang ke lokasi wisata WKO
akan menimbulkan suatu tekanan terhadap
lingkungan. Wisatawan yang melebihi kapasitas objek wisata, dengan meninggalkan sisa-sisa barang, polusi, dan komersialisasi berlebih dapat mempercepat kehancuran lingkungan. Konservasi menjadi perhatian utama pada kegiatan wisata ini. Untuk tetap menjaga keutuhan suatu objek pariwisata alam harus diperhatikan keseimbangan antara jumlah pengunjung dan daya dukung (carrying capacity) obyek wisata tersebut. Untuk menjadikan objek dan daya tarik wisata (ODTW) WKO menjadi suatu kawasan wisata terpadu, diperlukan kerja sama dan hubungan yang sinergis antara partisipasi masyarakat lokal, LSM, pengusaha wisata dan pemerintah daerah. Seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata alam di WKO, secara bersama-sama merencanakan, mengelola dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan objek wisata WKO. Di samping itu, pengelolaan ODTW sebagai suatu destinasi harus meletakkan aspek destinasi pada posisi yang terkait dengan aspek lainnya. Dalam sistem kepariwisataan terdapat empat sistem yang perlu dikembangkan dan dikelola, yaitu destinasi (destination), pemasaran (marketing), pasar (market), dan perjalanan (travel) (Fandeli, 2002:235).
26
Seperti yang terjadi pada umumnya di daerah-daerah kabupaten, institusi pengelola pariwisata belum memiliki orientasi yang jelas dalam mengelola kekayaan objek wisata di daerah masing-masing. Pengelola masih bersikap birokratis, cenderung menunggu perintah pimpinan misalnya bupati, kurang memiliki kreativitas yang mandiri. Sistem dan etos kerja semacam ini perlu diubah sehingga akan terbentuk institusi yang mandiri dan kreatif. Untuk menghadapi persaingan antar-institusi yang semakin ketat dalam kerangka otonomi daerah, diperlukan strategi yang tepat untuk memberdayakan institusi-institusi di lingkungan daerah masing-masing. Setiap institusi harus menyadari bahwa dalam masyarakat modern diperlukan peran-peran yang makin terspesialisasi (role spesealization) dan pembagian pekerjaan. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, institusi pemerintah harus mampu berperilaku seperti institusi swasta. Mereka harus memiliki kemampuan dan etos kerja tinggi untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan material, sebagai salah satu pemasukan pendapatan daerah. Untuk menjamin kontinuitas institusi
atau organisaasi diperlukan
pengawasan dan penilaian kepada institusi yang bersangkutan. Setiap institusi harus
akuntabel dan terbuka terhadap penilaian dan masukan dari para
stakeholder. Institusi harus siap untuk diaudit kinerjanya pada setiap saat. Pengukuran kinerja
bukan hanya merupakan kinerja seseorang atau suatu unit,
tetapi juga peran dan pengaruhnya kepada kinerja organisasi secara keseluruhan. Kerjasama dan teamwork berperan strategis. Setiap organisasi akan berusaha untuk mencapai tujuannya sesuai dengan sumber daya miliknya. Kinerja
27
organisasi yang baik (good performance) adalah apabila semua bagian organisasi bekerja secara benar, efektif, dan efisien untuk mencapai tujuan tersebut. Kinerja perorangan (individual performance) dan kinerja institusi (institutional performance) atau kinerja organisasi (corporate performance) berhubungan erat. Bila kinerja karyawan (individual performance) baik, kemungkinan besar kinerja organisasi (corporate performance) juga baik. Kinerja karyawan akan baik apabila memiliki skil yang tinggi, bersedia bekerja dengan sepenuh hati, mendapatkan upah sesuai dengan perjanjian dan mempunyai harapan (expectation) masa depan lebih baik (Prawirosentono, 1999). Ujung tombak tingkat keberhasilan atau kegagalan suatu usaha adalah pengelola yang telah ditunjuk oleh pemilik. Berkaitan dengan objek wisata Waduk Kedung Ombo, yang memiliki aset adalah Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kehutanan, dan Pemerintah Daerah. Pengelolanya adalah personil atau yang telah ditunjuk dan ditugasi untuk mengelola tumbuh kembangnya objek wisata Waduk Kedung Ombo. Kinerja pengelola sangat penting untuk diperhatikan. Kinerja yang baik akan membawa hasil positif, berupa peningkatan kuantitas pengunjung pada objek wisata. Sebaliknya kinerja yang kurang baik akan berakibat pada jumlah pengunjung yang tetap atau bahkan merosot. Untuk mengetahui kualitas kinerja pengelolaan objek wisata alam WKO diperlukan alat ukur dalam bentuk model yang sesuai dengan manajemen yang diterapkan di institusi yang bersangkutan. Beberapa model untuk mengetahui kualitas kinerja suatu lembaga atau institusi telah bermunculan, antara lain, (a) Metode atau teknik Balanced Scorecard (BSc), yang dikembangkan oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton (Kaplan and Norton, 1992), (b) IPMS (Integrated
28
Performance Measurement System), (c) model Oraganizational Capacity Assesment Tool (OCAT) (Bititci et al, 1997), (d) SMART (Strategic Management Analysis and Reporting Technique) System dari Wang Laboratory, Inc. Lowell, Massachucets. (Galayani, et.al., 1998), (e) dan model penilaian kinerja
IDF
(Institutional Development Framework) untuk penilaian kinerja Taman Nasional. Dari lima model penilaian kinerja tersebut, yang paling mendekati untuk mengukur kinerja pengelolaan taman wisata adalah IDF. Oleh karena itu, model IDF akan digunakan sebagai dasar pijak pembuatan model baru penilaian kinerja pengelolaan organisasi taman wisata buatan pada umumnya, khususnya Taman Wisata WKO.
1.3 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Berapakah kemampuan daya dukung (carrying capacity) objek wisata alam Wana Wisata dan Taman Wisata WKO terhadap kunjungan wisatawan ? 2. Apakah keberadaan objek wisata alam WKO memiliki dampak di bidang sosial dan ekonomi terhadap kehidupan masyarakat lokal? 3. Bagaimanakah model penilaian kinerja yang tepat untuk mengukur kualitas kinerja pengelolaan objek wisata alam Waduk Kedung Ombo (WKO) ?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian yang dilaksanakan memiliki tujuan sebagai berikut.
29
1. Mengetahui dan menilai batas toleransi daya dukung (carrying capacity) lingkungan Waduk Kedung Ombo
(WKO) terhadap jumlah kunjungan
wisatawan di Wana Wisata dan Taman Wisata WKO. 2. Mengetahui dan menilai
dampak pariwisata alam Waduk Kedung Ombo
(WKO) pada bidang sosial dan ekonomi masyarakat lokal. 3. Modifikasi aplikasi model penilaian kinerja pengelolaan obyek pariwisata alam Waduk Kedung Ombo (WKO).
1.5 Keaslian Penelitian Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para akademisi bertopik pariwisata alam dan ekowisata, namun sampai dewasa ini masih sedikit yang meneliti pariwisata alam dengan objek waduk atau bendungan. Khususnya Waduk Kedung Ombo (WKO) berkaitan dengan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal dan kinerja pengelolaan. Sesuai dengan salah satu sifat atau ciriciri pariwisata alam yang non substitutable, demikian halnya dengan WKO, waduk tersebut memiliki sifat atau ciri-ciri yang berbeda dengan waduk yang lain. Dalam penelitian yang berjudul “Kajian Pengembangan Dieng Plateau Berbasis Pariwisata Berkelanjutan”, Rohadi (2005) menjelaskan keunggulan pariwisata alam Dieng dengan berbagai keunikan yang ada, seperti flora, fauna, dan sejenisnya. Kristianti (2006) meneliti “Studi mengenai Pengembangan Kawasan Wisata Alam Kebun Tlogo, Tuntang Kabupaten Semarang”; di dalamnya dijelaskan tentang sumber daya manusia dan struktur organisasi pengelola pariwisata alam serta pentingnya promosi.
30
Selain itu, Yiping Li (2002) melakukan penelitian berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam kegiatan dan perencanaan pariwisata, kemudian Nurhidayati (2005) dalam penelitiannya menelaah persepsi masyarakat terhadap peluang kerja dan peluang usaha dari agrowisata di Wonosari Malang. Penelitian Phan Nguyen Hong, dan kawan-kawan (2002) di Vietnam bertopik Ecotourism in Vietnam: Potential and Reality membahas dampak negatif ekowisata. Banyak destinasi wisata di Vietnam mengalami kerusakan lingkungan, penduduk lokal secara ekonomis kurang mendapatkan keuntungan. Sejumlah penelitian itu dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1: Daftar Hasil Penelitian Sejenis No 1.
2.
Peneliti Edward Silitonga
Pudjio Santoso
Thn./Lokasi 1997 (Jawa Tengah)
2000 (Bromo, Jawa Timur)
3.
Yiping Li
2002 (RRC)
Topik
Hasil
Perubahan Mata Pencaharian Penduduk Pedesaan Akibat Pembangunan Waduk Kedung Ombo (Kasus : Waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah )
Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan. Penelitian ini membahas perubahan atau pergeseran mata pencaharian dari sektor pertanian ke non-pertanian (job of farm), karena hilangnya lahan pertanian. Penelitian yang peneliti laksanakan membahas pengaruh objek wisata WKO terhadap kehidupan sosial-ekonomi penduduk lokal secara luas .
Pembangunan Pariwisata dan Peranserta Masyarakat (Kajian Peranserta Masyarakat G. Bromo),
Penelitian ini menjelaskan dampak positif kedatangan wisatawan ke Gunung Bromo terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. penelitian yang peneliti laksanakan di samping meneliti tentang dampak positif kedatangan wisatawan terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, juga sekaligus membahas tentang pengelolaan dan daya dukung alam.
Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan dan Perencanaan
Terdapat perbedaan antara hasil penelitian ini dengan penelitian yang penliti lakukan. Penelitian ini membahas tentang kerusakan lingkungan, dan kurangnya penduduk lokal
31
Pariwisata
secara ekonomi mendapatkan keuntungan. Perbedaaannya terletak pada objek penelitian yaitu di hutan alamiah dan di wisata alam buatan (WKO).
Topik
Hasil
Pengelolaan Sumber Daya Perairan Waduk secara Optimal dan Terpadu
Penelitian ini menjelaskan tentang perlunya peningkatan pengelolaan sumber daya alam (waduk) secara optimal, khususnya dalam bidang perikanan. Untuk penelitian yang peneliti lakukan, adalah optimalisasi pengelolaan lebih terfokus pada bidang pariwisata.
Ecotourism in Vietnam: Potential and Reality
Penelitian ini menjelaskan dampak negatif ekowisata. Banyak destinasi wisata di Vietnam mengalami kerusakan lingkungan, penduduk lokal secara ekonomis kurang mendapatkan keuntungan. Penelitian yang peneliti lakukan di samping membahas daya dukung alam terhadap kedatangan wisatawan, manfaat sosial-ekonomi penduduk lokal juga kinerja pengelolaan. Penelitian ini menjelaskan tentang keunggulan pariwisatsa alam Dieng dengan berbagai keunikan flora dan fauna yang ada. Penelitian yang peneliti lakukan lebih fokus pada daya dukung alam terhadap kedatangan wisatawan, manfaat sosial-ekonomi penduduk lokal dan kinerja pengelolaan.
Tabel 1. Lanjutan...
No
Peneliti
Thn./Lokasi
4.
Rahmawaty
2002 (Sumatera Utara)
5.
6.
7.
Phan Nguyen Hong, dan kawankawan
2002
Slamet
2005
Rohadi
(Dieng, Jawa Tengah)
Nurhidayati, Sri Endah
(Vietnam)
2005 (Malang, Jawa Timur)
Kajian Pengembangan Dieng Plateau Berbasis Pariwisata Berkelanjutan Persepsi Masyarakat Pada Peluang Kerja dan Peluang Usaha Dalam Pengusahaan Agrowisata Wonosari Malang
Penelitian ini menjelaskan tentang peluang masyarakat Wonosari masih terbuka untuk melakukan Usaha dalam bidang agrowisata, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan membahas tentang daya dukung, manfaat sosial-ekonomi penduduk lokal dan kinerja pengelola.
. 8.
Rusita
2005
Studi Pengembangan Produk Wisata Alam di Kawasan Taman
Penelitian ini menjelaskan tentang produk wisata di Lubuk Baji, taman nasional Gunung Palung yang masih rendah. Tema besar sama
32
(Kalimantan Barat) 9.
Youn- Taek Lee
2005 (Korea Selatan)
Nasional Gunung Palung Kalimantan Barat
yaitu tentang pariwisata alam, tetapi penelitian yang peneliti laksanakan lebih fokus pada pengelolaan, daya dukung alam dan manfaat secara sosial-ekonomi pada masyarakat lokal.
Ecotourism Management Triangle:
Penelitian ini menjelaskan Manajemen Ekowisata Triangle (EMT). Ecotourism Management Triangle (EMT) adalah negara untuk menempatkan ekowisata berkelanjutan dalam praktik harus didukung oleh kerja sama internasional. Penelitian yang peneliti laksanakan lebih menekankan pada manajemen tingkat lokal dan nasional.
A Future Direction for International Cooperation
Tabel 1. Lanjutan...
No
Peneliti
10.
Hady Kristianti
11.
Israngkura
Thn./Lokasi 2006 (Semarang, Jawa Tengah)
2006 (Thailand)
12.
Anthony O. Onoja and Henry C. Unaeze
2009 (Nigeria)
Topik “Studi Mengenai Pengembangan Kawasan Wisata Alam Kebun Tlogo, Tuntang Kabupaten Semarang”
Hasil Penelitian ini menjelaskan tentang perlunya peningkatan sumber daya manusia dan struktur organisasi pengelola pariwisata alam serta pentingnya promosi. Penelitian yang peneliti laksanakan di samping meneliti pengelolaan sekaligus membahas tentang daya dukung alam dan kemanfaatan secara sosial-ekonomi terhadap masyarakat lokal.
Ekowisata di Thailand, Penelitian ini menjelaskan pengelolaan hutan Khususnya Hutan wisata, dan manfaat terhadap kehidupan Wisata, ia meneliti masyarakat sekitar. Penelitian yang peneliti tentang manfaat hutan laksanakan di samping meneliti pengelolaan dan manfaat sosial-ekonomi terhadap wisata terhadap kehidupan masyarakat kehidupan masyarakat sekitar, sekaligus membahas daya dukung alam. local. Forest Income Determinants Among Rural Households of Etche Local Government Area, Rivers State, Nigeria
Penelitian ini menjelaskan faktor-faktor utama yang mempengaruhi pendapatan masyarakat pedesaan yang tinggal dekat hutan. Penelitian yang peneliti laksanakan lebih menekankan pengaruh hutan sebagai ODTW terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar.
33
Secara umum pemaparan dan uraian beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan, tiga pertanyaan penelitian yang diajukan dalam disertasi telah diteliti oleh para peneliti terdahulu. Perbedaanya terletak pada lokasi penelitian dan para peneliti di atas tidak ada yang menggabungkan tiga pertanyaan secara bersamaan. Sebagai contoh, penelitian yang dilaksanakan Pudjio Santoso (2000) memiliki tema yang sama dengan yang peneliti lakukan yaitu tentang dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal, namun lokasinya berbeda, yaitu di sekitar Gunung Bromo. Penelitian yang lain dari Edward Silitonga (1997), lokasi penelitia sama di Waduk Kedung Ombo, namun fokus penelitian membahas tentang perubahan dan pergeseran mata pencaharian masyarakat lokal. Demikian halnya dengan para peneliti lain yang peneliti cantumkan di atas. 1.6 Manfaat Penelitian Pada dewasa ini
kabupaten-kabupaten dan kota-kota di Indonesia
beramai-ramai menggali potensi daerah masing-masing untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Salah satu potensi daerah yang dimiliki semua kota dan kabupaten adalah pariwisata. Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan, sama-sama memiliki industri pariwisata yang terkait dengan Waduk Kedung Ombo (WKO). Kabupaten Grobogan berkepentingan dengan Taman Wisata WKO, Kabupaten Boyolali berkepentingan dengan Wana Wisata WKO, dan kabupaten Sragen berkepentingan dengan areal genangan yang dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata. Dengan dilakukannya penelitian ini akan diketahui berbagai destinasi wisata sekitar WKO, sehingga akan memudahkan pemetaan kualitas daya tarik tiap-tiap destinasi.
Dari penelitian ini akan diketahui daya dukung, dampak
34
pengembangan Pariwisata Alam WKO terhadap kehidupan sosial-ekonomis masyarakat lokal. Untuk pemerintah daerah Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Grobogan khususnya Dinas Pariwisata dan Budaya, diharapkan dapat dijadikan acuan strategi dan promosi pengembangan pariwisata alam yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Dari penelitian ini akan diketahui kinerja pengelolaan organisasi pada dinas terkait, mengingat untuk mendapatkan hasil yang maksimal pengelolaan suatu objek wisata harus didukung oleh sumber daya manusia dan kinerja personil yang baik. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara terperinci fungsi dan peran waduk dalam bidang pariwisata alam. Demikian halnya, diharapkan terlihat kaitan dampak pariwisata terhadap fungsi maksimal waduk pada bidang pertanian, Dengan demikian, diharapkan terlihat gambaran umum dampak pariwisata alam terhadap waduk-waduk di Indonesia. Bagi ilmu pengetahuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan keilmuan, khususnya terkait dengan masalah daya dukung (carrying capacity), dampak sosial ekonomi pariwisata dan kinerja pengelolaan pariwisata alam. Bagi para peneliti dengan tema sejenis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan tambahan referensi. 1.7. Dasar Pemikiran
Penelitian ini bertujuan untuk membuat penilaian kinerja pengelolaan pariwisata alam WKO. Untuk sampai pada penilaian pengelolaan kinerja, peneliti memandang perlu melihat kinerja pengelolaan secara makro, yaitu; 1).Mengetahui dan menilai batas toleransi daya dukung (carrying capacity) lingkungan Waduk Kedung Ombo (WKO) terhadap jumlah kunjungan wisatawan;2). Mengetahui
35
dan menilai
dampak pariwisata alam Waduk Kedung Ombo (WKO) pada
bidang sosial dan ekonomi
masyarakat lokal. Baru kemudian Merumuskan
model penilaian kinerja yang tepat sehingga dapat digunakan untuk mengetahui dan menilai kinerja pengelolaan obyek pariwisata alam Waduk Kedung Ombo (WKO). Kinerja Pengelolaan berhasil baik apabila batas toleransi daya dukung (carrying capacity) lingkungan Waduk Kedung Ombo (WKO) belum terlampaui. Berikutnya melihat dampak pariwisata alam Waduk Kedung Ombo (WKO) pada bidang sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Apabila berdampak positif atau minimal tetap (netral) maka kinerja pengelolaan pada kategori baik. Setelah melalui dua tahap tersebut baru kemudian penulis membuat model baru yang merupakan modifikasi dari model IDF. WISATAWAN -Umur -JenisKelamin -Pendidikan
DayaDukung
-Analisis Physical CarryingCapacity (PCC) -Analisis Real Carrying -Capacity (RCC)
PARIWISATA ALAM WADUK KEDUNG OMBO ================== POTENSI WISATA
-Taman Wisata -Wana Wisata -Pacuan Kuda -Arena Pemancingan -Atraksi Budaya
Kinerja Pengelolaan (IDF) -Pengendalian/Oversight -Manajemen -SDM -Keuangan -Sumber Daya Eksternal -Produk Jasa
DampakSosialEkonomi
-Perubahan pekerjaan -Perubhan pendapatan -Perubahan pemilikan -Hub, Masyarakat -Urbanisasi/migrasi -Pembagiankerja -Perubhn Seni dan adat-istiadat
36
Analisis Kinerja Pengelolaan Kriteria Keterangan -Pengendalian/Oversight -Manajemen -SDM -Keuangan -Sumber Daya Eksternal -Produk Jasa
-SDM 3 menjadi 4 ( + Pendidikan) -Produk Jasa (Produk Jasa i -)
MODEL KINERJA PENGELOLAAN BARU
Gambar 2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran