BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Aktualisasi diri adalah sebuah proses yang harus ditempuh oleh manusia, dikarenakan setiap individu memiliki potensi yang berbeda–beda, dan potensi ini tidak dapat di gunakan secara maksimal tanpa sebuah proses aktualisasi diri. Proses ini juga tidak dapat disamakan antara individu satu dengan lainnya. Beberapa penelitian yang bertemakan aktualisasi diri terdahulu mendapatkan temuan berdeda, walaupun ada kesamaan – kesamaan dalam prosesnya. Pavitasari (2008; 105) menyimpulkan, proses aktualisasi diri merupakan sebuah usaha–usaha memecahkan masalah yang dihadapi individu dengan menggunakan segala aset, dan potensi yang dimiliki oleh individu. Dalam penelitiannya yaitu aktualisasi diri pada
waria,
Pavitasari
melihat
dari
segi
ciri–ciri
orang
yang
dapat
mengaktualisasikan dirinya, dan ditinjau dari permasalahan yang mereka hadapi yaitu: permasalahan internal dari waria itu sendiri yaitu “jiwa feminis mereka yang terperangkap di tubuh yang salah” dan penerimaan dari masyarakat dan keluarga akan eksistensinya sebagai seorang waria. Tentunya tidak semua waria dapat mengaktualisasikan
diri
mereka,
ditemukanlah
mengaktualisasikan diri mereka yaitu:
ciri
pada
waria
yang
pengamatan realita secara efisien,
penerimaan diri sendiri dengan orang lain, spontan, sederhana, wajar, terpusat pada masalah, pemisahan diri, penyendirian, kemandirian, apresiasi yang selalu segar, minat sosial serta perasaan empati dan afeksi, hubungan interpersonal, demokratis. Perbedaan antara cara dan tujuan antara baik dan buruk, rasa humor yang filosofis dan tidak bersifat bermusuhan, dan kreativitas. Pavitasari melihat aktualisasi diri
1
dari sisi pengembangan sikap dalam menjalani hidup pada waria. Penelitian kualitatif lain oleh Mayasari (2008) mengenai aktualisasi diri dari sisi perkembangan. Mayasari mendapatkan sebuah hasil jika ada sebuah pengaruh positif antara kelekatan ibu dan remaja dengan aktualisasi diri remaja, aktualisasi diri remaja itu sendiri merupakan sebuah hal yang dominan untuk mendorong aktualiisasi diri selanjutnya. Pada penelitiannya Mayasari mengambil sampel siswa SMA yang mempunyai kondisi fisik, ekonomi, dan keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar pada hirarki kebutuhan Maslow (dalam Mayasari 2008;) . Dari temuan yang dirangkum di atas diharapkan menjadi awal untuk menyelesaikan skripsi ini yang juga mengkaji aktualisasi diri pada seniman. Bagaimana usahausaha pemenuhan aktualisasi diri dan pemaknaannya terhadap pengalaman tersebut pada seniman pelukis. Seniman adalah seorang yang mempunyai dan menghasilkan karya seni. Lingkup dari seniman adalah mereka termasuk Penari, Pelukis, Pemahat, Sastrawan, dan Penyanyi (kbbi.web.id/seniman). Secara umum seni dibagi berdasarkan bidang–bidangnya yaitu tari, lukis, pahat, dan kontemporer. Seni dapat didefinisikan sebagai sebuah hasil estetika manusia yang sejalan dengan kulturnya, seni tidak lah jauh dari kultur tempatnya dibuat. Indonesia sendiri yang merupakan negara yang mempunyai bidang pariwisata berujung tombak pada kultur dan seni, selalu mencanangkan program pariwisata berdasarkan kebudayaan daerah untuk menarik wisatawan baik lokal maupun manca negara. Tetapi ironisnya dewasa ini semakin masuknya globalisasi pada budaya dan khususnya etos kerja masyarakat menyebabkan terjadinya pergeseran pada minat karir, dimana contoh awamnya adalah pegawai negri menjadi tujuan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Tentunya hal tersebut menyebabkan karir di bidang seni semakin lama semakin
2
sedikit praktisinya. Jika ditelaah dari segi materi memang ada banyak pelukis terkenal yang mapan tetapi lebih banyak lagi pelukis yang melarat. Seniman adalah profesi yang aneh bagi masyarakat umum. Sepertinya seniman itu bukan pekerjaan untuk mencari nafkah, seni bukan mata pencaharian, ataupun pekerjaan pokok. Walaupun nama sudah tersohor belum tentu juga membuat si seniman hidup berkecukupan, contoh seorang pelukis ternama Agoes Jolly, dengan ciri khas performance art-nya yang unik dan kental estetika personal. Pelukis ini menderita diabetes selama 20 tahun harus menghabiskan pendapatannya untuk berobat, sedangkan dana yang dihabiskan untuk performence art-nya bisa lebih mahal dari keuntungan yang didapat. Terkadang ketika harus dirawat di rumah sakit, pelukis ini terpaksa memakai surat keterangan tidak mampu (SKTM), tetapi beliau yang sudah
menyadari
hal
tersebut
tetap
berkarya
(www.indonesiaseni.com;
http://tinyurl.com/lyx3fq6). Secara faktual menunjukkan saat ini karir sebagai seniman tidaklah menjadi andalan untuk menjamin hidup seseorang maupun keluarganya. Agoes Jolly melakukan hal di atas dikarenakan sebuah dorongan untuk berkarya. Jika di lihat lebih dekat “berkarya” dari seniman adalah sebuah usaha untuk memenuhi aktualisasi diri. Dalam hirarki kebutuhan Maslow, aktualisasi diri menempati urutan paling atas dari semua kebutuhan manusia. Aktualisasi Diri menurut Maslow adalah individu menyadari potensi diri, kebutuhan untuk merelisasikan diri dan berkembang (McLeod, 2007). Sebelum mencapai tahap aktualisasi diri, manusia haruslah melewati tahap-tahap lain dalam model kebutuhan Maslow yaitu kebutuhan biologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan berinteraksi sosial, kebutuhan akan kepercayaan diri, kebutuhan menuntut ilmu, kebutuhan estetika, dan akhirnya sampai di aktualisasi diri. Aktualisasi diri ataupun
3
tahapan dibawahnya tidaklah dapat dicapai dengan serta merta, tahapan ini juga sejalan dengan tahapan perkembangan manusia yang mempunyai andil pada pemenuhan tahapan–tahapan kebutuhan. Selain itu Maslow menyatakan juga walaupun tahap kebutuhan dasar (defisience need) sudah dilewati tetapi tetap saja kebutuhan ini harus terus menerus dipenuhi. Walaupun pemenuhan kebutuhan dasar (kebutuhan: biologis, rasa aman, berinteraksi sosial, kebutuhan akan kepercayaan diri) diperkirakan tercapai 80%, sedangkan kebutuhan estetika dan aktualisasi diri diperkirakan 20%, namun tetap saja hal ini mempersulit manusia untuk mencapai aktualisasi dirinya (Maslow dalam McLeod, 2007). Eksistensi adalah hal yang terpenting dalam hidup manusia dimana eksistensi adalah sebuah arti atau makna dari hidup seseorang Sudah kodratnya jika manusia cendrung melakukan sesuatu yang mempunyai arti untuk dirinya daripada sesuatu yang sama sekali asing. Dalam contoh seseorang yang workaholic akan selalu ingin bekerja, dimana bekerja adalah sesuatu yang berarti untuknya. Seseorang yang bekerja keras mendapatkan kepuasan akan prestasi yang di raih pada pekerjaannya dan status yang akan di dapat dari prestasi itu. Hal ini adalah aktualisasi diri dari si workahilic tadi. Dalam contoh workaholic, dapat dibilang jika hal yang ingin di capai dengan cara bekerja terus–terusan adalah prestasi yang berujung pada prestise seperti jabatan, pangkat, kedudukan ataupun gengsi, maka ini sangat masuk akal dimana prestasi yang nantinya menjadi sebuah simbol strata dan kedudukan dimasyarakat, strata dan kedudukan dari segi materi maupun akademis akan berpengaruh sangat besar pada negara berkultur collective seperti Indonesia. Sedangkan bagaimanakah dengan eksistensi dari kelas pekerja yang kurang populer di masyarakat bahkan hanya dipandang sebelah mata seperti halnya pelukis?. Pelukis secara sekilas tidak hanya suatu pekerjaan yang di lihat sukar
4
dimengerti, dimana hasil karya mereka hanya dapat dinikmati oleh pecinta seni saja, walaupun pada masyarakat awam ada yang menyukai lukisan baik dari komposisi, warna, maupun arti lukisan tetapi lukisan bukanlah sebuah kebutuhan pokok dan kembali lagi hanya di beli oleh pecinta seni saja atau orang awam yang menginginkan dan menjadikan sebagai pelengkap dekorasi. Di samping itu seni lukis sudah semakin terpinggirkan dengan adanya computer graphic art (CG). Begitu pula yang dialami oleh seorang pelukis yaitu Gst P. dimana dalam biografi hidupnya bercerita bahwa beliau sering sakit–sakitan, walaupun beliau mempunyai status sosial dan ekonomi yang mampu untuk menunjangnya sampai lulus perguruan tinggi tetapi beliau memilih untuk tidak melanjutkan sekolah setelah lulus SMA dikarenakan kekuranganya itu. Meskipun dalam perjalanan hidupnya ia memperoleh kesempatan untuk mendapat pekerjaan yang bagus pada masa itu tetapi tetap ia memutuskan untuk menekuni seni lukis yang bermula dipelajarinya secara otodidak. Keputusan seperti ini jika dipikirkan oleh orang awam, maupun mahasiswa seni sendiri akan berpikir dua kali sebelum memutuskannya, tentunya dengan pertimbangan jika belajar seni di ditingkat Universitas saja saat lulus belum tentu bisa menghidupi dirinya apalagi dengan keputusan belajar melukis sendiri. Walaupun dengan berbagai kekurangan dibanding dengan status sosial seorang pekerja yang memiliki jaminan hidup, masih tetap berjuang dengan usaha maksimal untuk menapaki kehidupan sampai menjadi seorang pelukis yang dikenal. Sangat berbeda diamati dewasa ini para remaja sangat akrab dengan keputusasaan, rasa helplessnes (ketidak berdayaan), tidak berguna, cepat terpengaruh untuk bertindak agresif baik pada mereka yang berkecukupan harta terlebih lagi bagi mereka yang menemukan permasalahan keterpurukan ekonomi. Demikian juga di antara mereka jarang yang berusaha mengenal potensi diri yang
5
dimiliki untuk mendukung aktualisasi dirinya. Setelah mereka memasuki masa dewasa untuk bekerja menghidupi keluarga banyak juga fakta menunjukkan terjadi the man in the wrong place (bekerja tidak sesuai dengan kemampuan) sehingga aktualisasi diri tidak tercapai maksimal. Berlatar belakang dari pengungkapan pengalaman-pengalaman hidup para pelukis Bali, mungkin terdapat hal-hal positif yang dapat dipetik oleh masyarakat dalam membantu diri untuk mewujudkan aktualisasi diri. Jika aktualisasi diri tercapai sesuai dengan potensi yang dimiliki, maka individu akan merasa berguna, nyaman, dan secara maksimal dapat mengexplor kemampuanya sehingga produktivitas keja akan tercapai maksimal pula. Dari studi pendahuluan melalui wawancara dengan seorang pelukis yaitu Gst P pada tanggal 12 Juli 2013, peneliti memperoleh informasi, yaitu: (1) Gst P adalah salah seorang keturunan raja dari Kerajaan Pemecutan, yang merupakan satu-satunya kerajaan penguasa di Kabupaten Badung saat jaman penjajahan. Dan pengaruh kerajaan juga masih terasa sampai sekarang dalam kultur kehidupan masyarakat Bali. Jika dipelajari dari silsilah Gst. P adalah salah seorang cucu dari Raja yang gugur pada perang yang disebut dengan “Puputan Badung” tahun 1906. Pada saat perang terjadi hanya tersisa 3 orang bayi dan di antara 3 orang bayi tersebut adalah Ayah dari Gst. P. Walaupun beliau adalah keturunan raja tentu akan berkecukupan harta dalam masa hidupnya, namun menyadari akan kelemahan fisik yang dimiliki (sakit-sakitan dari kecil) maka setelah dewasa beliau memilih tetap tidak mengambil hak di Puri. Sesuai dengan kultur Bali jika seorang mendapat hak maka dia harus memenuhi kewajiban. Oleh karena beliau sangat khawatir ketidakmampuan memenuhi kewajiban terhadap Puri maka beliau tidak meminta hak dan beliau mencoba mengelola potensi yang dimiliki dan berkembang diluar kehidupan Puri. (2) Menyadari akan kelemahan yang dimiliki, Gst P mencoba
6
menata diri untuk membangun potensi yang dimiliki dengan tekad yang kuat (rasa jengah) ini agar dapat mewujudkan keberhasilan hidupnya. (3) Menemukan fakta yang berkembang saat ini, sangat jarang ditemukan para pemuda/pemudi mampu mengelola diri seperti model Gst P. Walaupun dengan berbagai kekurangan dibanding dengan status sosial seorang raja, masih tetap berjuang dengan usaha maksimal untuk menapaki kehidupan sampai menjadi seorang pelukis yang terkenal. (4) Hidup dalam masa penjajahan atau masa krisis dan diasuh ibu tiri, tidak mengurangi semangat Gst P untuk berjuang hidup dengan berbagai tekanan emosi. Menemukan berbagai fakta yang peneliti gambarkan di atas, merupakan kondisi yang sangat potensial untuk dikaji dalam penelitian ini tentang proses pencapaian aktualisasi diri pada karir pelukis yang dalam pandangan masyarakat sampai saat ini belum mendapat tempat sebagai jaminan karir untuk hidup. Informasi dari partisipan, dalam hal ini seorang pelukis ternama di Bali, akan peneliti gali melalui wawancara non-directive, yang merupakan metode dalam penelitian fenomenologis (Kruger, 1981). Pendekatan wawancara ini akan membebaskan partisipan dalam memberikan informasi sedalam dan sebanyak mungkin, dan tidak dibatasi sama sekali. Segala hal yang diceritakan partisipan tentang pengalamannya akan dianggap relevan, valid, dan insightful dalam memaknai pengalaman dalam memenuhi aktualisasi dirinya (Becker, 1992). Walau secara garis besar wawancara akan bersifat non-directive, namun informasi berupa emosi, tahapan psikologis, aktivitas fisik, persepsi, perasaan, ingatan, gambaran, gagasan, dan berbagai hal lain yang hadir dalam kesadaran dapat terungkap agar tema-tema utama dari pengalaman hidup pelukis dapat digali (Misiak & Sexton, 2005; Mastain, 2006 dalam Smith J. A, 2009).
7
B. Rumusan Masalah Masalah yang diangkat dalam penelitian fenomenologis ini adalah bagaimana suatu proses pemenuhan aktualisasi diri itu terjadi, dengan kata lain tema-tema utama apa yang mencuat dari struktur peristiwa tersebut dan pemaknaan saat ini bagi yang mengalami (Becker, 1992; Mastain, 2006). Oleh karena itu, dari latar belakang masalah di atas diambil rumusan masalah, yakni: “Bagaimana usaha–usaha dan makna pemenuhan aktualisasi diri pada pelukis Bali dan terhadap pengalamannya tersebut? C. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui bagaimanakah gambaran tema–tema pengalaman dari pelukis yang ternama dalam berusaha untuk memenuhi aktualisasi dirinya b. Memahami makna subjektif dari Pelukis Bali terhadap pengalamannya serta pemenuhan aktualisasi diri di dalam karyanya.
D. Manfaat Penelitian a. Bidang Keilmuan Psikologi Tinjauan self kearah positif biasanya ditemukan pada individu yang mempunyai pekerjaan yang stabil di masyarakat Indonesia, dan juga interaksi pada teman sejawat. b. Bidang Keilmuan Lainnya dan masyarakat Untuk lebih membuka skema berfikir masyarakat dan bidang keilmuan lainnya agar kedepannya dapat membuka bidang–bidang usaha yang dapat memajukan Indonesia.
8
E. Kode Etik Penelitian Ada beberapa hal yang peneliti lakukan untuk menjaga kode etik dari penelitian ini. Pertama, sebelum proses penggalian informasi melalui wawancara, terlebih dahulu peneliti menjelaskan maksud dan tujuan dari penelitian ini. Kemudian peneliti meminta kesediaan para partisipan untuk membagi pengalamannya. Setelah persetujuan diperoleh cukup dengan persetujuan lisan dari mereka, barulah dilanjutkan langkah berikutnya. Kedua, atas persetujuan partisipan tersebut, peneliti meminta izin untuk merekam proses wawancara dimana akan dijadikan bukti untuk pertangung jawaban data penelitian. Ketiga setelah proses wawancara peneliti berusaha untuk melakukan recheck hasil wawancara kepada partisipan untuk menghindari kesalahan intepretasi.
9