BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, desa merupakan awal bagi terbentuknya masyarakat politik
dan pemerintahan di Indonesia. Jauh sebelum negara modern ini terbentuk, kesatuan sosial sejenis desa atau masyarakat adat telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi sangat penting. Mereka ini merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat serta relatif mandiri dari campur tangan kekuasaan dari luar. 1 Walaupun demikian, kenyataan sekarang ini di atas kesatuan sosial seperti desa itu kini telah berdiri suatu perangkat kehidupan modern yang kita sebut “negara”. Pada akhirnya, desa juga tidak luput dari intervensi negara. Hal ini terlihat jelas ketika ditetapkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa. Kehadiran dan campur tangan negara modern ke dalam semua sektor pemerintahan desa membawa implikasi pada melemahnya kemandirian dan kemampuan pemerintahan desa. Kondisi ini sangat jelas terlihat selama masa kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Saat itu, berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, penguasa
melakukan
kebijakan
sentralisasi,
birokratisasi
dan
uniformitas
pemerintahan dan komunitas pada tingkatan desa. 2 Negara, yang dalam hal ini dipersonifikasikan sebagai pemerintah pusat, telah menjadi sumber dari semua kekuasaan dan kebijakan yang ada, termasuk dalam 1
2
Purwo Santoso ed., Pembaharuan Desa Secara Partisipatif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 2. Ibid., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan desa. Selain itu, kehadiran dominasi negara dalam pemerintahan pada tingkatan desa juga diwujudkan dengan adanya birokratisasi pada pemerintahan desa. Semua institusi dan individu lokal saat itu pada akhirnya mengalami negaraisasi sehingga simbol negara menjadi sangat dominan dalam pemerintahan dan komunitas pada tingkatan desa. 3 Pada sisi yang lain, tanpa menghiraukan heterogenitas masyarakat adat dan pemerintahan
asli,
undang-undang
tersebut
juga
melakukan
penyeragaman
pemerintahan pada level desa secara nasional. Uniformitas ini secara sederhana diwujudkan dengan pemberian nama “desa” kepada semua bentuk pemerintahan selevel desa. 4 Seiring dengan berakhirnya rezim Orde Baru yang diikuti dengan reformasi politik dan pergantian pemerintahan di tahun 1998, kemudian lahirlah UndangUndang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini, antara lain berisi mencabut UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979 yang tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui hak asal usul Daerah yang bersifat istimewa. Secara khusus UU ini juga mengatur tentang desa pada Bab XI (pasal 93). Selanjutnya UU ini diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Tentang Desa 5 yang secara khusus mengatur tentang Desa. Menurut UU No. 22 Tahun 1999, desa atau yang disebut dengan nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah
3
Ibid. Ibid. 5 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 142. 4
2
Universitas Sumatera Utara
Kabupaten 6. Sesuatu yang baru dengan lahirnya UU ini adalah dengan dibentuknya Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai wujud tata pemerintahan desa yang lebih demokratis. Secara normatif, BPD dikonsepkan sebagai lembaga perwakilan masyarakat desa (parlemennya desa) yang memiliki fungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. 7 Perubahan ini pada akhirnya juga membawa implikasi pada kemungkinan munculnya kembali variasi antar daerah dalam model-model pemerintahan di tingkat desa menjadi sangat besar. Dengan kata lain, undang-undang ini memungkinkan terjadinya beberapa perubahan seperti, dari pengaturan desa tingkat nasional (UU) menjadi pengaturan tingkat kabupaten/kota (perda), dari uniformitas menjadi variatif dan dari dominasi birokrasi menjadi institusi masyarakat lokal/adat.8 Pada perkembangan selanjutnya, dikeluarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Menurut UU No. 32 Tahun 2004, Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9
6
7 8 9
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 60). Jurnal “Pembaharuan Pemerintahan Desa” (Yogyakarta:IRE Press, 2003) hal. 20 Santoso, Op. Cit., hal. 4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 125).
3
Universitas Sumatera Utara
Sama seperti sebelumnya, UU ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 Tentang Desa 10. Dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah ini, maka PP No. 76 Tahun 2001 dinyatakan tidak berlaku lagi. Selanjutnya pengaturan mengenai syarat dan tata cara pemilihan Kepala Desa dan BPD secara rinci untuk setiap Kabupaten diatur berdasarkan Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh Bupati selaku Kepala Daerah dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Pemerintahan Desa yang ada di Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 7 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pemilihan, Pencalonan, Pengangkatan, Pelantikan Dan Pemberhentian Kepala Desa. 11 Menurut Perda Kabupaten Deli Serdang No. 7 Tahun 2007, Kepala Desa bertugas menyelenggarakan urusan Pemerintahan, Pembangunan dan Kemasyarakatan. Dalam konteks desa, Pemerintah Desa memegang peran yang sangat penting demi terciptanya tata pemerintahan yang baik di desa. Pemerintah Desa sebagai eksekutif
berfungsi
menjalankan
fungsi
pemerintahan,
pembangunan
dan
menciptakan kehidupan kemasyarakatan yang kondusif di desa. Pemerintah desa adalah bagian dari birokrasi negara dan sekaligus sebagai pemimpin lokal yang memiliki posisi dan peran yang signifikan dalam membangun dan mengelola pemerintahan desa. Pemerintah desa mengemban tugas utama dalam hal menciptakan kehidupan yang demokratis, mendorong pemberdayaan masyarakat serta memberikan pelayanan publik yang baik.
12
Tetapi kondisi ideal belum tercapai sepenuhnya hingga saat ini. Ciri kebijakan sentralistis pada masa Orde Baru yang menunjukkan pola hubungan antara 10
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158. Berita Daerah Kabupaten Deli Serdang Tahun 2007 Nomor 8. 12 Jurnal “Pembaharuan Pemerintahan Desa” (Yogyakarta:IRE Press, 2003) hal. 15 11
4
Universitas Sumatera Utara
pemerintah pusat dengan pemerintah desa lebih merupakan “intervensi” daripada “interaksi” masih terbawa-bawa hingga sekarang. Kepala Desa selaku penguasa tunggal di desa kemudian hanya dijadikan alat oleh pemerintah pusat untuk menerapkan pola hubungan korporatis-sentralistic. 13 Keadaan ini ternyata berdampak meski kini struktur pemerintahan desa telah dirubah. Masih kuat dan dominannya kepemimpinan Kepala Desa akibat kebijakan sentralistis Orde Baru ditambah budaya paternalistic menghambat terciptanya akuntabilitas pemerintahan desa. Pola hubungan Patron-Client terkadang mematikan daya kritis masyarakat desa terhadap Kepala Desa selaku tokoh yang menjadi panutan. Selain itu, lemahnya konsolidasi internal, responsibilitas dan kompetensi perangkat desa akibat beberapa faktor, sangat menghambat efektivitas fungsi pemerintah desa. Hal ini diperparah dengan minimnya budaya administrasi modern dan kurangnya kemampuan dalam hal mengelola keuangan desa. 14 Sehubungan dengan kenyataan di atas, pelaksanaan fungsi Pemerintah Desa yang efektif mutlak diperlukan. Pemerintah Desa merupakan lembaga yang memiliki peran dan potensi yang cukup besar dalam membangun dan mengelola pemerintahan di desa. Pemerintah Desa selaku eksekutif di desa, berperan aktif dalam menentukan kebijakan maupun pelaksanaan pembangunan di desa. Selain itu, Pemerintah Desa harus mampu membangun kemitraan, baik dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pihak swasta maupun masyarakat itu sendiri. Dengan efektifnya fungsi-fungsi dari Pemerintah Desa, maka pemerintahan di desa akan berjalan dalam sinergi dimana setiap kebijakan yang diambil berbasis masyarakat, sehingga masyarakat merasa memiliki dan mau ikut ambil bagian dalam 13 14
Ibid. Ibid., 15 et seqq.
5
Universitas Sumatera Utara
pembangunan desa. Setiap elemen di desa menjalankan peran secara proporsional dalam mengontrol jalannya pemerintahan di desa. Dan pada akhirnya akan tercipta tata pemerintahan desa yang baik (good local governance). Untuk menciptakan hal tersebut, maka konsep pembaharuan desa yang diterapkan harusnya bukannya mengarah kepada penyeragaman bentuk dan nama desa, melainkan lebih mengarah kepada upaya mendekatkan negara kepada masyarakat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam urusan lokal yang pada akhirnya akan mendorong terciptanya transparansi, akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal. Pembaharuan desa harus mampu memperkuat semua elemen desa secara seimbang, baik itu pemerintah desa, masyarakat politik, masyarakat sipil dan masyarakat ekonomi. Good local governance merupakan suatu konsep turunan dari konsep good governance yang diterapkan di level desa, dimana prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik di level negara diaplikasikan ke tingkatan desa dengan menekankan pada aspek penguatan potensi lokal dan kemandirian. Good local governance merupakan konsep yang tepat untuk diterapkan pada pemerintahan desa demi meningkatkan keefektifan pemerintahan se-level desa. Dengan melihat berbagai permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Penerapan Prinsip-Prinsip Good Local Governance Terhadap Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa”. Penelitian ini dilaksanakan pada 5 desa di Kec. Namorambe yaitu Desa Delitua, Desa Ujung Labuhan, Desa Batu Penjemuran, Desa Jati Kesuma dan Desa Kuta Tengah. B.
Perumusan Masalah
6
Universitas Sumatera Utara
Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan baik, maka harus dapat dirumuskan apa yang menjadi permasalahannya sehingga jelas darimana harus memulai dan kemana harus pergi, serta dengan apa melakukan penelitian. Berdasarkan penjelasan diatas, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Bagaimana penerapan prinsip-prinsip good local governance pada lima desa di Kecamatan Namorambe?
2.
Bagaimana efektivitas fungsi Pemerintah Desa pada lima desa di Kecamatan Namorambe?
3.
Adakah pengaruh penerapan prinsip-prinsip good local governance terhadap efektivitas fungsi Pemerintah Desa di Kecamatan Namorambe?
C.
Tujuan Penelitian Mengacu pada permasalahan penelitian di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini antara lain: 1.
Untuk mengukur penerapan prinsip-prinsip good local governance di desa di Kecamatan Namorambe.
2.
Untuk mengukur efektivitas fungsi Pemerintah Desa di Kecamatan Namorambe.
3.
Untuk mengetahui adakah pengaruh penerapan prinsip-prinsip good local governance terhadap efektivitas fungsi Pemerintah Desa di Kecamatan Namorambe.
D.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1.
Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran, masukan dan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan desa.
7
Universitas Sumatera Utara
2.
Secara akademis, penelitian ini akan lebih melengkapi ragam penelitian pada kajian Ilmu Administrasi Negara dan menambah bahan bacaan dan referensi karya ilmiah.
3.
Bagi penulis sendiri, penelitian ini akan memberikan manfaat dalam meningkatkan kemampuan berpikir dan memahami permasalahan tentang desa serta dapat menerapkan ilmu yang diperoleh selama ini dalam perkuliahan untuk mencari solusi masalah berkenaan tentang desa.
E.
Kerangka Teori 1. Good Local Governance Desa tidak jauh berbeda dengan negara, dan dapat dikatakan sebagai miniatur
negara. Dalam tempo yang lama, pemerintahan desa terkontaminasi oleh praktikpraktik birokratisasi yang merusak, kepemimpinan bergaya priyayi yang memperdaya rakyat, penggunaan paradigma K-3 (kekuasaan, kewenangan dan kekayaan) yang melanggengkan korupsi, maupun praktek pendekatan yang meminggirkan masyarakat dari arena politik. Penguasa desa menjadi kuat secara birokratis tetapi lemah kapasitasnya. Di desa orang bisa melihat betapa kuatnya oligarki elite, yaitu segelintir elite yang mengklaim dirinya dipercaya oleh rakyat, menguasai sumber daya politik dan ekonomi desa. Pola pengelolaan kekuasaan dan kekayaan yang merusak yang diwarisi dari zaman prakolonial hingga Orde Baru telah membuahkan pemerintahan yang buruk (bad governance) di tingkat desa. Karena itu desa harus dirubah dengan demokratisasi melalui pembaharuan pemerintahan. 15 Secara institusional Pemerintah Desa telah ditemani Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang hadir sebagai mitra sekaligus oposisi. Bagi masyarakat bawah, demokrasi bukanlah sesuatu yang asing lagi. Masyarakat sekarang jauh lebih kritis 15
Pembaharuan Pemerintahan Desa, Op. Cit., hal. 7.
8
Universitas Sumatera Utara
dan menuntut pemimpinnya berbuat lebih baik, jujur, bersih terbuka dan bertanggung jawab. Good governance, atau lebih tepatnya tata pemerintahan lokal yang baik (good local governance) adalah sebuah perspektif (model) yang relevan digunakan untuk membingkai pembaharuan pemerintahan desa. Good local governance sebagai cara pandang baru untuk menggantikan paradigma lama government. Cara pandang government secara konvensional memandang bahwa negara adalah segala-galanya atau sebuah lembaga yang sangat kuat, sentral dan superior. Good local governance memandang bahwa negara (pemerintah desa) dan masyarakat berada dalam posisi sejajar yang secara bersama-sama belajar mengelola pemerintahan desa. Perspektif baru tentang pemerintah, dimana perubahan peran pemerintah dalam masyarakat dan kemampuannya mewujudkan kepentingan bersama di bawah batasan internal maupun eksternal merupakan inti dari good local governance. Intinya adalah melibatkan masyarakat dalam proses pemerintahan sekaligus mendekatkan negara kepada masyarakat. Good local governance merupakan konsep turunan dari konsep good governance. Perbedaannya hanya terletak pada locus penerapannya saja, dimana good governance diterapkan pada level negara, sementara good local governance diaplikasikan pada level pemerintahan desa. Untuk itu, sebelum membahas mengenai good local governance, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai konsep good governance. 1. 1. Pengertian Good Governance Munculnya istilah good governance sekarang mendorong para ilmuwan politik untuk tidak sekedar memperhatikan pemerintah sebagai lembaga, melainkan juga pemerintahan sebagai proses multi arah, yaitu proses memerintah yang melibatkan
9
Universitas Sumatera Utara
pemerintah dengan unsur-unsur di luar pemerintah. Governance adalah bentuk interaksi antara negara dan masyarakat sipil. 16 Governance tidak sama dengan government (pemerintah) dalam arti sebagai lembaga, tetapi governance adalah proses kepemerintahan dalam arti yang luas. Jon Pierre dan Guy Peters misalnya, memahami governance sebagai sebuah konsep yang berada dalam konteks hubungan antara sistem politik dengan lingkungannya, dan mungkin melengkapi sebuah proyek yang membuat ilmu politik mempunyai relevansi dengan kebijakan publik. Berpikir tentang governance, demikian Jon Pierre dan Guy Peters, berarti berpikir tentang bagaimana mengendalikan ekonomi dan masyarakat, serta bagaimana mencapai tujuan-tujuan bersama. 17 Bank Dunia 18 (1989), mendefinisikan governance sebagai tindakan pemegang kekuasaan untuk mengelola urusan-urusan nasional. Governance bisa juga diartikan sebagai pengelolaan struktur rezim dengan sebuah pandangan untuk memperkuat legitimasi penyelenggaraan kekuasaan di mata kehidupan publik. Legitimasi adalah variabel yang tergantung yang dihasilkan oleh governance yang efektif. Goran Hayden 19 (1992) secara komprehensif mengidentifikasi 3 dimensi besar dalam konteks governance: dimensi aktor, dimensi struktural, dan dimensi empirik. Dimensi aktor mencakup kekuasaan, kewenangan, resiprositas dan pertukaran. Dimensi struktural mencakup elemen seperti ketulusan, kepercayaan, akuntabilitas dan inovasi. Dimensi empirik governance mencakup tiga elemen utama: pengaruh warga negara, resiprositas sosial serta kepemimpinan yang responsif dan bertanggung
16
Leftwich, (1994) dan Rhodes, (1997), dalam Dwipayana, Membangun Good Governance di Desa (Yogyakarta: IRE Press, 2003), hal. 8. 17 Jon Pirre dan Guy Peters, Governance, Politics and the State (London: MacMilan Press, 2000), hal. 1. 18 AAGN Ari Dwipayana et. al., Membangun Good Governance di Desa (Yogyakarta: IRE Press, 2003), hal. 9. 19 Ibid., hal. 10.
10
Universitas Sumatera Utara
jawab. Pengaruh warga negara bisa diukur dari tingkat partisipasi politik, perangkat artikulasi dan agregasi serta metode akuntabilitas publik. Jika perspektif government memandang negara adalah segala-galanya maka perspektif governance mempunyai sejumlah paradigma baru dalam mengelola negara yang bersandar pada enam prinsip utama: a.
Negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan hegemoni, tetapi negara adalah aktor setara yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi aktor-aktor masyarakat dan pasar untuk mencapaii tujuan besar.
b.
Negara bukan lagi sentrum “kekuasaan formal” tetapi sebagai sentrum “kapasitas politik”. Kekuasaan negara harus ditransformasikan dari “kekuasaan atas” (power over) menuju “kekuasaan untuk” (power to).
c.
Negara harus berbagi kekuasaan dan peran pada tiga level: ke atas pada organisasi transnasional, ke samping pada NGO dan swasta, serta ke bawah pada daerah dan masyarakat lokal.
d.
Negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar mendorong segmen-segmen di luar negara mampu mengembangkan pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom dan dinamis.
e.
Negara harus melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda pembuatan keputusan dan pemberian layanan publik.
f.
Penyelenggara negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi dan akuntabilitas publik. 20 Selanjutnya Bank Dunia memberi batasan good governance sebagai pelayanan
publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan serta pemerintahan yang
20
Ibid., hal. 12.
11
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab pada publiknya. Sementara Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan
keputusan
yang
demokratis,
transparansi
pemerintahan
dan
pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bersahabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi. 21 Tabel 1. Relasi yang baik antara negara, masyarakat dan pasar menurut konsep good governance 22 Aktor dan
Negara
Masyarakat
Pasar
Relasi Negara
Masyarakat
Pasar
Minimalisasi peran negara melalui demokratisasi, desentralisasi, debirokratisasi dan deregulasi.
1). Pemerintahan yang transparan, akuntabel, responsif dan efektif. 2). Rule of law
1). Partisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan. 2). Mandiri dari negara 3). Punya kapasitas kontrol 1). Akses pelaku ekonomi terhadap kebijakan dan modal. 2). Akuntabel
Masyarakat yang demokratis, pluralis, inklusif dan semarak.
Pasar yang bertanggungjawab terhadap masyarakat.
1). Birokratisasi bersahabat dengan pasar. 2). Deregulasi dan privatisasi. 3). Regulasi untuk mencegah monopoli. Masyarakat mempunyai akses terbuka terhadap pasar yang sehat.
Pasar yang kompetitif dan bertanggungjawa b.
21
Robert Archer, Pasar dan Penyelenggaraan Negara Yang Baik, dalam Didik J. Rachbini (ed.), Negara dan Kemiskinan di Daerah (Jakarta: Sinar Harapan, 1994), hal. 27. 22 Dwipayana, Op. Cit., hal 20.
12
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan UNDP memberi pengertian good governance
sebagai sebuah
konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan
pemerintahan dalam sebuah negara. Secara tegas, UNDP
mengidentifikasikan 6 karakteristik good governance: (1) partisipatif; (2) transparan dan bertanggungjawab; (3) efektif dan berkeadilan; (4) mempromosikan supremasi hukum; (5) memastikan bahwa prioritas sosial, ekonomi dan politik didasarkan pada konsensus dalam masyarakat; dan (6) memastikan bahwa suara penduduk miskin dan rentan didengarkan dalam proses pembuatan keputusan. 23 1.2. Good Local Governance Kerangka good governance yang bersifat makro di atas dapat dimodifikasi bila dikontekstualisasikan pada level desa (good local governance). Dalam konteks ini, agenda besarnya adalah desentralisasi dan demokrasi politik serta demokratisasi politik. Dalam konteks yang lebih luas, terutama relasi antara desa dan supradesa, good local governance di level desa juga mencakup otonomi desa, yakni selfgoverning community di level desa dan subsidiarity (pengambilan keputusan dan penggunaan wewenang di level desa). Sedangkan dari sisi ekonomi adalah pengelolaan sumber daya ekonomi berbasis pada masyarakat. 24 Jika good governance diletakkan dalam lingkup desa, maka ada dua isu yang perlu diperhatikan. Pertama, isu pemerintahan demokratis (democratic governance), yaitu pemerintahan desa yang berasal dari masyarakat (partisipasi), dikelola oleh masyarakat (akuntabilitas dan transparansi), dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk masyarakat (responsivitas). Kedua, hubungan antar elemen pemerintahan di desa yang didasarkan pada prinsip kesejajaran, keseimbangan dan kepercayaan (trust).
25
23
Dalam Dwipayana, Op. Cit., hal. 10. Ibid., hal. 21. 25 Ibid. 24
13
Universitas Sumatera Utara
Kedua isu ini ibarat dua sisi mata uang yang memang berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Nilai mata uang itu adalah keterlibatan masyarakat (partisipasi) dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai kebaikan bersama secara kolektif. Pola hubungan antar elemen bisa sejajar dan seimbang bila pemerintahan desa dikelola secara partisipatif , akuntabel, transparan dan responsif. Sebaliknya, pemerintahan desa yang demokratis (partisipatif , akuntabel, transparan dan responsif) bisa semakin kokoh, legitimate, dan mampu bekerja secara efektif bila ditopang dengan kesejajaran, keseimbangan, dan kepercayaan antar elemen pemerintahan di desa. 26 Hal ini membutuhkan sebuah proses perluasan ruang publik melalui dialogdialog (forum warga atau rembug desa) yang semarak dan berkelanjutan. Forum warga atau rembug desa itulah yang dipandang sebagai bentuk demokrasi deliberatif (demokrasi permusyawaratan). Model demokrasi seperti ini menekankan pada proses permusyawaratan untuk mencapai kesepakatan dan kebaikan bersama, yang hasilnya digunakan sebagai aturan main, traktat dan kebijakan dalam pengelolaan pemerintahan di desa. 27 Dipandang dari sudut negara, Pemerintah Desa dan Kepala Desa merupakan bagian dari mata rantai birokrasi negara, yang menjalankan fungsi regulasi dan kontrol
pada
wilayah
dan
masyarakat
melalui
“pelayanan
administratif”,
implementasi proyek-proyek pembangunan, mobilisasi masyarakat untuk mendukung kebijakan pemerintah, melakukan pelayanan pada masyarakat untuk kepentingan negara, menarik pungutan dan lain-lain. Konsekuensinya, pemerintah desa (Kepala Desa) mempunyai akuntabilitas hukum dan politik kepada pemerintah supradesa. Sementara dari sudut pandang masyarakat, pemerintah desa merupakan representasi 26 27
Ibid. Ibid., hal. 22.
14
Universitas Sumatera Utara
masyarakat melalui pemilihan Kepala Desa secara langsung yang melibatkan masyarakat desa. Tabel 2. Peta pemerintahan di level desa 28 Elemen Governance Negara
Masyarakat Politik
Masyarakat Sipil
Masyarakat Ekonomi
Aktor
Arena
Kepala desa dan perangkat desa
Regulasi, kontrol pada masyarakat, pengelolaan kebijakan, keuangan, pelayanan. Badan Representasi, Permusyawaratan artikulasi, Desa (BPD) agregasi, formulasi, legislasi, sosialisasi, kontrol. Institusi sosial, Keswadayaan, organisasi sosial, kerja sama, warga masyarakat gotong royong, jaringan sosial. Pelaku dan Produksi dan organisasi ekonomi distribusi
Isu Relasional Akuntabilitas, transparansi, responsivitas dan kapasitas.
Kapasitas, akuntabilitas dan responsivitas
Partisipasi (voice, akses dan kontrol) Akses kebijakan, akuntabilitas sosial
2. Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa 2. 1. Pengertian Efektivitas Dalam setiap organisasi, efektivitas merupakan unsur pokok yang sangat penting dalam mencapai tujuan ataupun sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, baik bagi organisasi swasta yang bersifat profit oriented maupun organisasi pemerintahan yang bersifat non-profit oriented. Menurut Mullins 29, efektif itu harus terkait dengan pencapaian tujuan dan sasaran suatu tugas dan pekerjaan dan terkait juga dengan kinerja dari proses pelaksanaan suatu pekerjaan. 28 29
Ibid., hal. 23. Dalam Nana Rukmana, Model Manajemen Pendidikan Berbasis Komitmen (Semarang: Alfabeta, 2006), hal.14.
15
Universitas Sumatera Utara
The Liang Gie berpendapat bahwa: “Efektivitas merupakan suatu keadaan yang mangandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kalau seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang kehendaknya maka perbuatan orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan akibat atau mencapai maksud sebagaimana yang dikehendakinya.” 30 Dari kedua pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa suatu pekerjaan yang dikatakan efektif hanya bila pekerjaan tersebut mendatangkan hasil/mencapai tujuan seperti yang telah direncanakan sebelumnya. Disini terlihat jelas bahwa efektivitas disini berarti berorientasi pada pencapaian tujuan. Sedangkan bila ditinjau dari aspek ketepatan waktu pencapaian tujuan, efektivitas adalah tercapaianya berbagai sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, tepat waktunya dengan menggunakan sumber-sumber tertentu yang sudah dialokasikan untuk melakukan berbagai kegiatan. 31 Bila ditinjau dari aspek manfaat yang dihasilkan, efektivitas dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencapai suatu keuntungan maksimal dalam organisasi dengan segala cara. Maka semakin besar keuntungan yang diperoleh organisasi, maka organisasi itu semakin efektif. 32 Pengertian ini digunakan untuk mengukur efektivitas organisasi yang bersifat profit-oriented, namun kurang tepat bila digunakan untuk mengukur efektivitas organisasi pemerintah yang bersifat non profit-oriented. Karena organisasi pemerintah lebih mengutamakan sisi pelayanan daripada mencari keuntungan. Bila ditinjau dari segi kemampuan melaksanakan tugas, efektivitas adalah segala usaha untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan tugas. 33 Efektivitas
30
The Liang Gie, Administrasi Perkantoran Modern (Yogyakarta: Raja India, 1976), hal. 215. Sondang P. Siagian, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 171. 32 Richards M. Steers, Efektivitas Organisasi (Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 47. 33 AW. Widjaya, Administrasi Kepegawaian (Jakarta: Rajawali, 1986), hal. 146. 31
16
Universitas Sumatera Utara
disini diartikan sebagai usaha untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas, baik dari sisi teknis maupun dari sisi keterampilan sumber daya manusianya. Dari beberapa pendapat ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa efektivitas merujuk pada tingkat sejauh mana suatu organisasi melaksanakan kegiataan/usaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya tepat waktu, dengan menggunakan alat-alat atau sumber daya yang ada secara optimal. Ketepatan waktu dan kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut dilihat dari kualitas dan kuantitas penyelesaian tugas. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa ada 4 indikator penting dalam mengukur efektivitas, yaitu pencapaian tujuan, ketepatan waktu, manfaat dan kemampuan. Namun suatu hal yang penting, bahwa efektivitas merupakan sesuatu yang kontradiksi dengan efisiensi. Efektivitas senantiasa berorientasi pada keluaran (output), sedangkan konsep efisiensi berorientasi pada masukan (input). Efektivitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan menajemen yang efektif yang tidak disertai dengan efisiensi. 34 Kedua pilihan ini seringkali tidak dipilih salah satunya, tetapi sama-sama dipakai bersamaan. Penerapan kedua option yang berlainan makna ini sesungguhnya dapat membentuk pilihan atau keputusan yang salah (adverse selection). 2. 2. Pemerintah Desa Pemerintah desa memiliki peran signifikan dalam pengelolaan proses sosial di dalam masyarakat. Tugas utama yang harus diemban pemerintah desa adalah bagaimana menciptakan kehidupan demokratik, memberikan pelayanan sosial yang baik sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa tenteram dan berkeadilan. Guna mewujudkan tugas tersebut, pemerintah desa dituntut
34
Komarudin, Ensiklopedia Umum (Bandung: Alumni, 1979), hal. 129.
17
Universitas Sumatera Utara
untuk melakukan perubahan, baik dari segi kepemimpinan, kinerja birokrasi yang berorientasi pada pelayanan yang berkualitas dan bermakna, sehingga kinerja pemerintah desa benar-benar makin mengarah pada praktek good local governance, bukannya bad governance. 35 Peluang untuk menciptakan pemerintahan desa yang berorientasi pada good local governance sebenarnya dalam konteks transisi demokrasi seperti yang dialami oleh bangsa Indonesia sekarang terbuka cukup lebar. Hal ini setidaknya didukung oleh kondisi sosial pasca otoritarianisme Orde Baru yang melahirkan liberalisasi politik yang memungkinkan seluruh elemen masyarakat di desa secara bebas mengekspresikan gagasan-gagasan politiknya. 36 Begitu pula dukungan pemerintahan transisi pasca Orde Baru dengan membuat regulasi melalui UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan oleh UU No.32 Tahun 2004 yang sedikit lebih maju dibandingkan dengan regulasi sebelumnya di masa Orde Baru yang syarat dengan penyeragaman dan pengekangan sosial. 37 Meskipun demikian, adanya perubahan sosial-politik dalam masa transisi demokrasi ini tidak dengan serta merta dapat merubah dalam sekejap wacana dan kinerja pemerintahan desa ke dalam visi demokratisasi dan good local governance. Sekalipun strukturnya mengalami perubahan, dimana saat ini pemerintahan desa tidak lagi bercorak korporatis dan sentralistik pada kepemimpinan Kepala Desa, akan tetapi kultur dan tradisi paternalistik yang memposisikan Kepala Desa sebagai orang kuat dan berpengaruh masih begitu melekat dengan kuat. Realitas ini memang tidak dapat dilepaskan sebagai bagian dari proses konstruksi sosial yang begitu mendalam sehingga membuat daya kognitif warga desa seringkali terasa kesulitan dalam
35
Dwipayana, Op. Cit., hal. 33. Mohctar Mas’oed, Negara Kapital dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1994), hal. 97-101. 37 Dwipayana, Op. Cit., hal. 34. 36
18
Universitas Sumatera Utara
membuat terobosan-terobosan baru yang sejalan dengan semangat perubahan ketika berbenturan dengan kebijakan seorang Kepala Desa. 38 Kondisi ini sedikit banyak juga dipengaruhi pula oleh lemahnya human resources di desa yang populasinya relatif kecil dan sangat terbatas. Sebab itu guna mendobrak kebekuan atau stagnasi sosial ini diperlukan terobosan dari kekuatan luar untuk bermitra atau saling bekerja sama dengan aktor-aktor dan lembaga-lembaga potensial di desa dalam melakukan perubahan sosial menuju ke arah situasi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya. 39 a. Struktur Pemerintah Desa Semangat otonomi daerah dan desentralisasi memang berhembus demikian kuat di dalam masyarakat dan juga di lingkungan pemerintahan, khususnya kabupaten yang menjadi basis dari pelaksanaan otonomi daerah. Kondisi ini setidaknya membawa angin segar serta harapan akan realisasi otonomi desa, meskipun otonomi desa tidak disebutkan secara jelas di dalam UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004. Di dalam UU No. 22 Tahun 1999, pemerintahan desa masih diposisikan dalam kondisi agar memiliki ketergantungan pada pemerintahan di level kabupaten dan provinsi. Hal ini mengakibatkan implementasi pasal-pasal tentang desa dalam UU produk reformasi itu demikian bergantung terhadap proses legislatif di tingkat kabupaten, bahkan mungkin demikian tergantung pada tarik-ulur politik otonomi daerah di tingkat provinsi. 40 Sementara pada UU No. 32 Tahun 2004, desa tidak lagi dinyatakan berada di daerah kabupaten namun Kepala Desa tetap bertanggung jawab kepada Bupati melalui Camat dan BPD.
38
Peter L. Berger, Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (Jakarta: LP3S, 1990). 39 Dwipayana, Loc. Cit. 40 Dwipayana, Op. Cit., hal. 35.
19
Universitas Sumatera Utara
Bagan 1. Organisasi Pemerintahan Desa menurut UU No. 5/1979 LMD
Kepala Desa
Sekretaris Desa
Para Kepala Urusan Para Kepala Dusun
Bagan 2. Organisasi Pemerintahan Desa menurut UU No. 32/2004 Kepala Desa
BPD
Sekretaris Desa
Para Kepala Urusan Para Kepala Dusun
Di atas disajikan kedua bagan organisasi pemerintahan desa menurut aturan lama (UU No. 5 Tahun 1979) dan aturan baru (menurut UU No. 32 Tahun 2004). Perbedaan mendasar antara kedua model bagan tersebut terletak pada lembaga penyeimbang Kepala Desa, sekaligus hubungan antara Kepala Desa dengan lembaga tersebut. Dalam pola lama, lembaga tersebut adalah Lembaga Musyawarah Desa (LMD), dimana Kepala Desa adalah ketuanya. Sementara
dalam
pola
baru,
lembaga
dimaksud
adalah
Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), yang sama sekali tak berkaitan langsung dengan Kepala Desa, dan berfungsi sebagai lembaga legislatif sekaligus representatif di
20
Universitas Sumatera Utara
tingkat desa. Dengan demikian, pola baru ini diidealkan (paling tidak secara konseptual) lebih demokratis daripada pola lama. b. Fungsi Pemerintah Desa Menurut Perda Kabupaten Deli Serdang No. 7 Tahun 2007, tugas utama seorang Kepala Desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Kepala Desa diberi serangkaian wewenang dan kewajiban. 41 Dalam kegiatan sehari-hari, secara umum pemerintah desa menjalankan empat fungsi utama. Keempat fungsi itu antara lain: 42 a. Sebagai kepanjangan tangan birokrasi pemerintah dengan memberi pelayanan administratif (surat-menyurat) kepada warga. Sudah lama birokratisasi suratmenyurat itu mereka anggap sebagai pelayanan publik, meskipun hal itu yang membutuhkan adalah negara, bukan masyarakat. b. Fungsi
sosial
yang
bercampur
aduk
dengan
fungsi pribadi,
yaitu
beranjangsana dengan warga masyarakat melalui silaturahmi (layat, jagong dan sanja). Fungsi sosial ini secara empirik merupakan indikator legitimasi sosial perangkat desa di hadapan warga masyarakat. Anjangsana sosial adalah kearifan lokal yang mempunyai makna simbolik, mendekatkan pamong dan rakyatnya secara personal, membiasakan komunikasi antarpersonal dan sebagainya. Sebagai bentuk kearifan lokal, anjangsana sosial tidak boleh dibunuh. Tetapi problemnya, anjangsana hanya berlangsung dalam area privat. Pemerintah desa, terutama kepala desa tidak melembagakan anjangsana dan komunikasi yang intensif dalam proses pemerintahan dan pengambilan keputusan desa. 41 42
Baca Perda Deli Serdang No. 7 Tahun 2007 pasal 30 ayat 2 dan pasal 31 ayat 1. “Pembaharuan Pemerintahan Desa”, Op. Cit., hal. 11 et seq.
21
Universitas Sumatera Utara
c. Fungsi pembangunan seperti menggerakkan perencanaan dari bawah, merancang
proposal
yang
disampaikan
ke
pemerintah
supra
desa,
mengalokasikan bantuan kepada masyarakat, serta memobilisasi dana dan tenaga masyarakat melalui gotong royong. Umumnya fungsi pembangunan ini dikerahkan untuk pembangunan sarana fisik desa, bukan pemberdayaan sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas. d. Mengumpulkan pungutan seperti pajak bumi dan bangunan (PBB). Untuk urusan yang satu ini, pemerintah desa sangat giat, sebab pengumpulan PBB yang tinggi dan cepat merupakan “prestasi” di hadapan pemerintah supra desa. Pelaksanaan tugas birokrasi negara inilah yang membuat pamong desa, semisal kepala dusun, tercerabut dari akarnya. Kalau dulu kepala dusun adalah pamong (yang melindungi dan mengayomi) yang dipercaya oleh rakyatnya, sekarang ia hadir sebagai “musuh” yang mengganggu dan memungut uang warga untuk kepentingan negara.
Keempat fungsi ini mempunyai implikasi terhadap legitimasi dan akuntabilitas pemerintah desa. Kepala Desa tidak merasa perlu merawat vitalitas legitimasi dari sisi kinerja, tetapi cukup dengan tampil jujur dan tampil populis dengan anjangsana di berbagai komunitas. Kepala Desa tetap punya citra diri sebagai “orang kuat” (omnipotent) dan pemurah hati (benevolent) di hadapan warganya. Warga masyarakat cenderung punya citra diri sebagai obedient, yang menganggap Kepala Desa sebagai panutan, pengayom dan pemimpin. Yang terjadi bukanlah pola hubungan citizenship, melainkan clientelistic. Masyarakat menilai kinerja pemimpinnya dalam kerangka sosial personal, daripada kerangka politik dan teknokratis. 43 c. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa 43
Ibid., hal. 12.
22
Universitas Sumatera Utara
Hal-hal yang menentukan efektivitas fungsi pemerintah desa biasanya meliputi beberapa faktor-faktor berikut ini: 44 a.
Konsolidasi internal di kalangan pemerintah desa. Semakin kuat konsolidasi tersebut, semakin efektif pula kinerja aparat. Tetapi
jika yang terjadi sebaliknya, maka kinerjanya semakin buruk dan tidak terkoordinir dengan baik. Faktor konsolidasi ini sangat penting, mengingat dimensi-dimensi politis sangat berpengaruh pula dalam kinerja pemerintahan desa. Sebab biasanya pasca pilkades di kalangan warga masyarakat masih masih menyisakan konflik, kekecewaan dan sejenisnya, utamanya dari komunitas yang figurnya kalah
dalam kompetisi
pemilihan. Singkatnya, bila para perangkat desa itu masih berada dalam satu kubu dalam hal peta dukungan terhadap Kepala Desa semasa pilkades, semakin mudah upaya konsolidasi internal dilakukan. Sebaliknya, jika dalam tubuh aparat sendiri terdapat orang-orang yang semasa pilkades justru penentang Kepala Desa yang kini terpilih, umumnya yang terjadi semakin sulit konsolidasi internal dilaksanakan. Dalam konteks ini, peran kepemimpinan Kepala Desa memang sangat menentukan dalam upaya konsolidasi internal sehingga dapat membentuk team work yang solid. b.
Adanya optimalisasi peran seluruh elemen dalam struktur pemerintahan desa. Optimalisasi peran seluruh elemen pemerintahan desa sangat diperlukan demi
berjalannya tugas-tugas pemerintah desa dengan baik. Optimalisasi ini harusnya tidak hanya sampai pada perangkat desa yang utama seperti sekretaris desa, para kepala urusan dan kepala dusun, namun juga hingga ke tingkatan RT dan RW. c.
Adanya kompetensi dan kesesuaian peran dalam proses rekruitmen perangkat desa
44
Dwipayana, Op. Cit., hal. 39 et seqq.
23
Universitas Sumatera Utara
Sampai tingkat tertentu dapat dimaklumi apabila faktor “politis” begitu mendominasi pertimbangan dalam rekruitmen aparat desa. Namun demikian, kemampuan sumber daya manusia yang rendah justru terbukti menciptakan suasana kontra-produktif terhadap kepemimpinan Kepala Desa dan pemerintahan desa pada umumnya. Belum lagi bila dilihat dari kasus lainnya, yakni perangkat desa yang telah lanjut usia. Kondisi demikian juga merepotkan kinerja perangkat desa secara keseluruhan.sementara untuk melakukan peremajaan atau pergantian perangkat terdapat rasa pakewuh (segan) sehingga menciptakan hambatan psikologis dan sosial yang cukup besar. Fenomena ini jika dilihat dari perspektif peran dan fungsi administrasi modern memang tidak berkesesuaian karena sangat mengandalkan merit system. Namun rasionalisasi di dalam masyarakat desa dalam konteks ini juga juga dapat diabaikan begitu saja, mengingat terdapat peran substansif yang dibawa, yakni representasi dan akomodasi sosial dalam rangka tetap terjalinnya keseimbangan sosial yang dapat menekan potensi konflik di desa. d.
Perlunya penyegaran dan pergantian perangkat desa yang kinerjanya buruk, terutama yang terindikasi terlibat korupsi. Jika perangkat desa yang diindikasikan kuat terlibat korupsi terus
dipertahankan, maka akan menciptakan pengaruh buruk bagi perangkat desa yang lain. Disamping itu, masyarakat sendiri juga akan mulai menarik dukungan dan bahkan akan dapat merongrong kinerja pemerintahan desa. Pergantian perangkat desa juga harus jelas pula tata aturannya, terutama bila terkait kuat dengan indikasi praktek korupsi. Bila tidak dapat memunculkan suasana ketidakpastian pula yang dampaknya dapat memunculkan konflik sosial di desa.
24
Universitas Sumatera Utara
2. 3. Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa efektivitas diukur melalui tiga indikator penting, yaitu pencapaian tujuan, ketepatan waktu dan manfaat. Indikatorindikator inilah yang kemudian akan digunakan untuk mengukur sejauh mana keefektifan fungsi-fungsi pemerintah desa. Pemerintah sebagai eksekutif di desa secara umum menjalankan tiga fungsi utama dalam kegiatan sehari-harinya, antara lain sebagai fungsi pemerintahan yaitu kepanjangan tangan birokrasi yaitu memberikan pelayanan administrasi suratmenyurat
dan
mengumpulkan
pungutan
seperti
iuran
dan
pajak,
fungsi
kemasyarakatan yaitu sebagai penghubung silaturahmi dan penengah dalam menyelesaikan sengketa antarwarga, dan fungsi pembangunan. Di dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, pemerintah desa memerlukan dana dan tenaga untuk membiayai kegiatannya demi mencapai tujuan atau fungsi tersebut. Namun, dana dan tenaga yang tersedia sangat terbatas sehingga akan sangat sulit bahkan tidak mungkin untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut secara maksimal. Oleh karena itu, pemerintah desa harus menentukan skala prioritas dalam melaksanakan fungsi-fungsinya tersebut ditengah keterbatasan dana dan tenaga yang dimiliki. Dengan demikian diharapkan fungsi-fungsi pemerintah desa dapat berjalan secara optimal sesuai dengan skala prioritas yang ditentukan. Selain itu, dana yang digunakan pemerintah desa pada dasarnya berasal dari warga yang dihimpun dalam bentuk pajak maupun pungutan/iuran, bantuan dari pemerintah daerah dan sumber-sumber lain yang sah dan tidak mengikat. Oleh karena itu,
penggunaan
dana
tersebut
harus
dimanfaatkan
secara
efektif
dan
bertanggungjawab, karena dana tersebut berasal dari masyarakat. Sehingga setiap
25
Universitas Sumatera Utara
rupiah
dana
yang
dikumpulkan
dan
dikelola
pemerintah
desa
harus
dipertanggungjwabkan penggunaannya. Efektivitas fungsi pemerintah desa pada dasarnya berkaitan dengan prilaku penyelenggara pemerintahan di desa itu sendiri. Karena untuk mengukur efektif atau tidaknya fungsi tersebut yang menjadi objek pengukuran adalah tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan desa sesuai dengan tugas dan fungsinya yang telah ditetapkan sebelumnya. Sehingga, kajian mengenai efektivitas fungsi ini pada hakekatnya merupakan kajian mengenai prilaku/tindakan penyelenggara pemerintahan desa. 3. Hubungan antara Good Local Governance Dengan Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa Good local governance pada dasarnya merupakan seperangkat tatanan nilai yang diadopsi dari konsep good governance, dimana konsep good governance yang bersifat makro (dalam skala negara) diaplikasikan pada pemerintahan level desa. Tatanan nilai inilah yang nantinya akan diterapkan ke dalam diri setiap penyelenggara pemerintahan di desa. Namun, sebagai suatu tatanan nilai, konsep good local governance masih bersifat abstrak dan harus dikaitkan terlebih dahulu dengan locus dimana konsep tersebut hendak diterapkan (dalam hal ini Pemerintah Desa). Istilah nilai (value) dalam bahasa Inggris, (valua, valere) dalam bahasa Latin maupun worth, weorth, wurth (Amerika) berarti sesuatu yang kuat atau berharga. Guna nilai adalah sebagai sumber dan tujuan pedoman hidup manusia. Arti nilai adalah : 45 a. b. c. d. 45
Sifat/hal yang penting/berguna bagi kemanusiaan Sesuatu yang paling didambakan Sesuatu yang ingin dicapai Sesuatu yang dimuliakan atau dikagumi
A.W Widjaja, Etika Administrasi Negara (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1994), hal. 19.
26
Universitas Sumatera Utara
e. Kualitas atau fakta, sesuatu itu amat baik dan bermanfaat serta diinginkan.
Nilai menurut Rokeach adalah keyakinan abadi (enduring belief) yang dipilih seseorang atau sekelompok orang sebagai dasar untuk melakukan suatu kegiatan tertentu (mode of conduct) atau sebagai tujuan akhir tindakannya (end state of existence). 46 Sementara menurut Danandjaja, nilai adalah pengertian-pengertian (conceptions) yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, apa yang lebih baik atau kurang baik dan apa yang lebih benar atau kurang benar. 47 J. M Soebijanta melalui artikelnya “Nilai, Pelimpahan Nilai dan Penjernihan Nilai” 48 menyatakan bahwa nilai hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan sikap dan tingkah laku dalam sebuah model metodologis:
Nilai
Sikap
Tingkah Laku
Bagan 3. Model Metodologis Nilai Menurut Soebijanta
Dari gambar diatas dapat disimpulkan bahwa nilai mempengaruhi sikap seorang individu. Dan selanjutnya, sikap tersebut akan tercermin dalam tingkah laku dan kecenderungan tindakan yang diambil individu tersebut. Dari beberapa pengertian mengenai konsep nilai di atas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang sangat penting dan berharga yang dijadikan sebagai pedoman hidup manusia. Nilai merupakan sesuatu yang melekat pada seorang individu dan dapat mempengaruhi prilaku individu tersebut.
46
Milton Rokeach, The Nature of Human Values (New York: The Free Press, 1973), hal. 5. Andreas A. Danandjaja, Sistem Nilai Manajer Indonesia (Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo, 1986), hal. 22. 48 Dalam Talinzidhu Ndraha, Teori Budaya Organisasi (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),hal. 30. 47
27
Universitas Sumatera Utara
Dalam lingkup organisasi, nilai adalah : “Keyakinan yang dipegang teguh seseorang atau sekelompok orang mengenai tindakan dan tujuan yang “seharusnya” dijadikan landasan atau identitas organisasi dalam menjalankan aktivitas bisnis, menetapkan tujuantujuan organisasi atau memilih tindakan-tindakan yang patut dijalankan diantara beberapa alternatif yang ada. “ 49
Kumpulan nilai-nilai yang ada dalam suatu organisasi yang dijadikan sebagai pedoman dan cara pandang organisasi disebut budaya organisasi. Terrence E. Deal dan Allan A Kennedy 50 berpendapat bahwa nilai adalah inti budaya. Budaya organisasi tersebut wajib dipatuhi oleh setiap individu yang menjadi anggota organisasi tersebut. Denison mengaitkan antara budaya organisasi dengan efektivitas organisasi, dimana secara teoritik menurutnya efektivitas organisasi dipengaruhi oleh empat faktor sebagai berikut: a. Efektivitas adalah fungsi dari nilai-nilai dan keyakinan para anggota organisasi. b. Efektivitas adalah fungsi dari kebijakan dan praktik organisasi. c. Efektivitas adalah fungsi dari nilai-nilai inti dan keyakinan (core values and beliefs) organisasi yang diterjemahkan ke dalam kebijakan dan praktik organisasi. d. Efektivitas adalah fungsi dari hubungan antara nilai-nilai inti dan keyakinan organisasi, kebijkaan dan praktik organisasi dan lingkungan organisasi. 51
Pola kerangka hubungan antara budaya dengan efektivitas ditunjukkan dalam gambar berikut ini:
49
Cathy Enz dalam Achmad Sobirin, Budaya Organisasi (Yogyakarta: UPP-STIM YKPN, 2007), hal. 167. 50 Ndraha, Op. Cit., hal. 74. 51 Dalam Sobirin, Op. Cit., hal 194.
28
Universitas Sumatera Utara
Lingkungan Organisasi
Values and belief Sejarah Organisasi
Effectiveness
Masa Depan Organisasi
Policies and Practices
Lingkungan Organisasi
Bagan 4. Kerangka Hubungan antara Budaya dan Efektivitas 52
Dalam mengukur efektivitas fungsi Pemerintah Desa, yang dilihat adalah prilaku individu penyelenggara pemerintahan desa, yaitu sejauh mana kesesuaian antara prilaku individu tersebut (real behavior) dengan prilaku-prilaku yang seharusnya (ideal behavior) dalam menjalankan fungsinya sebagai pemerintah desa. Semakin sesuai prilaku penyelenggara pemerintahan desa dengan prilaku yang seharusnya dalam menjalankan fungsinya, maka semakin efektif fungsi-fungsi pemerintahan desa yang dijalankan. Di atas telah dijelaskan bahwa nilai mempengaruhi prilaku individu. Maka konsep good local governance sebagai suatu tatanan nilai diharapkan dapat tertanam di setiap individu penyelenggara pemerintahan di desa sehingga individu tersebut berprilaku sesuai dengan nilai-nilai maupun prinsip-prinsip good local governance
52
Ibid., hal. 195.
29
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Dengan demikian, maka fungsi pemerintah desa yang mereka jalankan dapat berjalan dengan efektif.
F.
Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian,
dimana rumusan masalah penelitian telah dirumuskan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empirisyang diperoleh melalui pengumpulan data. 53 Dengan hipotesis, penelitian menjadi lebih jelas arah pengujiannya, dengan kata lain hipotesis membimbing peneliti dalam melaksanakan penelitian di lapangan baik sebagai objek pengujian maupun dalam pengumpulan data. 54 Sesuai dengan masalah yang diteliti, maka dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: 1. Hipotesis Alternatif (Ha) Terdapat hubungan antara penerapan prinsip-prinsip good local governance terhadap efektivitas fungsi Pemerintah Desa Jati Kesuma. 2. Hipotesis Nol (Ho) Tidak terdapat hubungan antara penerapan prinsip-prinsip good local governance terhadap efektivitas fungsi Pemerintah Desa Jati Kesuma.
G.
Definisi Konsep Konsep adalah istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial (Singarimbun, 1995:37). Tujuannya adalah untuk memudahkan pemahaman dan menghindari terjadinya interpretasi ganda dari variabel yang diteliti. 53 54
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi (Bandung: Alfabeta, 2005), hal. 70. Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 75.
30
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, untuk mendapatkan batasan yang jelas dari masing-masing konsep yang akan diteliti, maka penulis mengemukakan definisi konsep yang digunakan, yaitu: 1.
Efektivitas fungsi Pemerintah Desa adalah pengukuran mengenai terlaksananya fungsi-fungsi organisasi (Pemerintah Desa) sesuai dengan tujuan yang ditetapkan, tepat waktu dan tepat hasil.
2.
Pemerintah desa adalah Kepala Desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Good Local Governance adalah konsensus yang dicapai oleh Pemerintah Desa, warga dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan di desa.
H.
Definisi Operasional Menurut Singarimbun 55 (1995) definisi operasional adalah unsur penelitian
yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksana bagaimana mengetahui dan mengidentifikasi suatu variabel, sehingga dalam pengukuran ini dapat diketahui indikator-indikator apa saja yang melekat dalam variabel. Maka penulis mengoperasionalkan konsep dari penelitian ini sebagai berikut: 1. Variabel (X) Penerapan Prinsip-Prinsip Good Local Governance 55
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi ed., Metode Penelitian Survei (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 46.
31
Universitas Sumatera Utara
a. Akuntabilitas : Terukurnya kinerja, sumber daya dan kewenangan yang digunakan oleh Pemerintah desa secara rasional. b. Transparansi : Keterbukaan informasi kepada masyarakat terkait seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintahan desa. c. Responsivitas : Mampu dan tanggap menanggapi aspirasi maupun kebutuhan masyarakat dan menjadikannya sebagai acuan pengambilan keputusan di desa. d. Kapasitas
: Pengetahuan dan keterampilan perangkat desa dalam melaksanakan tugasnya.
2. Variabel (Y) Efektivitas Fungsi Pemerintah Desa yaitu: a. Indikator Fungsi Pemerintahan 1. Adanya peraturan desa yang dibuat bersama dengan BPD. 2. Terciptanya peraturan desa tepat waktu sesuai kebutuhan. 3. Terciptanya peraturan desa tepat guna dan applicable. 4. Tersusunnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa bersama BPD. 5. Tersusunnya APBDesa di setiap awal tahun anggaran. 6. Terealisasinya APBDesa yang telah disusun sesuai rencana. 7. Terlaksananya pelayanan administrasi kepada masyarakat dengan lancar seperti surat-menyurat, pengurusan KTP dan Kartu Keluarga. 8. Adanya standar waktu dalam memberikan pelayanan administrasi. 9. Terciptanya pelayanan administrasi yang memuaskan masyarakat. b. Indikator Fungsi Pembangunan 1. Tersusunnya Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa untuk 5 tahun ke depan
32
Universitas Sumatera Utara
2. Terlaksananya RPJM Desa yang telah disusun tepat waktu sesuai rencana. 3. Tersusunnya RPJM Desa yang aspiratif sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. 4. Terlaksananya pembangunan fisik (sarana dan prasarana) maupun pembangunan sosial di desa. 5. Terlaksananya seluruh program pembangunan tepat waktu sesuai dengan RPJM yang telah disusun. 6. Adanya manfaat yang dirasakan masyarakat terhadap pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah desa. 7. Terlaksananya tugas pemungutan iuran kas desa dan Pajak Bumi dan Bangunan. 8. Dilaksanakannya pemungutan iuran kas desa dan PBB secara rutin. 9. Digunakannya kas desa sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara bertanggung jawab. 10. Tersalurkannya
bantuan
kepada
masyarakat
(misalnya
BLT,
penyaluran kompor gas Program Konversi Minyak Tanah ke Gas dan PNPM Mandiri). 11. Tersalurkannya bantuan tepat waktu. 12. Tersalurkannya bantuan secara adil dan merata kepada masyarakat. 13. Terlaksananya pembangunan dan pemeliharaan kebersihan di desa secara swadaya melalui gotong royong. 14. Terlaksananya kegiatan gotong royong kebersihan secara rutin. 15. Adanya sarana dan prasarana yang memadai serta lingkungan yang bersih dan nyaman.
33
Universitas Sumatera Utara
c. Indikator Fungsi Kemasyarakatan 1. Terselesaikannya seluruh sengketa warga yang terjadi di wilayahnya. 2. Diselesaikannya sengketa warga tepat waktu dan tidak berlarut-larut. 3. Diselesaikannya sengketa warga dengan adil, tidak memihak dan tuntas. 4. Terjalinnya hubungan yang baik antara Pemerintah Desa dengan masyarakat. 5. Terjalinnya hubungan yang harmonis antarsesama masyarakat sendiri. 6. Terciptanya suasana yang aman dan kondusif di desa.
34
Universitas Sumatera Utara