BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Osteoartritis
(OA)
yang
didefinisikan
oleh
American
College
of
Rheumatology (ACR) merupakan kumpulan kondisi yang berpengaruh pada sendi dengan tanda dan gejala berhubungan dengan rusaknya integritas kartilago artrikuler (Puttini et al, 2006). OA merupakan salah satu penyakit sendi sinovial terbanyak yang ditemukan di masyarakat, baik di Indonesia atau belahan dunia lainnya (Sharma L, 2001). Osteoartritis terutama mengenai mereka di usia pertengahan dan lanjut, serta akan menjadi masalah kesehatan penting di masyarakat seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup. WHO memperkirakan 10% dari penduduk berusia lebih dari 60 tahun terserang penyakit ini, sedangkan pada penduduk Amerika Serikat berumur 25 sampai 75 tahun diperkirakan 12,1% mempunyai tanda dan gejala klinik OA (WHO, 2003). Di Indonesia, OA juga merupakan jenis rematik yang paling banyak ditemukan. Di kabupaten Malang dan Kotamadya Malang ditemukan prevalensi sebesar 10.0% dan 13.5% (Kalim, 1994). Sedangkan di poliklinik Sub bagian Reumatologi FKUSU/RSHAM ditemukan pada 43.82% dari seluruh penderita baru penyakit rematik (Marpaung, 2004). Dampak ekonomi, psikologi dan sosial dari OA sangat besar, tidak hanya untuk penderita tetapi juga keluarga dan lingkungannya dan diperkirakan biaya nasional untuk semua artritis sebesar 1% dari GNP (Gross
Universitas Sumatera Utara
National Product) (Lapsley et al, 2001). Di Australia biaya medik yang dikeluarkan adalah sebesar AUS$ 2.700/orang/tahun (Jordan et al, 2003). Sendi penyangga berat tubuh seperti panggul dan lutut merupakan sendi yang paling sering terkena OA (Marpaung, 2004, Rintelen, 2006). Nyeri sendi, disertai pembengkakan sendi hingga efusi, berkurangnya lingkup gerak sendi dan kekakuan sendi merupakan manifestasi penyakit ini (Dahaghin et al, 2005). Gangguan biokimia dan mekanis akan menyebabkan gangguan keseimbangan sintesis dan kerusakan tulang rawan. Inflamasi akan memperberat kerusakan yang terjadi, dan dalam proses inflamasi tersebut terlibat berbagai mediator. Respon inflamasi memicu rangkaian enzimatik yang berakhir dengan kerusakan rawan sendi sebagai target kerusakan pada patogenesis OA (Soeroso, 2002). Penatalaksanaan OA sampai saat ini lebih banyak ditujukan untuk mengatasi rasa nyeri, inflamasi dan perbaikan fungsi sendi (symptoms modification). Sementara perbaikan secara struktur (structure modification) lebih sulit dicapai. Bila mengacu pada perubahan paradigma patogenesis OA, penanganan OA harus melibatkan faktor biomekanik dan biologik yang mengakibatkan rusaknya rawan sendi dikarenakan ketidakseimbangan sintesis dan degradasi rawan sendi (Kasjmir, 2004). Berbagai modalitas penatalaksanaan OA berdasarkan rekomendasi dari European League Against Rheumatism (EULAR) dan American College of Rheumatology (ACR) dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar, yaitu modalitas non farmakologik, modalitas farmakologik (analgetik, Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), injeksi steroid intraartikular, berbagai rubefacients, symptomatic slow-acting drugs in
Universitas Sumatera Utara
OA-SYSADOA) dan tindakan pembedahan (debridement hingga joint replacement) (Hochberg, 1995). Obat yang sering diberikan untuk tujuan mengatasi rasa nyeri adalah kelompok OAINS. Jenis OAINS yang biasa digunakan antara lain natrium diklofenac, piroxicam, meloxicam, coxib
dan sebagainya. Limitasi pemakaian
OAINS tidak terlepas dari kendala efek samping terhadap sistim gastrointestinal, kardiovaskular dan dampak buruk terhadap rawan sendi. Disamping itu, OAINS tidak mampu mengubah perjalanan alamiah penyakit OA (Hochberg, 1995). Injeksi steroid intraartikular seperti triamsinolone hexacetonide atau methyl prednisolone hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan inflamasi yang kurang responsif terhadap pemberian OAINS, tidak dapat mentolerir OAINS atau ada komorbiditas yang merupakan kontraindikasi terhadap pemberian OAINS. Pemberian obat topikal untuk mengatasi nyeri OA berupa krim rubefacients, krim capsaicin dan krim OAINS. Disease Modifying Osteoarthritis Drugs (DMOADs) merupakan bagian dari modalitas farmakologik dalam penatalaksanaan OA antara lain glukosamin sulfat, kondroitin sulfat, kombinasi glukosamin-kondroitin sulfat dan diacerein. Saat ini telah diketahui bahwa kerusakan rawan sendi dipengaruhi faktor inflamasi dan memperlihatkan adanya peran berbagai sitokin seperti IL-1 (Interleukin-1) yang mempengaruhi kerusakan rawan sendi pada OA. Sehingga inhibisi produksi IL-1 merupakan landasan baru dalam penatalaksanaan inflamasi pada OA (Dougados et al, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Interleukin-1 tersebut dikeluarkan oleh kondrosit dan mengakibatkan kerusakan matriks rawan sendi atau oleh sel lain dalam struktur sendi seperti sinoviosit, makrofag dan fibroblast. Selanjutnya keberadaan IL-1 akan menyebabkan kondrosit mensintesa berbagai enzim perusak matriks ekstra seluler (ECM) seperti matrix metalloproteinase (MMPs) dan nitric oxide (NO). Efek biologik IL-1 berpengaruh juga pada berbagai aktivator enzimatik, seperti plasminogen aktivator yang berdampak pada kerusakan ECM lebih lanjut. Keunikan patogenesis OA adalah percepatan proses degenerasi yang lebih besar dibandingkan proses anaboliknya. Perlambatan sintesis faktor anabolik seperti kolagen tipe II dan agrecan menyebabkan ketidakseimbangan ECM (Taskiran et al, 2004). Diacerein adalah salah satu DMOADs yang baru merupakan derivat anthraquinone semi sintetik yang diekstraksi dari beberapa tanaman. Diacerein menghambat sintesis IL-1 dan pada percobaan in vitro terhadap binatang dan manusia dengan OA sendi tangan dan lutut menunjukkan efek modifikasi simptomatik dan struktural. Interleukin-1 memainkan peranan penting dalam patofisiologi OA dan kerusakan kartilago. Diacerein juga meningkatkan pelepasan sintesis nitric oxide, meningkatkan pelepasan prostaglandin E2, IL-6, IL-8 pada kondrosit OA yang meningkatkan kerusakan sendi. Penghambatan IL-1 oleh diacerein mencegah semua proses patologis yang menyebabkan OA. Diacerein juga menghambat ekspresi enzim perusak kartilago yang dirangsang IL-1, meningkatkan ekspresi TGF β-1 dan TGF β2 sehingga meningkatkan sintesis matriks dan siklus kondrosit atrikuler sehingga dapat berperan dalam memodifikasi OA. Diacerein juga menghambat produksi
Universitas Sumatera Utara
superoksida, aktifitas kemotaksis dan fagositik netrofil sebagai akibat migrasi dan fagositosis makrofag. Berbeda dengan OAINS, diacerein tidak menghambat sintesis prostaglandin, sehingga tidak menimbulkan efek samping terhadap saluran cerna. Diacerein juga berperan dalam pencegahan hilangnya hidroksiprolin dan proteoglikan pada kartilago sendi, suatu efek yang tidak didapatkan pada OAINS atau COX-2 inhibitor (Mahajan et al., 2006). Pada penelitian metaanalisis yang dilakukan oleh Rintelen pada tahun 2006 yang menunjukkan beberapa penelitian yang dilakukan terhadap hewan percobaan bahwa diacerein memiliki efek modifikasi struktural yang moderat terhadap hilangnya rawan sendi. Namun pada percobaan terhadap manusia memberikan hasil yang berbeda. Penelitian ECHODIAH pada tahun 2001 dengan pemberian diacerein terhadap pasien OA panggul selama periode 3 tahun didapatkan bahwa progresifitas penyempitan celah sendi lebih rendah signifikan pada kelompok diacerein dari 0.18 mm per tahun menjadi 0.13 mm per tahun pada akhir tahun ketiga, dibanding plasebo (Dougados et al, 2001). Hal lain yang menarik untuk diteliti lebih lanjut adalah ditemukannya penurunan jumlah tindakan operatif pada penderita yang mendapat diacerein, dimana jumlah pasien OA yang menjalani total hip replacement lebih sedikit yaitu 14,5% pada kelompok diacerein dibandingkan kelompok plasebo sebesar 19,8%, setelah 3 tahun (Dougados et al, 2001). Diacerein juga efektif terhadap modifikasi simptomatik dan struktural pada pasien OA lutut (Pelletier et al, 2000). Diacerein ditoleransi dengan baik, efek samping terutama adalah diare. Diacerein tidak menyebabkan perdarahan saluran
Universitas Sumatera Utara
cerna, toksisitas ginjal, liver dan hematologi. Tidak pernah dilaporkan adanya reaksi alergi (Pelletier et al, 2000). Pada penelitian acak, multisenter, tersamar ganda pada tahun 2007 disimpulkan bahwa diacerein aman dan efektif untuk pengobatan OA lutut serta mempunyai efek carryover jangka panjang dibanding plasebo (Pavelka et al.,2007). Pada penelitian yang merupakan kelanjutan dari penelitian ECHODIAH pada tahun 2006 terhadap 333 pasien OA panggul yang dilakukan pengukuran seluruh petanda biokimia, didapatkan hasil bahwa pasien dengan gangguan fungsional yang tinggi, penyempitan celah sendi < 2 mm, migrasi kaput femur ke arah lateral mengalami peningkatan resiko progresifitas pada baseline, tetapi diacerein mempunyai efek protektif yang signifikan dengan resiko relatif (RR) 0.75 (95% CI 0.54-0.96 dan p< 0.0234). Namun penelitian ECHODIAH ini tidak menggunakan petanda biokimia dalam menilai efikasi pengobatan diacerein sebagai kondroprotektif yang potensial (Mazieres et al., 2006). Dengan metode Cochrane disimpulkan bahwa pemakaian diacerein dibanding plasebo akan menunjukkan perbaikan nyeri (berdasarkan Visual Analogue Scale) tetapi tidak ada perbaikan pada gangguan fungsi sehari-hari (yang diukur dengan Laquesne Impairment Index). Pemakaian diacerein juga memperlambat progresifitas osteoartritis bila dibandingkan dengan plasebo, terutama pada osteoartritis lutut (Fidelix et al, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Bila melihat peran IL-1, pada proses degradasi matriks rawan sendi, maka muncullah pertanyaan apakah diacerein dapat dipakai untuk menekan progresifitas degradasi rawan sendi? Diacerein dan metabolik aktifnya, rhein secara farmakologik diketahui mempunyai efek ganda yaitu perbaikan fungsi sendi (symptoms modifying properties) dan perbaikan struktur sendi (structure modifying properties). Kedua terminologi tersebut diubah menjadi Disease/structure modifying OA drugs (DMOADs) oleh dua organisasi yaitu Osteoarthritits Research Society International dan Group for the Respect of Ethics and Excellence in Science (Dougados et al, 2001, Taskiran et al, 2004). Saat ini terdapat kesulitan di dalam menilai hasil pengobatan OA secara objektif. Oleh sebab pemeriksaan pengukuran volume rawan sendi dengan memakai MRI hanya dapat melihat ketebalan kartilago dan lesi yang terjadi di kartilago, tanpa bisa menilai progresifitas yang sedang terjadi (Kraus, 2005). Penilaian lebar celah sendi menggunakan radiologik foto polos terkendala dengan adanya magnifikasi dan keterbatasan pada skala pengukuran. Oleh karena progresifitas penyakit OA demikian lambat, maka penilaian terhadap hasil pengobatan perlu dilakukan selama bertahuntahun. Saat ini untuk melakukan penilaian perubahan progresifitas dengan pemeriksaan laboratorium yaitu dengan petanda biokimia mungkin memberi harapan baru untuk penyakit OA (Mundy et al, 2001).
Universitas Sumatera Utara
Petanda biokimia dapat berfungsi sebagai indikator untuk mengukur dan mengevaluasi proses biologik yang normal, proses patologik atau respon farmakologik terhadap tindakan pengobatan. Petanda biokimia diharapkan dapat dipakai untuk: 1. Mendiagnosa osteoartritis pada tahap awal hilangnya rawan. 2. Mengidentifikasi penderita yang progesifitasnya meningkat. 3. Memonitor efektifitas pengobatan. 4. Menjadi pilihan untuk pengembangan pengobatan osteoartritis masa mendatang. Satu penelitian yang pernah dilakukan untuk menilai hubungan antara petanda biokimia tulang rawan, remodeling sinovial dan progresifitas struktur OA pada lutut dengan membandingkan asam hialuronat serum, serum osteocalcin, cartilage oligomeric matrix protein (COMP), cartilage glycoprotein 39 (YKL-40), urinary Cterminal telopeptide crosslinked type I dan type II collagen (CTX-I) dan (CTX-1I). Urinary C-terminal telopeptides crosslinked of type II collagen (CTX-II) diukur pada baseline dan setelah 3 bulan. Terdapat peningkatan kadar CTX-II urin setelah 3 bulan berkorelasi secara bermakna dengan penurunan ketebalan rawan pada tibia medial dan tibia lateral setelah 1 tahun. Analisis regresi multipel juga menunjukkan tingginya level asam hialuronat serum dibandingkan dengan baseline sebagai predileksi keparahan OA. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa asam hialuronat serum atau perubahan CTX-II urin dapat menentukan pasien yang mempunyai risiko besar untuk terjadinya progresifitas OA (Bruyere et al, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Diketahui bahwa asam hialuronat serum merupakan petanda biokimia yang unik. Kadarnya tujuh kali lebih tinggi dibandingkan dengan nilai normal pada pasien artritis reumatoid dan dua kali lebih tinggi pada pasien osteoartritis. Asam hialuronat serum mencerminkan keterlibatan sinovial dan inflamasi yang terjadi pada sendi (Goldberg et al, 1991). Dari penelitian yang dilakukan oleh Elliott dkk, ditunjukkan bahwa asam hialuronat serum sudah dapat dipakai sebagai petanda biokimia untuk osteoartritis. Asam hialuronat serum berkorelasi dengan gambaran radiologis pada pasien osteoartritis (p < 0,0001), lebih tinggi pada ras Kaukasian (p < 0,0094) dan pria (p < 0,0038) (Elliot et al, 2005). Pada penelitian yang dilakukan oleh Young Min dkk ditunjukkan bahwa Matrix Metalloproteinase-3 (MMP-3) dan CTX-II urin merupakan prediktor yang paling baik untuk menilai progresifitas penyakit artritis. Petanda biokimia tersebut lebih baik dibandingkan dengan marker tradisional termasuk radiologis (Young-Min et al, 2007. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa latar belakang yang mendorong penelitian ini adalah karena OA lutut merupakan salah satu penyakit reumatik yang paling sering ditemukan dan sering menimbulkan gangguan serta disabilitas. Etiopatogenesis osteoartritis belum sepenuhnya diketahui dan tidak ada satupun etiologi tunggal yang dapat menjelaskan proses kerusakan rawan sendi. Teori yang terbaru pada OA, menyebutkan bahwa penemuan berbagai jenis petanda biokimia memberi harapan baru untuk dapat menilai hasil pengobatan secara lebih ringkas dan sederhana. Disamping itu petanda biokimia dapat dipakai untuk menilai progresifitas
Universitas Sumatera Utara
penyakit yang sedang berlangsung. Banyak pengobatan yang dilakukan hanya dapat menunjukkan hasil yang bersifat simptomatik dengan pengurangan rasa nyeri dan perbaikan fungsi sehari- hari (symptoms modification) tanpa dapat melihat perbaikan secara
struktural
(structural
modification)
dan
perbaikan
secara
biokimia
(biochemical modification). Berbagai cara dalam mengukur outcomes penderita OA meliputi pengukuran secara simptomatik (pengukuran terhadap nyeri dan fungsi pasien OA), pengukuran secara struktural (pengukuran dengan foto polos radiografi dan MRI) dan pengukuran secara petanda biokimia dalam bentuk molekul atau fragmen molekular yang dilepaskan sebagai hasil metabolisme jaringan sendi (Bauer et al., 2006).
1.2. Perumusan masalah Berdasarkan permasalahan di atas maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.2.1. Apakah perubahan kadar petanda biokimia kerusakan rawan sendi asam hialuronat serum dan CTX-II urin dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan osteoartritis lutut? 1.2.2. Apakah perubahan klinis dengan pengukuran VAS (Visual Analogue Scale) dan
Lequesne’s index (LI) dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan
osteoartritis lutut? 1.2.3
Apakah penambahan diacerein dapat memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan tanpa penambahan diacerein untuk penderita osteoartritis lutut ?
Universitas Sumatera Utara
1.2.4
Apakah terdapat korelasi perbaikan hasil pengobatan secara klinis dengan perbaikan secara biokimia?
1.3. Tujuan penelitian 1.3.1. Tujuan umum Untuk menilai hasil pengobatan OA lutut dengan menggunakan petanda biokimia asam hialuronat serum dan CTX-II urin. 1.3.2. Tujuan khusus 1.3.2.1. Untuk menilai perbaikan klinis hasil pengobatan OA lutut dengan cara: a. Pengukuran penurunan rasa nyeri b. Pengukuran peningkatan kemampuan aktivitas sehari-hari. 1.3.2.2. Untuk menilai perbaikan biokimia hasil pengobatan OA lutut melalui petanda biokimia dengan cara: a. Pengukuran kadar asam hialuronat serum b. Pengukuran kadar CTX-II urin 1.3.2.3. Untuk melihat hasil pengobatan OA lutut yang lebih baik dengan penambahan diacerein dibanding tanpa penambahan diacerein 1.3.2.4. Untuk melihat apakah terdapat korelasi antara hasil pengobatan secara klinis dengan hasil pemeriksaan dengan menggunakan petanda biokimia.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Hipotesis 1.4.1. Hipotesis mayor Jika diberi penambahan diacerein pada rejimen pengobatan penderita OA lutut dapat memberi hasil yang baik secara klinis dan biokimia. 1.4.2. Hipotesis Minor 1.4.2.1. Pengobatan osteoartritis
lutut dengan penambahan diacerein akan
memberikan penurunan rasa nyeri yang lebih baik. 1.4.2.2. Pengobatan
osteoartritis
lutut
dengan
penambahan
diacerein
akan
memberikan peningkatan kemampuan aktifitas sehari-hari yang lebih baik. 1.4.2.3. Pengobatan
osteoartritis
lutut
memberikan penurunan kadar
dengan
penambahan
diacerein
akan
petanda biokimia asam hialuronat serum
yang lebih baik. 1.4.2.4. Pengobatan
osteoartritis
lutut
dengan
penambahan
diacerein
akan
memberikan penurunan kadar petanda biokimia CTX-II urin yang lebih baik. 1.4.2.5. Terdapat korelasi antara perbaikan klinis dengan penurunan kadar petanda biokimia setelah penambahan diacerein pada pengobatan osteoartritis lutut.
Universitas Sumatera Utara
1.5. Manfaat penelitian 1.5.1. Manfaat Keilmuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman yang lebih baik tentang evaluasi hasil suatu pengobatan yang diberikan pada penderita OA. 1.5.2. Manfaat Klinis 1.4.2.6. Petanda biokimia yang digunakan pada penelitian ini dapat dipertimbangkan untuk digunakan secara luas untuk menilai efektifitas pemberian obat-obatan pada penyakit osteoartritis.
Universitas Sumatera Utara
1.6. Kerangka Konsepsional
Osteoartritis
Konsep Inflamatif
Anti IL-1β (Diacerein)
Sitokin Interleukin-1
Kerusakan rawan sendi
Nyeri
VAS
Disabilitas
Lequesne’s index
Degradasi tulang sub kondral
Sinovitis
Asam hialuronat serum
CTX-II urin
Gambar 1.1. Kerangka konsepsional
Universitas Sumatera Utara