BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Guru adalah profesi yang dimiliki seseorang dengan latar belakang pendidikan keguruan. Guru merupakan profesi yang paling penting dalam institusi dan sistem pendidikan walaupun hal tersebut sering diabaikan oleh komite sekolah maupun para orang tua murid (Carroll, 1969). Cooper (2014) menambahkan bahwa guru adalah agen sosial yang diperankan oleh masyarakat untuk memfasilitasi perkembangan intelektual, kepribadian, dan kemampuan sosial anak didik. Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Suparlan (2006) mengatakan bahwa guru adalah jembatan antara kurikulum dan siswa sehingga dipandang sebagai aspek yang paling utama. Ciri utama dari profesi guru adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat, menerapkan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktik, bertanggung jawab atas keputusan yang diambil, serta mempunyai kekhususan bidang ilmu dan ketrampilan, persyaratan khusus, kewenangan atau otonomi khusus, komitmen, aturan administrasi untuk memudahkan profesinya, dan mempunyai organisasi dan asosiasi profesi (Yahya, 2013). Guru dianggap sebagai tokoh kunci dalam dunia pendidikan karena mengemban tanggung jawab untuk mencerdaskan anak didik. Selain menyalurkan
1
2
ilmu pengetahuan kepada anak didik dalam proses belajar mengajar, guru juga menjadi model untuk anak didiknya. Ada istilah dalam bahasa Jawa tentang guru, yaitu digugu lan ditiru. Ungkapan tersebut mengandung arti bahwa guru adalah seseorang yang harus dapat dipercaya serta dijadikan teladan oleh anak didiknya. Menjadi model atau teladan bukanlah peran yang mudah. Keteladanan guru dalam berbagai perilaku dan aktivitasnya akan menjadi cermin oleh anak didiknya. Guru yang suka membaca dan meneliti, disiplin, ramah, dan berakhlak baik biasanya menjadi teladan yang baik untuk anak didiknya, begitu juga sebaliknya (Hidayatullah, 2010). Kompetensi guru dibagi ke dalam empat area, yaitu menguasai pengetahuan teoritis tentang pembelajaran dan perilaku manusia, menunjukkan sikap yang mendorong pembelajaran dan hubungan manusia yang asli, menguasai pengetahuan tentang materi yang akan diajarkan, dan memiliki kumpulan ketrampilan mengajar yang dapat memfasilitasi muridnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Smith (dalam Cooper, 2014). Di samping empat area tersebut, Cooper mempertimbangkan adanya area kelima, yaitu pengetahuan praktikal individu yang meliputi kepercayaan, wawasan, dan kebiasaan yang berhubungan dengan profesi guru itu sendiri. Guru dapat menggunakan kemampuan tersebut untuk memecahkan dilema, mengatasi ketegangan, dan menyederhanakan pekerjaan yang kompleks. Tugas guru, khususnya guru sekolah dasar tidak berhenti pada tugas mengajar di kelas saja, namun guru sekolah dasar juga memiliki tugas dalam hal administrasi sekolah. Guru memiliki kewajiban untuk menyusun laporan pertanggungjawaban mengenai proses belajar mengajar. Sebagai guru yang mengemban tugas sebagai wali kelas, guru juga harus memiliki catatan perilaku dan perkembangan akademis anak didiknya. Survei yang dilakukan oleh National Education Association (NEA)
3
(dalam Bernard, 2003) guru sekolah dasar memiliki jam mengajar selama 45 - 49 jam setiap minggunya. Asmani (2011) menyatakan bahwa guru memiliki peran sebagai organisator dimana guru memiliki tugas untuk mengelola akademik, menyusun tata tertib sekolah, dan menyusun kalender akademik. Guru juga memiliki peran sebagai supervisor dan evaluator yang membantu, memperbaiki, dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran. Selain peran-peran tersebut, guru juga harus memiliki keterampilan-keterampilan lain untuk menunjang guru dalam menjalankan tugastugasnya, seperti keterampilan mengoperasikan komputer, menggunkan koneksi internet, kecakapan berkomunikasi, dan lain-lain (Asmani, 2011). Ormrod (2008) menambahkan bahwa guru harus mampu mengakomodasi keberagaman latar belakang siswa, agama, kondisi keluarga, kondisi fisik, kognitif dan perilaku siswa. Melihat dari banyaknya peran dan tanggung jawab yang harus diemban oleh guru, tentunya akan membawa dampak yang berarti bagi guru. Banyaknya tugastugas tersebut dapat menjadi beban tersendiri untuk para guru. Guru yang tidak dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang dibebankan kepadanya akan berisiko mengalami masalah psikologis dan perasaan tertekan yang dapat menimbulkan stres (Rizal, 2008). Muharomi (2010) lebih lanjut mengungkapkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi beban kerja terhadap stres kerja pada guru. Semakin negatif persepsi terhadap beban kerja maka stres kerja yang dirasakan guru akan meningkat. Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Solihat (2012) menemukan bahwa stres pada guru terlihat dari gejala fisikal, emosional, intelektual, dan personal, contohnya seperti sakit kepala, gelisah atau cemas, konsentrasi menurun, serta suka ingkar janji dan lain-lain.
4
Berdasarkan wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti pada tanggal 5 dan 6 Maret 2015 kepada guru sekolah dasar tampak bahwa tugas dan tuntutan yang diberikan kepada guru dirasakan terlalu banyak. Selain harus mengajar selama kurang lebih tujuh jam setiap harinya, guru sekolah dasar juga harus menyusun berbagai macam laporan yang harus dikerjakan di luar jam mengajar. Oleh karena itu setiap guru harus menambah waktu kerjanya untuk menyusun laporan-laporan tersebut, bahkan harus dikerjakan di rumah. Situasi tersebut menimbulkan ketidaknyamanan bagi guru dan pihak keluarga. Berbeda dengan guru sekolah menengah pertama (SMP) atau sekolah menengah atas (SMA), guru sekolah dasar memiliki tugas sebagai wali kelas untuk anak didik satu tingkatan kelas, sehingga guru harus bertanggung jawab atas perkembangan anak didiknya. Guru harus selalu memantau perilaku anak didik selama di sekolah dan mengomunikasikannya kepada orang tua atau wali murid. Itu bukanlah tugas yang mudah karena tidak semua orang tua atau wali murid mau bersikap kooperatif terhadap maksud dan tujuan guru kepada anak didiknya. Selain itu, perbedaan tingkat kemampuan yang dimiliki setiap anak didik juga memberikan tantangan baru untuk guru dalam menjalankan proses belajar mengajar di dalam kelas. Guru harus memiliki strategi mengajar yang sesuai dengan karakteristik dan tingkat kemampuan setiap anak yang berbeda-beda. Pemberitaan republika.co.id tanggal 1 Mei 2015 menyebutkan bahwa guru mengalami tekanan dan stres. Stres yang dialami guru tersebut diakibatkan oleh tuntutan dan kebijakan baru dari pemerintah. Pemerintah memberikan kebijakan baru kepada guru untuk memenuhi ketentuan mengajar 24 jam tatap muka dalam satu minggu. Jika ketentuan tersebut tidak dapat dipenuhi, maka tunjangan sertifikasi selama satu bulan akan dicabut. Sulistyo selaku Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) mengatakan bahwa kebijakan
5
tersebut sangat menjadi beban untuk guru sehingga menimbulkan stres yang berakibat pada menurunnya kinerja guru. Kasus yang serupa juga menjadi pemberitaan tribunnews.com tanggal 7 April 2015. Artikel tersebut memberitakan tentang seorang guru gantung diri karena depresi lantaran memikirkan tunjangan sertifikasi yang tidak kunjung diterima. Tunjangan sertifikasi tidak turun karena terjadinya pengurangan jam mengajar guru tersebut. Jam mengajar yang tadinya sebanyak 28 kali mengajar berkurang menjadi 8 kali mengajar. Hal tersebut selaras dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizal (2013) diungkapkan bahwa ada tiga bentuk gejala stres kerja yaitu dari fisiologi, psikologis dan perilaku. Dari ketiga bentuk stres kerja tersebut ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara stres kerja terhadap kinerja guru. Stres kerja guru dapat pula bersumber dari urusan administrasi sekolah, seperti perubahan kurikulum. Seperti pemberitaan oleh sekolahdasar.net diketahui bahwa adanya perubahan kurikulum 2013 membuat guru merasa terbebani dan stres karena guru sekolah dasar mendapat tambahan tugas adminisitrasi yaitu menyusun portofolio harian masing-masing anak didik mengenai penilaian sikap, psikomotor, dan kognitif. Penyusunan portofolio tersebut baru dapat dilakukan setelah jam mengajar selesai sehingga guru sekolah dasar harus menambah jam kerja yang. Selain itu, jpnn.com juga memberitakan bahwa adanya kebijakan – kebijakan baru dari pemerintah tentang tugas dan tuntutan kepada guru sekolah dasar dirasa membebani guru. Kebijakan-kebijakan tersebut antara lain, guru sekolah dasar harus memenuhi minimal 24 jam/minggu tatap muka, sertifikasi guru, pembayaran tunjangan profesi, uji kompertensi guru, dan implemntasi kurikulum. Tidak hanya itu, sistem kenaikan jabatan dan pangkat guru, rekruitmen guru PNS, honorer dan swasta, serta data pokok pendidik juga menimbulkan masalah di daerah.
6
Profesi guru merupakan salah satu profesi yang rentan terhadap stres (Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1996). Hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya tuntutan, tanggung jawab, dan beban moral yang diberikan kepada guru. Rahman (2007) menambahkan bahwa profesi guru adalah profesi yang memiliki banyak tuntutan dan tugas-tugas moral yang seringkali menimbulkan masalah dalam diri guru yang berujung pada stres kerja pada guru. Stres kerja pada guru merupakan kondisi yang tidak menyenangkan, seperti marah, tertekan dan depresi, disertai dengan munculnya emosi negatif. Kondisi tersebut terbentuk karena adanya ketidaksesuaian antara aspek-aspek yang ada di dalam pekerjaannya dengan harapan-harapan yang dimiliki. Stres kerja ditunjukkan dengan berbagai gejala, diantaranya perasaan frustrasi, sikap yang apatis terhadap pekerjaan, merasa terbelenggu oleh tugas, sikap yang sinis terhadap siswa, mangkir kerja dengan berbagai alasan, keluar dari pekerjaan dan meminta pensiun dini. Bernard (2003) mengemukakan ada empat sumber stres pada guru, yaitu departemen pendidikan, organisasi sekolah, ruang kelas dan individu guru itu sendiri. Bernard juga mengungkapkan faktor-faktor yang menyebabkan profesi guru rentan terhadap stres. Faktor-faktor tersebut adalah jam kerja yang lama setiap harinya, harus mengurus murid dalam jangkauan yang banyak dan luas, harus menjalin hubungan emosional yang kuat dengan murid bahkan dengan orang tua dan wali murid. Bernard (2003) dalam penelitiannya menemukan bahwa ketika di depan kelas ego seorang guru akan terus-menerus terpapar dan harus sejalan dengan situasi yang sedang berlangsung. Seorang guru harus menampilkan citra diri sebagai seorang guru yang profesional. Guru yang profesional adalah guru yang selalu berhasil mendidik muridnya, apabila terjadi kegagalan pada anak didiknya guru harus bertanggung jawab atas kegagalan tersebut. Ditambah lagi profesi guru adalah profesi yang
7
memiliki banyak tugas yang harus dikerjakan, namun tidak sepadan dengan waktu yang dimiliki. Holmes (2005) juga menegaskan bahwa mengajar merupakan sebuah stressful profession karena mengajar adalah sebuah fenomena kompleks yang memperhitungkan karakteristik pribadi, profesionalitas, keterampilan dan basis pengerahuan khusus. Stres kerja yang dirasakan terus-menerus tentu saja akan membawa dampak negatif pada kehidupan sehari-hari terutama pada kesehatan fisik. Sama halnya yang disampaikan oleh Wagner & Hollenbeck (1995) bahwa tubuh manusia akan bereaksi terhadap ancaman-ancaman yang terjadi. Saat ada ancaman dari luar, tubuh akan memproduksi zat yang dapat menyebabkan tekanan darah meningkat serta dapat mengalirkan darah dari kulit dan organ pencernaan ke otot. Tubuh juga akan mempersiapkan diri untuk memberi respon antara “fight” atau “flight” untuk menghadapi ancaman yang ada. Bagian sistem fisiologis yang merespon stres, yaitu sympathetic nervous system (Bernard, 2003). Sympathetic nervous system adalah sistem saraf yang terdapat pada susunan sistem saraf otonom. Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang berfungsi sebagai pengatur sistem kardiovaskuler dan sistem endokrin, serta membantu pencernaan dan mengatur suhu tubuh (Sundberg, Winebarger, & Taplin, 2007). Sistem saraf ini bekerja secara otomatis bereaksi terhadap suasana hati yang sedang terjadi (Weekes, 1991). Sistem saraf otonom tersusun atas dua bagian, yaitu sistem saraf simpatetik (sympathetic nervous system) dan sistem saraf parasimpatetik (parasympathetic nervous system). Sympathetic nervous system merupakan jaringan saraf yang mempersiapkan organ tubuh bagian dalam untuk merespon aktivitas-aktivitas berat dan menekan. Sistem saraf ini tersusun atas sepasang rantai ganglia yang memanjang mulai dari
8
tengah tulang belakang
hingga terhubung ke sumsum tulang belakang melalui
akson. Akson simpatetik tersebut memanjang dari ganglia menuju organ target lalu mengaktivasi organ tersebut untuk memberikan respon melawan atau melarikan diri (fight or flight). Respon tersebut akan menyebabkan napas dan detak jantung meningkat disertai aktivitas organ pencernaan yang menurun. Respon-respon seperti itulah yang muncul ketika seseorang menghadapi stresor dan berujung pada munculnya stres (Kalat, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Rimmele, dkk (2009) tentang reaksi neuropsikologikal terhadap tingkat stresor fisik dan psikososial menemukan bahwa stresor fisik dan psikologis menyebabkan peningkatan sistem kardiorespirasi dan neurohormonal, sebagai refleksi dari respon sistem saraf otonom yang salah satunya sistem saraf simpatetik. Hasil yang selaras pula dengan penelitian yang dilakukan Sugiharto (2012) tentang fisioneurohormonal pada stresor olahraga. Ditemukan bahwa secara fisioneurohormonal ketika tubuh dihadapkan dan ditekan oleh stresor, HPA (Hipotalamus Puitutary Adrenal) axis dan sistem saraf simpatetik akan lebih diaktifkan sehingga menghasilkan respon langsung terhadap stres dengan melawan atau menghindar “fight” atau “flight”. Individu yang mengalami stres seringkali mengeluhkan adanya gejala fisik yang tidak seperti biasanya. Seperti mudah lelah, jantung berdebar-debar, keringat dingin, dan lain-lain. Gejala-gejala fisik tersebut tidak selamanya karena adanya penyakit fisik yang sesungguhnya, namun lebih kepada pengaruh dari stres yang dialaminya (Gibson, Ivancevich, & Donnelly, 1996). Respon tersebut muncul karena adanya aktivitas dari sistem saraf simpatetik yang mengatur kinerja sistem kardiovaskuler, sistem endokrin, dan sistem pencernaan. Gejala-gejala tersebut erat kaitannya dengan gejala dari gangguan somatisasi.
9
Gangguan somatisasi merupakan keluhan tentang gangguan fisik kronis yang tidak ada bukti secara medis karena keluhan tersebut muncul dari ketegangan psikologis (Kaplan, Sadock, & Grebb, 1994). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Susana (2010) menemukan bahwa somatisasi muncul sebagai bentuk akibat dari ketidakmampuan individu mengenali reaksi disforik yang menyertai reaksi fisiologis dari distres. Selain itu, somatisasi digunakan individu sebagai upaya untuk mendapatkan dukungan sosial. Individu yang mengalami gangguan somatisasi cenderung mengalami konflik psikologis dan distres yang dimanifestasikan dalam bentuk gejala fisik atau keluhan fisik, namun tidak ada bukti medis. Individu dengan somatisasi biasanya mengeluhkan sakit pada punggung, leher, area pinggul, perut, dan otot. Selain itu, mengeluhkan tentang adanya simptom-simptom lain diantaranya mual, mati rasa pada kaki, keletihan, napas yang dangkal, pusing, dan jantung yang berdebar-debar (Kearney & Trull, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh (Kirmayer, Robbins, & Paris, 1994) menyatakan bahwa individu dengan somatisasi lebih sensitif terhadap sensasi fisik yang terjadi. Mereka akan cenderung berlebihan dalam menanggapi sensasi tersebut dan menginterpretasikannya sebagai suatu malapetaka. Hadjam (2003) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa stres kehidupan berupa kejadian menekan yang dialami individu dalam kesehariannya memiliki peranan yang signifikan terhadap gangguan somatisasi yang diderita oleh individu tersebut. Freud ( dalam Alloy, Riskind, & Manos, 2005) menyampaikan bahwa secara tidak langsung dan tanpa disadari, somatisasi muncul karena adanya tujuan sekunder yang ingin dicapai oleh penderitanya. Tujuan sekunder tersebut bisa berupa mendapatkan perhatian, simpati, dan empati dari orang-orang terdekat, bisa bertingkah manja dan bermalasmalasan, serta bisa juga dalam bentuk dibebastugaskan atau dilepaskan tanggung
10
jawab pekerjaan yang sebelumnya dibebankan kepadanya. Hal tersebut yang menjadikan timbulnya efek regresi pada perkembangan psikologis individu. Hasil wawancara dan pengamatan yang dilakukan peneliti kepada guru serta kepala sekolah dasar pada tanggal 9 dan 10 Maret 2015 sesuai dengan pendapat di atas. Dari beberapa guru yang sudah diwawancarai, mereka mengutarakan berbagai keluhan fisik, seperti pusing, mual, sesak napas, dan sering berkeringat dingin. Guruguru tersebut, terutama guru kelas, juga tidak begitu semangat dalam mengajar karena harus berdiri di depan kelas dalam waktu yang lama sehingga membuat mereka lebih cepat lelah. Tanggung jawab sebagai wali kelas juga memberikan beban tambahan kepada guru untuk selalu mengawasi perilaku anak didiknya di dalam kelas. Guru mengeluhkan banyaknya anak didik yang harus diawasi tidak sepadan dengan tenaga yang dimiliki oleh guru setiap harinya. Kepala sekolah juga menyampaikan bahwa ada beberapa guru di sekolah tersebut sering meninggalkan jam mengajar bahkan sampai izin tidak masuk kerja dengan alasan tidak enak badan dan harus melakukan pemeriksaan fisik di rumah sakit. Ada salah satu guru yang berulang kali melakukan pemeriksaan fisik diberbagai rumah sakit sehingga harus izin tidak mengajar beberapa hari dalam satu minggu. Hal tersebut dirasa sangat mengganggu proses belajar mengajar, terlebih guru tersebut adalah guru kelas yang mengampu hampir semua mata pelajaran di salah satu kelas. Untuk menjaga berjalannya proses belajar mengajar, kepala sekolah harus turun tangan mengisi kelas yang kosong tersebut. Ulasan di atas merupakan fenoma yang tengah terjadi pada masa sekarang, khususnya pada bidang pekerjaan guru yang sedikit banyak memiliki pengaruh terhadap kesehatan mental yang dimiliki oleh guru. Diketahui pula bahwa fenomena tersebut akan membawa dampak yang tidak sedikit dan berkesinambungan bagi
11
aspek-aspek kehidupan. Oleh karena itu, peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai munculnya gejala-gejala somatisasi ditinjau dari stres kerja yang dialami oleh guru sekolah dasar.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan pada subbab sebelumnya, maka masalah yang akan ditelaah dalam penelitian ini ialah hubungan antara stres kerja dengan munculnya kecenderungan somatisasi pada guru sekolah dasar. Dari permasalahan tersebut, maka dapat diperoleh rumusan pertanyaan penelitian
berikut:
“apakah
stres
kerja
berhubungan
dengan
kecenderungan gejala-gejala somatisasi pada guru sekolah dasar?”
munculnya
12
1.3. Tujuan Penelitian Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dengan munculnya kecenderungan gejala-gejala somatisasi pada guru sekolah dasar.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberi dua manfaat, yakni: 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah kajian dan sumbangan ilmu psikologi, khususnya di psikologi klinis, psikologi industri, serta organisasi dan psikologi pendidikan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan bagi penelitian lain yang terkait, khususnya tentang stres kerja dan kecenderungan somatisasi. 2. Manfaat Praktis Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para guru sekolah dasar dalam menanggulangi munculnya kecenderungan somatisasi. Jika hipotesis penelitian ini terbukti, maka kecenderungan somatisasi pada guru sekolah dasar dapat ditanggulangi dengan lebih peduli dalam mengurangi stres kerja yang dimiliki. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan kebijakan tentang hak dan kewajiban guru yang lebih adil di berbagai aspek kehidupan.